Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN PRAKTIKUM MIKROBIOLOGI II

PENETAPAN POTENSI ANTIBIOTIKA SECARA MIKROBIOLOGI


BERDASARKAN FARMAKOPE INDONESIA EDISI V

Kelompok H-5 :
1. Putri Rasdianti (2014210171)
2. Qoina (2014210173)
3. Rika Damaiyanti (2014210181)
4. Rizka Sukmasari (2014210185)**

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PANCASILA
JAKARTA
2017
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Antibiotika sudah banyak digunakan oleh masyarakat untuk
pengobatan berbagai penyakit terutama penyakit infeksi.Akan tetapi
akibat pemakaian yang tidak rasional dan pemakaian yang tidak tuntas
dari antimikroba malah dapat membahayakan bagi pasien.Bakteri
penyebab penyakit ini dapat menjadi resistensi terhadap pengobatan
dengan antimikroba. Antibiotik digunakan untuk mengobati berbagai
jenis infeksi akibat kuman atau juga untuk prevensi infeksi, misalnya
pada pembedahan besar.
Uji potensi antibiotika secara mikrobiologik adalah suatu teknik
untuk menetapkan suatu potensi antibiotika dengan mengukur efek
senyawa tersebut terhadap pertumbuhan mikroorganisme uji yang peka
dan sesuai.Efek yang ditimbulkan pada senyawa uji dapat berupa
hambatan pertumbuhan.
Antibiotika adalah suatu substansi kimia yang dibentuk atau
diperoleh dari berbagai spesies mikroorganisme, yang dalam konsentrasi
rendah mampu menghambat pertumbuhan mikroorganisme lainnya.
Antibiotika tersebar di dalam alam dan memegang peranan penting dalam
mengatur populasi mikroba dalam tanah, air, limbah, dan kompos.
Antibiotika ini memiliki susunan kimia dan cara kerja yang berbeda-beda
sehingga masing-masing antibiotika memiliki kuman standar tertentu.
Dari sekian banyak antibiotika yang telah berhasil ditemukan, hanya
beberapa saja yang cukup tidak toksik untuk dapat dipakai dalam
pengobatan.

B. Perumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan antibiotika?
2. Kapan suatu bahan diklasifikasikan sebagai antibiotika?
3. Apa yang dmaksud dengan potensi antibiotika ?
4. Bagaimana prinsip penetapan potensi antibiotika?
5. Berapa metode umum yang digunakan untuk penetapan potensi (ntibiotic?
6. Bagaimana cara penetapan % potensi antibiotika secara mikrobiologi?

C. Tujuan
1. Mahasiswa mampu memahami prosedur penetapan potensi antibiotika
berdasarkan farmakope Indonesia edisi V
2. Mahasiswa mampu melakukan uji penetapan potensi antibiotika berdasarkan
farmakope Indonesia edisi V dan menginterpretasi hasilnya.

D. Manfaat
Sebagai tindakan pencegahan masyarakat terhindar dari resistensi antibiotik dan
mencegah penyebaran obat antibiotik yang tidak layak digunakan

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Definisi antibiotika menurut Turpin dan Velu adalah senyawa kimia yang
dihasilkan oleh organisme hidup atau yang diperoleh melalui proses sintesis yang
memiliki indeks kemoterapi yang tinggi, yang manifestasi aktivitasnya pada
dosis yang sangat rendah secara spesifik mampu menghambat proses vital
tertentu pada virus, mikroorganisme ataupun juga berbagai organisme bersel
banyak

Suatu bahan diklasifikasikan sebagai antibiotika apabila (Djide, 2005) :


a. Bahan tersebut merupakan produk metabolisme (alami maupun sintesis).
b. Bahan tersebut adalah produk sintesis yang dihasilkan sebagai analog struktur
suatu antibiotika yang terdapat di alam.
c. Bahan tersebut mengantagonis pertumbuhan atau keselamatan suatu spesies
mikroorganisme atau lebih.
d. Bahan tersebut efektif dalam konsentrasi rendah.

Potensi antibiotika merupakan besaran aktivitas biologis dari suatu


antibiotika yang tidak dapat di tentukan secara kimia atau fisikokimia, tetapi
umumnya dilakukan secara mikrobiologi . Prinsip penetapan potensi antibiotika
adalah dengan membandingkan kemampuan suatu antibiotika dengan antibiotika
baku dalam menghambat pertumbuhan mikroba uji yang peka. Antibiotika baku
adalah antibiotika yang kadar dan aktivitasnya telah diketahui dengan pasti
dibandingkan dengan antibiotik baku internasional.

Penentuan nilai-nilai ini dapat dilakukan dengan salah satu dari dua
metode utama berikut: lempeng slinder atau turbidimetri. Dengan menggunakan
bakteri percobaan standar dan contoh obat yang telah dikenal sebagai
perbandingan, metode ini dapat digunakan untuk menentukan potensi antibiotika
yang sedang diperiksa atau kepekaan mikroorganisme.
Penetapan aktivitas antibiotik secara in vitro dapat dikelompokan ke dalam

dua cara yaitu (Wattimena, 1991) :


1. Cara difusi agar menggunakan cakram kertas, silinder atau cekungan sebagai

reservoir antibiotik
2. Cara turbidimetri pada media cair

Metode Difusi Agar

Difusi adalah perpindahan posisi molekul secara acak dari suatu tempat ke

tempat lain. Menurut hukum Fick, larutan antibiotik yang berdifusi dalam media
agar akan terjadi gradien konsentrasi dimana dalam interval waktu tertentu akan

menunjukan suatu kecepatan difusi (Hewitt, 1977).


Pada penetapan potensi cara difusi agar, zat yang akan diperiksa berdifusi

dari pecadang lalu masuk ke dalam media agar yang telah diinokulasi dengan

bakteri uji kemudian menghambat pertumbuhan bakteri. Bakteri uji baik bentuk

vegetatif/bentuk sporanya, pada inkubasi setelah fase log, akan membiak sampai

kesuatu tingkat dimana terdapat cukup sel-sel yang akan mengadsorpsi antibiotik

sehingga mencegah difusi selanjutnya dari antibiotik dan terbentuk batas daerah

hambatan pertumbuhan. Tiga teknik dalam menetapkan potensi berdasarkan difusi

agar cara lempeng :


1. Teknik cawan piringan kertas Metode cawan piringan kertas merupakan teknik

yang paling umum dipakai untuk menetapkan kerentanan mikroorganisme

terhadap antibiotik. Piringan-piringan kertas kecil yang mengandung zat aktif

berbeda-beda dalam jumlah tertentu diletakan pada permukaan cawan yang telah

diinokulasi. Setelah inkubasi, dilakukan pengamatan terhadap adanya zona

penghambatan (daerah bening) di sekeliling piringan yang menunjukan bahwa

organisme itu dihambat pertumbuhannya oleh zat tersebut yang merembes dari

piringan kedalam agar. Dalam teknik ini harus diketahui jumlah zat mikrobial

yang terkandung dalam piringan kertas, begitu pula medium ujinya, jumlah

inokulum, keadaan inkubasi, dan perincian lainnya (Pelczar, 1988).


2. Teknik perforasi Agar yang masih cair pada suhu 37 C dicampurkan dengan

suspensi bakteri pada cawan petri steril, dibiarkan memadat. Setelah agar

memadat, dibuat lubang-lubang dengan perforator dan kedalam lubang tersebut


dimasukan zat yang akan diuji aktivitas antibakterinya kemudian diinkubasi

selama 18-24 jam pada suhu 37 C. Aktivitas antibakteri dapat dilihat dari

daerah hambat yang terjadi disekelilingnya berupa daerah bening (Pelczar,

1988).
3. Teknik silinder Enam silinder tahan karat dijatuhkan diketinggian 12 mm

kepermukaan inokulum pada cawan petri. Jarak antara titik tengah silinder

dengan silinder lainnya kurang lebih 28-30 mm. Silinder diisi dengan larutan

pembandingdan sediaan uji sedemikian rupa sehingga letak silinder yang berisi

larutan pembanding dan uji berselang-seling. Cawan diinkubasikan pada suhu

30 - 35 C selama 16-18 jam. Silinder diangkat dan diameter daerah hambat

diukur (Depkes RI, 1979).

Gambar 2.1 Metode Lempeng Silinder


Turbidimetri
Metode turbidimetri berdasarkan atas hambatan pertumbuhan biakan
mikroba dalam larutan homogen antibiotik dalam media cair yang dapat
menumbuhkan mikroba dengan cepat bila tidak terdapat antibiotika yang
ditunjukan oleh kekeruhan media pertumbuhan mikroorganisme dan diukur
dengan alat yang sesuai misalnya spektrofotometer.
Gambar 2.2 metode turbidimetri

Tetrasiklin

Tetrasiklin merupakan salah satu obat antimikroba yang menghambat


sintesis protein mikroba. Untuk kehidupannya, sel mikroba perlu mensintesis
berbagai protein. Sintesis protein berlangsung di ribosom, dengan bantuan
mRNA dan tRNA. Pada bakteri, ribosom terdiri atas atas dua subunit, yang
berdasarkan konstanta sedimentasi dinyatakan sebagai ribosom 30S dan 50S.
untuk berfungsi pada sintesis protein, kedua komponen ini akan bersatu pada
pangkal rantai mRNA menjadi ribosom 70S (Jawetz, et. al. 2004).
Antibiotika golongan tetrasiklin yang pertama ditemukan adalah
klortetrasiklin kemudian ditemukan oksitetrasiklin. Tetrasiklin sendiri dibuat
secara semisintetik dari klortetrasiklin, tetapi juga dapat diperoleh dari species
Streptomyces lain. Demeklosiklin, doksisiklin dan minosiklin juga termasuk
antibiotic golongan tetrasiklin (Nester, et. al. 1973). Golongan tetrasiklin terbagi
menjadi beberapa jenis, antara lain:
a. Kortetrasiklin
b. Oksitetrasiklin
c. Tetrasiklin
d. Demeklosiklin
e. Doksisiklin
f. Minosiklin
Tetrasiklin memiliki struktur dasar seperti yang diperlihatkan di bawah ini.
Bentuk-bentuk radikal terjadi dalam bentuk yang berbeda:

Gambar 2.3 struktur umum golongan tetrasiklin

Mekanisme kerja golongan Tetrasiklin


Golongan tetrasiklin menghambat sintesis protein bakteri pada
ribosomnya. Paling sedikit terjadi 2 proses dalam masuknya antibiotik ke dalam
ribosom bakteri gram negatif: pertama yang disebut difusi pasif melalui kanal
hidrofilik, ke dua adalah sistem transport aktif. Setelah masuk, maka antibiotik
berikatan dengan ribosom 30S dan menghalangi masuknya kompleks tRNA-
asam amino pada lokasi asam amino. Kerjanya bersifat bakteriostatik.
Aktifitas Antimikroba
Tetrasiklin diserap oleh bakteri yang peka dan menghambat pembentukan
protein dengan menghambat pengikatan aminoasil-tRNA pada unit 30S pada
ribosom bakteri. Bakteri resisten tidak dapat mengkonsentrasikan obat tersebut.
Resistensi ini dikendalikan oleh plasmid yang dapat ditularkan.
Tetrasiklin terutama merupakan obat bakteriostatik. Obat ini menghambat
pertumbuhan bakteri gram-positif dan gram-negatif yang peka (dihambat oleh
0,1-1 g/mL) dan merupakan obat pilihan untuk infeksi yang disebabkan riketsia,
klamidia, dan Mycoplasma pneumoniae. Tetrasiklin digunakan pada pengobatan
kolera untuk memperpendek waktu pengeluaran vibrio, dan pada shigellosis.
Tetrasiklin tidak menghambat jamur dan bahkan dapat merangsang pertumbuhan
sel ragi. Tetrasiklin untuk sementara dapat menekan sebagian flora usus normal,
tetapi dapat timbul superinfeksi, terutama terjadi dengan Pseudomonas, Proteus,
stafilokokus, dan sel ragi yang resisten

Spektrum Antimikroba
Tetrasiklin memperlihatkan spectrum antibakteri luas yang meliputi
kuman gram positif seperti: B. antrachis, Clostridium tetani, dan Listeria
monocytogenes (sebagai pengganti penisilin), serta kuman gram negatif seperti:
Brucella, Vibrio cholerae, Bordetella pertusis, Acinetobacter, dan
Fusobacterium. Selain itu tetrasiklin juga aktif terhadap spiroket, mikoplasma,
riketsia, klamidia, legionela, dan protozoa tertentu.
Efek Samping
Golongan tetrasiklin menyebabkan pelbagai tingkat gangguan saluran
pencernaan (mual, muntah, diare), ruam kulit, lecet pada selaput lender, dan
demam pada benyak penderita, terutama pada pemberian yang lama dan dosis
tinggi. Tetrasiklin diendapkan pada jaringan tulang dan gigi, terutama pada janin
dan selama 6 tahun pertama kehidupan. Perubahan warna dan fluoresensi gigi
terjadi pada bayi baru lahir bila tetrasiklin digunakan oleh wanita hamil dalam
waktu lama. Pada kehamilan, kerusakan hati dapat terjadi. Tetrasiklin yang
kadaluwarsa dapat mengakibatkan kerusakan ginjal (Jawetz et. al., 1996).

Resistensi
Beberapa spesies kuman , antara lain: E. coli , banyak strain dari S.
aureu, Pseudomonas aeruginosa, Shigella, N. gonorrhoeae, dan Bacteroides
memiliki resistensi terhadap tetrasiklin.
Meskipun demikian, tetrasiklin masih dapat digunakan untuk pengobatan
terhadap infeksi S. aureus dan kelompok Enterokokus, namun hanya sebagai
obat sekunder.

Staphylococcus aureus
Bakteri Staphylococcus aureus merupakan bakteri yang hidup di
permukaan tubuh individu sehat tanpa membahayakan, terutama sekitar hidung,
mulut, alat kelamin, dan rektum. Tetapi ketika kulit kita mengalami luka atau
tusukan, bakteri ini akan masuk melalui luka dan menyebabkan infeksi. Bakteri
ini sering menyebabkan penyakit permukaan kulit minor, termasuk terbentuknya
nanah, bisul pada folikel rambut. Bakteri Staphylococcus aureus dapat
menyebabkan bisul, impetigo, toxic shock syndrome, folliculities, dan infeksi
lainnya. Farmakokinetik dari levofloxacin yang terdapat pada serum dan lepuhan
cairan kulit (Skin Blister Fluid). Staphylococcus aureus merupakan coccus gram
positif, berbentuk anggur apabila diamati melalui mikroskop. Biasanya
membentuk koloni bulat berwarna kekuningan apabila dikembangbiakan pada
nutrient agar di dalam cawan Petri(Todar, 2007).
Staphylococcus aureus biasa hidup pada kulit, saluran pernafasan, dan
saluran pencernaan. Bakteri ini dapat menyebabkan jerawat dan jika terdapat di
bawah kulit, dapat menyebabkan abses. Di rumah sakit, keresistenan
Staphylococcus aureus terhadap antibiotik adalah masalah besar. Beberapa genus
Staphylococcus aureus mensekresi racun dan dapat menyebabkan kematian.
(Todar, 2007).

Gambar 2.4 Staphylococcus aureus


Staphylococcus aureus
Klasifikasi:
Kingdom : Bacteria
Filum : Firmicutes
Kelas : Bacilli
Ordo : Bacillales
Famili : Staphylococcaceae
Genus : Staphylococcus
Species : S. aureus
BAB III
METODOLOGI

Alat : Tabung-tabung steril, pipet-pipet volume steril, cawan-cawan petri


steril, pencadang-pencadang besi steril , pinset, labu Erlenmeyer, lampu spirtus,
alat ukur DDH/Jangka sorong

Bahan: Antibiotika Tetrasiklin ,Suspensi biakan mikroba uji


(Staphylococcus aureus) , Larutan pengencer antibiotika yang sesuai, Nutrient
Agar (NA)

Cara Kerja:

A. Penyiapan Larutan Baku


Ditimbang seksama sejumlah tertentu bahan baku yang kemudian
dilarutkan dengan pengencer yang sesuai hingga diperoleh larutan

induk baku dengan konsentrasi 100SI/mL atau 100 g/mL . Dari

larutan induk baku dibuat 5 seri pengenceran dosis (S1,S2,S3,S4,dan


S5) dengan perbandingan antara S1:S2 S2:S3 S3:S4 dan S4:S5
sebesar 1:1,25. Dosis tengah (S3) untuk suatu jenis antibiotika dibuat
dengan konsentrasi mengikuti ketentuan sebagaimana tercantum pada
lampiran <131> Farmakope Indonesia edisi IV

B. Penyiapan Larutan Uji


Dibuat larutan uji suatu antibiotika dengan konsentrasi sama dengan
S3 baku
Cara penetapan :
Penetapan untuk pembuatan kurva baku dan penetapan potensi
contoh dilakukan bersamaan

C. Pembuatan Kurva Baku


1. Disiapkan 3 cawan petri untuk masing-masing dosis larutan baku,
kecuali untuk dosis larutan baku S3. Ke dalam tiap cawan petri
dituangkan 15mL media NA (45C) ,digoyang hingga membentuk
lapisan dan dibiarkan hingga memadat sebagai lapisan dasar. Ke
permukaan lapisan dalam tiap cawan dituangkan 5mL agar inokula,
digoyang dan diputar hingga membentuk lapisan yang rata dan
dibiarkan hingga memadat. Agar inokula dibuat dengan
caramenambahkan 3,5mL suspense bakteri ke dalam 70mL media
cair steril.
2. Sebanyak 6 slinder besi tahan karat steril dijatuhkan pada permukaan
lapisan agar inokula dalam tiap cawan. Ke dalam 3 slinder pada
cawan-cawan untuk dosis larutan baku S1, diteteskam 0,1mL larutan
baku S1 dan ke dalam 3 slinder lainnya 0,1mL larutan baku S3
3. Ke dalam slinder-slinder pada cawan-cawan untuk dosis larutan baku
S2 dilakukan penetesan seperti di atas menggunakan larutan baku S2
dan S3 . pada cawan-cawan untuk dosis larutan baku S4
menggunakan larutan baku S4 dan S3, dan pada cawan-cawan untuk
dosis larutan baku S5 menggunakan larutan baku S5 dan S3
4. Semua cawan dibiarkan lebih kurang 1 jam (pra inkubasi), kemudian
diinkubasi pada suhu 35-37C selama 18-24jam. Setelah masa
inkubasi, garis tengah daerah hambatan yang terbentuk diukur dan
dilakukan koreksi terhadap garis tengah rata-rata daerah hambatan
dosis larutan baku S1,S2,S4,danS5 seperti yang tertera pada
perhitungan
5. Garis tengah rata-rata daerah hambatan yang telah dikoreksi dibuat
kurva baku log dosis terhadap garis tengah hambatan pada kertas
grafik semilog dengan log dosis sebagai sumbu X dan garis tengah
hambatan sebagai sumbu Y.

D. Penetapan potensi contoh


1. Disiapkan 3 cawan petri untuk dosis larutan uji Su, dari tiap contoh
dan dilakukan sampai peletakan slinder besi tahan karat seperti pada
pembuatan kurva baku. Ke dalam 3 slinder pada cawan-cawan untuk
larutan uji U dari tiap contoh diteteskan masing-masing 0,1mL
larutan uji Su dan kedalam 3 slinder lainnya 0,1mL larutan baku S3
2. Semua cawan dibiarkan selama 1 jam, kemudian diinkubasi pada
suhu 35-37C selama 18-24jam. Garis tengah daerah hambatan yang
terbentuk setelah masa inkubasi diukur dan dilakukan koreksi
terhadap garis tengah rata-rata daerah hambatan larutan uji seperti
yang tertera pada perhitungan interpolasikan garis tengah rata-rata
yang telah dikoreksi ke kurva baku yang telah dibuat untuk
menghitung potensi contoh

BAB IV

HASIL PRAKTIKUM DAN PEMBAHASAN


A. Tabel Pengamatan dan Perhitungan
1. Perhitungan
Antibiotik : Tetrasiklin
Dosis tengah (S3) : 0,24g/ml
Konsentrasi baku (N1) : 10 g/ml
Pengenceran (V2) : 25 ml
S1:S2 ; S2:S3 ; S3:S4 ; S4:S5 = 1:1,25
Maka, untuk masing-masing dosis :

0,192 g x 1
=0,150 g
S1 = 1,25 /ml

0,24 g x 1
=0,192 g
S2 = 1,25 /ml

S3 = 0,24 g/ml
0,24 g x 1,25
=0,300 g
S4 = 1 /ml

0,30 g x 1,25
=0,375 g
S5 = 1 /ml

Pengenceran :
V1.N1=V2.N2
S1 V1. 10 g/ml = 25 ml . 0,150 g/ml
V1 = 0,375 ml . 1000
= 375 l

S2 V1. 10 g/ml = 25 ml . 0,190 g/ml


V1 = 0,475 ml . 1000
= 475 l
S3 (SU) V1. 10 g/ml = 25 ml . 0,240 g/ml
V1 = 0,600 ml . 1000
= 600 l
S4 V1. 10 g/ml = 25 ml . 0,300 g/ml
V1 = 0,750 ml . 1000
= 750 l
S5 V1. 10 g/ml = 25 ml . 0,380 g/ml
V1 = 0,950 ml . 1000
= 950 l
Rata rata S3T = 10,55 3,06

Rata-rata koreksi S1 = DDHS 1 + (S3T - S 31 )
= 8,58+ (10,55 8,00 )
= 11,13 mm

Rata-rata koreksi S2 = DDHS 2 + (S3T - S 32 )
= 12,50 + (10,55 7,50)
= 15,55 mm

Rata-rata koreksi S4 = DDHS 4 + (S3T - S 34 )
= 12,88 + (10,55 12,77)
= 10,66 mm

Rata-rata koreksi S5 = DDHS5 + (S3T - S 35 )
= 11,20 + (10,55 14,58)
= 11,85 mm

2. Tabel pengamatan
Waktu inkubasi : 16.00 WIB
Dosis Diameter Rata-rata Rata-rata koreksi
Daerah (mm) (mm)
Hambat (mm)
Cawan I
S1 8,75 8,58 1,01 11,13
7,50
9,50
S31 7,50 8,0 0,66
8,75
7,75
S2 16,50 12,503,63 15,55
12,50
9,25
S32 12,25 7,505,65
9,0
1,25
S4 13,20 12,881,60 10,66
11,15
14,30
S34 14,11 12,771,50
11,15
13,05
S5 14,00 14,752,46 10,72
17,50
12,75
S35 11,50 14,583,41
18,25
14,00
Su 10,125 11,200,93 11,85
11,75
11,75
S3u 8,50 9,91,22
10,75
10,45

Log dosis (x) Rata-rata


Dosis (g/mL)
koreksi DDH
(y)
S1 0,150 -0,8240 11,13
S2 0,192 -0,7167 15,55
S3 0,240 0,6198 10,55
S4 0,300 -0,5229 10,66
S5 0,375 -0.4260 10,72

kurva hubungan antara log dosis (x) dengan koreksi DDH (y)
20
15
f(x) = - 0.57x10+ 13.44
koreksi DDH
R = 0.18
5
0
0510
log dosis

a = 13,435
b = 0,571
r = 0,1761
y = bx + a
Y uji = DDH koreksi uji = 11,85
Y = 0,571x + 13,435
11,8513,435
=2,78
X= 0,571

Log dosis = -2,78


Dosis uji = antilog -2,78
= 0,0017 g/ml
dosis uji
x 100
% potensi antibiotik = dosis S 3 baku

0,0017
x 100
= 0,24

= 0,71%
B. Pembahasan
RIZKA SUKMASARI
2014210185

Percobaan ini dilakukan untuk menentukan besarnya potensi sampel terhadap


antibiotika standar. Suatu antibiotika memerlukan konsentrasi tertentu agar dapat
menjalankan fungsinya yaitu sebagai bakteriostatik atau bakteriosidik. Potensi
yang diberikan menurut farmakope haruslah 80% - 125%, di luar itu berarti
antibiotik sampel tidak memenuhi syarat untuk dapat diedarkan di pasaran.
Pada percobaan kali ini, metode yang digunakan dalam penentuan potensi
antibiotika adalah metode penetapan dengan lempeng silinder, yaitu metode untuk
menguji sensitivitas antibiotika pada media nutrien agar yang berisi inokulum
bakteri pada cawan petri. Potensi dapat ditentukan dengan mengukur zona bening
yang dihasilkan dan membandingkannya dengan diameter zona bening dari
antibiotika standar.
Syarat penggunaan biakan bakteri yang dipakai adalah harus biakan
murni (pure straired). Maksud dari biakan murni adalah bakteri yang diambil dari
alam secara langsung kemudian dibiakkan, bukan dari bakteri yang diisolasi dari
laboratorium klinis (sampel darah, feses, urin, dan sebagainya). Pada percobaan ini
antibiotik yang digunakan adalah Tetrasiklin merupakan obat bakteriostatik. Obat
ini menghambat pertumbuhan bakteri gram-positif dan gram-negatif yang peka dan
suspensi bakterinya adalah Streptococcus aureus, karena menurut farmakope dan
literatur yang ada antibiotika tetrasiklin dapat menghambat pertumbuhan bakteri
Sterptococcus aureus.
Berdasarkan hasil pengamatan setelah sampel di inkubasikan selama 24
jam, diperoleh bahwa hasil pada cawan petri yang diberikan antibiotik Tetrasiklin
terdapat daerah zona hambat yang ditandai dengan adanya warna bening di
sekitarnya. daerah zona hambat yang didapatkan pada kelompok 5 yaitu untuk
S1,S2,S3,S4,S5 yaitu 11,13;15,55;10,55;10,66;10,72 mm. Pada dosis S3-S5
diameter daerah hambat nya menurun, seharusnya semakin besar dosis, semakin
besar daerah hambatnya. Menurut Farmakope Indonesia edisi V, syarat penetapan
potensi antibiotik yaitu 80%-125%, dari hasil percobaan, didapatkan % potensi
antibiotik uji 0,71% hal ini tidak memenuhi syarat. Kemudian, dosis uji yang
didapatkan adalah 0,0017g/ml sangat jauh dari dosis baku tetrasiklin yaitu
0,24g/ml.
Penyebab ketidaksesuaian hasil percobaan dapat dipengaruhi oleh faktor-
faktor berikut ini :
1. Bentuk lingkaran perforator yang tidak bulat sempurna.
Mengakibatkan volume lubang mengecil dari yang seharusnya. Hal ini
pun akhirnya mengakibatkan cairan antibiotik yang dimasukkan ke dalam
lubang tidak dapat tertampung semuanya ke dalam lubang. (luber)
2. Luber nya antibiotik yang terjadi ini mengakibatkan rusaknya zona
hambat yang terbentuk. Karena cairan antibiotik yang luber tadi tidak
memiliki batasan area saat cairan antibiotik tersebut berdifusi ke dalam
agar bakteri, sehingga diameter daerah hambatnya tidak dapat dihitung.
3. Permukaan media yang dituangkan sebelum memadat ke dalam
cawan petri tidak rata, sehingga silinder yang dipakai merusak media
uji dan menjadi faktor luber nya cairan antibiotik.
4. Adanya kontaminasi bakteri lain selain Staphylococcus aureus.
5. Terjadi resistensi antibiotik Tetrasiklin uji dengan bakteri uji yang
digunakan, sehingga mempengaruhi diameter daerah hambat nya.
6. Antibiotik Tetrasiklin uji yang digunakan sudah tidak layak
digunakan atau telah mencapai expired date nya.
RIKA DAMAYANTI
2014210181

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, dapat diketahui bahwa antibiotik


merupakan suatu senyawa kimia yang dihasilkan oleh mikroorganisme atau diperoleh
melalui proses sintesis yang dalam jumlah kecil mampu menghambat proses
pertumbuhan mikroorganisme.
Pada praktikum kali ini, antibiotik yang digunakan adalah tetrasiklin. Tetrasiklin
adalah antibiotik spektrum luas, aktif terhadap bakteri gram negarif maupun gram
positif. Tetrasiklin bekerja dengan cara menghambat sintesis protein dengan mengikat
sub unit 30s ribosom bakteri sehingga introduksi asam amino pada rantai peptida yang
baru terbentuk tidak terjadi. Antibiotik dibuat dalam beberapa komsentrasi dari larutan
induk untuk melihat sejauh mana pengaruh konsentrasi antibiotik terhadap aktivitas
antimikrobanya.
Metode yang digunakan pada praktikum kali ini adalah metode lempeng silinder
yang didasarkan pada difusi antibiotika dari silinder yang dipasang tegak lurus pada
lapisan agar padat dalam cawan petri sehingga mikroba yang ditambahkan
(Staphylococcus aureus) dihambat pertumbuhannya yang ditandai dengan adanya zona
bening di sekitar silinder yang berisi larutan antibiotika (tetrasiklin). Semakin besar
diameternya maka semakin terhambat pertumbuhannya.
Bakteri yang digunakan pada percobaan kali ini adalah Staphylococcus aureus,
berdasarkan hasil pengamatan setelah sampel diinkubasikan selama 24 jam, dapat
terlihat adanya zona bening di sekitar silinder, diperoleh nilai rata-rata koreksi S1, S2,
S3, S4, dan S5 berturut-turut sebesar 11,13 ; 15,55 ; 10,55 ; 10,66 ; dan 10,75.
Berdasarkan data yang telah diuraikan diatas, menunjukkan hasil yang tidak memenuhi
syarat karena syarat batas daerah hambatan pada Farmakope Indonesia edisi V hal 1397
adalah antara 14-16mm dan semakin tinggi konsentrasi antibiotik, maka semakin besar
DDH yang terbentuk , hal tersebut tidak sesuai pustaka, dapat disebabkan karena
bergesernya pecadang besi yang berisi antibiotik, pengenceran yang kurang teliti, atau
kesalahan praktikan saat melakukan praktikum.
Berdasarkan perhitungan, diperoleh % potensi antibiotik sebesar 0,71% . Hasil
ini menunjukkan bahwa % potensi antibiotik tidak memenuhi syarat Farmakope
Indonesia edisi V yaitu 80-125%. Hal ini dapat disebabkan karena alat yang digunakan
kurang aseptis ataupun pemipetan yang kurang teliti.
PUTRI RASDIANTI
2014210171

Percobaan penetapan potensi antibiotik bertujuan untuk menentukan


besarnya potensi antibiotik sampel (Tetrasiklin) terhadap antibiotika standar.
Suatu antibiotika memerlukan konsentrasi tertentu agar dapat menjalankan
fungsinya yaitu sebagai bakteriostatik atau bakteriosida. Potensi yang diberikan
menurut farmakope haruslah 80% - 125%, di luar itu berarti antibiotik sampel
tidak memenuhi syarat untuk dapat diedarkan di pasaran. Pengujian ini
diperlukan karena bila potensi antibiotik sudah berkurang atau tidak sesuai lagi
dapat menimbulkan resistensi.
Media yang digunakan dalam percobaan ini adalah Nutrient Agar (NA),
merupakan media yang tidak selektif yang dapat memberikan nutrisi untuk
pertumbuhan bakteri. Media nonselektif ini digunakan agar berbagai macam
bakteri dapat tumbuh dengan mudah, sehingga dapat terlihat dengan mudah
aktivitas dari antibiotika yang digunakan.
Media Nutrient Agar yang pertama dituangkan dengan mudah
membentuk lapisan awal pada cawan Petri. Pada lapisan kedua, digunakan agar
inokula yang berasal dari Nutrient agar dengan penambahan suspensi bakteri
Staphylococcus aureus. Nutrient agar yang digunakan untuk kultur inokula tidak
boleh terlalu panas, karena dapat membunuh bakteri yang akan dikultur. Nutrient
agar yang digunakan juga tidak boleh bersuhu rendah, karena Nutrient agar akan
memadat dan menyulitkan proses penuangan media dan memberikan resiko tidak
meratanya lapisan agar inokula. Dalam percobaan ini sangat diharapkan semua
alat yang digunakan dalam keadaan steril, dan bekerja secara aseptis dan teliti.
Keduanya berfungsi agar bahan yang diuji memenuhi persyaratan berdasarkan
Farmakope Indonesia Edisi ke V.
Sebelum dilakukan inkubasi pada suhu 35-37oC selama 18-24 jam
dilakukan pra inkubasi agar antibiotik yang berada di dalam silinder dapat
berdifusi dahulu ke dalam lapisan agar, setelah itu dilakukan inkubasi agar
bakteri dapat tumbuh secara optimal.
Pada pengujian potensi antibotik tetrasiklin terhadap Staphylococcus
aureus, diperoleh nilai potensi antibiotika tersebut 0,71%. Hasil tersebut
menunjukkan bahwa antibiotik tetrasiklin tidak efektif dalam menghambat
pertumbuhan Staphylococcus aureus hasil tersebut tidak valid karena diluar dari
rentang yang ditetapkan oleh Farmakope Indonesia. Hal ini dapat disebabkan
tercampurnya antibiotika tetrasiklin dengan antibiotika lain, juga dapat
dikarenakan kesalahan pengenceran, sehingga dosis lebih kecil dari yang tertera,
dan dapat juga disebabkan kesalahan pada saat melakukan penetesan larutan
baku ataupun larutan uji ataupun kurang aseptis pada saat proses pengerjaan.
QOINA
2014210173

Pada percobaan praktikum ini, diperoleh hasil dari lempeng media dengan metode
turbidimetri yang tidak seragam pada daerah/zona yang terdapat larutan antibiotik dapat
disebabkan oleh kesalahan pada saat peletakkan silinder diatas lempeng media yang
tidak tepat (kurang melekat sempurna) sehingga setelah di inkubasi selama 24 jam, zona
yang berada di dalam silinder terkontaminasi oleh bakteri yang terdapat diluar silinder,
hal tersebut tampak adanya kekurahan pada lingkaran setelah silinder diangkat dan
dikeluarkan dengan pinset.
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

RIZKA SUKMASARI
2014210185

Berdasarkan hasil percobaan persentase potensi dari antibiotik Tetrasiklin uji


terhadap baku pada bakteri Staphylococcus aureus adalah 0,71%. Menurut
Farmakope Indonesia edisi V pada penetapan potensi antibiotik secara
mikrobiologi, syarat potensi suatu antibiotik adalah 80-125% dengan kata lain,
hasil percobaan tidak memenuhi syarat.

RIKA DAMAYANTI
2014210181

Berdasarkan hasil praktikum , dapat disimpulkan bahwa:


1. Potensi antibiotik yang diperoleh sebesar 0,71%, menunjukkan bahwa tidak
memenuhi persyaratan
2. Dosis uji sebesar 0,0017 g/mL yang mana tidak mendekati dosis baku yaitu
0,24 g/ml
3. Nilai S1,S2,S3,S4,S5 yaitu 11,13 ; 15,55 ; 10,55 ; 10,66 ; dan 10,75. Hal ini
tidak memenuhi persyaratan daerah zona hambatan

PUTRI RASDIANTI
2014210171

Antibiotika Tetrasiklin tidak dapat ditentukan potensinya karena potensi yang


didapat sebesar 0,71%.

B. Saran

RIZKA SUKMASARI
2014210185

Pada saat melakukan pekerjaan, praktikan harus lebih berhati-hati dalam bekerja
dan melaksanakan pekerjaan secara aseptik serta memperhatikan ketelitian saat
melakukan pengukuran kuantitatif yang dapat mempengaruhi hasil percobaan.

RIKA DAMAYANTI
2014210181

Pada proses pengerjaannya, praktikan harus lebih memperhatikan tentang ke


aseptikan dari bahan maupun alatnya dan saat proses pengerjaannya, serta harus
lebih berhati-hati saat melakukan praktikum.

PUTRI RASDIANTI
2014210171

Percobaan ini dapat dilakukan juga untuk menetapkan potensi antibiotik lainnya
yang tertera di Farmakope Indonesia Edisi ke V.

BAB VI

DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kesehatan RI.2014.Farmakope Indonesia. Edisi V. DEPKES RI: Jakarta.
Ganiswarna, S. 1995. Farmakologi dan Terapi. Edisi 4. Penerbit UI : Jakarta.

Jawetz, Melnick, and Adelberg. 1996. Mikrobiologi Kedokteran. Edisi 20. EGC :
Jakarta.
Pelczar, M.J. Jr and Chan, E.C.S. 1986. Dasar-dasar Mikrobiologi.Penerbit Universitas
Indonesia (UI-Press) : Jakarta.

Tanu, Ian. 1995. Farmakologi dan terapi .Edisi keempat (dengan perbaikan). Bagian
farmakologi FKUI : Jakarta.
LAMPIRAN

DOSIS S1 DOSIS S2

DOSIS S4 DOSIS S5

DOSIS S UJI

Anda mungkin juga menyukai