Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PRAKTIKUM

PESTISIDA PERTANIAN

ACARA VII
PENGUJIAN DAYA RACUN BAKTERISIDA DENGAN METODE ZONA
PENGHAMBATAN PERTUMBUHAN KOLONI PADA MEDIUM

Nama : Arina Maulinda


NIM : 16/394258/PN/14497
Golongan : C5.1
Asisten :
1. Herika Gayuh P.
2. Valentina Erline F.
3. Herika Gayuh P.
4. Renik Bamulatus

BAGIAN TOKSIKOLOGI PESTISIDA


DEPARTEMEN HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2019
ACARA VII
PENGUJIAN DAYA RACUN BAKTERISIDA DENGAN METODE ZONA
PENGHAMBATAN PERTUMBUHAN KOLONI PADA MEDIUM

I. TUJUAN

Mengetahui daya racun bakterisida terhadap pertumbuhan koloni bakteri.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Istilah "pestisida" merujuk pada zat atau campuran zat apa pun yang digunakan untuk
membunuh, mengusir, atau mengendalikan "hama", termasuk serangga, siput, tikus, jamur,
bakteri, dan gulma. Pestisida digunakan untuk waktu yang lama (Maksymiv, 2015).
Penggolongan pestisida dapat dilakukan dengan berbagai cara, tergantung dari tujuan yang
diinginkan seperti penggolongan pestisida berdasarkan komposisinya, berdasarkan cara
penggunaannya, berdasarkan target hama, dan berdasarkan kelompok hama yang akan
dikendalikan. Berdasarkan komposisi bahan kimianya, pestisida kimia dibagi menjadi tiga
yaitu pestisida anorganik, organik dan pestisida hayati (Milne, 1998). Ada beberapa jenis
pestisida yang dibagi berdasarkan jenis OPT yang dibunuh atau dikendalikan antara lain
fungisida, weedisida/ herbisida, nematisida, rodentisida, insektisida, dan biopestisida (Pandya,
2018).
Antibakteri adalah senyawa yang digunakan untuk mengendalikan pertumbuhan
bakteri yang bersifat merugikan. Pengendalian pertumbuhan mikroorganisme bertujuan untuk
mencegah penyebaran penyakit dan infeksi, membasmi mikroorganisme pada inang yang
terinfeksi, dan mencegah pembusukan serta perusakan bahan oleh mikroorganisme (Sulistyo,
1971). Di bidang farmasi, bahan antibakteri dikenal dengan nama antibiotik, yaitu suatu
substansi kimia yang dihasilkan oleh mikroba dan dapat menghambat pertumbuhan mikroba
lain. Senyawa antibakteri dapat bekerja secara bakteriostatik, bakteriosidal, dan bakteriolitik
(Pelczar dan Chan, 1988).
Suatu senyawa digolongkan antibiotik jika: a. Produk metabolisme (meskipun dapat
ditiru secara sintesis kimia), b. Produk sintetik dengan struktur serupa dengan antibiotik di
alam, c. Mengantagoniskan pertumbuhan atau kelangsungan hidup satu jenis atau lebih
mikroorganisme, d. Efektif dalam kadar rendah. Ruang lingkup bakteri yang dapat dipengaruhi
oleh antibiotika disebut dengan spektrum aksi antibiotika, yang terbagi menjadi 3 bagian.
Pertama, antibiotika spektrum luas (broad spectrum) yaitu senyawa antibiotika yang dapat
menghambat berbagai macam mikroba. Kedua, antibiotika berspektrum terbatas (limited
spectrum) apabila zat antibiotika tersebut efektif menghambat organisme tunggal atau penyakit
tertentu. Ketiga, antibiotika berspektrum sempit (narrow spectrum) yang hanya efektif
menghambat sebagian bakteri Gram negatif atau bakteri Gram positif. Senyawa antibiotika
dapat bekerja dalam beberapa cara, antara lain: 1) merusak dinding sel yang mengakibatkansel
lisis atau menghambat pembentukan komponen dinding sel pada sel yang sedang tumbuh; 2)
mengubah permeabilitas membran sitoplasma sehingga menyebabkan kebocoran sel; 3)
menghambat sintesis protein, 4) menghambat sintesis asam nukleat, dan 5) menghambat enzim
di dalam sel (Fallo, 2017).
Menurut Madigan dkk. (2000), berdasarkan sifat toksisitas selektifnya, senyawa
antimikrobia mempunyai 3 macam efek terhadap pertumbuhan mikrobia yaitu: 1.
Bakteriostatik memberikan efek dengan cara menghambat pertumbuhan tetapi tidak
membunuh. Senyawa bakterostatik seringkali menghambat sintesis protein 8 atau mengikat
ribosom. Hal ini ditunjukkan dengan penambahan antimikrobia pada kultur mikrobia yang
berada pada fase logaritmik. Setelah penambahan zat antimikrobia pada fase logaritmik
didapatkan jumlah sel total maupun jumlah sel hidup adalah tetap. 2. Bakteriosidal memberikan
efek dengan cara membunuh sel tetapi tidak terjadi lisis sel atau pecah sel. Hal ini ditunjukkan
dengan penambahan antimikrobia pada kultur mikrobia yang berada pada fase logaritmik.
Setelah penambahan zat antimikrobia pada fase logaritmik didapatkan jumlah sel total tetap
sedangkan jumlah sel hidup menurun. 3. Bakteriolitik menyebabkan sel menjadi lisis atau
pecah sel sehingga jumlah sel berkurang atau terjadi kekeruhan setelah penambahan
antimikrobia. Hal ini ditunjukkan dengan penambahan antimikrobia pada kultur mikrobia yang
berada pada fase logaritmik. Setelah penambahan zat antimikrobia pada fase logaritmik, jumlah
sel total maupun jumlah sel hidup menurun.
Aktivitas antibakteri dinyatakan positif apabila terbentuk zona hambat berupa zona
bening disekeliling paper disk (Kaseng, 2016). Daerah pada sekitaran cakram menunjukkan
kepekaan bakteri terhadap antibiotik atau bahan antibakteri yang digunakan sebagai bahan uji
yang dinyatakan dengan diameter zona hambat/bunuh. Zona bunuh ditunjukkan dengan adanya
area bening disekeliling cakram sedangkan zona hambat ditunjukan oleh area yang terlihat
tidak subur atau lebih keruh jika dibandingkan dengan daerah yang tidak terpengaruh oleh zat.
Penggolongan kekuatan daya antibakteri digolongkan menurut Davis and Stout (1971), yaitu:
diameter zona bening 5 mm atau kurang dikategorikan lemah, zona bening 5-10 mm
dikategorikan sedang, zona bening 10-20 mm di kategorikan kuat dan zona bening 10-20 mm
atau lebih dikategorikan sangat kuat (Lalamentik, 2017).
Toksisitas adalah daya meracun suatu jenis pestisida terhadap target dan non target.
Toksisitas disebuat juga daya racun. Toksisitas atau daya racun juga dapat diartikan sebagai
salah satu kemampuan yang melekat pada suatu bahan untuk menimbulkan keracunan.
Toksisitas dibedakan menjadi toksisitas akut, toksisitas kronik, dan toksisitas subkronik.
Toksisitas akut merupakan pengaruh merugikan yang timbul segera setelah pemaparan dengan
dosis tunggal suatu bahan kimia atau pemberian dosis ganda dalam waktu kurang lebih 24 jam.
Toksisitas akut dinyatakan dalam angka LD50, yaitu dosis yang bisa mematikan (lethal dose)
50% dari populasi uji (umumnya tikus, kecuali dinyatakan lain) yang dihitung dalam mg/kg
berat badan. LD50 merupakan indikator daya racun yang utama,di samping indikator lain
(Nakao et al., 2009).
III. METODOLOGI

Praktikum pestisida pertanian acara VII dengan judul “Pengujian Daya Racun
Bakterisida Dengan Metode Zona Penghambatan Pertumbuhan Koloni Pada Medium ”
dilakukan pada hari Jumat, 26 April 2019 di Sub Laboratorium Toksikologi Pestisida,
Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta. Alat yang dibutuhkan dalam praktikum ini antara lain cawan petri berdiameter 9
cm, gelas piala volume 100 ml, timbangan elektronik, gelas ukur volume 100 ml, labu takar
volume 100 ml. Bahan yang diperlukan antara lain dua jenis bakterisida dengan bahan aktif
berbeda yaitu Agrept dan Rifapmicin, isolat bakteri Ralstonia solanacearum, akuades, air
steril, kertas saring dan PDA dalam tabung reaksi.
Cara kerja praktikum ini pertama bakterisida Agrept dan Rifalmisin dilarutkan pada
empat seri konsentarsi meliputi 0,05, 0,1, 0,2 dan 0,4. PDA dalam tabung reaksi dicairkan dan
dituangi 200 mikroliter suspensi bakteri Ralstonia solanacearum dan dituangkan ke dalam
cawan petri dan dibiarkan memadat. Setelah itu kertas saring dicelupkan ke dalam bakterisida
secukupnya dan diletakkan pada 4 juring cawan petri. Kultur diinkubasi selama 3 hari dan
diamatai diameter penghambatan bakteri. Diamater diukur, dirata-rata dan luas koloni dihitung.
Lalu dibuat grafik antara kepekatan bakterisida dengan luas zona penghambatan dan dianalisa
anova jika signifikan diuji dengan DMRT 0,05.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Antibiotik merupakan substansi yang dihasilkan oleh organisme tertentu yang memiliki
toksisitas selektif terhadap satu atau beberapa mikroba tujuan. Antibakteri adalah senyawa
kimia yang dapat membunuh atau menghambat pertumbuhan bakteri. Toksisistas ini relatif
lemah terhadap inangnya yaitu manusia, hewan dan tumbuhan. Menurut toksisitasnya,
antibiotika dibedakan menjadi bakteriostatik (menghambat pertumbuhan mikroorganisme) dan
bakterisidal (membunuh mikroorganisme) (Fallo, 2017).
Tabel 1. Tabel luas zona penghambatan bakterisida

V. Pestisida Perlakuan Luas Zona


Penghambatan
Agrept Kontrol 0
0,05x 0
0,1x 0
0,2x 0
0,4x 0,641901042
Rifampicin Kontrol 0,02355
0,05x 11,91515521
0,1x 0
0,2x 0
0,4x 11,9221875

Toksisitas adalah daya meracun suatu jenis pestisida terhadap target dan non target.
Toksisitas disebuat juga daya racun. Toksisitas atau daya racun juga dapat diartikan sebagai
salah satu kemampuan yang melekat pada suatu bahan untuk menimbulkan keracunan (Nakao
et al., 2009). Aktivitas antibakteri dinyatakan positif apabila terbentuk zona hambat berupa
zona bening disekeliling paper disk (Kaseng, 2016).
Patogen penyebab penyakit layu adalah bakteri Ralstonia solanacearum Smith
Yabuuchi. Nama tersebut mengalami beberapa kali perubahan, sebagai hasil kajian molekuler
yang didasarkan pada analis DNA bakteri. Semula bakteri tersebut dinamakan Bacillus
solanacearum, kemudian menjadi Burkholderia solanacearum, berubah menjadi Pseudomonas
solanacearum dan nama mutakhir menurut Yabuuchi et al. (1995) adalah Ralstonia
solanacearum. R. solanacearum termasuk kelompok bakteri Gram negatif, morfologi sel
berbentuk batang pendek, sel tunggal berukuran 0,5–0,7 x 1,5–2,0 μm, tidak membentuk spora,
dan tidak berkapsul. Bakteri dapat bergerak dengan menggunakan bulu getar (flagela) tunggal
atau lebih yang terletak pada salah satu ujung sel polar. Flagela berfungsi untuk bergerak cepat
ke arah rangsangan inang, dan kecepatan tersebut sangat menentukan virulensi atau keganasan
bakteri pada tahap awal infeksi dan kolonisasinya pada inang. Isolat virulen pada umumnya
tidak memiliki flagel dan tidak mampu bergerak (non-mobil). Pada isolat avirulen atau tidak
ganas, bakteri mampu bergerak dengan menggunakan 1–4 buah flagel polar.
Bakteri R. solanacearum membutuhkan oksigen untuk hidupnya (aerobik) dan sangat
sensitif terhadap kondisi kekeringan. Bakteri mampu tumbuh pada suhu 25 ° hingga 35 °C,
pada suhu tinggi (41 °C) bakteri tidak mampu tumbuh (Anitha et al. 2003). Lingkungan dengan
suhu dingin seperti di dataran tinggi (2500 m dpl), mempengaruhi penampilan gejala penyakit
layu. Infeksi R. solanacearum pada tanaman kentang seringkali tidak menunjukkan gejala layu
secara jelas (symptomless), namun bakteri secara laten hidup dalam batang dan umbi kentang.
Infeksi laten sangat merugikan karena berpeluang menyebarkan penyakit (Kelman et al. 1994).

Agrept
0.7
Luas Zona Penghambatan (cm2)

0.6
0.5
0.4
0.3
zona penghambatan
0.2
0.1
0
0 0.05 0.1 0.2 0.4
Konsentrasi Bakterisida (%)

Gambar 1. Grafik zona penghambatan agrept

Dari Gambar 1 di atas didapatkan informasi bahwa pada praktikum ini pestisida Agrept
tidak menujukkan daya racun pada ½, 1, dan 2 kali dosis. Agrept baru menunjukkan daya
racunnya melalui zona penghambatan yang muncul pada perlakuan 4 kali dosis dengan ukuran
diameter 0,641901042 cm2. AGREPT 20WP dengan bahan aktif Streptomisin sulfat 20%
merupakan bahan dan jenis bakterisida yang bersifat antibiotika, berbentuk tepung berwarna
putih yang dapat disuspensikan dan bermanfaat untuk mengendalikan penyakit layu bakteri
pada tanaman kedelai, tembakau, cabai, jahe, tomat, dan kentang, penyakit Hawar daun pada
tanaman padi, akasia dan sengon, penyakit bercak daun bakteri pada tanaman jarak pagar.
Dalam praktikum ini digunakan isolate penyebab penyakit layu bakteri yaitu Ralstonia
solanacearum sehingga agrept dianggap cocok dalam menghambat perkembangan bakteri
tersebut.
Pada praktikum ini pestisida Agrept baru menunjukkan daya racunnya pada 4 kali dosis.
Hal ini dapat terjadi karena patogen Ralstonia solanacearum yang digunakan telah resisten
terhadap pestisida Agrept. Resistensi mikroba patogen adalah suatu sifat tidak terganggunya
sel mikroba oleh antimikroba. Resistensi mikrobia terhadap obat terjadi akibat perubahan
genetik dan dilanjutkan serangkaian proses seleksi oleh obat antimikroba. Faktor yang
memengaruhi sifat resistensi mikroba terhadap antimikroba terdapat pada unsur yang bersifat
genetik seperti DNA, plasmid dan kromosom. Resistensi kromosomal terjadi akibat mutasi
spontan dalam lokus yang mengatur kepekaan obat antimikrobia yang diberikan. Adanya
antimikroba sebagai mekanisme selektif yakni membunuh bakteri yang peka dan membiarkan
tumbuh bakteri yang resisten. Resistensi ekstra-kromosomal bakteri seringkali berisi materi
genetik yang disebut plasmid. Faktor R adalah kelompok plasmid yang membawa gen
resistensi terhadap satu atau beberapa obat antimikrobia dan logam berat. Gen plasmid untuk
resistensi antimikrobia mengontrol pembentukan enzim yang mampu merusak antimikrobia
(Jawetz, 2001). Resitensi disebabkan karena tidak tepatnya penggunaan pestisida di lapangan,
utamanya penggunaan dosis subtoksik dan dosis yang terlalu tinggi. Dosis subtoksik dapat
menyebabkan efek stimulasi banyak proses fisiologis dan pertumbuhan (hormesis). Dosis
yang digunakan dapat mempengaruhi mekanisme evolusi resistensi pestisida (Duke, 2019).

Rifampicin
14
Luas Zona Penghamabatan (cm2)

12
10
8
6
zona penghambatan
4
2
0
0 0.05 0.1 0.2 0.4
Konsentrasi Baktersisida (%)

Gambar 2. Grafik zona penghambatan Rifampicin


Dari Gambar 2 di atas didapatkan informasi bahwa pada praktikum ini Rifampicin tidak
menujukkan daya racun pada 1 dan 2 kali dosis. Rifampicin menunjukkan daya racunnya
melalui zona penghambatan yang muncul pada perlakuan ½ kali dosis yaitu dengan ukuran
diameter 11,91515521 cm2 serta pada perlakuan 4 kali dosis dengan ukuran diameter
11,9221875 cm2. Rifampisin, yang dikenal juga sebagai rimapin, adalah suatu antibiotika yang
digunakan untuk mengobati beberapa jenis Bakteri patogen, termasuk di antaranya
tuberkulosis, Mycobacterium avium complex, lepra, dan legionelosis (Skold, 2011).
Rifampicin berdasarkan hasil praktikum menunjukkan mekanisme antibakteri pada
patogen tanaman meskipun merupakan antibakteri pada manusia. Hal ini terjadi karena cara
kerja antibakteri dari antibiotic tersebut. Rifampisin menghambat pertumbuhan bakteri secara
umum dengan menghambat sintesis protein, terutama pada tahap transkripsi. Rifampisin
menghalangi pelekatan enzim RNA polimerase dengan berikatan dengan sisi aktif enzim
tersebut (Skold, 2011).
Perlunya dosis yang lebih tinggi dari dosis anjuran pada penggunaan Rifampisin untuk
menunjukkan zona penghambatan dapat terjadi karena adanya resistensi. Resistensi terhadap
rifampisin dapat terjadi ketika mutasi spontan pada bakteri membuat enzim RNA polimerase
bakteri tersebut kehilangan afinitas terhadap antibiotik tersebut. Selain itu, resistensi terhadap
rifampisin dapat dipengaruhi oleh keberadaan enzim yang menonaktifkan rifampisin dengan
memindahkan molekul ADP-ribosil ke salah satu gugus hidroksil pada rantai karbon alifatik
dalam antibiotik rifampisin. Resistensi melalui enzim dapat tersebar melalui penyebaran
horizontal lewat plasmid (Skold, 2011).

Tabel 2. Tabel anova agrept


Df Sum Sq Mean Sq F Value Pr(>F)
Perlakuan 4 0,9889 0,2472 1,747 0,216
Residuals 10 1,4149 0,1415

Tabel 3. Tabel anova rifampicin


Df Sum Sq Mean Sq F Value Pr(>F)
Perlakuan 4 510,7 127,7 1,026 0,44
Residuals 10 1244,5 124,5
Pada praktikum ini kedua bakterisida yaitu agrept dan rifampicin menunjukkan hasil
anova antar perlakuan yang tidak signifikan. Hal ini dapat disebabkan karena organisme,
termasuk bakteri patogen, mempunyai sifat untuk mempertahankan diri sehingga menimbulkan
apa yang disebut resistensi. Proses terjadinya resistensi Resistensi dapat terjadi melalui proses
sebagai berikut: 1. Peningkatan detoksifikasi. Enzim-enzim tertentu di dalam tubuh OPT
bekerja untuk menjadikan pestisida tersebut menjadi tidak beracun, 2. Penurunan kepekaan
tempat sasaran dalam tubuh OPT terhadap pestisida, 3. Penurunan laju penetrasi pestisida
secara kontak, 4. Menghindari kontak dengan pestisida yaitu dengan berhenti makan menunggu
sampai dosis pestisida cukup rendah. Risiko resistensi menjadi tinggi dengan penggunaan
insektisida berspektrum luas. Kedua bakterisida yang digunakan pada praktikum ini termasuk
berspektrum luas bahkan Rifampisin merupakan antibakteri patogen manusia. Untuk
menghindari resitensi maka dianjurkan menggunakan pestisida selektif dari pada pestisida
berspktrum luas, selain itu dosis atau konsentrasi formulasi yang digunakan harus tepat, bukan
subletal maupun terlalu tinggi (Anonim, 2010).
VI. KESIMPULAN

Dari praktikum yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa ke dua bakterisida yang diuji
memiliki daya racun untuk menghambat Ralstonia solanacearum pada agrept zona
penghambatan terbentuk pada 4 kali dosis sedangkan pada rifampicin terbentuk pada ½ dan 4
kali dosis.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2010. http://balitsa.litbang.pertanian.go.id/ind/images/contactmap/Berita%
20Balitsa/RESISTENSI%20ORGANISME%20PENGGANGGU%20TUMBUHAN.
df.Diakses 3 Mei 2019.

Duke, Stephen O. 2019. Pesticide Dose – A Parameter with Many Implications. National
Center for Natural Products Research, Agricultural Research Service, United States
Department of Agriculture, University of Mississippi, Oxford, Mississippi, USA.

Fallo, G. 2017. Isolasi dan penapisan aktinomiset penghasil senyawa antimokrob. Jurnal
Sains dan Teknologi 9(2): 38-46.

Jawetz, E., Melnick, J. L., Adelberg, E. A., 2001, Mikrobiologi Kedokteran, Edisi XXII,
diterjemahkan oleh Bagian Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga,
205-209, Penerbit Salemba Medika, Jakarta.

Kaseng, E.S., N. Muhlishah, dan S. Irawan. 2016. Uji daya hambat terhadap pertumbuhan
bakteri uji Staphylococcus aureus dan Escherichia coli ekstrak etanol daun mangrove
Rhizophora mucronata dan efek antidiabetiknya pada mencit yang diinduksi aloksan.
Jurnal Bionature 17(1): 1-6.

Lalamentik, G.J., D.S. Wewengkang, dan H. Rotinsulu. 2017. Aktivitas antibakteri ekstrak
karang lunak Klyxum sp. yang diperoleh dari teluk manado. Jurnal Ilmiah Farmasi
6(3): 46-56.

Madigan, M. T., J. M. Martinko, J. Parker. 2000. Brock Biology of Microorganisms Ninth


Edition. Prentice-Hall, London.

Maksymiv, I. 2015. Pesticides: benefits and hazards. Journal of Vasyl Stefanyk Precarpathian
National University 2(1): 70-76.

Milne, G.W.A. 1998. Handbook of Pesticides. CRC Press, New York.


Nakao R, Mizukami C, Kawamura Y, Subeki, Bawm S, Yamasaki M, Maede Y, Matsuura H,
Nabeta K, Nonaka N, Oku Y & Katakura K. 2009. Evaluation of efficacy of bruceine
A, a natural quassinoid compound extracted from a medicinal plant, Brucea javanica
for canine babesiosis. J. Vet. Med. Sci. 71(1): 33-41.

Pandya, I.Y. 2018. Pesticides and their applications in agriculture. Asian Journal of Applied
Science and Technology (AJAST) 2(2): 894-900.

Pelczar, M.J. dan E.C.S. Chan. 1988. Dasar-dasar Mikrobiologi Jilid 1, alih bahasa
Hadioetomo. UI Press, Jakarta.

Rahayu, M. 2015. Penyakit layu bakteri bioekologi dan cara pengendaliannya. Monograf
Balitkabi: 284-305.

Skold, O. 2011. Antibiotics and Antibiotic Resistance. John Wiley & Sons, London.

Sulistyo. 1971. Farmakologi dan Terapi. Liberti, Yogyakarta.


Lampiran
Data Mentah (Lampiran)
Pestisida Perlakuan Ulangan Sampel Hari Pengamatan
Sabtu, Minggu, Senin,
27/04/2019 28/04/2019 29/04/2019
D1 D2 D1 D2 D1 D2
Agrept Kontrol 1 1 0 0 0 0 0 0
2 0 0 0 0 0 0
3 0 0 0 0 0 0
4 0 0 0 0 0 0
2 1 0 0 0 0 0 0
2 0 0 0 0 0 0
3 0 0 0 0 0 0
4 0 0 0 0 0 0
3 1 0 0 0 0 0 0
2 0 0 0 0 0 0
3 0 0 0 0 0 0
4 0 0 0 0 0 0
0,05x 1 1 0 0 0 0 0 0
2 0 0 0 0 0 0
3 0 0 0 0 0 0
4 0 0 0 0 0 0
2 1 0 0 0 0 0 0
2 0 0 0 0 0 0
3 0 0 0 0 0 0
4 0 0 0 0 0 0
3 1 0 0 0 0 0 0
2 0 0 0 0 0 0
3 0 0 0 0 0 0
4 0 0 0 0 0 0
0,1x 1 1 0 0 0 0 0 0
2 0 0 0 0 0 0
3 0 0 0 0 0 0
4 0 0 0 0 0 0
2 1 0 0 0 0 0 0
2 0 0 0 0 0 0
3 0 0 0 0 0 0
4 0 0 0 0 0 0
3 1 0 0 0 0 0 0
2 0 0 0 0 0 0
3 0 0 0 0 0 0
4 0 0 0 0 0 0
0,2x 1 1 0 0 0 0 0 0
2 0 0 0 0 0 0
3 0 0 0 0 0 0
4 0 0 0 0 0 0
2 1 0 0 0 0 0 0
2 0 0 0 0 0 0
3 0 0 0 0 0 0
4 0 0 0 0 0 0
3 1 0 0 0 0 0 0
2 0 0 0 0 0 0
3 0 0 0 0 0 0
4 0 0 0 0 0 0
0,4x 1 1 0 0 0 0 0 0
2 0 0 0 0 0 0
3 0 0 0 0 0 0
4 0 0 0 0 0 0
2 1 0 0 0 0 0 0
2 0,3 0,5 0,9 1 1,4 1,2
3 0 0 0 0 0 0
4 0 0 0 0 0 0
3 1 0 0 0 0 0 0
2 0 0 0 0 0 0
3 0,2 0,4 0,8 0,9 1,2 1,7
4 0,5 0,4 0,9 0,8 1,5 1,3
Rifampicin Kontrol 1 1 0 0 0 0 0 0
2 0 0 0 0 0 0
3 0 0 0 0 0 0
4 0 0 0 0 0 0
2 1 0 0 0 0 0 0
2 0 0 0 0 0 0
3 0 0 0 0 0 0
4 0 0 0 0 0 0
3 1 0 0 0 0 0 0
2 0 0 0 0 0 0
3 0 0 0,4 0,2 0,8 0,4
4 0 0 0 0 0 0
0,05x 1 1 0 0 0 0 0 0
2 0 0 0 0 0 0
3 0 0 0 0 0 0
4 0 0 0 0 0 0
2 1 0 0 0 0 0 0
2 0 0 0 0 0 0
3 1,3 1,2 2,8 2,2 3,4 2,7
4 1,5 1,4 3,1 2,8 3,8 3,2
3 1 1,5 1,3 2,8 2,6 3,3 3
2 1,6 1,4 2,6 2,5 3,1 2,8
3 1,7 1,6 2,8 2,5 3 2,7
4 1,7 1,6 2,6 2,6 2,8 2,9
0,1x 1 1 0 0 0 0 0 0
2 0 0 0 0 0 0
3 0 0 0 0 0 0
4 0 0 0 0 0 0
2 1 0 0 0 0 0 0
2 0 0 0 0 0 0
3 0 0 0 0 0 0
4 0 0 0 0 0 0
3 1 0 0 0 0 0 0
2 0 0 0 0 0 0
3 0 0 0 0 0 0
4 0 0 0 0 0 0
0,2x 1 1 0 0 0 0 0 0
2 0 0 0 0 0 0
3 0 0 0 0 0 0
4 0 0 0 0 0 0
2 1 0 0 0 0 0 0
2 0 0 0 0 0 0
3 0 0 0 0 0 0
4 0 0 0 0 0 0
3 1 0 0 0 0 0 0
2 0 0 0 0 0 0
3 0 0 0 0 0 0
4 0 0 0 0 0 0
0,4x 1 1 0 0 0 0 0 0
2 0 0 0 0 0 0
3 0 0 0 0 0 0
4 0 0 0 0 0 0
2 1 0 0 0 0 0 0
2 0 0 0 0 0 0
3 0 0 0 0 0 0
4 0 0 0 0 0 0
3 1 2,5 1,4 4 2,5 4,4 3,1
2 2,1 1,2 3,5 2 3,9 2,4
3 1,8 1,5 3 2,4 3,7 2,8
4 2,1 1,2 3,2 2,2 3,8 2,9
Lampiran Uji anova
AGREPT

> #### Input data CRD ####


> dat.crd <- read.table("clipboard",header = T,sep="\t")
> dat.crd
Perlakuan Ulangan Luas.koloni
1 0x 1 0.0000000
2 0x 2 0.0000000
3 0x 3 0.0000000
4 0.05x 1 0.0000000
5 0.05x 2 0.0000000
6 0.05x 3 0.0000000
7 0.1x 1 0.0000000
8 0.1x 2 0.0000000
9 0.1x 3 0.0000000
10 0.2x 1 0.0000000
11 0.2x 2 0.0000000
12 0.2x 3 0.0000000
13 0.4x 1 0.0000000
14 0.4x 2 0.3316625
15 0.4x 3 1.5940406
> #### Struktur data frame ####
> str(dat.crd)
'data.frame': 15 obs. of 3 variables:
$ Perlakuan : Factor w/ 5 levels "0.05x","0.1x",..: 5 5 5 1 1 1 2 2 2 3 ...
$ Ulangan : int 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 ...
$ Luas.koloni: num 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 ...
> #### Shapiro Wilk test utk uji normalitas data pengamatan ####
> shapiro.test(dat.crd$Luas.koloni)

Shapiro-Wilk normality test

data: dat.crd$Luas.koloni
W = 0.36031, p-value = 3.18e-07

> #### Model ANOVA CRD ####


> model <- lm(Luas.koloni~Perlakuan,data=dat.crd) # Model CRD
> summary.aov(model) # Output ANOVA CRD
Df Sum Sq Mean Sq F value Pr(>F)
Perlakuan 4 0.9889 0.2472 1.747 0.216
Residuals 10 1.4149 0.1415
> car::ncvTest(model) #HoV
Non-constant Variance Score Test
Variance formula: ~ fitted.values
Chisquare = 30, Df = 1, p = 4.3205e-08

RIMFAPICIN

> #### Input data CRD ####


> dat.crd <- read.table("clipboard",header = T,sep="\t")
> dat.crd
Perlakuan Ulangan Luas.koloni
1 0x 1 0.000000
2 0x 2 0.000000
3 0x 3 0.070650
4 0.05x 1 0.000000
5 0.05x 2 8.419616
6 0.05x 3 27.325850
7 0.1x 1 0.000000
8 0.1x 2 0.000000
9 0.1x 3 0.000000
10 0.2x 1 0.000000
11 0.2x 2 0.000000
12 0.2x 3 0.000000
13 0.4x 1 0.000000
14 0.4x 2 0.000000
15 0.4x 3 35.766562
> #### Struktur data frame ####
> str(dat.crd)
'data.frame': 15 obs. of 3 variables:
$ Perlakuan : Factor w/ 5 levels "0.05x","0.1x",..: 5 5 5 1 1 1 2 2 2 3 ...
$ Ulangan : int 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 ...
$ Luas.koloni: num 0 0 0.0707 0 8.4196 ...
> #### Shapiro Wilk test utk uji normalitas data pengamatan ####
> shapiro.test(dat.crd$Luas.koloni)

Shapiro-Wilk normality test

data: dat.crd$Luas.koloni
W = 0.49818, p-value = 3.4e-06

> #### Model ANOVA CRD ####


> model <- lm(Luas.koloni~Perlakuan,data=dat.crd) # Model CRD
> summary.aov(model) # Output ANOVA CRD
Df Sum Sq Mean Sq F value Pr(>F)
Perlakuan 4 510.7 127.7 1.026 0.44
Residuals 10 1244.5 124.5
> car::ncvTest(model) #HoV
Non-constant Variance Score Test
Variance formula: ~ fitted.values
Chisquare = 11.25398, Df = 1, p = 0.00079453
LAMPIRAN GAMBAR

Gambar 1. Agrept hari pertama pengamatan

Gambar 2. Agrept hari ke dua pengamatan

Gambar 3. Agrept hari ke tiga pengamatan


Gambar 1. Rifamicin hari pertama pengamatan

Gambar 2. Rifamicin hari ke dua pengamatan

Gambar 3. Rifamicin hari ke tiga pengamatan

Anda mungkin juga menyukai