ASPERGILLOSIS
Oleh :
Kelompok 3 Pagi
Cahyani Fortunitawanli (B04100161)
Kelvin Verdhian (B04100162)
M Habib Ilman (B04100163)
Bahan-bahan yang mudah dicemari kapang Aspergillus merupakan sumber utama bagi
infeksi Aspergillosis. Pada pertenakan unggas, pakan merupakan salah satu dari bahan-bahan di
sekitar ternak yang dapat merupakan sumber infeksi Aspergillosis tersebut (Sri Utami 1998).
Aspergillosis selalu ditemukan pada pakan dan bahan-bahan lainnya sebagai kapang saprofit
bersama kapang lainnya, tetapi oleh faktor-faktor tertentu, misalnya daya tahan tubuh ternak
menurun, penggunaan antibiotika yang tidak tepat dan sistem manajemen yang tidak baik, maka
ternak menjadi peka dan kapang Aspergillus menjadi patogen bagi ternak-ternak tersebut. Selain
patogenik sebagai penyebab infeksi, kapang Aspergillus mempunyai sifat karsinogenik dan
alergen, sehinnga spesies Aspergillus mempunyai kemampuan penyebab mikosis, mikotoksikosis
dan alergi baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama (Hastiono 1986).
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi
Aspergillosis spp. adalah salah satu jenis mikroorganisme yang termasuk jamur dan
termasuk dalam mikroorganisme eukariotik. Aspergillus spp. secara mikroskopis dicirikan sebagai
hifa bersepta dan bercabang, konidiofora muncul dari foot cell (miselium yang bengkak dan
berdinding tebal) membawa stigmata dan akan tumbuh konidia yang membentuk rantai berwarna
hijau dan hitam. Aspergillosis secara makroskopis mempunyai hifa fertil yang muncul
dipermukaan dan hifa vegetatif terdapat dibawah permukaan. Jamur tumbuh membentuk mold
berserabut, smooth, sembung serta koloni yang kompak berwarna hijau kelabu, hijau coklat, hitam,
putih. Warna koloni dipengaruhi oleh warna spora misalnya spora berwarna hijau yang semula
berwarna putih tidak tampak lagi (Srikandi 1992).
Aspergillus fumigatus adalah kapang saprofitik yang dapat beradaptasi dengan baik
sehingga dapat memproduksi spora kecil yang melayang di udara dalam jumlah yang sangat
banyak dan dapat bertahan dalam kondisi lingkungan yang bervariasi, karena itulah kapang ini
melimpah di tanah dan materi organik yang mati. Disebabkan oleh 10.000 – 15.000 L udara yang
kita hirup tiap hari, manusia terus menerus berkontak dengan aseksual spora kapang ini. Ini adalah
hal yang luar biasa, meskipun terkena kontak terus-menerus, sebagian besar manusia tidak
menunjukan penyakit yang disebabkan spora tersebut. Pada inang yang immunokompeten, spora
tersebut secara normal tidak menimbulkan gangguan karena spora-spora tersebut telah
tereleminasi oleh sistem immune di saluran pernapasan (Balloy dan Chignard 2009).
Mikotoksin dapat digambarkan sebagai bahan kimiawi yang beragam dari molekul organik
ringan yang dihasilkan fungi tersebut. Substansi tersebut terbentuk di hifa ketika masa
pertumbuhan, dan bisa menjadi aktif ketika keluar ke lingkungan, atau lepas karena kematian hifa.
Adanya toksin yang sudah terbentuk terlebih dahulu di konidia disebabkan toksin tersebut telah
tergabung ketika konidiogenesis. Namun, substansi tersebut juga bisa diproduksi ketika proses
germinasi. Toksin tersebut tampaknya diproduksi fungi tersebut untuk perlindungan diri dari
predator dan competitor pada ekologinya (Osherov 2007), namun A. fumigatus juga bisa
berkontribusi sebagai patogen karena dapat menyerang inang secara langsung.
Patogenesa
Ada empat jenis utama dari aspergillosis. Alergi bronchopulmonary aspergillosis (ABPA)
adalah bentuk paling ringan dari aspergillosis dan biasanya mempengaruhi orang-orang dengan
asma atau fibrosis kistik (kondisi warisan di mana paru-paru bisa terpasang dengan lendir).
Kondisi ini biasanya sebagai akibat dari reaksi tubuh terhadap aspergillus. Aspergilloma adalah
tempat jamur memasuki paru-paru dan kelompok bersama untuk membentuk simpul padat jamur,
yang disebut bola jamur. Aspergilloma adalah kondisi jinak yang mungkin pada awalnya tidak
menimbulkan gejala, tapi seiring, waktu kondisi yang mendasarinya dapat memburuk dan
mungkin menyebabkan: batuk darah (hemoptitis), mengi, sesak napas, penurunan berat badan,
kelelahan. Kronis necrotizing asper-gillosis (CNA) adalah penyebaran, infeksi kronis lambat paru-
paru. Hal ini biasanya hanya mempengaruhi orang-orang dengan kondisi paru paru yang sudah
ada, atau orang orang yang memiliki sistem kekebalan tubuh yang lemah. Aspergillosis paru
invasif (IPA) adalah infeksi umum pada orang dengan sistem kekebalan tubuh yang lemah karena
sakit atau mengambil imunosupresan. Ini adalah bentuk paling serius dari aspergillosis yang
dimulai di paru-paru yang kemudian menyebar dengan cepat ke seluruh tubuh (Annaissie et al
2009).
Gejala klinis
Beberapa sistem imun individu bereaksi tidak seperti seharusnya terhadap Aspergillus spp.
sehingga menyebabkan penyakit alergi simpomatik lokal yang bisa dimanifesasi oleh asma,
allergic bronchopulmonary aspergillosis (ABPA), dan allergic sinusitis (Schubert 2004).
Diagnosa
Untuk melihat apakah ada infeksi jamur perlu dibuat preparat langsung dari kerokan kulit,
rambut, atau kuku. Sediaan dituangi larutan KOH 10-40% dengan maksud melarutkan keratin kulit
atau kuku sehingga akan tinggal kelompok hifa. Sesudah 15 menit atau sesudah dipanasi di atas
api kecil, jangan sampai menguap, dilihat di bawah mikroskop, dimulai dengan pembesaran 10
kali. Adanya elemen jamur tampak berupa benang-benang bersifat kontur ganda. Selain itu,
tampak juga bintik spora berupa bola kecil sebesar 1-3µ. Bahan-bahan yang diperlukan untuk
diperiksa didapat dari (Siregar, 2004):
1. Kulit
Bahan diambil dan dipilih dari bagian lesi yang aktif, yaitu daerah pinggir. Terlebih dahulu
dibersihkan dengan alcohol 70%, lalu dikerok dengan scalpel sehingga memperoleh skuama
yang cukup. Letakkan di atas gelas obyek, lalu dituangi dengan KOH 10%.
2. Rambut
Rambut yang dipilih adalah rambut yang terputus-putus atau rambut yang warnanya tak mengilat
lagi, tuangi KOH 20%, lihat adanya infeksi endo atau ektotrik.
3. Kuku
Bahan yang diambil adalah masa detritus dari bagian bawah kuku yang sudah rusak atau
dari bahan kukunya sendiri, selanjutnya dituangi dengan KOH 20-40% dan dilihat di bawah
mikroskop, dicari hifa atau spora.
Dengan preparat langsung ini, sebenarnya diagnosis suatu dermatomikosis sudah dapat
ditegakkan. Penentuan etiologi spesies diperlukan untuk keperluan penentuan prognosis,
kemajuan terapi dan epidemiologis (Siregar, 2004).
BAHAN DAN METODE
1. Alat dan Bahan
a. Alat
Alat yang dipergunakan dalam percobaan ini adalah peralatan nekropsi (gunting, pinset,
scalpel, dll), gelas objek, gelas penutup, selotipe transparan, ose.
b. Bahan
Bahan yang dipergunakan dalam praktikum kali ini adalah ayam yang diduga terinfeksi
Aspergillus fumigatus, KOH 10%, media biakan Sabouraud Dextrose Agar (SDA) yang sudah
ditambah dengan antibiotic dan Lactophenol Cotton Blue (LPCB).
2. Metode kerja
a. Sebelum melakukan pekerjaan buatlah kondisi seaseptis mungkin yang meliputi meja kerja,
bahan yang digunakan, alat, dan jangan lupa diri sendiri.
b. Sebelum melakukan nekropsi ayam yang sudah disiapkan dibasahi terlebih dahulu untuk
memudahkan dalam melakukan nekropsi.
c. Guntinglah kulit bagian atas dari lipatan paha untuk memudahkan melakukan nekropsi.
d. Guting kulit bagian atas anus dan tariklah kea rah atas sampai daerah dada.
e. Potong pada bagian bawah media sternum dan kemudian gunting ke sisi kiri dan kanan di bawah
costae untuk memudahkan melihat kantong hawa. Lihatlah perubahan PA yang terjadi. Apakah
ada timbunan cairan yang bersifat serous, mucous, pengkejuan ataupun adanya fibrin.
f. Potong bagian dada yang sudah dilakukan pemeriksaan dan singkirkan.
g. Periksalah saluran pernafasan bagian atas dengan jalan menggunting dari arah mulut ke bawah
dan lihat perubahan yang terjadi di trachea, percabangan bronchus, pleura dan paru-paru
h. Lakukan pemeriksaan terhadap organ lain yang mengalami perubahan.
i. Dari organ yang mengalami perubahan, buatlah preparat sentuh ataupun preparat natif dengan
cara menempelkan organ yang sudah dihapushamakan dengan menggunakan gelas objek.
Keringkan dan kemudian lihat dibawah mikroskop. Cara lain adalah dengan memotong sedikit
organ yang mengalami perubahan lalu letakkan diatas gelas objek kemudian teteskan KOH
10%. Biarkan beberapa saat dan lakukan pemeriksaan dibawah mikroskop.
j. Membiakkan organ yang mengalami perubahan patologi pada media Sabouraud Dextrose Agar
(SDA) yang sudah ditambah antibiotic, dengan cara menempelkan organ ke posisi tiga titik
pada media SDA.
k. Melakukan pemeriksaan pada sediaan yang sudah dibiakan, dan identifikasi
l. Biakan sediaan yang tumbuh pada media di cawan segitiga
m. Setelah itu lakukan pemeriksaan dengan larutan Lactophenol Cottonblue
Praktikum kali ini dimulai dengan nekopsi kadaver ayam muda. Organ-organ yang
diperiksa adalah trachea, membrane kantung hawa, dan pleura. Tujuan pemeriksaan ini adalah
untuk menentukan penyebab kematian ayam tersebut. Ditemukan adanya bitnik-bintik bewarna
kuning pada organ-organ ayam, terutama pada membran kantung hawa. Oleh karena itu, pengujian
yang dilakukan adalah terhadap infeksi Aspergillosis.
Pada pemeriksaan mikroskopis swab dari organ-organ yang diperiksa, ditemukan adanya
kumpulan materi yang berbentuk bulat berkoloni seperti anggur. Materi tersebut bewarna kuning
pucat. Selain itu tidak ditemukan hal lain yang signifikan terhadap pemeriksaan Aspergillosis. Dua
minggu berikutnya ditemukan hasil biakan pada agar telah menunjukkan hasil terbentuknya
koloni, tepatnya 6 koloni yang terpisah. Koloni diidentifikasi sesuai bentuk makroskopisnya dan
ditemukan bahwa koloni terbesar yang bewarna hijau green tea dengan bagian terluar bewarna
agak putih merupakan A. flavus. Diidentifikasi bahwa ketiga koloni lain yang berukuran lebih
kecil, bewarna hijau tua di tengah dan bagian terluar yang bewarna putih sangat jelas merupakan
A. fumigatus. Ditemukannya pertumbuhan Aspergillus ini selanjutnya dipastikan dengan
pemeriksaan mikroskopis kedua koloni.
Gambar 3 dan 4. Gambaran makroskopis biakkan sampel
Setelah ditemukan spora dan hifa dari Aspergillus selanjutnya dilakukan isolasi dan penanaman
A.fumigatus pada agar untuk Uji Riddle. Selanjutnya biakkan diperiksa kembali pada minggu
berikutnya dengan melakukan pewarnaan dan pengamatan mikroskopis dengan hasil:
Gambar 9 dan 10. Pertumbuhan koloni pada agar Uji Riddle dan
hasil pengamatan mikroskopis pada cover glass
Hasil yang ditemukan pada pemeriksaan mikroskopis dari biakkan uji riddle dengan agar
SDA tidak jauh berbeda. Ditemukan adanya spora dan hifa yang dapat digunakan untuk
identifikasi Aspergillosis. Pada skema berikut dapat secara jelas dibedakan bagian-bagian dari
Aspergillus secara mikroskopis:
Gambar 13 dan 14. Skema gambaran mikroskopis Aspergillus
(University of Adelaide 2017)
Aspergillosis adalah penyakit yang disebabkan oleh Aspergillus, tipe fungi yang sangat
umum. Banyak orang maupun hewan yang setiap harinya menghirup spora Aspergillus tanpa
menjadi sakit. Akan tetapi, apabila sistem imun sedang lemah atau pasien sedang menderita
penyakit paru-paru maka risiko timbulnya penyakit akibat infeksi Aspergillus menjadi lebih tinggi
(CDC 2018).
SIMPULAN
Sampel yang diuji pada praktikum ini dipastikan merupakan Aspergillus flavus dan
Aspergillus fumigatus. Identifikasi dilakukan dengan pemeriksaan makroskopis dan mikroskopis.
DAFTAR PUSTAKA
Annaissie E J, Mc. Ginnis MR, Pfaller MA. 2009. Clinical Mycology, Second Edition. Churchill
Livingstone : Elsevier
Balloy V, Chignard M. 2009. The Innate Immune Response to Aspergillus fumigatus. Microbes
Infect ; 11 : 919-27.
Centers for Disease Control and Prevention [CDC]. 2018. Definition of Aspergillosis
www.cdc.gov/fungal/diseases/aspergillosis/definition.html. [Diakses Desember 16
2018].
Hastiono S. 1986. Hubungan Antara Tingginya Populasi Aspergillus spp. Patogenik pada Pakan
dan Bahan-bahan Lainnya dengan Tingkat Kejadian Aspergillosis pada Unggas.
Penyakit Hewan Vol. XVIII No.31. Hal 49-53.
Osherov N. 2007. The Virulence of Aspergillus fumigatus. In : Kavanagh K, editor. New insight
in medical mycology. Springer. p 185-212.
Schubert M S. 2004. Allergic Fungal Sinusitis : Pathogenesis and Management Strategies. Drugs
64(4);363-74
Sri Utami P. 1988. Petunjuk Mikrobiologi Veteriner. Bogor : PAU Institut Pertanian Bogor.
Tabbu C. R., 2000. Penyakit Ayam dan Penanggulangannya. Yogyakarta : Kanisius.