One of the main diseases that have a major influence in reducing oil palm
productivity is basal stem rot disease (BSR) caused by G. boninense. This disease
can reduce crop production by 50% to 80%. Symptoms of infection include plant
wilting, leaf blades are not fully formed, oil palm does not produce bunches and
even causes plant death. The high level of damage and losses caused by BSR
disease makes it very important to control this disease. Various control techniques
have been carried out to reduce the intensity of BSR disease, ranging from chemical
control, physical treatment, technical culture control, planting resistant clones, and
the integration of several control methods.
An alternative control is the using of combination between actinomycetes
bacteria and the fungi Trichoderma spp. Actinomycetes are able to produce
antibiotic compounds that can suppress the development of G. boninense. This
mechanism is also supported by the ability of Trichoderma spp. Some of them are
mycoparasites, produce antibiotic compounds and induce plant resistance. This
study aims to evaluate and determine the potential of actinomycetes and
Trichoderma spp and their combination in suppressing stem rot disease caused by
G. boninense in oil palm.
This research was conducted at Plant Bacteriology Laboratory of
Departement of plant protection and Screen House in Sinar Sari Village, Dramaga
Bogor. The steps of this research included rejuvination of actinomycetes isolates,
Trichoderma spp. and also G. boninense. Further step were the study of the
suppression of the growth of G. boninense by actinomycetes through the
mechanism of antibiosis, the effect of VOC compounds produced by
actinomycetes, the effect of bioactive compounds in inhibiting the growth of G.
boninense. Psysiological actinomycetes characterization was performed to analysis
the ability to produce enzymes chitinase, glucanase, cellulase, phosphatase,
nitrogen fixation and production of IAA.Compatibility test between actinomycetes
and Trichoderma spp. was conducted by dual culture methods. In planta test was
carried out by applying Trichoderma spp and or actinomycetes to oil palm
seedlings.
A total of 7 actinomycete collection isolates, namely AKTb, AKT19, AKT28,
AKT41, AKT52, AKT56 and AKT57 isolates were able to inhibit the growth of G.
boninense by 33.33% - 100.00%. The inhibitory effect of bioactive compounds and
VOC compounds inhibited from 27,50% - 89,17% and 2,87% - 20,23%,
respectively. The concentration of 3% bioactive compounds was able to inhibit and
reduce the biomass of G. boninense. All actinomycete isolates were able to produce
glucanase enzymes with an index of 0,27 - 1,41, chitinase with an index of 0,14 –
0,31 and cellulase with an index of 1,09 - 1,98. AKTb isolate showed the highest
phosphate solubilization index, namely 2,71. All isolates could produce IAA
hormone and all isolates are able to fixing nitrogen except AKT19 and AKT52
isolates that could not dissolve nitrogen were only found in AKT19 and AKT52
isolates. Based on molecular identification using specific primers 27F and
16Sact1114R, actinomycetes isolates that have the potential to suppress the growth
of G. boninense, namely AKT19, AKT28 and AKT52 have the highest homology
with Streptomyces gelaticus strain NRRL B-2928.
Two isolates of Trichoderma spp are able to inhibit the growth of G.
boninense by 90,9 – 93,9% and VOC compounds by 55,2 - 70,56%. The chitinase
and glucanase production indexes were 0,29 - 0,89 and 0,74 – 1,07. Both isolates
did not dissolve phosphate but were able to produce IAA. Molecular identification
using ITS 1 and ITS 4 primers showed that Trichoderma TGLP had the highest
homology to Trichoderma asperelum and Trichoderma TSU had the highest
homology to Trichoderma yunnanense.
Compatibility test showed that Trichoderma asperelum and Trichoderma
yunnanense were incompatible with all actinomycetes isolates, proved by the
presence of growth inhibitions of 8,33 - 76,67% of Trichoderma yunnanense and
25,3 - 72,97% of Trichoderma asperelum. The growth parameters of oil palm
seedlings showed that the treatment with Trichoderma asperelum isolate showed
the highest growth with a value of 102,17 cm while the control treatment was only
92,40 cm.
The highest plant stem diameter was shown by the combination of AKT19
isolate with Trichoderma yunanense with 30,28 mm while the control was 27,68
mm. The highest plant dry weight was shown by isolates of Trichoderma yunanense
with 11,92 gr and 11,07 gr in the control treatment. Of the wet weight parameter
the highest value was shown by the combination of isolate AKT19 and
Trichoderma yunansense with a value of 29,84 gr while in the control treatment it
was 28,25 gr. The lowest incidence and severity of disease were shown by the
combination treatment of AKT19 isolates with Trichoderma asperelum treatment
with values of 33,33% and 8,33%, while the control treatments were 100% and
61,11%, respectively.
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Fitopatologi
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa Allah SWT
yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil
diselsaikan. Judul penelitian tesis yang dilakukan sejak Juli 2021 sampai dengan
Februari 2022 ialah “Kajian Aktinomiset dan Trichoderma spp. sebagai Agens
Pengendalian Penyakit Busuk Pangkal Batang Ganoderma boninense pada Kelapa
Sawit”.
Penulis menyadari tanpa bimbingan, dukungan dan bantuan dari berbagai
pihak, penulis tidak dapat mengerjakan dengan maksimal dalam menyelesaikan
tesis ini. Oleh karena itu, ucapan terimakasih penulis ucapkan kepada dosen
pembimbing yaitu Dr. Ir Giyanto, M.Si dan Dr. Efi Toding Tondok, SP, M.Sc.Agr
yang telah membimbing dan banyak memberikan saran. Ucapan terimakasih juga
penulis sampaikan kepada Dr. Ir Abdjad Asih Nawangsih, M.Si sebagai pembahas
luar komisi pada saat kolokium dan Dr. Ir Kikin Hamzah Mutaqin, M.Si selaku
penguji luar komisi pada saat sidang ujian tesis. Rasa terimakasih juga penulis
ucapkan pada segenap staf pengajar Program Studi Fitopatologi yang selalu sabar
dan bersemangat dalam setiap proses pembelajaran selama masa studi
Penulis menyampaikan terimakasih pada segenap rekan Fitopatologi 2019,
segenap anggota laboratorium Bakteriologi Tumbuhan dan Mikologi Tumbuhan,
Segenap rekan rekan pasca sarjana IPB Sport yang selalu menjadi rekan berdiskusi
dan memberikan masukan selama penulis menyelesaikan pendidikan magister di
Sekolah Pascasarjana IPB. Terakhir dan yang paling utama penulis menyampaikan
terimakasih sebesar sebesarnya kepada Ayah, Ibu dan Kakak yang selalu
memberikan dorongan moril selama masa studi. Dara Arubi, SP, M.Si yang selalu
menjadi rekan berdiskusi, Bu Widi Amaria dan Haikal Anugrah yang telah
membantu selama pengerjaan penelitian.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan
dan bagi kemajuan dunia pengetahuan dan pertanian.
DAFTAR TABEL xi
DAFTAR GAMBAR xii
DAFTAR LAMPIRAN xiii
I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar belakang 1
1.2 Perumusan Masalah 2
1.3 Tujuan Penelitian 3
1.4 Manfaat Penelitian 3
1.5 Ruang lingkup Penelitian 3
II TINJAUAN PUSTAKA 5
2.1 Penyakit Busuk Pangkal Batang 5
2.2 Ganoderma boninense 6
2.3 Aktinomiset 8
2.4 Trichoderma sp. 9
III SELEKSI AKTINOMISET DAN Trichoderma spp SEBAGAI AGENS
HAYATI Ganoderma boninense 11
3.1 Abstrak 11
3.2 Abstract 11
3.3 Pendahuluan 12
3.4 Metode 13
3.4.1 Tempat dan Waktu Penelitian 13
3.4.2 Bahan dan Alat 14
3.4.3 Isolasi dan Identifikasi Cendawan G. boninense sebagai Sumber
Inokulum 14
3.4.4 Isolasi dan Identifikasi Agens Antagonis Aktinomiset 15
3.4.5 Uji Kemampuan Aktinomiset sebagai Agens Hayati
G. boninense 16
3.4.6 Karakterisasi Fisiologis Isolat Aktinomiset 17
3.4.7 Identifikasi Aktinomiset dengan Teknik Molekuler 19
3.4.8 Isolasi Cendawan Trichoderma spp. 19
3.4.9 Identifikasi Morfologi dan Molekuler Trichoderma spp. 20
3.4.10 Uji Potensi Trichoderma sp dalam Menghambat G. boninense 21
3.4.11 Karakterisasi Fisiologis Isolat Trichoderma spp 22
3.4.12 Analisis Data 22
3.5 Hasil dan Pembahasan 23
3.5.1 Karakter Morfologi G. boninense. 23
3.5.2 Identifikasi G. boninense dengan Teknik Molekuler 24
3.5.3 Karakter Morfologi Aktinomiset 25
3.5.4 Potensi Daya Hambat Aktinomiset sebagai Agens Hayati 26
3.5.5 Karakter Fisiologis Isolat Aktinomiset 31
3.5.6 Karakter Molekuler Isolat Aktinomiset 36
3.5.7 Karakter Morfologi Isolat Trichoderma spp 39
3.5.8 Karakter Molekuler Isolat Trichoderma spp 40
3.5.9 Potensi Trichoderma sp dalam menghambat G. boninense 42
3.5.10 Karakter Fisiologis Isolat Trichoderma spp 44
3.6 Simpulan 48
IV KOMBINASI AKTINOMISET DAN Trichoderma spp DALAM MENEKAN
PENYAKIT BUSUK PANGKAL BATANG PADA BIBIT KELAPA
SAWIT 49
4.1 Abstrak 49
4.2 Abstract 49
4.3 Pendahuluan 50
4.4 Metode 51
4.4.1 Tempat dan Waktu Penelitian 51
4.4.2 Bahan dan Alat 51
4.4.3 Uji Kompatibilitas Isolat Aktinomiset dan Trichoderma spp. 51
4.4.4 Keefektifan Aktinomiset dan Trichoderma sp. dalam Menekan
Penyakit Busuk Pangkal Batang pada Bibit Kelapa Sawit 52
4.4.5 Pengukuran Parameter Pertumbuhan dan Bobot Akar 54
4.4.6 Analisis Data 54
4.5 Hasil dan Pembahasan 55
4.5.1 Kompatibilitas isolat Aktinomiset dengan Trichoderma spp. 55
4.5.2 Pengaruh Agens Hayati Terhadap Keefektifan Menekan
Penyakit Busuk Pangkal Batang pada Bibit Kelapa Sawit 57
4.5.3 Pengaruh Agens Hayati Terhadap Pertumbuhan Bibit Kelapa
Sawit di Rumah Kaca 59
4.6 Simpulan 61
V PEMBAHASAN UMUM 62
VI SIMPULAN DAN SARAN 64
6.1 Kesimpulan 64
6.2 Saran 64
DAFTAR PUSTAKA 65
LAMPIRAN 83
RIWAYAT HIDUP 88
DAFTAR TABEL
1.1 Skema diagram alir penelitian “Kajian aktinomiset dan Trichoderma spp
sebagai Agens Pengendalian Penyakit Busuk Pangkal Batang Ganoderma
boninense pada Kelapa Sawit” 4
2.1 Gejala penyakit busuk pangkal batang 5
2.2 Morfologi Ganoderma boninense, morfologi bassidiocarp Ganoderma
boninense dan kultur Ganoderma boninense 6
3.1 Sampel Ganoderma sp sebagai sumber inokulum 23
3.2 Visualisasi pita DNA isolat Ganoderma boninense hasil amplifikasi
menggunakan primer spesifik ITS 1/ITS 4 pada Gel agarose 0,1 % dengan
penanda DNA 1 kb 24
3.3 Pohon filogeni isolat Ganoderma boninense dengan isolat dari beberapa
negara yang diambil dari Genbank 25
3.4 Hasil uji dual culture aktinomiset dengan Ganoderma boninense 27
3.5 Hasil uji metabolit aktinomiset dengan Ganoderma boninense 29
3.6 Hasil uji VOC aktinomiset dengan Ganoderma boninense 30
3.7 Hasil uji aktivitas enzim glukanase 32
3.8 Hasil uji aktivitas enzim kitinase 32
3.9 Hasil uji aktivitas enzim sellulase 33
3.10 Hasil uji aktivitas enzim fosfatase 35
3.11 Hasil uji pengikatan senyawa nitrogen oleh isolat aktinomiset 36
3.12 Hasil uji produksi hormon IAA oleh isolat aktinomiset 36
3.13 Visualisasi pita DNA isolat aktinomiset hasil amplifikasi menggunakan
primer spesifik aktinomiset 27F/16Scatt111R pada gel agarose 0,1%
dengan penanda DNA 1 kb 37
3.14 Gambar morfologi makroskopis dan mikroskopis Trichoderma spp 39
3.15 Visualisasi pita DNA isolat Trichoderma spp hasil amplifikasi
menggunakan primer ITS 1 dan ITS 4 pada gel agarose 0,1% dengan
penanda DNA 1 kb 40
3.16 Pohon filogeni isolat Trichoderma TGLP dengan isolat dari beberapa
negara yang diambil dari Genbank 41
3.17 Pohon filogeni isolat Trichoderma TSU dengan isolat dari beberapa negara
yang diambil dari Genbank 42
3.18 Uji potensi daya hambat Trichoderma spp 43
3.19 Uji aktiftas enzin pendegradasi dinding sel 45
3.20 Uji aktiftas enzin fosfatase 46
3.21 Uji kemampuan menghasilkan IAA oleh isolat Trichoderma spp 47
4.1 Hasil uji kompatibilitas beberapa isolat aktinomiset dengan Trichoderma
TGLP 56
4.2 Hasil uji kompatibilitas beberapa isolat aktinomiset dengan Trichoderma
TSU 56
4.3 Gejala penyakit pada akar bibit kelapa sawit 58
DAFTAR LAMPIRAN
populasi Trichoderma sp. berada pada kondisi optimum namun pada kedalaman 80-
100 cm populasinya mengalami penurunan yang signifikan Hal ini tentu tidak
efisien mengingat G. boninense mampu menginfeksi akar kelapa sawit bahkan
mencapai 2 m di bawah permukaan tanah (Miftahuddin et al. 2016).
Alternatif pengendalian lainnya yang dapat dilakukan adalah dengan
menerapkan kombinasi dengan bakteri antagonis yang diketahui efektif menekan
perkembangan penyakit tanpa memberikan dampak buruk pada lingkungan
(Kartika et al. 2006). Beberapa bakteri antagonis yang diketahui dapat dengan
efektif menekan pertumbuhan G. boninense adalah kelompok aktinomiset
(Muzaimah et al. 2015). Menurut Martin et al. (2015), aktinomiset mempunyai
persentase penghambatan sedang sampai tinggi dalam menekan pertumbuhan G.
boninense.
Aktinomiset mempunyai potensi tinggi untuk dikembangkan dan digunakan
sebagai agens pengendalian hayati. Pada tanaman, aktinomiset mampu
menghasilkan senyawa antimikrob berupa tetrasiklin, streptomisin, eritromisin,
kloramfenikol, ivermektin, dan rifampisin yang diketahui efektif menekan
perkembangan patogen (Todar 2008). Sebagian besar aktinomiset tumbuh di
lingkungan dengan pH tanah antara 6 sampai 9, dengan pertumbuhan maksimum
di sekitar kondisi netral yang kaya bahan organik. Namun, beberapa aktinomiset
juga dapat bertahan dan berkembang pada pH asam (pH 3.5). Barka et al. (2016)
menyatakan bahwa aktinomiset masih dapat ditemukan pada kedalaman lebih dari
2 m di bawah permukaan tanah sehingga sangat berpotensi untuk dikombinasikan
dengan antagonis lainnya termasuk dengan Trichoderma sp.
Penggunaan agens antagonis secara tunggal tidak dapat bekerja maksimal
pada semua kondisi lingkungan atau terhadap semua patogen yang menginfeksi
tanaman. Tidak konsistennya hasil pengendalian dengan menggunakan agens
antagonis tunggal diduga sebagai akibat adanya derajat kekhususan antara agens
antagonis dengan tanaman inang bahkan sampai tingkat subspesies sehingga untuk
meningkatkan perlindungan tanaman maka diperlukan sebuah kombinasi agens
antagonis (Mishra et al. 2013). Pada umumnya cendawan antagonis seperti
Trichoderma sp lebih bergantung pada mekanisme kontak dengan patogen
sedangkan, bakteri antagonis seperti aktinomiset lebih banyak menggunakan
senyawa antibiotik sebagai senjata untuk membunuh patogen (Mohiddin et al.
2010).
Kombinasi agens antagonis diharapkan dapat saling bekerja sama dan saling
bersinergi dibandingkan dengan aplikasi secara tunggal (Mihardjo dan majid 2008).
Pada umumnya pengendalian biologis yang terjadi dialam terjadi melalui campuran
beberapa agen antagonis dan bukan dari antagonis tunggal dengan populasi tinggi.
Kombinasi dari agens antagonis diduga dapat meningkatkan perlindungan tanaman.
Kombinasi agens hayati yang digunakan juga dapat memperluas spektrum aktivitas
pegendalian dan meningkatkan keefektifan dalam menekan perkembangan patogen
(Mishra et al. 2011).
Penyakit busuk pangkal batang (BPB) merupakan salah satu penyakit penting
pada tanaman kelapa sawit yang beberapa tahun terakhir memberikan dampak yang
signifikan tergadap produksi kelapasa sawit. Penyakit BPB disebabkan oleh
3
Ganoderma boninense. Beberapa sentra atau pusat perkebunan kelapa sawit baik
perkebunan swasta, perkebunan yang dikelola oleh negara ataupun perkebunan
rakyat (plasma) juga mempunyai permasalah yang sama terhadap penyakit busuk
pangkal batang. Pengendalian yang dilakukan selama ini masih terbatas dengan
menggunakan kultur teknis, varietas tahan, agens hayati secara tunggal dan bahkan
menggunakan pengendalian kimiawi. Berbagai pengendalian tersebut belum
memberikan hasil yang efektif dalam menekan penyakit busuk pangkal batang
bahkan beberapa pengendalian yang dilakukan berpotensi mengakibatkan
kerusakan terhadap lingkungan.
Alternatif pengendalian yang ramah lingkungan dan efektif mengendalikan
penyakit busuk pangkal batang sangat diperlukan untuk menekan kehilangan hasil
yang berlebih dan tetap menjaga kelestarian lingkungan. Salah satu cara yaitu
dengan menggunakan kombinasi beberapa agen hayati yang dapat menekan
perkembangan patogen dan bersifat antifungal. Agens antagonis yang berpotensi
dalam menekan serangan G. boninense yaitu aktinomiset dan Trichoderma spp.
Kajian tentang agens hayati dalam mengendalikan cendawan patogen pada
beberapa komoditas perkebunan sudah banyak dilakukan namun sebagian besar
hanya menggunakan agen hayati secara tunggal. Dalam penelitian ini dilakukan
pengujian potensi kombinasi beberapa agen hayati untuk mengendalikan penyakit
busuk pangkal batang pada tanaman kelapa sawit.
Penelitian yang dilakukan terdiri atas 2 topik yaitu (1) Seleksi aktinomiset
dan Trichoderma spp dalam menekan pertumbuhan G. boninense dan (2)
Kombinasi isolat aktinomiset dan Trichoderma spp dalam menekan penyakit busuk
pangkal batang G. boninense pada bibit kelapa sawit (Gambar 1.1).
4
.
Isolasi Aktinomiset Isolasi G. boninense Isolasi Trichoderma spp
Diperoleh informasi pengaruh kombinasi agens hayati aktinomiset dan Trichoderma sp dalam
menekan penyakit busuk pangkal batang G. boninense pada bibit kelapa sawit
Penyakit busuk pangkal batang (BPB) merupakan salah satu penyakit penting
dan memberikan dampak yang signifikan terhadap produksi kelapa sawit. Penyakit
ini disebabkan oleh salah satu patogen tular tanah yaitu G. boninense. Infeksi
patogen terjadi ketika kontak akar antara akar tanaman yang sehat dengan akar
tanaman kelapa sawit yang terinfeksi patogen. Saat terjadi kotak, hifa cendawan
akan masuk ke dalam jaringan empulur korteks yang selanjutnya akan menginfeksi
jaringan pembuluh pada akar. Infeksi yang terjadi akan mengakibatkan perubahan
warna pada akar menjadi coklat tanpa disertai adanya nekrosis (Rohman 2017).
Tanaman yang terserang penyakit busuk pangkal batang akan mengalami
pembusukan pada bagian pangkal batang (Rupaedah et al. 2018).
Gejala penyakit busuk pangkal batang yang disebabkan oleh G. boninense
yaitu terjadi perubahan warna pada daun menjadi hijau pucat dan juga pertumbuhan
tanaman menjadi terhambat. Pada tanaman yang belum menghasilkan gejala
penyakit ditandai dengan terjadinya klorosis pada daun bagian bawah. Pada
tanaman yang dewasa, pelepah akan menjadi pucat yang selanjutnya akan
mengering dan juga mengakibatkan tombak pelepah yang baru terbentuk tidak
dapat membuka. Pada tingkat serangan dengan intensitas tinggi dapat
mengakibatkan kematian pada tanaman (Susanto 2011).
A B C
Gambar 2.1 Gejala penyakit busuk
A pangkal batang (A), Kerusakan
A dan busuk pada
pangkal batang kelapa sawit, (C), Tanaman tumbang dengan kerusakan
pada pangkal batang (Sumber : Edy et al. 2020; Chong et al. 2017).
Infeksi yang terjadi pada akar tanaman akan menunjukkan gejala yang hampir
sama dengan infeksi yang terjadi pada pangkal batang. infeksi yang terjadi pada
bagian akar sebagian besar terjadi pada jaringan korteks yang selanjutnya akan
mengalami perubahan warna menjadi coklat sampai coklat keputihan. Infeksi
dengan tingkat serangan yang berat dapat mengakibatkan jaringan korteks hancur
dan mengakibatkan jaringan stele pada akar nampak berwarna hitam. Hifa pada
umumnya berada pada jaringan korteks, endodermis, perisel, xilem dan floem.
Tanda lain dari penyakit busuk pangkal batang yag disebabkan oleh G. boninense
diantaranya yaitu munculnya tubuh buah atau basidiokarp pada pangkal batang
kelapa sawit (Susanto 2011).
6
A B B
kuning atau coklat. Pada pangkal cendawan yang masih muda ini berwarna kelabu
atau coklat yang semakin lama berubah menjadi hitam kecoklatan (Hidayati dan
Nurrohmah 2015). Tanda patogen yang menunjukkan adanya infeksi biasanya
dapat diamati pada perakaran tanaman yang sakit atau terinfeksi dimana terdapat
miselium berwarna krem yang selanjutnya berubah menjadi merah sampai
kehitaman. Miselium berwarna putih ditemukan pada bagian dalam akar yang
terinfeksi dan mempunyai bau yang spesifik (Mohammed 2006). Pada infeksi awal,
akar tanaman akan diselimuti miselium berwarna putih atau rhizomorf berwarna
putih dan pada perkembangan selanjutnya rhizomorf akan berubah menjadi merah
tua.
G. boninense merupakan salah satu cendawan yang termasuk dalam parasit
fakultatif yang hidup secara saprofitik pada pangkal dan batang pohon yang
menjadi sumber makanannya. Penyebaran G. boninense terjadi melalui kontak yang
terjadi antara akar tanaman yang sehat dengan akar tanaman yang terinfeksi patogen
G. boninense (Jing 2007). Laju infeksi G. boninense akan semakin cepat ketika
populasi sumber penyakit (inokulum) semakin banyak di areal perkebunan kelapa
sawit. Hal ini akan meningkatkan potensi serangan patogen yang menyebabkan
penyakit busuk pangkal batang pada tanaman kelapa sawit (Lizarmi 2011).
Pada perkebunan kelapa sawit yang berada di lahan gambut, perkembangan
infeksi G. boninense cenderung meningkat, hal ini disebabkan oleh mekanisme
pemencaran melalui basidiospora yang dapat menyebar melalui kontak akar dari
tanaman sehat dengan sumber inokulum yang dapat berupa akar atau batang
tanaman yang terinfeksi (Idris 2004. Cendawan G. boninense dapat tumbuh
optimum pada suhu sekitar 28 °C dan tidak dapat berkembang dengan optimum
pada suhu lingkungan dibawah 15 °C atau lebih dari 40 °C (Coopper et al. 2011).
Salah satu faktor yang memengaruhi infeksi cendawan G.boninense adalah kondisi
pH lingkungan, G. boninense dapat tumbuh pada pH 3,0 – 8,5.
Patogenesitas G. boninense. G.boninense termasuk ke dalam kelas
basidiomycetes yang mempunyai kemampuan menghasilkan beberapa enzim untuk
menguraikan lignin, selulose dan polisakarida (Seo dan Kirk 2000). Cendawan ini
menyebabkan akar tanaman menjadi busuk basah, lunak dan akan mengeluarkan
air jika ditekan (Semangun 2008). Hal inilah yang menyebabkan terganggunya
sistem penyerapan air dan hara anorganik dari dalam tanah. G.boninese dapat
mengeluarkan berbagai enzim untuk menghidrolisis lignin menjadi monosakarida,
seperti arabinosa, xilosa, galaktosa, fruktosa dan glukosa. Selain itu, juga dapat
menghasilkan disakarida dengan molekul kecil seperti arabinosa, xilosa, galaktosa,
fruktosa dan glukosa, yang berfungsi sebagai sumber karbon dan energi. Enzim
yang diproduksi oleh G. boninense disebut sebagai enzim pemodifikasi lignin
(LME) dan termasuk lignin peroxidase (LiP), Mangan peroxidase (MnP) dan
laccase (Lac) yang diketahui dapat mendegradasi komponen lignin pada dinding sel
tanaman (Goh et al. 2014)
Seragan G. boninense juga dapat mengakibatkan pangkal batang menjadi
busuk yang biasanya dekat dengan daerah munculnya basidiokarp. Batang yang
membusuk mengakibatkan terhambatnya aliran air dan nutrisi kedaun yang
selanjutnya akan mengakibatkan daun menjadi klorosis. Ketika penyakit terus
berkembang daun yang tua akan menggantung disekitar batang dan daun yang baru
terbentuk tidak akan berkembang dengan sempurna. Pada tingkat serangan yang
berat dapat mengakibatkan batang menjadi patah (Rees et al. 2012). Menurut
8
2.3 Aktinomiset
tanaman diinfeksi oleh patogen. Kedua enzim ini mampu mengkatalis hidrolisis
polisakarida yang merupakan bahan penyusun dinding sel cendawan sehingga
tanaman akan menjadi lebih tahan terhadap serangan patogen. Pengaruh induksi
Trichoderma spp. sebagai antagonis dapat menguatkan dinding sel, sehingga
konidia terhambat dalam melakukan penetrasi dan menghambat spora berkecambah
yang disebabkan oleh adanya senyawa yang bersifat anti cendawan. Induksi juga
dapat meningkatkan akumulasi lignin dan fenol pada jaringan yang terinfeksi
(Nurhayati et al. 2012).
Ketahanan yang dihasilkan melalui induksi cendawan Trichoderma spp.
dapat dilakukan dengan memacu proses lignifikasi pada daerah yang di sekitar
jaringan tanaman. Trichoderma spp. juga dapat mengeluarkan antibiotik
trichodermin yang mampu menghambat cendawan yang bersifat patogen
(Gusnawati 2014). Menurut Ginting (2012), jenis Trichoderma yang beragam juga
diikuti dengan beragam sifat dan karaktersistik. Strain tertentu mengkolonisasi
permukaan akar dan memenetrasi epidermis yag selanjutnya akan melepas berbagai
senyawa yang mengiduksi (induce) respon tahan (resistant) secara lokal atau
sistemik.
Cendawan antagonis mampu mengendalikan seranga patogen penyebab
penyakit dari golongan cendawan dengan menggunakan mekanisme
mikoparasitime. Mekanisme mikoparasitik terjadi apabila cendawan mampu
memproduksi enzim ektraselular untuk merusak dinding sel cendawan lain yang
kemudian digunakan sebagai sumber nutrisi. Agens hayati Trichoderma spp
mempunyai kemampuan untuk menghasilkan enzim hidrolitik β-1,3-glukanase,
kitinase, dan selulase. Enzim-enzim inilah yang secara aktif merusak sel-sel
cendawan lain yang sebagian besar tersusun dari 1,3 glukan (linamirin) dan kitin
sehingga Trichoderma spp. dapat dengan mudah melakukan penetrasi ke dalam hifa
cendawan inangnya (Octaviani 2015).
III SELEKSI AKTINOMISET DAN Trichoderma spp SEBAGAI AGENS
HAYATI Ganoderma boninense
3.1 Abstrak
3.2 Abstract
being able to increase plant growth. This study aimed to obtain several isolates of
actinomycetes and Trichoderma spp. as biological control agents in suppressing the
growth of G. boninense which causes stem rot disease in oil palm. The research
steps included rejuvinations isolates of G. boninense, actinomycetes and
Trichoderma spp., antibiosis test (dual culture), testing the effect of VOCs and
bioactive compounds on the growth of G. boninense. Characterization of
actinomycetes in producing the enzymes chitinase, glucanase, cellulase,
phosphatase, indole acetic acid (IAA) and the abiliy to fixete nitrogen. Selected
actinomycetes and Trichoderma spp isolates were then identified molecularly.
Actinomycetes isolates AKTb, AKT19, AKT28, AKT41, AKT52, AKT56 and
AKT57 were able to inhibit G. boninense 33.33% to 100%. The effect of bioactive
compounds and VOC compounds can suppress G. boninense 89,17% and 20,23%,
respectively. Bioactive compounds with a concentration of 0.5-3% can reduce the
mycelia biomass of G. boninense. All actinomycete isolates produced glucan,
chitin, and cellulose degrading enzymes. All isolat can dissolve phosohate but
isolates AKT19, AKT28 and AKT52 could not dissolve phosphate. Isolates
actinomycetes can fixing nitrogen except AKT28 and AKT52. All actinomycetes
produce the hormone IAA. Based on the analysis of the 16S Rrna gene sequence, it
showed that the actinomycete isolate that had the highest inhibition potential was
Streptomyces gelaticus strain NRRL B-2928. Two isolates of Trichoderma spp
inhibited G. boninense 90,9 – 93,9% and VOC compounds inhibited by 55,2 –
70,56%. Both isolates were able to produce chitinase, glucanase and IAA
hormones. Based on the ITS gene sequence, Trichoderma TSU and Trichoderma
TGLP showed the highest homology with Trichoderma yunanense and
Trichoderma asperelum.
3.3. Pendahuluan
3.4 Metode
selama 5 menit dan buang supernatan. Gerus pelet yang berada didasar tube
dengan menggunakan pistel steril lalu tambahkan 300 µL Buffer ekstraksi (200
Mm Tris-HCl [ph 8.5]), 250 Mm NaCl, 25 Mm EDTA dan 0,5% SDS) kemudian
gerus kembali. Setelah digerus selanjutnya ditambahkan 150 µL sodium asetat
(Ph 5,2) dan dinkubasi selama 10 menit pada suhu ruang. Setelah diinkubasi
sentrifuse tube dengen kecepatan 10.000 rpm selama 3 menit. Ambil 400 µL
supernatan dan dimasukkan ke tube baru dan tambahkan isopropanol dengan
volume yang sama. Presipitasi DNA dengan sentrifugasi pada 10.000 rpm
selama 10 menit. DNA dicuci dengan 500 μl ethanol 70% dan 13 disentrifugasi
kembali pada 10.000 rpm selama 10 menit. DNA dikeringkan dan dilarutkan
dalam TE (1 Mm Tris-HCL [Ph 8], 1 Mm EDTA), kemudian disimpan pada suhu
-20 ºC hingga digunakan.
Amplifikasi DNA. Amplifikasi daerah ITS (internal transcribed spacer)
dilakukan dengan teknik PCR menggunakan primer ITS 1 (forward) 5’-TCC
GTA GGT GAA CCT GCGG-3’, dan ITS4 (reserve) 5’-TCC TCC GCT TAT
TGA TAT GC-3’. Amplifikasi pada mesin PCR dengan campuran reaksi total
volume 25 µL yang terdiri dari Bioline My Taq Red mix 2x 12,5 µL, Nucleus
free water 9,5 µL, pasangan primer ITS1 dan ITS4 masing-masing 1 µL, serta
DNA template (sampel DNA) 1 µL. Hasil campuran dimasukkan ke dalam tube
200 µL dan dimasukan ke dalam mesin PCR. Mesin PCR dijalankan dengan
siklus denaturasi awal 94 °C selama 2 menit, dilanjutkan dengan 35 siklus (94 °C
selama 50 detik untuk denaturasi, 55 °C selama 1 menit untuk annealing, 72 °C
selama 1 menit untuk polimerasi DNA), kemudian ditambahkan satu siklus
terakhir pada 72 °C selama 5 menit dan reaksi akan berakhir pada suhu 20°C.
Produk PCR kemudian divisualisasi dengan metode elektroforesis pada gel
agarose 1 % dan migrasi pada tegangan 50 V selama 50 menit kemudian diamati
di bawah UV transiluminator (Taribuka et al 2016).
Produk PCR kemudian sekuensing melalui jasa sekuensing First Base
Sequencing (Malaysia) melalui PT Genetika Science Indonesia. Karakter
molekuler berupa urutan basa nukleotida dianalisis menggunakan perangkat
lunak BioEdit dan analisis homologi menggunakan Blast-N (Basic Local
Alignment Search Tool-Nucleotida) di situs National Center for Biotechnology
Information (NCBI). Seluruh sekuen disejajarkan dengan menggunakan
perangkat lunak Muscle dalam MEGA versi 5.2.2. Analisis pohon filogeni
dilakukan menggunakan metode Neighbor Joining dengan 1000 bootstrap
(Tamura et al. 2011).
warna miselium substrat, bentuk koloni, tepi koloni, elevasi koloni, permukaan
koloni dan ukuran koloni (Akbar et al. 2017). Hasil identifikasi kemudian
dibandingkan dengan buku Bergey’s Manual Determinative of Bacteriology
Tahun 1994.
2016). Produk PCR kemudian diskuensing melalui jasa sekuensing First Base
Sequencing (Malaysia).
Produk PCR kemudian sekuensing melalui jasa sekuensing First Base
Sequencing (Malaysia) melalui PT Genetika Science Indonesia. Karakter
molekuler berupa urutan basa nukleotida dianalisis menggunakan perangkat
lunak BioEdit dan analisis homologi menggunakan Blast-N (Basic Local
Alignment Search Tool-Nucleotida) di situs National Center for Biotechnology
Information (NCBI). Seluruh sekuen disejajarkan dengan menggunakan
perangkat lunak Muscle dalam MEGA versi 5.2.2. Analisis pohon filogeni
dilakukan menggunakan metode Neighbor Joining dengan 1000 bootstrap
(Tamura et al. 2011).
R1−R2
H = x 100%
R1
Keterangan :
H: Persentase penghambatan Trichoderma sp sebagai agens antagonis
R1: Jari-jari cendawan patogen yang menjauhi koloni Trichoderma spp.
R2: Jari-jari cendawan patogen yang mendekati koloni Trichoderma spp.
A B C D
A\
Gambar 3.1. Sampel Ganoderma boninense sebagai sumber inokulum. A) bagias
atas tubuh buah; B) bagian bawah tubuh bawah; C) Permukaan
koloni; D) bawah koloni
Pada bagian bawah tubuh buah, berwarna coklat tua dan didominasi oleh
warna putih yang banyak terdapat pori pori. Tubuh buah berbentuk lingkaran
(menyerupai kipas) dengan permukaan yang sedikit menggelembung atau
cembung. Berdasarkan pengamatan terhadap karakter makroskopis isolat
G.boninense yang ditumbuhkan pada media PDA menunjukkan bahwa isolat G.
boninense mempunyai miselia yang padat dan cenderung berktekstur kasar,
mempunyai permukaan yang bergelombang dan pada bagian tengah permukaan
membentuk cincin melingkar (Gambar 3.1).
Tabel 3.1. Karakteristik biakan isolat Ganoderma boninense pada media PDA
Karakteristik Deskripsi
Waktu untuk tumbuh 8-9 hari
Kepadatan miselia Padat
Tekstur miselia Kasar
Tekstur permukaan koloni Cukup bergelombang
Cincin pada permukaan koloni Ada
Warna permukaan koloni Putih
Warna pada bagian bawah koloni Coklat kekuningan
3000 pb
1000 pb
600 pb
Gambar 3.3. Pohon filogeni isolat Ganoderma boninense dengan isolat dari
beberapa negara yang diambil dari Genbank
3.5.3 Karakter Morfologi Aktinomiset
Semua isolat aktinomiset mempunyai miselium aerial dan mempunyai tipe
rantai spora yang berbeda. Isolat dengan kode AKT19, AKT28 dan AKT52
mempunyai bentuk rantai spora rectiflexibles sedangkan isolat kode AKTb,
AKT41, AKT56 dan AKT57 menunjukkan bentuk rantai spora verticiliate
(Tabel 3.3). Warna koloni aktinomiset isolat AKT19, AKT28 dan AKT52
berwarna abu abu dan menghasilkan pigmen berwarna kuning pada media ISP
2, sedangkan pada media YSA isolat tersebut menunjukkan warna koloni dan
warna permukaan koloni abu abu. Isolat AKTb dan AKT41 menunjukkan koloni
berwarna coklat dengan pigmen yang dihasilkan pada media berwarna coklat
(Lampiran 1)
Pada media YSA isolat AKTb dan AKT41 terdapat perubahan dimana
isolat AKTb menunjukkan warna koloni dan koloni bawah berwarna putih. Pada
isolat AKT41 baik warna koloni dan bagian bawah koloni keduanya berwana
coklat. Warna koloni pada isolat AKT56 berwarna abu abu, AKT57
menunjukkan koloni berwarna coklat namun kedua isolat tersebut menghasilkan
pigmen berwara coklat pada media ISP 2 dan YSA (Tabel 3.3).
Tabel 3.3. Karakteristik morfologi aktinomiset
Kode Isolat
Parameter
AKTb AKT19 AKT28 AKT41 AKT52 AKT56 AKT57
Aerial mycelium + + + + + + +
Bentuk rantai spora
Rectiflexibiles - + + - + - -
Spirales - - - - - - -
Vertilicilate + - - + - + +
Rectinaculiaperti - - - - - - -
Warna koloni, miselium dan pigmen pada medim YSA
abu-
Warna koloni putih coklat coklat abu-abu coklat coklat
abu
Produksi pigmen - - - - - - -
abu-
Koloni bawah putih coklat coklat abu-abu coklat coklat
abu
Warna koloni, miselium dan pigmen pada medim ISP
Warna koloni coklat abu-abu abu-abu coklat abu-abu abu-abu coklat
Produksi pigmen coklat kuning kuning - kuning - coklat
Koloni bawah coklat kuning kuning coklat kuning coklat coklat
26
Tabel 3.4. Hasil uji daya hambat aktinomiset terhadap Ganoderma boninense
Jari-jari Persentase
Perlakuan Terhambat (cm) penghambatan (%)
Rata-rata ± Stdeva Rata-rata ± Stdeva
Isolat AKTb 1,73 ± 0,05bc 45,00 ± 5,00bc
Isolat AKT19 0,00 ± 0,00d 100,00 ± 0,00a
Isolat AKT28 0,00 ± 0,00d 100,00 ± 0,00a
Isolat AKT41 1,37 ± 0,32c 56,43 ± 12,38b
Isolat AKT52 0,00 ± 0,00d 100,00 ± 0,00a
Isolat AKT56 2,10 ± 0,17b 33,33 ± 9,11c
Isolat AKT57 1,57 ± 0,20c 50,13 ± 9,48bc
Kontrol 3,17 ± 0,20a 0,00 ± 0,00d
a Angka angka pada masing-masing perlakuan pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang sama
menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji Tukey pada taraf 5%
A B C D
E F G H
mengganggu fungsi membran sel, serta mengganggu sintesis protein dan asam
nukleat cendawan patogen (Purnomo et al. 2018).
Salah satu kelebihan yang dimiliki oleh senyawa bioaktif yang dihasilkan
oleh aktinomiset adalah dapat menghambat berbagai pertumbuhan cendawan
patogen atau disebut dengan Broad range target. Amfoterisin yang diproduksi
oleh Streptomyces nodosus merupakan salah satu contoh antifungi yang
memiliki broad range target. Polioksin mampu menghambat sintesis khitin
Alternaria kikuchiana, Pyricularia oryzae, dan Candida albicans (Kimura dan
Bugg 2003). Kelebihan lainnya dari senyawa bioaktif yang dihasilkan oleh
aktinomiset adalah dapat menghasilkan lebih dari satu kemampuan biologis,
misalnya bafilomisin yang dihasilkan oleh sebagian besar Streptomyces spp.
memiliki kemampuan sebagai antimikroba, antitumor, ataupun aktivitas
antiparasit (Yu et al. 2011).
A B C D
E F G H
A B C D
E F G H
kitinase dan β-1.3- glukanase yang berturut-turut dapat melisiskan senyawa kitin
dan glukan pada dinding sel cendawan. Enzim lain yang dihasilkan enzim
protease yang berguna dalam memecah senyawa protein pada sel cendawan.
Tabel 3.7. Kemampuan aktinomiset dalam mendegradasi substrat glukan dan kitin
Glukan Kitin
Isolat Indeks Indeks
Zona bening Zona bening
glukanase kitinase
AKTb 2,23 ± 0,32a 1,23 ± 0,25a 0,50 ± 0,10a 0,17 ± 0,02a
AKT19 0,40 ± 0,10b 0,31 ± 0,07b 0,27 ± 0,06ab 0,18 ± 0,04a
AKT28 0,47 ± 0,06b 0,39 ± 0,03b 0,37 ± 0,06b 0,31 ± 0,09a
AKT41 2,27 ± 0,40a 1,41 ± 0,44a 0,40 ± 0,10b 0,14 ± 0,02a
AKT52 0,37 ± 0,15b 0,27 ± 0,11b 0,30 ± 0,00b 0,25 ± 0,04a
AKT56 2,13 ± 0,12a 1,11 ± 0,11a 0,33 ± 0,12b 0,18 ± 0,11a
AKT57 1,70 ± 0,30a 1,13 ± 0,19b 0,47 ± 0,06b 0,14 ± 0,02a
a Angka angka pada masing-masing perlakuan pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang sama
menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji Tukey pada taraf 5%
A B C D
E F G
Gambar 3.7. Hasil uji aktivitas enzim glukanase A) AKTb; B) AKT19; C) AKT28;
D) AKT41; E) AKT52; F) AKT56; G) AKT57
A B C D
E F G
Gambar 3.8. Hasil uji aktivitas enzim kitinase A) AKTb; B) AKT19; C) AKT28;
D) AKT41; E) AKT52; F) AKT56; G) AKT57
33
A B C D
E F G
Gambar 3.9. Hasil uji aktivitas enzim selulase. A) AKTb; B) AKT19; C)
AKT28; D) AKT41; E) AKT52; F) AKT56; G) AKT57
Enzim selulosa merupakan salah satu enzim penting yang yang berperan
besar dalam perombakan bahan organik didalam tanah. Beberapa bakteri yang
diketahui dapat menghasilkan enzim selulase adalah Bacillus sp. (Sadhu et al.
2013; Irfan et al. 2012), Pseudomonas sp., Cellulomonas sp., Streptococcus sp.,
Lactobacillus sp. (Vinotha dan Maheswari 2014), serta kelompok aktinomiset
seperti Streptomyces sp. Aktinomiset merupakan kelompok mikroorganisme
yang mempunyai peranan penting menghasilkan enzim selulase untuk
mendekomposisi bahan organik (Das et al. 2014).
34
Tabel 3.9. Kemampuan isolat aktinomiset dalam melarutkan fosfat, nitrogen dan
penghasil Indole acetic acid (IAA)
Pelarutan fosfat Penambat N
Penghasil
Isolat Ketebalan
Zona beninga Indeks fosfatasea IAA
cincin (cm)
AKTb 2,33 ± 0,15a 2,71 ± 0,05bc 0,3 cm +
AKT19 0,00 ± 0,00b 0,00 ± 0,00c - +
AKT28 0,00 ± 0,00b 0,00 ± 0,00c 0,2 cm +
AKT41 2,60 ± 0,40a 3,14 ± 0,75b 0,2 cm +
AKT52 0,00 ± 0,00b 0,00 ± 0,00c - +
AKT56 3,00 ± 0,69a 6,64 ± 2,87a 0,3 cm +
AKT57 2,40 ± 0,10a 2,57 ± 0,09bc 0,3 cm +
a Angka angka pada masing-masing perlakuan pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang sama
menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji Tukey pada taraf 5%
Hasil ini didukung oleh Wahyudi et al. (2019) bahwa hasil identifikasi
molekuler terhadap isolat aktinomiset yang mampu untuk melarutkan fosfat,
mengikat nitrogen dan menghasilkan senyawa IAA di dominasi dari genus
Steptomyceces. Genus lain yang juga bepotensi sebagai pelarut fosfat dan
mengikat nitrogen yaitu dari genus Micrococus, Micromonospora, dan
35
A B C D
E F G
Gambar 3.10. Hasil uji aktivitas enzim fosfatase pada beberapa isolat aktinomiset
A) AKTb; B) AKT19; C) AKT28; D) AKT41; E) AKT52; F)
AKT56; G) AKT57
Ketersediaan P ditanah tersedia dalam bentuk rendah dan cenderung
terikat sehingga harus dihidrolisis terlebih dahulu menggunakan enzim fosfatase
sehingga bersifat anorganik dan tersedia bagi tanaman (Ramansyah dan Sudiana,
2010). Fosfor (P) di dalam tanah biasanya berbentuk senyawa yang tidak mudah
larut yang terdapat pada batuan, mineral, dan deposit (Wahdi et al. 2016).
Tanaman menyerap fosfor dalam bentuk ion H2PO4- (utama) dan HPO42-
(sedikit) (Perwitasari et al. 2012). Bakteri pelarut fosfat berperan pada
mineralisasi fosfat organik melalui produksi enzim fosfatase. Enzim fosfatase
dalam tanah berfungsi pada proses hidrolisis P organik menjadi fosfat anorganik
yaitu H2PO4- dan HPO42- yang menjadi tersedia bagi tanaman (Widawati 2015).
Aktinomiset yang melarutkan fosfat dapat menghasilkan semacam asam organik
seperti asam monokarboksilat, hidroksi monokarboksilat (laktat, glusenat,
glikolat), monokarboksilat, ketoglusenat, dekarboksilat, hidroksi dikarboksilat,
dan asam trikarboksilat hidroksi untuk melarutkan fosfat anorganik (Lal 2002).
Mikrob yang dapat memutus ikatan antara fosfat membentuk zona bening di
sekeliling koloninya (Wahdi et al. 2016).
Hasil pengujian terhadap kemampuan menambat nitrogen menunjukkan
bahwa sebagian besar isolat aktinomiset dapat menambat nitrogen kecuali isolat
AKT19 dan AKT28 (Gambar 3.11). Pada isolat AKT19 dan AKT28 tidak
ditemukan cicin kabut yang merupakan ciri khas bakteri yang menambat
Nitrogen. Media NFB umumnya digunakan untuk mengisolasi bakteri penambat
nitrogen nonsimbiotik seperti Azospirillum spp (Cassan et al. 2015). Salah satu
karakteristik bakteri yang diketahui dapat melarutkan nitrogen yaitu membentuk
pelikel atau cincin dan mengakibatkan perubahan warna media NfB dari warna
kuning menjadi kuning kebiruan (Islam et al. 2019). Pembentukan pelikel
menjadi ciri pertumbuhan bakteri penambat nitrogen nonsimbiotik yang
36
A
A B C D E F G
D
Gambar 3.11. Hasil uji pengikatan senyawa nitrogen oleh isolat aktinomiset
A) AKTb; B) AKT19; C) AKT28; D) AKT41; E) AKT52; F)
AKT56; G) AKT57).
Gupta et al. (2014) melaporkan bahwa isolat yang diketahui dapat
menambat nitrogen, dan fosfat sebagian besar juga menghasilkan senyawa IAA
(Indole-3-Acetic Acid ) yang berperan untuk meningkatkan pertumbuhan
tanaman. IAA berfungsi sebagai hormon penting dalam memacu perkembangan
perakaran tanaman, meningkatkan ketahanan terhadap patogen dan memacu
pertumbuhan tanaman (Joshi dan Bath 2011). Sementara Nitrogen diperlukan
dalam sintesis klorofil, protein, enzim, DNA dan RNA (Santi et al. 2013).
Nitrogen bebas difiksasi oleh mikroorganisme menjadi ammonia dengan
bantuan enzim nitrogenase.
A B C D E F G H
Gambar 3.12. Hasil uji produksi hormon IAA oleh isolat aktinomiset A) AKTb;
B) AKT19; C) AKT28; D) AKT41; E) AKT52; F) AKT56; G)
AKT57.
3.5.6 Karakter Molekuler Isolat Aktinomiset
Hasil amplifikasi gen 16S Rrna pada isolat aktinomiset terpilih
menunjukkan hasil positif dan didapatkan pita DNA berukuran ± 1100 pasang
basa (Gambar 3.13). Hasil perunutan nukleotida terhadap AKT19, AKT28 dan
AKT52 juga menunjukan niali yang sama yaitu 1100 bp (Lampiran 5). Analisis
kesejajaran menunjukkan bahwa isolat AKT19, AKT28 dan AKT52 yang
37
3000 pb
1100 pb
1000 pb
A B C
D E F
1 2 2
Kb
1 1 2
Kb
590 Pb
500 Pb
Gambar 3.15. Visualisasi pita DNA isolat Trichoderma spp hasil amplifikasi
menggunakan primer ITS 1 dan ITS 4 pada gel agarose 0,1%
dengan penanda DNA 1 kb (SMOBIO). (1) Isolat
Trichoderma TGLP, (2) Isolat Trichoderma TSU.
Isolat Trichoderma TSU memiliki sepuluh cendawan Trichoderma yang
berasal dari China, USA, Indonesia, Kanada dan juga Guadalupe. Homologi isolat
Trichoderma TSU mempunyai kemiripan paing tinggi dengan isolat Trichoderma
yunnanense CBS 121219 dan T. yunnanense strain YMF1.01694 dengan nilai
persentase sebesar 99,11%. Kebanyakan Trichoderma yunanense diperoleh dari
tanah perakaran seperti Trichoderma yunnanense CBS 121219 yang didapat dari
tanah perakaran tembakau, Trichoderma hamatum DAOM 167057 dari tanah
perakran hutan cemara dan juga Trichoderma cerebriforme BPI GJS85-245 dari
kayu yang bersal dari Sulawesi Utara (Tabel 3.15, Gambar 3.17).
41
Tabel 3.14. Homologi runutan nukleotida isolat Trichoderma TGLP dengan isolat
pada Genbank
Gambar 3.16. Pohon filogeni isolat Trichoderma TGLP dengan isolat dari
beberapa negara yang diambil dari Genbank
Trichoderma asperelum yang diaplikasan pada fase pembibitan kelapa
sawit diketahui dapat menurunkan insidensi dan keparahan akibat infeksi G.
boninense (Jawak et al. 2018). Menurut Haryadi et a.l (2019), T. asperelum
dapat menekan pertumbuhan G. boninense 12,5 sampai dengan 91%. Aplikasi
metabolit Trichoderma asperellum dapat menekan keparan penyakit layu dan
juga dapat bertindak sebagai PGPR yang memacu pertumbuhan akar tanaman
tomat (Simamora et al. 2021). Trichoderma asperelum juga diketahui
mempunyai potensi daya hambat yang tinggi dengan mampu menekan
pertumbuhan miselia Fusarium oxysporum sampai dengan 71% dan juga mampu
menghasilkan enzim kitinase dan glukanase dalam jumlah yang tinggi (Komi et
al. 2015). Agens antagonis ini juga diketahui mampu menekan pertumbuhan
Phytoptora capsici dan juga C. gleiosporiodes (Quiros et al. 2018).
Trichoderma yunanense dilaporkan dapat meningkatkan efisiensi
penyeraan air dan juga meningkatkan laju fotosintesis dan juga meningkatkan
biomassa tanaman gandum dibawah cekaman salinitas tinggi (Oljira et al, 2020).
T. yunansense berdasarkan Quiros et al (2018) juga mempunyai potensi yang
kuat untuk menekan patogen seperti Phytoptora capsici dan jua C.
gleiosporiodes. Pengujian dual culture yang dilakukan terhadap dua cendawan
42
Gambar 3.17. Pohon filogeni isolat Trichoderma TSU dengan isolat dari
beberapa negara yang diambil dari Genebank
3.5.9 Potensi Trichoderma spp dalam menghambat G. boninense
Pengaruh Dual culture dan Aktivitas Senyawa Volatile. Berdasarkan
pengujian terhadap kemampuan dalam menghambat pertumbuhan G. boninense
menunjukkan bawah kedua isolat berpotensi sebagai agens hayati. Dari
pengujian antibiosis menunjukkan bawah isolat Trichodema TGLP mempunyai
kemampuan daya hambat yang paling tinngi yaitu sebesar 93,9% sedangkan
isolat Trichoderma TSU dapat menghambat pertumbuhan G. boninense sebesar
90,9%. Pada pengujian senyawa VOC yang dihasilkan menunjukkan isolat
Trichoderma TGLP juga mempunyai kemampuan paling tinggi 70,56% dan
isolat Trichoderma TSU sebesar 55,2% (Tabel 3.16, Gambar 3.18).
Tabel 3.16. Pengujian potensi daya hambat isolat Trichoderma sp terhadap
Ganoderma boninense.
Aktivitas Antibiosis Aktivitas senyawa VOC
Isolat
Rata-rata ± Stdev Rata-rata ± Stdev
Trichoderma TGLP 93,9 ± 0,69a 70,56 ± 5,87a
Trichoderma TSU 90,9 ± 1,09a 55,2 ± 9,10a
a Angka angka pada masing-masing perlakuan pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang sama
menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji Tukey pada taraf 5%
43
A B C
D E F
Gambar 3.18. Uji potensi daya hambat. A) Dual culture Trichoderma TGLP;
B) Dual culture Trichoderma TSU, C) Kontrol; D) VOC
Trichoderma TGLP; E) VOC Trichoderma TSU; F) Kontrol
Trichoderma sp dapat menghasilkan senyawa volatile yang diketahui
dapat menekan pertumbuhan G. boninense pada pengujian secara in vitro.
Trichoderma sp menghasilkan senyawa metabolit sekunder yaitu 6-pentil-alpha-
pyrone (6PAP) yang berperan dalam menghambat pertumbuhan cendawan G.
boninense (Siddiquee et al. 2009). Kemampuan Trichoderma sp dalam
menghasilkan senyawa volatil diduga sebagai reaksi pertahanan diri pada saat
terjadi penyerangan dari cendawan patogen. T. harzianum menghasilkan CO2
dan etanol sebagai respon dalam menghambat pertumbuhan cendawan patogen
A. bisporus. Selain itu, Trichoderma sp juga menghasilkan senyawa volatil yang
tergolong etilen, aldehid, keton, hidrogen sianida dan peptide yang berperan
sebagai senyawa penghambat pertumbuhan cendawan patogen. Menurut
Ruangwong et al. (2021), Volatil yang paling dominan ditemukan spesies
Trichoderma lainnya adalah fluoro (trinitro) metana, diikuti oleh 2-feniletanol
(2-PE).
Produksi senyawa VOC dianggap sebagai salah satu mekanisme antiniosis
yang paling efektif dari spesies Trichoderma sp. spesies Trichoderma sp mampu
menghasilkan senyawa VOC tidak hanya sebagai antimikroba, namun juga dapat
menginduksi respon pertahanan tanaman dan mendorong pertumbuhan tanaman
(wonglom et al, 2020; Phoka et al, 2020). Senyawa VOC yang dilepaskan secara
langsung oleh mikroorganisme antagonis dapat menyebabkan perubahan
abnormal pada patogen dan melemahkan interaksi antara patogen dan tanaman
inang (Elsheriny et al, 2020; Intana et al. 2021). Beberapa patogen yang
diketahui dapat dibatasi pertumbuhannya dengan VOC Trichoderma sp
44
glukosa secara berurutan dari ujung non-pereduksi dan kedua melalui endo-β-
1,3-glukanase (EC3.2.1.39) yang memotong ikatan secara acak rantai
polisakarida yang mengakibatkan terjadinya pelepasan oligosakarida yang lebih
kecil dan glukosa (Martin et al, 2007)
Tabel 3.17. Pengujian aktivitas enzim kitinase dan glukanase isolat Trichoderma
spp.
Indeks kitinase Indeks glukanase
Isolat
Rata-rata ± Stdev Rata-rata ± Stdev
Trichoderma TGLP 0,29 ± 0,63b 1,07 ± 0,13a
Trichoderma TSU 0,87 ± 0,09a 0,74 ± 0,15b
a Angka angka pada masing-masing perlakuan pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang sama
menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji Tukey pada taraf 5%
A B C D
Gambar 3.19. Uji aktivitas enzim kitinase dan glukanase. A) kitinase
Trichoderma TGLP; B) Kitinase Trichoderma TSU; C)
Glucanse Trichoderma TGLP; D) Glukanase Trichoderma
TSU.
β-1,3-glukanase merupakan enzim yang dapat mendegradasi dinding
cendawan patogen yang berkaitan erat dengan mekanisme patogenesitas
(Pathogenesis related protein/ PR-Protein). Dalam kelas-kelas pathogenesis
related protein, β-1,3-glukanase termasuk dalam PR-2 protein yang merupakan
kelas protein yang memiliki aktivitas (1,3) β-endoglukanase secara in vitro.
Enzim β-glukanase bekerja pada ikatan β-glikosidik dalam struktur β-glukan.
Penggolongan enzim ini pun cukup beragam tergantung pada ikatan glikosidik
yang dihidrolisisnya. Enzim β-glukanase yang menghidrolisis ikatan β-1,3
dikenal sebagai laminarinase (EC 3.2.1.39) (Doxey et al. 2007). Menurut
Tingkat spesifikasi aktivitas dari β-glukanase tergantung pada perbedaan
struktur geometri molekul glukan (Celestino et al. 2006).
Kemampuan dalam Melarutkan Fosfat. Berdasarkan pengujian
pelarutan fosfat yang dilakukan menunjukkan bahwa isolat Trichoderma TGLP
dan isolat Trichoderma TSU tidak menunjukkan aktivitas pelarutan fosfat. Pada
media tumbuh yang digunakan tidak ditemukan adanya zona bening yang
menunjukkan aktivitas pelarutan fosfat oleh isolat Trichoderma spp. Hal ini
menunjukkan hasil yang berbeda dibandingkan dengan hasil penenelitian
lainnya bahwa isolat Trichoderma spp mampu untuk melarutkan fosfat pada
media Pikovskaya agar (Gambar 3.20).
Strain Trichoderma spp mempunyai kemampuan untuk menghasilkan ezim
fosfatase. Fosfatase merupakan salah satu enzim yang mempunyai peranan
46
A B C D
namun isolat yang sama yang diisolasi dari lokasi berbeda tidak menunjukkan
aktivitas pelarutan fosfat.
Kemampuan cendawan secara kualitatif dalam melarutkan fosfat
bervariasi tergantung sifat genetik dari masing-masing cendawan dalam
memproduksi asam organik yang berperan dalam menentukan kemampuan
pelarutan P (Chen et al. 2006; Mittal et al. 2008). Kemampuan cendawan dalam
melarutkan P fluktuatif, tidak semua isolat memiliki kemampuan yang sama
dalam melarutkan P, ini disebabkan produksi asam organik yang dibutuhkan
untuk melepaskan fosfat yang terikat Ca. Hal ini membuktikan bahwa semua
isolat Trichoderma spp. walaupun berasal dari daerah yang sama akan tetapi
memiliki kemampuan yang berbeda disetiap isolatnya.
Kemampuan dalam Menghasilkan Senyawa IAA. Pengujian
kemampuan dalam menghasilkan senyawa IAA menunjukkan bahawa kedua
isolat Trichoderma spp mempunyai kemampuan untuk menghsilkan IAA. Isolat
Trichoderma TSU mempunyai kemampuan yang lebih tinggi dibandingkan
dengan isolat Trichoderma TGLP (Gambar 3.21). Perbedaan warna pada isolat
dan warna pada blanko sebagai kontrol menunjukkan bahwa terdapat senyawa
IAA yang dihasilkan. Semakin merah atau pekat warna yang dihasilkan maka
senyawa yang dihasilkan semakin tinggi.
3.6 Simpulan
Pengujian daya hambat menunjukkan isolat aktinomiset mampu
menghambat G. boninense 33,33% sampai dengan 100%. Pengujiann dual
culture Isolat AKT19, AKT28 dan AKT52 mampu menghambat pertumbuhan
G. boninene hingga 100%. Perlakuan senyawa bioaktif 10% isolat AKT19
mampu menghambat pertumbuhan G. boninense 89,17% dan pengaruh senyawa
VOC isolat AKT52 mampu mengambat 20,23%. Aktinomiset yang potensial
adalah Isolat AKT19, AKT28 dan AKT52. Senyawa bioaktif isolat isolat
potensial dengan konsentrasi 3% mampu mengurangi biomassa G. boninense
sampai 83,67%. Semua isolat aktinomiset mampu menghasilkan enzim kitinase,
glukanase dan selulase. Semua isolat aktinomiset mampu melarutkan fosfat
namun isolat AKT19,AKT28 dan AKT52 tidak menunjukan aktifitas pelarutan
fosfat. Isolat aktinomiset mampu menghasilkan hormon IAA dan isolat yang
tidak dapat mengikat nitrogen hanya isolat AKT28.
Identifikasi molekuler aktinomiset potensial menunjukkan kedekatan
dengan Streptomyces gelaticus strain NRRL B-2928. Uji dual culture
Trichoderma TGLP mampu menghambat G. boninense 93,9% dan Trichoderma
TSU sebesar 90,9%. Aktivitas penghambatan oleh senyawa VOC Trichoderma
TGLP sebesar 70,56% dan Trichoderma TSU sebesar 55,2%. Semua
Trichoderma mampu menghasilkan enzin ktitinase, glukanase dan hormon IAA.
Identifikasi molekuler Trichoderma TGLP mempunyai kedekatan dengan
Trichoderma asperellum unilaGT sementara Trichoderma TSU dengan
Trichoderma yunnanense CBS 121219.
IV KOMBINASI AKTINOMISET DAN Trichoderma spp DALAM
MENEKAN PENYAKIT BUSUK PANGKAL
BATANG PADA BIBIT KELAPA SAWIT
4.1 Abstrak
Pengendalian hayati dengan menggunakan agens antagonis secara tunggal
sering kali tidak efektif menekan perkembangan patogen penyebab penyakit
tanaman. Kombinasi agens hayati diharapkan mampu memberikan beragam
mekanisme pengendalian sehingga dapat menekan perkembangan penyakit dengan
efektif. Salah satu faktor penting dalam menentukan kombinasi agens hayati adalah
kompatibilitas setiap agens hayati yang akan digunakan. Penelitian ini bertujuan
untuk menentukan tingkat kompatibilitas aktinomiset dan Trichoderma spp. dan
potensinya dalam menekan penyakit busuk pangkal batang pada bibit kelapa sawit.
Tahapan penelitian meliputi seleksi tingkat kompatibilitas menggunakan uji dual
culture dan pengujian pengaruh kombinasi aktinomiset dan Trichoderma spp pada
bibit kelapa sawit (in vivo). Pengujian tingkat kompatibilitas aktinomiset dan
Trichoderma TSU menunjukkan penghambatan paling tinggi oleh isolat AKT19
dengan persentase 76,10%. Hambatan paling rendah ditunjukkan oleh isolat
AKT56 dengan 8,33%. Kompatibilitas isolat aktinomiset dengan isolat
Trichoderma TGLP juga menunjukkan hasil yang sama yaitu menunjukkan adanya
aktivitas penghambatan dengan nilai tertinggi ditunjukan oleh isolat AKT52
sebesar 73,53% dan diikuti dengan isolat AKT19 dan AKT28 dengan masing
masing persentase 72,97%. Kombinasi isolat AKT19 dengan Trichoderma TSU
menunjukkan nilai diameter batang paling tinggi dengan 30,28 mm dan nilai berat
basah dan berat kering paling tinggi. Sementara pada tinggi tanaman perlakuan
Trichoderma TSU tunggal paling tinggi dengan 102,17 cm. Pada kombinasi isolat
AKT19 dengan Trichoderma TGLP menunjukkan insidensi dan keparahan
penyakit paling rendah
4.2 Abstract
Biological control using single antagonistic agents is often ineffective in
suppressing the development of plant disease-causing pathogens. The combination
of biological agents is expected to be able to provide various control mechanisms
so that they can effectively suppress disease development. One of the important
factors in determining the combination of biological agents is the compatibility of
each biological agent to be used. This study aims to determine the level of
compatibility of actinomycetes and Trichoderma spp and their potential in
suppressing stem rot disease in palm oil seedlings. The research stages included
selecting the compatibility level using a dual culture test and testing the effect of
the combination of actinomycetes and Trichoderma sp on oil palm seedlings (In
vivo). Testing the compatibility level of actinomycetes and Trichoderma TSU
showed inhibition where the highest inhibition was shown by isolate AKT19 with
a percentage of 76.10%. The lowest resistance was shown by isolate AKT56 with
8.33%. The compatibility of actinomycetes isolates with Trichoderma TGLP
50
isolates also showed the same results, which indicated the presence of inhibitory
activity with the highest value shown by isolate AKT52 at 73.53% and followed by
isolate AKT19 and AKT28 with each percentage of 72.97%. The combination of
isolate AKT19 with Trichoderma TSU showed the highest stem diameter value
with 30.28 mm and the highest wet and dry weight values. Meanwhile, the height
of the single Trichoderma TSU treatment plant was the highest with 102.17 cm.
The combination of isolate AKT19 with Trichoderma TGLP showed the lowest
incidence and severity of disease.
4.3 Pendahuluan
Beberapa tahun terakhir, kombinasi agens antagonis dengan berbagai
mekanisme pengendalian banyak digunakan untuk menekan perkembangan
penyakit. Kombinasi agens antagonis juga diharapkan mampu meningkatkan
efisiensi dari agens biokontrol (Chaube dan Sharma 2002). Pengendalian hayati
dengan menggunakaan mikroorganisme antagonis untuk menekan perkembangan
penyakit tanaman semakin banyak digunakan dalam kegiatan pertanian (Feron dan
Deguine 2005; van Lenteren et al. 2017). Namun, selama bertahun-tahun
penggunaan kombinasi atau konsorsium yang terdiri dari berbagai agens antagonis
banyak diabaikan, baik konsorsium bakteri dengan bakteri antagonis, bakteri
dengan cendawan antagonis ataupun cendawan dengan cendawan antagonis.
Aplikasi agens hayati dengan memanfaatkan kombinasi agens antagonis
dalam kegiatan pertanian masih rendah jika dibandingkan dengan kegiatan lainnya
seperti pengolahan makanan (Ray dan Didier 2014), pengomposan bahan organik,
bioremediasi dan juga berbagai pengolahan air limbah (Brenner et al. 2008; Brune
dan Bayer 2012). Berdasarkan kajian Johns et al. (2016), mengemukakan bahwa
gabungan agens antagonis yang mempunyai berbagai mekanisme pengendalian
sangat ditekankan untuk memastikan kinerja pengendalian yang konsisten terhadap
berbagai patogen tanaman. Pendekatan ini dilakukan dengan meniru struktur
mikroba yang berada di tanah supresif dimana mikroba antagonis mampu
meningkatkan kesuburan dan juga menekan perkembangan patogen tanaman
(Raaijmakers dan Mazzola 2016)
Beberapa agens antagonis yang pernah dilakukan digunakan sebagai
konsorsium atau kombinasi yaitu Pseudomonas aeruginosa MBAA1, Bacillus
cereus MBAA2 dan Bacillus amyloliquefaciens MBAA3 untuk mengendaliakn
penyakit rebah (Thakkar dan Saraf 2014), Pseudomonas aeruginosa MBAA1,
Bacillus cereus MBAA2 dan Bacillus amyloliquefaciens MBAA3 untuk
mengendalikan penyakit busuk akar (Jain et al. 2015); Bacillus sp. EPB10, Bacillus
sp. EPB56 dan Pseudomonas fluorescens Pf1 mengendalikan penyakit layu
Fusarium pada pisang (Mathiyazhagan et al. 2014); Pseudomonas putida C4r4,
Pseudomonas putida Jrb2, Bacillus cereus Jrb1, Bacillus cereus Jrb5, Bacillus
flexus Tvpr1, Achromobacter spp. Gcr1 dan Rhizobium spp. Lpr2 untuk penyakit
layu fusarium pada pisang (Thangavelu dan Gopi 2015); dan Stenotrophomonas
maltophilia AA1, Ochrobactrum pituitosum AA2, Curtobacterium pusillum AA3,
Enterobacter ludwigii AA4, Chryseobacterium indologenes AA5, Herbaspirillum
frisingense AA6 dan Pseudomonas putida AA7 untuk menekan Fusarium sp pada
jagung (Niu et al. 2017).
51
Kombinasi dari berbagai galur dan spesies agens antagonis diharapkan dapat
meningkatkan potensi dan keefektifan dalam menekan berbagai penyakit tanaman
dibandingkan menggunakan agens biologis tunggal (Baez-Rogelio et al. 2017).
Menggabungkan mikroorganisme dengan mekanisme pengendalian yang beragam
sangat penting dalam kombinasi agens hayati. Hal ini diharapkan akan semakin
banyak patogen yang dapat dikendalikan dan mampu tetap bersifat antagonis pada
berbagai kondisi lingkungan (Kannan dan Sureendar 2009). Salah satu kendala
aplikasi agens antagonis yaitu evaluasi tingkat kompatibilitas diantara setiap agens
antagonis. Sebagian besar, evaluasi hanya dilakukan dengan menentukan
keefektifan dalam menekan perkembangan patogen, namun potensi agens hayati
yang saling bersifat antagonis kurang banyak diteliti (Stockwell et al. 2011).
Penggunaan konsorsium atau kombinasi agens antagonis tidak banyak digunakan
disebabkan oleh beberapa hal diantaranya yaitu sulitnya menentukan mekanisme
spesifik dari setiap agens antagonis dan juga peran fisiologisnya (Mittal et al. 2017).
Menurut Ghoul dan Mitri (2016), kombinasi agens antagonis yang tidak kompatibel
disebabkan oleh adanya rantai metabolisme yaitu setiap mikroorganisme akan
menghasilkan senyawa metabolisme yang bersifat antimikrob yang dapat
memengaruhi agens antagonis yang lainnya.
Kombinasi berbagai aktinomiset dengan berbagai Trichoderm spp sebagai
agens pengendalian hayati penyakit busuk pangkal batang G. boninense pada
kelapa sawit belum pernah dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan
kompatibilitas dari isolat aktinomiset dan Trichoderma spp dan kemampuannya
dalam menekan perkembangan penyakit BPB pada bibit kelapa sawit
4.4 Metode
dengan diameter 0,5 cm yang berumur 9 hari diletakan pada pada sisi lain cawan
petri. Cawan selanjunya diinkubasikan pada suhu ruang dan dilakukan
pengamatan terhadap zona hambat yang terbentuk. Jika tidak terdapat zona
hambat yang terbentuk di antara aktinomiset dan Trichoderma spp. maka kedua
agens hayati tersebut memiliki kompatibilitas.
XxV
Populasi bakteri =
pxrxg
Keterangan:
X = rataan koloni aktinomiset dengan faktor pengenceran ke - (cfu/mL)
V = volume pengenceran media (mL)
p = faktor pengenceran ke -
r = volume suspensi yang disebar pada cawan (µL)
g = bobot media yang digunakan (g).
Tabel 4.1 Kriteria skor kerusakan akar kelapa sawit (Nildayanti 2011)
Nekrotik Keterangan
Nilai Skor
akar (%)
Tidak ada nekrotik atau nekrotik bukan
0 0≤x<1
disebabkan oleh infeksi G. boninense
1 1 ≤ x < 20 Nekrotik hanya meluas hingga 20% (ringan)
2 20 ≤ x < 40 Nekrotik hanya meluas hingga 40% (sedang)
3 40 ≤ x < 60 Nekrotik hanya meluas hingga 60% (berat)
4 60 ≤ x < 100 Nekrotik meluas hingga 100% (sangat parah)
𝑛
K= x 100%
𝑁
A B C D
E F G H
A
A B
B C
C D
D
EE FF G
G H
H
Tabel 4.3. Pengaruh aplikasi aktinomiset dan Trichoderma spp. dalam menekan
penyakit busuk pangkal batang pada bibit kelapa sawit
Pengaruh Terhadap Parameter Penyakit
Perlakuan Insidensi Keparahan Keefektifan
Penyakit (%) Penyakit (%) Pengendalian (%)
AKTB 88,67 ± 19,63a 44,44 ± 12,73abc 16,67 ± 22,04ab
AKT19 44,00 ± 19,05bc 11,11 ± 4,82cd 50,00 ± 14,44a
Isolat TSU 77,33 ± 19,63ab 38,89 ± 4,82abcd 22,22 ± 12,73ab
Isolat TGLP 77,33 ± 19,63ab 38,89 ± 9,62abcd 22,22 ± 4,81ab
AKT B x TSU 44,00 ± 19,05bc 16,67 ± 8,34bcd 44,44 ± 4,81a
AKT B x TGLP 77,33 ± 19,05ab 36,11 ± 4,82abcd 25,00 ± 8,33ab
AKT 19 x TSU 44,00 ± 19,05bc 22,22 ± 9,62bcd 38,89 ± 17,35ab
AKT 19 x TGLP 33,33 ± 33,33c 8,33 ± 8,34d 52,78 ± 20,97a
Kontrol 1 100,00 ± 0,00a 61,11 ± 12,73a 0,00 ± 0,00b
Kontrol 2 77,33 ± 19,63ab 47,22 ± 25,46ab 13,89 ± 17,35ab
aAngka angka pada masing-masing perlakuan pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang
sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji Tukey pada taraf 5%
A B C
D E
Gambar 4.3. Gejala penyakit pada akar bibit kelapa sawit A) akar kelapa sawit
sehat; B) perakaran kelapa sawit yang mengering terkolonisasi
Ganoderma boninense dan pangkal batang menjadi lebih lunak; C)
perakaran kelapa sawit yang nekrosis dan terkolonisasi; D,E) tubuh
buah yang terbentuk pada akar kelapa sawit.
Beberapa kombinasi agens antagonis seperti aktinomiset dan Trichoderma
spp. dapat bekerja menekan perkembangan patogen tular tanah termasuk G.
boninense dengan berbagai mekanisme seperti kompetisi dalam mencari sumber
nutrisi dan juga kompetisi ruang (Wei et al. 2015; Ho et al. 2016). Mekanisme
antagonis juga dapat secara langsung dengan menghasilkan senyawa antimikrob
yang bersifat toksin bagi patogen dan menggangu koloni patogen atau dengan
59
Tabel 4.4. Pengaruh aplikasi aktinomiset dan Trichoderma spp dalam memacu
pertumbuhan bibit kelapa sawit
Pengaruh Perlakuan Agens Hayati Terhadap Parameter Pertumbuhan
Perlakuan Tinngi Tanaman Diameter Batang Berat Berat
(cm) (mm) basah (gr) kering (gr)
AKTB 98,97 ± 5,75a 28,77 ± 0,84a 23,40 ± 3,19a 10,29 ± 1,13ab
AKT19 100,67 ± 2,86a 28,11 ± 1,98ab 20,49 ± 5,06a 8,33 ± 1,99ab
Isolat TSU 96,97 ± 2,06ab 29,29 ± 2,69a 28,67 ± 3,59a 11,92 ± 1,96a
Isolat TGLP 102,17 ± 5,58a 28,51 ± 1,23ab 24,51 ± 3,22a 9,87 ± 1,65ab
AKTB x TSU 99,73 ± 1,36a 29,39 ± 1,20a 26,33 ± 7,21a 10,63 ± 2,62ab
AKTB x TGLP 101,10 ± 4,76a 29,13 ± 0,65a 24,39 ± 2,05a 9,80 ± 0,56ab
AKT19 x TSU 95,43 ± 5,92abc 30,28 ± 1,43a 29,84 ± 5,85a 11,62 ± 1,91a
AKT19 x TGLP 98,4 ± 3,89ab 28,70 ± 1,90ab 24,08 ± 6,45a 9,51 ± 2,71ab
Kontrol 0 92,40 ± 3,03abc 27,68 ± 1,28abc 28,25 ± 10,43a 11,07 ± 3,60ab
Kontrol 1 87,10 ± 0,46bc 24,11 ± 1,93bc 14,70 ± 3,74a 5,41 ± 1,29b
Kontrol 2 85,23 ± 2,84c 23,21 ± 1,01cc 25,69 ± 6,75a 9,02 ± 2,22ab
a Angka angka pada masing-masing perlakuan pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang sama
4.6 Simpulan
Kombinasi aktinomiset dan Trichoderma spp menunjukkan reaksi yang
bersifat tidak kompatibel. Semua isolat aktinomiset mampu menghambat
pertumbuhan Trichoderm sp. Isolat AKT28 dan AKT19 menunjukkan hambatan
paling tinggi terhadap pertumbuhan Trichoderma TSU dengan persentase
76,10% dan 76,67%. Hambatan paling tinggi pada isolat Trichoderma TGLP
paling tinggi ditunjukan oleh isolat AKT52 dengan 73,53% yang diikuti isolat
AKT19 dan AKT52 dengan nilai yang sama yaitu 72,97%. Perlakuan kombinasi
isolat AKT19 dan Trichoderma TSU menunjukkan nilai diameter batang, berat
basah dan berat kering paling tinggi sementara isolat Trichoderma TGLP
menunjukkan tinggi tanaman paling tinggi. Kombinasi isolat AKT19 dengan
Trichoderma TGLP menunjukkan nilai insidensi dan keparahan penyakit paling
rendah.
V PEMBAHASAN UMUM
al. (2015) dan Loc et al. (2020) bahwa Trichoderma asperelum mempunyai ukuran
pita DNA sebesar ± 600 bp dan juga mampu menghasilkan berbagai enzim
pendegradasi dinding sel. Trichoderma TSU memiliki homologi dengan
Trichoderma yunnanense CBS 121219 yang berasal dari China. Menurut Coulibaly
et al. (2022), Trichoderma yunnanense mempunyai ukuran basa 600 bp dan efektif
untuk menekan pertumbuhan patogen tular tanah.
Pada pengujian, isolat AKT19, isolat AKT28, dan isolat AKT52 memiliki
tidak mempunyai kompabilitas dengan Trichoderma TSU ataupun Trichoderma
TGLP yang ditunjukkan dengan persentase penghambatan sebesar >70%. Selain
itu, isolat B, isolat B x TSU, dan isolat B x TGLP menunjukkan nilai tinggi tanaman
dan diameter batang sawit tertinggi dibandingkan perlakuan lainnya. Terhadap
paramater penyakit menunjukkan bahwa isolat AKT19 dan isolat AKT19 x TGLP
menunjukkan nilai tertinggi terhadap penekanan insidensi dan keparahan penyakit
dan memiliki nilai keefektifan pengedalian sekitar ≥50%. Trichoderma sp. dapat
menginduksi hidrogen peroksida H2O2 pada akar primer dan akar lateral yang dapat
menekan infeksi G. boninense. H2O2 juga berperan sebagai pengenalan elisitor dari
patogen. Trichoderma juga berperan dalam ketahanan tanaman melalui aktivitas
peningkatan asam jasmonat dan juga asam salisilat untuk mencegaf infeksi patogen
(Cornejo et al. 2011).
Aktinomiset mempunyai peran penting dalam melindungi tanaman dari
infeksi patogen. Menurut Patel et al. (2015), aktinomiset mamu menghasilkan
senyawa antifungal 2-(chloromethyl)-2-cyclopropyloxirane; 2,4-ditert-butylfenol
dan 1-ethylthio-3-methyl-1, dan 3-butadiene yang melindungi tanaman dari infeksi
G. boninense. selain dengan menghasilkan senyawa antibiotik, aktinomiset mampu
meningkatkan kandungan senyawa polifenol oksidase (PPO), enzim phenylalanine
ammonia-lyase (PAL) dan kandungan enzim β,1-3 glukanase pada tanaman yang
terinfeksi patogen (Hata et al. 2021)
Perlakuan tunggal ataupun kombinasi 2 agens antagonis (aktinomiset dan
Trichoderma) menunjukkan adanya kompabilitas terhadap peningkatan tinggi
tanaman dan menekan insidensi ataupun keparahan penyakit. Berdasarkan
pemaparan tesebut, terdapat potensi agens hayati untuk diaplikasikan secara
kombinasi. Beberapa kelebihan melakukan kombinasi agens hayati diantaranya
adalah semakin meningkatkan spektrum pengendalian menjadi lebih luas terhadap
beberapa patogen, dan juga mempunyai mekanisme kerja (mode of action) yang
beragam seperti poduksi antibiotik, produksi enzim pendegradasi, kompetisi ruang
dan juga menginduksi ketahahanan sistemik (Wei et al. 2015; Hu et al. 2016).
Namun, salah satu faktor yang harus diperhatikan adalah terkait dengan
megevaluasi tingkat kompatibilitas dari setiap agens antagonis yang akan dilakukan
VI SIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
1. Semua isolat aktinomiset mampu menghambat pertumbuhan G. boninense.
Isolat aktinomiset mampu menghambat pertumbuhan G. boninense dengan
kisaran antara 33,33% sampai dengan 100%.
2. Isolat AKT19, AKT28 dan AKT52 merupakan isolat yang paling potensial
menekan pertumbuhan G. boninense dengan persentase 100%
3. Semua isolat aktinomiset mampu menghasilkan enzim kitnase, glukanase,
selulase, dan hormon IAA. Isolat aktinomiset mampu mengikat nitrogen
namun tidak pada isolat AKT28. Isolat AKT19, AKT28 dan AKT52 tidak
mampu melarutkan fosfat.
4. Identifikasi molekuler aktinomiset potensial yaitu AKT19, AKT28 dan AKT52
menunjukkan kedekatan dengan Streptomyces gelaticus strain NRRL B-2928.
5. Uji dual culture Trichoderma TGLP mampu menghambat G. boninense 93,9%
dan Trichoderma TSU sebesar 90,9%. Aktivitas penghambatan oleh senyawa
VOC Trichoderma TGLP sebesar 70,56% dan Trichoderma TSU sebesar 55,
2%. Identifikasi molekuler Trichoderma TGLP mempunyai kedekatan dengan
Trichoderma asperellum strain 1A4 sementara Trichoderma TSU dengan
Trichoderma yunnanense CBS 121219.
6. Kombinasi aktinomiset dan Trichoderma spp menunjukkan reaksi yang
bersifat tidak kompatibel.
7. Perlakuan kombinasi isolat AKT19 dan Trichoderma TSU menunjukkan nilai
diameter batang, berat basah dan berat kering paling tinggi sementara isolat
Trichoderma TGLP menunjukkan nilai tinggi tanaman paling tinggi.
Kombinasi isolat AKT19 dengan Trichoderma TGLP menunjukkan nilai
insidensi dan keparahan penyakit palinh rendah
6.2 Saran
Saran dari penelitian ini yaitu perlu dilakukan pengujian terkait dengan jarak
waktu aplikasi yang paling efektif antara aplikasi aktinomiset dengan aplikasi
Trichoderma spp dengan harapan meningkatkan sinergi dan keefektifan
pengendalian G. boninense dilapangan. Pengujian terkait daya simpan dan
keefektifan waktu penyimpan terhadap viabilitas aktinomiset dan Trichoderma sp
media padat sangat perlu dilakukan pengujian lebih lanjut.
DAFTAR PUSTAKA
Abd-Elsalam KA, Aly IN, MA Abdel-Satar, Khalil MS dan Verreet JA. 2003. PCR
identification of Fusarium genus based on nuclear ribosomal-DNA sequence
data. African Journal of Biotechnology. 2 (4): 82-85.
Achmad dan Mulyaningsih. 2015. Pengaruh pH, penggoyangan media, dan ekstrak
daun sirih merah (Piper crocatum Linn.) terhadap pertumbuhan cendawan
Rhizoctonia sp. Jurnal Hortikultura. 25(2):150- 159
Achmad dan Pratomo, R. 2009. Pengaruh macam pH dan penggoyangan media
terhadap pertumbuhan cendawan Rhizoctonia. Jurnal Littri. 15(4): 192-6
Agustina NA. 2020. Efektivitas daya hambat asap cair tempurung kelapa (Cocus
nucifera) terhadap pertumbuhan jamur Ganoderma Boninense.
Agroprimatech. 3(2) : 79-82
Ahmad FI, Ahmad dan Khan MS. 2005. Indole acetic acid production by the
indigenous isolates of Azotobacter and Pseudomonas fluorescent in the
presence and absence of tryptophan. Turk J Biol. 29 (1), 29-34.
Akbar RA, Dini R, Dyah FK. 2017. Potensi aktinomisetes asal tanah perakaran
mangrove segara anakan cilacap sebagai penghasil anti-fungi terhadap
Candida albicans. Tropical Biodiversity and Biotechnology. 2(1) : 39-44
Alfizar, Marlina, Susanti F. 2013. Kemampuan antagonis Trichoderma sp terhadap
beberapa cendawan patogen in vitro. J. Floratek. 8(1) : 45-51.
Amini J, Agapoor Z, Ashengroph M. 2016. Evaluation of Streptomyces spp. against
Fusarium oxysporum f. sp. ciceris for the management of chickpea wilt.
Journal of Plant Protection Research. 56 (3): 257-264.
Anderson AS dan Wellington EMH. 2001. The taxonomy of Streptomyces and
related genera. International Journal of Systematic and Evolutionary
Microbiology. 51: 797-814.
Anwar S, Ali B dan Sajid I. 2016. Screening of rhizospheric actinomycetes for
various in-vitro and in-vivo plant growth promoting (PGP) traits and for
agroactive compounds. Frontiers In Microbiology. 7:1-11.
Aouar L, Boukelloul I dan Benadjila A. 2020. Identification of antagonistic
Streptomyces strains isolated from Algerian Saharan soils and their plant
growth promoting properties. Biodiversitas. 21(12): 5672-5683 DOI:
10.13057/biodiv/d211212
Apsari PP, Budidarti S dan Wahyudi AT. 2019. Actinomycetes of rhizosphere soil
producing antibacterial compounds against urinary tract infection bacteria.
Biodiversitas. 20(5) : 1259-1265. DOI: 10.13057/biodiv/d200504
Awad HM, Shahed KYI, Nakkadi EM. 2009. Isolation, screening and identification
of newly isolated soil Streptomyces (Streptomyces sp. NRC-35) for β-
lactamase inhibitor production. World Appl Sc J. 7:637- 646.
Azadeh BF, Sariah M, Wong M. 2010. Characterization of Burkholderia cepacia
genomovar I as a potential biocontrol agent of Ganoderma boninense in oil
palm. Afr. J. Biotechnol. 9(24): 3542–3548.
Azahar T, Mustapha JC, Mazliham S, Boursier P. 2011. Temporal analysis of basal
stem rot disease in oil palm plantations: an analysis on peat soil. Int J Enginer
Technol. 11(3): 96-101.
66
Cassan FD, Creus C, Okon Y. 2015. Handbook for Azospirillum: Technical Issues
and Protocols. New York (US): Springer
Castillo FDH, Padilla AMB, Morales GG, Siller MC, Herrera RD, Gonzales CAN
dan Reyes FC. 2011. In vitro antagonist action of Trichoderma strains against
Sclerotinia sclerotiorum and Sclerotium cepivorum. American Journal of
Agricultural and Biological Sciences. 6 (3): 410-417
Celestino KRS, Cunha RB, Felix CR . 2006. Characterization of a β-glucanase
produced by Rhizopus microsporus var. microsporus and its potential for
application in the brewing industry. BMC Biochemistry. 7: 23-31.
Chaube HS dan Sharma J. 2002. Integration and interaction of solarization and
fungal and bacterial bioagents on disease incidence and plant growth response
of some horticultural crops. Plant Dis. Res. 17: 201-201.
Chen YP, Rekha PD, Arun AB, Shen FT, Lai WA, dan Young CC. 2006. Phosphate
solubilizing bacteria from subtropical soil and their tricalcium phosphate
solubilizing ability. App. Soil Ecol. 34:33-41.
Chong P, Arnnyitte A, Jedol D. 2017. Detection and control of Ganoderma
boninense in oil palm crop. Chapter 2 : pathogenic nature of Ganoderma
boninense and basal stem rot disease. Springer Briefs in Agriculture. doi:
10.1007/978-3-319-54969-9_2.
Chung WC, Huang JW, Huang HC, 2005. Formulation of a soil biofungicide for
control of damping-off of Chinese cabbage (Brassica chinensis) caused by
Rhizoctonia solani. Biol Control 32:287-294.
Conrath U, Beckers GJ, Langenbach CJ, dan Jaskiewicz MR. 2015. Priming for
enhanced defense. Annu. Rev. Phytopathol. 53(1): 97-119.
Conrath U, Thulke O, Katz V, Schwindling S, dan Kohler A. 2001. Priming as a
mechanism in induced systemic resistance of plants. European Journal of
Plant Pathology. 107(1): 113-119.
Contreras-Cornejo XA, Macías-Rodríguez L, del-Val E, Larsen J. 2016. Ecological
functions of Trichoderma spp. and their secondary metabolites in the
rhizosphere: Interactions with plants. FEMS Microbiol. Ecol. 92(1):1–17
Cooper RM, Flood J dan Rees RW. 2011. Ganoderma boninense in oil palm
plantations: current thinking on epidemiology, resistance and pathology.
Planter. 87:515-526.
Cooper RM, Flood J, Rees R. 2011. Ganoderma boninense in oil palm plantations:
current thinking on epidemiology, resistance and pathology. Planter.
87(1024): 515-526.
Cordovez V, Carrion VJ, Etalo DW, Mumm R, Zhu H, Wezel GP dan
Raaijkmakers. 2015. Diversity and functions of volatile organic compounds
produced by Streptomyces from a disease-suppressive soil. Front. Microbiol.
6:1081. doi: 10.3389/fmicb.2015.0108
Corley RHV dan Tinker PB. 2016. The Oil Palm, 5th ed. New Jersey (USA): Wiley
Blackwell
Cornejo HAC, Rodriguez LM, Pena EB, Estrella AH dan Bucio JL. 2011.
Trichoderma-induced plant immunity likely involves both hormonal and
camalex independent mechanisms in Arabidopsis thaliana and confers
resistance against necrotrophic fungus Botrytis cinerea. Plant Signaling and
Behavior. 6(10): 1554-1563.
68
Coulibaly AE, Pakora GA, Ako ABA, Amari GELNO, Guessan CA, Koubenan A,
Kone D dan Djaman JA. 2022. Diversity of Sclerotium rolfsii antagonist fungi
isolated from soils of the rhizosphere of tomato crops and identification of
some antifungal compounds. Heliyom. 1(1) : 1-7.
Crawford DL, James ML, John MW, Margaret AO. 1993. Isolation and
characterization of actinomycete antagonis of a fungal root pathogen. Applied
and Environmental Microbiology. 59: 3899-3905.
Das P, Solanki R, Khanna M. 2014. Isolation and screening of cellulolytic
actinomycetes from diverse habitats. Int J Adv Biotechnol Res. 5:438-451.
David DV dan Höfte M. 2009. Rhizobacteria-induced systemic resistance.
Advances in Botanical Research. 51: 223-281.
De Santiago A, García-López AM, Quintero JM, Avilés M, Delgado A. 2013.
Effect of Trichoderma asperellum strain T34 and glucose addition on iron
nutrition in cucumber grown on calcareous soils. Soil Biology and
Biochemistry. 57:598-605.
Dehn R, Katsuyama Y, Weber A, Gerth K, Jansen R, Steinmetz H, Hofle G, Muller
R dan Kirschning A. 2011. Molecular basis of elansolid biosynthesis:
evidence for an unprecedented quinone methide initiated intramolecular.
Angew. Chem. Int. Ed. Engl. 50, 3882–3887.
Dewi IP, Tri M, Titik NA, Suskandini R. 2015. Kemampuan Trichoderma sp dan
filtratnya dalam menekan pertumbuhan Sclerotium rolfsi secara in vitro.
Agrotek Tropika. 3(1) : 130-133.
Dharmaputra OS, Gunawan AW, Wulandari R, Basuki, T. 1999. Cendawan
kontaminan dominan pada bedengan cendawan merang dan interaksinya
dengan cendawan merang secara in-vitro. Mikrobiologi Indonesia. 4(1) : 14–
18.
Doxey AC, Yaish MW, Moffatt BA, Griffith M, McConkey BJ. 2007. Functional
divergence in the Arabidopsis β-1,3-glucanase gene family inferred by
phylogenetic reconstruction of expression state. Mol Biol Evol. 24 (1) :1045-
1055.
Edy N, Alam A, Muhammad BC, Mahfudz, Irwan L, Siti RA, Kadir, Suminarti M.
2020. Research article incidence and severity of ganoderma rot disease in
tropical land-use systems and their virulence to palm oil. J. Plant Pathol.
19(2) : 98-105.
Elsherbiny EA, Amin BH, Aleem B, Kingsley KL, Bennet JW. 2020 Trichoderma
volatile organic compounds as a biofumi-gant tool against late blight
pathogen Phytophthora infestans in postharvest potato tubers. J. Agric. Food
Chem. 2020, 68(1):1-9. https://dx.doi.org/10.1021/acs.jafc.0c03150
Elsoud MMA, El Kady EM. 2019. Current trends in fungal biosynthesis of chitin
and chitosan. Bulletin of the National Research Centre. 43: 1-12.
Errakhi R, Lebrihi A, Barakate M. 2009. In vitro and in vivo antagonism of
aktinomiset isolatd from Moroccan rhizospherical soils against Sclerotium
rolfsii: a causal agent of root rot on sugar beet (Beta vulgaris L.). Applied
Mycrobiology. 107: 672-681.
Ezziyyani M, Requena ME, Egea-Gilabert C dan Candela ME. 2007. Biological
control of Phytophthora root rot of pepper using Trichoderma harzianum and
Streptomyces rochei in combination. J. Phytopathol. 155(1) : 342– 349. doi:
10.1111/j.1439-0434.2007.01237.x
69
Fadli MI, Lisnawita, Suzanna FS. 2018. Virulensi dua isolat Ganoderma sp
terhadap bibit kelapa sawit kultur jaringan di laboratorium. ANR Conference
Series 1(1): 006–010.
Ferron P dan Deguine JP. 2005. Crop protection, biological control, habitat
management and integrated farming. A review. Agronomy for Sustainable
Development. 25(1): 17-24.
Fitriani, Rosa S, Reine SW. 2017. Pengendalian hayati patogen busuk akar
(Ganoderma sp) pada Acacia mangium dengan Trichoderma spp isolat lokal
secara in vitro. Hutan Lestari. 5(3) : 571-570
Flood J, Hasan Y, Turner PD, O’Grady E. The spread of Ganoderma from infective
sources in the field and its implications for management of the disease in oil
palm. In Ganoderma Diseases of Perennial Crops; Flood, J., Bridge, P.D.,
Holderness, M., Eds.; CABI Publishing: Wallingford, UK, 2000; pp. 101–
112.
Franco-correa M, Quintana A, Duque C, Suarez C, Rodriguez MX dan Barea JM.
2010. Evaluation of actinomycete strains for key traits related with plant
growth promotion and mycorrhiza helping activities. Applied Soil Ecology.
45. 209–217
Ghoul M dan Mitri S. 2016. The ecology and evolution of microbial competition.
Trends in microbiology. 24(10): 833-845.
Ginting C, Maryono T. 2012. Penurunan keparahan penyakit busuk pangkal batang
pada lada akibat aplikasi bahan organi dan Tricoderma harzianum. Tropika.
12(2) : 162-166.
Goh KM, Ganeson M, Supramaniam CV. 2014. Infection potential of vegetative
incompatible Ganoderma boninense isolats with known ligninolytic enzyme
production. African J of Biotechnology. 13(9): 1056-1066.
Goh YK, Marzuki NF, Goh TK, Tan SY, Goh YK, Goh KJ. 2016. Mycoparasitic
Scytalidium parasiticum as a potential biocontrol agent against Ganoderma
boninense basal stem rot in oil palm. Biocontrol Sci. Tech. 26: 1352–1365.
Gomes RC et al. 2000. Chitinolytic activity of aktinomiset from a cerrado soil and
their potential in biocontrol. Lett Appl Microbiol. 30:146-150.
Goodfellow MP, Kämpfer HJ, Busse ME, Trujillo KI, Suzuki W, Ludwig dan
Whitman WB. 2011. Bergey's Manual of Systematic Bacteriology 2nd
Edition Volume 5. New York (USA): Springer
Guigon-Lopez C, Guerrero-Prieto V, Lanzuise S, Lorito M. 2014. Enzyme activity
of extracellular protein induced in Trichoderma asperellum and T.
longibrachiatum by substrates based on Agaricus bisporus and
Phymatotrichopsis omnivora. Fungal Biology. 118 (1) :211-221
Gupta S, Meena MK, Datta S. 2014. Isolation characterization of plant growth
promoting bacteria from the plant Chlorophytum borivilianum and in-vitro
screening for activity of nitrogen fixation, phospthate solubilization and IAA
production . Int J Curr Microbiol App Sci. 3(7): 1082-1090
Gusnawati HS, Taufiq M, Syair, Esmin. 2014. Efektifitas Tricoderma indigenius
hasil perbanyakan pada bebagai media dalam mengendalikan penyakit layu
fusarium dan meningkatkan pertumbuhan serta produksi tanaman tomat.
Agriplus.24(2): 99-110
Hanudin, Marwoto B, Hersanti, Muharam A. 2012. Kompatibilitas Bacillus
subtilis, Pseudomonas flourescens, dan Trichoderma harzianum untuk
70
Hsu SC dan Lockwood JL. 1975. Powdered Chitin Agar as a Selective Medium for
Enumeration of Actinomycetes in Water and Soil.American Society for
Microbiology. Appl Microbiol. 29(3) : 422-426.
Hu J, Wei Z, Friman VP, Gu SH, Wang XF, Eisenhauer N, Yang TJ, Ma J, Shen
QR, Xu YC, Jousset A. 2016. Probiotic diversity enhances rhizosphere
microbiome function and plant disease suppression. Mbio. 7(1) :1-16. Doi:
10.1128/mBio.01790-16
Huang W, Liu J, Zhou G, Zhang D dan Deng Q. 2011. Effects of precipitation on
soil acid phosphatase activity in three succession forests in Southern China.
Biogeosciences. 8: 1901–1910
Hulu SM, Charrakh AHA dan Jarallah EM. 2011. Antibacterial activity of
Streptomyces Gelaticus Isolated from Iraqi Soils. Medical Journal of
Babylon. 8(3) : 2-11
Husen E. 2003. Screening of soil bacteria for plant growth promotion activities in
vitro. Indo. J. Agric. Sci. 4(1): 27–31.
Hwang YB, Lee MY, Park HJ, Han K, Kim ES. 2007. Isolation of putative polyene-
producing actinomycetes strains via PCR-based genome screening for
polyene-specific hydroxylase genes. Proc Biochem. 42: 102-107.
doi:10.1016/j.procbio.2006.06.031.
Idris AS, Khushairi A, Ismail S, Ariffin D. 2004. Selection for partial resistance in
oil palm to Ganoderma basal stem rot. Journal of Oil Palm Research.16
(1) :12-18
Inayati A, Sulisttyowati L, Aini LQ dan Yusnawan E. 2020. Mycoparasitic Activity
of Indigenous Trichoderma virens Strains Against Mungbean Soil Borne
Pathogen Rhizoctonia solani: Hyperparasite and Hydrolytic Enzyme
Production. AGRIVITA Journal of Agricultural Science. 42(2): 229–242
Inciarte LV, Yvan FA, Mariangel LM, Mario DCJ, Alexis V, Daniel C, Manuel HP,
Pedro DCJ, Ernesto SB. 2019. Use of different Trichoderma species In cherry
type tomatoes (Solanum Lycopersicum L.) against Fusarium Oxysporum wilt
in tropical greenhouses. Agronomía Costarricense. 43(1): 85-100
Intana W, Kheawleng S, Sunpapao A. 2021. Trichoderma asperellum T76-14
released volatile organic compounds against Post-harvest Fruit Rot in
Muskmelons (Cucumis melo) Caused by Fusarium incarnatum. J. Fungi.
7(46) : 1-13 doi.org/10.3390/jof7010046
Irawati AFC, Kikin HM, Maggy TS, Yudi S, Sulastri, Widodo. 2017. Eksplorasi
dan pengaruh cendawan endofit yang berasal dari akar tanaman cabai
terhadap pertumbuhan benih cabai merah. J.Horti. (1) 27 : 105-112.
Irfan M, Safdar A, Syed Q, Nadeem M. 2012. Isolation and screening of cellulolytic
bacteria from soil and optimization of cellulase production and activity. Turk
J Biochem. 37(3):287-293.
Islam H, Nelvia N, Zul D. 2019. Isolasi dan uji potensi bakteri diazotrof non
simbiotik asal tanah kebun kelapa sawit dengan aplikasi tandan kosong dan
limbah cair pabrik kelapa sawit. J Agrotek. 9(2): 35-40.
Jain A, Singh A, Singh S, dan Singh HB. 2015. Biological management of
Sclerotinia sclerotiorum in pea using plant growth promoting microbial
consortium. J. Basic Microbiol. 55: 961–972. doi: 10.1002/jobm.201400628
Janaki T. 2017. Enzyme from Actinomycetes-review. Int J Chemtech Res.
10(2):176-182
72
with a targeted interaction screen. Proc. Natl. Acad. Sci. USA. 115. 10124–
10129.doi: 10.1073/pnas.1807613115
Priwiratama H, Prasetyo A, Susanto A. 2020. Incidence of basal stem rot disease of
oil palm in converted planting areas and control treatments. IOP Conf. Series:
Earth and Environmental. Science 468. https://doi.org/10.1088/1755-1315/
468/1/012036 012036
Priwiratama H, Prasetyo AE, Susanto A. 2014. Pengendalian penyakit busuk
pangkal batang kelapa sawit secara kultur teknis. Jurnal Fitopatologi
Indonesia. 10(1) : 1-7
Purnamasari MI, Prihatna C, Gunawan AW. 2012. Isolasi dan identifikasi secara
molekuler Ganoderma spp. yang berasosiasi dengan penyakit busuk pangkal
batang di kelapa sawit. Jurnal Fitopatologi Indonesia. 8(1) : 9-15
Puromo E, Mukarlina dan Rahmawati. 2017. Uji Antagonis Bakteri Streptomyces
spp. terhadap Jamur Phytophthora palmivora BBK01 Penyebab Busuk Buah
pada Tanaman Kakao. Protobiont. 6(3) : 1-7
Purwanto MI, Irwan, Asrul. 2016. Uji efektifitas Trichoderma sp untuk menekan
perkembangan jamur Ganoderma boninense pat. Pada media pelepah kelapa
sawit. Agroteknis. 4(4) : 403-411.
Putra DP, Wuryanti dan Sriatun. 2014. Pengaruh penambahan biotin terhadap
produksi kitinase dari Trichoderma Viride FNCC 6013. Jurnal Kimia Sains
dan Aplikasi. 17 (1): 6 – 11
Quiroz RDC, Roussos S, Herrera RR, Castillo DH, Aguilar CN. 2018. Growth
inhibition of Colletotrichum gloeosporioides and Phytophthora capsici by
native Mexican Trichoderma strains. Karbala International Journal of
Modern Science. 4 (1):237-243.
Raaijmakers JM dan Mazzola M. 2016. Soil immune responses. Science.
352(6292): 1392-1393.
Rahmansyah M dan Sudiana IM. 2010. Production of Acid Phosphatase in Bacillus
sp. Isolated from Forest Soil of Gunung Salak National Park. Jurnal Biologi
Indonesia. 6 (3): 313-323.
Rahmansyah M dan Sudiana IM. 2010. Soil microbial enzymatic activity relate to
role of methanotrophic bacteria in the tropical forest soil of gunung salak
national park. ARPN Journal of Agricultural and Biological Science. 5(2) :
51-57
Rao NSB. 1994. Mikroorganisme Tanah dan Pertumbuhan Tanaman. Jakarta : UI
Press
Ray RC dan Didier M. 2014. Microorganisms and fermentation of Traditional
Foods. London (UK): CRC Press.
Rees R, Flood J, Hasan Y, Potter U, Cooper RM, 2009. Basal stem rot of oil palm
(Elaeis guineensis); mode of root infection and lower stem invasion by
Ganoderma boninense. Plant Pathol. 58(5): 982–989. doi: 10.1111/j.1365-
3059.2009.02100.x
Rees RW, Flood J, Hasan Y, Wills MA, Cooper RM. 2012. Ganoderma boninense
basidiospores in oil palm plantations: Evaluation of their possible role in stem
rots of Elaeis guineensis. Plant Pathology. 61(3), 567–578.
https://doi.org/10.1111/j.1365- 3059.2011.02533.x.
Rifai MA. 1969. A revision of the genus Trichoderma. Mycol. Papers 116(1):1-56
78
Rohman RA. 2017. Ekspresi Protein Tanaman Kelapa Sawit (Elaeis guineensis
Jacq.) yang Terinfeksi Ganoderma Boninense Pat. Pada Fase Pembibitan.
[Thesis]. Bogor (ID). Fakultas Pertanian, Institute Pertanian Bogor
Ruangrong OU, Wonglom P, Suwanarach N, Kumla J, Tahochan N, Chomnunnti
P, Pitija K dan Sunpao A. 2021. Volatile Organic Compound from
Trichoderma asperelloides TSU1: Impact on Plant Pathogenic Fungi. J.
Fungi. 7(1) : 1-13. https://doi.org/10.3390/jof7030187
Ruocco M, Lanzuise S, Lombardi N, Woo SL, Vinale F, Marra R, et al. 2015.
Multiple roles and effects of a novel Trichoderma hydrophobin. Mol. Plant-
Microbe Interact. 28 :167–179. doi: 10.1094/MPMI-07-14-0194-R
Rupaedah B, Amanda DV, Indrayanti R, Asian N. 2018. Aktivitas
Stenotrophomonas rhizophila dan Trichoderma sp. dalam menghambat
pertumbuhan ganoderma boninense. Jurnal Bioteknologi dan Biosains
Indonesia. 6(1). 53-63
Sabaratnam S, Traquair JA. 2002. Formulation of a Streptomyces biocontrol agent
for the suppression of Rhizoctonia sp damping-off in tomato transplants. Biol
Control. 23:245-253.
Saber WIA, Ghoneem KM, Rashad YM, Al-Askar AA. 2017. Trichoderma
harzianum WKY1: An indole acetic acid producer for growth improvement
and anthracnose disease control in sorghum. Biocontrol Sci. Technol. 27(1) :
654–676
Sadhu S, Saha P, Sen SK, Mayilraj S, Miti T. 2013. Production, purification and
characterization of novel thermotolerant endoglucanse (CMCase) from
bacillus strain isolated from cow dung. Spingerplus J. India.
Salazar ARU, Torres ARI, Garcia GF, Aguilar PC, Morgado BR, Campo JA,
Parado J dan Bautsta J. 2018. Chitinase production by Trichoderma
harzianum grown on a chitinrich mushroom byproduct formulated medium.
Waste and Biomass Valorization. 1(1): 1-9 https://doi.org/10.1007/s12649-
018-0328-4
Sandheep AR, Asok AK dan Jisha MS. 2013. Combined Inoculations of
Pseudomonas floursecnes and Trichoderma harzianum for Enhancing Plant
Growth of vanilla (Vaila planifolia). Pakistan Journal of Biological Science.
16(12): 580-584
Sandi YA, Syamsuddin D dan Antok WS. 2015. Identifikasi molekuler jamur
antagonis Trichoderma harzianum diisolasi dari tanah pertanian di Malang,
Jawa timur. J HPT. 3(3) : 1-8
Santhanam R, Menezes RC, Grabe V, Li D, Baldwin IT dan Groten K. 2019. A
suite of complementary biocontrol traits allows a native consortium of root-
associated bacteria to protect their host plant from a fungal sudden-wilt
disease. Mol. Ecol. 28 (1): 1154–1169. doi: 10.1111/mec.15012
Santi C, Bogusz D, Franche C. 2013. Biological nitrogen fixation in non-legume
plants. Annals of Botany. 111(5): 743-767.
Santosa E. 2007. Mikroba Pelarut Fosfat. In : Metode Analisis Biologi Tanah. Balai
Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor. 52
hal.
Saravanakumar K, Shanmuga AV, Kathiresan K. 2013. Effect of Trichoderma sp
on soil phosphate solubilization and growth improvement of Avicennia
marina. Aquat. Bot. 104. 101–105.
79
Sarker A, Talukder NM, Islam MT. 2014. Phosphate solubilizing bacteria promote
growth and enhance nutrient uptake by wheat. Plant Science Today. 1(2):86-
93.
Sarma BK, Yadav SK, Singh S dan Singh HB. 2015. Microbial consortiummediated
plant defense against phytopathogens: readdressing for enhancing efficacy.
Soil Biol. Biochem. 87(1) 25–33. doi: 10.1016/j.soilbio.2015.04.001
Schaad NW, JB Jones, W. Chun. 2001. Laboratory Guide for Identification of Plant
Phatogenic Bacteria 3rd Edition. American Phytopathological Society Press.
373.
Schlegel HG. 1994. Mikrobiologi Umum. Yogyakarta (ID): UGM Pr.
Semangun H. 2008. Penyakit Penyakit Tanaman Perkebunan DI Indonesia. UGM
press : Yogyakarta
Seo, GS, Kirk PM. 2000. Ganodermataceae: Nomenclature and Classification.
Ganoderma Disease of Perenial Crops. 3-22. UK: CABI.
Sharaf EF, El-Sarrany AEQ, El-Deeb M.2012. Biorecycling of shrimp shell by
Trichoderma viride for production of antifungal chitinase. African Journal of
Microbiology Research. 6 (21): 1-13 http://dx.doi.org/10.5897/AJMR12.148
Sharma H dan Parihar L. 2010. Antifungal activity of extracts obtained from
actinomycetes. Journal of Yeast and Fungal Research. 1(10) : 197 – 200
Siddiquee S, Shafawati SN dan Naher L. 2017. Effective composting of empty fruit
bunches using potential Trichoderma strains. Biotechnol. Rep. 13(1): 1-7.
Siddiquee S, Umi KY, Kausar H, Sarwar J. 2009. In vitro studies on the potencial
Trichoderma harzianum for antagonistic properties againts Ganoderma
boninase. Journal of fruit, Agriculture & Environment. 7 (34): 970-976.
Siddiqui Y, Surendran A, Paterson RRM, Ali A, Ahmad K. 2021. Current strategies
and perspectives in detection and control of basal stem rot of oil palm. Saudi
Journal of Biological Sciences. 28(2021): 2840-2849. doi:
10.1016/j.sjbs.2021.02.016
Simamora M, Basyuni M dan Lisnawita. 2021. Potency of secondary metabolites
of Trichoderma asperellum and Pseudomonas fluorescens in the growth of
cocoa plants affected by vascular streak dieback. Biodiversitas. 22(5) : 2245-
2547. doi: 10.13057/biodiv/d220511
Simon S dan Petrášek J. 2011. Why plants need more than one type of auxin. Plant
Science 180 : 454–460.
Singh LS, Baruah I, Bora TC. 2006. Aktinomiset of loktak habitat : Isolation and
screening for antimicrobial activities. Biotchnology. 5(2): 217-221.
Singh S, Rawar A dan Sharma. 2013. Antifungal antibiotic of Streptomyces sp.
Ss12: production and characterization. Int J Cur Res Rev. 5(11) : 17-29
Skidmore AM, Dickinson CM. 1976. Colony interactions and hyphal interferences
between septoria nodorum and phylloplane fungi. Transac British Mycol Soc.
66(1):57-64.
Solanki MK, Singh N, Singh RK, Singh P, Srivastava AK, Kumar S, Kashyap PL
dam Arora DK. 2010. Plant defense activation and management of tomato
root rot by a chitin-fortified Trichoderma/ Hypocrea formulation.
Phytoparasitica. Doi:10.1007/s12600-011- 0188-y
Solanki MK, Yandigeri MS, Kumar S, Singh RK dan Srivastava AK. 2019. Co-
inoculation of different antagonists can enhance the biocontrol activity
80