PARASITOLOGI ENDOPARASIT
Disusun Oleh :
Kelompok B2 PPDH PERIODE 1 2022/2023
Dosen Pembimbing
Dr. drh. Yusuf Ridwan, M.Si
Endoparasit adalah parasit yang menyerang bagian dalam tubuh inang, misal
dalam alat pencernaan, peredaran darah (Munar 2016). Parasit memiliki kemampuan
beradaptasi yang tinggi terhadap jaringan inang sehingga tidak menimbulkan gejala
klinis yang serius. Identifikasi dan prevalensi endoparasit perlu dilakukan, untuk
mengetahui jenis endoparasit sehingga diketahui bagaimana upaya pencegahan
penyakit parasit yang baik dan benar (Yufa et al. 2018).
Telur cacing yang dikeluarkan bersamaan dengan feses oleh ternak terinfeksi
akan menjadi sumber penularan bagi ternak ruminansia yang sehat atau diantara ternak
terinfeksi sehingga pengendalian endoparasit. Kerugian ekonomi akibat infeksi
endoparasit gastrointestinal pada ternak dampaknya belum dirasakan secara langsung
oleh peternak karena tidak menimbulkan kematian ternak secara langsung tetapi
mempengaruhi asupan nutrisi dan gangguan fisiologi. Kedua faktor ini dapat
berpengaruh terhadap penurunan antibodi sehingga ternak lebih peka terhadap penyakit
yang lain. Jika kejadian ini berlanjut maka secara ekonomi peternak mengalami
kerugian karena peternak membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mencapai berat
badan tertentu sesuai dengan target yang diinginkan dan peternak mengeluarkan biaya
tambahan untuk perawatan ternak yang sakit.
Kesuksesan implementasi pengendalian penyakit sangat bergantung dari
deteksi dini dan pemantauan infeksi endoparasit, oleh sebab itu penting dilakukan
identifikasi endoparasit, terutama endoparasit patogenik, sebagai metode deteksi
penyakit dini (Nath et al. 2021).
TUJUAN
Mengisolasi dan mengidentifikasi endoparasit dari sampel feses dan darah
dari beberapa komoditi ruminansia besar, ruminansia kecil, kuda, hewan kesayangan,
unggas.
METODE
Sampel darah dan feses diambil dari Unit Rehabilitasi dan Reproduksi Sekolah
Kedokteran Hewan dan Biomedis, dan Rumah Sakit Hewan Pendidikan, kandang sapi
fakultas peternakan. Sampel di periksa di Laboratorium Parasitologi dan Entomologi
Rumah Sakit Hewan Pendidikan Sekolah Kedokteran Hewan dan Biomedis.
Pemeriksaan Feses
Natif
Sampel feses yang diambil menggunakan stik kayu
Feses dihomogenkan dan dihaluskan dengan aquades menggunakan mortar
Feses tersebut disaring menggunakan penyaring agar tidak ada debris-debris
dan pengamatan lebih mudah.
Hasil filtrat tersebut diambil satu tetes dan ditaruh di atas glass objek
Untuk membuat kontras anatara telur dengan yang lain maka ditambahkan
satu tetes lugol dan ditutup dengan cover glass
Pengamatan dilakukan di bawah mikroskop dengan perbesaran 10x
Flotasi sederhana
Feses ditimbang sebanyak 2 g atau 4 g dimasukkan ke dalam gelas plastik dan
ditambahkan 58 ml atau 56 ml larutan pengapung
Campuran feses dan larutan pengapung diaduk dan disaring menggunakan
saringan
Dihomogenkan dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi hingga terbentuk
meniskus di permukaan tabung
Cover glass diletakkan di atas tabung reaksi tersebut dan ditunggu selama 15
menit, kemudian cover glass diangkat dan diletakkan di atas gelas objek, lalu
diperiksa di bawah mikroskop dengan perbesaran 10 x 10 dan 40 x10
McMaster
Feses ditimbang sebanyak 2 g atau 4 g dimasukkan ke dalam gelas plastik dan
ditambahkan 58 ml atau 56 ml larutan pengapung
Campuran tersebut dihomogenkan dan disaring menggunakan penyaring
Campuran tersebut dihomogenkan kembali sebelum dimasukkan ke dalam
kamar hitung menggunakan pipet
Cairan dimasukkan ke dalam kamar hitung McMaster dengan menggunakan
pipet dan didiamkan selama 3-5 menit
Preparat diperiksa dibawah mikroskop
Sedimentasi
Sampel feses ditimbang sebanyak 2 gram kemudian dimasukkan ke dalam
gelas.
Akuades ditambahkan sebanyak 58 ml ke dalam gelas dan dihomogenkan.
Disaring menggunakan saringan biasa diulang sebanyak 3 kali.
Dilakukan penyaringan bertingkat dengan ukuran lubang saringan mulai dari
500 µm, 100 µm, dan 45 µm.
Filtrat atau hasil saringan yang paling akhir diambil dan diamati dengan
menggunakan kaca objek khusus untuk sedimentasi.
Pengamatan dilakukan di bawah mikroskop dengan perbesaran 10x
RUMINANSIA BESAR
E. tenella adalah salah satu dari koksidia yang paling umum dan paling patogen
pada unggas domestik maupun ruminansia . Ookista E. tenella berbentuk avoid lebar,
mempunyai ukuran panjang berkisar antara 14,2 - 31,2 mikron dan lebar 9,5 - 24,8
mikron dengan dinding berlapis dua yang terdiri dari lapisan luar dan lapisan dalam.
Dinding ookista halus dan tidak memiliki mikrovilli (Tabbu 2006). Ookista ini pada
kondisi yang optimal akan dewasa menjadi ookista yang infektif (bersporulasi). Waktu
yang dibutuhkan untuk bersporulasi E. tenella 18 jam hingga dua hari, ookista yang
bersporulasi terdapat 4 sporokista yang masing-masing berisi 2 sporozoit. E. tenella
membutuhkan waktu bersporulasi 18 jam pada suhu 29℃, 21 jam pada suhu 26 - 28℃,
24 jam pada suhu 20-24℃ dan 24-28 jam pada suhu kamar serta tidak terjadi sporulasi
pada suhu di bawah 8℃ (Soulsby 1986).
Siklus Hidup
Siklus hidup E. tenella meliputi beberapa stadium aseksual dan seksual,
stadium aseksual terdiri dari skizogoni dan merogoni, sedangkan stadium seksual
terdiri dari sporogoni. Koksidiosis yang disebabkan oleh E. tenella adalah suatu
penyakit yang ditularkan dari satu ternak ke ternak lain melalui ookista yang sudah
bersporulasi. Ookista merupakan suatu zigot berdinding tebal yang terdapat di dalam
feses hospes yang terinfeksi, ookista biasanya bersifat resisten terhadap kondisi
lingkungan dan berbagai desinfektan, meskipun kemampuan untuk bertahan bervariasi
menurut keadaan. Ookista dapat hidup selama berminggu-minggu di dalam tanah,
tetapi ketahanan protozoa tersebut dalam litter hanya beberapa hari karena pengaruh
amoniak, jamur, dan bakteri yang ada di lingkungan (Tabbu 2006).
Ookista dilindungi oleh suatu dinding pada bagian luar yang tebal dan terdiri
atas sel tunggal, yang kemudian akan memulai proses sporulasi untuk menghasilkan
stadium infektif dalam waktu sekitar 48 jam. Ookista yang infektif mengandung 4
sporokista, yang selanjutnya mengandung 2 sporozoit. Jika ookista diingesti, maka
dinding ookista akan digerus di dalam kimotripson serta garam empedu di dalam usus
halus. Setelah dinding ookista dirusak di dalam ventrikulus dan sporozoit dibebaskan,
maka sporozoit akan memasuki sel epitel di daerah mukosa usus dan memulai siklus
sel yang selanjutnya menjadi proses reproduksi. Sejumlah mikrogamet yang kecil dan
motil akan mencari dan bersatu dengan makrogamet. Zigot yang dihasilkan akan
menjadi dewasa untuk menjadi ookista, kemudian dibebaskan dari mukosa usus dan
bercampur dengan feses. Pada spesies E. tenella kerusakan jaringan maksimal
(perdarahan dan nekrosis) dapat ditemukan pada saat skizon generasi kedua yang
ditandai dengan mengalami ruptur untuk membebaskan merozoit (Tabbu 2006).
Pengobatan
Pengobatan dengan antibiotik dapat menggunakan kelompok obat sulfonamid,
seperti sulphamezathine, dan sulfaguanidin (Pohan 2015). Penggunaan antibiotik
memiliki mekanisme pengobatan dengan cara mencegah terjadinya proses reproduksi
parasit pada tahap awal yaitu merogoni. Pengendalian koksidiosis dapat dilakukan
dengan memperhatikan sanitasi kandang, gejala klinis yang ditunjukkan, usaha
pencegahan dan pengobatan. Apabila tingkat sanitasi lingkungan pertanian dan
kontaminasi pakan serta air ternak dapat dijaga dengan baik maka resiko penularan
dapat dikurangi.oosit dari coccidia dapat bertahan selama 2 tahun pada berbagai
kondisi lingkungan, dikatakan juga bahwa oosit tertinggi dapat ditemukan di tempat
pemeliharaan, khususnya di lingkaran wilayah padang penggembalaan. Dengan
mengubah dan mengatur wilayah penggembalaan secara berkala dapat membantu sapi
terhindar dari kontaminasi (Kertawirawan 2013).
RUMINANSI KECIL
Pada pemeriksaan sampel feses dan darah dari domba tidak semua sampel
menunjukkan adanya endoparasit, sampel yang berasal dari domba unit rehabilitasi dan
reproduksi (URR) menunjukkan adanya telur stringyloid dan telur Trichuris sp.
a b
Gambar 2 (a). Telur Strongyloid pemeriksaan flotasi feses domba, perbesaran 40x
(b). Telur Strongyloid pemeriksaan natif feses domba, perbesaran 10x
Vektor utama dari Anaplasma adalah caplak, terutama pada genera Ixodes,
Dermacentor, Rhipicephalus, dan Amblyomma meskipun transmisi mekanikal dapat
dilakukan juda melalui pinjal dan tabanus (Lacasta et al 2010). Anaplasmosis biasanya
terjadi secara subklinis. Namun pada beberapa kasus ringan hingga berat, anaplasmosis
diikuti dengan demam beserta anemia dan icterus tergantung dari derajat keparahan
infeksi. Kelesuan, hilang nafsu makan, penurunan produksi susu, kepucatan, dan
dyspnea akibat anemia dapat ditemukan pada kasus anaplasmosis (Gharbi et al, 2015).
a b
Gambar 7 (a). Strongylus spp. pada feses anak kuda, perbesaran 40x
(b). Strongylus spp. pada feses induk kuda, perbesaran 40x
Ahmad RZ, Tiffarent R. 2020. Aspek patologi haemonchosis pada kambing dan
domba. WARTAZOA. 30(2):91-102.
Apsari IA, Dwinata IM. 1999. Prevalensi dan Intensitas Infeksi Leucocytozoon sp.
pada Ayam Buras di Bukit Jimbaran, Kecamatan Kuta Selatan.
Bulbul KH, Akand AH, Hussain J, Parbin S, Hasin D. 2020. A brief understanding of
Trichuris ovis in ruminants. International Journal of Veterinary Sciences and
Animal Husbandry. 5(3): 72-74.
Chaerunnisa NA, Oktaviana V, Sunarso A, Yudhana A, Kusnoto. 2019. Deteksi
helminthiasis pada kuda di kelompok kesenian Jaran Kencak Desa Patoman,
Banyuwangi. Jurnal Medik Veteriner. 2(2): 96-100
Cohn and Côté. 2020. Clinical Veterinary Advisor, 4th edition. AMS: Elsevier.
Gharbi M, Omri H, Jedidi M, Zorii S, Darghouth MZ. 2015. Epidemiological Study of
Sheep Anaplasmosis (Anaplasma ovis Infection) in Kairouan, Central Tunisia.
The Journal of Advances in Parasitology. 2(2):30-33.
Hannafiah M, Winaruddin, Rusli. 2002. Studi infeksi nematoda gastrointestinal pada
kambing dan domba di rumah potong hewan Banda Aceh. Journal Saint Vet.
20 (1):15-19.
Iqbal S, Jones MGK. 2017. Encyclopedia of Applied Plant Sciences. AMS: Elsevier.
Janis DWN, Deta HU, Winarso A. 2019. Perubahan bobot badan anak anjing lokal
terinfeksi Toxocara canis setelah pemberian pyrantel pamoat di Kota Kupang.
Jurnal Veteriner Nusantara. 2(2) : 49 – 59.
Kertawirawan IPA. 2013. Pengaruh tingkat sanitasi dan sistem manajemen
perkandangan dalam menekan angka kasus koksidiosis pada pedet sapi Bali.
Jurnal Widyariset 16(2):287-292.
Kusumarini SR, Yesica R, Wisesa IBGR, Hermanto J, Nurholizah Y, Trinastuti MW.
2021. Preliminary study: detection of ecto and endoparasites among wild rats
from urban area in Blimbing, Malang, East Java. Acta Veterinaria Indonesiana.
SI: 95-101.
Lacasta D, Ferrer LM, Sanz S, Labanda R, Gonzales JM, Benito AA. Ruiz H,
Rodríguez-Largo A, Ramos JJ. 2010. Anaplasmosis Outbreak in Lambs: First
Report Causing Carcass Condemnation. Animals. 10:2-9.
Munar S, Aliza D, Arisa IM. 2016. Identifikasi dan prevalensi endoparasit pada usus
ikan bawal air tawar (Colossoma macropomum) kolam budidaya di Desa Nya,
Kecamatan Simpang Tiga, Kabupaten Aceh Besar. Jurnal Ilmiah Mahasiswa
Kelautan dan Perikanan Unsyiah. 1(2): 236-242.
Nakamura K. 2022. Leucocytozoon caulleryi Infection in Chickens: Etiology,
Pathology, and Diagnosis. Japan Agricultural Research Quarterly: JARQ.56
(2):121-7.
Natasya M, Arif R, Tiuria R. 2021.Prevalensi kecacingan pada anjing dan kucing di
klinik smilevet kelapa gading periode januari 2020-januari 2021. Acta
Veterinaria Indonesiana. 9(3): 215-222
Nath TC, Eom KS, Choe S, Hm S, Islam S, Ndosi BA, Kang Y, Bia MM, Kim S,
Eamudomkarn C, Jeon HK, Park H, Lee D. 2021. Insight into one health
approach: endoparasite infections in captive wildlife in Bangladesh. Pathogens.
10(2):250.
Oktaviana PA, Dwinata M, Oka IBM. 2014. Prevalensi Infeksi Cacing Ancylostoma
Spp Pada Kucing Lokal (Felis Catus) Di Kota Denpasar. Buletin Vet. Udayana
6(2):161-167.
Pohan DS. 2015. Prevalensi koksidiosis pada sapi perah di kelompok ternak Tirta
Kencana dan Baru Sireum, Cisarua, Kabupaten Bogor [Skripsi]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Pohuang T, Jittimanee S, Junnu S. 2021. Pathology and molecular characterization of
Leucocytozoon caulleryi from backyard chickens in Khon Kaen Province,
Thailand. Veterinary World. 14(10):2634.
Plumb DC. 2018. Plumb's veterinary drug handbook. Iowa (US): John Wiley & Sons.
Rendle D. Targeting endoparasite control in mares and foals. Veterinary Times 2014
[online]. [diunduh 21 Oktober 2022]. Tersedia pada : http://
www.vetsonline.com/media/0c2/4998d45132f72784361ab 79387c2f.pdf
Rikihisa Y. 2011. Mechanisms of Obligatory Intracellular Infection with Anaplasma
phagocytophilum. CLINICAL MICROBIOLOGY REVIEWS. 24(3): 469–489.
Soulsby EJL. 1986. Helminth, Arthropoda and Protozoa of Domesticated Animals 7th
Edition. London (UK): Bailliere Tindall London.
Studzinska MB, Tomczuk K, Demkowska M, Szczepaniak KA, 2012. The
Strongylidae beloging to Strongylusgenus in horses form southeastern Poland.
Parasitol Res. 111(4): 1417-1421.
Tabbu CR. 2006. Penyakit Ayam dan Penanggulangannya : Penyakit Asal Parasit,
Noninfeksius dan Etiologi Kompleks Volume 2. Yogyakarta(ID): Kanisius.
Taylor M dan Coop R. 2013. Veterinary Parasitology Edisi 3. London (UK): Blackwell
Science.
Virginia Tech. 2017. SOP: Venipuncture in Dogs and Cats. US: University
Veterinarian and Animal Resource.
Yesica R. 2020. Case Report Leucocytozoonosis pada Kalkun (Meleagris gallopavo).
Media Kedokteran Hewan. 31(1):45-51.
Yufa M, Mairawita, Herwina H. 2018. Identifikasi dan prevalensi endoparasit pada
kambing di Kota Padang, Sumatera Barat. Jurnal Metamorfosa. 5(1): 94-98.