Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PRAKTIKUM

PENGENDALIAN HAYATI
BAGIAN PENYAKIT TUMBUHAN

UJI ANTAGONISME AGENSIA HAYATI Pseudomonas fluorescens TERHADAP


PATOGEN Ralstonia solanacearum

Disusun oleh:

Nama : Arina Maulinda


NIM : 16/394258/PN/14497
Gol,/Kel : C1/1
Asisten : 1. Windi Tita Aryani
2. Surisman
3. Fadhila Syahla K.
4. Olivia Mutiara

SUB LABORATORIUM KLINIK KESEHATAN TANAMAN


DEPARTEMEN HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
2019
UJI ANTAGONISME AGENSIA HAYATI Pseudomonas fluorescens TERHADAP
PATOGEN Ralstonia solanacearum

I. TUJUAN
1. Mengetahui cara isolasi bakteri agensia hayati patogen tumbuhan
2. Mengetahui kemampuan antibiosis antagonis calon agensia hayati
3. Mengetahui kemampuan antagonis calon agensia hayati dalam menekan penyakit layu
bakteri (Ralstonia solanacearum) di rumah kaca.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Pseudomonas fluorescens (Pf) adalah bakteri yang mampu menekan beberapa jenis
mikroba patogen penyebab penyakit tanaman. Banyak hasil penelitian yang menunjukkan
peran Pf sebagai penghambat patogen dan efektif sebagai agens pengendali hayati untuk
mengendalikan penyakit tanaman. Sebagai contoh interaksi Pf dengan jamur tular tanah
Sclerotium rolfsii, menyebabkan pertumbuhan jamur tular tanah tersebut dihambat dan bentuk
interaksinya adalah antagonisme. Pf adalah bakteri penghuni tanah, hidup dan berkoloni secara
agresif di dalam tanah di sekitar areal perakaran atau rizosfer. Isolat Pf hasil eksplorasi dari
rizosfer tanaman kacang-kacangan di Jawa Timur, memiliki daya antagonis cukup baik
terhadap jamur tular tanah Sclerotium rolfsii. Pada penelitian di rumah kaca menunjukkan
bahwa aplikasi isolat Pf tersebut dapat menekan penyakit rebah S. rolfsii hingga mencapai
kejadian 6,67%-17,03%, sementara itu tanpa aplikasi Pf kejadian penyakit mencapai 37,98%.
Di samping menekan kejadian penyakit, aplikasi Pf dapat menekan jumlah struktur pembiakan
patogen yaitu propagul sklerosia dan menekan perkecambahannya. Berdasarkan daya
antibakteri yang dimiliki sirih dan keefektivan isolat Pf aebagai agens hayati, maka kedua
pestisida ramah lingkungan tersebut yaitu ekstrak sirih dan Pf dalam penelitian ini diteliti
efikasinya untuk mengendalikan X. axonopodis bakteri penyebab penyakit pustul pada kedelai
(Rahayu, 2011).
Salah satu penyakit penting pada tanaman tomat adalah layu bakteri yang disebabkan oleh
Ralstonia solanacearum. Patogen R. solanacearum mengganggu pengangkutan air dan zat
makanan dengan jalan merusak sel tanaman. Enzim yang berperan dalam proses ini adalah
enzim selulase dan pektinase. Enzim ini menghancurkan dinding sel tanaman yang
mengandung selulosa dan pektin. Akibat dari serangan ini terjadi penyimpangan fisiologis
tanaman yaitu terganggunya proses translokasi air dan nutrisi lainnya sehingga tanaman
menjadi layu kemudian mati. Bakteri yang dapat berfungsi sebagai agens hayati salah satunya
yaitu Pseudomonas fluorescens. Zat antibiotik yang diproduksi oleh Pseudomonas spp. (2,4-
diacetylphloroglucinol / 2,4-DAPG) mampu meningkatkan ketahanan tanah terhadap patogen.
Peningkatan total fenol merupakan salah satu indikator pengimbasan ketahanan tanaman oleh
serangan patogen. Peningkatan tersebut diduga disebabkan oleh aktifitas bakteri P. fluorescens
dalam jaringan tanaman. Senyawa fenol adalah hasil metabolisme tanaman yang dibentuk
sebagai sistem ketahanan kimiawi tanaman untuk mencegah berkembangnya patogen tanaman.
Peningkatan metabolisme tanaman akibat infeksi patogen dan induksi ketahanan dari bakteri
agens hayati yang menyebabkan peningkatan aktifitas PAL (Phenylanine Ammonia-Lyase)
pada tanaman. Aktifitas PAL menyebabkan terjadinya akumulasi fenol karena fenol
merupakan reaksi ketahanan tanaman yang bereaksi dengan PAL dan dioksidasi oleh
Polyphenol Oksidase (PPO) dan Peroksidase (POD). Meningkatnya kadar fenol pada tanaman
dapat menginduksi ketahanan sistemik tanaman sehingga mampu menekan serangan patogen
(Istiqomah dan Kusumawati, 2018).
Uji antagonisme dilakukan secara in vitro antara isolat-isolat P. fluorescens terhadap R.
solanacearum. Jika isolat mampu menghasilkan zona bening maka dikatakan bahwa semua
isolat yang diuji mampu menghambat perkembangan patogen R. solanacearum. Adanya zona
bening mengindikasikan bahwa isolat P. fluorescens menghasilkan metabolit sekunder yang
mampu menghambat atau mematikan patogen. Mekanisme penghambatan bakteri antagonis
terhadap patogen dengan cara menghasilkan berbagai senyawa metabolit anti patogen seperti
siderofor, kitinase, antibiotik, sianida dan Induksi Ketahanan Sistemik (ISR). Bakteri antagonis
P. fluorescens dilaporkan mampu menghasilkan metabolit sekunder antara lain siderofor,
pterin, pirol, dan fenazin. Siderofor dapat berperan sebagai fungistasis dan bakteriostatis. P.
fluorescens mampu melarutkan fosfat dan memproduksi IAA (Indole Acetic Acid). Kedua zat
ini dapat meningkatkan pertumbuhan dan kesehatan tanaman sehingga berimbas pada
peningkatan ketahanan tanaman terhadap serangan patogen (Istiqomah dan Kusumawati,
2018).
Pseudomonas merupakan kelompok (genus) bakteri yang tersebar luas di alam dan paling
sering ditemui di dalam tanah. Pseudomonas berfluorescens merupakan mikroorganisme yang
mengkolonisasi daerah perakaran tanaman (rhizobakteria) yang mempunyai potensi untuk
dikembangkan sebagai agen biokontrol untuk pengendalian penyakit tanaman terutama
patogen yang terbawa melalui tanah. Beberapa jenis rhizobakteria dapat meningkatkan
pertumbuhan tanaman yang dikenal juga sebagai pemacu pertumbuhan tanaman (Plant Growth
Promoting Rhizobacteria = PGPR). Kelompok PGPR ini dilaporkan dapat menekan
perkembangan patogen tanaman baik secara langsung maupun tidak langsung. Efek antagonis
secara langsung dari PGPR dapat menekan berbagai jenis penyakit akar dan pembuluh yang
disebabkan patogen tular tanah, sedangkan efek tidak langsung dari PGPR mempunyai
kemampuan untuk mengurang pengaruh patogen tumbuhan sehingga mencegah kehilangan
hasil pada tanaman yang diinduksi PGPR (Weller, 1983).
Pseudomonas dapat tumbuh baik dalam medium PDA, Nutrient Agar (NA), dan King's B.
Pada medium King's B bakteri Pseudomonas berfluorescens dapat menghasiikan beberapa
antibiotik dan pigmen (zat wama) sehingga menyebabkan medium kuning kehijauan yang
merupakan ciri khas untuk mengidentifikasi bakteri Pseudomonas berfluorescens (Paulitz dan
Loper, 1991). Aplikasi Pseudomonas berfluorescens untuk mengendalikan penyakit layu
bakteri yang disebabkan R. solanacearum menunjukkan hasil yang baik. Shekawat (1992) yang
menyatakan bahwa perlakuan dengan Pseudomonas berfluorescens dapat menekan intensitas
penyakit layu bakteri pada tanaman kentang 43 - 51 %.
III. METODOLOGI

Praktikum Pengendalian Hayati bagian penyakit tumbuhan dibagi menjadi 3 acara yaitu:
Acara I : Isolasi Bakteri Agensia Hayati Pseudomonas fluoroscens
Praktikum Pengendalian Hayati Acara I yang berjudul “Isolasi Bakteri Agensia Hayati
Pseudomonas fluoroscens” dilaksanakan pada hari Senin, tanggal 27 Februari 2019. Acara
pada praktikum ini dilaksanakan di Laboratorium Entomologi Terapan, Departemen Hama dan
Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Alat yang
digunakan dalam acara praktikum ini meliputi tabung reaksi, L-glass, timbangan analitik,
petridish, mikropipet, tip, tabung eppendorf, lampu UV gelombang pendek, dan oven
pengering. Bahan-bahan yang harus disediakan adalah tanaman cabai, tanaman tomat, tanaman
terung, tanaman takokak, media King’s B, 100 ppm cycloheximide, dan 0,1 buffer fosfat pH
7,0.
Cara kerja meliputi, pertama tanaman dicabut dari tanah. Kemudian akarnya dikibaskan
sehingga tinggal tanah halus yang melekat pada permukaan akar yang akan digunakan. Tanah
halus tersebut dikumpulkan lalu ditimbang seberat 2 gram, 1 gramnya disisihkan. Tanah halus
atau tanah rizosfer seberat 1 gram tersebut kemudian dimasukkan ke dalam tabung erlenmeyer
dengan kapasitas volume 250-300 ml yang berisi 99 ml buffer fosfat, kemudian digojok selama
10 menit dan didiamkan selama 5 menit. Dibuat pengenceran sepersepuluh kali dengan
menggunakan buffer fosfat sampai pada pengenceran yang ke 10-5. Suspensi diambil
menggunakan mikropipet yang sudah dipasang tip sebanyak 1 ml (100 µl). Lalu dituang ke
permukaan media King’s B masing-masing seri pengenceran dan diratakan menggunakan L-
glass. Media King’s B yang sudah dituang suspensi tadi diinkubasi pada suhu kamar selama
48 jam. Setelah 48 jam, petridish diletakkan dibawah sinar lampu UV. Diamati koloni bakteri
berwarna hijau kekuningan dengan pigmen yang berdifusi ke dalam medium. Sebanyak 15
koloni tunggal yang terpisah dipilih kemudian ditumbuhkan pada medium King’s B dan
diinkubasikan lagi selama 48 jam.
Acara II : Antagonisme In Vitro
Praktikum Pengendalian Hayati Acara II yang berjudul “Antagonisme In Vitro”
dilaksanakan pada hari Senin, tanggal 6 Maret 2019. Acara pada praktikum ini dilaksanakan di
Laboratorium Entomologi Terapan, Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas
Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Alat yang digunakan dalam acara praktikum
ini meliputi jarum oose, bunsen, skalpel, dan petridish. Bahan-bahan yang harus disediakan
adalah biakan murni bakteri Ralstonia solanacearum, biakan murni bakteri Pseudomonas
fluoroscens, media King’s B, media YPG, kloroform, agar air 0,6%, dan medium air peptone
0,5%.
Cara kerja pertama, Pseudomonas fluoroscens ditumbuhkan pada permukaan media
King’s B dan medium YPG. Setiap media ditumbuhkan sebanyak 4 isolat secara simetris.
Kemudian diinkubasikan pada suhu kamar selama 48 jam. Setelah diinkubasi, petridish
diposisikan terbalik dengan tutup disebelah bawah. Dituangkan 0,5 ml kloroform pada setiap
tutup petridish secara aseptis di Laminar Air Flow. Ditunggu sampai kloroform habis. Sambil
menunggu, cairkan agar air 0,6% dan tunggu sampai temperatur turun sampai 50oC. Dibuat
suspensi Ralstonia solanacearum pada air steril. Setelah kloroform menguap habis (kurang
lebih 1,5 jam), 200 µl suspensi Ralstonia solanacearum yang sudah dituang dalam agar air dan
digojok dituang ke permukaan media yang telah diberi perlakuan kloroform tadi. Agar air
diratakan dengan cara menggoyang petridish sampai menutup permukaan secara merata.
Diinkubasi lagi selama 24 jam pada suhu kamar. Diamati zona hambatan yang muncul. Dicatat
nomor-nomor Pseudomonas fluoroscens yang membentuk zona hambatan dan yang tidak.
Pada isolat yang membentuk zona hambatan diukur diameternya dan dan dinyatakan dalam
milimeter. Agar-agar di dalam zona hambatan diambil secara aseptis dengan skalpel kemudian
dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi air pepton 0,5%. Diinkubasikan selama
maksimum 5 hari. Diamati adanya pertumbuhan yang ditandai kekeruhan medium. Jika
medium menjadi keruh maka terjadi pertumbuhan bakteri, mekanisme yang terjadi pada zona
hambatan adalah bakteriostatik. Jika medium tetap jernih berarti bakteri dalam zona hambatan
telah mati dan mekanisme penghambatannya adalah bakterisida.
Acara 3 : Penekanan Penyakit di Rumah Kaca
Praktikum Pengendalian Hayati Acara III yang berjudul “Penekanan Penyakit di
Rumah Kaca” dilaksanakan pada hari Senin, tanggal 13 Maret 2019. Acara pada praktikum ini
dilaksanakan di Laboratorium Entomologi Terapan, Departemen Hama dan Penyakit
Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Alat yang digunakan
dalam acara praktikum ini meliputi gelas beker, gelas ukur, jarum oose, tabung erlenmeyer dan
petridish. Bahan-bahan yang harus disediakan adalah biakan murni bakteri Ralstonia
solanacearum, biakan murni bakteri Pseudomonas fluoroscens, media King’s B, media YPG,
dan agar.
Cara kerja pertama, yaitu disiapkan semai tomat dengan umur 30-40 hari. Dibuat
suspensi Pseudomonas fluoroscens sampai kerapatan 108 cfu/ml (OD 0,1 pada panjang
gelombang 600 nm), kemudian ditambahkan dua tetes tween 20. Sistem perakaran tomat
dicelupkan pada suspensi Pseudomonas fluoroscens selama 20 menit (100 ml/4-5 tanaman).
Sebagai check atau kontrol, sistem perakaran tomat dicelupkan ke dalam air steril yang sudah
ditetesi tween 20 sebanyak 2 tetes selama 20 menit. Suspensi Ralstonia solanacearum dibuat
dengan kerapatan 108 cfu/ml (OD 0,1 pada panjang gelombang 600 nm). Suspensi R.
solanacearum disiram dalam tanah steril yang sudah disiapkan, campur rata dengan tanah
kemudian didistribusikan ke dalam pot-pot yang sudah disediakan. Tomat yang sudah
diperlakukan ditanam sebanyak 5 tanaman per perlakuan. Sebagai kontrol positif, tanaman
tomat ditanam pada tanah yang tidak diinfestasi oleh patogen R. solanacearum. Diamati
perkembangan penyakit selama satu bulan dan dicatat skornya. Dihitung indeks penyakit
dengan rumus Indeks Penyakit dan dibuat grafik hubungan antara hari setelah inokulasi/tanam
dengan Indeks Penyakit. Rumus Indeks Penyakit :
𝑘
𝑘 . 𝑛𝑘
𝐼𝑛𝑑𝑒𝑘𝑠 𝑃𝑒𝑛𝑦𝑎𝑘𝑖𝑡 = ∑ 𝑥 100
𝑍𝑥𝑁
𝑖=1

nk = jumlah tanaman dengan skala keparahan penyakit k


N = jumlah tanaman yang digunakan dalam percobaan
Z = skala keparahan tertinggi
k = skala 0, 1, 2, 3
Keparahan penyakit dinilai dengan skala sebagai berikut :
Skala Kriteria Indeks Penyakit
0 Tidak ada gejala layu
1 1 – 10% daun layu
2 11 – 30% daun layu
3 Lebih dari 30% daun layu
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Patogen penyebab penyakit layu adalah bakteri Ralstonia solanacearum Smith-Yabuuchi.


Nama tersebut mengalami beberapa kali perubahan, sebagai hasil kajian molekuler yang
didasarkan pada analis DNA bakteri. Semula bakteri tersebut dinamakan Bacillus
solanacearum, kemudian menjadi Burkholderia solanacearum, berubah menjadi
Pseudomonas solanacearum dan nama mutakhir menurut Yabuuchi et al. (1995) adalah
Ralstonia solanacearum. Secara taksonomi bakteri tersebut diklasifikasikan sebagai berikut:

Bangsa : Bakteri
Filum : Proteobakteria
Klas : Betaproteobakteria
Ordo : Burkholderiales
Famili : Burkholderiaceae
Marga : Ralstonia
Spesies : R. solanacearum
(Rahayu, 2015)

R. solanacearum termasuk kelompok bakteri Gram negatif, morfologi sel berbentuk batang
pendek, sel tunggal berukuran 0,5–0,7 x 1,5–2,0 μm, tidak membentuk spora, dan tidak
berkapsul. Bakteri dapat bergerak dengan menggunakan bulu getar (flagela) tunggal atau lebih
yang terletak pada salah satu ujung sel polar. Flagela berfungsi untuk bergerak cepat ke arah
rangsangan inang, dan kecepatan tersebut sangat menentukan virulensi atau keganasan bakteri
pada tahap awal infeksi dan kolonisasinya pada inang. Isolat virulen pada umumnya tidak
memiliki flagel dan tidak mampu bergerak (non-mobil). Pada isolat avirulen atau tidak ganas,
bakteri mampu bergerak dengan menggunakan 1–4 buah flagel polar (Rahayu, 2015).
Bakteri R. solanacearum membutuhkan oksigen untuk hidupnya (aerobik) dan sangat
sensitif terhadap kondisi kekeringan. Bakteri mampu tumbuh pada suhu 25 ° hingga 35 °C,
pada suhu tinggi (41 °C) bakteri tidak mampu tumbuh. Lingkungan dengan suhu dingin seperti
di dataran tinggi (2500 m dpl), mempengaruhi penampilan gejala penyakit layu. Infeksi R.
solanacearum pada tanaman kentang seringkali tidak menunjukkan gejala layu secara jelas
(symptomless), namun bakteri secara laten hidup dalam batang dan umbi kentang. Infeksi laten
sangat merugikan karena berpeluang menyebarkan penyakit. Kondisi lingkungan ekstrim tidak
kondusif untuk perkembangan bakteri R. solanacearum sangat sensitif terhadap kadar air
rendah (kekeringan), pH tinggi (tanah alkalin), suhu rendah, dan tingkat kesuburan tanah yang
rendah (Rahayu, 2015).
Pseudomonas fluoresen memiliki koloni bakteri berbentuk bulat, tepi rata, fluidal dan
mengeluarkan pigmen berwarna kuning kehijauan pada medium King’s B. Pigmen tersebut
membedakan bakteri yang termasuk ke dalam kelompok Pseudomonas fluoresen dengan
kelompok lain. Medium King’s B merupakan medium yang sedikit mengandung ion Fe (Sands,
2001) sehingga bakteri yang temasuk ke dalam kelompok Pseudomonas fluoresen akan
membentuk siderofor yang fungsinya mengikat ion Fe. Siderofor dapat dideteksi dengan
adanya pigmen warna kuning kehiajuan yang berdifusi ke dalam medium King’s B. Pigmen
yang berdifusi ke dalam medium menjadi lebih jelas terlihat apabila diamati di bawah lampu
ultraviolet dengan gelombang panjang (365 nm). Secara individu, bakteri berbentuk batang
dengan ukuran 0,5-1,0 – 1,5-4,0 m (Arwiyanto, 2007).
Pseudomonas fluoresen bersifat Gram negatif, membentuk ensim katalase, oksidase positif,
memerlukan oksigen untuk tumbuh (aerob), mampu menghidrolisa pati dan arginin,
membentuk ensim gelatinase, melakukan denitrifikasi, tidak mengakumulasi
polyhydroxybutirate. Pseudomonas fluoresen mampu menggunakan glukosa, laktosa, fruktosa,
trehalosa, selobiosa, manitol, dan dulcitol sebagai sumber karbon. Bakteri ini tumbuh baik pada
kisaran suhu 20-410C dengan pertumbuhan terbaik pada suhu 300C. pH terbaik untuk
pertumbuhan adalah pada kisaran 6-7. Pada medium yang mengandung NaCl semua bakteri
tumbuh sampai pada konsentrasi NaCl 2%. Sifat-sifat fenotipik tersebut di atas sudah cukup
memadai untuk pengembangannya sebagai agensia pengendalian hayati patogen tumbuhan
(Arwiyanto, 2007).
Tiga di antara enam isolat yang diuji oleh Arwiyanto (2007) mampu menghambat
pertumbuhan R. solanacearum in vitro dengan mekanisme penghambatan berupa
bakteriostatik. Meskipun bakteri dalam kelompok Pseudomonas fluoresen mempunyai
kemampuan membentuk siderofor dan senyawa antibiotik pada medium buatan namun tidak
semua bersifat toksik terhadap bakteri lain termasuk terhadap bakteri patogen tumbuhan.
Penelitian sebelumnya juga melaporkan bahwa tidak semua Pseudomonas fluoresen yang
diisolasi dari risosfer tanaman bersifat antagonistik terhadap R. solanacearum (Arwiyanto,
2007).
Isolat yang diuji ditumbuhkan dengan cara dititik pada permukaan medium dalam cawan
Petri dengan jarak yang proporsional kemudian diinkubasikan pada suhu kamar selama 48 jam.
Setelah masa inkubasi cawan Petri dibalik sehingga tutupnya ada di bagian bawah. Pada tutup
tersebut diteteskan satu ml chloroform kemudian dibiarkan selama 2 jam pada suhu kamar.
Setelah semua uap chloroform menguap, pada permukaan medium tersebut dituangi dengan
suspensi R. solanacearum dalam agar air 0,6%. Biakan diinkubasikan lagi selama 24 jam pada
suhu kamar kemudian dicatat adanya zona penghambatan di sekitar koloni bakteri yang
ditumbuhkan pada cawan Petri. Zona penghambatan diukur dan dinyatakan dalam milimeter.
Setelah zona diukur kemudian agar yang bening di zona hambatan diambil dan dimasukkan ke
dalam medium air pepton 0,5% dan diinkubasikan secara aerob selama 24 jam pada suhu
kamar. Air pepton yang tetap jernih menunjukkan bahwa zat penghambat yang dihasilkan
mematikan bakteri yg lain (bakterisida) sedangkan kalau menjadi keruh maka zat penghambat
tersebut hanya menekan pertumbuhan vegetatif saja (bakteriostatik) (Arwiyanto, 2007).
Bakteri Pseudomonas fluoresen ditumbuhkan pada permukaan medium King’s B. Medium
King’s B merupakan medium yang sedikit mengandung ion Fe sehingga bakteri yang temasuk
ke dalam kelompok Pseudomonas fluoresen akan membentuk siderofor yang fungsinya
mengikat ion Fe. Siderofor dapat dideteksi dengan adanya pigmen warna kuning kehijauan
yang berdifusi ke dalam medium King’s B. Pigmen yang berdifusi ke dalam medium menjadi
lebih jelas terlihat apabila diamati di bawah lampu ultraviolet dengan gelombang panjang (365
nm) (Arwiyanto, 2007).
Pseudomonas merupakan kelompok (genus) bakteri yang tersebar luas di alam dan paling
sering ditemui di dalam tanah. Pseudomonas berfluorescens merupakan mikroorganisme yang
mengkolonisasi daerah perakaran tanaman (rhizobakteria) yang mempunyai potensi untuk
dikembangkan sebagai agen biokontrol untuk pengendalian penyakit tanaman terutama
patogen yang terbawa melalui tanah. Beberapa jenis rhizobakteria dapat meningkatkan
pertumbuhan tanaman yang dikenal juga sebagai pemacu pertumbuhan tanaman (Plant Growth
Promoting Rhizobacteria = PGPR). Kelompok PGPR ini dilaporkan dapat menekan
perkembangan patogen tanaman baik secara langsung maupun tidak langsung. Efek antagonis
secara langsung dari PGPR dapat menekan berbagai jenis penyakit akar dan pembuluh yang
disebabkan patogen tular tanah, sedangkan efek tidak langsung dari PGPR mempunyai
kemampuan untuk mengurang pengaruh patogen tumbuhan sehingga mencegah kehilangan
hasil pada tanaman yang diinduksi PGPR (Weller, 1983).
Uji antagonisme dilakukan secara in vitro antara isolat-isolat P. fluorescens terhadap R.
solanacearum. Jika isolat mampu menghasilkan zona bening maka dikatakan bahwa semua
isolat yang diuji mampu menghambat perkembangan patogen R. solanacearum. Adanya zona
bening mengindikasikan bahwa isolat P. fluorescens menghasilkan metabolit sekunder yang
mampu menghambat atau mematikan patogen. Bakteri antagonis P. fluorescens dilaporkan
mampu menghasilkan metabolit sekunder antara lain siderofor, pterin, pirol, dan fenazin.
Siderofor dapat berperan sebagai fungistasis dan bakteriostatis. P. fluorescens mampu
melarutkan fosfat dan memproduksi IAA (Indole Acetic Acid). Kedua zat ini dapat
meningkatkan pertumbuhan dan kesehatan tanaman sehingga berimbas pada peningkatan
ketahanan tanaman terhadap serangan patogen (Istiqomah dan Kusumawati, 2018).

30

25

20
Isolat kontrol
Isolat 1
15
Isolat 2
Isolat 3
10
Isolat 7

0
0 2 4 6 8 10 12 14

Gambar 1.1 Grafik Tingkat keparahan penyakit


Berdasarkan grafik di atas isolat 2 mengalami tingkat keparahan penyakit terendah,
disusul isolat 3, isolat 1, isolat 7 dan kontrol. Tumbuhan memiliki sistem imunitas basal dan
respon pertahanan berlapis yang dapat di picu secara sistematik untuk menurunkan tingkat
kejadian dan keparahan penyakit. Berdasarkan agen penginduksinya, sistem resistensi pada
tumbuhan dapat dibedakan atas Systemic Acquired Resistance (SAR) dan Induced Systemic
Resistance (ISR). Infeksi patogen akan mengaktifkan sistem ketahanan 7 tumbuhan yang akan
melindunginya dari berbagai mikroorganisme (broad spectrum) untuk jangka panjang.
Ketahanan tumbuhan yang timbul akibat infeksi patogen ini dikenal sebagai Systemic Acquired
Resistance (SAR). Lintasan SAR bersifat salicylic acid (SA) dependent. Sebagai respon
terhadap patogen, tumbuhan akan memproduksi reactive oxygen species (ROS), protein-
protein terkait patogenesis (PR- proteins), penebalan dinding-dinding sel, serta produksi
fitoaleksin. Fitoaleksin adalah metabolit sekunder berberat molekul rendah yang memiliki
aktivitas antimikroba. Kelompok senyawa ini merupakan salah satu marka untuk ketahanan
tumbuhan terhadap penyakit. Berbagai fitoaleksin telah berhasil diisolasi dan didentifikasi dari
berbagai tumbuhan, namun sampai saat ini mekanisme dan lintasan biosintesisnya belum
diketahui dengan pasti. Capsidiol dan scopoletin adalah senyawa fitoaleksin utama yang
dihasilkan oleh tumbuhan Solanaceae (Anonim, 2015).
Pseudomonas fluorescens merupakan salah satu strain bakteri antagonis yang telah
menunjukkan kemampuannya di dalam mengendalian beberapa patogen tanaman, khususnya
patogen tular tanah, baik in vitro, in planta, maupun in vivo. P. fluorescens mempunyai sifat
“Plant Growth Promoting Rhizobacteria” (PGPR), menghasilkan antibiotika 2,4-
diasetilfloroglusinol (Phl atau DAPG) dan siderofor, mampu mengoloni akar tanaman, serta
mengimbas ketahanan tanaman. Beberapa jamur maupun bakteri patogen (termasuk Ralstonia
solanacearum) tidak menunjukkan kemampuan menghasilkan siderofor jenis yang sama
dengan yang dihasilkan bakteri Pseudomonas spp. sehingga patogen mengalami kahat unsur
besi, yang menyebabkan pertumbuhan patogen terhambat (Soesanto, 2010). Hal ini
menyebabkan isolat yang diinduksi Pseudomonas fluorescens mengalami keparahan gejala
yang lebih rendah dibandingkan isolat

Tabel 1. Hasil Pengamatan Indeks Penyakit yang telah diuji lanjut LSD.
Isolat Hasil Group
Isolat 1 25.00 a
Isolat 3 25.00 a
Isolat 7 25.00 a
Kontrol 25.00 a
Isolat 2 16.67 b
Berdasarkan table tersebut dapat dikatakan bahwa perlakuan antara isolat 1, 3, dan 7 dengan
isolat kontrol tidak berbeda nyata. Namun antara isolat 2 dengan isolat kontrol berbeda nyata.
Perbedaan hasil antar isolat yang diinduksi Pseudomonas fluorescens menunjukkan adanya
factor yang mempengaruhi keberhasilan isolasi Pseudomonas fluorescens.Faktor Yang
Mempengaruhi Pertumbuhan Bakteri Pseudomonas fluorescens diantaranya

1. Nutrien (Nutrisi)

Jasad renik heterotrof membutuhkan nutrien untuk kehidupan dan pertumbuhannya, yakni
sebagai: sumber karbon, sumber nitrogen, sumber energy dan faktor pertumbuhan, yakni
mineral dan vitamin. Nutrien tersebut dibutuhkan oleh mikroba untuk membentuk energi dan
menyusun komponen-komponen sel.

2. Tersedianya Air
Pertumbuhan mikroba di dalam suatu bahan sangat dipengaruhi oleh jumlah air yang tersedia.
Selain merupakan bagian terbesar komponen sel (70-80%), air juga dibutuhkan sebagai reaktan
dalam berbagai reaksi biokimia.
c. Nilai pH
pH optimum untuk pertumbuhan, yaitu pH 6,5- 7,5. Pada pH dibawah 5,0 dan di atas 8,5,
bakteri tidak dapat tumbuh dengan baik,
d. Suhu/Temperatur
Suhu/temperatur mempengaruhi pertumbuhan mikroba karena enzim yang menjalankan
metabolisme sangat peka terhadap temperatur.
(Jannah, 2016)
Isolat-isolat tersebut diperlakukan oleh individu yang berbeda sehingga memungkinkan
adanya perbedaan pemeliharaan antar perlakuan. Misalnya, perbedaan dalam memberikan
jumlah air setiap harinya yang mempengaruhi pertumbuhan setiap isolat. Pada praktikum ini
perlakuan dilakukan secara in vitro dan di rumah kaca. Penekanan penyakit secara in vitro
dimaksudkan untuk menyeleksi bakteri dengan kemampuan antagonis tinggi yang berpotensi
untuk menjadi agens hayati pada lingkungan yang steril di dalam laboratorium. Sedangkan
perlakuan dirumah kaca dimaksudkan untuk mengetahui sifat antagonis bakteri apabila
diaplikasikan di lapangan. Uji daya hambat yang memberikan gambaran kualitas produk agen
hayati sebagai standar produk yang baik adalah mempunyai kemampuan penghambatan ≥ 70%
secara in-vitro. Walaupun telah teruji antagonismenya secara in vitro belum tentu dalam
pengaplikasian di lapangan menunjukkan hasil yang sama. Pengujian secara In vitro seringkali
memberikan hasil yang berbeda ketika diaplikasikan di lapangan karena adanya pengaruh oleh
isolat antagonis yang digunakan, patogen, dan lingkungan (Wibisono, 2014). Untuk
mendapatkan agens pengendali hayati yang potensial diaplikasikan di lapangan perlu dilakukan
penelitian tentang kemampuan agens biokontrol tersebut beradaptasi dalam lingkungan yang
berbeda (Khairuni, 2014).
V. KESIMPULAN
1. Bakteri Pseudomonas fluorescens agensia hayati pathogen Ralstonia solanacearum dapat
diisolasi dari dalam tanah di sekitar areal perakaran atau rizosfer.
2. Bakteri Pseudomonas fluorescens memiliki mekanisme penghambatan berupa
bakteriostatik terhadap Ralstonia solanacearum.
3. Pseudomonas fluorescens menunjukkan kemampuan dalam mengendalian beberapa
patogen tanaman, khususnya patogen tular tanah, karena mempunyai sifat “Plant Growth
Promoting Rhizobacteria” (PGPR), menghasilkan antibiotika 2,4-diasetilfloroglusinol (Phl
atau DAPG) dan siderofor, mampu mengoloni akar tanaman, serta mengimbas ketahanan
tanaman. Dalam praktikum ini ditunjukkan dengan perbandingan antara isolat kontrol
dengan isolate 2.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2015. <https://repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/69971/4/
BAB%20II%20Tinjauan%20Pustaka.pdf> Diakses 24 April 2019.

Arwiyanto, T., Y.M.S. Maryudani, N. N. Azizah. 2007. Sifat-Sifat Fenotipik Pseudomonas


fluoresen, Agensia Pengendalian Hayati Penyakit Lincat pada Tembakau Temanggung.
Jurnal Biodiversitas 8(2): 147-151.

Istiqomah dan D. E. Kusumawati. 2018. Pemanfaatan Bacillus subtilis dan Pseudomonas


fluorescens dalam pengendalian hayati Ralstonia solanacearum penyebab penyakit
layu bakteri pada tomat. Jurnal Agro 5(1): 1-12.

Jannah, R. 2016. Pengaruh aplikasi bakteri Bacillus cereus dan Pseudomonas aeruginosa
terhadap produktivitas tanaman padi yang terinfeksi penyakit blas sebagai referensi
mata kuliah mikrobiologi. Skripsi Program Studi Pendidikan Biologi Fakultas Tarbiyah
Dan Keguruan Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Darussalam, Banda Aceh.

Khaeruni, A., H.S. Gusnawaty. 2012. Penggunaan Bacillus spp. sebagai agens biokontrol untuk
mengendalikan penyakit layu fusarium pada tanaman cabai. Jurnal Agroteknos 2(3):
182-189.

Paulitz, T.C. and J.E. Loper. 1991. Lack of Role for Fluorescens Siderophores Production in
the Biological Control of Pythium Dumping-off of Cucumber by Strain of
Pseudomonas putida. Journal Phytopathology. 81:1930-1935.

Rahayu, M. 2011. Keefektifan agens hayati Pseudomonas fluorescens dan ekstrak daun sirih
terhadap penyakit bakteri pustul Xanthomonas axonopodis pada kedelai. Monograf
Balitkabi: 360-370.

Rahayu, M. 2015. Penyakit layu bakteri bioekologi dan cara pengendaliannya. Monograf
Balitkabi: 284-305.

Shekhawat, G.S., Chakrabarti, S.K., Kishore, V., Sunaina, V. and Gadewar, A.V. 1992.
Possibilities of biological management of potato bacterial wilt with strains of Bacillus
sp. Bacillus subtilis, Pseudomonas fluorescens and Actinomycetes. In: Hartman, G.L.
and A.C. Hayward (eds). Bacterial wilt. pp. 327-30. ACIAR Proceedings, No.45:
Australian Centre for International Agricultural Research, Canbera.

Soesanto, L., E. Mugiastuti dan R. F. Rahayuniati. 2010. Kajian Mekanisme Antagonis


Pseudomonas Fluorescens P60 Terhadap Fusarium Oxysporum F.Sp. Lycopersici Pada
Tanaman Tomat In Vivo. Jurnal HPT Tropika 10(1): 108-115.

Weller, D. M., and Cook, R. J. 1983. Suppression of take-all of wheat by seed treatments with
fluorescent pseudomonads. Phytopathology 73:463-469.

Wibisono, A., A. Majid, P. A. Mihardjo. 2014. Efektivitas Beberapa Isolat Pseudomonas


fluorescens Untuk Mengendalikan Patogen Jamur Rhizoctonia solani Pada Tanaman
Kedelai. Berkala Ilmiah Pertanian 1(1): 1-6.
LAMPIRAN

Acara 1: Isolasi Bakteri Agensia Hayati Pseudomonas fluoroscens

Acara 2 : Antagonisme In Vitro


Acara 3 : Penekanan Penyakit di Rumah Kaca
Lampiran Uji Lanjut
> #### Input data CRD ####
> dat.crd <- read.table("clipboard",header = T,sep="\t")
> dat.crd
Perlakuan Ulangan Hasil
1 Kontrol 1 25.00
2 Kontrol 2 25.00
3 Kontrol 3 25.00
4 Isolat1 1 25.00
5 Isolat1 2 25.00
6 Isolat1 3 25.00
7 Isolat2 1 16.67
8 Isolat2 2 16.67
9 Isolat2 3 16.67
10 Isolat3 1 25.00
11 Isolat3 2 25.00
12 Isolat3 3 25.00
13 Isolat7 1 25.00
14 Isolat7 2 25.00
15 Isolat7 3 25.00
> #### Struktur data frame ####
> str(dat.crd)
'data.frame': 15 obs. of 3 variables:
$ Perlakuan: Factor w/ 5 levels "Isolat1","Isolat2",..: 5 5 5 1 1 1 2 2 2
3 ...
$ Ulangan : int 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 ...
$ Hasil : num 25 25 25 25 25 ...
> car::ncvTest(model) #HoV
Non-constant Variance Score Test
Variance formula: ~ fitted.values
Chisquare = 1.875, Df = 1, p = 0.1709
Warning message:
In summary.lm(model) : essentially perfect fit: summary may be unreliable
> shapiro.test(dat.crd$Hasil)

Shapiro-Wilk normality test

data: dat.crd$Hasil
W = 0.49944, p-value = 3.481e-06

> #### Model ANOVA CRD ####


> model <- lm(Hasil~Perlakuan,data=dat.crd) # Model CRD
> summary.aov(model) # Output ANOVA CRD
Df Sum Sq Mean Sq F value Pr(>F)
Perlakuan 4 166.5 41.63 1.103e+30 <2e-16 ***
Residuals 10 0.0 0.00
---
Signif. codes: 0 ‘***’ 0.001 ‘**’ 0.01 ‘*’ 0.05 ‘.’ 0.1 ‘ ’ 1
> library(agricolae) #Semua posthoc menggunakan library agricolae kec
uali Dunnett
> #### LSD Fisher untuk data dan ANOVA CRD ####
> lsd.f <- LSD.test(model,"Perlakuan",p.adj="none", alpha=0.05)
> lsd.f
$`statistics`
MSerror Df Mean CV t.value LSD
3.77338e-29 10 23.334 2.632547e-14 2.228139 1.117537e-14

$parameters
test p.ajusted name.t ntr alpha
Fisher-LSD none Perlakuan 5 0.05
$means
Hasil std r LCL UCL Min Max Q25 Q50 Q75
Isolat1 25.00 0 3 25.00 25.00 25.00 25.00 25.00 25.00 25.00
Isolat2 16.67 0 3 16.67 16.67 16.67 16.67 16.67 16.67 16.67
Isolat3 25.00 0 3 25.00 25.00 25.00 25.00 25.00 25.00 25.00
Isolat7 25.00 0 3 25.00 25.00 25.00 25.00 25.00 25.00 25.00
Kontrol 25.00 0 3 25.00 25.00 25.00 25.00 25.00 25.00 25.00

$comparison
NULL

$groups
Hasil groups
Isolat1 25.00 a
Isolat3 25.00 a
Isolat7 25.00 a
Kontrol 25.00 a
Isolat2 16.67 b

attr(,"class")
[1] "group"

Grafik
30

25

20
Isolat kontrol
Isolat 1
15
Isolat 2
Isolat 3
10
Isolat 7

0
0 2 4 6 8 10 12 14

Gambar 1.1 Grafik Tingkat keparahan penyakit


Hasil Uji Lanjut

Hasil Group
Isolat 1 25.00 a
Isolat 3 25.00 a
Isolat 7 25.00 a
Kontrol 25.00 a
Isolat 2 16.67 b

Df Sum Sq Mean Sq F value Pr(>F)


Perlakuan 4 166.5 41.63 1.103e+30 <2e-16 ***
Residuals 10 0.0 0.00

Signif. codes: 0 ‘***’ 0.001 ‘**’ 0.01 ‘*’ 0.05 ‘.’ 0.1 ‘ ’ 1

Anda mungkin juga menyukai