Anda di halaman 1dari 100

KAJIAN AKTINOMISET DAN Trichoderma spp SEBAGAI AGENS

PENGENDALIAN PENYAKIT BUSUK PANGKAL BATANG


Ganoderma boninense PADA KELAPA SAWIT

MUCHAMAD BAYU SETIYO BUDI

PROGRAM STUDI FITOPATOLOGI


FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2022
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul “Kajian
Aktinomiset dan Trichoderma spp. sebagai Agens Pengendalian Penyakit
Busuk Pangkal Batang Ganoderma boninense pada Kelapa Sawit” adalah benar
karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari usulan penelitian saya kepada
Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2022

Muchamad Bayu Setiyo Budi


NIM A352190041
RINGKASAN

MUCHAMAD BAYU SETIYO BUDI. Kajian Aktinomiset dan Trichoderma spp.


sebagai Agens Pengendalian Penyakit Busuk Pangkal Batang Ganoderma
boninense pada Kelapa Sawit. Dibimbing oleh GIYANTO dan EFI TODING
TONDOK.

Salah satu penyakit utama yang mempunyai pengaruh besar dalam


menurunkan produktivitas kelapa sawit adalah penyakit busuk pangkal batang
(BPB) yang disebabkan oleh G. boninense. Penyakit ini mampu menurunkan
produksi tanaman sebesar 50% sampai 80%. Gejala infeksi diantaranya tanaman
menjadi layu, helai daun tidak terbentuk sempurna, kelapa sawit tidak
menghasilkan tandan dan bahkan menyebabkan kematian tanaman. Tingginya
tingkat kerusakan dan kerugian yang diakibatkan oleh penyakit BPB
mengakibatkan pengendalian terhadap penyakit ini sangat penting untuk dilakukan.
Berbagai teknik pengendalian yang telah dilakukan untuk menekan intensitas
penyakit BPB telah banyak dilakukan mulai dari pengendalian secara kimiawi,
perlakuan fisik, pengendalian kultur teknis, penanaman galur tahan, hingga
integrasi beberapa metode pengendalian
Salah satu alternatif pengendalian yaitu dengan menggunakan kombinasi
bakteri aktinomiset dan cendawan Trichoderma spp. Aktinomiset mampu
menghasilkan senyawa antibiotik yang mampu menekan perkembangan G.
boninense. Mekanisme tersebut juga didukung dengan kemampuan Trichoderma
spp. diantaranya dengan mikoparasitik, menghasilkan senyawa antibiosis dan
menginduksi ketahanan. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi dan menentukan
potensi aktinomiset dan Trichoderma spp serta kombinasinya dalam menekan
serangan penyakit busuk pangkal batang yang disebabkan oleh G. boninense pada
kelapa sawit.
Penelitian ini dilakukan di laboratorium Bakteriologi Tumbuhan Proteksi
Tanaman dan Screen House di Desa Sinar sari, Dramaga Bogor. Tahapan penelitian
yang dilakukan meliputi penyediaan isolat aktinomiset, Trichoderma spp. dan juga
G. boninense. Pengujian penekanan pertumbuhan G. boninense oleh aktinomiset
melalui pengujian daya hambat, uji pengaruh senyawa VOC, pengujian senyawa
bioaktif melalui peracunan media untuk menghambat pertumbuhan G. boninense.
Uji konsentrasi senyawa bioaktif isolat aktinomiset terseleksi terhadap biomassa G.
boninense. Uji kemampuan dalam menghasilkan enzim kitinase, glukanase,
selulase, fosfatase, penambatan nitrogen dan produksi IAA. Uji kompatibilitas
antara aktinomiset dan Trichoderma spp. dilakukan dengan dual culture. Uji in
vivo dilakukan dengan aplikasi agens antagonis terhadap bibit kelapa sawit.
Sebanyak 7 isolat koleksi aktinomiset yaitu isolat AKTb, AKT19, AKT28,
AKT41, AKT52, AKT56 dan AKT57 mampu menghambat pertumbuhan G.
boninense sebesar 33,33% - 100,00%. Pengaruh senyawa bioaktif dan senyawa
VOC masing masing menghambat dari 27,50% - 89,17% dan 2,87% - 20,23%.
Konsentrasi senyawa bioaktif 3% mampu menghambat dan menurunkan biomassa
G. boninense. Semua isolat aktinomiset mampu menghasilkan enzim glukanase
dengan indeks 0,27 - 1,41, kitinase dengan indeks 0,14 – 0,31 dan selulase dengan
indeks 1,09 - 1,98. Isolat AKTb menunjukkan indeks pelarutan fosfat paling tinggi
yaitu 2,71. Semua isolat dapat menghasilkan hormon IAA dan isolat yang tidak bisa
melarutkan nitrogen hanya terdapat pada isolat AKT19 dan AKT52. Berdasarkan
hasil identifikasi molekuler dengan menggunakan primer spesifk 27F dan
16Sact1114R isolat aktinomiset yang potensial menekan pertumbuhan G.
boninense yaitu AKT19, AKT28 dan AKT52 memiliki homologi tertinggi dengan
Streptomyces gelaticus strain NRRL B-2928.
Dua isolat Trichoderma spp. terpilih mampu menghambat G. boninense 90,9
- 93,9 % dan hambatan senyawa VOC sebesar 55,2 - 70,56%. Indeks kitinase dan
glukanase yang dihasilkan sebesar 0,29 - 0,89 dan 0,74 - 1,07. Kedua isolat tidak
melarutkan fosfat namun mampu menghasilkan IAA. Identifikasi molekuler
dengan menggunakan primer ITS 1 dan ITS 4 menunjukkan Trichoderma TGLP
mempunyai kedekatan homologi tertinggi dengan Trichoderma asperelum dan
Trichoderma TSU mempunyai kedekatan homologi tertinggi dengan Trichoderma
yunnanense.
Uji kompatibilitas menunjukkan bahwa Trichoderma asperelum dan
Trichoderma yunnanense menunjukkan tidak kompatibel dengan semua isolat
aktinomiset, ditandai dengan adanya hambatan pertumbuhan sebesar 8,33 - 76,67%
pada Trichoderma yunnanense dan 25,3 - 72,97% pada Trichoderma asperelum.
Parameter pertumbuhan bibit kelapa sawit menunjukkan bahwa isolat Trichoderma
asperelum menunjukkan pertumbuhan paling tinggi dengan nilai 102,17 cm
sedangkan perlakuan kontrol sebesar 92,40 cm.
Diameter batang tanaman paling tinggi ditunjukan oleh kombinasi isolat
AKT19 dengan Trichoderma yunanense dengan 30,28 mm sedangkan kontrol
27,68 mm. Berat kering tanaman paling tinggi ditunjukkan oleh perlakuan isolat
Trichoderma yunanense dengan 11,92 gr dan 11,07 gr pada perlakuan kontrol. Pada
parameter berat basah nilai paling tinggi ditunjukan oleh kombinasi isolat AKT19
dengan Trichoderma yunansense dengan nilai 29,84 sedangkan pada perlakuan
kontrol sebesar 28,25 gr. Insidensi penyakit dan keparahan penyakit paling rendah
ditunjukkan oleh perlakuan kombinasi isolat AKT19 dengan Trichoderma
asperelum dengan nilai 33,33% dan 8,33 % sedangkan pada perlakuan kontrol yaitu
sebesar 100% dan 61,11%.

Kata kunci: agens hayati, antagonis, hiperparasitisme, kompatibilitas


SUMMARY

MUCHAMAD BAYU SETIYO BUDI. Study of Actinomycetes and Trichoderma


spp. As Biological Control Agents of Basal Stem Rot Disease by Ganoderma
boninenese on Oil Palm. Supervised by Giyanto and Efi Toding Tondok.

One of the main diseases that have a major influence in reducing oil palm
productivity is basal stem rot disease (BSR) caused by G. boninense. This disease
can reduce crop production by 50% to 80%. Symptoms of infection include plant
wilting, leaf blades are not fully formed, oil palm does not produce bunches and
even causes plant death. The high level of damage and losses caused by BSR
disease makes it very important to control this disease. Various control techniques
have been carried out to reduce the intensity of BSR disease, ranging from chemical
control, physical treatment, technical culture control, planting resistant clones, and
the integration of several control methods.
An alternative control is the using of combination between actinomycetes
bacteria and the fungi Trichoderma spp. Actinomycetes are able to produce
antibiotic compounds that can suppress the development of G. boninense. This
mechanism is also supported by the ability of Trichoderma spp. Some of them are
mycoparasites, produce antibiotic compounds and induce plant resistance. This
study aims to evaluate and determine the potential of actinomycetes and
Trichoderma spp and their combination in suppressing stem rot disease caused by
G. boninense in oil palm.
This research was conducted at Plant Bacteriology Laboratory of
Departement of plant protection and Screen House in Sinar Sari Village, Dramaga
Bogor. The steps of this research included rejuvination of actinomycetes isolates,
Trichoderma spp. and also G. boninense. Further step were the study of the
suppression of the growth of G. boninense by actinomycetes through the
mechanism of antibiosis, the effect of VOC compounds produced by
actinomycetes, the effect of bioactive compounds in inhibiting the growth of G.
boninense. Psysiological actinomycetes characterization was performed to analysis
the ability to produce enzymes chitinase, glucanase, cellulase, phosphatase,
nitrogen fixation and production of IAA.Compatibility test between actinomycetes
and Trichoderma spp. was conducted by dual culture methods. In planta test was
carried out by applying Trichoderma spp and or actinomycetes to oil palm
seedlings.
A total of 7 actinomycete collection isolates, namely AKTb, AKT19, AKT28,
AKT41, AKT52, AKT56 and AKT57 isolates were able to inhibit the growth of G.
boninense by 33.33% - 100.00%. The inhibitory effect of bioactive compounds and
VOC compounds inhibited from 27,50% - 89,17% and 2,87% - 20,23%,
respectively. The concentration of 3% bioactive compounds was able to inhibit and
reduce the biomass of G. boninense. All actinomycete isolates were able to produce
glucanase enzymes with an index of 0,27 - 1,41, chitinase with an index of 0,14 –
0,31 and cellulase with an index of 1,09 - 1,98. AKTb isolate showed the highest
phosphate solubilization index, namely 2,71. All isolates could produce IAA
hormone and all isolates are able to fixing nitrogen except AKT19 and AKT52
isolates that could not dissolve nitrogen were only found in AKT19 and AKT52
isolates. Based on molecular identification using specific primers 27F and
16Sact1114R, actinomycetes isolates that have the potential to suppress the growth
of G. boninense, namely AKT19, AKT28 and AKT52 have the highest homology
with Streptomyces gelaticus strain NRRL B-2928.
Two isolates of Trichoderma spp are able to inhibit the growth of G.
boninense by 90,9 – 93,9% and VOC compounds by 55,2 - 70,56%. The chitinase
and glucanase production indexes were 0,29 - 0,89 and 0,74 – 1,07. Both isolates
did not dissolve phosphate but were able to produce IAA. Molecular identification
using ITS 1 and ITS 4 primers showed that Trichoderma TGLP had the highest
homology to Trichoderma asperelum and Trichoderma TSU had the highest
homology to Trichoderma yunnanense.
Compatibility test showed that Trichoderma asperelum and Trichoderma
yunnanense were incompatible with all actinomycetes isolates, proved by the
presence of growth inhibitions of 8,33 - 76,67% of Trichoderma yunnanense and
25,3 - 72,97% of Trichoderma asperelum. The growth parameters of oil palm
seedlings showed that the treatment with Trichoderma asperelum isolate showed
the highest growth with a value of 102,17 cm while the control treatment was only
92,40 cm.
The highest plant stem diameter was shown by the combination of AKT19
isolate with Trichoderma yunanense with 30,28 mm while the control was 27,68
mm. The highest plant dry weight was shown by isolates of Trichoderma yunanense
with 11,92 gr and 11,07 gr in the control treatment. Of the wet weight parameter
the highest value was shown by the combination of isolate AKT19 and
Trichoderma yunansense with a value of 29,84 gr while in the control treatment it
was 28,25 gr. The lowest incidence and severity of disease were shown by the
combination treatment of AKT19 isolates with Trichoderma asperelum treatment
with values of 33,33% and 8,33%, while the control treatments were 100% and
61,11%, respectively.

Keywords : biological agenst, antagonist, hyperparastism, compatibility


Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2022
©

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa


mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk
kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan,
penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak
merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya


tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
KAJIAN AKTINOMISET DAN Trichoderma spp SEBAGAI AGENS
PENGENDALIAN PENYAKIT BUSUK PANGKAL BATANG
Ganoderma boninense PADA KELAPA SAWIT

MUCHAMAD BAYU SETIYO BUDI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Fitopatologi

PROGRAM STUDI FITOPATOLOGI


FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2022
Tim Penguji pada Ujian Tesis :
1. Dr. Ir. Kikin Hamzah Mutaqin, M.Si
PRAKATA

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa Allah SWT
yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil
diselsaikan. Judul penelitian tesis yang dilakukan sejak Juli 2021 sampai dengan
Februari 2022 ialah “Kajian Aktinomiset dan Trichoderma spp. sebagai Agens
Pengendalian Penyakit Busuk Pangkal Batang Ganoderma boninense pada Kelapa
Sawit”.
Penulis menyadari tanpa bimbingan, dukungan dan bantuan dari berbagai
pihak, penulis tidak dapat mengerjakan dengan maksimal dalam menyelesaikan
tesis ini. Oleh karena itu, ucapan terimakasih penulis ucapkan kepada dosen
pembimbing yaitu Dr. Ir Giyanto, M.Si dan Dr. Efi Toding Tondok, SP, M.Sc.Agr
yang telah membimbing dan banyak memberikan saran. Ucapan terimakasih juga
penulis sampaikan kepada Dr. Ir Abdjad Asih Nawangsih, M.Si sebagai pembahas
luar komisi pada saat kolokium dan Dr. Ir Kikin Hamzah Mutaqin, M.Si selaku
penguji luar komisi pada saat sidang ujian tesis. Rasa terimakasih juga penulis
ucapkan pada segenap staf pengajar Program Studi Fitopatologi yang selalu sabar
dan bersemangat dalam setiap proses pembelajaran selama masa studi
Penulis menyampaikan terimakasih pada segenap rekan Fitopatologi 2019,
segenap anggota laboratorium Bakteriologi Tumbuhan dan Mikologi Tumbuhan,
Segenap rekan rekan pasca sarjana IPB Sport yang selalu menjadi rekan berdiskusi
dan memberikan masukan selama penulis menyelesaikan pendidikan magister di
Sekolah Pascasarjana IPB. Terakhir dan yang paling utama penulis menyampaikan
terimakasih sebesar sebesarnya kepada Ayah, Ibu dan Kakak yang selalu
memberikan dorongan moril selama masa studi. Dara Arubi, SP, M.Si yang selalu
menjadi rekan berdiskusi, Bu Widi Amaria dan Haikal Anugrah yang telah
membantu selama pengerjaan penelitian.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan
dan bagi kemajuan dunia pengetahuan dan pertanian.

Bogor, Agustus 2022

Muchamad Bayu Setiyo Budi


DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xi
DAFTAR GAMBAR xii
DAFTAR LAMPIRAN xiii
I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar belakang 1
1.2 Perumusan Masalah 2
1.3 Tujuan Penelitian 3
1.4 Manfaat Penelitian 3
1.5 Ruang lingkup Penelitian 3
II TINJAUAN PUSTAKA 5
2.1 Penyakit Busuk Pangkal Batang 5
2.2 Ganoderma boninense 6
2.3 Aktinomiset 8
2.4 Trichoderma sp. 9
III SELEKSI AKTINOMISET DAN Trichoderma spp SEBAGAI AGENS
HAYATI Ganoderma boninense 11
3.1 Abstrak 11
3.2 Abstract 11
3.3 Pendahuluan 12
3.4 Metode 13
3.4.1 Tempat dan Waktu Penelitian 13
3.4.2 Bahan dan Alat 14
3.4.3 Isolasi dan Identifikasi Cendawan G. boninense sebagai Sumber
Inokulum 14
3.4.4 Isolasi dan Identifikasi Agens Antagonis Aktinomiset 15
3.4.5 Uji Kemampuan Aktinomiset sebagai Agens Hayati
G. boninense 16
3.4.6 Karakterisasi Fisiologis Isolat Aktinomiset 17
3.4.7 Identifikasi Aktinomiset dengan Teknik Molekuler 19
3.4.8 Isolasi Cendawan Trichoderma spp. 19
3.4.9 Identifikasi Morfologi dan Molekuler Trichoderma spp. 20
3.4.10 Uji Potensi Trichoderma sp dalam Menghambat G. boninense 21
3.4.11 Karakterisasi Fisiologis Isolat Trichoderma spp 22
3.4.12 Analisis Data 22
3.5 Hasil dan Pembahasan 23
3.5.1 Karakter Morfologi G. boninense. 23
3.5.2 Identifikasi G. boninense dengan Teknik Molekuler 24
3.5.3 Karakter Morfologi Aktinomiset 25
3.5.4 Potensi Daya Hambat Aktinomiset sebagai Agens Hayati 26
3.5.5 Karakter Fisiologis Isolat Aktinomiset 31
3.5.6 Karakter Molekuler Isolat Aktinomiset 36
3.5.7 Karakter Morfologi Isolat Trichoderma spp 39
3.5.8 Karakter Molekuler Isolat Trichoderma spp 40
3.5.9 Potensi Trichoderma sp dalam menghambat G. boninense 42
3.5.10 Karakter Fisiologis Isolat Trichoderma spp 44
3.6 Simpulan 48
IV KOMBINASI AKTINOMISET DAN Trichoderma spp DALAM MENEKAN
PENYAKIT BUSUK PANGKAL BATANG PADA BIBIT KELAPA
SAWIT 49
4.1 Abstrak 49
4.2 Abstract 49
4.3 Pendahuluan 50
4.4 Metode 51
4.4.1 Tempat dan Waktu Penelitian 51
4.4.2 Bahan dan Alat 51
4.4.3 Uji Kompatibilitas Isolat Aktinomiset dan Trichoderma spp. 51
4.4.4 Keefektifan Aktinomiset dan Trichoderma sp. dalam Menekan
Penyakit Busuk Pangkal Batang pada Bibit Kelapa Sawit 52
4.4.5 Pengukuran Parameter Pertumbuhan dan Bobot Akar 54
4.4.6 Analisis Data 54
4.5 Hasil dan Pembahasan 55
4.5.1 Kompatibilitas isolat Aktinomiset dengan Trichoderma spp. 55
4.5.2 Pengaruh Agens Hayati Terhadap Keefektifan Menekan
Penyakit Busuk Pangkal Batang pada Bibit Kelapa Sawit 57
4.5.3 Pengaruh Agens Hayati Terhadap Pertumbuhan Bibit Kelapa
Sawit di Rumah Kaca 59
4.6 Simpulan 61
V PEMBAHASAN UMUM 62
VI SIMPULAN DAN SARAN 64
6.1 Kesimpulan 64
6.2 Saran 64
DAFTAR PUSTAKA 65
LAMPIRAN 83
RIWAYAT HIDUP 88
DAFTAR TABEL

3.1 Karakteristik biakan isolat Ganoderma boninense pada media PDA 23


3.2 Homologi runutan nukleotida ITS 1/ITS4 Gonoderma boninense
dengan isolat di Genbank 24
3.3 Karakteristik morfologi aktinomiset 25
3.4 Hasil uji daya hambat aktinomiset terhadap Ganoderma boninense 27
3.5 Pengaruh senyawa metabolit yang dihasilkan aktinomiset dan
senyawa VOC terhadap pertumbuhan Ganoderma boninense 28
3.6 Pengaruh tingkat konsentrasi metabolit sekunder isolat aktinomiset
potensial terhadap biomassa miselia Ganoderma boninense 31
3.7 Kemampuan aktinomiset dalam mendegradasi substrat glukan dan
kitin 32
3.8 Kemampuan isolat aktinomiset dalam mendegradasi selulosa 33
3.9 Kemampuan isolat aktinomiset dalam melarutkan fosfat, nitrogen dan
penghasil Indole acetic acid (IAA) 34
3.10 Homologi runutan nukleotida 16S rRNA aktinomiset potensial isolat
AKT19 dengan isolat pada Genbank 38
3.11 Homologi runutan nukleotida 16S rRNA aktinomiset potensial isolat
AKT28 dengan isolat pada Genbank 38
3.12 Homologi runutan nukleotida 16S rRNA aktinomiset potensial isolat
AKT52 dengan isolat pada Genbank 38
3.13 Karakter morfologis isolat Trichoderma spp 39
3.14 Homologi runutan nukleotida isolat Trichoderma TGLP dengan isolat
pada Genbank 41
3.15 Homologi runutan nukleotida isolat Trichoderma TSU dengan isolat
pada Genbank 42
3.16 Pengujian potensi daya hambat isolat Trichoderma spp terhadap
Ganoderma boninense. 42
3.17 Pengujian aktivitas enzim kitinase dan glukanase isolat Trichoderma
spp. 45
4.1 Kriteria skor kerusakan akar kelapa sawit 54
4.2 Kompatibilitas isolat aktinomiset dengan isolat Trichoderma spp 55
4.3 Pengaruh aplikasi aktinomiset dan Trichoderma sp dalam menekan
penyakit busuk pangkal batang pada bibit kelapa sawit 57
4.4 Pengaruh aplikasi aktinomiset dan Trichoderma spp dalam memacu
pertumbuhan bibit kelapa sawit 60
DAFTAR GAMBAR

1.1 Skema diagram alir penelitian “Kajian aktinomiset dan Trichoderma spp
sebagai Agens Pengendalian Penyakit Busuk Pangkal Batang Ganoderma
boninense pada Kelapa Sawit” 4
2.1 Gejala penyakit busuk pangkal batang 5
2.2 Morfologi Ganoderma boninense, morfologi bassidiocarp Ganoderma
boninense dan kultur Ganoderma boninense 6
3.1 Sampel Ganoderma sp sebagai sumber inokulum 23
3.2 Visualisasi pita DNA isolat Ganoderma boninense hasil amplifikasi
menggunakan primer spesifik ITS 1/ITS 4 pada Gel agarose 0,1 % dengan
penanda DNA 1 kb 24
3.3 Pohon filogeni isolat Ganoderma boninense dengan isolat dari beberapa
negara yang diambil dari Genbank 25
3.4 Hasil uji dual culture aktinomiset dengan Ganoderma boninense 27
3.5 Hasil uji metabolit aktinomiset dengan Ganoderma boninense 29
3.6 Hasil uji VOC aktinomiset dengan Ganoderma boninense 30
3.7 Hasil uji aktivitas enzim glukanase 32
3.8 Hasil uji aktivitas enzim kitinase 32
3.9 Hasil uji aktivitas enzim sellulase 33
3.10 Hasil uji aktivitas enzim fosfatase 35
3.11 Hasil uji pengikatan senyawa nitrogen oleh isolat aktinomiset 36
3.12 Hasil uji produksi hormon IAA oleh isolat aktinomiset 36
3.13 Visualisasi pita DNA isolat aktinomiset hasil amplifikasi menggunakan
primer spesifik aktinomiset 27F/16Scatt111R pada gel agarose 0,1%
dengan penanda DNA 1 kb 37
3.14 Gambar morfologi makroskopis dan mikroskopis Trichoderma spp 39
3.15 Visualisasi pita DNA isolat Trichoderma spp hasil amplifikasi
menggunakan primer ITS 1 dan ITS 4 pada gel agarose 0,1% dengan
penanda DNA 1 kb 40
3.16 Pohon filogeni isolat Trichoderma TGLP dengan isolat dari beberapa
negara yang diambil dari Genbank 41
3.17 Pohon filogeni isolat Trichoderma TSU dengan isolat dari beberapa negara
yang diambil dari Genbank 42
3.18 Uji potensi daya hambat Trichoderma spp 43
3.19 Uji aktiftas enzin pendegradasi dinding sel 45
3.20 Uji aktiftas enzin fosfatase 46
3.21 Uji kemampuan menghasilkan IAA oleh isolat Trichoderma spp 47
4.1 Hasil uji kompatibilitas beberapa isolat aktinomiset dengan Trichoderma
TGLP 56
4.2 Hasil uji kompatibilitas beberapa isolat aktinomiset dengan Trichoderma
TSU 56
4.3 Gejala penyakit pada akar bibit kelapa sawit 58
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Isolat aktinomiset pada media ISP2 84


Lampiran 2 Perlakuan in vivo dirumah kaca 85
Lampiran 3 Sekuens basa nukleotida daerah ITS cendawan Trichoderma
spp. 86
Lampiran 4 Sekuens basa nukleotida daerah ITS cendawan Ganoderma
boninense 86
Lampiran 5 Sekuens 16S rRNA isolat aktinomiset potensial 87
I PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Penyakit busuk pangkal batang (BPB) merupakan penyakit utama pada


kelapa sawit. Penyakit ini disebabkan oleh Ganoderma boninense yang
mengakibatkan penurunan kualitas dan produksi secara signifikan. Kejadian
penyakit pada tanaman belum menghasilkan (TBM) generasi satu, dua, dan tiga
sebesar 4, 7, dan 11% sedangkan tanaman yang berusia produktif pada generasi
yang sama menunjukkan peningkatan yang sangat signifikan yaitu 17, 18 dan 75%
(Susanto dan Sudarto 2003). Penyakit BPB dilaporkan menyebabkan kerusakan
sekitar 50–80% per ha pada perkebunan kelapa sawit. Total kerugian yang
disebabkan oleh penyakit busuk pangkal batang pada negara-negara produksi
kelapa sawit seperti Indonesia dan Malaysia bahkan mencapai 500 juta USD/tahun
dan menjadi negara dengan kerugian tertinggi akibat penyakit BPB (Rees et al.
2012).
Beberapa pengendalian yang telah dilakukan untuk menekan infeksi
cendawan G. boninese diantaranya yaitu melakukan pengendalian secara kultur
teknis, penanaman hole in hole, membuat parit isolasi dan menggunakan beberapa
varietas tahan (Naher et al. 2013). Pengendalian dengan kultur teknis dan mekanis
kurang efisien dan sering mengalami kegagalan yang disebabkan oleh karakteristik
G. boninense sebagai patogen tular tanah yang mempunyai kemampuan saprofitik
yang tinggi dan kisaran inang yang sangat luas (Ress 2009). G. boninense diketahui
masih mampu hidup pada kedalaman 0,75-2 m di bawah permukaan tanah (Azahar
et al. 2011). Pengendalian G. boninense juga masih banyak dilakukan dengan
mengunakan fungisida kimiawi, namun selain hasilnya kurang konsisten,
penggunaanya juga menimbulkan residu, resistensi cendawan patogen, pencemaran
lingkungan serta tidak berhasil mengatasi penyebaran penyakit busuk pangkal
batang (Agustina 2020).
Salah satu cara pengendalian yang telah dilakukan untuk menekan
perkembangan penyakit adalah dengan menerapkan pengendalian hayati. Metode
ini diketahui dapat dengan efektif menekan perkembangan penyakit tanpa
memberikan dampak buruk pada lingkungan. Pengendalian hayati yang telah
banyak digunakan diantaranya yaitu dengan memanfaatkan agens antagonis, seperti
cendawan Trichoderma sp. (Kartika et al. 2006). Aplikasi Trichoderma sp. dapat
meningkatkan ketahanan tanaman melalui mekanisme ISR (induced systemic
resistance) yang melibatkan pensinyalan asam jasmonat dan etilen. Hal ini akan
membuat tanaman bereaksi dengan membentuk callose, mekanisme reaksi
oksidatif (ROS), dan diikuti biosintesis polifenol (Gupta dan Maya 2020).
Trichoderma sp. mampu menghasilkan enzim yang bersifat antifungal yaitu
kitinase dan β-1,3 glukanase yang biasanya digunakan dalam mekanisme
mikoparasitik yang dapat menyebabkan lisis pada sel patogen (Harman 2006).
Mekanisme lainya yaitu Trichoderma sp. diketahui mampu menghasilkan beberapa
senyawa metabolit golongan peptaibol yang dapat memicu ketahanan sistemik pada
tanaman dan juga bersifat antifungal (Bisen et al. 2016).
Pengendalian dengan agesn antagonis seperti Trichoderma sp. belum
memberikan hasil yang memuaskan. Trichoderma sp. diketahui hanya mampu
hidup ± 15 cm dari permukaan tanah (Naher et al. 2013). Pada kedalaman 0-20 cm
2

populasi Trichoderma sp. berada pada kondisi optimum namun pada kedalaman 80-
100 cm populasinya mengalami penurunan yang signifikan Hal ini tentu tidak
efisien mengingat G. boninense mampu menginfeksi akar kelapa sawit bahkan
mencapai 2 m di bawah permukaan tanah (Miftahuddin et al. 2016).
Alternatif pengendalian lainnya yang dapat dilakukan adalah dengan
menerapkan kombinasi dengan bakteri antagonis yang diketahui efektif menekan
perkembangan penyakit tanpa memberikan dampak buruk pada lingkungan
(Kartika et al. 2006). Beberapa bakteri antagonis yang diketahui dapat dengan
efektif menekan pertumbuhan G. boninense adalah kelompok aktinomiset
(Muzaimah et al. 2015). Menurut Martin et al. (2015), aktinomiset mempunyai
persentase penghambatan sedang sampai tinggi dalam menekan pertumbuhan G.
boninense.
Aktinomiset mempunyai potensi tinggi untuk dikembangkan dan digunakan
sebagai agens pengendalian hayati. Pada tanaman, aktinomiset mampu
menghasilkan senyawa antimikrob berupa tetrasiklin, streptomisin, eritromisin,
kloramfenikol, ivermektin, dan rifampisin yang diketahui efektif menekan
perkembangan patogen (Todar 2008). Sebagian besar aktinomiset tumbuh di
lingkungan dengan pH tanah antara 6 sampai 9, dengan pertumbuhan maksimum
di sekitar kondisi netral yang kaya bahan organik. Namun, beberapa aktinomiset
juga dapat bertahan dan berkembang pada pH asam (pH 3.5). Barka et al. (2016)
menyatakan bahwa aktinomiset masih dapat ditemukan pada kedalaman lebih dari
2 m di bawah permukaan tanah sehingga sangat berpotensi untuk dikombinasikan
dengan antagonis lainnya termasuk dengan Trichoderma sp.
Penggunaan agens antagonis secara tunggal tidak dapat bekerja maksimal
pada semua kondisi lingkungan atau terhadap semua patogen yang menginfeksi
tanaman. Tidak konsistennya hasil pengendalian dengan menggunakan agens
antagonis tunggal diduga sebagai akibat adanya derajat kekhususan antara agens
antagonis dengan tanaman inang bahkan sampai tingkat subspesies sehingga untuk
meningkatkan perlindungan tanaman maka diperlukan sebuah kombinasi agens
antagonis (Mishra et al. 2013). Pada umumnya cendawan antagonis seperti
Trichoderma sp lebih bergantung pada mekanisme kontak dengan patogen
sedangkan, bakteri antagonis seperti aktinomiset lebih banyak menggunakan
senyawa antibiotik sebagai senjata untuk membunuh patogen (Mohiddin et al.
2010).
Kombinasi agens antagonis diharapkan dapat saling bekerja sama dan saling
bersinergi dibandingkan dengan aplikasi secara tunggal (Mihardjo dan majid 2008).
Pada umumnya pengendalian biologis yang terjadi dialam terjadi melalui campuran
beberapa agen antagonis dan bukan dari antagonis tunggal dengan populasi tinggi.
Kombinasi dari agens antagonis diduga dapat meningkatkan perlindungan tanaman.
Kombinasi agens hayati yang digunakan juga dapat memperluas spektrum aktivitas
pegendalian dan meningkatkan keefektifan dalam menekan perkembangan patogen
(Mishra et al. 2011).

1.2 Perumusan Masalah

Penyakit busuk pangkal batang (BPB) merupakan salah satu penyakit penting
pada tanaman kelapa sawit yang beberapa tahun terakhir memberikan dampak yang
signifikan tergadap produksi kelapasa sawit. Penyakit BPB disebabkan oleh
3

Ganoderma boninense. Beberapa sentra atau pusat perkebunan kelapa sawit baik
perkebunan swasta, perkebunan yang dikelola oleh negara ataupun perkebunan
rakyat (plasma) juga mempunyai permasalah yang sama terhadap penyakit busuk
pangkal batang. Pengendalian yang dilakukan selama ini masih terbatas dengan
menggunakan kultur teknis, varietas tahan, agens hayati secara tunggal dan bahkan
menggunakan pengendalian kimiawi. Berbagai pengendalian tersebut belum
memberikan hasil yang efektif dalam menekan penyakit busuk pangkal batang
bahkan beberapa pengendalian yang dilakukan berpotensi mengakibatkan
kerusakan terhadap lingkungan.
Alternatif pengendalian yang ramah lingkungan dan efektif mengendalikan
penyakit busuk pangkal batang sangat diperlukan untuk menekan kehilangan hasil
yang berlebih dan tetap menjaga kelestarian lingkungan. Salah satu cara yaitu
dengan menggunakan kombinasi beberapa agen hayati yang dapat menekan
perkembangan patogen dan bersifat antifungal. Agens antagonis yang berpotensi
dalam menekan serangan G. boninense yaitu aktinomiset dan Trichoderma spp.
Kajian tentang agens hayati dalam mengendalikan cendawan patogen pada
beberapa komoditas perkebunan sudah banyak dilakukan namun sebagian besar
hanya menggunakan agen hayati secara tunggal. Dalam penelitian ini dilakukan
pengujian potensi kombinasi beberapa agen hayati untuk mengendalikan penyakit
busuk pangkal batang pada tanaman kelapa sawit.

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan isolat aktinomiset potensial


sebagai agens hayati, Trichoderma spp. sebagai agens hayati serta mengkaji
kombinasinya sebagai agens pengendalian hayati penyakit busuk pangkal batang
G. boninense pada kelapa sawit.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian yang dilakukan yaitu diharapkan akan didapatkan


isolat aktinomiset dan Trichoderma spp serta kombinasinya yang potensial dalam
mengendalikan penyakit busuk pangkal batang G. boninense pada kelapa sawit
sehingga dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif pengendalian yang efektif
dan ramah lingkungan.

1.5 Ruang lingkup Penelitian

Penelitian yang dilakukan terdiri atas 2 topik yaitu (1) Seleksi aktinomiset
dan Trichoderma spp dalam menekan pertumbuhan G. boninense dan (2)
Kombinasi isolat aktinomiset dan Trichoderma spp dalam menekan penyakit busuk
pangkal batang G. boninense pada bibit kelapa sawit (Gambar 1.1).
4

1. Seleksi Aktinomiset dan Trichoderma spp sebagai


Agens Hayati G. boninense

.
Isolasi Aktinomiset Isolasi G. boninense Isolasi Trichoderma spp

Identifikasi Morfologi Identifikasi Morfologi Dan


Aktinomiset Molekuler

Uji Potensi Daya Hambat


Uji Potensi Daya Hambat
1. Uji dual culture
1. Uji dual culture
2. Uji senyawa voc
2. Uji senyawa voc
3. Uji senyawa bioaktif
Diperoleh Trichoderma spp
potensial
Diperoleh aktinomiset
potensial
Identifikasi molekuler
Uji Konsentrasi Senyawa
Bioaktif
Karakterisasi Trichoderma spp
Uji enzim kitinase
Identifikasi Molekuler Uji enzim glukanase
Uji enzim uji pelarut phospate
Uji penghasil hormon IAA
Karakteriasi Aktinomiset potensial
Uji enzim kitinase
Uji enzim glukanase
Uji enzim selulase
Uji pelarut fosfatase
Uji mengikat nitrogen
Uji penghasil hormon IAA

2. Kombinasi Aktinomiset dan Trichoderma spp dalam


Menekan Penyakit Busuk Pangkal Batang pada
Bibit Kelapa Sawit

Uji Kompatibilitas Isolat Aktinomiset


Potensial dan Trichoderma spp

Uji Pengaruh Kombinasi Aktinomiset dan


Trichoderma sp pada Bibit Kelapa Sawit
(in vivo)

Diperoleh informasi pengaruh kombinasi agens hayati aktinomiset dan Trichoderma sp dalam
menekan penyakit busuk pangkal batang G. boninense pada bibit kelapa sawit

Gambar 1.1 Skema diagram alir penelitian “Kajian Aktinomiset dan


Trichoderma spp. sebagai Agens Pengendalian Penyakit
Busuk Pangkal Batang Ganoderma boninense pada Kelapa
Sawit”
II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Busuk Pangkal Batang

Penyakit busuk pangkal batang (BPB) merupakan salah satu penyakit penting
dan memberikan dampak yang signifikan terhadap produksi kelapa sawit. Penyakit
ini disebabkan oleh salah satu patogen tular tanah yaitu G. boninense. Infeksi
patogen terjadi ketika kontak akar antara akar tanaman yang sehat dengan akar
tanaman kelapa sawit yang terinfeksi patogen. Saat terjadi kotak, hifa cendawan
akan masuk ke dalam jaringan empulur korteks yang selanjutnya akan menginfeksi
jaringan pembuluh pada akar. Infeksi yang terjadi akan mengakibatkan perubahan
warna pada akar menjadi coklat tanpa disertai adanya nekrosis (Rohman 2017).
Tanaman yang terserang penyakit busuk pangkal batang akan mengalami
pembusukan pada bagian pangkal batang (Rupaedah et al. 2018).
Gejala penyakit busuk pangkal batang yang disebabkan oleh G. boninense
yaitu terjadi perubahan warna pada daun menjadi hijau pucat dan juga pertumbuhan
tanaman menjadi terhambat. Pada tanaman yang belum menghasilkan gejala
penyakit ditandai dengan terjadinya klorosis pada daun bagian bawah. Pada
tanaman yang dewasa, pelepah akan menjadi pucat yang selanjutnya akan
mengering dan juga mengakibatkan tombak pelepah yang baru terbentuk tidak
dapat membuka. Pada tingkat serangan dengan intensitas tinggi dapat
mengakibatkan kematian pada tanaman (Susanto 2011).

A B C
Gambar 2.1 Gejala penyakit busuk
A pangkal batang (A), Kerusakan
A dan busuk pada
pangkal batang kelapa sawit, (C), Tanaman tumbang dengan kerusakan
pada pangkal batang (Sumber : Edy et al. 2020; Chong et al. 2017).
Infeksi yang terjadi pada akar tanaman akan menunjukkan gejala yang hampir
sama dengan infeksi yang terjadi pada pangkal batang. infeksi yang terjadi pada
bagian akar sebagian besar terjadi pada jaringan korteks yang selanjutnya akan
mengalami perubahan warna menjadi coklat sampai coklat keputihan. Infeksi
dengan tingkat serangan yang berat dapat mengakibatkan jaringan korteks hancur
dan mengakibatkan jaringan stele pada akar nampak berwarna hitam. Hifa pada
umumnya berada pada jaringan korteks, endodermis, perisel, xilem dan floem.
Tanda lain dari penyakit busuk pangkal batang yag disebabkan oleh G. boninense
diantaranya yaitu munculnya tubuh buah atau basidiokarp pada pangkal batang
kelapa sawit (Susanto 2011).
6

2.2 Ganoderma boninense

G. boninense merupakan salah satu cendawan patogen yang berasal dari


Disivi Basidiomycota Kelas Agaricomycetes, Ordo Polyporales, Famili
Ganodermataceae, Genus Ganoderma dan Spesies Ganoderma boninense (Susanto
2011). Salah satu ciri khas yang dimiliki oleh G. boninense adalah adanya tubuh
buah atau basdiokarp yang mempunyai bentuk menyerupai kipas dengan bagian
tepi yang bergelombang dan pada permukaanya terdapat garis lingkaran tahun yang
menunjukkan perkembangan tubuh buah. Basidiokarp mempunyai warna coklat
kemerahan dengan bagian tepi yang berwana putih. Pada bagian bawah permukaan
juga menunjukkan warna putih kekuningan dan mempunyai pori pori. G. boninense
yang dikulturkan pada media buatan mempunyai karakteristik morfologi berupa
warna dominan putih dengan tekstur misela kasar dan permukaan koloni
bergelombang (Fitriani et al. 2017).
Cendawan G. boninense memiliki morfologi basidiokarp yang sangat
bervariasi; ada yang bertangkai atau tidak, tumbuh horizontal atau vertikal, ada
yang rata atau mengembung, dan ada yang terbentuk lingkaran konsentris.
Semangun (2008), mengemukakan, bahwa basidiokarp G. boninense awalnya
tampak sebagai bongkol kecil berwarna putih yang berkembang membentuk
piringan menyerupai kipas tebal (console bracket like). Basidiokarp yang terbentuk
seringkali berdekatan, bersambungan, dan saling menutupi sehingga menjadi suatu
susunan yang besar.
Basidiokarp pada dasarnya tersusun atas benang-benang miselia yang pada
akhirnya akan terpenggal, mempunyai dinding bagian dalam yang berwarna coklat
kekuningan dan mempunyai tonjolan-tonjolan yang menandakan ciri khas dari
kelompok Ganoderma (Hidayati dan Nurrohmah 2015). Basidiokarp yang
terbentuk mempunyai tekstur yang keras dan berkayu dengan ukuran yang cukup
besar. Ukuran tubuh buah dapat mencapai diameter 15 cm dan ketebalan 5 cm.
Warna tubuh buah dari cokelat muda hingga cokelat tua dan bahkan jingga. Bagian
atas tubuh buah dapat agak mengkilat dengan bagian bawah berwarna putih
(Henessy dan Daly 2007).

A B B

Gambar 2.2 Morfologi G. boninense. Morfologi bassidiocarp G. boninense (A),


Kultur G. boninense pada media buatan (B) (Sumber : Chong et al.
2017)
Pada cendawan yang masih muda basidiokarp berbentuk agak bulat dan
berwarna putih, bertekstur halus jika terjadi kontak akan bercak menjadi berwarna
7

kuning atau coklat. Pada pangkal cendawan yang masih muda ini berwarna kelabu
atau coklat yang semakin lama berubah menjadi hitam kecoklatan (Hidayati dan
Nurrohmah 2015). Tanda patogen yang menunjukkan adanya infeksi biasanya
dapat diamati pada perakaran tanaman yang sakit atau terinfeksi dimana terdapat
miselium berwarna krem yang selanjutnya berubah menjadi merah sampai
kehitaman. Miselium berwarna putih ditemukan pada bagian dalam akar yang
terinfeksi dan mempunyai bau yang spesifik (Mohammed 2006). Pada infeksi awal,
akar tanaman akan diselimuti miselium berwarna putih atau rhizomorf berwarna
putih dan pada perkembangan selanjutnya rhizomorf akan berubah menjadi merah
tua.
G. boninense merupakan salah satu cendawan yang termasuk dalam parasit
fakultatif yang hidup secara saprofitik pada pangkal dan batang pohon yang
menjadi sumber makanannya. Penyebaran G. boninense terjadi melalui kontak yang
terjadi antara akar tanaman yang sehat dengan akar tanaman yang terinfeksi patogen
G. boninense (Jing 2007). Laju infeksi G. boninense akan semakin cepat ketika
populasi sumber penyakit (inokulum) semakin banyak di areal perkebunan kelapa
sawit. Hal ini akan meningkatkan potensi serangan patogen yang menyebabkan
penyakit busuk pangkal batang pada tanaman kelapa sawit (Lizarmi 2011).
Pada perkebunan kelapa sawit yang berada di lahan gambut, perkembangan
infeksi G. boninense cenderung meningkat, hal ini disebabkan oleh mekanisme
pemencaran melalui basidiospora yang dapat menyebar melalui kontak akar dari
tanaman sehat dengan sumber inokulum yang dapat berupa akar atau batang
tanaman yang terinfeksi (Idris 2004. Cendawan G. boninense dapat tumbuh
optimum pada suhu sekitar 28 °C dan tidak dapat berkembang dengan optimum
pada suhu lingkungan dibawah 15 °C atau lebih dari 40 °C (Coopper et al. 2011).
Salah satu faktor yang memengaruhi infeksi cendawan G.boninense adalah kondisi
pH lingkungan, G. boninense dapat tumbuh pada pH 3,0 – 8,5.
Patogenesitas G. boninense. G.boninense termasuk ke dalam kelas
basidiomycetes yang mempunyai kemampuan menghasilkan beberapa enzim untuk
menguraikan lignin, selulose dan polisakarida (Seo dan Kirk 2000). Cendawan ini
menyebabkan akar tanaman menjadi busuk basah, lunak dan akan mengeluarkan
air jika ditekan (Semangun 2008). Hal inilah yang menyebabkan terganggunya
sistem penyerapan air dan hara anorganik dari dalam tanah. G.boninese dapat
mengeluarkan berbagai enzim untuk menghidrolisis lignin menjadi monosakarida,
seperti arabinosa, xilosa, galaktosa, fruktosa dan glukosa. Selain itu, juga dapat
menghasilkan disakarida dengan molekul kecil seperti arabinosa, xilosa, galaktosa,
fruktosa dan glukosa, yang berfungsi sebagai sumber karbon dan energi. Enzim
yang diproduksi oleh G. boninense disebut sebagai enzim pemodifikasi lignin
(LME) dan termasuk lignin peroxidase (LiP), Mangan peroxidase (MnP) dan
laccase (Lac) yang diketahui dapat mendegradasi komponen lignin pada dinding sel
tanaman (Goh et al. 2014)
Seragan G. boninense juga dapat mengakibatkan pangkal batang menjadi
busuk yang biasanya dekat dengan daerah munculnya basidiokarp. Batang yang
membusuk mengakibatkan terhambatnya aliran air dan nutrisi kedaun yang
selanjutnya akan mengakibatkan daun menjadi klorosis. Ketika penyakit terus
berkembang daun yang tua akan menggantung disekitar batang dan daun yang baru
terbentuk tidak akan berkembang dengan sempurna. Pada tingkat serangan yang
berat dapat mengakibatkan batang menjadi patah (Rees et al. 2012). Menurut
8

Susanto (2013), G. boninense dapat menyerang tanaman pada stadia pembibitan


dan berumur kurang dari satu tahun.
Penularan dapat terjadi melalui beberapa mekanisme diantaranya melalui
tungul-tunggul bekas tanaman sakit, kontak akar dan juga ditularkan melalui udara
dengan basidiospora (Susanto et al. 2013). Gejala serangan yang diakibatkan oleh
infeksi Ganoderma sp. adalah terjadinya perubahan warna pada daun, daun daun
menjadi layu dan pada serangan yang parah dapat mengakibatkan kematiaan
tanaman. Menurut Semangun (2008), gejala yang menunjukkan infeksi Ganoderma
yaitu daun- daun berwarna hijau pucat. Daun-daun tua layu, patah pada pelepah dan
menggantung di sekitar batang. Ganoderma juga menyerang tanaman yang masih
muda, yang sudah terbentuk jaringan kayu, namun belum menghasilkan tubuh
buah.
Pengendalian G. boninense. Beberapa pengendalian yang dilakukan untuk
menekan infeksi cendawan G. boninese telah banyak dilakukan dengan beberapa
cara diantaranya yaitu dengan melakukan pengendalian secara kultur teknis.
Pengendalian secara kultur teknis dapat dilakukan sejak proses tanam ulang, yaitu
melalui sanitasi sisa-sisa batang dan akar yang terinfeksi G. boninense. Sanitasi
sumber inokulum ini dapat meminimalkan kontak antara akar sehat dan sisa-sisa
akar terinfeksi yang merupakan salah satu mekanisme utama penyebaran G.
boninense di lapangan (Naher et al. 2013).
Pada daerah endemik G. boninense umumnya diterapkan sistem penanaman
hole in hole dan parit isolasi. Upaya pengendalian juga dilakukan dengan
menggunakan beberapa varietas yang tahan terhadap serangan penyakit busuk
pangkal batang. Sementara itu, teknik pengendalian secara kimiawi sintetik
menggunakan beberapa bahan aktif dalam fungisida juga dilaporkan kurang
memuaskan dan memberikan dampak negatif terhadap mikroba bermanfaat yang
berada didalam tanah (Priwiratama et al. 2014).
Pengendalian hayati yang telah dilakukan untuk menekan infeksi G.
boninense diantaranya yaitu dengan memanfaatkan agens antagonis, seperti
cendawan Trichoderma sp. dan endomikoriza (Kartika et al. 2006). Sementara itu,
beberapa bakteri antagonis yang diketahui secara efektif dapat menekan
pertumbuhan cendawan G. boninese adalah dari beberapa bakteri antagonis yang
diketahui dapat menghasilkan senyawa anti fungal seperti Bacillus subtilis dan juga
aktinomiset.

2.3 Aktinomiset

Aktinomiset merupakan salah satu bakteri yang termasuk ke dalam bakteri


Gram positif dan mempunyai struktur yang menyerupai cendawan yaitu memiliki
filament lembut seperti hifa dan miselia (Madigan et al. 2006). Aktinomiset
mempunyai perbedaan yang jelas ketika dikulturkan pada media agar dibandingkan
dengan bakteri lainnya. Pada kelompok aktinomiset , bakteri akan tumbuh secara
perlahan dan menunjukkan konsistensi menyerupai debu pada permukaan koloni
dan dapat melekat erat pada permukaan agar (Rao 1994). Aktinomiset mempunyai
potensi tinggi untuk dikembangkan dan digunakan sebagai agens pengendalian
hayati. Pada tanaman, bakteri aktinomiset dapat meningkatkan pertahanan tanaman
dan memacu pertumbuhan tanaman. Berbagai senyawa antimikrob yang dihasilkan
9

oleh aktinomiset, khususnya Streptomyces spp. berupa tetrasiklin, streptomisin,


eritromisin, kloramfenikol, ivermektin, dan rifampisin (Todar 2008).
Lebih jauh dijelaskan oleh Sudarma (2010), mekanisme penghambatan
patogen tanaman oleh aktinomiset dapat dilakukan melalui kompetisi yang terjadi
di rhizosfer, mereka dapat menggunakan eksudat akar secara baik untuk
pertumbuhannya. Selain melalui kompetisi, mekanisme antagonis juga dilakukan
dengan hiperparasitisme dan juga menghasilkan indole-3-acetic acid (IAA) untuk
memacu pertumbuhan tanaman. Aktinomiset dari genus Streptomyces dapat
mempenetrasi dinding miselium cendawan patogen dengan menghasilkan enzim
ekstraseluler.
Aktinomiset yang berasal dari genus Streptomyces sp merupakan genus yang
menghasilkan antibiotik paling besar dibandingkan dengan genus yang lain.
Diperkirakan 80% produk antibiotik dihasilkan oleh Streptomyces sp (Singh et al.
2006). Streptomyces sebagai mikroba prokaryotik mampu berperan penting dalam
dalam siklus nutrisi, fiksasi nitrogen, produksi metabolik sekunder dan memacu
pertumbuhan tanaman. Di dalam memacu pertumbuhan tanaman dapat terjadi baik
secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung termasuk menghasilkan
fitohormon, fosfat terlarut, fiksasi nitrogen dan menaikkan pengambilan nutrisi.
Secara tidak langsung dapat menekan perkembangan patogen melalui produksi
metabolit sekunder, kompetisi, parasitisme, dan menginduksi ketahanan (Barreto et
al. 2008 ).
Metabolit yang dihasilkan oleh aktinomiset diketahui juga dapat berperan
sebagai senyawa antifungal yang menekan pertumbuhan dan perkembangan
patogen. Salah satu senyawa antifungal yang dihasilkan yaitu Urauchimycins yang
merupakan kelompok dari senyawa antimycin. Senyawa ini dapat bertindak sebagai
antifungal dengan cara menghambat elektron yang berperan sebagai respirasi
mitokondria (Sharma et al. 2014). Kemampuan antagonis dalam menekan
cendawan patogen diketahui secara efektif terhadap beberapa patogen tanaman
diantaranya Verticillium dahlia, Fusarium oxysporum dan kelompok oomycetes
seperti Pythium ultimum dan Phytopthora sp. Penghambatan dapat dilakukan
dengan beberpa mekanisme antagonis diantaranya hiperparasitik, antibiotik,
menghasilkan enzim pendegradasi dinding sel dan induksi resistensi tanaman
(Errakhi et al. 2009).

2.4 Trichoderma spp.

Cendawan Trichoderma spp. merupakan cendawan yang sering ditemui di


daerah perakaran dan juga dapat ditemui endofit pada akar dan pada daun tanaman.
Cendawan ini sering kali ditemukan pada bagian tanaman namun bersifat avirulen
terhadap tanaman inang dan dapat mempengaruhi cendawan lain yang bersifat
patogen (Alfizar et al. 2013). Cendawan Trichoderma spp. merupakan salah satu
cendawan antagonis yang banyak digunakan dalam upaya pengendalian penyakit
pada beberapa jenis tanaman. Mekanisme pengendalian yang dilakukan cendawan
Trichoderma spp. adalah dengan melakukan mikoparasitik dan menghasilkan
antibiosis bagi cendawan patogen (Harman 2006).
Aplikasi cendawan Trichoderma spp. dapat meningkatkan pembentukan
senyawa yang bersifat anti patogen seperti pathogenesis related (PR) protein yang
mampu mensintesis protein yang bersifat kitinase dan juga β-1,3glukanase bila
10

tanaman diinfeksi oleh patogen. Kedua enzim ini mampu mengkatalis hidrolisis
polisakarida yang merupakan bahan penyusun dinding sel cendawan sehingga
tanaman akan menjadi lebih tahan terhadap serangan patogen. Pengaruh induksi
Trichoderma spp. sebagai antagonis dapat menguatkan dinding sel, sehingga
konidia terhambat dalam melakukan penetrasi dan menghambat spora berkecambah
yang disebabkan oleh adanya senyawa yang bersifat anti cendawan. Induksi juga
dapat meningkatkan akumulasi lignin dan fenol pada jaringan yang terinfeksi
(Nurhayati et al. 2012).
Ketahanan yang dihasilkan melalui induksi cendawan Trichoderma spp.
dapat dilakukan dengan memacu proses lignifikasi pada daerah yang di sekitar
jaringan tanaman. Trichoderma spp. juga dapat mengeluarkan antibiotik
trichodermin yang mampu menghambat cendawan yang bersifat patogen
(Gusnawati 2014). Menurut Ginting (2012), jenis Trichoderma yang beragam juga
diikuti dengan beragam sifat dan karaktersistik. Strain tertentu mengkolonisasi
permukaan akar dan memenetrasi epidermis yag selanjutnya akan melepas berbagai
senyawa yang mengiduksi (induce) respon tahan (resistant) secara lokal atau
sistemik.
Cendawan antagonis mampu mengendalikan seranga patogen penyebab
penyakit dari golongan cendawan dengan menggunakan mekanisme
mikoparasitime. Mekanisme mikoparasitik terjadi apabila cendawan mampu
memproduksi enzim ektraselular untuk merusak dinding sel cendawan lain yang
kemudian digunakan sebagai sumber nutrisi. Agens hayati Trichoderma spp
mempunyai kemampuan untuk menghasilkan enzim hidrolitik β-1,3-glukanase,
kitinase, dan selulase. Enzim-enzim inilah yang secara aktif merusak sel-sel
cendawan lain yang sebagian besar tersusun dari 1,3 glukan (linamirin) dan kitin
sehingga Trichoderma spp. dapat dengan mudah melakukan penetrasi ke dalam hifa
cendawan inangnya (Octaviani 2015).
III SELEKSI AKTINOMISET DAN Trichoderma spp SEBAGAI AGENS
HAYATI Ganoderma boninense

3.1 Abstrak

Aktinomiset dan Trichoderma spp. merupakan kelompok agens antagonis


yang diketahui berpotensi untuk menekan pertumbuhan dan perkembangan G.
boninense. Kedua agens antagonis tersebut mampu mengendalikan G. boninense
melalui beberapa mekanisme antagonis seperti menghasilkan senyawa antibiotik,
menghasilkan enzim yang bersifat litik, mekanisme mikoparasitik, induksi
resistensi dan mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman. Penelitian ini
bertujuan untuk mendapatkan beberapa isolat aktinomiset dan Trichoderma spp.
sebagai agens hayati dalam menekan pertumbuhan G. boninense penyebab penyakit
busuk pangkal batang pada kelapa sawit. Tahapan penelitian meliputi penyediaan
isolat G. boninense, aktinomiset dan Trichoderma spp., uji antibiosis (dual culture),
uji pengaruh VOC dan senyawa bioaktif terhadap pertumbuhan G. boninense.
Karakterisasi aktinomiset dalam menghasilkan enzim kitinase, glukanase, selulase,
fosfatase, indole acetic acid (IAA) serta fiksasi nitrogen. Isolat aktinomiset dan
Trichoderma spp terpilih selanjutnya dilakukan identifikasi secara molekuler.
Aktinomiset isolat AKTb, AKT19, AKT28, AKT41, AKT52, AKT56 dan AKT57
mampu menghambat G. boninense 33,33% sampai dengan 100%. Senyawa
bioaktif dan senyawa VOC dapat menekan G. boninense 89,17% dan 20,23%.
Senyawa bioaktif dengan konsentrasi 0,5 - 3% dapat mengurangi biomassa miselia
G. boninense. Semua isolat aktinomiset menghasilkan enzim pendegradasi glukan,
kitin, dan selulosa. Semua isolat dapat melarutkan fosfat namun Isolat AKT19,
AKT28 dan AKT52 tidak dapat melarutkan fosfat. Isolat aktinomiset dapat
mengikat nitrogen kecuali pada isolat AKT28 dan AKT 52. Semua aktinomiset
menghasilkan hormon IAA. Berdasarkan analisis sikuen gen 16S Rrna
menunjukkan bahwa isolat aktinomiset yang mempunyai potensi menghambat
paling tinggi yaitu Streptomyces gelaticus strain NRRL B-2928. Dua isolat
Trichoderma spp menghambat G. boninense 90,9 - 93,9 % dan hambatan senyawa
VOC sebesar 55,2 - 70,56%. Kedua isolat mampu menghasilkan enzim kitinase,
glukanase dan hormon IAA. Berdasarkan sikuen gen ITS, Trichoderma TSU dan
Trichoderma TGLP menunjukan homologi tertinggi dengan Trichoderma
yunanense dan Trichoderma asperelum.

Kata Kunci: antagonis, Streptomyces gelaticus, Trihoderma asperelum,


Trichoderma yunanense

3.2 Abstract

Actinomycetes and Trichoderma spp. are a group of antagonistic agents


which are known to have the potential to suppress the growth and development of
G. boninense. Both antagonistic agents were able to control G. boninense through
several antagonistic mechanisms such as producing antibiotic compounds,
producing lytic enzymes, mycoparasitic mechanisms, induction of resistance and
12

being able to increase plant growth. This study aimed to obtain several isolates of
actinomycetes and Trichoderma spp. as biological control agents in suppressing the
growth of G. boninense which causes stem rot disease in oil palm. The research
steps included rejuvinations isolates of G. boninense, actinomycetes and
Trichoderma spp., antibiosis test (dual culture), testing the effect of VOCs and
bioactive compounds on the growth of G. boninense. Characterization of
actinomycetes in producing the enzymes chitinase, glucanase, cellulase,
phosphatase, indole acetic acid (IAA) and the abiliy to fixete nitrogen. Selected
actinomycetes and Trichoderma spp isolates were then identified molecularly.
Actinomycetes isolates AKTb, AKT19, AKT28, AKT41, AKT52, AKT56 and
AKT57 were able to inhibit G. boninense 33.33% to 100%. The effect of bioactive
compounds and VOC compounds can suppress G. boninense 89,17% and 20,23%,
respectively. Bioactive compounds with a concentration of 0.5-3% can reduce the
mycelia biomass of G. boninense. All actinomycete isolates produced glucan,
chitin, and cellulose degrading enzymes. All isolat can dissolve phosohate but
isolates AKT19, AKT28 and AKT52 could not dissolve phosphate. Isolates
actinomycetes can fixing nitrogen except AKT28 and AKT52. All actinomycetes
produce the hormone IAA. Based on the analysis of the 16S Rrna gene sequence, it
showed that the actinomycete isolate that had the highest inhibition potential was
Streptomyces gelaticus strain NRRL B-2928. Two isolates of Trichoderma spp
inhibited G. boninense 90,9 – 93,9% and VOC compounds inhibited by 55,2 –
70,56%. Both isolates were able to produce chitinase, glucanase and IAA
hormones. Based on the ITS gene sequence, Trichoderma TSU and Trichoderma
TGLP showed the highest homology with Trichoderma yunanense and
Trichoderma asperelum.

Key words: antagonist, Streptomyces gelaticus, Trihoderma asperelum,


Trichoderma yunanense

3.3. Pendahuluan

Salah satu metode pengendalian yang banyak digunakan untuk menekan


perkembangan penyakit busuk pangkal batang G. boninense pada kelapa sawit yaitu
dengan menggunakan agens hayati. Pengendalian hayati dilakukan dengan
menekan populasi dan perkembangan patogen dengan menggunakan bakteri atau
cendawan antagonis (Heimpel dan Mils 2017). Agens hayati mampu melindungi
tanaman dengan menginduksi ketahanan tanaman tanpa melakukan interaksi secara
langsung dengan patogen (Pieterse et al. 2014; Conrath et al. 2015). Mekanisme
pengendalian yang secara tidak langsung juga dapat dilakukan melalui kompetisi
nutrisi dan ruang (Spadaro dan Droby 2016). Beberapa bakteri dan cendawan
antagonis juga diketahui mampu menekan perkembangan patogen dengan
melakukan hiperparasitisme atau antibiosis. Mekanisme ini bekerja dengan
menyerang dan melisiskan meselium, spora dan struktur istirahat dari G. boninense
(Ghorbanpour et al. 2018).
Beberapa agens antagonis yang diketahui sangat berpotensi dalam menekan
pertumbuhan dan perkembangan G. boninense adalah bakteri kelompok
aktinomiset. Aktinomiset terdiri atas 6 ordo, 46 famili, 202 genus, dan 2.335
spesies. Sekitar 90% aktinomiset yang diisolasi dari tanah merupakan Streptomyces
13

sp. (Anderson dan Wellington 2001). Streptomyces merupakan bakteri Gram


positif, bersifat aerob dan memiliki genom dengan kandungan guanin serta citosin
yang tinggi. Hal ini menyebabkan ikatan DNA Streptomyces lebih stabil dan tahan
terhadap perubahan lingkungan (Dehn et al. 2011). Streptomyces sebagai genus
terbesar dengan jumlah spesies lebih dari 500. Genera dominan lain yang juga
banyak ditemukan dalam golongan aktinomiset, yaitu Nocardia, Actinomadura,
Micromonospora, Microbispora, Streptosporangium, dan Actinoplanes (Madigan
et al. 2003; Goodfellow et al. 2011).
Streptomyces mampu mampu menekan perkembangan patogen tular tanah
seperti G. boninense dengan menghasilkan senyawa antibiotik seperti nistatin,
pimarisin, ampoterisin, dan kandisidin (Hwang et al. 2007). Antibiotik yang
dihasilkan dapat menghambat germinasi spora dan mendegradasi miselium
cendawan sehingga miselium mengalami lisis dan mati (Singh et al. 2013).
Streptomyces juga menghasilkan senyawa antifungi yang bersifat broad range
target atau mampu menghambat lebih dari satu jenis patogen.
Antibiotik seperti Oligomisin A dan C dari Streptomyces dilaporkan dapat
menghambat pertumbuhan cendawan patogen seperti Aspergillus, Alternaria
alternata, Botrytis cinerea, dan Phytophthora capsici (Yang et al. 2010).
Streptomyces sebagai agen biokontrol juga mampu mensintesis enzim ekstraseluler,
seperti kitinase yang berperan untuk mendegradasi kitin. Kitin merupkan polimer
residu dari β-(1,4)-N-asetil glukosamin dan merupakan salah satu komponen utama
penyusun dinding sel cendawan (Friedrich et al. 2012).
Salah satu agens antagonis lainnya yang juga diketahui sangat berpotensi
menekan pertumbuhan dan perkembangan G. boninense adalah Trichoderma spp.
Beberapa laporan menunjukkan bahwa Trichoderma spp dapat menghambat
pertumbuhan patogen melalui aktivitas antagonis dan aktivitas mikoparasitik yang
tinggi (Bhattacharjee dan Dey 2014), dan mampu meningkatkan aktivitas perakaran
tanaman dalam meningkatkan serapan unsur hara, meningkatkan perkecambahan
benih, dan menstimulasi ketahanan tanaman dari cekaman biotik dan abiotik (Hicks
et al. 2014; Bhattacharjee dan Dey, 2014). Trichoderma spp. mampu menghasilkan
lebih dari 250 produk metabolit termasuk enzim pendegradasi dinding sel, peptida,
metabolit dan senyawa protein lainnya (Lorito et al. 2010; Keswani et al. 2014;
Ruocco et al. 2015). Senyawa yang dihasilkan banyak yang bersifat bioaktif dan
dapat mempengaruhi respon tanaman terhadap patogen dengan meningkatkan
mekanisme ketahanan tanaman sekaligus meningkatkan pertumbuhan dan
perkembangan tanaman terutama pada bagian perakaran (Lombardi et al, 2018).
Penggunaan aktinomiset dan Trichoderma spp sebagai agens hayati G.
boninense penyebab penyakit busuk pangkal batang pada kelapa sawit belum
pernah dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk menyeleksi dan mendapatkan
agens antagonis aktinomiset dan Trichoderma spp untuk menekan pertumbuhan
dan perkembangan G. boninense

3.4 Metode

3.4.1 Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilaksanaka di Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan dan
Laboratorium Mikologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Institut
Pertanian Bogor pada bulan April hingga September 2021.
14

3.4.2 Bahan dan Alat


Bahan yang digunakan antara lain beberapa jenis media buatan seperti
media potato dextrose agar (PDA), media soluble casein cair steril, media
soluble casein padat, media yeast starch agar (YSA), media international
streptomyces project (ISP) (4 g yeast extract, 10 g malt extract, 4 g dextrose, 24
g agar dan 1 L aquadest), bacto agar, media water yeast extract (WYE), media
potato dextrose broth (PDB) cair, media cair nutrient broth (NB), asam asetat,
tanah perakaran kelapa sawit, tubuh buah cendawan Ganoderma boninense,
bibit kelapa sawit.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini yakni laminar air flow, autoklaf,
oven, microwave, inkubator, waterbath, kompor, panci, mesin polymerase chain
reaction (PCR), tabung eppendorf, tabung mikro, sentrifus, mikropipet, tabung
reaksi, cawan petri, tabung eppendorf, tabung reaksi, tip mikropipet,
hemocytometer, penggaris, gunting, bak, polybag, termometer, dan lemari
pendingin.

3.4.3 Isolasi dan Identifikasi Cendawan G. boninense sebagai Sumber


Inokulum
Cendawan G. boninense yang diisolasi berasal dari perkebunan kelapa
sawit di Sumatera Utara yang terserang penyakit busuk pangkal batang (BPB).
Tubuh buah kemudian dipotong dengan ukuran 4 cm2 dan selanjutnya dilakukan
sterilisasi dengan menggunakan NaOCl 3% dan alkohol 70%. Selanjutnya
dilakukan perendaman dengan air steril sebanyak 3 kali masing masing 3 menit
dan selanjutnya dikering anginkan. Potongan tubuh buah yang telah kering
kemudian dipotong kembali dalam kondisi steril dengan cutter dan pinset steril
berukuran 0,5 cm2 kemudian diinokulasikan pada media potato dextrose agar
(PDA) yang mengandung antibiotik amphisilin pada konsentrasi 50 µg/ml.
Setelah miselium tumbuh di sekeliling potongan tubuh buah, dilakukan
pemurnian dengan cara mengambil potongan hifa yang paling jauh dari
potongan tubuh buah dan diinokulasikan ke medium PDA yang baru (Purwanto
et al. 2016).
Identifikasi Morfologi dan Molekuler G. boninense. Identifikasi isolat
cendawan G. boninense dilakukan secara makroskopis, dengan mengamati
tubuh buah yang jadi sumber isolat meliputi ukuran dan warna. Koloni yang
tumbuh juga diamati berupa bentuk koloni, cara pertumbuhan hifa, tepi koloni
dan kecepatan tumbuh. Kemudian, dilanjutkan dengan pengamatan secara
mikroskopis yang meliputi pengamatan terhadap bentuk dan ukuran hifa.
Identifikasi berdasarkan deskripsi menurut Bhosle et al. (2010).
Ekstraksi DNA Total. DNA total dari G. boninense diekstraksi dengan
mengunakan metode yang dijelaskan oleh Abd-Elsalam et al. (2003). Cendawan
G. boninense ditumbuhkan pada media PDB cair 100 mL dan dinkubasi pada
shaker dengan kecepatan 115 rpm selama 3-7 hari. Setelah 3 hari miselia
cendawan diambil dengan menggunakan mikropipet dan tempatkan pada tube
1,5 mL. Kemudian disentrifuse dengan kecepatan 10.000 rpm selama 5 menit
untuk memisahkan pelet miselia dengan media cair. Pisahkan pellet dari
supernatan dan cuci dengan menggunakan 500 µL TE buffer (10 Mm Tris-HCl
[Ph 8.0], 1Mm EDTA). Selanjutnya sentrifuse dengan kecepatan 10.000 rpm
15

selama 5 menit dan buang supernatan. Gerus pelet yang berada didasar tube
dengan menggunakan pistel steril lalu tambahkan 300 µL Buffer ekstraksi (200
Mm Tris-HCl [ph 8.5]), 250 Mm NaCl, 25 Mm EDTA dan 0,5% SDS) kemudian
gerus kembali. Setelah digerus selanjutnya ditambahkan 150 µL sodium asetat
(Ph 5,2) dan dinkubasi selama 10 menit pada suhu ruang. Setelah diinkubasi
sentrifuse tube dengen kecepatan 10.000 rpm selama 3 menit. Ambil 400 µL
supernatan dan dimasukkan ke tube baru dan tambahkan isopropanol dengan
volume yang sama. Presipitasi DNA dengan sentrifugasi pada 10.000 rpm
selama 10 menit. DNA dicuci dengan 500 μl ethanol 70% dan 13 disentrifugasi
kembali pada 10.000 rpm selama 10 menit. DNA dikeringkan dan dilarutkan
dalam TE (1 Mm Tris-HCL [Ph 8], 1 Mm EDTA), kemudian disimpan pada suhu
-20 ºC hingga digunakan.
Amplifikasi DNA. Amplifikasi daerah ITS (internal transcribed spacer)
dilakukan dengan teknik PCR menggunakan primer ITS 1 (forward) 5’-TCC
GTA GGT GAA CCT GCGG-3’, dan ITS4 (reserve) 5’-TCC TCC GCT TAT
TGA TAT GC-3’. Amplifikasi pada mesin PCR dengan campuran reaksi total
volume 25 µL yang terdiri dari Bioline My Taq Red mix 2x 12,5 µL, Nucleus
free water 9,5 µL, pasangan primer ITS1 dan ITS4 masing-masing 1 µL, serta
DNA template (sampel DNA) 1 µL. Hasil campuran dimasukkan ke dalam tube
200 µL dan dimasukan ke dalam mesin PCR. Mesin PCR dijalankan dengan
siklus denaturasi awal 94 °C selama 2 menit, dilanjutkan dengan 35 siklus (94 °C
selama 50 detik untuk denaturasi, 55 °C selama 1 menit untuk annealing, 72 °C
selama 1 menit untuk polimerasi DNA), kemudian ditambahkan satu siklus
terakhir pada 72 °C selama 5 menit dan reaksi akan berakhir pada suhu 20°C.
Produk PCR kemudian divisualisasi dengan metode elektroforesis pada gel
agarose 1 % dan migrasi pada tegangan 50 V selama 50 menit kemudian diamati
di bawah UV transiluminator (Taribuka et al 2016).
Produk PCR kemudian sekuensing melalui jasa sekuensing First Base
Sequencing (Malaysia) melalui PT Genetika Science Indonesia. Karakter
molekuler berupa urutan basa nukleotida dianalisis menggunakan perangkat
lunak BioEdit dan analisis homologi menggunakan Blast-N (Basic Local
Alignment Search Tool-Nucleotida) di situs National Center for Biotechnology
Information (NCBI). Seluruh sekuen disejajarkan dengan menggunakan
perangkat lunak Muscle dalam MEGA versi 5.2.2. Analisis pohon filogeni
dilakukan menggunakan metode Neighbor Joining dengan 1000 bootstrap
(Tamura et al. 2011).

3.4.4 Isolasi dan Identifikasi Agens Antagonis Aktinomiset


Isolat aktinomiset yang digunakan merupakan isolat koleksi milik
Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Institut
Pertanian Bogor yang diiisolasi dari lahan gambut di Kabupaten Musi
Banyuasin, Provinsi Sumatra Selatan (104° 12’ 45.688” E; 2° 2’ 38.951” S).
Isolat yang digunakan telah melalui pengujian keamanan hayati meliputi uji
hemolisis dan uji hipersensitif pada tanaman tembakau. Isolat yang digunakan
mempunyai kode Isolat AKTb, AKT19, AKT28, AKT41, AKT52, AKT56 dan
AKT57.
Identifikasi Aktinomiset Berdasarkan Karakteristik Morfologi.
Identifikasi morfologi aktinomiset dilakukan meliputi warna miselium aerial,
16

warna miselium substrat, bentuk koloni, tepi koloni, elevasi koloni, permukaan
koloni dan ukuran koloni (Akbar et al. 2017). Hasil identifikasi kemudian
dibandingkan dengan buku Bergey’s Manual Determinative of Bacteriology
Tahun 1994.

3.4.5 Uji Kemampuan Aktinomiset sebagai Agens Hayati G. boninense


Uji Antibiosis Isolat Aktinomiset terhadap G. boninense (Dual
culture). Semua aktinomiset yang telah lulus uji keamanan hayati akan
dilakukan pengujian terhadap kemampuan menghambat pertumbuhan cendawan
G. boninense secara in-vitro menggunakan metode yang dijelaskan oleh Kunova
et al. (2016). Isolat aktinomiset digores pada bagian sisi cawan yang berisi media
potato dextrose agar (PDA) dan selanjutnya diinkubasi selama 3 hari. Setelah
diinkubasi, Isolat G. boninense diletakkan di sisi lain cawan petri dan
selanjutnya diinkubasi selama 7 hari. Persentase penghambatan pertumbuhan G.
boninense dihitung menggunakan rumus berikut :
R1−R2
H = x 100%
R1
Keterangan :
H: Persentase penghambatan aktinomiset sebagai agens antagonis
R1: Jari-jari cendawan patogen kontrol
R2: Jari-jari cendawan patogen yang mendekati koloni aktinomiset

Uji Senyawa Volatile yang Dihasilkan Aktinomiset dalam


Menghambat Pertumbuhan G. boninense. Uji produksi senyawa organik
volatil dilakukan dengan menggunakan dua cawan petri berdiameter 9 cm
dengan cara saling menangkupkan dua cawan, dimana cawan yang atas adalah
biakan G. boninense dan cawan yang pada bagian bawah adalah biakan
aktinomiset yang ditumbuhkan pada media ISP2. Cawan petri direkatkan dengan
wrapping plastic dan diinkubasi selama 7 hari pada suhu ruang. Penghambatan
senyawa volatile terhadap pertumbuhan G. boninense dilakukan dengan cara
menghitung persentase penghambatan menggunakan metode Yuan et al (2012) ;
DK−DP
THR = x 100%
DP
Dimana :
THR = Tingkat hambatan relatif (%)
DK = Diameter G. boninese pada kontrol (cm).
DP = Diameter G. boninense pada perlakuan dengan isolat aktinomiset (cm).

Uji Pengaruh Senyawa Bioaktif yang Dihasilkan Aktinomiset


terhadap Pertumbuhan G. boninense. Pengujian daya antagonis aktinomiset
terhadap cendawan G. boninense dilakukan dengan metode peracunan media
tumbuh. Media yang digunakan adalah PDA yang telah disterilisasi pada suhu
121 ⁰C selama 15 menit. Masing masing aktinomiset yang telah teridentifikasi
dan berumur 14 hari ditumbuhkan pada media ISP2 sebanyak satu ose setiap
isolat (Crawford et al. 1993), kemudian diinkubasikan pada shaker dengan
kecepatan 100 rpm selama 7 hari. Sebanyak 1 mL media ISP2 yang mengandung
17

biakan aktinomiset kemudian dimasukan kedalam tabung appendolf dan


disentrifugasi dengan kecepatan 12.000 rpm selama 15 menit.
Supernatant yang dihasilkan kemudian diambil dan dipindahkan ke dalam
tabung appendolf baru, lalu difiltrasi menggunakan filter millipore 0,22 µm
untuk sterilisasi (Susilowati et al. 2007). Konsentrasi senyawa bioaktif
aktinomiset yang akan digunakan adalah 10%. Cairan yang mengandung
senyawa bioaktif dicampurkan ke dalam media PDA yang telah dicairkan (suhu
50 ⁰C).
Masing masing 10% senyawa bioaktif aktinomiset dicampurkan pada
media PDA yang telah dicairkan pada suhu 50 °C. Selanjutnya isolat G.
boninense yang berumur 7 hari ditanam pada media PDA yang telah diberi
perlakuan. Perlakuan terdiri dari kontrol tanpa menggunakan senyawa bioaktif
dan perlakuan dengan aplikasi senyawa bioaktif. Setiap perlakuan terdiri dari 4
ulangan dengan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL). Pengamatan
daya hambat pada setiap perlakuan dilakukan selama 7 hari dengan mengukur
diameter pertumbuhan koloni cendawan G. boninense. Hambatan relatif (% HR)
dari perlakuan uji dihitung dengan menggunakan rumus:
DK−DP
HR (%) = x 100%
DK

Keterangan : DK = diameter koloni G. boninense pada kontrol (cm)


DP = diameter koloni G. boninense pada perlakuan (cm)

Uji Pengaruh Senyawa Bioaktif Aktinomiset terhadap Pertumbuhan


G. boninense. Pengujian konsentrasi senyawa bioaktif aktinomiset potensial
dilakukan berdasarkan metode Achmad dan Mulyaningsih (2015). G. boninense
ditumbuhkan pada media PDB cair yang mengandung metabolit aktinomiset
potensial dengan berbagai taraf konsentrasi yaitu 0%, 0,5%, 1%, 1,5%, 2%,
2,5%, dan 3%. Biakan G. boninense selanjutnya diinkubasi selama 7 hari dengan
cara dishaker dengan kecepatan 115 rpm. Pada hari ke tujuh miselia G.
boninense dipisahkan dengan cara menyaring miselia G. boninense dari media
tumbuh dengan kertas saring Watman no 1 yang telah diketahui bobot keringnya
(dioven selama 24 jam pada suhu 60°C). Miselia G. boninense pada kertas saring
kemudian dimasukkan ke dalam oven selama 24 jam pada suhu 60°C dan
dihitung beratnya berdasarkan Achmad dan Pratomo (2009).

3.4.6 Karakterisasi Fisiologis Isolat Aktinomiset


Uji Kemampuan Aktinomiset dalam Memproduksi Enzim Kitinase.
Pengujian kemampuan menghasilkan enzim kitinase sangat penting untuk
mengendalikan cendawan patogen yang sebagian besar dinding selnya tersusun
atas kitin. Pengujian ini dilakukan dengan menumbuhkan isolat aktinomiset pada
media agar kitin sesuai dengan metode Hsu dan Lockwood (1975) yang
mengandung koloidal kitin 0,4%, 0,3 g KH2PO4, 0,7 g K2HPO4, 0,5 g
MgSO4·5H2O, 0,01 g FeSO4·7H2O, 0,001 g ZnSO4·7H2O, 0,001 g MnCl2·4H2O
dan 20 g agar yang dilarutkan dalam 1 liter aquadest dengan Ph 8,0 - 8,5. Isolat
selanjutnya diinkubasi pada suhu 28 °C selama 7 hari. Zona bening yang
terbentuk di sekitar koloni aktinomiset menunjukkan adanya aktivitas kitinolitik
18

yang selanjutnya dihitung indeks kitinolitik berdasarkan metode Hariprasad et


al. (2011).
Uji Kemampuan Aktinomiset dalam Mendegradasi Glukan. Pengujian
kemampuan aktinomiset dalam mendegradasi glukan dilakukan dengan
menggunakan media agar glukan yang mengandung 0,65 gr Na2PO4, 1,5 gr
KH2PO4, 2,5 gr NaCl, 0,5 gr (NH4)2SO4, 0,05 gr CaCl2, 1,25 gr pepton, 0,5 gr
yeast ekstract, 10 Ml substrat glukan, 20 gr bacto agar dan 1 L air suling.
Aktinomiset diinokulasikan dengan coke borer 0,3 cm kemudian diinkubasikan
pada su
hu 30 °C selama empat hari. Selanjutnya medium yang telah ditumbuhi
oleh aktinomiset dan diinkubasi selama 4 hari digenangi dengan 1 mL larutan
pewarna congo red 0,1% dan didiamkan selama 5 menit, selanjutnya dibilas
dengan larutan NaCl 1M untuk melihat zona bening yang dihasilkan. Zona
bening merupakan indikasi bahwa isolat tersebut mampu memproduksi enzim
glukanase.
Uji Kemampuan Aktinomiset dalam Mendegradasi Selulosa.
Pengujian kemampuan aktinomiset dalam mendegradasi selulosa dilakukan
dengan menggunakan media agar selulase yang mengandung 1,36 gr KH2PO4, 1
gr (NH4)2SO4, 0,2 gr MgSO4.7H2O, 2 gr NaCl, 1 gr yeast ekstract, 0,01 gr
CaCl2.2H2O, 5 gr CMC (carboxymethyl cellulose), 15 gr bacto agar dan 1 L
aquadest. Aktinomiset selanjutnya ditumbuhkan pada media dengan
menggunakan coke borer 0,3 cm kemudian diinkunbasikan pada suhu 30 °C
selama empat hari. Medium yang telah ditumbuhi oleh aktinomiset digenangi
dengan 1 mL larutan pewarna congo red 0.1% dan dibilas dengan larutan NaCl
1M untuk melihat zona bening yang dihasilkan. Zona bening merupakan indikasi
bahwa isolat tersebut mampu untuk mendegradasi selulosa. Zona bening yang
terbentuk selanjutnya dihitung indeks selulase sesuai dengan metode Hastuti et
al. (2014).
Uji Kemampuan Melarutkan Fosfat. Pengujian dilakukan dengan
menumbuhkan isolat aktinomiset pada media Pikovskaya agar (Pikovskaya
1948) yang mengandung; 10 gr glukosa, 5 gr Ca3(PO)4, 0,5 gr (NH4)2SO, 0,2 gr
NaCl, 0,1 gr MgSO4‧H2O, 0,02 gr FeSO4‧7H2O, 15 gr bacto agar dan 1 liter
aquadest. Isolat aktinomiset yang dapat melarutkan fosfat akan membentuk zona
bening disekitar koloni. Pengukuran kemampuan dalam melarutkan fosfat
dilakukan dengan menentukan indeks fosfatase yang dilakukan pada hari ke 7
setelah inkubasi (Ulfiyanti dan Zulaikha 2015).
Uji Kemampuan Memproduksi IAA. Pengujian kemampuan
aktinomiset dalam menghasilkan senyawa IAA dilakukan berdasarkan metode
Patten dan Glick (2002). Isolat aktinomiset ditumbuhkan pada 5 mL media cair
ISP2 yang mengandung L-triptofan (L-trp) 2 mg/mL kemudian diinkubasi di
inkubator bergoyang dengan kecepatan 117 rpm pada suhu 28 °C selama 7 hari.
3 mL biakan murni aktinomiset kemudian dipisahkan dengan menggunakan
filter miliphore yang berukuran 0,24 µm sehingga didapatkan metabolit kasar
aktinomiset. Sebanyak 1 mL metabolit kasar dicampur dengan 2 Ml reagen
Salkowsky (Gordon dan Weber 1951) yang mengandung 150 mL H2SO4, 250
mL akuades, 7,5 mL FeCl2‧6 H2O 0,5 M yang selanjutnya akan diinkubasi
selama 30 menit pada ruangan gelap. Suspensi yang mengalami perubahan
warna menjadi merah muda menunjukkan bahwa isolat memproduksi IAA.
19

Uji Kemampuan Aktinomiset Menambat Nitrogen. Pengujian aktivitas


aktinomiset dalam menambat Nitrogen dilakukan untuk mendeteksi
kemampuannya dalam fiksasi nitrogen bebas menggunakan media yang bebas
dari nitrogen. Pengujian dilakukan dengan menumbuhkan isolat aktinomiset
pada media semi agar NFB (Nitrogen-free bromthymol blue) yang terdiri dari
asam malat 5 g, KOH 4 g, K2HPO4 0,5 g, MgSO4.7H2O 0,01 g, MnSO4.H2O
0,01 g, NaCl 0,02 g, CaCl2 0,01 g, FeSO4.7H2O 0,05 g, Na2MoO4.2H2O 0,002
g, agar-agar 1,75 g, dan 0,5% bromotimol biru 2 mL (Dobereiner et al. 1976).
Isolat aktinomiset selanjutnya diinkubasi selama 7 hari pada suhu ruang. Isolat
yang dapat menambat nitrogen membentuk kabut melingkar seperti cincin di
bawah permukaan media.

3.4.7 Identifikasi Aktinomiset dengan Teknik Molekuler


Ekstraksi DNA total isolat aktinomiset dilakukan dengan menggunakan
PrestoTM Mini Gdna Bacteria Kit Geneid sesuai manual prosedur. Amplifikasi
gen 16S r RNA menggunakan DNA hasil ekstraksi sebagai template dilakukan
dengan metode PCR, amplifikasi dilakukan pada 25 Μl campuran yang terdiri
dari 12.5 µL PCR master mix (2x), 1 µL primer forward 27F (5’-
AGAGTTTGATCCTGGCTCAG-3’), 1 µL primer revers 16Sact1114R (5’-
GAGTTGACCCCGGCRGT-3’, 1 µL DNA template dan 9.5 Nucleus free water
(NFW). Tube PCR berisi campuran reaksi tersebut diletakkan dalam mesin PCR
(GeneAmp PCR System 9700) yang telah diprogram untuk tahap pre-denaturasi
pada 94 °C selama 2 menit, diikuti dengan 30 siklus yang terdiri dari tahap
denaturasi pada 94 °C selama 30 detik, annealing pada 52 °C selama 30 detik,
dan elongasi/extension pada 72 °C selama 2 menit. Tahap extensi akhir
dilakukan pada suhu 72 °C selama 2 menit. Produk PCR tidak dimurnikan.
Produk hasil PCR dideteksi dengan elektroforesis dengan menggunakan gel
agarosa. Produk PCR kemudian disekuensing melalui jasa sekuensing First Base
Sequencing (Malaysia).
Produk PCR kemudian sekuensing melalui jasa sekuensing First Base
Sequencing (Malaysia) melalui PT Genetika Science Indonesia. Karakter
molekuler berupa urutan basa nukleotida dianalisis menggunakan perangkat
lunak BioEdit dan analisis homologi menggunakan Blast-N (Basic Local
Alignment Search Tool-Nucleotida) di situs National Center for Biotechnology
Information (NCBI). Seluruh sekuen disejajarkan dengan menggunakan
perangkat lunak Muscle dalam MEGA versi 5.2.2. Analisis pohon filogeni
dilakukan menggunakan metode Neighbor Joining dengan 1000 bootstrap
(Tamura et al. 2011).

3.4.8 Isolasi Cendawan Trichoderma spp.


Isolat Trichoderma sp yang digunakan adalah isolat koleksi dan juga isolat
hasil isolasi. Isolat koleksi yang digunakan mempunyai kode isolat Trichoderma
TGLP. Sementara isolat yang diisolasi dilakukan pada sampel tanah perkebunan
kelapa sawit yang berasal dari Sumatra Utara. Sebanyak 10 g tanah
disuspensikan dalam 90 mL air steril dan dilakukan pengenceran bertingkat
sampai dengan pengenceran 10-5. Hasil pengenceran kemudian diinokulasikan
pada media PDA (Potato Dexrose Agar) dengan cara pour plate. Pemurnian
isolat cendawan yang diduga sebagai Trichoderma spp. dilakukan dengan cara
20

mengambil spora cendawan menggunakan jarum ose di bawah mikroskop dan


dimurnikan pada media PDA yang baru dan diinkubasikan selama lima hari.

3.4.9 Identifikasi Morfologi dan Molekuler Trichoderma spp.


Identifikasi isolat cendawan Trichoderma spp. potensial dilakukan dengan
pengamatan cendawan secara makroskopis meliputi warna dan bentuk koloni.
Kemudian dilanjutkan dengan pengamatan secara mikroskopis yang meliputi
pengamatan terhadap bentuk, ukuran konidia, hifa atau miselium dan ada atau
tidaknya sekat pada hifa. Identifikasi berdasarkan pada studi diskripsi
berdasarkan Rifai (1969) dan Kubicek dan Harman (1998).
Identifikasi molekuler diawali dengan isolasi DNA total dari Trichoderma
spp. Mengunakan metode yang dijelaskan oleh Abd-Elsalam et al. (2003).
Cendawan Trichoderma sp. ditumbuhkan pada media PDB cair 100 mL dan
dinkubasi pada shaker dengan kecepatan 115 rpm selama 3-7 hari. Setelah 3 hari
miselia cendawan diambil dengan menggunakan mikropipet dan tempatkan pada
microtube 1,5 µL. kemudian sentrifuse dengan kecepatan 10.000 rpm selama 5
menit untuk memisahkan pelet miselia dengan media cair. Pellet miselium yang
telah dipisahkan dari supernatan dicuci dengan menggunakan 500 µL TE buffer
(10 Mm Tris-HCl [Ph 8,0], 1Mm EDTA). Selanjutnya disentrifugasi kembali
dengan kecepatan 10.000 rpm selama 5 menit dan buang supernatan.
Pellet yang berada di dasar microtube digerus dengan menggunakan pistel
steril lalu tambahkan 300 µL Buffer ekstraksi (200 Mm Tris-HCl [ph 8,5]), 250
Mm NaCl, 25 Mm EDTA dan 0,5% SDS) kemudian digerus kembali. Setelah
digerus selanjutnya ditambahkan 150 µL sodium asetat (Ph 5.2) dan dinkubasi
selama 10 menit pada suhu ruang. Setelah diinkubasi campuran dalam microtube
disentrifugasi dengen kecepatan 10.000 rpm selama 3 menit. Sebanyak 400 µL
supernatan dimasukkan kedalam microtube baru dan ditambahkan isopropanol
dengan volume yang sama. DNA dengan sentrifugasi pada 10.000 rpm selama
10 menit. DNA dicuci dengan 500 µL ethanol 70% dan disentrifugasi kembali
pada 10.000 rpm selama 10 menit. DNA dikeringkan dan dilarutkan dalam TE
(1 Mm Tris-HCL [Ph 8], 1 Mm EDTA), kemudian disimpan pada suhu -20 ºC
hingga digunakan.
Amplifikasi DNA dan program PCR. Amplifikasi daerah ITS (internal
transcribed spacer) dilakukan dengan teknik PCR menggunakan primer ITS 1
(forward) (5’-TCC GTA GGT GAA CCT GCGG-3’, dan ITS4 (reverse) 5’-TCC
TCC GCT TAT TGA TAT GC-3’. Amplifikasi dilakukan pada mesin PCR
dengan campuran reaksi total volume 25 µL yang terdiri dari Bioline My Taq
Red mix 2x 12,5 µL, Nucleus free water 9,5 µL, pasangan primer ITS1 dan ITS4
masing-masing 1 µL, serta template (sampel DNA) 1 µL. Hasil campuran
dimasukkan ke dalam tabung 200 µL dan dimasukan ke dalam mesin PCR.
Mesin PCR dijalankan dengan siklus denaturasi awal 94 °C selama 2 menit,
dilanjutkan dengan 35 siklus (94 °C selama 50 detik untuk denaturasi, 55 °C
selama 1 menit untuk annealing, 72 °C selama 1 menit untuk polimerasi DNA),
kemudian ditambahkan satu siklus terakhir pada 72 °C selama 5 menit dan reaksi
akan berakhir pada suhu 20°C. Produk PCR kemudian divisualisasi dengan
metode elektroforesis pada gel agarose 1 % dan migrasi pada tegangan 50 V
selama 50 menit kemudian diamati di bawah UV transiluminator (Taribuka et al
21

2016). Produk PCR kemudian diskuensing melalui jasa sekuensing First Base
Sequencing (Malaysia).
Produk PCR kemudian sekuensing melalui jasa sekuensing First Base
Sequencing (Malaysia) melalui PT Genetika Science Indonesia. Karakter
molekuler berupa urutan basa nukleotida dianalisis menggunakan perangkat
lunak BioEdit dan analisis homologi menggunakan Blast-N (Basic Local
Alignment Search Tool-Nucleotida) di situs National Center for Biotechnology
Information (NCBI). Seluruh sekuen disejajarkan dengan menggunakan
perangkat lunak Muscle dalam MEGA versi 5.2.2. Analisis pohon filogeni
dilakukan menggunakan metode Neighbor Joining dengan 1000 bootstrap
(Tamura et al. 2011).

3.4.10 Uji Potensi Trichoderma spp dalam Menghambat G. boninense


Uji dual culture. Pengujian daya hambat terhadap isolat Trichoderma spp.
dilakukan dengan mengikuti metode Dharmaputra et al. (1999). Cendawan
patogen G. boninense dan isolat Trichoderma spp. masing-masing berdiameter
0,5 cm diletakkan pada media PDA di bagian tepi cawan petri yang berbeda
dengan jarak 4 cm, kemudian diinkubasi pada suhu ruang. Persentase
penghambatan Trichoderma spp. terhadap G. boninense dihitung dengan
menggunakan rumus persentase penghambatan (Skidmore dan Dickinson 1976).

R1−R2
H = x 100%
R1

Keterangan :
H: Persentase penghambatan Trichoderma sp sebagai agens antagonis
R1: Jari-jari cendawan patogen yang menjauhi koloni Trichoderma spp.
R2: Jari-jari cendawan patogen yang mendekati koloni Trichoderma spp.

Uji Senyawa Volatile Trichoderma spp terhadap Pertumbuhan G.


boninense. Uji pengaruh senyawa organik volatil yang diproduksi Trichoderma
sp terhadap pertumbuhan G. boninense dilakukan dengan menggunakan dua
cawan petri berdiameter 9 cm dengan cara saling menangkupkan dua cawan,
dimana cawaan yang atas adalah biakan G. boninense dan cawan yang pada
bagian bawah adalah biakan Trichoderma spp yang ditumbuhkan pada media
PDA. Cawan petri direkatkan dengan plastik wraping dan diinkubasi selama 7
hari pada suhu ruang. Penghambatan senyawa volatil terhadap pertumbuhan G.
boninense dilakukan dengan cara menghitung persentase penghambatan
menggunakan metode Yuan et al (2012) ;
DK−DP
THR = x 100%
DP
Dimana :
THR = Tingkat hambatan relatif (%)
DK = Diameter koloni G. boninese pada kontrol (cm).
DP = Diameter koloni G. boninense pada perlakuan dengan isolat Trichoderma
spp (cm).
22

3.4.11 Karakterisasi Fisiologis Isolat Trichoderma spp


Uji kemampuan menghasilkan enzim kitinase. Trichoderma spp
ditumbuhkan pada media agar kitin sesuai dengan metode Hsu dan Lockwood
(1975) yang mengandung; koloidal kitin 0,4%, 0,3 g KH2PO4, 0,7 g K2HPO4,
0,5 g MgSO4 · 5H2O, 0,01 g FeSO4 · 7H2O, 0,001 g ZnSO4 · 7H2O, 0,001 g
MnCl2 · 4H2O dan 20 g agar yang dilarutkan dalam 1 liter aquadest dengan Ph
8,0–8,5. Isolat selanjutnya diinkubasi pada suhu 28 °C selama 7 hari. Zona
bening yang terbentuk di sekitar koloni Trichoderma sp menunjukkan adanya
aktivitas kitinolitik yang selanjutnya dihitung indeks kitinolitik berdasarkan
metode Hariprasad et al. (2011).
Uji Kemampuan Trichoderma spp dalam Mendegradasi Glukan.
Penguian kemampuan Trichoderma spp dalam mendegradasi glukan dilakukan
dengan menggunakan media agar glukan yang mengandung 0.65 gr Na2PO4, 1.5
gr KH2PO4, 2.5 gr NaCl, 0.5 gr (NH4)2SO4, 0.05 gr CaCl2, 1.25 gr pepton, 0.5 gr
yeast ekstract, 10 mL substrat glukan, 20 gr bacto agar dan 1 L air suling.
Trichoderma spp diinokulasikan dengan coke borer 0,3 cm kemudian
diinkubasikan pada suhu 30°C selama empat hari. Selanjutnya medium yang
telah ditumbuhi oleh Trichoderma spp dan diinkubasi selama 4 hari digenangi
dengan 1 mL larutan pewarna Congo Red 0.1% dan didiamkan selama 5 menit,
selanjutnya dibilas dengan larutan NaCl 1M untuk melihat zona bening yang
dihasilkan. Zona bening merupakan indikasi bahwa isolat tersebut
Uji Kemampuan Melarutkan Fosfat. Pengujian dilakukan dengan
menumbuhkan isolat Trichoderma sp pada media Pikovskaya agar (Pikovskaya
1948) yang mengandung; 10 gr glukosa, 5 gr Ca3(PO)4, 0,5 gr (NH4)2SO, 0,2 gr
NaCl, 0,1 gr MgSO4‧H2O, 0,02 gr FeSO4‧7H2O, 15 gr bacto agar dan 1 liter
aquadest. Isolat Trichoderma spp yang dapat melarutkan fosfat akan membentuk
zona bening disekitar koloni. Pengukuran kemampuan dalam melarutkan fosfat
dilakukan dengan menentukan indeks fosfatase yang dilakukan pada hari ke 7
setelah inkubasi (Ulfiyanti dan Zulaikha 2015).
Uji Kemampuan Memproduksi IAA. Trichoderma sp ditumbuhkan
pada 5 mL PDB yang mengandung L-triptofan (L-trp) 2 mg/ mL kemudian
diinkubasi dishaker inkubator dengan kecepatan 117 rpm pada suhu 28 °C
selama 7 hari. Sebanyak 3 mL biakan murni Trichoderma sp kemudian
dipisahkan dengan menggunakan filter miliphore yang berukuran 0,22 µm.
Sebanyak 1 mL metabolit kasar dicampur dengan 2 mL reagen Salkowsky
(Gordon dan Weber 1951) yang mengandung 150 ml H2SO4, 250 ml akuades,
7,5 Ml FeCl2‧6 H2O 0.5 M yang selanjutnya akan diinkubasi selama 30 menit
pada ruangan gelap. Suspensi yang mengalami perubahan warna menjadi merah
muda menunjukkan bahwa isolat memproduksi IAA.

3.4.12 Analisis Data


Data yang diperoleh dari uji in vitro potensi aktinomiset dan Trichoderma
spp dalam menekan G. boninense kemudian ditabulasi dengan menggunakan
pogram Microsoft exel, dan selanjutnya ditampilkan dalam bentuk tabel dan
grafik. Data dianalisis menggunakan Analysis of variance (ANOVA) dan apabila
terdapat pengaruh perbedaan dalam setiap perlakuan maka akan di uji lanjut
dengan menggunakan Uji Tukey pada taraf 5% menggunakan perangkat lunak
SAS 9.4
23

3.5 Hasil dan Pembahasan

3.5.1 Karakter Morfologi G. boninense.


Hasil identifikasi morfologi sampel Ganoderma yang digunakan sebagai
sumber inokulum menunjukkan karakteristik berupa tubuh buah berwarna coklat
kehitaman pada bagian tengah kemudian akan semakin berwarna coklat cerah
mendekati kemerahan pada bagian tepi. Pada bagian yang aktif tumbuh tubuh
buah berwarna putih. Permukaan tubuh buah mengkilat dengan tekstur
permukaan yang sedikit licin dan keras (Gambar 3.1).

A B C D
A\
Gambar 3.1. Sampel Ganoderma boninense sebagai sumber inokulum. A) bagias
atas tubuh buah; B) bagian bawah tubuh bawah; C) Permukaan
koloni; D) bawah koloni
Pada bagian bawah tubuh buah, berwarna coklat tua dan didominasi oleh
warna putih yang banyak terdapat pori pori. Tubuh buah berbentuk lingkaran
(menyerupai kipas) dengan permukaan yang sedikit menggelembung atau
cembung. Berdasarkan pengamatan terhadap karakter makroskopis isolat
G.boninense yang ditumbuhkan pada media PDA menunjukkan bahwa isolat G.
boninense mempunyai miselia yang padat dan cenderung berktekstur kasar,
mempunyai permukaan yang bergelombang dan pada bagian tengah permukaan
membentuk cincin melingkar (Gambar 3.1).

Tabel 3.1. Karakteristik biakan isolat Ganoderma boninense pada media PDA
Karakteristik Deskripsi
Waktu untuk tumbuh 8-9 hari
Kepadatan miselia Padat
Tekstur miselia Kasar
Tekstur permukaan koloni Cukup bergelombang
Cincin pada permukaan koloni Ada
Warna permukaan koloni Putih
Warna pada bagian bawah koloni Coklat kekuningan

Warna koloni yang dihasilkan berwarna putih (hyaline) namun pada


bagian bawah koloni berwarna coklat kekuningan. Hasil identifikasi
menunjukkan kesamaan dengan hasil identifikasi G. boninense yang dilakukan
oleh Raqib et a.l (2014) dimana karakteristik G. boninense yang diisolasi dari
tanaman yang menunjukkan gejala penyakit busuk pangkal batang berupa
miselia yang kasar dan padat, permukaan koloni yang terdapat cincin dan juga
bergelombang, warna koloni putih namun pada bagian bawah koloni berwarna
coklat kekuningan (Tabel 3.1).
24

3.5.2 Identifikasi G. boninense dengan Teknik Molekuler


Berdasarkan hasil deteksi molekuler menggunakan primer spesifik G.
boninense berhasil mengamplifikasi pita DNA berukuran ± 600 bp (Gambar
3.2). Hasil perunutan nukleotida yang berukuran ± 330 (Lampiran 4) yang
dibandingkan dengan database pada Genbank menunjukkan bahwa isolat G.
boninese mempunyai kedekatan homologi tertinnggi dengan spesies
Ganoderma boninense isolate UPMLD1806 dengan query cover 100% dan
persentase identitas sebesar 99,69%. Sebagian besar hasil perunutan nukleotida
menunjukkan hasil yang tidak terlalu berbeda dimana tingkat kemiripan
didominasi oleh G. boninense (Tabel 3.2, Gambar 3.3).

3000 pb

1000 pb
600 pb

Gambar 3.2 Visualisasi pita DNA isolat Ganoderma boninense hasil


amplifikasi menggunakan primer spesifik ITS1/ITS 4 pada gel
agarose 0,1 % dengan penanda DNA 1 kb. (1) Isolat G.
boninense Sumatra Utara
Tabel 3.2. Homologi runutan nukleotida ITS 1/ITS4 isolat Ganoderma
boninense dengan isolat di Genbank

Query Identitas Asal Nomor


Nama Isolat di GenBank
cover (%) (%) isolat aksesi

Ganoderma boninense isolate UPMLD1806 100 99,69 Malaysia MN148580.1


Ganoderma sp. isolate EE(18)-CHa 100 99,69 Taiwan MK605934.1
Ganoderma boninense isolate TARI 100 99,69 Taiwan MG200173.1
Ganoderma boninense isolate TARI R206008 100 99,69 Taiwan MG200172.1
Ganoderma sp. strain B/4/009 100 99,69 Indonesia KY471677.1
Ganoderma boninense isolate MD66 100 99,69 Malaysia MW647647.1
Ganoderma boninense isolate MD26 100 99,69 Malaysia MW647644.1
Ganoderma boninense isolate MD21 100 99,69 Malaysia MW647643.1
Ganoderma boninense isolate MD7 100 99,69 Malaysia MW647638.1
Ganoderma boninense isolate BSM3A 100 99,69 Malaysia MW647636.1
25

Gambar 3.3. Pohon filogeni isolat Ganoderma boninense dengan isolat dari
beberapa negara yang diambil dari Genbank
3.5.3 Karakter Morfologi Aktinomiset
Semua isolat aktinomiset mempunyai miselium aerial dan mempunyai tipe
rantai spora yang berbeda. Isolat dengan kode AKT19, AKT28 dan AKT52
mempunyai bentuk rantai spora rectiflexibles sedangkan isolat kode AKTb,
AKT41, AKT56 dan AKT57 menunjukkan bentuk rantai spora verticiliate
(Tabel 3.3). Warna koloni aktinomiset isolat AKT19, AKT28 dan AKT52
berwarna abu abu dan menghasilkan pigmen berwarna kuning pada media ISP
2, sedangkan pada media YSA isolat tersebut menunjukkan warna koloni dan
warna permukaan koloni abu abu. Isolat AKTb dan AKT41 menunjukkan koloni
berwarna coklat dengan pigmen yang dihasilkan pada media berwarna coklat
(Lampiran 1)
Pada media YSA isolat AKTb dan AKT41 terdapat perubahan dimana
isolat AKTb menunjukkan warna koloni dan koloni bawah berwarna putih. Pada
isolat AKT41 baik warna koloni dan bagian bawah koloni keduanya berwana
coklat. Warna koloni pada isolat AKT56 berwarna abu abu, AKT57
menunjukkan koloni berwarna coklat namun kedua isolat tersebut menghasilkan
pigmen berwara coklat pada media ISP 2 dan YSA (Tabel 3.3).
Tabel 3.3. Karakteristik morfologi aktinomiset
Kode Isolat
Parameter
AKTb AKT19 AKT28 AKT41 AKT52 AKT56 AKT57
Aerial mycelium + + + + + + +
Bentuk rantai spora
Rectiflexibiles - + + - + - -
Spirales - - - - - - -
Vertilicilate + - - + - + +
Rectinaculiaperti - - - - - - -
Warna koloni, miselium dan pigmen pada medim YSA
abu-
Warna koloni putih coklat coklat abu-abu coklat coklat
abu
Produksi pigmen - - - - - - -
abu-
Koloni bawah putih coklat coklat abu-abu coklat coklat
abu
Warna koloni, miselium dan pigmen pada medim ISP
Warna koloni coklat abu-abu abu-abu coklat abu-abu abu-abu coklat
Produksi pigmen coklat kuning kuning - kuning - coklat
Koloni bawah coklat kuning kuning coklat kuning coklat coklat
26

Streptomyces termasuk famili Streptomycetaceae, tergolong salah satu


famili yang unik dari suborder Streptomycineae. Streptomyces tumbuh sebagai
miselia filamen di tanah. Aktinomiset yang telah berada difase koloni dewasa
akan membentuk dua tipe miselia yang berbeda yaitu miselium substrat
(vegetatif) dan miselium udara (aerial miselium). Miselium substrat dan
miselium aerial mempunyai peran yang berbeda. Miselium substrat berperan
dalam menyerap unsur hara atau nutrisi yang diperlukan untuk pertumbuhan
(Hastuti, 2012).
Miselium substrat dapat menembus substrat atau tumbuh pada permukaan,
sedangkan miselium aerial adalah miselium yang tumbuh vertikal. Miselium
aerial dapat tumbuh menutupi permukaan koloni sehingga koloni tampak
berambut dan bertepung (Locci dan Sharples 1984). Miselium ini tersusun atas
hifa dengan jaringan yang kompleks yang biasanya terikat di tanah atau
merupakan substrat yang imobilisasi. Miselium aerial berperan sebagai organ
reproduksi dimana ketika nutrisi dilingkungan berkurang maka miselium aerial
akan berkembang membentuk rantai spora seperti fase dewasa dalam siklus
hidupnya (Hopwood 1999).
Karakter morfologi isolat aktinomiset yang berpotensi menekan
pertumbuhan G. boninense menunjukkan kemiripan dengan genus
Streptomyces. Sebagian besar aktinomiset yang berada di daerah rizosfer
sebanyak 60% berasal dari kelompok Streptomyces (Apsari et al. 2019). Tujuh
isolat yang diidentifikasi menunjukkan bahwa sebanyak 3 isolat mempunyai tipe
rantai spora Rectiflexibiles dan yang lain termasuk kedalam tipe Verticillati dan
Rectinaculiaperti. Hal ini sesuai dengan Liu et al (2016), bahwa Genus
Streptomyces memiliki polisporus klasik yang membentuk rantai panjang dan
memiliki lebih dari 50 spora atau yang biasa disebut dengan rantai spora.
Beberapa tipe rantai spora yang menunjukkan karakteristik genus Streptomyces
meliputi Rectiflexibiles, Retinaculiaperti, Spira dan Verticillate. Selain itu,
koloni Streptomyces biasanya ditutupi dengan mycelium aerial. Menurut Awad
et al. (2009) morfologi Streptomyces sp. dapat dilihat dari aerial hyphae,
miselium substrat, bentuk permukaan koloni, dan warna, sedangkan dibawah
scanning microscope electron (SEM) tampak bentuk rantai spora seperti spiral.

3.5.4 Potensi Daya Hambat Aktinomiset sebagai Agens Hayati


Pengaruh dual culture. Tujuh isolat aktinomiset yang diuji secara dual
culture menunjukkan potensi untuk menghambat pertumbuhan G. boninense
dengan persentase penghambatan sebesar 33,33% sampai dengan 100%. Isolat
AKT19, AKT28 dan AKT52 menunjukkan penghambatan paling tinggi dengan
nilai 100% dan juga mampu menekan pertumbuhan koloni G. boninense
mencapai 100% (Tabel 3.4). Pada ketiga isolat tersebut menunjukkan zona
hambatan yang paling lebar dibandingkan dengan isolat lainnya (Gambar 3.4).
Isolat AKT41 dan AKT57 menunjukkan persentase hambatan yang tidak terlalu
berbeda yaitu sebesar 45% dan 50,13 %, sementara persentase penghambatan
yang paling rendah ditunjukan oleh isolat AKT56 dengan nilai 33,33% (Tabel
3.4).
27

Tabel 3.4. Hasil uji daya hambat aktinomiset terhadap Ganoderma boninense
Jari-jari Persentase
Perlakuan Terhambat (cm) penghambatan (%)
Rata-rata ± Stdeva Rata-rata ± Stdeva
Isolat AKTb 1,73 ± 0,05bc 45,00 ± 5,00bc
Isolat AKT19 0,00 ± 0,00d 100,00 ± 0,00a
Isolat AKT28 0,00 ± 0,00d 100,00 ± 0,00a
Isolat AKT41 1,37 ± 0,32c 56,43 ± 12,38b
Isolat AKT52 0,00 ± 0,00d 100,00 ± 0,00a
Isolat AKT56 2,10 ± 0,17b 33,33 ± 9,11c
Isolat AKT57 1,57 ± 0,20c 50,13 ± 9,48bc
Kontrol 3,17 ± 0,20a 0,00 ± 0,00d
a Angka angka pada masing-masing perlakuan pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang sama
menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji Tukey pada taraf 5%

A B C D

E F G H

Gambar 3.4. Hasil uji dual culture keefektifan aktinomiset dalam


menghambat pertumbuhan Ganoderma boninense. A) AKTb;
B) AKT19; C) AKT28; D) AKT41; E) AKT52; F) AKT56; G)
AKT57; H) Kontrol
Kelompok bakteri aktinomiset memiliki karakteristik sebagai agens
biokontrol terhadap beberapa patogen tular tanah dengan menghasilkan senyawa
bioaktif yang mampu menekan pertumbuhan patogen (Adegboye dan Babalola
2012). Isolat aktinomiset yang diuji menunjukkan mampu menghambat
pertumbuhan G. boninense mencapai 100% (Tabel 3.4). Hasil penelitian yang
sama juga ditunjukan oleh Muzaimmah et al. (2017), bahwa penggunaan
aktinomiset mampu menekan pertumbuhan G. boninense mulai dari 80% sampai
dengan 100%. Aktinomiset juga diketahui dapat menekan pertumbuhan patogen
tular tanah lainnya seperti Fusarium oxysporum B.cinerea R.solani V.dahliae
A.flavus (Aouar et al. 2020).
Salah satu karakteristik Streptomyces adalah mampu menghasilkan
senyawa bioaktif yang bersifat antimikrobial atau sebagai antibiotik bagi
28

patogen. Senyawa bioaktif merupakan senyawa biologis yang dihasilkan oleh


makhluk hidup dari hasil metabolit primer ataupun metabolit sekunder yang
dapat berasal dari proses metabolisme primer ataupun metabolisme sekunder
(Berdy 2005). Senyawa bioaktif yang dihasilkan oleh mikroorganisme
umumnya memiliki kemampuan sebagai antibakteri, antifungi, antikanker,
antiprotozoa dan juga sebagai antivirus.
Pengaruh Senyawa Bioaktif dan Senyawa Volatile Aktinomiset.
Perlakuan senyawa bioaktif aktinomiset sebesar 10% mampu untuk
menghambat pertumbuhan G. boninense. Hasil pengamatan terhadap hambatan
relatif dan diamater koloni menunjukkan hasil yang berbeda nyata (Tabel 3.5,
Gambar 3.5). Persentase hambatan relatif paling tinggi ditunjukan oleh isolat
AKT19 dengan nilai 89,17 % dan diameter koloni sebesar 0,87 cm, sementara
isolat AKT41 menunjukkan tidak ada penghambatan yaitu 0%.

Tabel 3.5. Pengaruh senyawa metabolit yang dihasilkan aktinomiset dan


senyawa VOC terhadap pertumbuhan Ganoderma boninense
Metabolit Aktinomiset a Pengaruh VOCa
Isolat Diameter Hambatan Diameter Hambatan
koloni (cm) relatif (%) koloni (cm) relatif (%)
AKTb 6,23 ± 2,88a 37,50 ± 33,07b 7,20 ± 1,11a 7,97 ± 6,91abc
AKT19 0,87 ± 0,30b 89,17 ± 3,82a 6,87 ± 1,33a 12,27 ± 11,38ab
AKT28 0,93 ± 0,30b 88,33 ± 3,82a 6,40 ± 0,29a 17,50 ± 9,62ab
AKT41 8,00 ± 0,00a 0,00 ± 0,00c 7,60 ± 1,05a 2,87 ± 4,96bc
AKT52 1,07 ± 0,50b 86,50 ± 6,26a 6,27 ± 1,84a 20,23 ± 18,12a
AKT56 5,80 ± 1,91a 27,50 ± 23,84bc 7,47 ± 0,92a 4,47 ± 4,30bc
AKT57 6,50 ± 2,59a 18,77 ± 32,50bc 6,60 ± 2,02a 16,53 ± 18,87ab
kontrol 8,00 ± 0,00a 0,00 ± 0,00c 7,80 ± 0,72a 0,00 ± 0,00c
a Angka angka pada masing-masing perlakuan pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang sama
menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji Tukey pada taraf 5%

Hasil pengujian senyawa bioaktif terhadap pertumbuhan G. boninense


menunjukkan terjadi hambatan sebesar 89,17 % (Tabel 3.5). Hasil ini didukung
oleh Lim et al. (2014) bahwa senyawa bioaktif Streptomyces sp mampu
menghambat pertumbuhan G. boninense sampai dengan 71,41% dengan
senyawa utama yang dihasilkan adalah ribostamycin, benxylmalic, landomycin
dan Salinomycin. Aktivitas yang dimiliki oleh senyawa bioaktif dapat berperan
sebagai aktivitas antibiotik. Mekanisme lainnya yang dimiliki oleh senyawa
bioaktif diluar aktivitas antibiotik yang dapat menekan pertumbuhan patogen
yaitu meliputi enzim inhibitor, aktivitas biokimia (antiinflamasi) dan juga
regulasi (hormon dan juga faktor pertumbuhan).
Senyawa bioaktif yang dihasilkan oleh aktinomiset sekitar 70% dihasilkan
oleh golongan Streptomyces, sedangkan sisanya dihasilkan oleh golongan non
Streptomyces seperti Micromonospora, Actinomadura, Streptoverticillium,
Actinoplanes, Nocardia, Saccharopolyspora, dan Streptosporangium (Berdy
2005). Beberapa strain bakteri anggota genus Streptomyces dapat menghasilkan
antibiotik seperti vankomisin, eritromisin, tetrasiklin, streptomisin dan
kloramfenikol (Hasani et al. 2014). Senyawa ini mampu merusak dinding sel,
29

mengganggu fungsi membran sel, serta mengganggu sintesis protein dan asam
nukleat cendawan patogen (Purnomo et al. 2018).
Salah satu kelebihan yang dimiliki oleh senyawa bioaktif yang dihasilkan
oleh aktinomiset adalah dapat menghambat berbagai pertumbuhan cendawan
patogen atau disebut dengan Broad range target. Amfoterisin yang diproduksi
oleh Streptomyces nodosus merupakan salah satu contoh antifungi yang
memiliki broad range target. Polioksin mampu menghambat sintesis khitin
Alternaria kikuchiana, Pyricularia oryzae, dan Candida albicans (Kimura dan
Bugg 2003). Kelebihan lainnya dari senyawa bioaktif yang dihasilkan oleh
aktinomiset adalah dapat menghasilkan lebih dari satu kemampuan biologis,
misalnya bafilomisin yang dihasilkan oleh sebagian besar Streptomyces spp.
memiliki kemampuan sebagai antimikroba, antitumor, ataupun aktivitas
antiparasit (Yu et al. 2011).

A B C D

E F G H

Gambar 3.5. Hasil uji pengaruh metabolit metabolit aktinomiset terhadap


pertumbuhan Ganoderma boninense. A) AKTb; B) AKT19; C)
AKT28; D) AKT41; E) AKT52; F) AKT56; G) AKT57; H)
Kontrol
Pengaruh senyawa volatile organic compound (VOC) yang dihasilkan
oleh aktinomiset menunjukkan mampu menghambat pertumbuhan G. boninense
(Tabel 3.6). Pada beberapa spesies aktinomiset, kelompok Streptomyces banyak
mendapatkan perhatian terkait dengan kemampuannya sebagai agens biokontrol.
Streptomyces diketahui banyak digunakan untuk mengendalikan beberapa
patogen tular tanah seperti Pyrenochaeta lycopersici, Sclerotiorum rolfsii, dan
Fusarium oxysporum (Errakhi et al. 2009). Streptomyces sp banyak dipelajari
terkait kemampuannya dalam menghasilkan senyawa antibiotik dan juga
senyawa VOC. (Morath et al. 2012).
Beberapa senyawa VOC yang dihasilkan oleh genus Streptomyces yang
diketahui dapat menekan pertumbuhan patogen tular tanah yaitu 2-
methylisoborneol (MIB) dan trans-1,10-dimethyl-trans-9-decalol (geosmin).
Senyawa ini juga bertanggung jawab terhadap bau yang dihasilkan oleh
aktinomiset (Jiang et al, 2007). Senyawa VOC yang diproduksi genus
30

Streptomyces dapat mengakibatkan morfologi patogen menjadi tidak normal dan


menghambat pertumbuhan hifa patogen (Cordovez et al. 2015).
S. platensis F-1 menghasilkan senyawa VOC yang bersifat anti fungal
terhadap Rhizoctonia solani, S. sclerotiorum, dan Botrytis cinerea (Wan et al.
2008). Demikian pula, VOC yang dihasilkan dari Streptomyces globisporus JK-
1 mampu menekan Penicillium italicum (Li et al, 2010). Senyawa VOC yang
dihasilkan oleh Streptomyces albulus NJZJSA2 diketahui dapat menghambat
pertumbuhan miselia cendawan patogen. Tingkat penghambatam yang
dilakukan terhadap cendawan Fusarium oxysporum dan Sclerotium sclerotina
menunjukkan masing masing hambatan sebesar 56.3% dan 100% setelah 60 jam
inkubasi. VOC yang dihasilkan tidak dapat mematikan miselia cendawan namun
hanya menghambat pertumbuhan cendawan (Wu et al. 2015).

A B C D

E F G H

Gambar 3.6. Hasil uji pengaruh VOC aktinomiset terhadap pertumbuhan


Ganoderma boninense. A) AKTb; B) AKT19; C) AKT28; d)
AKT41; E) AKT52; F) AKT56; G) AKT57; H) Kontrol
Salah satu jenis senyawa VOC yang dihasilkan oleh Streptomyces sp
adalah 4-methoxystyrene. Senyawa ini dapat menghambat pertumbuhan
cendawan patogen dengan cara mengakibatkan kerusakan pada morfologi hifa.
Percabangan hifa menjadi lebih pendek dan membengkak secara tidak normal,
selain itu dinding sel menjadi rusak dan mengalami penyusutan. Efek lainya dari
senyawa VOC juga mampu untuk menekan perkecambahan konidia (Wu et al.
2015).
Pengaruh Konsentrasi Senyawa Bioaktif Aktinomiset Potensial
terhadap Biomassa Miselia G. boninense. Perlakuan tingkat konsentrasi tiga
senyawa bioaktif isolat potensial menunjukkan terdapat pengaruh yang nyata
terhadap biomassa miselia G. boninense (Tabel 3.6). Pengujian yang dilakukan
pada isolat AKT19 menunjukkan bawah pada konsentrasi 0,5% sudah
memberikan pengaruh yang nyata terhadap penurunan biomassa miselia G.
boninense dan konsentrasi 3% menunjukkan nilai biomassa miselia paling
rendah dengan nilai 0,08 gr dengan persentase penghambatan sebesar 83,67%.
Pada isolat AKT28 menunjukkan konsentrasi yang memberikan pengurangan
biomassa miselia paling tinggi ditunjukan oleh konsentrasi 3% dengan nilai 0,07
31

gr dan persentase penghambatan sebesar 61,80%. Isolat AKT52 juga


menunjukkan bawah penurunan biomassa miselia G. boninense yang signifikan
ditunjukan oleh konsentrasi 3% dengan nilai 0,09 gr hambatan pertumbuhan
sebesar 49,53%.
Konsentrasi senyawa bioaktif yang ditambahkan pada media pertumbuhan
menunjukkan terdapat perbedaan pada biomassa G. boninense. Pada konsentrasi
3% menunjukkan dapat menurunkan biomassa G. boninense dengan signifikan
dan mampu menghambat pertumbuhan lebih dari 83.67% (Tabel 3.5). Senyawa
bioaktif aktinomiset pada beberapa konsentrasi tertentu diketahui dapat
menurunkan pertumbuhan cendawan patogen. Menurut Sharma dan Parihar
(2010), aplikasi senyawa bioaktif dengan konsentrasi 4% dapat menekan
pertumbuhan beberapa cendawan patogen seperti G. boninens, Aspergillus
niger, Aspergillus flavus, Alternaria sp, Fusarium sp, Rhizopus stolonifer,
Phytium ultimum dan Helminthosporium. Berkurangnya biomassa dan
menurunnya pertumbuhan disebabkan oleh malformasi struktur cendawan
seperti struktur hifa yang menebal, memendek, fragmen hifa yang hancur dan
mengalami lisis (Azura et al. 2016)

Tabel 3.6. Pengaruh tingkat konsentrasi metabolit sekunder isolat aktinomiset


potensial terhadap biomassa miselia Ganoderma boninense
Kons Berat biomassa miseliaa (gr) Persentase Penghambatana (%)
(%)
AKT19 AKT28 AKT52 AKT19 AKT28 AKT52
0,0 0,51 ± 0,18a 0,15 ± 0,024a 0,16 ± 0,04ab 0,00 ± 0,00c 0,00 ± 0,00c 0,00 ± 0,00b
0,5 0,15 ± 0,03b 0,14 ± 0,02a 0,20 ± 0,018a 70,93 ± 7,01b 15,30 ± 9,05bc 4,80 ± 2,65b
1,0 0,13 ± 0,01bc 0,14 ± 0,02a 0,19 ± 0,018a 74,23 ± 6,98ab 13,97 ± 16,52bc 4,70 ± 5,28b
1,5 0,12 ± 0,01bc 0,12 ± 0,02ab 0,17 ± 0,01ab 75,93 ± 1,62ab 27,90 ± 15,32b 8,97 ± 5,87b
2,0 0,14 ± 0,02bc 0,12 ± 0,03ab 0,17 ± 0,01ab 73,40 ± 3,34ab 27,77 ± 14,94b 7,40 ± 6,39b
2,5 0,13 ± 0,01bc 0,14 ± 0,02a 0,17 ± 0,04ab 74,37 ± 3,61ab 17,87 ± 14,49b 12,00 ± 18,04b
3,0 0,08 ± 0,014c 0,07 ± 0,01b 0,09 ± 0,04b 83,67 ± 2,22a 61,80 ± 10,36a 49,53 ± 21,38a
a
Angka angka pada masing-masing perlakuan pada kolom yang sama diikuti oleh huruf
yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji Tukey pada taraf 5%

3.5.5 Karakter Fisiologis Isolat Aktinomiset


Kemampuan Aktinomiset dalam Mendegradasi Substrat Kitin dan
Glukan. Semua isolat aktinomiset menunjukkan mampu mendegradasi substrat
kitin, dan glukan ditunjukan dengan adanya zona bening di sekitar koloni
(Gambar 3.7, Gambar 3.8). Indeks glukanase yang paling tinggi ditunjukan pada
isolat AKT41 dengan nilai 1,41 dan menunjukkan berbeda nyata dengan isolat
lain. Sementara isolat yang menunjukkan indeks glukanase paling rendah
ditunjukan oleh isolat AKT52 dengan nilai 0,27. Indeks kitinase paling tinggi
ditunjukan oleh isolat AKT28 dengan nilai 0,39 namun tidak berbeda nyata
dengan isolat 1AKT9 dan AKT52 (Tabel 3.7).
Mekanisme penghambatan oleh genus Streptomyces juga dapat melalui
produksi enzim ekstraseluler. Streptomyces dapat menghasilkan enzim
pendegradasi kitin dan glukan yang merupakan komponen utama dinding sel
dari Ganoderma (Ma et al. 2019). Menurut Prapagdee et al. (2008), enzim yang
umumnya dihasilkan oleh bakteri anggota genus Streptomyces adalah enzim
32

kitinase dan β-1.3- glukanase yang berturut-turut dapat melisiskan senyawa kitin
dan glukan pada dinding sel cendawan. Enzim lain yang dihasilkan enzim
protease yang berguna dalam memecah senyawa protein pada sel cendawan.

Tabel 3.7. Kemampuan aktinomiset dalam mendegradasi substrat glukan dan kitin
Glukan Kitin
Isolat Indeks Indeks
Zona bening Zona bening
glukanase kitinase
AKTb 2,23 ± 0,32a 1,23 ± 0,25a 0,50 ± 0,10a 0,17 ± 0,02a
AKT19 0,40 ± 0,10b 0,31 ± 0,07b 0,27 ± 0,06ab 0,18 ± 0,04a
AKT28 0,47 ± 0,06b 0,39 ± 0,03b 0,37 ± 0,06b 0,31 ± 0,09a
AKT41 2,27 ± 0,40a 1,41 ± 0,44a 0,40 ± 0,10b 0,14 ± 0,02a
AKT52 0,37 ± 0,15b 0,27 ± 0,11b 0,30 ± 0,00b 0,25 ± 0,04a
AKT56 2,13 ± 0,12a 1,11 ± 0,11a 0,33 ± 0,12b 0,18 ± 0,11a
AKT57 1,70 ± 0,30a 1,13 ± 0,19b 0,47 ± 0,06b 0,14 ± 0,02a
a Angka angka pada masing-masing perlakuan pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang sama
menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji Tukey pada taraf 5%

A B C D

E F G
Gambar 3.7. Hasil uji aktivitas enzim glukanase A) AKTb; B) AKT19; C) AKT28;
D) AKT41; E) AKT52; F) AKT56; G) AKT57

A B C D

E F G

Gambar 3.8. Hasil uji aktivitas enzim kitinase A) AKTb; B) AKT19; C) AKT28;
D) AKT41; E) AKT52; F) AKT56; G) AKT57
33

Kemampuan Aktinomiset dalam Mendegradasi Sellulosa. Pengujian


terhadap kemampuan isolat aktinomiset dalam mendegradasi substrat selulosa
menunjukkan bahwa semua isolat dapat mendegradasi selulosa dengan indeks
yang beragam (Gambar 3.9). Indeks pelarutan selulosa paling tinggi ditunjukan
oleh isolat AKTb dengan nilai indeks 1,98 dengan lebar zona bening sebesar
1,90 cm dan diikuti oleh isolat AKT57 dengan indeksi 1,93 dan lebar zona
bening sebesar 1,87 cm. Isolat yang menunjukkan indeks paling rendah
ditunjukan oleh isolat AKT19 dengan indeksi pelarutan 1,09 (Tabel 3.8).

Tabel 3.8. Kemampuan isolat aktinomiset dalam mendegradasi selulosa


Kemampuan Mendegradasi Selulosaa
Isolat
Zona bening Indeks sellulase
AKTb 1,90 ± 0,43a 1,98 ± 0,45a
AKT19 0,10 ± 0,00b 1,09 ± 0,51a
AKT28 0,10 ± 0,10b 1,27 ± 0,37a
AKT41 1,67 ± 0,29a 1,79 ± 0,18a
AKT52 0,10 ± 0,10b 1,10 ± 0,10a
AKT56 1,47 ± 0,93a 2,05 ± 0,77a
AKT57 1,87± 0,32a 1,93 ± 0,16a
a Angka angka pada masing-masing perlakuan pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang sama
menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji Tukey pada taraf 5%

A B C D

E F G
Gambar 3.9. Hasil uji aktivitas enzim selulase. A) AKTb; B) AKT19; C)
AKT28; D) AKT41; E) AKT52; F) AKT56; G) AKT57
Enzim selulosa merupakan salah satu enzim penting yang yang berperan
besar dalam perombakan bahan organik didalam tanah. Beberapa bakteri yang
diketahui dapat menghasilkan enzim selulase adalah Bacillus sp. (Sadhu et al.
2013; Irfan et al. 2012), Pseudomonas sp., Cellulomonas sp., Streptococcus sp.,
Lactobacillus sp. (Vinotha dan Maheswari 2014), serta kelompok aktinomiset
seperti Streptomyces sp. Aktinomiset merupakan kelompok mikroorganisme
yang mempunyai peranan penting menghasilkan enzim selulase untuk
mendekomposisi bahan organik (Das et al. 2014).
34

Enzim selulase merupakan enzim kompleks yang terbagi menjadi tiga


kelompok berdasarkan aktivitas enzim yaitu endoglukanase (CMCase atau
carboxymethyl cellulase), eksoglukanase dan β-glukosidase atau selobiase.
Enzin endoglukanase bekerja dengan cara menghidrolisis ikatan internal β-1,4-
glikosidik secara acak kemudian menghasilkan rantai glukan dengan panjang
yang berbeda (menghidrolisis selulosa menjadi oligosakarida), yang dapat
diukur dengan mengukur aktivitas CMCase. Enzim eksoglukanase
menghidrolisis ujung rantai selulosa dan melepaskan β-selobiosa sebagai produk
akhir. Enzim β-glukosidase menghidrolisis β-selobiosa menjadi glukosa (Liang
et al. 2012; Nagah et al. 2016).
Kemampuan Aktinomiset dalam Melarutkan Fosfat, Mengikat N dan
Henghasilkan Hormon IAA. Isolat AKT56 mampu menghasilkan indeks
fosfatase yang paling tinggi dengan nilai 6,64 dan menunjukkan berbeda nyata
dengan isolat lainnya (Tabel 3.9). Sebanyak 3 isolat tidak dapat melarutkan
fosfat yaitu isolat AKT19, AKT 28 dan AKT52 yang ditunjukkan dengan tidak
adanya zona bening di sekitar koloni aktinomiset (Gambar 3.10). Isolat yang
dapat mengikat N ditunjukan dengan terbentuknya cincin di bagian bawah
permukaan media. Pada parameter produksi IAA, semua isolat aktinomiset
menunjukkan mampu untuk menghasilkan IAA. Isolat yang mampu
menghasilkan hormon IAA akan di tandai dengan terjadinya perubahan warna
pada media dimana media akan berubah menjadi warna ping kemerahan
(Gambar 3.12)
Aktinomiset selain mampu berperan sebagai agen biokontrol juga dapat
berperan sebagai biofertilizer atau sebagai PGPR. Hasil pengujian menunjukkan
bahwa aktinomiset mempunyai kemampuan untuk melarutkan fosfat, nitrogen
dan juga senyawa IAA (Tabel 3.8). Kemampuan bakteri untuk dapat melarutkan
beberapa unsur dan hormon penting diharapkan meningkatkan ketersediaan
nutrisi yang dibutuhkan oleh tanaman..

Tabel 3.9. Kemampuan isolat aktinomiset dalam melarutkan fosfat, nitrogen dan
penghasil Indole acetic acid (IAA)
Pelarutan fosfat Penambat N
Penghasil
Isolat Ketebalan
Zona beninga Indeks fosfatasea IAA
cincin (cm)
AKTb 2,33 ± 0,15a 2,71 ± 0,05bc 0,3 cm +
AKT19 0,00 ± 0,00b 0,00 ± 0,00c - +
AKT28 0,00 ± 0,00b 0,00 ± 0,00c 0,2 cm +
AKT41 2,60 ± 0,40a 3,14 ± 0,75b 0,2 cm +
AKT52 0,00 ± 0,00b 0,00 ± 0,00c - +
AKT56 3,00 ± 0,69a 6,64 ± 2,87a 0,3 cm +
AKT57 2,40 ± 0,10a 2,57 ± 0,09bc 0,3 cm +
a Angka angka pada masing-masing perlakuan pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang sama
menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji Tukey pada taraf 5%

Hasil ini didukung oleh Wahyudi et al. (2019) bahwa hasil identifikasi
molekuler terhadap isolat aktinomiset yang mampu untuk melarutkan fosfat,
mengikat nitrogen dan menghasilkan senyawa IAA di dominasi dari genus
Steptomyceces. Genus lain yang juga bepotensi sebagai pelarut fosfat dan
mengikat nitrogen yaitu dari genus Micrococus, Micromonospora, dan
35

Thermobifida (Franco-correaa et al. 2010). Menurut Anwar et al. (2016),


aktinomiset mampu memobilisasi fosfat anorganik yang tidak larut shingga
dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman

A B C D

E F G

Gambar 3.10. Hasil uji aktivitas enzim fosfatase pada beberapa isolat aktinomiset
A) AKTb; B) AKT19; C) AKT28; D) AKT41; E) AKT52; F)
AKT56; G) AKT57
Ketersediaan P ditanah tersedia dalam bentuk rendah dan cenderung
terikat sehingga harus dihidrolisis terlebih dahulu menggunakan enzim fosfatase
sehingga bersifat anorganik dan tersedia bagi tanaman (Ramansyah dan Sudiana,
2010). Fosfor (P) di dalam tanah biasanya berbentuk senyawa yang tidak mudah
larut yang terdapat pada batuan, mineral, dan deposit (Wahdi et al. 2016).
Tanaman menyerap fosfor dalam bentuk ion H2PO4- (utama) dan HPO42-
(sedikit) (Perwitasari et al. 2012). Bakteri pelarut fosfat berperan pada
mineralisasi fosfat organik melalui produksi enzim fosfatase. Enzim fosfatase
dalam tanah berfungsi pada proses hidrolisis P organik menjadi fosfat anorganik
yaitu H2PO4- dan HPO42- yang menjadi tersedia bagi tanaman (Widawati 2015).
Aktinomiset yang melarutkan fosfat dapat menghasilkan semacam asam organik
seperti asam monokarboksilat, hidroksi monokarboksilat (laktat, glusenat,
glikolat), monokarboksilat, ketoglusenat, dekarboksilat, hidroksi dikarboksilat,
dan asam trikarboksilat hidroksi untuk melarutkan fosfat anorganik (Lal 2002).
Mikrob yang dapat memutus ikatan antara fosfat membentuk zona bening di
sekeliling koloninya (Wahdi et al. 2016).
Hasil pengujian terhadap kemampuan menambat nitrogen menunjukkan
bahwa sebagian besar isolat aktinomiset dapat menambat nitrogen kecuali isolat
AKT19 dan AKT28 (Gambar 3.11). Pada isolat AKT19 dan AKT28 tidak
ditemukan cicin kabut yang merupakan ciri khas bakteri yang menambat
Nitrogen. Media NFB umumnya digunakan untuk mengisolasi bakteri penambat
nitrogen nonsimbiotik seperti Azospirillum spp (Cassan et al. 2015). Salah satu
karakteristik bakteri yang diketahui dapat melarutkan nitrogen yaitu membentuk
pelikel atau cincin dan mengakibatkan perubahan warna media NfB dari warna
kuning menjadi kuning kebiruan (Islam et al. 2019). Pembentukan pelikel
menjadi ciri pertumbuhan bakteri penambat nitrogen nonsimbiotik yang
36

menandakan bahwa bakteri tersebut mampu mereduksi sumber N dari media


karena aktivitas dari nitrogenase (Schlegel 1994). Perubahan warna media NFB
terjadi karena sifat indikator bromothymol blue yang berubah menjadi biru pada
Ph yang lebih tinggi, sebagai akibat aktivitas nitrogenase (Cáceres 1982).

A
A B C D E F G
D

Gambar 3.11. Hasil uji pengikatan senyawa nitrogen oleh isolat aktinomiset
A) AKTb; B) AKT19; C) AKT28; D) AKT41; E) AKT52; F)
AKT56; G) AKT57).
Gupta et al. (2014) melaporkan bahwa isolat yang diketahui dapat
menambat nitrogen, dan fosfat sebagian besar juga menghasilkan senyawa IAA
(Indole-3-Acetic Acid ) yang berperan untuk meningkatkan pertumbuhan
tanaman. IAA berfungsi sebagai hormon penting dalam memacu perkembangan
perakaran tanaman, meningkatkan ketahanan terhadap patogen dan memacu
pertumbuhan tanaman (Joshi dan Bath 2011). Sementara Nitrogen diperlukan
dalam sintesis klorofil, protein, enzim, DNA dan RNA (Santi et al. 2013).
Nitrogen bebas difiksasi oleh mikroorganisme menjadi ammonia dengan
bantuan enzim nitrogenase.

A B C D E F G H

Gambar 3.12. Hasil uji produksi hormon IAA oleh isolat aktinomiset A) AKTb;
B) AKT19; C) AKT28; D) AKT41; E) AKT52; F) AKT56; G)
AKT57.
3.5.6 Karakter Molekuler Isolat Aktinomiset
Hasil amplifikasi gen 16S Rrna pada isolat aktinomiset terpilih
menunjukkan hasil positif dan didapatkan pita DNA berukuran ± 1100 pasang
basa (Gambar 3.13). Hasil perunutan nukleotida terhadap AKT19, AKT28 dan
AKT52 juga menunjukan niali yang sama yaitu 1100 bp (Lampiran 5). Analisis
kesejajaran menunjukkan bahwa isolat AKT19, AKT28 dan AKT52 yang
37

diisolasi dari lahan gambut mempunyai kedekatan homologi dengan


Streptomyces gelaticus strain NRRL B-2928 yang berasal dari Amerika serikat.

3000 pb

1100 pb
1000 pb

Gambar 3.13. Visualisasi pita DNA isolat aktinomiset hasil amplifikasi


menggunakan primer spesifik aktinomiset 27F/16Scatt111R
pada gel agarose 0,1% dengan penanda DNA 1 kb
(SMOBIO). (1) AKT19, (2) AKT28, (3) AKT52.
Berdasarkan kemampuan untuk menghambat pertumbuhan G. boninense
menunjukkan bahwa isolat tersebut mempunyai kesamaan dengan karakteristik
morfologi dengan Streptomyces gelaticus. Beberapa kesamaan morfologi yang
di amati diantaranya warna miselium aerial yang berwarna abu abu, miselium
substrat berwarna coklat kekuningan dan menghasilkan pigmen pada media
berwarna kuning. Hal ini didukung oleh Hulu et al. (2011), karakteristik
morfologi dari Streptomyces gelaticus yaitu adanya miselium aerial dan koloni
berwarna abu abu, miselium substrat kuning kecoklatan dan menghasilkan
pigmen berwarna kuning pada media. Penyejajaran konsisten dari sekuens
nukleotida berdasarkan gen 16s rRNAisolat aktinomiset potensial menunjukkan
homologi tertinggi dengan Streptomyces gelaticus strain NRRL B-2928 dari
Amerika serikat (Tabel 3.10, 3.11, dan 3.12).
Aktinomiset AKT19 yang menunjukkan potensi tinggi sebagai agens
pengendali G. boninense pada databese Genbank menunjukkan mempunyai
homologi tertinggi dengan isolat isolat aktinomiset yang berasal dari USA,
Jepang, Belgia dan juga China yang sebagian besar isolat merupakan sampel
koleksi dari NCBI. Homologi tertinggi dimilki oleh isolat Streptomyces
gelaticus strain NRRL B-2928 dengan homologi 97,73%, S. gelaticus strain
NBRC 12866 dengan kemiripan 99,73%, S. atratus strain NRRL B-16927
dengan kemirpan 99,55%, S. atratus strain NBRC 3897 dengan 99,55%, dan S.
sanglieri strain NBRC 100784 dengan homologi sebesar 99,46%. Isolat AKT28
dan AKT52 berdasarkan database Genbank juga menunjukkan kemiripan
homologi yang sama dengan isolat AKT19 namun hanya berbeda pada
persentase homologi.
38

Tabel 3.10. Homologi runutan nukleotida 16S rRNA aktinomiset potensial


AKT19 dengan isolat pada Genbank

Query Identitas Asal


Nama Isolat di GenBank Nomor Aksesi
cover (%) (%) Isolat

Streptomyces gelaticus strain NRRLB-2928 100 99,73 USA NR_043488.1


S. gelaticus strain NBRC 12866 100 99,73 Jepang NR_112308.1
S. atratus strain NRRL B-16927 100 99,55 USA NR_043490.1
S. atratus strain NBRC 3897 100 99,55 Jepang NR_112503.1
S. sanglieri strain NBRC 100784 100 99,46 Jepang NR_041417.1
S. pulveraceus strain NBRC 3855 100 99,37 Jepang NR_041213.1
S. pulveraceus strain LMG 20322 100 99,19 Belgia AJ781377.1
S. yanii strain JCM 3331 100 98,92 China MT760450.1
S. pulveraceus strain CSSP684 100 98,82 USA EU240417.1
S. pluricolorescens strain NBRC 12808 (T) 100 98,82 USA MK424312.1

Tabel 3.11. Homologi runutan nukleotida 16S rRNA aktinomiset potensial


AKT28 dengan isolat pada Genbank

Query Identitatas Asal


Nama Isolat di GenBank Nomor aksesi
cover (%) (%) Isolat

Streptomyces gelaticus strain NRRL B-2928 100 99,54 USA NR_043488.1


S. gelaticus strain NBRC 12866 100 99.54 Jepang NR_112308.1
S. sanglieri strain NBRC 100784 100 99,45 Jepang NR_041417.1
S. atratus strain NRRL B-16927 100 99,36 USA NR_043490.1
S. atratus strain NBRC 3897 100 99,36 Jepang NR_112503.1
S. pulveraceus strain NBRC 3855 100 99,18 Jepang NR_041213.1
S. pulveraceus strain LMG 20322 100 98,99 Belgia AJ781377.1
S. flavogriseus strain NBRC 13040 100 98,81 Jepang NR_112348.1
S. rubiginosohelvolus strain NBRC 12912 100 98,81 Jepang NR_041093.1
S. globisporus strain NRRL B-2872 100 98,81 USA NR_044145.1

Tabel 3.12. Homologi runutan nukleotida 16S rRNA aktinomiset potensial


AKT52 dengan isolat pada Genbank

Query Identitas Asal


Nama Isolat di GenBank Nomor aksesi
cover (%) (%) Isolat

Streptomyces gelaticus strain NRRL B-2928 100 99,63 USA NR_043488.1


S. gelaticus strain NBRC 12866 100 99,63 Jepang NR_112308.1
S. sanglieri strain NBRC 100784 100 99,54 Jepang NR_041417.1
S. atratus strain NRRL B-16927 100 99,45 USA NR_043490.1
S. atratus strain NBRC 3897 100 99,45 Jepang NR_112503.1
S. pulveraceus strain NBRC 3855 100 99,26 Jepang NR_041213.1
S. pulveraceus strain LMG 20322 100 99,08 Belgia AJ781377.1
S. flavogriseus strain CBS 101.34 100 98,90 Jerman NR_028988.1
S. rubiginosohelvolus strain NBRC 12912 100 98,90 Jepang NR_041093.1
S. flavogriseus strain NBRC 13040 100 98,90 Jepang NR_112348.1
39

3.5.7 Karakter Morfologi Isolat Trichoderma spp


Berdasarkan identifikasi morfologi terhadap isolat Trichoderma TGLP
dan Trichoderma TSU menunjukkan bahwa terdapat beberapa perbedaan
terhadap morfologi yang ditunjukkan. Isolat Trichoderma TGLP memiliki
warna koloni yang hijau lebih tua dan dan pada bagian permukaan hifa
mempunyai permukaan yang halus dan menyerupai kapas. Pada isolat
Trichoderma TSU terdapat ciri khas dimana pada usia yang cukup tua akan
membentuk pola menyerupai cincin berwarna kuning pada permukaan koloni
(Tabel 3.13, Gambar 3.14).

Tabel 3.13. Karakter morfologis isolat Trichoderma spp


Makroskopis Mikroskopis
Isolat Warna
Bentuk koloni Konidiofor Phialid Konidia
koloni
Isolat Hifa berwarna Bulat memenuhi Tegak Panajng Oval
TGlP putih dan media kultur, hifa bercabang tebal
spora lembut menyerupai
berwarna kapas spora menyebar
hijau tua merata merata
Isolat Hifa berwana Koloni bulat memenuhi Tegak Pendek Oval
TSU hijau dan media, hifa lembut bercabang tebal
spora menyerupai kapas dan
berwarna spora menyerbar
hijau merata dan membentuk
kekuningan pola lingkaran

A B C

D E F

Gambar 3.14. Gambar morfologi makroskopis dan mikroskopis Trichoderma sp.


A) Koloni Trichoderma TGLP; B,C) mikroskopis Trichoderma
TGLP; D) Koloni Trichoderma TSU; E,F) mikroskopis
Trichoderma TGLP
Menurut Taribuka et al. (2016), Trichoderma asperelum mempunya
karakter morfologi berupa konidia berbentuk bulat, dan membentuk lingkaran
pada tengah koloni dan koloni berwarna hijau gelap dengan bentuk konidia oval
dengan ukuran 2,64 x 1,87 µm. Trichoderma yunanense mempunyai konidia
hijau kekuningan atau hijau tua atau kuning dengan tekstur halus. Konidiofor
pendek dan konidia berbentuk bulat telur dengan ukuran 4,5 - 3,5. µm (Yu et
al. 2007).
40

3.5.8 Karakter Molekuler Isolat Trichoderma spp


Hasil amplifikasi pita DNA menunjukkan ukuran sebesar ±590 bp berhasil
teramplifikasi dari kedua isolat Trichoderma spp (Gambar 3.15). Hal ini juga
dapat diilihat dari jumlah nukleotida yang mempunyai ukuran yang sama
(lampiran 3). Sampel satu merupakan isolat Trichoderma TGLP dan sampel
kedua merupakan isolat Trichoderma TSU yang keduanya menunjukkan ukuran
yang sama. Hasil perunutan DNA yang telah dilakukan menunjukkan bahwa
isolat Trichoderma TGLP dan isolat Trichoderma TSU merupakan dua spesies
Trichoderma yang berbeda (Gambar 3.15).
Isolat Trichoderma TGLP memiliki homologi tertinggi dengan sepuluh
cendawan Trichoderma asperellum yang berasal dari Indonesia, Malaysia,
China, India dan Mesir. Sebagain besar isolat Trichoderma asperleum tersebut
diisolasi dari sampel tanah perakaaran misalnya Trichoderma asperellum isolat
WT12 dan Trichoderma asperellum isolat WT11 yang diisolasi dari tanah
perakaran tanaman gandum. Isolat Trichoderma TGLP mempunyai kemiripan
homologi dengan Trichoderma asperellum strain 1A4 dengan nilai 99,65% dan
hampir semua isolat dari berbagai negara lainnya juga menunjukkan nilai
persentase yang sama (Tabel 3.14, Gambar 3.16).

1 2 2
Kb

1 1 2
Kb

590 Pb
500 Pb

Gambar 3.15. Visualisasi pita DNA isolat Trichoderma spp hasil amplifikasi
menggunakan primer ITS 1 dan ITS 4 pada gel agarose 0,1%
dengan penanda DNA 1 kb (SMOBIO). (1) Isolat
Trichoderma TGLP, (2) Isolat Trichoderma TSU.
Isolat Trichoderma TSU memiliki sepuluh cendawan Trichoderma yang
berasal dari China, USA, Indonesia, Kanada dan juga Guadalupe. Homologi isolat
Trichoderma TSU mempunyai kemiripan paing tinggi dengan isolat Trichoderma
yunnanense CBS 121219 dan T. yunnanense strain YMF1.01694 dengan nilai
persentase sebesar 99,11%. Kebanyakan Trichoderma yunanense diperoleh dari
tanah perakaran seperti Trichoderma yunnanense CBS 121219 yang didapat dari
tanah perakaran tembakau, Trichoderma hamatum DAOM 167057 dari tanah
perakran hutan cemara dan juga Trichoderma cerebriforme BPI GJS85-245 dari
kayu yang bersal dari Sulawesi Utara (Tabel 3.15, Gambar 3.17).
41

Tabel 3.14. Homologi runutan nukleotida isolat Trichoderma TGLP dengan isolat
pada Genbank

Query Identitas Asal Nomor


Nama Isolat di GeneBank
cover (%) (%) isolat aksesi

Trichoderma asperellum unilaGT 98% 100,00% Indonesia LC650154.1


Trichoderma asperellum strain H 98% 99,83% China MK791666.1
Trichoderma asperellum isolate upm10 98% 99,83% Malaysia MK027313.1
Trichoderma asperellum isolate WT12 98% 99,83% India OL597955.1
Trichoderma asperellum isolate WT11 99% 99,83% India OL597954.1
Trichoderma asperellum isolate T2 97% 99,83% India MK210562.1
Trichoderma asperellum isolate Sinai-1 98% 99,83% Mesir OM017157.1
Trichoderma asperellum isolate Tasum66 97% 99,83% China MT102403.1
Trichoderma asperellum strain PK1J2 98% 99,67% Indonesia OK336355.1
Trichoderma asperellum strain MLT3J2 98% 99,67% Indonesia OK336352.1

Gambar 3.16. Pohon filogeni isolat Trichoderma TGLP dengan isolat dari
beberapa negara yang diambil dari Genbank
Trichoderma asperelum yang diaplikasan pada fase pembibitan kelapa
sawit diketahui dapat menurunkan insidensi dan keparahan akibat infeksi G.
boninense (Jawak et al. 2018). Menurut Haryadi et a.l (2019), T. asperelum
dapat menekan pertumbuhan G. boninense 12,5 sampai dengan 91%. Aplikasi
metabolit Trichoderma asperellum dapat menekan keparan penyakit layu dan
juga dapat bertindak sebagai PGPR yang memacu pertumbuhan akar tanaman
tomat (Simamora et al. 2021). Trichoderma asperelum juga diketahui
mempunyai potensi daya hambat yang tinggi dengan mampu menekan
pertumbuhan miselia Fusarium oxysporum sampai dengan 71% dan juga mampu
menghasilkan enzim kitinase dan glukanase dalam jumlah yang tinggi (Komi et
al. 2015). Agens antagonis ini juga diketahui mampu menekan pertumbuhan
Phytoptora capsici dan juga C. gleiosporiodes (Quiros et al. 2018).
Trichoderma yunanense dilaporkan dapat meningkatkan efisiensi
penyeraan air dan juga meningkatkan laju fotosintesis dan juga meningkatkan
biomassa tanaman gandum dibawah cekaman salinitas tinggi (Oljira et al, 2020).
T. yunansense berdasarkan Quiros et al (2018) juga mempunyai potensi yang
kuat untuk menekan patogen seperti Phytoptora capsici dan jua C.
gleiosporiodes. Pengujian dual culture yang dilakukan terhadap dua cendawan
42

tular tanah yaitu Sclerotinia sclerotiorum dan Sclerotium cepivorum


menunjukkan bahwa T. yunnanense mampu menekan pertumbuhan patogen
tersebut dengan cukup signifikan (Castillo et al. 2011).
Tabel 3.15. Homologi runutan nukleotida isolat Trichoderma TSU dengan isolat
pada Genbank

Query Identitas Nomor


Nama Isolat di GeneBank Asal isolat
cover (%) (%) aksesi

Trichoderma yunnanense CBS 121219 96 99,11 China NR_134419.1


T. yunnanense strain YMF1.01694 96 99,11 China AY941823.1
T. anisohamatum 96 98,50 China MH113926.1
T. pubescens DAOM 166162 96 98,05 USA NR_077179.1
T. cerebriforme BPI GJS85-245 96 97,88 Indonesia NR_134447.1
T. hamatum DAOM 167057 96 97,87 Kanada NR_134371.1
T. strigosum strain DAOM 166121 96 97,19 Kanada EU280120.1
T. strigosum 96 97,19 USA NR_103571.1
T. speciosum 96 97,18 China MH113929.1
T. caribbaeum var. caribbaeum 119093 96 97,18 Guadalupe NR_166015.1

Gambar 3.17. Pohon filogeni isolat Trichoderma TSU dengan isolat dari
beberapa negara yang diambil dari Genebank
3.5.9 Potensi Trichoderma spp dalam menghambat G. boninense
Pengaruh Dual culture dan Aktivitas Senyawa Volatile. Berdasarkan
pengujian terhadap kemampuan dalam menghambat pertumbuhan G. boninense
menunjukkan bawah kedua isolat berpotensi sebagai agens hayati. Dari
pengujian antibiosis menunjukkan bawah isolat Trichodema TGLP mempunyai
kemampuan daya hambat yang paling tinngi yaitu sebesar 93,9% sedangkan
isolat Trichoderma TSU dapat menghambat pertumbuhan G. boninense sebesar
90,9%. Pada pengujian senyawa VOC yang dihasilkan menunjukkan isolat
Trichoderma TGLP juga mempunyai kemampuan paling tinggi 70,56% dan
isolat Trichoderma TSU sebesar 55,2% (Tabel 3.16, Gambar 3.18).
Tabel 3.16. Pengujian potensi daya hambat isolat Trichoderma sp terhadap
Ganoderma boninense.
Aktivitas Antibiosis Aktivitas senyawa VOC
Isolat
Rata-rata ± Stdev Rata-rata ± Stdev
Trichoderma TGLP 93,9 ± 0,69a 70,56 ± 5,87a
Trichoderma TSU 90,9 ± 1,09a 55,2 ± 9,10a
a Angka angka pada masing-masing perlakuan pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang sama
menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji Tukey pada taraf 5%
43

Menurut Vinale et al. (2014) Trichoderma sp mampu menghasilkan


berbagai enzim yang dapat merusak dinding sel patogen seperti enzim β-1,3
glucanase, kitinase dan juga selulase. Trichoderma sp melakukan aktivitas
biokontrol dengan mekanisme mikoparasit yaitu diawali dengan hifa
Trichoderma sp membelit hifa patogen dan kemudian melakukan penetrasi
terhadap hifa patogen sehingga mangakibatkan kerusakan fisik dan juga
terjadinya lisis pada sel patogen (Inayati et al. 2020).

A B C

D E F
Gambar 3.18. Uji potensi daya hambat. A) Dual culture Trichoderma TGLP;
B) Dual culture Trichoderma TSU, C) Kontrol; D) VOC
Trichoderma TGLP; E) VOC Trichoderma TSU; F) Kontrol
Trichoderma sp dapat menghasilkan senyawa volatile yang diketahui
dapat menekan pertumbuhan G. boninense pada pengujian secara in vitro.
Trichoderma sp menghasilkan senyawa metabolit sekunder yaitu 6-pentil-alpha-
pyrone (6PAP) yang berperan dalam menghambat pertumbuhan cendawan G.
boninense (Siddiquee et al. 2009). Kemampuan Trichoderma sp dalam
menghasilkan senyawa volatil diduga sebagai reaksi pertahanan diri pada saat
terjadi penyerangan dari cendawan patogen. T. harzianum menghasilkan CO2
dan etanol sebagai respon dalam menghambat pertumbuhan cendawan patogen
A. bisporus. Selain itu, Trichoderma sp juga menghasilkan senyawa volatil yang
tergolong etilen, aldehid, keton, hidrogen sianida dan peptide yang berperan
sebagai senyawa penghambat pertumbuhan cendawan patogen. Menurut
Ruangwong et al. (2021), Volatil yang paling dominan ditemukan spesies
Trichoderma lainnya adalah fluoro (trinitro) metana, diikuti oleh 2-feniletanol
(2-PE).
Produksi senyawa VOC dianggap sebagai salah satu mekanisme antiniosis
yang paling efektif dari spesies Trichoderma sp. spesies Trichoderma sp mampu
menghasilkan senyawa VOC tidak hanya sebagai antimikroba, namun juga dapat
menginduksi respon pertahanan tanaman dan mendorong pertumbuhan tanaman
(wonglom et al, 2020; Phoka et al, 2020). Senyawa VOC yang dilepaskan secara
langsung oleh mikroorganisme antagonis dapat menyebabkan perubahan
abnormal pada patogen dan melemahkan interaksi antara patogen dan tanaman
inang (Elsheriny et al, 2020; Intana et al. 2021). Beberapa patogen yang
diketahui dapat dibatasi pertumbuhannya dengan VOC Trichoderma sp
44

aiantaranya Sclerotium rolfsi, Corynespora cassicola, Curvularia eeria,


Fusarium incarnatum, Neopestalotiopsis clavispora dan N. cubana (Ruangrong
et al. 2021).

3.5.10 Karakter Fisiologis Isolat Trichoderma spp


Kemampuan dalam Menghasilkan Enzim Kitinase dan Glukanase.
Pengujian aktivitas enzim pendegradasi dinding sel yang dilakukan meliputi
enzim kitinase dan juga enzim glukanase. Enzim kitinase yang dihasilkan oleh
isolat Trichoderma TSU menunjukkan indeks yang paling tinggi yaitu sebesar
0,87 dan indeks kitinase yang dihasilkan oleh isolat Trichoderma TGLP sebesar
0,29. Berbanding terbalik dengan enzim kitinase, indeks glukanase yang
dihasilkan oleh Trichoderma TGLP mempunyai nilai paling tinggi yaitu sebesar
1,07 dan 0,74 untuk Trichoderma TSU (Tabel 3.17, Gambar 3.19).
Trichoderma spp dapat mensekresikan berbagai macam enzim seperti
kitinase, glukanase dan juga protease. Enzim enzim ini diproduksi ketika ada
interaksi antara Trichoderma spp dengan dinding sel cendawan patogen
(Wonglom et al. 2019). Kitinase adalah enzim golongan glikosil hidrolase yang
mengkonversi kitin menjadi monomernya yakni N-asetil glukosamin (Putra et
al. 2014). Enzim ini memiliki peranan penting dalam pengendalian terhadap
beberapa penyakit tananaman secara biologis dan juga mampu bertindak sebagai
pemacu pertumbuhan (Solanki et al, 2010). Enzim kitinase umumnya di anggap
sebagai enzim yang paling penting dalam proses proses mikoparasitik, hal ini
disebabkan sebagian besar dinding sel cendawan patogen terditri dari substrat
kitin (Baiyee et al. 2019).
Salah satu kelompok cendawan yang kaya akan kandungan kitin adalah
kelompok Basidiomicota yang mana kitin menjadi penyusun utama dinding sel,
miselia dan juga konidia sehingga pengendalian dengan cendawan antagonis
yang mempunyai aktivitas kitinolitik sangat berpotensi (Elsoud dan El Kadi,
2019). Beberapa cendawan yang dilaporkan mempunyai aktivitas kitinolitik
diantaranya berasal dari kelompok Trichoderma sp, Fusarium poae, Fusarium
bulbigenum var. Lycopersici, Fusarium moniliform, Fusarium
chlamydosporum, Cephalosporium curtipes, Aspergillus fumigatus dan
Chaetomium globosum yang mana Trichoderma sp sebagai penghasil enzim
kitinase yang paling tinggi dibandingkan dengan yang lainnya (Sharaf et al.
2012).
Besarnya enzim kitinase yang disekresikan oleh cendawan Trichoderma
sp sangat dipengaruhi oleh kandungan substrat kitin. Semakin tinggi kandungan
substrat kitin pada media maka tingkat enzim kitinase yang dihasilkan juga akan
semakin tinggi (Salazar et al. 2018). Spesies Trichoderma diketahui mempunyai
kemampuan menghasilkan senyawa enzim litik termasuk eksoglukanse,
endoglucanase, kitinase dan juga protease yang berperan penting dalam proses
degradasi dinding sel patogen. Dinding sel cendawan pada umumya 90% terdiri
dari polisakarida (Glukan dan kitin) (Harman 2006).
Enzim glukanase yang dimiliki oleh spesies Trichodema mempunyai
peran penting dalam proses pertumbuhan dan perkembangan Trichoderma yang
memiliki glukan sebagai komponen utama dinding sel (Latge 2010). Glukanase
dapat menghidrolisis glukan melalui dua kemungkinan yaitu pertama exo-β-1,3-
glukanase (EC3.2.1.58) yang menghidrolisis glukan dengan membelah residu
45

glukosa secara berurutan dari ujung non-pereduksi dan kedua melalui endo-β-
1,3-glukanase (EC3.2.1.39) yang memotong ikatan secara acak rantai
polisakarida yang mengakibatkan terjadinya pelepasan oligosakarida yang lebih
kecil dan glukosa (Martin et al, 2007)

Tabel 3.17. Pengujian aktivitas enzim kitinase dan glukanase isolat Trichoderma
spp.
Indeks kitinase Indeks glukanase
Isolat
Rata-rata ± Stdev Rata-rata ± Stdev
Trichoderma TGLP 0,29 ± 0,63b 1,07 ± 0,13a
Trichoderma TSU 0,87 ± 0,09a 0,74 ± 0,15b
a Angka angka pada masing-masing perlakuan pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang sama
menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji Tukey pada taraf 5%

A B C D
Gambar 3.19. Uji aktivitas enzim kitinase dan glukanase. A) kitinase
Trichoderma TGLP; B) Kitinase Trichoderma TSU; C)
Glucanse Trichoderma TGLP; D) Glukanase Trichoderma
TSU.
β-1,3-glukanase merupakan enzim yang dapat mendegradasi dinding
cendawan patogen yang berkaitan erat dengan mekanisme patogenesitas
(Pathogenesis related protein/ PR-Protein). Dalam kelas-kelas pathogenesis
related protein, β-1,3-glukanase termasuk dalam PR-2 protein yang merupakan
kelas protein yang memiliki aktivitas (1,3) β-endoglukanase secara in vitro.
Enzim β-glukanase bekerja pada ikatan β-glikosidik dalam struktur β-glukan.
Penggolongan enzim ini pun cukup beragam tergantung pada ikatan glikosidik
yang dihidrolisisnya. Enzim β-glukanase yang menghidrolisis ikatan β-1,3
dikenal sebagai laminarinase (EC 3.2.1.39) (Doxey et al. 2007). Menurut
Tingkat spesifikasi aktivitas dari β-glukanase tergantung pada perbedaan
struktur geometri molekul glukan (Celestino et al. 2006).
Kemampuan dalam Melarutkan Fosfat. Berdasarkan pengujian
pelarutan fosfat yang dilakukan menunjukkan bahwa isolat Trichoderma TGLP
dan isolat Trichoderma TSU tidak menunjukkan aktivitas pelarutan fosfat. Pada
media tumbuh yang digunakan tidak ditemukan adanya zona bening yang
menunjukkan aktivitas pelarutan fosfat oleh isolat Trichoderma spp. Hal ini
menunjukkan hasil yang berbeda dibandingkan dengan hasil penenelitian
lainnya bahwa isolat Trichoderma spp mampu untuk melarutkan fosfat pada
media Pikovskaya agar (Gambar 3.20).
Strain Trichoderma spp mempunyai kemampuan untuk menghasilkan ezim
fosfatase. Fosfatase merupakan salah satu enzim yang mempunyai peranan
46

penting yang biasanya dihasilkan oleh akar tanaman atau mikroorganisme


rizhosfer yang berperan penting dalam perombakan P-organik menjadi P-
anorganik berupa ortofosfat primer (H2P04- ) dan ortofosfat sekunder (HPO4 2- )
(Huang et al. 2011). Ketersediaa P anorganik yang melimpah akan semakin
mudah untuk diserap oleh tanaman.

A B C D

Gambar 3.20. Uji aktiftas enzin fosfatase. A) Trichoderma TGLP depan ;


B) Trichoderma TGLP belakang); C) Trichoderma TSU depan;
D) Trichoderma TSU belakang

Trichoderma spp. memainkan peranan penting dalam meningkatkan


pertumbuhan tanaman dengan meningkatkan kelarutan nutrisi yang berada
didaerah rizosfer termasuk fosfat dan beberapa unsur hara mikro (Cornejo et al.
2016; Sood et al. 2020). Diantara semua nutrisi tanaman, fosfor (P) sebagian
besar berada didalam tanah dalam keadaan yang tidak dapat diserap oleh
tanaman (Menezes-Blackburn et al. 2018). Aplikasi strain Trichoderma spp
dapat meningkatkan ketersediaan fosfat terlarut didalam tanah melalui aktiftas
fosfatase secara ekstra seluler (Savaranakumar et al. 2013). Kemampuan
Trichoderma sp dalam melarutkan fosfat berkorelasi positif dengan
meningkatnya biji pada beberapa tanaman seperti gandum, padi dan juga
kedelai, padi, kedelai (Paul and Rakshit 2021).
Beberapa agens antagonis termasuk Trichoderma spp yang hidup pada
kondisi lingkungan tertentu dapat menghasilkan enzim fosfatase namun pada
kondisi media hidup yang kondusif belum tentu akan menghasilkan enzim
fosfatase. Kimura et al. (1990) juga mengemukakan bahwa mikroba pelarut
fosfat dari tanah tertentu jika diinokulasikan pada media pelarut fosfat belum
tentu dapat mempertahankan kemampuannya dalam melarutkan fosfat. Menurut
santosa (2007) perbedaan kemampuan Trichoderma atau mikroorganisme
lainnya dalam melarutkan fosfat dipengaruhi oleh jenis, daya adaptasi, dan
kemampuan hidup pada lingkungan yang berbeda.
Trichoderma spp. yang mempunyai kemampuan melarutkan fosfat dapat
dilihat dengan adanya zona bening yang terbentuk disekitar koloni. Daerah
bening ini terbentuk karena adanya pelarutan fosfat dari sumber fosfat sukar larut
yang ada dalam media oleh enzim fosfatase yang dihasilkan koloni Trichoderma
spp. namun zona bening yang tidak terbentuk menandakan Trichoderma spp
tidak menghasilkan enzim fosfatase (Santosa, 2007). Strain Trichoderma spp
yang sama yang berasal dari lokasi yang berbeda mempunyai kemampuan yang
berbeda dalam melarutkan fosfat. Berdasarkan penelitian Lesmana et al (2019)
menunjukkan bahwa T. harzianum, T. koningi, T. Auroviridae, T. hamantum,
dan T. pesudokoningi mempunyai kemampuan melarutkan fosfat yang tinggi,
47

namun isolat yang sama yang diisolasi dari lokasi berbeda tidak menunjukkan
aktivitas pelarutan fosfat.
Kemampuan cendawan secara kualitatif dalam melarutkan fosfat
bervariasi tergantung sifat genetik dari masing-masing cendawan dalam
memproduksi asam organik yang berperan dalam menentukan kemampuan
pelarutan P (Chen et al. 2006; Mittal et al. 2008). Kemampuan cendawan dalam
melarutkan P fluktuatif, tidak semua isolat memiliki kemampuan yang sama
dalam melarutkan P, ini disebabkan produksi asam organik yang dibutuhkan
untuk melepaskan fosfat yang terikat Ca. Hal ini membuktikan bahwa semua
isolat Trichoderma spp. walaupun berasal dari daerah yang sama akan tetapi
memiliki kemampuan yang berbeda disetiap isolatnya.
Kemampuan dalam Menghasilkan Senyawa IAA. Pengujian
kemampuan dalam menghasilkan senyawa IAA menunjukkan bahawa kedua
isolat Trichoderma spp mempunyai kemampuan untuk menghsilkan IAA. Isolat
Trichoderma TSU mempunyai kemampuan yang lebih tinggi dibandingkan
dengan isolat Trichoderma TGLP (Gambar 3.21). Perbedaan warna pada isolat
dan warna pada blanko sebagai kontrol menunjukkan bahwa terdapat senyawa
IAA yang dihasilkan. Semakin merah atau pekat warna yang dihasilkan maka
senyawa yang dihasilkan semakin tinggi.

Gambar 3.21. Uji kemampuan menghasilkan IAA oleh isolat Trichoderma


sp. a) Blanko; b)Trichoderma TGLP; c) Trichoderma TSU.
IAA merupakan senyawa auksin yang secara ilmiah paling banyak
terdapat pada tanaman dan dapat dihasilkan oleh beberapa mikroorganisme
(Sridevi dan Mallaiah, 2007). IAA mempunyai gugus indol sehingga reaksinya
dengan reagen Salkwoski akan menghasilkan warna merah muda. Reagen
salkowsky telah digunakan untuk mendeteksi adanya IAA pada berbagai filtrate
kultur mikroorganisme antara lain Azotobacter dan Pseudomonas,
Phanerochaete chrysosporium ME466, dan Rhizobium sp (Ahmad et al 2005).
Trichoderma sp merupakan salah satu cendawan antagonis yang diketahui
mampu menghasilkan berbagai senyawa bioaktif metabolit sekunder yang
mampu mendorong pertumbuhan tanaman seperti indole-3-acetic acid (IAA)
(Vinale et al, 2014). IAA merupakan salah satu hormon tanaman yang paling
penting yang masuk kedalam golongan auksin (Simon dan Petrášek 2011).
Produksi IAA biasanya dipengaruhi oleh perkursor seperti L-Triptofan
namun beberapa spesies diketahui dapat menghasilkan IAA berdasarkan jalur
asam amino independen tanpa menggunakan L-Triptofan (Saber et al. 2017).
Produksi IAA oleh Trichoderma sp juga dipengaruhi oleh faktor abiotik seperti
suhu dan Ph (Napitupulu et al. 2019). IAA pada konsentrasi yang rendah dapat
48

merangsang pemanjangan akar sedangkan pada konsentrasi yang lebih tinggi


IAA bertanggung jawab terhadap pembentukan akar lateral (Jaroszuk-Sciseł et
al. 2019). Aplikasi Trichoderma virens dan Trichoderma atroviride pada
tanaman diketahui dapat meningkatkan biomassa, akar lateral dan juga jumlah
akar sampai dengan 90% (Nieto-Jacobo et al. 2017).

3.6 Simpulan
Pengujian daya hambat menunjukkan isolat aktinomiset mampu
menghambat G. boninense 33,33% sampai dengan 100%. Pengujiann dual
culture Isolat AKT19, AKT28 dan AKT52 mampu menghambat pertumbuhan
G. boninene hingga 100%. Perlakuan senyawa bioaktif 10% isolat AKT19
mampu menghambat pertumbuhan G. boninense 89,17% dan pengaruh senyawa
VOC isolat AKT52 mampu mengambat 20,23%. Aktinomiset yang potensial
adalah Isolat AKT19, AKT28 dan AKT52. Senyawa bioaktif isolat isolat
potensial dengan konsentrasi 3% mampu mengurangi biomassa G. boninense
sampai 83,67%. Semua isolat aktinomiset mampu menghasilkan enzim kitinase,
glukanase dan selulase. Semua isolat aktinomiset mampu melarutkan fosfat
namun isolat AKT19,AKT28 dan AKT52 tidak menunjukan aktifitas pelarutan
fosfat. Isolat aktinomiset mampu menghasilkan hormon IAA dan isolat yang
tidak dapat mengikat nitrogen hanya isolat AKT28.
Identifikasi molekuler aktinomiset potensial menunjukkan kedekatan
dengan Streptomyces gelaticus strain NRRL B-2928. Uji dual culture
Trichoderma TGLP mampu menghambat G. boninense 93,9% dan Trichoderma
TSU sebesar 90,9%. Aktivitas penghambatan oleh senyawa VOC Trichoderma
TGLP sebesar 70,56% dan Trichoderma TSU sebesar 55,2%. Semua
Trichoderma mampu menghasilkan enzin ktitinase, glukanase dan hormon IAA.
Identifikasi molekuler Trichoderma TGLP mempunyai kedekatan dengan
Trichoderma asperellum unilaGT sementara Trichoderma TSU dengan
Trichoderma yunnanense CBS 121219.
IV KOMBINASI AKTINOMISET DAN Trichoderma spp DALAM
MENEKAN PENYAKIT BUSUK PANGKAL
BATANG PADA BIBIT KELAPA SAWIT

4.1 Abstrak
Pengendalian hayati dengan menggunakan agens antagonis secara tunggal
sering kali tidak efektif menekan perkembangan patogen penyebab penyakit
tanaman. Kombinasi agens hayati diharapkan mampu memberikan beragam
mekanisme pengendalian sehingga dapat menekan perkembangan penyakit dengan
efektif. Salah satu faktor penting dalam menentukan kombinasi agens hayati adalah
kompatibilitas setiap agens hayati yang akan digunakan. Penelitian ini bertujuan
untuk menentukan tingkat kompatibilitas aktinomiset dan Trichoderma spp. dan
potensinya dalam menekan penyakit busuk pangkal batang pada bibit kelapa sawit.
Tahapan penelitian meliputi seleksi tingkat kompatibilitas menggunakan uji dual
culture dan pengujian pengaruh kombinasi aktinomiset dan Trichoderma spp pada
bibit kelapa sawit (in vivo). Pengujian tingkat kompatibilitas aktinomiset dan
Trichoderma TSU menunjukkan penghambatan paling tinggi oleh isolat AKT19
dengan persentase 76,10%. Hambatan paling rendah ditunjukkan oleh isolat
AKT56 dengan 8,33%. Kompatibilitas isolat aktinomiset dengan isolat
Trichoderma TGLP juga menunjukkan hasil yang sama yaitu menunjukkan adanya
aktivitas penghambatan dengan nilai tertinggi ditunjukan oleh isolat AKT52
sebesar 73,53% dan diikuti dengan isolat AKT19 dan AKT28 dengan masing
masing persentase 72,97%. Kombinasi isolat AKT19 dengan Trichoderma TSU
menunjukkan nilai diameter batang paling tinggi dengan 30,28 mm dan nilai berat
basah dan berat kering paling tinggi. Sementara pada tinggi tanaman perlakuan
Trichoderma TSU tunggal paling tinggi dengan 102,17 cm. Pada kombinasi isolat
AKT19 dengan Trichoderma TGLP menunjukkan insidensi dan keparahan
penyakit paling rendah

Kata kunci : antagonis, keefektifan, kompatibilitas

4.2 Abstract
Biological control using single antagonistic agents is often ineffective in
suppressing the development of plant disease-causing pathogens. The combination
of biological agents is expected to be able to provide various control mechanisms
so that they can effectively suppress disease development. One of the important
factors in determining the combination of biological agents is the compatibility of
each biological agent to be used. This study aims to determine the level of
compatibility of actinomycetes and Trichoderma spp and their potential in
suppressing stem rot disease in palm oil seedlings. The research stages included
selecting the compatibility level using a dual culture test and testing the effect of
the combination of actinomycetes and Trichoderma sp on oil palm seedlings (In
vivo). Testing the compatibility level of actinomycetes and Trichoderma TSU
showed inhibition where the highest inhibition was shown by isolate AKT19 with
a percentage of 76.10%. The lowest resistance was shown by isolate AKT56 with
8.33%. The compatibility of actinomycetes isolates with Trichoderma TGLP
50

isolates also showed the same results, which indicated the presence of inhibitory
activity with the highest value shown by isolate AKT52 at 73.53% and followed by
isolate AKT19 and AKT28 with each percentage of 72.97%. The combination of
isolate AKT19 with Trichoderma TSU showed the highest stem diameter value
with 30.28 mm and the highest wet and dry weight values. Meanwhile, the height
of the single Trichoderma TSU treatment plant was the highest with 102.17 cm.
The combination of isolate AKT19 with Trichoderma TGLP showed the lowest
incidence and severity of disease.

Key words : antagonist, effectiveness, compatibility

4.3 Pendahuluan
Beberapa tahun terakhir, kombinasi agens antagonis dengan berbagai
mekanisme pengendalian banyak digunakan untuk menekan perkembangan
penyakit. Kombinasi agens antagonis juga diharapkan mampu meningkatkan
efisiensi dari agens biokontrol (Chaube dan Sharma 2002). Pengendalian hayati
dengan menggunakaan mikroorganisme antagonis untuk menekan perkembangan
penyakit tanaman semakin banyak digunakan dalam kegiatan pertanian (Feron dan
Deguine 2005; van Lenteren et al. 2017). Namun, selama bertahun-tahun
penggunaan kombinasi atau konsorsium yang terdiri dari berbagai agens antagonis
banyak diabaikan, baik konsorsium bakteri dengan bakteri antagonis, bakteri
dengan cendawan antagonis ataupun cendawan dengan cendawan antagonis.
Aplikasi agens hayati dengan memanfaatkan kombinasi agens antagonis
dalam kegiatan pertanian masih rendah jika dibandingkan dengan kegiatan lainnya
seperti pengolahan makanan (Ray dan Didier 2014), pengomposan bahan organik,
bioremediasi dan juga berbagai pengolahan air limbah (Brenner et al. 2008; Brune
dan Bayer 2012). Berdasarkan kajian Johns et al. (2016), mengemukakan bahwa
gabungan agens antagonis yang mempunyai berbagai mekanisme pengendalian
sangat ditekankan untuk memastikan kinerja pengendalian yang konsisten terhadap
berbagai patogen tanaman. Pendekatan ini dilakukan dengan meniru struktur
mikroba yang berada di tanah supresif dimana mikroba antagonis mampu
meningkatkan kesuburan dan juga menekan perkembangan patogen tanaman
(Raaijmakers dan Mazzola 2016)
Beberapa agens antagonis yang pernah dilakukan digunakan sebagai
konsorsium atau kombinasi yaitu Pseudomonas aeruginosa MBAA1, Bacillus
cereus MBAA2 dan Bacillus amyloliquefaciens MBAA3 untuk mengendaliakn
penyakit rebah (Thakkar dan Saraf 2014), Pseudomonas aeruginosa MBAA1,
Bacillus cereus MBAA2 dan Bacillus amyloliquefaciens MBAA3 untuk
mengendalikan penyakit busuk akar (Jain et al. 2015); Bacillus sp. EPB10, Bacillus
sp. EPB56 dan Pseudomonas fluorescens Pf1 mengendalikan penyakit layu
Fusarium pada pisang (Mathiyazhagan et al. 2014); Pseudomonas putida C4r4,
Pseudomonas putida Jrb2, Bacillus cereus Jrb1, Bacillus cereus Jrb5, Bacillus
flexus Tvpr1, Achromobacter spp. Gcr1 dan Rhizobium spp. Lpr2 untuk penyakit
layu fusarium pada pisang (Thangavelu dan Gopi 2015); dan Stenotrophomonas
maltophilia AA1, Ochrobactrum pituitosum AA2, Curtobacterium pusillum AA3,
Enterobacter ludwigii AA4, Chryseobacterium indologenes AA5, Herbaspirillum
frisingense AA6 dan Pseudomonas putida AA7 untuk menekan Fusarium sp pada
jagung (Niu et al. 2017).
51

Kombinasi dari berbagai galur dan spesies agens antagonis diharapkan dapat
meningkatkan potensi dan keefektifan dalam menekan berbagai penyakit tanaman
dibandingkan menggunakan agens biologis tunggal (Baez-Rogelio et al. 2017).
Menggabungkan mikroorganisme dengan mekanisme pengendalian yang beragam
sangat penting dalam kombinasi agens hayati. Hal ini diharapkan akan semakin
banyak patogen yang dapat dikendalikan dan mampu tetap bersifat antagonis pada
berbagai kondisi lingkungan (Kannan dan Sureendar 2009). Salah satu kendala
aplikasi agens antagonis yaitu evaluasi tingkat kompatibilitas diantara setiap agens
antagonis. Sebagian besar, evaluasi hanya dilakukan dengan menentukan
keefektifan dalam menekan perkembangan patogen, namun potensi agens hayati
yang saling bersifat antagonis kurang banyak diteliti (Stockwell et al. 2011).
Penggunaan konsorsium atau kombinasi agens antagonis tidak banyak digunakan
disebabkan oleh beberapa hal diantaranya yaitu sulitnya menentukan mekanisme
spesifik dari setiap agens antagonis dan juga peran fisiologisnya (Mittal et al. 2017).
Menurut Ghoul dan Mitri (2016), kombinasi agens antagonis yang tidak kompatibel
disebabkan oleh adanya rantai metabolisme yaitu setiap mikroorganisme akan
menghasilkan senyawa metabolisme yang bersifat antimikrob yang dapat
memengaruhi agens antagonis yang lainnya.
Kombinasi berbagai aktinomiset dengan berbagai Trichoderm spp sebagai
agens pengendalian hayati penyakit busuk pangkal batang G. boninense pada
kelapa sawit belum pernah dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan
kompatibilitas dari isolat aktinomiset dan Trichoderma spp dan kemampuannya
dalam menekan perkembangan penyakit BPB pada bibit kelapa sawit

4.4 Metode

4.4.1 Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilaksanaka pada bulan April hingga September 2021 di
Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Institut
Pertanian Bogor dan rumah kaca di Desa Sinar sari Dramaga Bogor.

4.4.2 Bahan dan Alat


Bahan yang digunakan antara lain beberapa jenis media buatan seperti
media Potato Dextrose agar, media ISP, bacto agar, asam humid, zeolit, dedak
bonggol jagung dan beras.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini yakni laf (laminar air flow),
autoklaf, oven, microwave, inkubator, mikropipet, tabung reaksi, cawan petri,
tabung eppendorf, tabung reaksi, tip mikropipet, hemocytometer, penggaris,
gunting, bak, polybag dan timbangan analitik.

4.4.3 Uji Kompatibilitas Isolat Aktinomiset dan Trichoderma spp.


Pengujian kompatibilitas antara agens hayati dilakukan dengan cara
menumbuhkan aktinomiset dan Trichoderma spp. pada media yang sama dengan
metode dual culture sesuai dengan metode yang dilakukan oleh Harsita et al.
(2018). Kultur aktinomiset yang telah diinkubasi pada media ISP 2 kemudian
digoreskan secara vertikal pada sisi cawan petri yang telah berisi media PDA
dan diinkubasikan selama 24 jam. Setelah 24 jam, kultur Trichoderma spp.
52

dengan diameter 0,5 cm yang berumur 9 hari diletakan pada pada sisi lain cawan
petri. Cawan selanjunya diinkubasikan pada suhu ruang dan dilakukan
pengamatan terhadap zona hambat yang terbentuk. Jika tidak terdapat zona
hambat yang terbentuk di antara aktinomiset dan Trichoderma spp. maka kedua
agens hayati tersebut memiliki kompatibilitas.

4.4.4 Keefektifan Aktinomiset dan Trichoderma spp. dalam Menekan


Penyakit Busuk Pangkal Batang pada Bibit Kelapa Sawit
Pengujiian keefektifan secara in vivo dilakukan dengan mengikuti metode
Nildayanti (2011). Penggunaan media inokulasi dengan menggunakan balok
karet diketahui dapat memacu kolonisasi G. boninense lebih cepat pada
permukaan balok. Balok pohon karet dipotong dengan ukuran 2 cm x 2 cm x 2
cm dan disterilisasi dengan cara direndam selama 24 jam dengan air steril dan di
autoclave. Setelah dingin diinokulasi secara aseptik dengan potongan hifa G.
boninense dalam PDA sebesar 1 cm × 1 cm. Inkubasi dilakukan selama 5 minggu
pada suhu 29 °C.
Aplikasi agens antagonis dilakukan dengan menggunakan pendekatan
preventif. Agens antagonis diaplikasikan 14 hari sebelum aplikasi inokulum
patogens (Muzaimah et al. 2018). Aplikasi media padat dilakukan dengan cara
menambahkan 10 g biakan agens hayati pada media tanam (Nurbailis dan
Martinius 2011). Aplikasi isolat aktinomiset dilakukan dengan menggunakan
media beras yang telah disterilkan dan diinukubasi selama 7 hari. Biakan
aktinomiset pada media padat beras selanjutnya dihitung populasinya
menggunakan metode plate count dengan kisaran 30-300 koloni/cawan
menggunakan alat handy tally counter (Widyanti dan Giyanto 2013). Populasi
aktinomiset dihitung dengan persamaan :

XxV
Populasi bakteri =
pxrxg
Keterangan:
X = rataan koloni aktinomiset dengan faktor pengenceran ke - (cfu/mL)
V = volume pengenceran media (mL)
p = faktor pengenceran ke -
r = volume suspensi yang disebar pada cawan (µL)
g = bobot media yang digunakan (g).

Media padat yang mengandung aktinomiset dicampurkan dengan bahan


tambahan yaitu zeolit dan juga asam humid. Sebanyak 100 gr zeolit dicampurkan
dengan 0,1 gr asam humid dan selanjutnya dihomogenkan dengan menggunakan
spatula. Sebanyak 1 gr bahan tambahan yang telah tercampur di tambahkan
dengan 10 gr biakan aktinomiset dan kemudian dihomogenkan dengan media
tanam. Aplikasi Trichoderma spp dilakukan 7 hari setelah aplikasi ktinomiset.
Perbanyakan Trichoderma spp dilakukan dengan menumbuhkan pada media
PDA, setelah berumur 7 hari sebanyak 2 potongan biakan Trichoderma spp
berukuran 1 x 1 cm di aplikasikan pada 200 gr gabah padi steril dan diinkubasi
sampai semua permukaan media dikolonisasi secara merata. Gabah padi yang
telah dikolonisasi biakan Trichoderma spp selanjutnya diambil sebanyak 0,5 gr
dan dibiakan kembali pada media serbuk bonggol jagung yang telah diterilisasi
53

dan diinkubasi sampai semua permukaan telah dikolonisasi. Aplikasi


Trichoderma spp. menggunakan serbuk bonggol jagung sebanyak 10 gr yang
sebelumnya telah dihitung kerapatan konidianya sebesar 106 CFU berdasarkan
metode Chatri et al. (2018).
Aplikasi G. boninense dilakukan dengan menempelkan 2 balok inokulan
pada bonggol bibit kelapa sawit umur 5 bulan. Bibit selanjutnya dipelihara dalam
rumah kaca selama 3 bulan (Susanto et al. 2013). Percobaan dilakukan dengan
menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 11 perlakuan yang diulang
sebanyak 3 ulangan dan setiap ulangan terdiri atas 5 unit tanaman. Perlakuan
yang digunakan dalam pengujian efektifitas secara in vivo, yaitu;
1. Kontrol negatif (K0), media tanam kelapa sawit sawit tidak diinfestasi dengan
agens antagonis dan tidak diinokulasi G. boninese.
2. Kontrol positif (K1), bibit kelapa sawit diinokulasi dengan G. boninese dan
media tanam tidak diinfestasikan agens antagonis.
3. Bibit kelapa sawit diinokulaiskan dengan G. boninense dan diberi aplikasi
fungisida (K2).
4. Bibit kelapa sawit diinokulasi dengan G. boininense dan media tanam diberi
aplikasi aktinomiset potensial (AKT19)
5. Bibit kelapa sawit diinokulasi dengan G. boininense dan media tanam diberi
aplikasi aktinomiset (AKTB)
6. Bibit kelapa sawit diinokulasi dengan G. boininense dan media tanam diberi
aplikasi Trichoderma TGLP (TG)
7. Bibit kelapa sawit diinokulasi dengan G. boininense dan media tanam diberi
aplikasi Trichoderma TSU (TA)
8. Bibit kelapa sawit diinokulasi dengan G. boininense dan media tanam diberi
aplikasi kombinasi aktinomiset potensial (AKT19) dan Trichoderma TGLP
(19TG)
9. Bibit kelapa sawit diinokulasi dengan G. boininense dan media tanam diberi
aplikasi kombinasi aktinomiset potensial (AKT19) dan Trichoderma TSU
(19TA).
10. Bibit kelapa sawit diinokulasi dengan G. boininense dan media tanam diberi
aplikasi kombinasi aktinomiset (AKTB) dan Trichoderma TSU (BTA).
11. Bibit kelapa sawit diinokulasi dengan G. boininense dan media tanam diberi
aplikasi kombinasi aktinomiset (AKTB) dan Trichoderma TGLP (BTG)

Penghitungan tingkat keparahan penyakit dilakukan dengan cara


membongkar bibit tanaman kelapa sawit 3 bulan setelah perlakuan. Persentase
bercak nekrotik pada akar digunakan untuk menentukan tingkat keparahan
penyakit dengan menggunakan metode skoring 0 sampai dengan 4 (Tabel 4.1).
Nilai keparahan penyakit dihitung dengan menggunakan rumus Townsend dan
Huberger (1943).
⅀( 𝑛 𝑥 𝑉 )
Kp == 𝑁 𝑥 𝑉 𝑥 100%
Keterangan :
Kp = Keparahan penyakit (%)
n = Jumlah akar nekrotik
v = Nilai skor dengan masing masing kategori
N = Jumlah skor yang diamati
Z = nilai skor tertinggi
54

Tabel 4.1 Kriteria skor kerusakan akar kelapa sawit (Nildayanti 2011)
Nekrotik Keterangan
Nilai Skor
akar (%)
Tidak ada nekrotik atau nekrotik bukan
0 0≤x<1
disebabkan oleh infeksi G. boninense
1 1 ≤ x < 20 Nekrotik hanya meluas hingga 20% (ringan)
2 20 ≤ x < 40 Nekrotik hanya meluas hingga 40% (sedang)
3 40 ≤ x < 60 Nekrotik hanya meluas hingga 60% (berat)
4 60 ≤ x < 100 Nekrotik meluas hingga 100% (sangat parah)

Pengukuran Kejadian Penyakit. Kejadian penyakit diamati pada akhir


pengamatan yaitu pada 3 bulan setelah diinokulasi. Pengamatan dilakukan
dengan membongkar bibit kelapa sawit pada semua perlakuan dan melihat
adanya nekrotik pada perakaran bibit. Kejadian penyakit busuk pangkal batang
dihitung dengan menggunakan rumus berikut:

𝑛
K= x 100%
𝑁

Dimana : K = Kejadian penyakit


n = Jumlah tanaman yang terinfeksi
N = Jumlah tanaman yang diamati

4.4.5 Pengukuran Parameter Pertumbuhan dan Bobot Akar


Pengukuran pertumbuhan tanaman meliputi pengukuran terhadap tinggi
tanaman dan diameter batang. Pengukuran dilakukan pada 4 – 12 minggu setelah
aplikasi dengan interval setiap minggu (Wijaya et al. 2015). Perhitungan bobot
akar basah akar dilakukan dengan menimbang akar bibit kelapa sawit yang telah
dibongkar pada umur 3 bulan setelah tanam dan dibersihkan dari tanah atau
kotoran yang menempel pada akar. Bobot kering akar ditentukan dengan
mengoven akar yang telah dibersihkan kemudian dioven selama 72 jam pada
suhu 60°C. Akar kemudian diukur massanya dengan menggunakan timbangan
digital.

4.4.6 Analisis Data


Data yang diperoleh dari uji kompatibilitas aktinomiset dan Trichoderma
spp secara in vitro dan uji keefektifan aktinomiset dan Trichoderma spp. dalam
menekan penyakit busuk pangkal batang kemudian ditabulasi dengan
menggunakan program Microsoft exel, dan selanjutnya ditampilkan dalam
bentuk tabel dan grafik. Dilakukan analisis menggunakan Analysis of variance
(ANOVA) dan apabila terdapat pengaruh perbedaan dalam setiap perlakuan
maka akan di uji lanjut dengan menggunakan Uji Tukey pada taraf 5%
menggunakan perangkat lunak SAS 9.4.
55

4.5 Hasil dan Pembahasan


4.5.1 Kompatibilitas isolat Aktinomiset dengan Isolat Trichoderma spp.
Pengujian tingkat kompatibilitas isolat aktinomiset dengan isolat
Trichoderma TSU menunjukkan bahwa aktinomiset menghambat pertumbuhan
Trichoderma TSU (Gambar 4.1). Semua aktinomiset menunjukkan
penghambatan dimana hambatan paling tinggi ditunjukan oleh isolat AKT19
dengan persentase 76,10% dan jari jari yang terhambat sebesar 1,43 cm.
Hambatan paling rendah ditunjukan oleh isolat AKT56 dimana hambatan relatif
sebesar 8,33% dengan jari jari terhambat sebesar 5,50 cm. Hasil pengujian
kompatibilitas isolat aktinomiset dengan isolat Trichoderma TGLP juga
menunjukkan hasil yang sama yaitu menunjukkan adanya aktivitas
penghambatan (Gambar 4.2). Penghambatan paling tinggi ditunjukkan oleh
isolat AKT52 sebesar 73,53% dan diikuti dengan AKT19 dan AKT28 dengan
masing masing persentase 72,97%. Jari jari terhambat paling tinggi juga
ditunjukan oleh isolat AKT52 dengan nilai 1,53 cm (Tabel 4.2).

Tabel 4.2. Kompatibilitas isolat aktinomiset dengan isolat Trichoderma spp.


Trichoderma TSU Trichoderma TGLP
Jari Jari Persentase Jari Jari Persentase
Perlakuan Terhambat penghambatan(%) Terhambat penghambatan (%)
Rata-rata ± Rata-rata ±
Rata-rata ± Stdev Rata-rata ± Stdev
Stdev Stdev
AKTb 4,93 ± 0,40b 17,76 ± 6,77b 4,27 ± 1,46ab 26,43 ± 25,12b
AKT19 1,43 ± 0,11c 76,10 ± 1,9a 1,57 ± 0,05c 72,97 ± 0,98a
AKT28 1,40 ± 0,10c 76,67 ± 1,65a 1,57 ± 0,05c 72,97 ± 0,98a
AKT41 5,37 ± 0,23ab 10,53 ± 3,86bc 4,33 ± 0,72ab 25,3 ± 12,5b
AKT52 1,60 ± 0,17c 73,33 ± 2,89a 1,53 ± 0,05c 73,53 ± 0,98a
AKT56 5,50 ± 0,86ab 8,33 ± 1,43bc 5,80 ± 0,00a 0,00 ± 0,00bc
AKT57 4,77 ± 0,25b 23,90 ± 1,48b 3,63 ± 0,84b 37,37 ± 14,4b
Kontrol 6,00 ± 0,00a 0,00 ± 0,00c 5,80 ± 0,00a 0,00 ± 0,00c
aAngka angka pada masing-masing perlakuan pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang sama
menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji Tukey pada taraf 5%

Secara keseluruhan hasil pengujian secara in vitro menunjukkan bahwa


terdapat perbedaan dalam tingkat kompatibilitas antara isolat aktinomiset
dengan Trichoderma spp. Tiga isolat aktinomiset yaitu isolat AKT19, AKT28
dan AKT52 yang potensial menunjukkan tidak kompatibel dengan kedua isolat
Trichoderma TGLP dan Trichoderma TSU. Salah satu faktor yang
mengakibatkan inkompatibilitas antara isolat aktinomiset dan Trichoderma spp
yaitu enzim kitinase dan glukanase yang dihasilkan oleh aktinomiset.
Menurut Boukew et al (2016), Streptomyces sp. menghasilkan enzim
kitinase dan glukanase yang mempunyai peran penting untuk menekan
cendawan yang mempunyai struktur dinding sel kitin dan glukan termasuk
Trichoderma spp. Menurut Kappel dan Gruber (2020), komponen penyusun
dinding sel Trichoderma spp tersusun atas kitin dan glukan sekitar 10 sampai
dengan 40%. Aktinomiset juga diketahui aktif menghasilkan senyawa
antimikrob yang juga efektif menekan petumbuhan cendawan. Beberapa strain
bakteri anggota genus Streptomyces dapat menghasilkan antibiotik yang bersifat
56

antimikrob seperti vankomisin, eritromisin, tetrasiklin, streptomisin dan


kloramfenikol (Hasani et al. 2014).
Pada pengujian kompatibilitas antara Trichoderma dan Psedomonas
flourescens yang dilakukan oleh Mishra et al. (2011) juga menunjukkan hasil
yang serupa dimana interaksi antara dua agens antagonis tersebut menunjukkan
inkompatibel. Hasil pengujian menunjukkan bawah P. fluorescens 2-79RN10
dapat menurunkan pertumbuhan miselia dan juga menurunkan kepadatan
miselia T. harzianum. Pengujian kompatibilitas isolat aktinomiset dengan
bakteri Bacillus spp yang dilakukan dengan metode dual cultue menunjukkan
tidak semua isolat Bacillus spp kompatibel dengan aktinomiset. Salah satu
indikator inkompatibilitas adalah dengan adanya zona bening yang terbentuk di
antara kedua koloni (Putra 2011).

A B C D

E F G H

Gambar 4.1. Hasil uji kompatibilitas beberapa isolat aktinomiset dengan


Trichoderma TGLP. A) AKTb; B) AKT19; C) AKT28; D) AKT41;
E) AKT52; F) AKT56; G) AKT57; H) Kontrol

A
A B
B C
C D
D

EE FF G
G H
H

Gambar 4.2. Hasil uji kompatibilitas beberapa isolat aktinomiset dengan


Trichoderma TSU. A) AKTb; b) AKT19; c) AKT28; d) AKT41; e)
AKT52; f) AKT56; g) AKT57; h) Kontrol
57

4.5.2 Pengaruh Agens Hayati Terhadap Keefektifan Menekan Penyakit


Busuk Pangkal Batang pada Bibit Kelapa Sawit
Aplikasi aktinomiset, Trichoderma spp dan kombinisi antara aktinomiset
dan Trichoderma spp menunjukkan berhasil dalam menekan insidensi dan
tingkat keparahan penyakit busuk pangkal batang. Hasil insidensi paling rendah
terdapat pada perlakuan kombinasi aktinomiset isolat AKT19 dan Trichoderma
TGLP dengan nilai 33,33%. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa insidensi
menunjukkan hasil yang berbeda nyata dengan kontrol namun tidak berbeda
nyata dengan perlakuan lainnya (Tabel 4.4).

Tabel 4.3. Pengaruh aplikasi aktinomiset dan Trichoderma spp. dalam menekan
penyakit busuk pangkal batang pada bibit kelapa sawit
Pengaruh Terhadap Parameter Penyakit
Perlakuan Insidensi Keparahan Keefektifan
Penyakit (%) Penyakit (%) Pengendalian (%)
AKTB 88,67 ± 19,63a 44,44 ± 12,73abc 16,67 ± 22,04ab
AKT19 44,00 ± 19,05bc 11,11 ± 4,82cd 50,00 ± 14,44a
Isolat TSU 77,33 ± 19,63ab 38,89 ± 4,82abcd 22,22 ± 12,73ab
Isolat TGLP 77,33 ± 19,63ab 38,89 ± 9,62abcd 22,22 ± 4,81ab
AKT B x TSU 44,00 ± 19,05bc 16,67 ± 8,34bcd 44,44 ± 4,81a
AKT B x TGLP 77,33 ± 19,05ab 36,11 ± 4,82abcd 25,00 ± 8,33ab
AKT 19 x TSU 44,00 ± 19,05bc 22,22 ± 9,62bcd 38,89 ± 17,35ab
AKT 19 x TGLP 33,33 ± 33,33c 8,33 ± 8,34d 52,78 ± 20,97a
Kontrol 1 100,00 ± 0,00a 61,11 ± 12,73a 0,00 ± 0,00b
Kontrol 2 77,33 ± 19,63ab 47,22 ± 25,46ab 13,89 ± 17,35ab
aAngka angka pada masing-masing perlakuan pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang
sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji Tukey pada taraf 5%

Pada variabel keparahan penyakit, hasil analisis menunjukkan bahwa


perlakuan dengan menggunakan agens hayati AKT19 dengan Trichoderma
TGLP juga menunjukkan tingkat keparahan paling rendah dengan nilai 8,33%
dan diikuti dengan AKT19 tunggal dengan nilai 11,11 %. Hasil ini menunjukkan
nilai yang berbeda nyata dengan beberapa perlakuan antagonis lainnya dan juga
dengan perlakuan kontrol. Tingkat keefektifan pengendalian juga ditunjukan
oleh kombinasi AKT19 dengan Trichoderma TGLP dengan nilai 52,78% dan
diikuti dengan perlakuan AKT19 tunggal dengan nilai 50,00% (Tabel 4.4).
Pada perlakuan bibit yang diinfestasikan dengan G. boninense dan
kombinasi AKT19 dan TGLP menunjukan bahwa pada akar bibit kelapa sawit
tidak ditemukan adanya bercak nekrotik dan akar dapat tumbuh dengan baik.
Namun pada bibit kelapa sawit yang diberikan G. boninense tanpa agens hayati
menunjukan gejala pada perakaran. Akar yang terinfeksi menjadi berwarna
hitam dengan tekstur yang lembek dan pada akar banyak dijumpai miselia dari
G. boninense yang mengkolonisasi. Pangkal bantang yang terinfeksi menjadi
lebih lunak dan sedikit mengalami pembusukan. Pada perlakuan bibit kelapa
sawit yang diinfestasikan dengan G.boninense dan AKTb pada bibit masih
dijumpai adanya bercak nekrotik (Gambar 4.3)
58

Secara keseluruhan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kombinasi


dua agens hayati yaiu aktinomiset dan Trichoderma spp cukup efektif menekan
tingkat insidensi, keparahan penyakit busuk pangkal batang kelapa sawit pada
fase pembibitan. Perlakuan ini juga diketahui efektif untuk meningkatkan
keefektifan pengendalian penyakit busuk pangkal batang. Penelitian ini juga
menunujukan hasil sama dengan Ezziyyani et al. (2007), dimana aplikasi
kombinasi Trichoderma harzianum CECT 2413 dan Streptomyces rochei Ziyan
efektif mengendalikan penyakit busuk akar Phytoptora capsici. Kombinasi
Trichoderma viride dan Streptomyces sp dapat menekan keparahan penyakit
layu yang disebabkan oleh Pythium aphanidermatum (Bolton 1980) kemudian
Streptomyces atrovirens N23 dan Trichoderma lixii NAIMCC-F-01760 dapat
meningkatkan ketahanan tanaman terhadap infeksi Rhizoctonia solani penyebab
penyakit busuk akar pada tanaman tomat (Solanki et al. 2019).

A B C

D E

Gambar 4.3. Gejala penyakit pada akar bibit kelapa sawit A) akar kelapa sawit
sehat; B) perakaran kelapa sawit yang mengering terkolonisasi
Ganoderma boninense dan pangkal batang menjadi lebih lunak; C)
perakaran kelapa sawit yang nekrosis dan terkolonisasi; D,E) tubuh
buah yang terbentuk pada akar kelapa sawit.
Beberapa kombinasi agens antagonis seperti aktinomiset dan Trichoderma
spp. dapat bekerja menekan perkembangan patogen tular tanah termasuk G.
boninense dengan berbagai mekanisme seperti kompetisi dalam mencari sumber
nutrisi dan juga kompetisi ruang (Wei et al. 2015; Ho et al. 2016). Mekanisme
antagonis juga dapat secara langsung dengan menghasilkan senyawa antimikrob
yang bersifat toksin bagi patogen dan menggangu koloni patogen atau dengan
59

cara menginduksi resistensi secara sistemik (ISR) pada tanaman sehingga


tanaman lebih tahan terhadap infeksi patogen (Thakkar dan Saraf 2014;
Santhanam et al. 2019; Sarma et al. 2015; 2019, Zhang et al. 2019).
Interaksi antara kombinasi agens antagonis dapat menginduksi ketahanan
sistemik (ISR) yang memberikan perlindungan lebih besar pada tanaman dari
infeksi patogen (David dan Hofte 2009). Induksi ISR mengakibatkan tanaman
menjadi lebih aktif merespon, lebih kuat dan lebih cepat dalam merespon adanya
infeksi patogen atau yang lebih dikenal dengan fenomena priming (Conrath et
al. 2001, 2015; Pieterse et al. 2014). Respon tanaman sangat dipengaruhi oleh
jalur pensinyalan asam jasmonat (JA) dan juga senyawa etilen (ET) yang mana
sangat efektif meningkatkan respon ketahanan terhadap infeksi cendawan.
Menurut Niu et al. (2011), beberapa agen antagonis aktinomiset dan
Trichoderma spp juga dapat memacu induksi ISR melalui jalur pensinyalan
asam salisilat (SA). Beragamnya mekanisme induksi ketahanan diakibatkan
diduga oleh masing masing agens antagonis, patogen, tanaman atau setiap
kultivar tanaman (Pacifico et al. 2019; Stempien et al. 2020).
Kombinasi agens antagonis lebih efektif menekan pertumbuhan dan
perkembangan patogen tular tanah. Salah satu yang menjadi penyebab
keefektifan pengendalian dengan kombinasi agens antagonis adalah diperoleh
efek saling sinergis antara agens antagonis (Niu et al. 2020). Interaksi antara dua
atau lebih agens antagonis dapat meningkatkan senyawa antimikrob yang
dihasilkan. Pishchany et al. (2018) menjelaskan bahwa produksi antibiotik baru
yaitu Amycomicin sangat dipengaruhi oleh interaksi antara dua Actinobacteria
yaitu Amycolatopsis sp AA4 dengan Streptomyces coelicolor M145 yang
bertindak sebagai agens pengnduksi ketahanan tanaman.

4.5.3 Pengaruh Agens Hayati Terhadap Pertumbuhan Bibit Kelapa Sawit


di Rumah Kaca
Pengaruh perlakuan aktinomiset potensial secara tunggal, Trichoderma
potensial secara tunggal dan kombinasi aktinomiset potensial dengan
Trichoderma spp potensial terhadap pertumbuhan tanaman disajikan pada tabel
4.3. Hasil percobaan menunjukkan bahwa pada parameter tinggi tanaman
perlakuan dengan menggunakan agens hayati menunjukkan hasil yang berbeda
nyata dengan perlakuan kontrol dengan aplikasi patogen (K1) dan juga kontrol
dengan fungisida (K2). Perlakuan paling baik ditunjukan oleh isolat
Trichoderma TGLP tunggal dengan nilai 102,17 cm sementara perlakuan
kombinasi isolat AKT19 dengan Trichoderma TSU menunjukkan nilai paling
rendah yaitu 95,43 cm (Tabel 4.3).
Pengukuran terhadap diameter batang menunjukkan bahwa kombinasi
isolat AKT19 dengan Trichoderma TSU menunjukkan hasil yang terbaik yaitu
30,38 mm namun secara statistik tidak berbeda nyata dengan perlakuan agens
hayati dan berbeda nyata dengan perlakuan kontrol 1 dan kontrol 2. Pengaruh
perlakuan terhadap berat basah menunjukkan bahwa semua perlakuan termasuk
kontrol menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata dengan nilai tertinggi yaitu
perlakuan kombinasi isolat AKT19 dengan Trichoderma TSU. Pada parameter
berat kering akar menunjukkan nilai tertinggi pada perlakuan Trichoderma TSU
tunggal dengan nilai 11,92 gr dan secara statitik menunjukkan berbeda nyata
dibandingkan dengan perlakuan kontrol dengan patogen (K1) (Tabel 4.3).
60

Hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan hasil yang sama dengan


penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Syafiq et al. (2021) dimana aplikasi
Trichoderma sp secara tunggal menunjukkan hasil pertumbuhan bibit sawit yang
lebih baik jika dibandingkan dikombinasikan dengan agens hayati dari golongan
bakteri antagonis. Aplikasi Trichoderma spp secara tunggal menunjukkan nilai
tinggi tanaman dan berat akar kering yang lebih besar dibandingkan perlakuan
kombinasi Trichoderma sp dengan Bacilus cereus.

Tabel 4.4. Pengaruh aplikasi aktinomiset dan Trichoderma spp dalam memacu
pertumbuhan bibit kelapa sawit
Pengaruh Perlakuan Agens Hayati Terhadap Parameter Pertumbuhan
Perlakuan Tinngi Tanaman Diameter Batang Berat Berat
(cm) (mm) basah (gr) kering (gr)
AKTB 98,97 ± 5,75a 28,77 ± 0,84a 23,40 ± 3,19a 10,29 ± 1,13ab
AKT19 100,67 ± 2,86a 28,11 ± 1,98ab 20,49 ± 5,06a 8,33 ± 1,99ab
Isolat TSU 96,97 ± 2,06ab 29,29 ± 2,69a 28,67 ± 3,59a 11,92 ± 1,96a
Isolat TGLP 102,17 ± 5,58a 28,51 ± 1,23ab 24,51 ± 3,22a 9,87 ± 1,65ab
AKTB x TSU 99,73 ± 1,36a 29,39 ± 1,20a 26,33 ± 7,21a 10,63 ± 2,62ab
AKTB x TGLP 101,10 ± 4,76a 29,13 ± 0,65a 24,39 ± 2,05a 9,80 ± 0,56ab
AKT19 x TSU 95,43 ± 5,92abc 30,28 ± 1,43a 29,84 ± 5,85a 11,62 ± 1,91a
AKT19 x TGLP 98,4 ± 3,89ab 28,70 ± 1,90ab 24,08 ± 6,45a 9,51 ± 2,71ab
Kontrol 0 92,40 ± 3,03abc 27,68 ± 1,28abc 28,25 ± 10,43a 11,07 ± 3,60ab
Kontrol 1 87,10 ± 0,46bc 24,11 ± 1,93bc 14,70 ± 3,74a 5,41 ± 1,29b
Kontrol 2 85,23 ± 2,84c 23,21 ± 1,01cc 25,69 ± 6,75a 9,02 ± 2,22ab
a Angka angka pada masing-masing perlakuan pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang sama

menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji Tukey pada taraf 5%

Hasil yang sama juga ditunjukkan terhadap paramter lainnya yaitu


diameter batang dan berat basah. Hasil penelitian yang sama menunjukkan
bahwa aplikasi dengan menggunakan kombinasi agens hayati menunjukkan nilai
diameter batang dan berat basah yang lebih besar dibandingkan dengan
perlakuan tunggal Trichoderma asperekum atau Bacilus cereus. Hasil ini juga
didukung oleh Sandheep et al. (2013), dimana aplikasi kombinasi Trichoderma
harzianum dengan Pseudomonas flourescens menunjukkan berat basah akar
yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan tunggal.
Aplikasi Trichoderma secara tunggal dapat meningkatkan tinggi tajuk dan
panjang akar pada bibit kelapa sawit (Jawak et al. 2018). Naher et al. (2014) dan
Guigon-Lopez et al. (2014) menyatakan bahwa sifat antagonis memungkinkan
T. asperellum untuk memacu pertumbuhan tanaman. T. asperellum dapat
meningkatkan efisiensi penyerapan hara bagi pertumbuhan tanaman sehingga
dapat meningkatkan laju pertumbuhan tinggi tanaman, panjang akar, biomassa
dan fotosintesis tanaman. Akar kelapa sawit yang dikolonisasi oleh Trichoderma
spp dapat meningkatkan ketersediaan nutrisi dan mobilisasi nutrisi yang
dibutuhkan oleh tanaman (Hu et al. 2016). Trichoderma sp juga diketahui efektif
dalam bertindak sebagai biodekomposer sehingga meningkatkan ketersediaan
unsur hara mikro dalam tanah, meningkatkan pertumbuhan dan juga hasil panen
(Siddique et al. 2017). Berkembangnya Trichoderma spp dalam dalam daerah
rizhosfer seharusnya dapat meningkatkan bobot kering tanaman, dimana
61

menurut de Santiago et al. (2013), T. asperellum memiliki kemampuan


melarutkan nutrisi anorganik yang tidak larut menjadi tersedia bagi pertumbuhan
tanaman.
Perlakuan pada fase pembibitan kelapa sawit dengan menggunakan
Streptomyces sangilerii strain AUM 00500 dapat meningkatkan pertumbuhan
tanaman, meningkatkan berat biomassa tanaman dan juga berat kering akar
kelapa sawit (Azura et al. 2016). Aplikasi aktinomiset pada fase pembibitan
tidak hanya mempengaruhi tingkat keparahan penyakit, namun juga
berpengaruh secara signifikan terhadap pertumbuhan vegetatif kelapa sawit
seperti tinggi, diamater batang dan juga biomassa (Muzaimah et al. 2020).
Secara umum peningkatkan pertumbuhan bibit kelapa sawit yang diaplikasikan
dengan menggunakan aktinomiset dapat dipicu oleh aktivitas agens antagonis
baik secara langsung dengan memacu pertumbuhan atau dengan menekan
adanya infeksi patogen (Liotti et al. 2019)

4.6 Simpulan
Kombinasi aktinomiset dan Trichoderma spp menunjukkan reaksi yang
bersifat tidak kompatibel. Semua isolat aktinomiset mampu menghambat
pertumbuhan Trichoderm sp. Isolat AKT28 dan AKT19 menunjukkan hambatan
paling tinggi terhadap pertumbuhan Trichoderma TSU dengan persentase
76,10% dan 76,67%. Hambatan paling tinggi pada isolat Trichoderma TGLP
paling tinggi ditunjukan oleh isolat AKT52 dengan 73,53% yang diikuti isolat
AKT19 dan AKT52 dengan nilai yang sama yaitu 72,97%. Perlakuan kombinasi
isolat AKT19 dan Trichoderma TSU menunjukkan nilai diameter batang, berat
basah dan berat kering paling tinggi sementara isolat Trichoderma TGLP
menunjukkan tinggi tanaman paling tinggi. Kombinasi isolat AKT19 dengan
Trichoderma TGLP menunjukkan nilai insidensi dan keparahan penyakit paling
rendah.
V PEMBAHASAN UMUM

Penyakit busuk pangkal batang (BPB) merupakan salah satu ancaman


terbesar penurunan kualitas dan produksi kelapa sawit di Asia Tenggara yang
disebabkan oleh Ganoderma boninense (Rees et al. 2009). Ganoderma boninense
dapat mengurangi hasil produksi sebesar 50-80% (Corley RHV dan Tinker PB
2016). Penyakit busuk pangkal batang telah menyebar di hampir seluruh dunia
dengan berbagai tingkat infeksi yang berbeda-beda seperti Indonesia, Malaysia,
Thailand, Papua Nugini, Filipina, Afrika, dan Amerika Latin (Paterson 2019; Zhou
et al. 2015). Perluasan budidaya kelapa sawit dan penyakit busuk pangkal batang
dimulai di perkebunan sawit Sumatera, Indonesia dengan tingkat infeksi yang tinggi
(Mercière et al. 2017). Penyakit busuk pangkal batang dilaporkan semakin
meningkat di Semenanjung pedalaman Malaysia dan Sabah. Pada saat penanaman
kembali (25 tahun) terjadi penurunan persentase daya tumbuh kelapa sawit sebesar
40-50% dan tanaman yang tumbuh akan menunjukkan gejala penyakit dengan
keparahan rendah (Flood et al. 2000).
Strategi pengendalian penyakit busuk pangkal batang saat ini terdiri atas
pengendalian secara fisik, kimia, dan biologi. Pengendalian ini dimaksudkan untuk
mengurangi kejadian penyakit busuk pangkal batang setelah penanaman kembali
dan meningkatkan umur produktif kelapa sawit yang terinfeksi (Siddiqui et al.
2021). Dewasa ini, langkah-langkah pengendalian alternatif secara biologi telah
banyak dikembangkan untuk menekan penyakit busuk pangkal batang diantaranya
melalui pemanfaatan agens antagonis seperti Hendersonia, Scytalidium
parasiticum, soil mounding + Trichoderma harzianum, Trichoderma sp. ,
Burkolderia sp., Burkholderia cepacia, dan Serratia marcescens (Nurrashyeda et
al. 2018 ; Goh et al. 2016; Priwiratama et al. 2014; Buana et al. 2014; Azadeh et
al. 2010).
Pengujian karakter fisiologis aktinomiset secara in vitro terbukti dapat
menekan pertumbuhan Ganoderma boninense yang ditunjukkan dengan aktivititas
metabolit sekunder dan VOC yang dihasilkan, mampu menghasilkan enzim
pendegradasi dinding sel dengan indeks glukanase dan indeks kitinase yang tinggi,
serta mampu bertindak sebagai biofertilizer yang dapat melarutkan fosfat,
menambat N, dan menghasilkan IAA. Dalam penelitian ini, isolat AKT19, isolat
AKT28, dan isolat AKT52 memperlihatkan hasil uji terbaik dibandingkan isolat
lain ataupun kontrol. Berdasarkan uji molekuler, isolat AKT19, isolat AKT28, dan
isolat AKT52 tersebut memiliki homologi dengan Streptomyces gelaticus strain
NRRL B-2928 yang berasal dari Amerika serikat dengan pita DNA berukuran ±
1200 pb. Hal ini sejalan dengan Baretto et al. (2008) yang menyatakan bahwa
Streptomyces sp. Mampu menghasilkan fitohormon, fosfat terlarut, fiksasi nitrogen,
menaikkan pengambilan nutrisi dan memproduksi metabolit sekunder.
Trichoderma TGLP dan Trichoderma TSU mampu menghambat
pertumbuhan Ganoderma boninense. Perlakuan Trichoderma TGLP dan
Trichoderma TSU menunjukkan terdapatkan aktivitas senyawa VOC, antibiosis,
enzim pendengradasi dinding sel, dan kemampuan senyawa IAA yang dihasilkan
oleh agens antagonis tersebut. Berdasarkan uji molekuler, Trichoderma TGLP
memiliki homologi dengan Trichoderma asperellum strain 1A4 yang berasal dari
Brazil. Hasil peneltian yang dilakukan mempunyai kesamaan dengan hasil Sandi et
63

al. (2015) dan Loc et al. (2020) bahwa Trichoderma asperelum mempunyai ukuran
pita DNA sebesar ± 600 bp dan juga mampu menghasilkan berbagai enzim
pendegradasi dinding sel. Trichoderma TSU memiliki homologi dengan
Trichoderma yunnanense CBS 121219 yang berasal dari China. Menurut Coulibaly
et al. (2022), Trichoderma yunnanense mempunyai ukuran basa 600 bp dan efektif
untuk menekan pertumbuhan patogen tular tanah.
Pada pengujian, isolat AKT19, isolat AKT28, dan isolat AKT52 memiliki
tidak mempunyai kompabilitas dengan Trichoderma TSU ataupun Trichoderma
TGLP yang ditunjukkan dengan persentase penghambatan sebesar >70%. Selain
itu, isolat B, isolat B x TSU, dan isolat B x TGLP menunjukkan nilai tinggi tanaman
dan diameter batang sawit tertinggi dibandingkan perlakuan lainnya. Terhadap
paramater penyakit menunjukkan bahwa isolat AKT19 dan isolat AKT19 x TGLP
menunjukkan nilai tertinggi terhadap penekanan insidensi dan keparahan penyakit
dan memiliki nilai keefektifan pengedalian sekitar ≥50%. Trichoderma sp. dapat
menginduksi hidrogen peroksida H2O2 pada akar primer dan akar lateral yang dapat
menekan infeksi G. boninense. H2O2 juga berperan sebagai pengenalan elisitor dari
patogen. Trichoderma juga berperan dalam ketahanan tanaman melalui aktivitas
peningkatan asam jasmonat dan juga asam salisilat untuk mencegaf infeksi patogen
(Cornejo et al. 2011).
Aktinomiset mempunyai peran penting dalam melindungi tanaman dari
infeksi patogen. Menurut Patel et al. (2015), aktinomiset mamu menghasilkan
senyawa antifungal 2-(chloromethyl)-2-cyclopropyloxirane; 2,4-ditert-butylfenol
dan 1-ethylthio-3-methyl-1, dan 3-butadiene yang melindungi tanaman dari infeksi
G. boninense. selain dengan menghasilkan senyawa antibiotik, aktinomiset mampu
meningkatkan kandungan senyawa polifenol oksidase (PPO), enzim phenylalanine
ammonia-lyase (PAL) dan kandungan enzim β,1-3 glukanase pada tanaman yang
terinfeksi patogen (Hata et al. 2021)
Perlakuan tunggal ataupun kombinasi 2 agens antagonis (aktinomiset dan
Trichoderma) menunjukkan adanya kompabilitas terhadap peningkatan tinggi
tanaman dan menekan insidensi ataupun keparahan penyakit. Berdasarkan
pemaparan tesebut, terdapat potensi agens hayati untuk diaplikasikan secara
kombinasi. Beberapa kelebihan melakukan kombinasi agens hayati diantaranya
adalah semakin meningkatkan spektrum pengendalian menjadi lebih luas terhadap
beberapa patogen, dan juga mempunyai mekanisme kerja (mode of action) yang
beragam seperti poduksi antibiotik, produksi enzim pendegradasi, kompetisi ruang
dan juga menginduksi ketahahanan sistemik (Wei et al. 2015; Hu et al. 2016).
Namun, salah satu faktor yang harus diperhatikan adalah terkait dengan
megevaluasi tingkat kompatibilitas dari setiap agens antagonis yang akan dilakukan
VI SIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan
1. Semua isolat aktinomiset mampu menghambat pertumbuhan G. boninense.
Isolat aktinomiset mampu menghambat pertumbuhan G. boninense dengan
kisaran antara 33,33% sampai dengan 100%.
2. Isolat AKT19, AKT28 dan AKT52 merupakan isolat yang paling potensial
menekan pertumbuhan G. boninense dengan persentase 100%
3. Semua isolat aktinomiset mampu menghasilkan enzim kitnase, glukanase,
selulase, dan hormon IAA. Isolat aktinomiset mampu mengikat nitrogen
namun tidak pada isolat AKT28. Isolat AKT19, AKT28 dan AKT52 tidak
mampu melarutkan fosfat.
4. Identifikasi molekuler aktinomiset potensial yaitu AKT19, AKT28 dan AKT52
menunjukkan kedekatan dengan Streptomyces gelaticus strain NRRL B-2928.
5. Uji dual culture Trichoderma TGLP mampu menghambat G. boninense 93,9%
dan Trichoderma TSU sebesar 90,9%. Aktivitas penghambatan oleh senyawa
VOC Trichoderma TGLP sebesar 70,56% dan Trichoderma TSU sebesar 55,
2%. Identifikasi molekuler Trichoderma TGLP mempunyai kedekatan dengan
Trichoderma asperellum strain 1A4 sementara Trichoderma TSU dengan
Trichoderma yunnanense CBS 121219.
6. Kombinasi aktinomiset dan Trichoderma spp menunjukkan reaksi yang
bersifat tidak kompatibel.
7. Perlakuan kombinasi isolat AKT19 dan Trichoderma TSU menunjukkan nilai
diameter batang, berat basah dan berat kering paling tinggi sementara isolat
Trichoderma TGLP menunjukkan nilai tinggi tanaman paling tinggi.
Kombinasi isolat AKT19 dengan Trichoderma TGLP menunjukkan nilai
insidensi dan keparahan penyakit palinh rendah

6.2 Saran
Saran dari penelitian ini yaitu perlu dilakukan pengujian terkait dengan jarak
waktu aplikasi yang paling efektif antara aplikasi aktinomiset dengan aplikasi
Trichoderma spp dengan harapan meningkatkan sinergi dan keefektifan
pengendalian G. boninense dilapangan. Pengujian terkait daya simpan dan
keefektifan waktu penyimpan terhadap viabilitas aktinomiset dan Trichoderma sp
media padat sangat perlu dilakukan pengujian lebih lanjut.
DAFTAR PUSTAKA

Abd-Elsalam KA, Aly IN, MA Abdel-Satar, Khalil MS dan Verreet JA. 2003. PCR
identification of Fusarium genus based on nuclear ribosomal-DNA sequence
data. African Journal of Biotechnology. 2 (4): 82-85.
Achmad dan Mulyaningsih. 2015. Pengaruh pH, penggoyangan media, dan ekstrak
daun sirih merah (Piper crocatum Linn.) terhadap pertumbuhan cendawan
Rhizoctonia sp. Jurnal Hortikultura. 25(2):150- 159
Achmad dan Pratomo, R. 2009. Pengaruh macam pH dan penggoyangan media
terhadap pertumbuhan cendawan Rhizoctonia. Jurnal Littri. 15(4): 192-6
Agustina NA. 2020. Efektivitas daya hambat asap cair tempurung kelapa (Cocus
nucifera) terhadap pertumbuhan jamur Ganoderma Boninense.
Agroprimatech. 3(2) : 79-82
Ahmad FI, Ahmad dan Khan MS. 2005. Indole acetic acid production by the
indigenous isolates of Azotobacter and Pseudomonas fluorescent in the
presence and absence of tryptophan. Turk J Biol. 29 (1), 29-34.
Akbar RA, Dini R, Dyah FK. 2017. Potensi aktinomisetes asal tanah perakaran
mangrove segara anakan cilacap sebagai penghasil anti-fungi terhadap
Candida albicans. Tropical Biodiversity and Biotechnology. 2(1) : 39-44
Alfizar, Marlina, Susanti F. 2013. Kemampuan antagonis Trichoderma sp terhadap
beberapa cendawan patogen in vitro. J. Floratek. 8(1) : 45-51.
Amini J, Agapoor Z, Ashengroph M. 2016. Evaluation of Streptomyces spp. against
Fusarium oxysporum f. sp. ciceris for the management of chickpea wilt.
Journal of Plant Protection Research. 56 (3): 257-264.
Anderson AS dan Wellington EMH. 2001. The taxonomy of Streptomyces and
related genera. International Journal of Systematic and Evolutionary
Microbiology. 51: 797-814.
Anwar S, Ali B dan Sajid I. 2016. Screening of rhizospheric actinomycetes for
various in-vitro and in-vivo plant growth promoting (PGP) traits and for
agroactive compounds. Frontiers In Microbiology. 7:1-11.
Aouar L, Boukelloul I dan Benadjila A. 2020. Identification of antagonistic
Streptomyces strains isolated from Algerian Saharan soils and their plant
growth promoting properties. Biodiversitas. 21(12): 5672-5683 DOI:
10.13057/biodiv/d211212
Apsari PP, Budidarti S dan Wahyudi AT. 2019. Actinomycetes of rhizosphere soil
producing antibacterial compounds against urinary tract infection bacteria.
Biodiversitas. 20(5) : 1259-1265. DOI: 10.13057/biodiv/d200504
Awad HM, Shahed KYI, Nakkadi EM. 2009. Isolation, screening and identification
of newly isolated soil Streptomyces (Streptomyces sp. NRC-35) for β-
lactamase inhibitor production. World Appl Sc J. 7:637- 646.
Azadeh BF, Sariah M, Wong M. 2010. Characterization of Burkholderia cepacia
genomovar I as a potential biocontrol agent of Ganoderma boninense in oil
palm. Afr. J. Biotechnol. 9(24): 3542–3548.
Azahar T, Mustapha JC, Mazliham S, Boursier P. 2011. Temporal analysis of basal
stem rot disease in oil palm plantations: an analysis on peat soil. Int J Enginer
Technol. 11(3): 96-101.
66

Azura ABN, Yusof M, Tan GYA, Jegadeesh R Appleton, Vikineswary S. 2016.


Streptomyces sanglieri which colonised and enhanced the growth of Elaeis
guineensis Jacq. Seedlings was antagonistic to Ganoderma boninense in in
vitro studies. J Ind Microbiol Biotechnol. 43(1): 485–493. doi:
10.1007/s10295-015-1724-4
Baez‐Rogelio A, Morales‐García YE, Quintero‐Hernández V, dan Muñoz‐Rojas J.
2017. Next generation of microbial inoculants for agriculture and
bioremediation. Microbial biotechnology. 10(1): 19-21.
Baiyee B, Pornsuriya C, Ito SI, Sunpapao A. 2019b. Trichoderma spirale T76-1
displays biocontrol activity against leaf spot on lettuce (Lactuca sativa L.)
caused by Corynespora cassiicola or Curvularia aeria. Biol Control.
129:195–200.
Barka EA, Vatsa P, Sanchez L, Gaveau-Vallant N, Jacquard C, Klenk HP, Clement
C, Ouhdouch Y, van Wezel GP. 2016. Taxonomy, physiology, and natural
product of actinobacteria. Microbiol Mol Biol Rev. 80(1): 1-44
Barreto TR, Augusto CMS, Ana CFS, Jorge TS. 2008. Population densties and
genetic diversity of aktinomiset associated to the rhizosphere of Theobroma
cacao. Brazilian Journal of Microbiology. 39: 464-470.
Berdy J. 2005. Bioactive Microbial Metabolites. J. Antibiot. 58: 1–26.
Bhattaharjee R dan Dey U. 2013. Biofertilizer, a way towards organic agriculture.
Afr. J. Microbiol. Res. 8(24): 2332-2342
Bhosle SR, Bapat G, Vaidya, JG, Garad SA. 2010. Antimicrobial activity of
terpenoid extracts from Ganoderma samples. International Journal of
Pharmacy and Life Sciences. 1(1) : 234-240.
Bisen K, Keswani C, Patel J, Sarma B, dan Singh H. 2016. Trichoderma spp.:
efficient inducers of systemic resistance in plants. Microbial-mediated
Induced Systemic Resistance in Plants. In: Chaudhary, D.K. and Verma, A.
(eds). MicrobialMediated Induced Systemic Resistance In Plants. Springer
Singapore: 185-195.
Bolton AT. 1980. Control of Pythium aphanidermatum in poinsettia in a soilless
culture by Trichoderma viride and a Streptomyces sp. Can. J. Plant Pathol.
2(1): 93–95. doi: 10.1080/07060668009501446.
Boukew S, Petlamul W, Suyotha W dan Prasertsan P. 2016. Simultaneous
fermentative chitinase and β-1,3 glucanase production from Streptomyces
philanthi RM-1-1-38 and their antifungal activity against rice sheath blight
disease. Journal of Biotechnology. 97(4) : 271-284. doi:
10.5114/bta.2016.64544.
Brenner K, You L, Arnold FH. 2008. Engineering microbial consortia: a new
frontier in synthetic biology. Trends Biotechnol. 26(9): 4830489. doi:
10.1016/j.tibtech.2008.05.004.
Brune KD dan Bayer TS. 2012. Engineering microbial consortia to enhance
biomining and bioremediation. Frontiers in microbiology. 3: 203.
Buana RFN, Wahyudi AT, Toruan-Mathius N. 2014. Control activity of potential
antifungal producing Burkholderia sp. in suppressing Ganoderma boninense
growth in oil palm. Asian J. Agr. Res. 8: 259–268.
Cáceres EAR. 1982. Improved medium for isolation of Azospirillum spp. Appl
Environ Microbiol. 44(4): 990-991.
67

Cassan FD, Creus C, Okon Y. 2015. Handbook for Azospirillum: Technical Issues
and Protocols. New York (US): Springer
Castillo FDH, Padilla AMB, Morales GG, Siller MC, Herrera RD, Gonzales CAN
dan Reyes FC. 2011. In vitro antagonist action of Trichoderma strains against
Sclerotinia sclerotiorum and Sclerotium cepivorum. American Journal of
Agricultural and Biological Sciences. 6 (3): 410-417
Celestino KRS, Cunha RB, Felix CR . 2006. Characterization of a β-glucanase
produced by Rhizopus microsporus var. microsporus and its potential for
application in the brewing industry. BMC Biochemistry. 7: 23-31.
Chaube HS dan Sharma J. 2002. Integration and interaction of solarization and
fungal and bacterial bioagents on disease incidence and plant growth response
of some horticultural crops. Plant Dis. Res. 17: 201-201.
Chen YP, Rekha PD, Arun AB, Shen FT, Lai WA, dan Young CC. 2006. Phosphate
solubilizing bacteria from subtropical soil and their tricalcium phosphate
solubilizing ability. App. Soil Ecol. 34:33-41.
Chong P, Arnnyitte A, Jedol D. 2017. Detection and control of Ganoderma
boninense in oil palm crop. Chapter 2 : pathogenic nature of Ganoderma
boninense and basal stem rot disease. Springer Briefs in Agriculture. doi:
10.1007/978-3-319-54969-9_2.
Chung WC, Huang JW, Huang HC, 2005. Formulation of a soil biofungicide for
control of damping-off of Chinese cabbage (Brassica chinensis) caused by
Rhizoctonia solani. Biol Control 32:287-294.
Conrath U, Beckers GJ, Langenbach CJ, dan Jaskiewicz MR. 2015. Priming for
enhanced defense. Annu. Rev. Phytopathol. 53(1): 97-119.
Conrath U, Thulke O, Katz V, Schwindling S, dan Kohler A. 2001. Priming as a
mechanism in induced systemic resistance of plants. European Journal of
Plant Pathology. 107(1): 113-119.
Contreras-Cornejo XA, Macías-Rodríguez L, del-Val E, Larsen J. 2016. Ecological
functions of Trichoderma spp. and their secondary metabolites in the
rhizosphere: Interactions with plants. FEMS Microbiol. Ecol. 92(1):1–17
Cooper RM, Flood J dan Rees RW. 2011. Ganoderma boninense in oil palm
plantations: current thinking on epidemiology, resistance and pathology.
Planter. 87:515-526.
Cooper RM, Flood J, Rees R. 2011. Ganoderma boninense in oil palm plantations:
current thinking on epidemiology, resistance and pathology. Planter.
87(1024): 515-526.
Cordovez V, Carrion VJ, Etalo DW, Mumm R, Zhu H, Wezel GP dan
Raaijkmakers. 2015. Diversity and functions of volatile organic compounds
produced by Streptomyces from a disease-suppressive soil. Front. Microbiol.
6:1081. doi: 10.3389/fmicb.2015.0108
Corley RHV dan Tinker PB. 2016. The Oil Palm, 5th ed. New Jersey (USA): Wiley
Blackwell
Cornejo HAC, Rodriguez LM, Pena EB, Estrella AH dan Bucio JL. 2011.
Trichoderma-induced plant immunity likely involves both hormonal and
camalex independent mechanisms in Arabidopsis thaliana and confers
resistance against necrotrophic fungus Botrytis cinerea. Plant Signaling and
Behavior. 6(10): 1554-1563.
68

Coulibaly AE, Pakora GA, Ako ABA, Amari GELNO, Guessan CA, Koubenan A,
Kone D dan Djaman JA. 2022. Diversity of Sclerotium rolfsii antagonist fungi
isolated from soils of the rhizosphere of tomato crops and identification of
some antifungal compounds. Heliyom. 1(1) : 1-7.
Crawford DL, James ML, John MW, Margaret AO. 1993. Isolation and
characterization of actinomycete antagonis of a fungal root pathogen. Applied
and Environmental Microbiology. 59: 3899-3905.
Das P, Solanki R, Khanna M. 2014. Isolation and screening of cellulolytic
actinomycetes from diverse habitats. Int J Adv Biotechnol Res. 5:438-451.
David DV dan Höfte M. 2009. Rhizobacteria-induced systemic resistance.
Advances in Botanical Research. 51: 223-281.
De Santiago A, García-López AM, Quintero JM, Avilés M, Delgado A. 2013.
Effect of Trichoderma asperellum strain T34 and glucose addition on iron
nutrition in cucumber grown on calcareous soils. Soil Biology and
Biochemistry. 57:598-605.
Dehn R, Katsuyama Y, Weber A, Gerth K, Jansen R, Steinmetz H, Hofle G, Muller
R dan Kirschning A. 2011. Molecular basis of elansolid biosynthesis:
evidence for an unprecedented quinone methide initiated intramolecular.
Angew. Chem. Int. Ed. Engl. 50, 3882–3887.
Dewi IP, Tri M, Titik NA, Suskandini R. 2015. Kemampuan Trichoderma sp dan
filtratnya dalam menekan pertumbuhan Sclerotium rolfsi secara in vitro.
Agrotek Tropika. 3(1) : 130-133.
Dharmaputra OS, Gunawan AW, Wulandari R, Basuki, T. 1999. Cendawan
kontaminan dominan pada bedengan cendawan merang dan interaksinya
dengan cendawan merang secara in-vitro. Mikrobiologi Indonesia. 4(1) : 14–
18.
Doxey AC, Yaish MW, Moffatt BA, Griffith M, McConkey BJ. 2007. Functional
divergence in the Arabidopsis β-1,3-glucanase gene family inferred by
phylogenetic reconstruction of expression state. Mol Biol Evol. 24 (1) :1045-
1055.
Edy N, Alam A, Muhammad BC, Mahfudz, Irwan L, Siti RA, Kadir, Suminarti M.
2020. Research article incidence and severity of ganoderma rot disease in
tropical land-use systems and their virulence to palm oil. J. Plant Pathol.
19(2) : 98-105.
Elsherbiny EA, Amin BH, Aleem B, Kingsley KL, Bennet JW. 2020 Trichoderma
volatile organic compounds as a biofumi-gant tool against late blight
pathogen Phytophthora infestans in postharvest potato tubers. J. Agric. Food
Chem. 2020, 68(1):1-9. https://dx.doi.org/10.1021/acs.jafc.0c03150
Elsoud MMA, El Kady EM. 2019. Current trends in fungal biosynthesis of chitin
and chitosan. Bulletin of the National Research Centre. 43: 1-12.
Errakhi R, Lebrihi A, Barakate M. 2009. In vitro and in vivo antagonism of
aktinomiset isolatd from Moroccan rhizospherical soils against Sclerotium
rolfsii: a causal agent of root rot on sugar beet (Beta vulgaris L.). Applied
Mycrobiology. 107: 672-681.
Ezziyyani M, Requena ME, Egea-Gilabert C dan Candela ME. 2007. Biological
control of Phytophthora root rot of pepper using Trichoderma harzianum and
Streptomyces rochei in combination. J. Phytopathol. 155(1) : 342– 349. doi:
10.1111/j.1439-0434.2007.01237.x
69

Fadli MI, Lisnawita, Suzanna FS. 2018. Virulensi dua isolat Ganoderma sp
terhadap bibit kelapa sawit kultur jaringan di laboratorium. ANR Conference
Series 1(1): 006–010.
Ferron P dan Deguine JP. 2005. Crop protection, biological control, habitat
management and integrated farming. A review. Agronomy for Sustainable
Development. 25(1): 17-24.
Fitriani, Rosa S, Reine SW. 2017. Pengendalian hayati patogen busuk akar
(Ganoderma sp) pada Acacia mangium dengan Trichoderma spp isolat lokal
secara in vitro. Hutan Lestari. 5(3) : 571-570
Flood J, Hasan Y, Turner PD, O’Grady E. The spread of Ganoderma from infective
sources in the field and its implications for management of the disease in oil
palm. In Ganoderma Diseases of Perennial Crops; Flood, J., Bridge, P.D.,
Holderness, M., Eds.; CABI Publishing: Wallingford, UK, 2000; pp. 101–
112.
Franco-correa M, Quintana A, Duque C, Suarez C, Rodriguez MX dan Barea JM.
2010. Evaluation of actinomycete strains for key traits related with plant
growth promotion and mycorrhiza helping activities. Applied Soil Ecology.
45. 209–217
Ghoul M dan Mitri S. 2016. The ecology and evolution of microbial competition.
Trends in microbiology. 24(10): 833-845.
Ginting C, Maryono T. 2012. Penurunan keparahan penyakit busuk pangkal batang
pada lada akibat aplikasi bahan organi dan Tricoderma harzianum. Tropika.
12(2) : 162-166.
Goh KM, Ganeson M, Supramaniam CV. 2014. Infection potential of vegetative
incompatible Ganoderma boninense isolats with known ligninolytic enzyme
production. African J of Biotechnology. 13(9): 1056-1066.
Goh YK, Marzuki NF, Goh TK, Tan SY, Goh YK, Goh KJ. 2016. Mycoparasitic
Scytalidium parasiticum as a potential biocontrol agent against Ganoderma
boninense basal stem rot in oil palm. Biocontrol Sci. Tech. 26: 1352–1365.
Gomes RC et al. 2000. Chitinolytic activity of aktinomiset from a cerrado soil and
their potential in biocontrol. Lett Appl Microbiol. 30:146-150.
Goodfellow MP, Kämpfer HJ, Busse ME, Trujillo KI, Suzuki W, Ludwig dan
Whitman WB. 2011. Bergey's Manual of Systematic Bacteriology 2nd
Edition Volume 5. New York (USA): Springer
Guigon-Lopez C, Guerrero-Prieto V, Lanzuise S, Lorito M. 2014. Enzyme activity
of extracellular protein induced in Trichoderma asperellum and T.
longibrachiatum by substrates based on Agaricus bisporus and
Phymatotrichopsis omnivora. Fungal Biology. 118 (1) :211-221
Gupta S, Meena MK, Datta S. 2014. Isolation characterization of plant growth
promoting bacteria from the plant Chlorophytum borivilianum and in-vitro
screening for activity of nitrogen fixation, phospthate solubilization and IAA
production . Int J Curr Microbiol App Sci. 3(7): 1082-1090
Gusnawati HS, Taufiq M, Syair, Esmin. 2014. Efektifitas Tricoderma indigenius
hasil perbanyakan pada bebagai media dalam mengendalikan penyakit layu
fusarium dan meningkatkan pertumbuhan serta produksi tanaman tomat.
Agriplus.24(2): 99-110
Hanudin, Marwoto B, Hersanti, Muharam A. 2012. Kompatibilitas Bacillus
subtilis, Pseudomonas flourescens, dan Trichoderma harzianum untuk
70

mengendalikan Ralstonia solanacearum pada tanaman kentang. Jurnal


Hortikultura. 22(20): 173-180.
Hariprasad P, Divakara S, Niranjana S. 2011. Isolation and characterization of
chitinolytic rhizobacteria for the management of Fusarium wilt in tomato.
Crop Protection. 30.12 :1606-1612.
Harman GE. 2006. Overview of mechanisms and uses of Trichoderma spp. Am.
Phytopathol. Soc. 96 (1) : 190–194.
Harni R, Widi A, Syafarudin, Anis HM. 2017. Potensi Metabolit Sekunder
Trichodema sp untuk Mengendalikan enyait Vascular Streak Diebakc (VSD)
Pada Bibit Kakao. Tanaman Industri dan Penyegar. 4(2) : 57-66.
Harsita, A Shina, JB khand, S Trivedi, A verma, SG Rao. 2018. Compatibility of
fungal and bacterial bio-agens and their antagonistic effect agains Fusarium
oxyporum f.Sp. Lycopersici. Curn Microbiol App Scient. 7(7) : 2305-2316.
Haryadi D, Yetti H dan Yoseva S. 2019. Pengaruh pemberian beberapa jenis pupuk
terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman kailan (Brassica alboglabra
L.). JOM Faperta.2(2) : 1– 10.
Hasani A, Ashraf K, Khosrow I. 2014. Streptomycetes: characteristics and their
antimicrobial activities. International Journal of Advanced Biological and
Biodimedical Reseach. 2(1): 63-75.
Hasani A, Kariminik A dan Sazadeh S. 2014. Streptomycetes: Characteristics and
Their Antimicrobial Activities. International Journal of Advanced Biological
and Biomedical Research. 2(1): 63-75
Hasegawa S, Meguro A, Shimizu M, Nishimura T, Kunoh H. 2006. Award Lecture:
Endophytic aktinomiset and their interaction with host plants.
Actinomycetologica 20:72-81.
Hata EM, yusof M dan Zulperi D. 2021. Induction of systemic resistance against
bacterial leaf streak disease and growth promotion in rice plant by
Streptomyces shenzhenesis TKSC3 and Streptomyces sp. SS8. Plant Pathol.
J. 37(2) : 173-181. doi: 10.5423/PPJ.OA.05.2020.0083
Heimpel GE and Mills NJ. 2017. Biological Control: Ecology and Applications.
New York (USA): Cambridge University Press.
Henessy C, Daly A. 2007. Ganoderma Diseases. Darwin (AU): Northern Territory
Government. Plant Pathology. Diagnostic Services.
Hicks E, Bienkowski D, Braithwaite M, Mclean K, Falloon R dan Stewart A. 2014.
Trichoderma strains suppress Rhizoctonia diseases and promote growth of
potato. Phytopathologia Mediterranea. 53(3): 502-514.
Hidayati N dan Nurrohmah HS. 2015. Karakteristik morfologi Ganoderma
steyaertenum yang menyerang kebun benih Acacia mangiun dan Acacia
auriculiformis di Wonigiri Jawa Tengah. Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan.
9(2) : 117-130
Hidayati N, Siti HN. Karakteristik morfologi Ganoderma steuyaertanum yang
menyerang kebun benih Acacia mangium dan Acacia auriculiformis di
Wonogiri Jawa Tengah. Pemuliaan Tanaman Hutan. 9)2) : 117-130
Ho CL, Tan YC, Yeoh KA, Ghazali AK, Yee WY dan Hoh CC. 2016. De novo
transcriptome analyses of host-fungal interactions in oil palm (Elaeis
guineensis Jacq.). BMC Genomics. 17: 66
Hopwood DA. 1999. Forty years of genetics with Streptomyces: from in vivo
through in vitro to in silico. Microbiology 145:2183-2202.
71

Hsu SC dan Lockwood JL. 1975. Powdered Chitin Agar as a Selective Medium for
Enumeration of Actinomycetes in Water and Soil.American Society for
Microbiology. Appl Microbiol. 29(3) : 422-426.
Hu J, Wei Z, Friman VP, Gu SH, Wang XF, Eisenhauer N, Yang TJ, Ma J, Shen
QR, Xu YC, Jousset A. 2016. Probiotic diversity enhances rhizosphere
microbiome function and plant disease suppression. Mbio. 7(1) :1-16. Doi:
10.1128/mBio.01790-16
Huang W, Liu J, Zhou G, Zhang D dan Deng Q. 2011. Effects of precipitation on
soil acid phosphatase activity in three succession forests in Southern China.
Biogeosciences. 8: 1901–1910
Hulu SM, Charrakh AHA dan Jarallah EM. 2011. Antibacterial activity of
Streptomyces Gelaticus Isolated from Iraqi Soils. Medical Journal of
Babylon. 8(3) : 2-11
Husen E. 2003. Screening of soil bacteria for plant growth promotion activities in
vitro. Indo. J. Agric. Sci. 4(1): 27–31.
Hwang YB, Lee MY, Park HJ, Han K, Kim ES. 2007. Isolation of putative polyene-
producing actinomycetes strains via PCR-based genome screening for
polyene-specific hydroxylase genes. Proc Biochem. 42: 102-107.
doi:10.1016/j.procbio.2006.06.031.
Idris AS, Khushairi A, Ismail S, Ariffin D. 2004. Selection for partial resistance in
oil palm to Ganoderma basal stem rot. Journal of Oil Palm Research.16
(1) :12-18
Inayati A, Sulisttyowati L, Aini LQ dan Yusnawan E. 2020. Mycoparasitic Activity
of Indigenous Trichoderma virens Strains Against Mungbean Soil Borne
Pathogen Rhizoctonia solani: Hyperparasite and Hydrolytic Enzyme
Production. AGRIVITA Journal of Agricultural Science. 42(2): 229–242
Inciarte LV, Yvan FA, Mariangel LM, Mario DCJ, Alexis V, Daniel C, Manuel HP,
Pedro DCJ, Ernesto SB. 2019. Use of different Trichoderma species In cherry
type tomatoes (Solanum Lycopersicum L.) against Fusarium Oxysporum wilt
in tropical greenhouses. Agronomía Costarricense. 43(1): 85-100
Intana W, Kheawleng S, Sunpapao A. 2021. Trichoderma asperellum T76-14
released volatile organic compounds against Post-harvest Fruit Rot in
Muskmelons (Cucumis melo) Caused by Fusarium incarnatum. J. Fungi.
7(46) : 1-13 doi.org/10.3390/jof7010046
Irawati AFC, Kikin HM, Maggy TS, Yudi S, Sulastri, Widodo. 2017. Eksplorasi
dan pengaruh cendawan endofit yang berasal dari akar tanaman cabai
terhadap pertumbuhan benih cabai merah. J.Horti. (1) 27 : 105-112.
Irfan M, Safdar A, Syed Q, Nadeem M. 2012. Isolation and screening of cellulolytic
bacteria from soil and optimization of cellulase production and activity. Turk
J Biochem. 37(3):287-293.
Islam H, Nelvia N, Zul D. 2019. Isolasi dan uji potensi bakteri diazotrof non
simbiotik asal tanah kebun kelapa sawit dengan aplikasi tandan kosong dan
limbah cair pabrik kelapa sawit. J Agrotek. 9(2): 35-40.
Jain A, Singh A, Singh S, dan Singh HB. 2015. Biological management of
Sclerotinia sclerotiorum in pea using plant growth promoting microbial
consortium. J. Basic Microbiol. 55: 961–972. doi: 10.1002/jobm.201400628
Janaki T. 2017. Enzyme from Actinomycetes-review. Int J Chemtech Res.
10(2):176-182
72

Jaroszuk-Sciseł J, Ty´skiewicz R, Nowak A, Ozimek E, Majewska M, Hanaka A,


Ty´skiewicz K, Pawlik A, Janusz G. 2019. Phytohormones (auxin,
gibberellin) and ACC deaminase in vitro synthesized by the mycoparasitic
Trichoderma DEMTkZ3A0 strain and changes in the level of auxin and plant
resistance markers in wheat seedlings inoculated with this strain conidia. Int.
J. Mol. Sci. 20(1) : 4923
Jawak G, Widajati E, Palupi ER dan Mathius NT. 2018. Pelapisan benih kelapa
sawit dengan pengayaan Trichoderma asperellum (t13) untuk menekan
infeksi Ganoderma boninense PAT. Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan.
6(2): 121-132.
Jiang J, He X dan Cane DE. 2007. Biosynthesis oh the earthy odorant geosmin by
a bifunctional Streptomyces coelicolor enzyme. Nature chemical biology.
3(11) : 711-715
Jing CJ. 2007. Kepatogenan Ganoderma boninense pada kelapa sawit dan
hubungan biologinya dengan Ganoderma spp. dari pada perumah palma lain.
[Thesis]. Kuala lumpur (MY). Universiti Tunku Abdul Rahman
Joshi P dan Bath AB. 2011. Diversity and Function of plant growth-promoting
rhizobacteria associated with with wheat rhizosphere in North Himalaya
Region. Int J Environ Sci. 16: 1135-1143.
Kannan V dan Sureendar R. 2009. Synergistic effect of beneficial rhizosphere
microflora in biocontrol and plant growth promotion. Journal of Basic
Microbiology. 49(2): 158-164.
Kanti A. 2005. Aktinomiset selulolitik dari tanah hutan taman nasional bukit dua
belas, Jambi. Biodiversitas. 6(2) :85-89.
Kappel L dan Gruber S. 2020. Chitin and chitosan important structural components
in Trichoderma cell wall remodeling. New and future developments in
microbial. Biotechnology and Bioengineering. 243–280. doi:10.1016/b978-
0-12-819453-9.00012-x
Kartika E, Yahya S, Wilarso S. 2006. Isolasi, karakterisasi dan pemurnian
cendawan mikoriza arbuskular dari dua lokasi perkebunan kelapa sawit
(bekas hutan dan bekas kebun karet). J Penelitian Kelapa Sawit. 14(3):145–
155
Keswani C, Mishra S, Sarma BK, Singh SP dan Singh HB. 2014. Unraveling the
efficient applications of secondary metabolites of various Trichoderma spp.
Appl. Microbiol. Biotechnol. 98, 533–544. doi: 10.1007/s00253-013-5344-5
Kimura K, Bugg TDH. 2003. Recent advances in antimicrobial nucleoside
antibiotics targeting cell wall biosynthesis. Nat Prod Rep. 20: 252-273.
Komy MH, Saleh AA, Erathodi A dan Molan YY. 2015. Haracterization of Novel
Trichoderma asperellum Isolates to Select Effective Biocontrol Agents
Against Tomato Fusarium Wilt. Plant Pathol. J. 31(1) : 50-60
http://dx.doi.org/10.5423/PPJ.OA.09.2014.0087
Kubicek CP, Harman GE. 1998. Trichoderma and Gliocladium Vol.1. Basic
biology, taxonomy and Genetic. Taylor and Francis Ltd. 1 Gunpowder
Square, London. UK
Kunova A, Maria B, Marco S, Cristina P, Xiaoyulong C, Paulo C. 2016. Selection
of Streptomyces against soil borne fungal pathogens by a standardized dual
culture assay and evaluation of their effects on seed germination and plant
growth. BMC Microbiolgy. 16:272. DOI 10.1186/s12866-016-0886-1
73

Lal L. 2002. Phosphatic biofertilizers. Agrotechnology Publication Academy,


Udaipur, India, 224p.
Latgé, J.P. Tasting the fungal cell wall. Cell. Microbiol. 2010, 12, 863–872
Lesmana A, Rianto, Sarbino. 2019. Exploration of Trichoderma spp from rice
fields area that have the potential as bilogical fertilizers. Jurnal Sains
Mahasiswa Pertanian. 8(1) : 1-12
Li Q, Ning P, Zheng L, Huang JB, et al. 2010. Fumigant activity of volatiles of
Streptomyces globisporus JK1 against Penicillium italicum on Citrus
microcarpa. Postharvest Biol. Technol. 58. 157–165.
Liang X, Youshida T, Uryu Toshiyuki. 2012. Direct saccarification and etahanol
fermentation of cello-oligosaccarides with recombinant yeast. Carbohyd
Polym. 91:157-161.
Lim PH, Gangsau JA dan Chong KP. 2018. Streptomyces spp a potential biocontrol
agen against Ganoderma boninense of basal stem rot. Journal of Oil Palm
Research. 1(1) : 1-11.
Liotti RG, da Silva Figueiredo MI, Soares MA, 2019. Streptomyces griseocarneus
R132 controls phytopathogens and promotes growth of pepper (Capsicum
annuum). Biol. Contr. 138: 104065. doi: 10.1016/j.biocontrol.2019.104065
Liu DF, Lian B dan Wang B. 2016. Solubilization of potassium containing minerals
by high temperature resistant Streptomyces sp. isolated from earthworm’s
gut. Acta Geochim. 35, 262–270.
Lizarmi, E. 2011. Ancaman Penyakit Busuk Pangkal Batang pada Tanaman Kelapa
Sawit. Jakarta (ID): Direktorat Jenderal Perkebunan.
Loc NH, Huy ND, Quang HT, Lan Th dan Ha TTT. 2020. Characterisation and
antifungal activity of extracellular chitinase from a biocontrol fungus,
Trichoderma asperellum PQ34. Mycology. 11(1) :38–48
https://doi.org/10.1080/21501203.2019.1703839
Locci R, Sharples G. 1984. Morphology. Di dalam Goodfellow M, Mordarski M,
Williams ST, editor. The Biology of Aktinomiset, London:Academic Press.
Hlm 165-199.
Lombardi N, Vitale S, Turrà D, Reverberi M, Fanelli C and Vinale F, et al. 2018.
Root exudates of stressed plants stimulate and attract Trichoderma soil fungi.
Mol. Plant-Microbe Interact. 31 : 982–994. doi: 10.1094/MPMI-12-17-0310-
R
Lorito M, Woo SL, Harman, GE dan Monte E. 2010. Translational research on
Trichoderma: from ’omics to the field. Annu. Rev. Phytopathol. 48:395–417.
doi: 10.1146/annurev-phyto-073009-114314
Ma Z, Xu M, Wang Q, Zheng H, Gu Z, Li Y, Shi G dan Ding Z. 2019. Development
of an efficient strategy to improve extracellular polysaccharide production of
Ganoderma lucidum using l-phenylalanine as an enhancer. Front. Microbiol.
10:2306. doi: 10.3389/fmicb.2019.02306
Madigan MT, Martiko JM dan Parker J. 2003. Biology of Microorganisms. Tenth
Edition. Pearson Education, Inc. USA.
Martin D, Martina A, dan Roza RM. 2015. Uji potensi antifungi Aktinomiset
selulolitik dan ligninolitik dan bakteri lignoselulolitik isolat lokal terhadap
pertumbuhan jamur Ganoderma boninense dan Colletotrichum capsici.
Jurnal Online Mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
2(1) :161-169.
74

Martin K, McDougall BM, McIlroy S, Chen J, Seviour RJ. 2007. Biochemistry


and molecular biology of exocellular fungal β-(1,3)- and β-(1,6)-glucanases.
FEMS Microbiol.31(1) : 168–192.
Mathiyazhagan K, Karuppannan M, Balamohan T, Kumar N, Khartiba L, dan
Ramasamy S. 2014. Enhancement of growth and panama wilt resistance by
in vitro co-culturing of banana plantlets with PGPR and endophytes. Acta
Horticult. 1024: 277–282. doi: 10.17660/ActaHortic.2014.1024.37
Menezes-Blackburn D, Giles C, Darch T, George TS, Blackwell M, Stutter M,
Shand C, Lumsdon D, Cooper P, Wendler R et al. 2018. Opportunities for
mobilizing recalcitrant phosphorus from agricultural soils: A review. Plant
Soil. 427:5–16
Mercière M, Boulord R, Carasco-Lacombe C, Klopp C, Lee Y, Tan J, Alwee SSRS,
Zaremski A, Franqueville HD, Breton F, et al. About Ganoderma boninense
in oil palm plantations of Sumatra and peninsular Malaysia: Ancient
population expansion, extensive gene flow and large scale dispersion ability.
Fungal Biology. 121(6-7): 529-540.
Mihardjo PA, Abdul M. 2008. Pengendalian penyakit layu pada pisang dengan
bakteri antagonis Pseudomonas fluorescens dan Bacillus subtilis.
Pengendalian hayati.1(1) : 26-31
Mishra DS, Gupta AK, Prajapati CR, Singh US. 2011. Combination of fungal and
bacterial antagonists for management of root and stem rot disease of soybean
Pak. J Bot. 43 (5) : 2569-2574
Mishra DS, Kumar A, Prajapati CR, Singh AK, Sharma SD. 2011. Identification of
compatible bacterial and fungal isolate and their effectiveness against plant
disease. Journal of Environmental Biology. 34 (1) 183-189.
Mishra DS, Kumar A, Prajapati CR, Singh AK, Sharma SD. 2013. Identification of
compatible bacterial and fungal isolate and their effectiveness against plant
disease. Environmenttal biology. 34(1) : 183-189
Mittal P, Kamle M, Sharma S, Choudhary P, Rao DP, dan Kumar P. 2017. Plant
growth-promoting rhizobacteria (PGPR): mechanism, role in crop
improvement and sustainable agriculture. Advances in PGPR Research,
CABI, Nosworthy, Wallingford Oxfordshire, UK. 386-397.
Mittal V, Singh O, Nayyar H, Kaura J dan Tewari R. 2008. Stimulatory effect of
phosphate-solubilizing fungal strains (Aspergillus awamori and Penicillium
citrinum) on the yield of chickpea (Cicer arietinum L. cv. GPF2). Soil Biol.
Biochem. 40:718-727.
Mohammed CL, Barry KM, Irianto RSB. 2006. Busuk hati dan busuk akar pada
acacia mangium: identifikasi gejala dan penilaian terhadap tingkat serangan.
Aciar Proceedings No. 124. Heart Rot and Root Rot in Tropical Acacia
Plantations. Yogyakarta, Indonesia.
Mohiddin FA, Khan MR, Khan SM, Bhat BH.2010. Why Trichoderma is
considered super hero (super fungus) against the evil parasites?.Plant Pathol.
9 (92). 102
Morath SU, Hung R, Bennett JW.2012. Fungal volatile organic compounds: a
review with emphasis on their biotechnological potential. Fungal Biol.
26(1):73–83.
Muzaimah S, Idris AS, Madinah Az, Dzolkhifli O, Kamaruzzman S, Cheong Pch.
2015. Isolation of aktinomiset from rhizosphere of oil palm (Elaeis guineensis
75

jacq.) For antagonism against Ganoderma boninense. Journal of Oil Palm


Research. 27 (1):19-29
Muzaimah S, Idris AS, Madinah AZ, Dzolkhifli O, Kamaruzzman S, Suriza MM.
2018. Characterization of Streptomyces spp. isolated from the rhizosphere
of oil palm and evaluation of their ability to suppress basal stem rot disease
in oil palm seedlings when applied as powder formulations in a glasshouse
trial. Microbiology and Biotechnology. 34(15) : 1-34.
Muzaimah S, Idris AS, Rashyeda RN, Naidu Y, Hilmi NHZ, Norman K. 2020.
Impact of pre-inoculating soil with Streptomyces sp. GanoSA1 on oil
palmgrowth and Ganoderma disease development. Biocatalysis and
Agricultural Biotechnology 29 (1) :1-10 doi: 10.1016/j.bcab.2020.101814.
Nagah M, Abdel-Aziz MS, El-Sherbiny GM, Moghannem SAM, Shawky BT.
2016. Qualitative and quantitative screening of cellulases from different local
egyptian fungal strains. Mid East J App Sci. 6:579-587
Naher L, Soon GT, Yusuf UK, Ho CL, Abdullah F. 2012. Biocontrol agent
Trichoderma harzianum Strain FA 1132 as an enhancer of oil palm growth.
Pertanika J Trop Agric Sci. 35(1):173-182.
Naher L, Yusuf UK, Ismail A, Tan SG, Mondal MMA. 2013. Ecological status of
Ganoderma and basal stem rot disease of oil palms (Elaeis guineensis Jacq).
Aust J Crop Sci. 7(11): 1723-1727.
Napitupulu TP, Kanti A, Sudiana IM. 2019. Evaluation of the environmental factors
modulating indole-3-acetic acid (IAA) production by Trichoderma
harzianum InaCC F88. IOP Conf. Ser. Earth Environ. Sci. 308, 012060.
Nieto-Jacobo, M.F, Steyaert JM, Salazar-Badillo FB, Nguyen DV, Rostás M,
Braithwaite M, De Souza JT, Jimenez-Bremont JF, Ohkura M, Stewart A, et
al .2017. Environmental growth conditions of Trichoderma spp. affects
indole acetic acid derivatives, volatile organic compounds, and plant growth
promotion. Front. Plant Sci. 8 102
Nildayanti. 2011. Peran bakteri kitinolitik dan fungi mikoriza arbuskular dalam
pengendalian busuk pangkal batang kelapa sawit [Tesis]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor
Niu B, Paulson JN, Zheng X, dan Kolter R. 2017. Simplified and representative
bacterial community of maize roots. Proc. Natl. Acad. Sci. U.S.A. 114:
E2450–E2459. doi: 10.1073/pnas.1616148114.
Niu B, Wang W, Yuan Z, Sderof RR, Sederof H, Chiang VL dan Borris R. 2020.
Microbial interactions within multiple-strain biological control agents impact
soil-borne plant disease. Front. Microbiol. 11(1):585404. doi:
10.3389/fmicb.2020.585404
Niu DD, Liu HX, Jiang CH, Wang YP, Wang QY, Jin HL, dan Guo J. 2011. The
plant growth–promoting rhizobacterium Bacillus cereus AR156 induces
systemic resistance in Arabidopsis thaliana by simultaneously activating
salicylate-and jasmonate/ethylene-dependent signaling pathways. Mol. Plant
Microbe Interact. 24: 533–542. doi: 10.1094/mpmi-09-10-0213.
Nurbailis N dan Martinius M. 2011. Pengaruh kolonisasi Trichoderma spp. pada
akar bibit pisang terhadap perkembangan penyakit layu Fusarium (Fusarium
oxysporum f. sp. cubense). Jurnal Natur Indonesia. 13(3): 220-225.
76

Nurhayati, Umayah A, Agustin SE. 2012. Aplikasi Trichoderma virens melalui


penyemprotan pada daun, akar dan perendaman akar untuk menekan infeksi
penyait downi mildew pada tanaman caisin. Dharmapala. 4(2) : 22-28
Nurrashyeda R, Semanb IA, Zairunc MA, Mohamedd MS, Sebrane NH, Itam OJA,
Bangi KI, 2018. Biocontrol of Basal Stem Rot (BSR) Disease of Oil Palm
using Endophytic Fungus, Hendersonia sp. International Journal of Pure and
Applied Mathematics. 118(24): 1-22.
Octaviani EA, Achmad, Herliyana EN. 2015. Potensi Trichoderma harzianum dan
Gliocladium sp. sebagain agen penyebab penyakit mati pucuk pada jabon.
Silvikultur Tropika. 6(1) : 27-32.
Oljira AM, Hussaim T, Waghode TR, Zhao H, Sun H, Liu X, Wang X dan Liu B.
2020. Trichoderma Enhances Net Photosynthesis, Water Use Efficiency, and
Growth of Wheat (Triticum aestivum L.) under Salt Stress. Microorganisms.
8:2-18
Pacifico D, Aquartini A, Crucitti, Barizza E, Schiavo FL, Mureseu R, Carimi F dan
Zottini M. 2019. The role of the endophytic microbiome in the grapevine
response to environmental triggers. Front. Plant Sci. 10(1):1256. doi:
10.3389/fpls.2019.01256.
Paterson RRM. 2019. Ganoderma boninense disease of oil palm to significantly
reduce production after 2050 in Sumatra if projected climate change occurs.
Microorganisms. 7(24): 1-8. doi: 10.3390/microorganisms7010024
Paudzai, FAMD, Sundram S, Yusof MT, Angel LPL, Hashil AM dan Abdullah
SNA. 2019. Induced systemic resistance and promotion of plant growth in oil
palm seedlings by endophytic Trichoderma virens. Journal of Oil Palm
Research. 31(4): 572-581 DOI: https://doi.org/10.21894/jopr.2019.0031
Paul S dan Rakshit A. 2021. Effect of seed bio-priming with Trichoderma viride
strain BHU-2953 for enhancing soil phosphorus solubilization and uptake in
soybean (Glycine max). J. Soil Sci. Plant Nutr. 21(1) :1041–1052
Perwitasari B, Tripatmasari M, Wasonowati C. 2012. Pengaruh media tanam dan
nutrisi terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman pakchoi (Brassica juncea L.)
dengan sistem hidroponik. Agrovigor. 5(1):14-25.
Phoka N, Suwannarach N, Lumyong S, Ito SI, Matsui K, Arikit S dan Sunpapao.
2020. Role of volatiles from the endophytic fungus Trichoderma
asperelloides PSU-P1 in biocontrol potential and in promoting the plant
growth of Arabidopsis thaliana. J. Fungi. 6.341; doi:10.3390/jof6040341
Agase SV, Gopalakrishnan S, Gupta R, Rangarao GV, Srinivas V dan Wani
SP. 2018. Compatibility of Streptomyces sp., Metarhizium anisopliae, and
neem seed powder against pigeon pea pod borer complex.
Int.J.Curr.Microbiol.App.Sci.7(2): 390-397
Pieterse CM, Zamioudis C, Berendsen RL, Weller DM, Van Wees SC, dan Bakker,
PA. 2014. Induced systemic resistance by beneficial microbes. Annual review
of phytopathology. 52: 347-375.
Pieterse CMJ, Leon-Reyes A, Van der Ent S, dan Van Wees SCM. 2009.
Networking by small-molecule hormones in plant immunity. Nature
Chemical Biology. 5.308–316
Pishchany G, Mevers E, Ndousse-Fetter S, Horvath DJJr, Paludo CR, Silva-Junior
EA, et al. 2018. Amycomicin is a potent and specific antibiotic discovered
77

with a targeted interaction screen. Proc. Natl. Acad. Sci. USA. 115. 10124–
10129.doi: 10.1073/pnas.1807613115
Priwiratama H, Prasetyo A, Susanto A. 2020. Incidence of basal stem rot disease of
oil palm in converted planting areas and control treatments. IOP Conf. Series:
Earth and Environmental. Science 468. https://doi.org/10.1088/1755-1315/
468/1/012036 012036
Priwiratama H, Prasetyo AE, Susanto A. 2014. Pengendalian penyakit busuk
pangkal batang kelapa sawit secara kultur teknis. Jurnal Fitopatologi
Indonesia. 10(1) : 1-7
Purnamasari MI, Prihatna C, Gunawan AW. 2012. Isolasi dan identifikasi secara
molekuler Ganoderma spp. yang berasosiasi dengan penyakit busuk pangkal
batang di kelapa sawit. Jurnal Fitopatologi Indonesia. 8(1) : 9-15
Puromo E, Mukarlina dan Rahmawati. 2017. Uji Antagonis Bakteri Streptomyces
spp. terhadap Jamur Phytophthora palmivora BBK01 Penyebab Busuk Buah
pada Tanaman Kakao. Protobiont. 6(3) : 1-7
Purwanto MI, Irwan, Asrul. 2016. Uji efektifitas Trichoderma sp untuk menekan
perkembangan jamur Ganoderma boninense pat. Pada media pelepah kelapa
sawit. Agroteknis. 4(4) : 403-411.
Putra DP, Wuryanti dan Sriatun. 2014. Pengaruh penambahan biotin terhadap
produksi kitinase dari Trichoderma Viride FNCC 6013. Jurnal Kimia Sains
dan Aplikasi. 17 (1): 6 – 11
Quiroz RDC, Roussos S, Herrera RR, Castillo DH, Aguilar CN. 2018. Growth
inhibition of Colletotrichum gloeosporioides and Phytophthora capsici by
native Mexican Trichoderma strains. Karbala International Journal of
Modern Science. 4 (1):237-243.
Raaijmakers JM dan Mazzola M. 2016. Soil immune responses. Science.
352(6292): 1392-1393.
Rahmansyah M dan Sudiana IM. 2010. Production of Acid Phosphatase in Bacillus
sp. Isolated from Forest Soil of Gunung Salak National Park. Jurnal Biologi
Indonesia. 6 (3): 313-323.
Rahmansyah M dan Sudiana IM. 2010. Soil microbial enzymatic activity relate to
role of methanotrophic bacteria in the tropical forest soil of gunung salak
national park. ARPN Journal of Agricultural and Biological Science. 5(2) :
51-57
Rao NSB. 1994. Mikroorganisme Tanah dan Pertumbuhan Tanaman. Jakarta : UI
Press
Ray RC dan Didier M. 2014. Microorganisms and fermentation of Traditional
Foods. London (UK): CRC Press.
Rees R, Flood J, Hasan Y, Potter U, Cooper RM, 2009. Basal stem rot of oil palm
(Elaeis guineensis); mode of root infection and lower stem invasion by
Ganoderma boninense. Plant Pathol. 58(5): 982–989. doi: 10.1111/j.1365-
3059.2009.02100.x
Rees RW, Flood J, Hasan Y, Wills MA, Cooper RM. 2012. Ganoderma boninense
basidiospores in oil palm plantations: Evaluation of their possible role in stem
rots of Elaeis guineensis. Plant Pathology. 61(3), 567–578.
https://doi.org/10.1111/j.1365- 3059.2011.02533.x.
Rifai MA. 1969. A revision of the genus Trichoderma. Mycol. Papers 116(1):1-56
78

Rohman RA. 2017. Ekspresi Protein Tanaman Kelapa Sawit (Elaeis guineensis
Jacq.) yang Terinfeksi Ganoderma Boninense Pat. Pada Fase Pembibitan.
[Thesis]. Bogor (ID). Fakultas Pertanian, Institute Pertanian Bogor
Ruangrong OU, Wonglom P, Suwanarach N, Kumla J, Tahochan N, Chomnunnti
P, Pitija K dan Sunpao A. 2021. Volatile Organic Compound from
Trichoderma asperelloides TSU1: Impact on Plant Pathogenic Fungi. J.
Fungi. 7(1) : 1-13. https://doi.org/10.3390/jof7030187
Ruocco M, Lanzuise S, Lombardi N, Woo SL, Vinale F, Marra R, et al. 2015.
Multiple roles and effects of a novel Trichoderma hydrophobin. Mol. Plant-
Microbe Interact. 28 :167–179. doi: 10.1094/MPMI-07-14-0194-R
Rupaedah B, Amanda DV, Indrayanti R, Asian N. 2018. Aktivitas
Stenotrophomonas rhizophila dan Trichoderma sp. dalam menghambat
pertumbuhan ganoderma boninense. Jurnal Bioteknologi dan Biosains
Indonesia. 6(1). 53-63
Sabaratnam S, Traquair JA. 2002. Formulation of a Streptomyces biocontrol agent
for the suppression of Rhizoctonia sp damping-off in tomato transplants. Biol
Control. 23:245-253.
Saber WIA, Ghoneem KM, Rashad YM, Al-Askar AA. 2017. Trichoderma
harzianum WKY1: An indole acetic acid producer for growth improvement
and anthracnose disease control in sorghum. Biocontrol Sci. Technol. 27(1) :
654–676
Sadhu S, Saha P, Sen SK, Mayilraj S, Miti T. 2013. Production, purification and
characterization of novel thermotolerant endoglucanse (CMCase) from
bacillus strain isolated from cow dung. Spingerplus J. India.
Salazar ARU, Torres ARI, Garcia GF, Aguilar PC, Morgado BR, Campo JA,
Parado J dan Bautsta J. 2018. Chitinase production by Trichoderma
harzianum grown on a chitinrich mushroom byproduct formulated medium.
Waste and Biomass Valorization. 1(1): 1-9 https://doi.org/10.1007/s12649-
018-0328-4
Sandheep AR, Asok AK dan Jisha MS. 2013. Combined Inoculations of
Pseudomonas floursecnes and Trichoderma harzianum for Enhancing Plant
Growth of vanilla (Vaila planifolia). Pakistan Journal of Biological Science.
16(12): 580-584
Sandi YA, Syamsuddin D dan Antok WS. 2015. Identifikasi molekuler jamur
antagonis Trichoderma harzianum diisolasi dari tanah pertanian di Malang,
Jawa timur. J HPT. 3(3) : 1-8
Santhanam R, Menezes RC, Grabe V, Li D, Baldwin IT dan Groten K. 2019. A
suite of complementary biocontrol traits allows a native consortium of root-
associated bacteria to protect their host plant from a fungal sudden-wilt
disease. Mol. Ecol. 28 (1): 1154–1169. doi: 10.1111/mec.15012
Santi C, Bogusz D, Franche C. 2013. Biological nitrogen fixation in non-legume
plants. Annals of Botany. 111(5): 743-767.
Santosa E. 2007. Mikroba Pelarut Fosfat. In : Metode Analisis Biologi Tanah. Balai
Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor. 52
hal.
Saravanakumar K, Shanmuga AV, Kathiresan K. 2013. Effect of Trichoderma sp
on soil phosphate solubilization and growth improvement of Avicennia
marina. Aquat. Bot. 104. 101–105.
79

Sarker A, Talukder NM, Islam MT. 2014. Phosphate solubilizing bacteria promote
growth and enhance nutrient uptake by wheat. Plant Science Today. 1(2):86-
93.
Sarma BK, Yadav SK, Singh S dan Singh HB. 2015. Microbial consortiummediated
plant defense against phytopathogens: readdressing for enhancing efficacy.
Soil Biol. Biochem. 87(1) 25–33. doi: 10.1016/j.soilbio.2015.04.001
Schaad NW, JB Jones, W. Chun. 2001. Laboratory Guide for Identification of Plant
Phatogenic Bacteria 3rd Edition. American Phytopathological Society Press.
373.
Schlegel HG. 1994. Mikrobiologi Umum. Yogyakarta (ID): UGM Pr.
Semangun H. 2008. Penyakit Penyakit Tanaman Perkebunan DI Indonesia. UGM
press : Yogyakarta
Seo, GS, Kirk PM. 2000. Ganodermataceae: Nomenclature and Classification.
Ganoderma Disease of Perenial Crops. 3-22. UK: CABI.
Sharaf EF, El-Sarrany AEQ, El-Deeb M.2012. Biorecycling of shrimp shell by
Trichoderma viride for production of antifungal chitinase. African Journal of
Microbiology Research. 6 (21): 1-13 http://dx.doi.org/10.5897/AJMR12.148
Sharma H dan Parihar L. 2010. Antifungal activity of extracts obtained from
actinomycetes. Journal of Yeast and Fungal Research. 1(10) : 197 – 200
Siddiquee S, Shafawati SN dan Naher L. 2017. Effective composting of empty fruit
bunches using potential Trichoderma strains. Biotechnol. Rep. 13(1): 1-7.
Siddiquee S, Umi KY, Kausar H, Sarwar J. 2009. In vitro studies on the potencial
Trichoderma harzianum for antagonistic properties againts Ganoderma
boninase. Journal of fruit, Agriculture & Environment. 7 (34): 970-976.
Siddiqui Y, Surendran A, Paterson RRM, Ali A, Ahmad K. 2021. Current strategies
and perspectives in detection and control of basal stem rot of oil palm. Saudi
Journal of Biological Sciences. 28(2021): 2840-2849. doi:
10.1016/j.sjbs.2021.02.016
Simamora M, Basyuni M dan Lisnawita. 2021. Potency of secondary metabolites
of Trichoderma asperellum and Pseudomonas fluorescens in the growth of
cocoa plants affected by vascular streak dieback. Biodiversitas. 22(5) : 2245-
2547. doi: 10.13057/biodiv/d220511
Simon S dan Petrášek J. 2011. Why plants need more than one type of auxin. Plant
Science 180 : 454–460.
Singh LS, Baruah I, Bora TC. 2006. Aktinomiset of loktak habitat : Isolation and
screening for antimicrobial activities. Biotchnology. 5(2): 217-221.
Singh S, Rawar A dan Sharma. 2013. Antifungal antibiotic of Streptomyces sp.
Ss12: production and characterization. Int J Cur Res Rev. 5(11) : 17-29
Skidmore AM, Dickinson CM. 1976. Colony interactions and hyphal interferences
between septoria nodorum and phylloplane fungi. Transac British Mycol Soc.
66(1):57-64.
Solanki MK, Singh N, Singh RK, Singh P, Srivastava AK, Kumar S, Kashyap PL
dam Arora DK. 2010. Plant defense activation and management of tomato
root rot by a chitin-fortified Trichoderma/ Hypocrea formulation.
Phytoparasitica. Doi:10.1007/s12600-011- 0188-y
Solanki MK, Yandigeri MS, Kumar S, Singh RK dan Srivastava AK. 2019. Co-
inoculation of different antagonists can enhance the biocontrol activity
80

against Rhizoctonia solani in tomato. Antonie Van Leeuwenhoek.


112(1) :1633–1644. doi: 10.1007/s10482-019-01290-8
Song J, Lee SC, Kang JW, Baek HJ, Suh JW. 2004. Phylogenetic analysis of
Streptomyces spp. from potato scab lesions in Korea on the basis of 16S Rrna
gene and 16S-23S Rdna internally transcribed spacer sequences. Int J Syst
Evol Micobiol. 54:203-209.
Sood M, Kapoor D, Kumar V, Sheteiwy MS, Ramakrishnan M, Landi M, Araniti
F, Sharma A. 2020. Trichoderma: The “secrets” of a multitalented biocontrol
agent. Plants. 9(1). 762
Spadaro D dan Droby S. 2016. Development of biocontrol products for postharvest
diseases of fruit: The importance of elucidating the mechanisms of action of
yeast antagonists. Trends in Food Science and Technology. 47: 39-49.
http://dx.doi.org/10.1016/j.tifs.2015.11.003
Sridevi M dan Mallaiah KV. 2007. Production of Indole-3-Acetic Acid by
Rhizobium Isolates from Sesbania Species. African J of Microbiol Res. 1
(17):125-128.
Stempien E, Jean R, Pierron G, Adendorff I, Van Jaarsveld WJ, Halleen F. 2020.
Host defence activation and root colonization of grapevine rootstocks by the
biological control fungus Trichoderma atroviride. Phytopathol. Mediterr. 59:
615–626.
Stockwell VO, Johnson KB, Sugar D, dan Loper JE. 2011. Mechanistically
compatible mixtures of bacterial antagonists improve biological control of
fire blight of pear. Phytopathology. 101(1): 113-123.
Sudarma IM. 2010. Seleksi dan Pemanfaatan Aktinomiset sebagai mikroba
antagonis yang ramah lingkungan terhadap Fusarium oxysporum f.sp.
cubense secara In Vitro. Ecotrophic. 5(2) : 104-107.
Surahman M, Giyanto, Andi T, Awaluddin H. 2012. Evaluasi kemurnian genetik
dengan marka mikrosatelit dan aplikasi rizobakteria untuk meningkatkan
produksi dan mutu benih jagung hibrida. Ilmu Pertanian Indonesia. 17(1) :
22-34
Susanto A, Agus P, Sri W. 2013. Laju Infeksi Ganoderma pada empat kelas tekstur
tanah. Jurnal Fitopatologi Indonesia. 9(2) : 39-46. doi: 10.14692/jfi.9.2.39
Susanto A, Sudharto. 2003. Status of Ganoderma disease on oil palm in Indonesi.
Third International workshop on Ganoderma disease of perennial crops.
Maret 24-26. Medan Indonesia.
Susanto A. 2011. Ganoderma diperkebunan Kelapa Sawit dari waktu ke waktu.
Simposium Nasional dan Lokakarya : Sebagai Patogen Penyakit Tanaman
dan Bahan Baku Obat Tradisional. Bogor.
Susilowati DN, Ratih D, Hastuti, Erny Y. 2007. Isolasi dan karakterisasi
Aktinomisetes penghasil antibakteri enteropatogen Escherichia coli K1.1,
Pseudomonas pseudomallei 02 05, dan Listeria monocytogenes 5407.
Agrobiogen. 3(1) : 15-23.
Syafiq THTM, Usaibah SA, Rafii MY. 2021. Effectiveness of Bioinoculants
Bacillus cereus and Trichoderma asperellum as Oil Palm Seedlings Growth
Promoters. Pertanika J. Trop. Agric. Sci. 44 (1): 157 – 170.
Tamura K, Peterson D, Peterson N, Stetcher G, Nei M dan Kumar S. 2011.
MEGA5: molecular evolutionary genetics analysis using maximum
81

likelihood, evolutionary distance, and maximum parsimony methods.


Molecular Biology and Evolution. 28: 2731-2739.
Taribuka J, Sumardiyono C, Widuastuti SM, Wibowo A. 2016. Eksplorasi dan
identifikasi Trichoderma sp endofitik pada pisang. J. HPT Tropika. 16(2) :
115-123
Thakkar A dan Saraf M. 2014. Development of microbial consortia as a biocontrol
agent for effective management of fungal diseases in Glycine max L. Arch.
Phytopathol. Plant Prot. 48(1):459–474. doi:10.1080/03235408.2014.
893638.
Thangavelu R dan Gopi M. 2015. Combined application of native Trichoderma
isolates possessing multiple functions for the control of Fusarium wilt disease
in banana cv. Grand Naine. Biocontrol. Sci. Technol. 25: 1147–1164. doi:
10.1080/09583157.2015.1036727.
Todar K. 2008. Antimicrobial agensts used in treatment of infection disease
[research report]. Madison: University of Wisconsin.
Townsend GR, Heuberger JW. 1943. Methods for estimating losses caused by
diseases in fungicide experiments. Plant Dis. Rep. 27: 340-343.
van Lenteren JC, Bolckmans K, Kohl J, Ravensberg WJ, Urbaneja A. 2017.
Biological control using invertebrates and microorganisms: plenty of new
opportunities. BioControl. doi:10.1007/s10526-017-9801-4.
Vinale F, Manganiello G, Nigro M, Mazzei P, Piccolo A, Pascale A, Woo S. 2014.
A novel fungal metabolite with beneficial properties for agricultural
applications. Molecules.1(7): 9760-9772. DOI: 10.3390/molecules19079760.
Vinale F, Sivasithamparam K, Ghisalberti EL, Woo SL, Nigro M, Marra R, Lorito
M. 2014. Trichoderma secondary metabolites active on plants and fungal
pathogens. The Open Mycology Journal. 8(1):127–139
Vinotha T, Maheswari NU. 2014. Optimization of cellulolytic bacteria from
cellulose waste materials and its activity. Int J Pharm Sci. 57:333-337.
Wahdi E, Mubarik NR, Widyastuti R. 2016. Characterization of phosphate
solubilising bacteria from limestone quarry in Cirebon Indonesia. J Int
Environ Appl Sci. 11(4):312-317
Wahyudi AT, Priyanto JA, Fijrina HN, Mariastuti HD dan Nawangsih AA. 2019.
Streptomyces spp. from rhizosphere soil of maize with potential as plant
growth promoter. Biodiversitas. 20 (9): 2547-2553.
Wan M, Li G, Zhang J, Jiang D, et al. 2008. Effect of volatile substances of
Streptomyces platensis F-1 on control of plant fungal diseases. Biol. Control.
46(1): 552–559.
Wei Z, Yang T, Friman VP, Xu Y, Shen Q, dan Jousset A. 2015. Trophic network
architecture of root-associated bacterial communities determines pathogen
invasion and plant health. Nat. Commun. 6:8413. doi: 10.1038/ ncomms9413
Widawati S. 2015. Uji bakteri simbiotik dan nonsimbiotik pelarutan Ca vs P dan
efek inokulasi bakteri pada anakan turi (Sesbania grandiflora L. Pers.). J Biol
Indon. 11(2): 295-307.
Widyanti N dan Giyanto. 2013. Kemampuan aktinomiset menghambat
pertumbuhan Sclerotium rolfsii dan pembiakannya pada medium serbuk
gergaji. Jurnal Fitopatologi Indonesia. 9(1): 1-7.
82

Wonglom P, Daengsuwan W, Ito SI, Sunpapao A. 2019. Biological control of


Sclerotium fruit rot of snake fruit and stem rot of lettuce by Trichoderma sp.
T76-12/2 and the mechanisms involved. Physiol Mol Plant Pathol. 107:1–7.
Wonglom P, Ito S, Sunpapao A. 2020. Volatile organic compounds emitted from
endophytic fungus Trichoderma asperellum T1 mediate antifungal activity,
defense response and promote plant growth in lettuce (Lactuca sativa).
Fungal Ecol. 43(1) : 1-10. DOI:10.1016/j.funeco.2019.100867
Wu Y, Yuan J, Yaoyao E, Raza W, Shen Q dan Huang Q. 2015. Effects of volatile
organic compounds from Streptomyces albulus NJZJSA2 on growth of two
fungal pathogens. J. Basic Microbiol. 54 (1) : 1–14 DOI
10.1002/jobm.201400906
Yang PW, Li MG, Zhao JY, Zhu MZ, Shang H, Li JR, Cui XL, Huang R, Wen ML.
2010. Oligomycins A and C, major secondary metabolites isolated from the
newly isolated strain Streptomyces diastaticus. Folia Microbiologica. 55:10-
16.
Yu Z, Zhao LX, Jiang CL, Duan Y, Wong L, Carver KC. 2011. Bafilomycins
produced by an endophytic actinomycetes Streptomyces sp. YIM56209. J
Antibiot. 64: 159-162.
Yuan J, Raza W, Shen Q, Huang Q. 2012. Antifungal activity of Bacillus
amyloliquefaciens NJN-6 volatile compounds against Fusarium oxysporum f.
sp. cubense. Applied and Environmental Microbiology. 78(16):5942–5.
Yuvika, Aswardi N dan Abdul G. 2013. Isolasi dan penapisan in vitro aktinomiset
untuk mengendalikan Xanthomonas. Fitopatologi Indonesia. 9(4) : 124-129.
DOI: 10.14692/jfi.9.1.29.
Zhang LN, Wang DC, Hu Q, Dai XQ, Xie YS, Li Q, Liu HM, Guo JH. 2019.
Consortium of plant growth-promoting rhizobacteria strains suppresses sweet
pepper disease by altering the rhizosphere microbiota. Front. Microbiol.
10:1668. Doi: 10.3389/fmicb.2019.01668.
Zhou L, Cao Y, Wu SH, Vlasák J. Li DW, Li MJ, Dai YC. 2015. Global diversity
of the Ganoderma lucidum complex (Ganodermataceae, Polyporales)
inferred from morphology and multilocus phylogeny. Phytochemistry. 114:
7–15. doi: 10.1016/j.phytochem.2014.09.023

Anda mungkin juga menyukai