Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Cacing pita termasuk subkelas Cestoda, kelas Cestoidea, filum
Platyhelminthes. Cacing dewasanya menempati saluran usus vertebrata dan
larvanya hidup di jaringan vertebrata dan invertebrata. Bentuk badan cacing
dewasa memanjang menyerupai pita, biasanya pipih dorsoventral, tidak
mempunyai alat cerna atau saluran vaskular dan biasanya terbagi dalam segmen-
segmen yang disebut proglotid yang bila dewasa berisi alat reproduksi jantan dan
betina.
Ujung bagian anterior berubah menjadi sebuah alat pelekat, disebut
skoleks yang dilengkapi dengan alat isap dan kait-kait. Spesies penting yang dapat
menimbulkan kelainan pada manusia umumnya adalah : Taenia saginata dan
Taenia solium, Diphyllobothrium latum, Hymenolepis nana, Echinococcus
granulosus, Echinococcus multilocularis.
Manusia merupakan hospes Cestoda ini dalam bentuk :
a. Cacing dewasa, untuk spesies Diphyllobothrium latum, Taenia saginata, Taenia
solium, H.nana, H.diminuta, Dipylidium caninum.
b. Larva, untuk spesies Diphyllobothrium sp, T.solium, H.nana, E.granulosus,
Multiceps.

B. Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui klasifikasi,
morfologi dan daur hidup, hospes dan nama penyakit, distribusi geografik,
patologi dan gejala klinis, diagnosis, pengobatan serta epidemiologi dari cestoda
Diphyllobothrium latum.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Klasifikasi
Kingdom : Animalia
Filum : Platyhelminthes
Kelas : Cestoda
Ordo : Pseudophyllidea
Famili : Diphyllobothriidae
Genus : Diphyllobothrium
Spesies : Diphyllobothrium latum

B. Morfologi dan Daur Hidup


Cacing dewasa yang keluar dari usus manusia berwarna gading,
panjangnya dapat sampai 10 M dan terdiri atas 3000-4000 buah proglotid, tiap
proglotid mempunyai alat kelamin jantan dan betina yang lengkap. Telur
mempunyai operculum berukuran 70 x 45 mikron, dikeluarkan melalui lubang
uterus proglotid gravid dan ditemukan dalam tinja. Telur menetas dalam air. Larva
disebut korasidium dan dimakan oleh hospes perantara pertama, yaitu binatang
yang termasuk Copepoda seperti Cyclops dan Diaptomus. Dalam hospes ini larva
tumbuh menjadi proserkoid, kemudian Cyclops dimakan hospes perantara kedua
yaitu ikan salem dan proserkoid berubah menjadi larva pleroserkoid atau disebut
sparganum. Bila ikan tersebut dimakan hospes definitif misalnya manusia
sedangkan ikan itu tidak dimasak dengan baik, maka sparaganum di rongga usus
halus tumbuh menjadi cacing dewasa (Departemen Parasitologi FKUI, 2008).
Cacing ini tergolong Pseudophyllidae yang terdapat sebagai cacing dewasa
pada manusia. Panjangnya sampai 10 m, terdiri dari 3000-4000 proglotid Genital
pore dan uterin pore terletak di sentral dari proglotid. Telur mempunyai
operkulum yang berisi sel telur. Telur dikeluarkan bersama tinja. Dalam air, sel
telur menjadi onkosfer dan telur menetas lalu keluar korasidium yaitu embrio
yang bersilia. Korasidium dimakan oleh HP I yaitu Cyclops atau Dioptomus. Di
dalam tubuh HP I, korasidium berubah menjadi procercoid. Bila Cyclops atau
Dioptomus yang mengandung procercoid dimakan oleh ikan sebagai HP II, maka
procercoid akan tumbuh menjadi plerocercoid (sparganum) yang merupakan
bentuk infektif .
Bersifat hermafrodit. Cacing dewasa panjangnya dapat mencapai 10
(sepuluh) meter. Menempel pada dinding intestinum dengan scolex. Panjang
scolex dengan lehernya 5-10 mm jumlah proglotidnya bisa mencapai 3.000 (tiga
ribu) atau lebih. Satu cacing bisa mengeluarkan 1.000.000 (satu juta) telur setiap
harinya. Telur Diphyllobothrium latum harus jatuh kedalam air agar bisa menetas
menjadi coracidium. Coracidium (larva) ini harus dimakan oleh Cyclops atau
Diaptomus untuk bisa melanjutkan siklus hidupnya. Di dalam tubuh Cyclops larva
akan tumbuh menjadi larva procercoid. Bila Cyclops yang mengandung larva
procercoid dimakan oleh ikan tertentu (intermediate host kedua), maka larva
cacing akan berkembang menjadi plerocercoid. Plerocercoid ini akan berada
didalam daging ikan. Bila daging ikan yang mengandung plerocercoid ini
dimakan manusia, maka akan terjadi penularan. Di dalam intestinum manusia,
plerocercoid akan berkembang menjadi cacing dewasa (Entjang, 2001)

C. Hospes dan Nama Penyakit


Manusia adalah hospes definitif, hospes reservoarnya adalah anjing,
kucing dan lebih jarang 22 mamalia lainnya, antara lain walrus, singa laut,
beruang, babi, dan serigala. Parasit ini menyebabkan penyakit yang disebut
difilobotriasis (Departemen Parasitologi FKUI, 2008).
Manusia menyebabkan Diphyllobothriasis. Hospes reservoir adalah anjing,
anjing hutan dan beruang. Hospes perantara I adalah Cyclops dan Dioptomus.
Hospes perantara II adalah ikan (Safar, 2009).

D. Distribusi Geografik
Parasit ini ditemukan di Amerika, Kanada, Eropa, daerah danau di Swiss,
Rumania, Turkestan, Israel, Mancuria, Jepang, Afrika, Malagasi dan Siberia.

E. Patologi dan Gejala Klinis


Penyakit ini biasanya tidak menimbulkan gejala berat, mungkin hanya
gejala saluran cerna seperti diare, tidak nafsu makan dan tidak enak di perut.
Ekskistasi terjadi di usus halus lalu cacing menjadi dewasa dengan
memakan sari makanan dan Vitamin B12. Penyakitnya disebut Diphyllobothriasis
dengan gejala gastrointestinal berupa diare, hilang nafsu makan. Karena cacing
mengambil Vitamin B12 akan terjadi Anemia makrositer hyperchrom. Tidak
semua orang yang terinfeksi akan menjadi sakit Biasanya asymptomatis, tetapi
kadang-kadang berupa perut sakit, berat badan menurun dan anemia.

F. Diagnosis
Cara menegakkan diagnosis penyakit ini adalah dengan menemukan telur
atau proglotid yang dikeluarkan dalam tinja. Sampel berupa feces untuk
pemeriksaan adanya telur cacing

G. Pengobatan
Penderita diberikan obat Atabrin dalam keadaan perut kosong, disertai
pemberian Na-bikarbonas, dosis 0,5 g dua jam setelah makan obat diberikan
sebagai pencahar magnesium sulfat 15 g. Yomesan, Bithionol
H. Epidemiologi
Penyakit ini di Indonesia tidak ditemukan tetapi banyak dijumpai di negara
yang banyak makan ikan salem mentah atau kurang matang. Banyak binatang
seperti anjing, kucing dan babi berperan sebagai hospes reservoar dan perlu
diperhatikan.

I. Taenia solium
Taenia solium adalah parasit kosmopolit, namun akan sulit ditemukan pada
Negara-negra islami. T. solium merupakan pathogen yang umum terdapat di
lingkungan yang buruk, dimana manusia tinggalnya sangat berdekatan dengan
babi- babi dan memakan daging babi yang kurang matang. Oleh karena itu,
penyakit cacingan karena cacing T. solium ini sangat jarang ditemukan pada
lingkungan muslim.
Cacing tersebut banyak ditemukan di negara-negara yang mempunyai
banyak peternakan babi dan di daerah yang penduduknya banyak menyantap
daging babi atau berhubungan dengan religi tertentu yang memiliki kebiasaan
untuk mengkonsumsi daging babi, seperti di Eropa (Gzech, Slowakia, Kroatia,
dan Serbia), Amerika latin, Cina, India, Amerika Utara, dan juga beberapa daerah
di Indonesia ( Irian Jaya, Bali dan Sumatera Utara).
Hasil survey lapangan yang diadakan pada tahun 2000 dan 2001, para
peneliti menemukan bahwa menunjukkan 5 (8.6%) dari 58 masyarakat lokal dan 7
(11%) dari 64 anjing local yang hidup kira-kira 1 km dari ibukota local, wamena,
Jayawijaya, ditemukan cacing pita dewasa dan sistiserkus T. solium. Karena
prevalensi cacing ini telah mendunia dan meningkatnya imigrasi dan jumlah turis
asing, T. solium merupakan salah satu pathogen penting di United stated. Dari 100
juta infeksi cacingan per tahunnya, 50 juta kasus infeksi tersebut disebabkan oleh
T. solium. Infeksi T. solium jarang memasuki United states kecuali daerah dengan
tingkat imigrasi tinggi dari Mexico, Latin America, Iberian peninsula, Slavic
countries, Africa, India, Southeast Asia, dan China.
1. Morfologi
Cacing dewasa dapat berukuran 3-8m. Struktur tubuh cacing ini terdiri
dari skolex, leher dan proglotid. Cacing dewasa menempel pada dinding usus
dengan scolex nya, sedangkan sistiserkus nya terdapat di jaringan otot atau
subkutan. Cacing ini terdiri dari 800-1000 ruas proglotid. Skolex yang bulat
berukuran kira-kira 1 mm, mempunyai 4 buah batil isap dengan rostelum
(tonjolan lemak) yang mempunyai 2 baris kait, masing-masing sebanyak 25-30
buah.
Bentuk proglotid gravid nya mempunyai ukuran panjang yang hamper
sama dengan lebarnya, dapat dilihat pada gambar. Jumlah cabang uterus pada
proglotid gravid adalah 7-12 buah pada satu sisi. Lubang kelamin letaknya
bergantian selang seling pada sisi kanan atau kiri strobila secara tidak beraturan.
Proglotid gravid berisi kira-kira 30.000-50.000 buah telur. Telurnya keluar melalui
robekan celah pada proglotid. Telur dapat dilepaskan bersama proglotid atau
tersendiri melalui lubang uterus.

2. Host
Host definitive cacing ini adalah manusia, sedangkan host intermediate
nya adalah babi, monyet, onta, anjing, babi hutan, domba, kucing, tikus dan
manusia. Hal ini terjadi bila manusia memakan daging babi yang mengandung
sistiserkus T. solium. Sebagai host intermediate, babi dapat mengandung cacing
ini bila telur cacing yang terdapat pada feses manusia yang terinfeksi termakan.
Bila manusia bertindak sebagai intermediate host, maka sistiserkus T.
solium berada di dalam jaringan otot atau jaringan subkutan. Hal ini terjadi bila
manusia makan makanan yang terkontaminasi oleh telur T. solium. Infeksi pada
manusia, umumnya terjadi melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi
telur cacing T. solium. Telur cacing tersebut dapat berasal dari penderita yang
mengandung cacing dewasa ataupun autoinfeksi dari penderita itu sendiri (feses-
tangan-mulut).
Hewan lain dan anjing pun dapat mengandung sistiserkus di dalam dagingnya bila
terinfeksi oleh telur T. solium. (Keterangan: definitive host adalah tempat parasit
hidup, tumbuh menjadi dewasa dan berkembangbiak secara seksual). Intermediat
host adalah tempat parasit tumbuh menjadi bentuk infektif yang siap ditularkan
kepada manusia.). Nama penyakit yang disebabkan oleh cacing dewasa disebut
Teniasis solium, sedangkan yang disebabkan oleh stadium larva disebut
sistiserkosis.

3. Siklus Hidup
Telur keluar dari proglotid gravid, baik setelah proglotid lepas dari
strobila, ataupun belum. Telur keluar dari tubuh manusia bersama feses. Telur
yang jatuh ke tanah bila termakan manusia atau babi, akan memasuki usus dan
menetas di usus. Kemudian larva akan menembus dinding usus dan dapat
memasuki aliran darah limpa atau aliran darah, serta beredar ke seluruh
tubuh.Sebagian besar akan masuk ke dalam otot atau ke dalam jaringan subkutan.
Dalam waktu 60-70 hari akan berkembang menjadi sistiserkus (cacing
gelembung) yang menetap di dalam otot atau jaringan subkutan pada pundak dan
punggung babi.
Bila manusia memakan daging babi yang mengandung sistiserkus, maka
sistiserkus ini akan menetas di dalam usus menjadi larva dan dalam waktu 5-12
minggu tumbuh menjadi cacing dewasa yang menetap di dalam usus, kemudian
melepasakan proglotid dengan telur. Biasanya hanya ada satu cacing yang
menempati usus saat itu, namun dikerahui bahwa di usus manusia juga dapat
ditempati oleh banyak cacing. Bahkan dilaporkan cacing T. solium ini dapat
bertahan dalam tubuh manusia selama 25 tahun atau lebih.
Siklus hidup T. solium dan T. saginata mempunyai banyak kesamaan, hanya
berbeda di host intermediatnya saja, dapat dilihat pada gambar dibawah :

Gambar 1. Daur hidup T. solium


Keterangan:
- Orang menelan larva cacing dengan memakan daging babi yang terkontaminasi
dengan larva dalam sistiserkus, yang belum matang.
- Larava berkembang menjadi bentuk dewasa (hanya terjadi dalam tubuh
manusia)(tapeworm)
- Cacing dewasa tersebut kemudian melekat pada lapisan usus manusia dan
melepaskan telurnya dalam tinja manusia tersebut.
- Babi kontak dengan tinja manusia tersebut dan menelantelur cacing tersebut.
- Telur cacing tersebut kemudian berpenetrasi menuju usus kecil babi, mamasuki
pembuluh darah portal hati, kemudian memasuki sirkulasi darah umum.
- Telur tersebut pindah ke kerangka atau otot jantung dan berubah menajdi
sistiserkus.
- Autoinfeksi dapat terjadi dalam kasus ini bila terkadang manusia yang terinfeksi
tersebut tanpa sengaja menelan telur T. soilum yang terdapat pada tinjanya. Jika
hal ini terjadi maka sistiserkus dapat terbentuk dalam jaringan tubuh, tapi
biasanya otak merupakan temapat yang cocok berdasarkan afinitasnya. Oleh
karena itu, neurosistiserkosis dapat terjadi.
4. Gejala Penyakit
Cacing dewasa yang berada di dalam usus jarang menimbulkan gejala.
Gejala yang sering muncul adalah sakit ulu hati, nafsu makn meningkat, lemah
dan berat badan menurun.
Gejala yang disebabkan adanya sistiserkus di dalam jaringan tubuh,
bermacam-macam tergantung pada organ yang terinfeksi dan jumlah sistiserkus.
Bila jumlahnya sedikit dan hanya tersebar di jaringan subkutan, biasanya tanpa
gejala atau hanya berupa benjolan-benjolan kecil di bawah kulit (subkutan). Pada
manusia, sistiserkus atau larva T. solium sering menghinggapi jaringan subkutan,
mata, jaringan otak, otot, otot jantung, hati, paru dan rongga perut.
Bila sistiserkus berada di jaringan otak, sumsum tulang belakang, mata
atau otot jantung, akan mengakibatkan hal yang serius bahkan sampai kematian.
Dilaporkan bahwa sebuah sistiserkus tunggal yang ditemukan dalam ventrikel IV
dari otak dapat menyebabkan kematian. Patologi yang berkaitan dengan
sistiserkosis tergantung bagian organ yang terinfeksi dan jumlah sistiserkusnya.
Infeksi yang hanya terdiri dari sejumlah kecil sistiserkus dalam hati atau otot
biasanya tidak terlalu berbahaya dan biasanya tanpa gejala, namun dapat juga
mengakibatkan miositis, yang disertai dengan demam dan eosinofilia. Di samping
itu, sejumlah sistiserkus yang sedikit, jika berlokasi dalam beberapa daeran yang
sensitive pada badan, dapat menyebabkan kerusakan yang sulit diperbaiki.
Contohnya, bila sistiserkus sampai di mata, dapat menyebabkan terjadinya
kebutaan; sistiserkus yang sampai ke urat saraf tulang belakang, dapat
menyebabkan terjadinya paralisis (kelumpuhan); atau bila sistiserkus tersebut
berada di otak (neurosistiserkosis) dapat menyebabkan terjadinya kerusakan saraf
yang dahsyat atau serangan epilepsi. Bentuk neurosistiserkosis tersebut dapat
dilihat pada gambar 1. Oleh karena itu, sistiserkosis yang berada di system saraf
pusat atau di mata lebih mendapatkan perhatian khusus dibandingkan ketika
sistiserkus tersebut berada di otot.
5. Bahan Pemeriksaan Untuk laboratorium dan Diagnosis
Sampel berupa feses penderita untuk diperiksa keberadaan proglotid dan
telur cacingnya.Telur T. solium sulit dibedakan dengan telur T. saginata. Diagnosis
sistiserkosis kulit dapat dilakukan dengan biopsy pada otot dan secara radiologi,
pada jaringan otak dengan computerized tomographic scan (CT scan). Beberapa
cara serologi yang dapat digunakan adalah uji hemaglutinasi Counter Immuno
electrophoresis, ELISA, EIBT (Western Blot), dan PCR. Telur taenia dan
proglotid dapat juga diidentifikasi menggunakan mikroskop. Namun, teknik ini
tidak memungkinkan dilakukan selama 3 bulan pertama setelah infeksi, karena
telah berkembang menjadi cacing dewasa. Pemeriksaan mikroskopik telur tidak
dapat membedakan telur kedua spesies taenia ini. Spesies tersebut hanya dapat
ditentukan dari pemeriksaan proglotid nya. Teknik imunologi dapat mendeteksi
adanya sistiserkus dan teknik seperti CAT dan MRI dapat juga berguna dalam
mendeteksi sistiserkus dalam berbagai organ.

6. Pengobatan
Pengobatan teniasis solium dapat dilakukan dengan pemberian
prazikuantel, sedangkan untuk sistiserkosis dapat digunakan obat prazikuantel,
albendazol atau dapat dilakukan dengan cara pembedahan.

7. Pencegahan
Pencegahan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut :
- Pencegahan dapat dilakukan dengan memasak daging sampai matang.
- Perbaikan cara pembuangan kotoran
- Peningkatan hieginitas pribadi
- Menjaga kebersihan makanan dan minuman
- Mengobati penderita hingga tuntas
J. Taenia saginata
1. Morfologi
Cacing dewasa panjangnya antara 5-10 m. hidup di dalam usus.
Struktur badan cacing ini terdsiri dari skoleks, leher dan strobila yang
merupakan ruas-ruas proglotid, sebanyak 1000-2000 buah.
Skoleks hanya berukuran 1-2 mm, mempunyai emapt batil isap
dengan otot-otot yang kuat, tanpa kait-kait. Bentuk leher sempit, ruas-ruas
tidak jelas dan didalamnya tidak terliohat struktur tertentu. Strobila terdiri
dari rangkaian proglotid yang belum dewasa, dewasa dan matang yang
mengandung telur, disebut gravid. Pada proglotid yang belum dewasa, belum
terlihat struktur alat kelamin yang jelas. Pada proglotid yang dewasa terlihat
struktur alat kelamin seperti folikel testis ynag berjumlah 300-400 buah,
tersebar di bidang dorsal. Vasa eferensnya bergabung untuk masuk ke rongga
kelamin (genital atrium), yang ebrakhir di lubang kelamin. Lubang kelamin
letaknya berselang seling pada sisi kanan dan kiri strobila. Di bagian posterior
lubang kelamin, dekat va deferens, terdapat tabung vagina yang berpangkal
pada ootip. Ovarium terdiri dari dua lobus, berbentuk kipas, besarnya hampir
sama. Letak ovarium di sepertiga bagian posterior dari proglotid. Vitelaria
letaknya di belakang ovarium dan merupakan kumpulan folikel yang eliptik.
Uterus tumbuh dari bagian anterior ootip dan menjulur ke bagian anterior
proglotid. Setelah uterus ini penuh dengan telur, maka cabag-cabangnya akan
tumbuh, yang berjumalah 15-30 buah pada satu sisinya dan tidak memiliki
lubang uterus. Proglotid gravid letaknya diterminal dans erring lepas daris
trobila. Proglotid gravid ini dapat bergerak aktif, keluar dengan tinja atau
keluar sendiri dari lubang dubur secara spontan. Setiap harinya kira-kira 9
buah proglotid dilepas. Proglotid ini bentuknya lebih panjang dan lebar. Telur
dibungkus embriofor, berisi suatu embrio heksakan yang dinamakan onkosfer.
Telur yang baru keluar dari uterus masih diliputi selaput tipis yang disebut
lapisan luar telur. Sebuah proglotid gravid berisi kira-kira 100.000 buah telur.
Waktu proglotid terlepas dari rangkaiannya dan menjadi koyak, cairan putih
susu yang mengandung banyak telur mengalir keluar dari sisi anterior
proglotid tersebut, terutama bila proglotidnya berkontraksi waktu bergerak.

2. Host
Host definitive nya adalah manusia, sedangkan host intermediatnya
adalah hewan ternak

3. Siklus Hidup
Telur cacing yang keluar bersama feses penderita bila terjatuh di tanah
dan termakan oleh sapi atau kerbau, maka akan menetas menjadi larva di
dalam usus hewan ternak tersebut. Larva ini akan menembus dinding usus,
kemudian masuk ke aliran darah dan menyebar ke seluruh tubuh sapi. Bila
sampai ke jaringan otot, akan menetap dan berkembang menjadi sistiserkus.
Manusia yang bersifat host definitive akan tertulari T. saginata bila memakan
daging sapi yang mengandung sistiserkus, yang dimasak kurang matang. Di
dalam usus, sistiserkus akan menetas dan berkembang menjadi cacing
dewasa. Dalam waktu 12 minggu, cacing dewasa dapat menghasilkan telur
kembali. Bagian ternak yang sering dihinggapi larva tersebut adalah otot
maseter, paha belakang dan punggung.otot dib again lain juga dihinggapi.
Setelah satu tahun, cacaing ini biasanya mengalami degenerasi, walaupun ada
juga yang dapat hidup samapi tiga tahun. Biasanya di rongga usus host
terdapat sesekor cacing.
Gambar 2 Daur Hidup Taenia saginata
Keterangan gambar:
- Tinja manusia yang mengandung telur cacing. Telur cacing kemudian
tertelan oleh hewan ternak. Telur tersebut menetas untuk melepaskan larva
dengan hexacynth (six-hooked)di usus kecil. Larva tersebut kemudian pindah
ke usus kecil dan memasuki system peredaran darah. Larva terbawa sampai
ke beberapa jaringan seperti jantung dan otot-otot lain untuk membentuk
sistiserkus. Manusia kemudian terinfeksi dengan cara menelan sistiserkus
yang terdapat dalam daging hewan ternak tersebut yang tidak dimasak dengan
baik. Begitu tertelan, skolek parasit tersebut melekat pada dinding usus dan
tumbuh menjadi cacing dewasa yang matang yang dapat menetaskan telurnya
melalui tinja manusia yang terinfeksi tersebut.

4. Gejala Penyakit
Biasanya tanpa gejala. Pada infeksi yang berat, dapat timbul gejala
berupa sakit ulu hati, nafsu makan meningkat, lemas dan berat badan
menurun. Kadang-kadang disertai dengan vertigo, nausea, muntah, sakit
kepala dan diare gejala tersebut biasanya timbul bila ditemukan cacing yang
bergerak-gerak dalam tinja, atau cacing keluar dari lubang dubur, walaupun
yang sebenarnya keluar adalah proglotid cacing.
Gejala yang lebih berat dapatterjadi bila proglotid menyasar masuk ke
apendiks, atau terdapat ileus yang disebabkan obstruksi usus oleh strobila
cacing. Berat badan tidak jelas menurun. Eosinofilia dapat ditemukan di
darah tepi.

5. Bahan Pemeriksaan Untuk laboratorium


Sampel yang diperiksa untuk mendeteksi infeksi oleh T. saginata
adalah feses penderita. Pemeriksaan dilakukan untuk mengetahui ada
tidaknya telur cacing dan proglotidnya.proglotid tersebut dapat dalam
keadaan masih aktif bergerak di dalam tinja atau keluar spontan. Telur cacing
dapat ditemukan dalam tinja atau usap anus.proglotid dapat diidentifikasi
dengan merendamnya dalam cairan laktofenol sampai jernih. Setelah uterus
dengan cabng-cabangnya terlihat jelas, jumlh cabang-cabang dapat dihitung.

6. Pengobatan
Obat yang digunakan untuk mengobati teniasis saginata dapat berupa
obat herbal, seperti biji labu merah dan biji pinang atau obat sintetis seperti
kuinakrin, amodiakuin, niklosamid dan prazikuantel.

7. Pencegahan
Pencegahan dapat dilakukan dengan beberapa cara sebagai berikut:
- Memasak daging samapi matang
- Hanya hewan yang sehat saja yang boleh dipotong dan dagingnya dapat
diperjualbelikan.
- Atau dengan membekukan daging pada suhu -5C selama 4 hari, -15C
selama 3 hari, atau -24C selama 1 hari, dapat membunuh larva dengan baik.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Taenia merupakan salah satu marga cacing pita yang termasuk dalam
Kerajaan Animalia, Filum Platyhelminthes, Kelas Cestoda, Bangsa
Cyclophyllidea, Suku Taeniidae. Anggota-anggotanya dikenal sebagai parasit
vertebrata penting yang menginfeksi manusia, babi, sapi, dan kerbau.
Cacing pita Taenia dewasa hidup dalam usus manusia yang merupakan
induk semang definitif. Segmen tubuh Taenia yang telah matang dan
mengandung telur keluar secara aktif dari anus manusia atau secara pasif bersama-
sama feses manusia. Bila inang definitif (manusia) maupun inang antara (sapi dan
babi) menelan telur maka telur yang menetas akan mengeluarkan embrio
(onchosphere) yang kemudian menembus dinding usus. Embrio cacing yang
mengikuti sirkulasi darah limfe berangsur-angsur berkembang menjadi
sistiserkosis yang infektif di dalam otot tertentu. Otot yang paling sering
terserang sistiserkus yaitu jantung, diafragma, lidah, otot pengunyah, daerah
esofagus, leher dan otot antar tulang rusuk.
DAFTAR PUSTAKA

Departemen Parasitologi FKUI. 2008. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran Edisi


Keempat. FKUI : Jakarta.

Entjang, Indan. 2001. Mikrobiologi dan Parasitologi Untuk Akademi


Keperawatan. PT. Citra Aditya Bakti : Bandung.

Safar, Rosdiana. 2009. Parasitologi Kedokteran Protozoologi, Helmintologi,


Entimologi. PT. Yrama Widya : Bandung.

Anda mungkin juga menyukai