Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN KEGIATAN

PARASITOLOGI ENDOPARASIT

Disusun Oleh :
Kelompok B2 PPDH PERIODE 1 2022/2023

Adwisto Sakita Purohita, SKH B9404221038


Ariana Putri, SKH B9404221044
Bintang Aditia Tri Wibowo, SKH B9404221057
Eng Chien Ling, SKH B9404221812
Firstina Claudia Santi, SKH B9404221075
Nenis Rahma Wulandari, SKH B9404221029
Silverina Adhitthana Hartono, SKH B9404221074
Wiladatika Ulya Aprilina, SKH B9404221059
Yuvensius, SKH B9404221034

Dosen Pembimbing
Dr. drh. Yusuf Ridwan, M.Si

BAGIAN LABORATORIUM DIAGNOSTIK


PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN
SEKOLAH KEDOKTERAN HEWAN DAN BIOMEDIS
IPB UNIVERSITY
2022
PENDAHULUAN

Endoparasit adalah parasit yang menyerang bagian dalam tubuh inang, misal
dalam alat pencernaan, peredaran darah (Munar 2016). Parasit memiliki kemampuan
beradaptasi yang tinggi terhadap jaringan inang sehingga tidak menimbulkan gejala
klinis yang serius. Identifikasi dan prevalensi endoparasit perlu dilakukan, untuk
mengetahui jenis endoparasit sehingga diketahui bagaimana upaya pencegahan
penyakit parasit yang baik dan benar (Yufa et al. 2018).
Telur cacing yang dikeluarkan bersamaan dengan feses oleh ternak terinfeksi
akan menjadi sumber penularan bagi ternak ruminansia yang sehat atau diantara ternak
terinfeksi sehingga pengendalian endoparasit. Kerugian ekonomi akibat infeksi
endoparasit gastrointestinal pada ternak dampaknya belum dirasakan secara langsung
oleh peternak karena tidak menimbulkan kematian ternak secara langsung tetapi
mempengaruhi asupan nutrisi dan gangguan fisiologi. Kedua faktor ini dapat
berpengaruh terhadap penurunan antibodi sehingga ternak lebih peka terhadap penyakit
yang lain. Jika kejadian ini berlanjut maka secara ekonomi peternak mengalami
kerugian karena peternak membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mencapai berat
badan tertentu sesuai dengan target yang diinginkan dan peternak mengeluarkan biaya
tambahan untuk perawatan ternak yang sakit.
Kesuksesan implementasi pengendalian penyakit sangat bergantung dari
deteksi dini dan pemantauan infeksi endoparasit, oleh sebab itu penting dilakukan
identifikasi endoparasit, terutama endoparasit patogenik, sebagai metode deteksi
penyakit dini (Nath et al. 2021).

TUJUAN
Mengisolasi dan mengidentifikasi endoparasit dari sampel feses dan darah
dari beberapa komoditi ruminansia besar, ruminansia kecil, kuda, hewan kesayangan,
unggas.

METODE
Sampel darah dan feses diambil dari Unit Rehabilitasi dan Reproduksi Sekolah
Kedokteran Hewan dan Biomedis, dan Rumah Sakit Hewan Pendidikan, kandang sapi
fakultas peternakan. Sampel di periksa di Laboratorium Parasitologi dan Entomologi
Rumah Sakit Hewan Pendidikan Sekolah Kedokteran Hewan dan Biomedis.

ALAT DAN BAHAN


Alat yang digunakan yaitu gloves, syringe, coolbox, kantong plastik, tabung
EDTA, spidol, kertas label, stik kayu, saringan, timbangan digital, gelas ukur, pipet
pasteur, gelas objek, cover glass, cawan petri, tabung reaksi dan rak, gelas plastik,
mikroskop.
Bahan yang digunakan yaitu feses, sampel darah, aquades, larutan pengapung,
vermikulit, lugol, eosin, minyak imersi, giemsa 10%.
PROSEDUR

Koleksi Sampel Feses


 Sampel feses diperoleh dengan mengambil langsung feses segar
 Sampel feses dimasukkan ke dalam kantong plastik transparan dan diberi
label
 Kantong plastik berisi feses disimpan sementara di dalam cool box yang berisi
ice pack untuk selanjutnya dibawa ke laboratorium dan dipindahkan ke dalam
refrigerator.

Koleksi Sampel Darah


 Lokasi pengambilan darah (vena jugularis) didesinfeksi dengan kapas alkohol
70%, dan abung EDTA disiapkan untuk menyimpan sampel darah yang telah
diambil
 Pengambilan darah dilakukan menggunakan syringe, kemudian darah
dimasukkan ke dalam tabung EDTA agar tidak terjadi penggumpalan
 Tabung EDTA diberi label dan disimpan sementara di dalam coolbox yang
berisi ice pack untuk selanjutnya dibawa ke laboratorium dan dipindahkan ke
dalam refrigerator.

Preparat Ulas Darah


 Preparat ulas darah difiksasi kedalam metanol selama 5 menit, kemudian
dikeringkan
 Preparat dimasukkan ke dalam pewarna Giemsa 10% selama 30 menit
 Preparat ulas yang telah diwarnai dicuci dengan aquades dan dikeringkan
 Preparat ulas yang sudah kering, diteteskan minyak emersi satu tetes untuk
diamati menggunakan mikroskop dengan perbesaran 1000 x

Pemeriksaan Feses
Natif
 Sampel feses yang diambil menggunakan stik kayu
 Feses dihomogenkan dan dihaluskan dengan aquades menggunakan mortar
 Feses tersebut disaring menggunakan penyaring agar tidak ada debris-debris
dan pengamatan lebih mudah.
 Hasil filtrat tersebut diambil satu tetes dan ditaruh di atas glass objek
 Untuk membuat kontras anatara telur dengan yang lain maka ditambahkan
satu tetes lugol dan ditutup dengan cover glass
 Pengamatan dilakukan di bawah mikroskop dengan perbesaran 10x

Flotasi sederhana
 Feses ditimbang sebanyak 2 g atau 4 g dimasukkan ke dalam gelas plastik dan
ditambahkan 58 ml atau 56 ml larutan pengapung
 Campuran feses dan larutan pengapung diaduk dan disaring menggunakan
saringan
 Dihomogenkan dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi hingga terbentuk
meniskus di permukaan tabung
 Cover glass diletakkan di atas tabung reaksi tersebut dan ditunggu selama 15
menit, kemudian cover glass diangkat dan diletakkan di atas gelas objek, lalu
diperiksa di bawah mikroskop dengan perbesaran 10 x 10 dan 40 x10

McMaster
 Feses ditimbang sebanyak 2 g atau 4 g dimasukkan ke dalam gelas plastik dan
ditambahkan 58 ml atau 56 ml larutan pengapung
 Campuran tersebut dihomogenkan dan disaring menggunakan penyaring
 Campuran tersebut dihomogenkan kembali sebelum dimasukkan ke dalam
kamar hitung menggunakan pipet
 Cairan dimasukkan ke dalam kamar hitung McMaster dengan menggunakan
pipet dan didiamkan selama 3-5 menit
 Preparat diperiksa dibawah mikroskop

Sedimentasi
 Sampel feses ditimbang sebanyak 2 gram kemudian dimasukkan ke dalam
gelas.
 Akuades ditambahkan sebanyak 58 ml ke dalam gelas dan dihomogenkan.
 Disaring menggunakan saringan biasa diulang sebanyak 3 kali.
 Dilakukan penyaringan bertingkat dengan ukuran lubang saringan mulai dari
500 µm, 100 µm, dan 45 µm.
 Filtrat atau hasil saringan yang paling akhir diambil dan diamati dengan
menggunakan kaca objek khusus untuk sedimentasi.
 Pengamatan dilakukan di bawah mikroskop dengan perbesaran 10x

Pemupukan dan Sporulasi


 Cawan petri disiapkan dimasukan sejumlah feses dan campurkan dengan
vermiculite dengan perbandingan 1 : 4.
 NaCl fisiologis diteteskan pada campuran tersebut hingga campuran cukup
lembab.
 Pupukan didiamkan selama 7-10 hari dalam suhu ruang.
 Sejumlah pupukan diambil dalam kasa kemudian diikat.
 Kain kasa diikat pada penumpu sehingga dapat tergantung diatas baermann
glass, dan biarkan pupukan terendam pada permukaan gelas yang berisi air.
 Larva hidup dari pemupukan akan bermigrasi ke bawah, larva akan berenang
menuju dasar gelas.
 Larva dapat diambil menggunakan pipet dan diidentifikasi jenis cacingnya.
HASIL DAN PEMBAHASAN

RUMINANSIA BESAR

Hasil pemeriksaan mikroskopis menunjukkan adanya ookista pada feses sapi


RSHP dan URR SKHB IPB University. Pemeriksaan lanjutan dilakukan dengan
metode sporulasi untuk mengetahui spesies dari ookista. Hasil metode sporulasi tidak
dapat diidentifikasi karena keterbatasan waktu. Ookista diduga berasal dari E. tenella.
dikarenakan prevalensinya yang cukup tinggi pada sapi. Selain itu, Eimeria bovis,
Eimeria zuernii dan Eimeria auburnensis merupakan spesies koksidia yang dikaitkan
dengan kejadian koksidiosis pada sapi (Kertawirawan 2013).

Gambar 1. Ookista Eimeria sp pada feses sapi


Perbesaran 10x

E. tenella adalah salah satu dari koksidia yang paling umum dan paling patogen
pada unggas domestik maupun ruminansia . Ookista E. tenella berbentuk avoid lebar,
mempunyai ukuran panjang berkisar antara 14,2 - 31,2 mikron dan lebar 9,5 - 24,8
mikron dengan dinding berlapis dua yang terdiri dari lapisan luar dan lapisan dalam.
Dinding ookista halus dan tidak memiliki mikrovilli (Tabbu 2006). Ookista ini pada
kondisi yang optimal akan dewasa menjadi ookista yang infektif (bersporulasi). Waktu
yang dibutuhkan untuk bersporulasi E. tenella 18 jam hingga dua hari, ookista yang
bersporulasi terdapat 4 sporokista yang masing-masing berisi 2 sporozoit. E. tenella
membutuhkan waktu bersporulasi 18 jam pada suhu 29℃, 21 jam pada suhu 26 - 28℃,
24 jam pada suhu 20-24℃ dan 24-28 jam pada suhu kamar serta tidak terjadi sporulasi
pada suhu di bawah 8℃ (Soulsby 1986).

Siklus Hidup
Siklus hidup E. tenella meliputi beberapa stadium aseksual dan seksual,
stadium aseksual terdiri dari skizogoni dan merogoni, sedangkan stadium seksual
terdiri dari sporogoni. Koksidiosis yang disebabkan oleh E. tenella adalah suatu
penyakit yang ditularkan dari satu ternak ke ternak lain melalui ookista yang sudah
bersporulasi. Ookista merupakan suatu zigot berdinding tebal yang terdapat di dalam
feses hospes yang terinfeksi, ookista biasanya bersifat resisten terhadap kondisi
lingkungan dan berbagai desinfektan, meskipun kemampuan untuk bertahan bervariasi
menurut keadaan. Ookista dapat hidup selama berminggu-minggu di dalam tanah,
tetapi ketahanan protozoa tersebut dalam litter hanya beberapa hari karena pengaruh
amoniak, jamur, dan bakteri yang ada di lingkungan (Tabbu 2006).
Ookista dilindungi oleh suatu dinding pada bagian luar yang tebal dan terdiri
atas sel tunggal, yang kemudian akan memulai proses sporulasi untuk menghasilkan
stadium infektif dalam waktu sekitar 48 jam. Ookista yang infektif mengandung 4
sporokista, yang selanjutnya mengandung 2 sporozoit. Jika ookista diingesti, maka
dinding ookista akan digerus di dalam kimotripson serta garam empedu di dalam usus
halus. Setelah dinding ookista dirusak di dalam ventrikulus dan sporozoit dibebaskan,
maka sporozoit akan memasuki sel epitel di daerah mukosa usus dan memulai siklus
sel yang selanjutnya menjadi proses reproduksi. Sejumlah mikrogamet yang kecil dan
motil akan mencari dan bersatu dengan makrogamet. Zigot yang dihasilkan akan
menjadi dewasa untuk menjadi ookista, kemudian dibebaskan dari mukosa usus dan
bercampur dengan feses. Pada spesies E. tenella kerusakan jaringan maksimal
(perdarahan dan nekrosis) dapat ditemukan pada saat skizon generasi kedua yang
ditandai dengan mengalami ruptur untuk membebaskan merozoit (Tabbu 2006).

Pengobatan
Pengobatan dengan antibiotik dapat menggunakan kelompok obat sulfonamid,
seperti sulphamezathine, dan sulfaguanidin (Pohan 2015). Penggunaan antibiotik
memiliki mekanisme pengobatan dengan cara mencegah terjadinya proses reproduksi
parasit pada tahap awal yaitu merogoni. Pengendalian koksidiosis dapat dilakukan
dengan memperhatikan sanitasi kandang, gejala klinis yang ditunjukkan, usaha
pencegahan dan pengobatan. Apabila tingkat sanitasi lingkungan pertanian dan
kontaminasi pakan serta air ternak dapat dijaga dengan baik maka resiko penularan
dapat dikurangi.oosit dari coccidia dapat bertahan selama 2 tahun pada berbagai
kondisi lingkungan, dikatakan juga bahwa oosit tertinggi dapat ditemukan di tempat
pemeliharaan, khususnya di lingkaran wilayah padang penggembalaan. Dengan
mengubah dan mengatur wilayah penggembalaan secara berkala dapat membantu sapi
terhindar dari kontaminasi (Kertawirawan 2013).
RUMINANSI KECIL

Pada pemeriksaan sampel feses dan darah dari domba tidak semua sampel
menunjukkan adanya endoparasit, sampel yang berasal dari domba unit rehabilitasi dan
reproduksi (URR) menunjukkan adanya telur stringyloid dan telur Trichuris sp.

a b
Gambar 2 (a). Telur Strongyloid pemeriksaan flotasi feses domba, perbesaran 40x
(b). Telur Strongyloid pemeriksaan natif feses domba, perbesaran 10x

Telur cacing H. contortus memiliki cangkang yang tipis berbentuk oval,


berbentuk sama (ekual) di kedua kutubnya, tepi morula tidak sepenuhnya memenuhi
rongga telur, memiliki 16-32 sel embrio, dan memiliki panjang 70-85 µm dengan lebar
41-48 µm. Cacing H. contortus dewasa dapat diketahui berdasarkan dari morfologinya.
Haemonchus contortus jantan memiliki panjang 10-20 mm dan berwarna kemerahan,
sedangkan H. contortus betina memiliki panjang 18-30 mm memiliki uterus dan
ovarium berwana putih yang tampak berpilin dengan usus yang dipenuhi oleh darah
Ujung anterior H. contortus memiliki kapsul buccalis yang berbentuk seperti corong
kecil, berduri tunggal, dan memiliki sepasang papillae cervicalis di area oesophageal.
Pada ujung posterior H. contortus betina terdapat kelopak penutup vulva tipe kenop
kutikular. Ujung posterior H. contortus jantan memiliki spikula kitin, bursa kopulator
dengan dorsal lobus yang asimetris dan disokong oleh dorsal rays yang berbentuk
seperti huruf Y terbalik (Ahmad dan Tiffarent 2020).

Gambar 3. Telur Trichuris sp pada feses domba


perbesaran 10x
Telur Trichuris sp. memiliki bentuk oval dengan ukuran 30-42 μm dan lebar ±
23 μm, memiliki dinding 2 lapis. Lapisan luar berwarna kekuningan dan lapisan dalam
transparan pada kedua ujung telur terdapat tonjolan yang disebut mucoid plug atau
polar plug atau clear knop. Ciri-ciri cacing dewasa berbentuk seperti cambuk dimana
3/5 dari panjang tubuhnya (sebelah anterior) tipis seperti benang sedangkan 2/5 bagian
(sebelah posterior) terlihat lebih tebal. Ukuran tubuh jantan panjangnya 50-80 mm,
sedangkan betina panjangnya 37-70 mm. Ujung posterior cacing jantan melingkar ke
arah ventral dengan sebuah spicula di ujungnya, sementara ujung posterior cacing
betina lurus dan tumpul membulat (Bulbul et al. 2020).
Domba merupakan salah satu hewan ruminansia yang cukup populer diternakan
oleh masyarakat Indonesia. Sistem pemeliharaan kambing dan domba biasanya secara
ekstensif, semi intensif dan secara intensif. Akan tetapi domba dapat terjangkit infeksi
endoparasit yang mempengaruhi rendahnya produktivitas usaha ternak domba. Cacing
dan protozoa merupakan contoh dari endoparasit yang ditemukan sering menginfeksi
domba. Haemonchus sp., Trichostrongylus sp., Strongyloides sp., Cooperia sp.,
Bunostomum sp., Fasciola sp dan Trichuris sp. merupakan cacing endoparasit yang
biasa ditemukan pada domba dan kambing. Domba lebih rentah terinfeksi endoparasit
dibandingkan kambing karena kebiasaan makan dengan cara merumput, sehingga bibir
bawah mengenai tanah atau ujung rumput yang kemungkinan mengandung endoparasit
(Hanafiah et al. 2002).

Pengendalian, Pencegahan, dan Pengobatan


Pengendalian H. contortus dapat dilakukan dengan kontrol biologi, yaitu
penggunaan beberapa spesies jamur yang telah diisolasi dari nematoda. Contoh jamur
yang dapat digunakan sebagai kontrol biologi adalah spesies Duddingtonia flagrans
yang telah terbukti efektif mengendalikan cacing nematoda pada ruminansia besar dan
ruminansia kecil. Spora D. flagrans diketahui dapat bertahan melewati saluran
gastrointesinal hewan ternak, sementara jamur Trichoderma, Fusarium, dan
Acremonium dilaporkan memiliki efek ovisidal pada Toxacara canis. Pilihan lainnya
yang dilakukan untuk mengatasi haemonchosis dan resistensi antelmintik adalah
dengan pengembangan ras yang tahan terhadap infeksi H. contortus dan vaksinasi
(Ahmad dan Tiffarent 2020).
Pencegahan kasus haemonchosis dapat dilakukan dengan cara manajemen
pemeliharaan (sanitasi), pakan, kesehatan. Manajemen sanitasi bertujuan untuk
mencegah kontaminasi lingkungan dan infeksi ulang. Infeksi ulang dapat dicegah
melalui pemberian pakan dengan cara memberikan hijauan yang sudah dilayukan.
Tindakan profilaksis melalui manajemen kesehatan dilakukan dengan pemberian
suplemen vitamin dan pemberian antelmintika spektrum luas setiap 3 – 4 minggu.
Pengendalian H. contortus pada domba dan kambing utamanya dilakukan dengan
pemberian obat-obatan antelmintik seperti derivat aminoacetonitrile (mis.
monepantel), aminophenylamidines (mis. tribendimidine), benzimidazoles (mis.
albendazole), imidazothiazoles (mis. levamisole), macrocyclic lactones (mis.
ivermectin and moxidectin), spiroindoles (mis. derquantel) dan tetrahydropyrimidines
(mis. morantel, oxantel dan pyrantel) (Ahmad dan Tiffarent 2020).
Pengebotan Trichuris sp. juga dapat dilakukan dengan pemberian antelmintika
seperti Methyridine (200 mg/kg) secara oral atau subkuta, pemberian fembendazol
(2.5mg/kg), dan Oxfendazole (2.5mg/kg) yang efektif hingga 89-99% melawan cacing
Trichuris sp. dan efektif hingga 62-100% melawan Trichuris sp. dalam bentuk larva
(Bulbul et al. 2020).
Pada sampel ulas darah dari domba yang ada di Rumah Sakit Hewan
Pendidikan IPB University yang diperiksa, ditemukan adanya Anaplasma sp.
Anaplasma sp. Merupakan bakteri gram negative pleomorfik kokus beramplop.
Anaplasma memiliki ukuran sekitar 0,4-1,3 µm. membrane luar Anaplasma
bergelombang dan membentuk irregular periplasmic space tanpa kapsula. Anaplasma
merupakan parasite membrane-bound vacuole yang berhabitat pada sitoplasma sel
darah merah yang membentuk badan inklusi yang berisi sekitar 4-8 anaplasma
(Rikihisa 2011).

Gambar 4. Anaplasma sp pada ulas darah domba


perbesaran 10x

Vektor utama dari Anaplasma adalah caplak, terutama pada genera Ixodes,
Dermacentor, Rhipicephalus, dan Amblyomma meskipun transmisi mekanikal dapat
dilakukan juda melalui pinjal dan tabanus (Lacasta et al 2010). Anaplasmosis biasanya
terjadi secara subklinis. Namun pada beberapa kasus ringan hingga berat, anaplasmosis
diikuti dengan demam beserta anemia dan icterus tergantung dari derajat keparahan
infeksi. Kelesuan, hilang nafsu makan, penurunan produksi susu, kepucatan, dan
dyspnea akibat anemia dapat ditemukan pada kasus anaplasmosis (Gharbi et al, 2015).

Pengendalian dan Pencegahan


Antibiotik dari golongan tetrasiklin dapat digunakan untuk mengatasi
anaplasmosis. Imidocarb dapat menjadi pilihan lain dalam mengatasi anaplasmosis.
Namun, data efikasi imidocarb terhadap anaplasmosis masih sangat sedikit sehingga
penggunaan imidocarb terhadap anaplasmosis masih cukup diragukan. Mengingat
anaplasmosis ditransmisikan melalui caplak sebagai vector biologis, penggunaan
insektisida pada hewan secara rutin dapat dilakukan untuk mencegah penyebaran
anaplasmosis. Penggunaan insektisida pada lahan pengembalaan dapat dilakukan untuk
menekan populasi caplak yang berpotensi menyebarkan anaplasmosis.
UNGGAS

Dari pemeriksaan hasil ulas darah pada ayam, protozoa Leucocytozoon


sabrazesi dapat diamati. Menurut literatur, Leucocytozoon sp. diklasifikasikan sebagai
protozoa dari phylum apicomplexa, class sporozoa, ordo eucoccidiiae, dan family
plasmodiidae. Dewasa protozoa berbentuk panjang, 22-24 x 4-7 µm, dan berkembang
di eritrosit, dan kemudian menjadi berkembang ke ukuran 67 × 6 µm dengan tanduk
sitoplasma panjang memanjang di luar parasit (Taylor et al. 2016).

Gambar 5. Leukocytozoon sabrazesi pada ulas darah ayam


perbesaran 10x

Leucocytozoon sp. dapat menyebabakan leucocytozoonosis atau avian malaria


pada ayam. Leucocytozoon yang menyerang ayam di Indonesia teridentifikasi adalah
Leucocytozoon caulleryi dan Leucocytozoon sabrazesi. Leucocytozoonosis pada ayam
dapat ditularkan oleh vektor lalat hitam (Simulium sp.) dan Culicoides arakawae.
Leucocytozoonosis pada unggas mempunyai gejala klinis seperti kelesuan, anemia,
kepucatan, demam, penurunan produksi telur, greenish diare, anorexia (Apsari et al
1999). Infeksi fatal dengan perdarahan sistemik dan parasitisme skizon adalah kadang-
kadang ditemukan pada anak ayam (Nakamura 2022).
Secara hematologi, penurunan jumlah eritrosit dan peningkatan jumlah yang
retikulosit (eritrosit polikromatofilik) dapat terlihat pada ayam dan anak ayam yang
terinfeksi leucocytozoonosis. Dalam hasil histopatologi, pembentukan thrombus,
perdarahan, dan reaksi reaktif peradangan di organ sistemik dapat diamati. Selain itu,
deposisi hemosiderin dan hemoragik yang ditemukan di organ hati dan limpa
merupakan hasil dari penghancuran eritrosit oleh gametosit Leucocytozoon sp
(Nakamura 2022). Studi histopatologi Leucocytozoon sp. menunjukkan bahwa keadaan
megaloschizonts pada organ seperti pankreas, usus, paru-paru, dan otot pectoral. Selain
itu, petechiae sering ditemukan di jaringan otot dan megalozchizonts di limpa, hati,
paru-paru, dan jantung (Pohuang et al. 2021).
Siklus Hidup
Simulium sp. atau C.arakawae akan melepaskan sporozoit Leucocytozoon sp.
ke pembuluh darah inang terutamanya di ungags (ayam, burung merpati). Sporozoit
akan berkembang ke skizon hepatic dan megaloskizon. Skizon hepatic akan menuju ke
organ hati dan berkembang di sel Kupffer hati, megaloskizon akan berkembang di sel-
sel darah. Merozoit akan dilepaskan dari skizon selepas sekitar 7 hari dan berkembang
ke makrogamet dan mikrogamet. Makrogamet dan mikrogamet yang berfertilisasi akan
membentuk oocyst di saluran pencernaan vektor dan berkembang ke sporozoit.
Sporozoit kemudian akan dilepaskan ke pembuluh darah inang waktu vektor
menghisap darah dari hewan inang (Nakamura 2022).

Pengendalian, Penanganan, dan Pengobatan


Infeksi Leucocytozoon sp. dipengaruhi oleh pola pemeliharaan dan kondisi
lingkungan. Unggas yang dipelihara secara diumbar dengan lingkungan yang relatif
buruk cenderung lebih sering terpapar atau digigit oleh vektor penyebar protozoa
darah. Faktor musim juga mempengaruhi infeksi Leucocytozoon sp., dimana kejadian
penyakit umumnya meningkat secara signifikan pada musim hujan (Apsari et al 1999).
Untuk menghindarI infeksi leucocytozoonosis pada unggas, peternak ayam disarankan
memasti kebersihan sumber air di lingkungan kandang unggas karena sumber air
merupakan tempat untuk vector menetaskan telurnya. Selain itu, pengendalian vektor
dapat dilakukan dengan cara menjaga kebersihan dan sanitasi kendang, penggunaan
light trap, pestisida, dan kimia pengusir serangga juga disarankan.
Unggas yang terinfeksi dapat diobati dengan klorokuin, trimetoprim, kombinasi
sulfakuinoksalin, dan pyrimethamine (Yesica 2020). Sulfonamida menghambat
konversi asam para-aminobenzoat (PABA) menjadi asam dihydrofolic (DFA) dengan
bersaing dengan PABA untuk sintase dihidropteroat. Pyrimethamine menghambat
konversi DFA ke asam tetrahydrofolic dengan menghambat dihydrofolate reductase.
Ketika inhibitor sulfa dan dihidrofolat reduktase (misalnya, trimetoprim, pirimetamin)
digunakan bersama-sama, efek sinergis dapat terjadi. Pirimetamin lebih aktif terhadap
protozoa dihydrofolate reduktase dan trimetoprim lebih aktif terhadap bakteri
dihydrofolate reductase (Plumb 2018).
HEWAN KESAYANGAN
Hewan kesayangan adalah merupakan hewan yang hidup berdampingan
dengan manusia, seperti anjing dan kucing. Kesehatan anjing dan kucing perlu
diperhatikan karena beberapa penyakit yang menginfeksi anjing dan kucing bersifat
sebagai penyakit zoonotik sehingga dapat menginfeksi manusia. Penyakit pada anjing
dan kucing dapat disebabkan oleh virus, bakteri, jamur, dan parasit (Oktaviana et al.
2014). Infeksi endoparasit dapat dikelompokkan menjadi infeksi parasit cacing dan
infeksi protozoa. Helminthiasis atau infeksi parasit cacing umum terjadi pada anjing
dan kucing sehingga menyebabkan infeksi saluran pencernaan yang mempengaruhi
pertumbuhan, produktivitas kerja, malnutrisi, dan menimbulkan masalah kesehatan
(Janis et al. 2019). Parasit cacing dapat menyebabkan masalah kesehatan pada manusia
dan hewan. Infeksi parasit cacing mempengaruhi pertumbuhan, nutrisi, produktivitas,
kebuntingan, dan kualitas hidup dari hewan maupun manusia (Natasya et al. 2021).
Sampel yang umum digunakan untuk deteksi endoparasit adalah sampel feses
dan sampel darah. Kedua sampel tersebut digunakan karena transmisi endoparasit yang
paling umum terjadi adalah melalui rute oral dan melalui vektor yang biasanya
merupakan penghisap darah. Kedua rute tersebut menyebabkan banyak spesies
endoparasit yang tinggal di saluran pencernaan dan darah (Kusumarini et al. 2021).
Menurut Virginia Tech (2017), pengambilan sampel darah pada hewan
kesayangan dapat dilakukan melalui teknik venipuncture. Pada anjing, pembuluh darah
yang biasa digunakan untuk pengambilan sampel darah adalah vena jugularis eksternal,
vena sefalika, vena safena lateral, dan vena sefalika aksesorius. Pada kucing,
pengambilan sampel darah dapat dilakukan melalui vena jugularis eksternal, vena
sefalika, vena safena lateral, dan vena safena medial.
Pengambilan sampel feses dapat dilakukan dengan mengambil langsung feses
segar setelah hewan kesayangan melakukan defekasi. Jika dibutuhkan, pengambilan
sampel feses dapat dibantu dengan menggunakan probe. Namun demikian, jumlah
sampel yang didapat menggunakan probe jumlahnya sangat sedikit, sehingga
pengujian yang dapat dilakukan untuk sampel feses yang diambil menggunakan probe
hanya berupa pemeriksaan natif (Cohn & Côté 2020).
Hasil pemeriksaan endoparasit pada sampel darah dan feses hewan kucing yang
dilakukan tidak ditemukan adanya endoparasit pada sampel ulas darah maupun pada
feses hewan kucing. Pemeriksaan endoparasit pada sampel darah dan feses hewan
anjing juga menunjukkan tidak adanya hewan anjing yang terinfeksi endoparasit
patogenik maupun nonpatogenik. Walaupun beberapa hewan memiliki kondisi umum
yang tidak baik dan ada yang memiliki sejarah terinfeksi endoparasit, seluruh hewan
tidak sedang terinfeksi endoparasit patogenik. Artinya beberapa hewan yang sakit
bukan disebabkan oleh endoparasit patogenik melainkan disebabkan oleh kausa
lainnya.
Namun dari sampel hewan kucing dan anjing, salah satu sampel sampel kucing
Aja ditemukan adanya free living nematode pada sampel feses.
Gambar 6. Free living nematode pada sampel feses hewan kucing Aja
Perbesaran 10x
Free living nematode merupakan tipe nematoda yang hidup di air maupun di
tanah. Free living nematode hidup dengan memakan bakteri, fungi, algae, dan sel-sel
mati, sehingga free living nematode dianggap tidak patogenik dan tidak dikategorikan
sebagai endoparasit patogenik (Iqbal & Jones 2017).
KUDA
Pengambilan sampel feses kuda dilakukan pada kuda yang ada di Unit
Rehabilitasi dan Reproduksi (URR) IPB University, yaitu terdapat 2 sampel feses yang
berasal dari induk kuda dan anak kuda. Feses diperiksa dengan beberapa uji tetapi
dengan uji flotasi ditemukan adanya Strongylus spp.

a b

Gambar 7 (a). Strongylus spp. pada feses anak kuda, perbesaran 40x
(b). Strongylus spp. pada feses induk kuda, perbesaran 40x

Strongylus edentatus secara makroskopik cacing ini serupa dengan S.equinus.


Cacing jantanpanjangnya 23–28 mm, sedangkan yang betina ukurannya 33–44 x 2 mm.
Perbedaan cacingini dengan S. equinus adalah memiliki kepala yang sedikit lebih lebar
dari bagian badan yang lain, serta rongga mulutnya lebih lebar di bagian anterior
daripada di bagian tengah dan tidakmemiliki gigi. Sedangkan S. vulgaris lebih kecil
dibandingkan dua spesies strongylus lainnya. Cacing jantan panjangnya 14–16 mm,
sedangkan cacing betinanya mencapai ukuran 20 – 24 x 1,4 mm. Rongga mulutnya
oval dan berisi gigi dorsal pada bagian dasarnya.Gigi dorsal ini berbentukseperti
kuping, daun mahkota luarnya berjumbai pada ujung distalnya.
Telur genus Strongylus membutuhkan waktu 3 hari untuk menjadi larva
infektif dan menginfeksi kuda melalui penetrasi kulit dari larva yang hidup pada
rumput di pengembalaan. Parasit cacing berupa genus Strongylus pada umumnya
menginfeksi ususbesar kuda dan menimbulkan penyakit. Kuda yang tidak sengaja
memakan rumput tercemar telur dapat menimbulkan gejala penyakit yang besar terkait
gastrointestinal. Dampak yang ditimbulkan, diantaranya adalah kelemahan, penurunan
berat badan, kolik, penurunan nafsu makan, diare, dan dapat juga berujung dengan
kematian (Chaerunnisa et al. 2019).
Adapun gejala klinis lainnya adalah anemia, aneurysma, reaksi peradangan, dan
kerusakan pankreas. larva yang dianggap paling patogenadalah larva Strongylus
vulgaris karena larva beredar dalam aliran darah dan melekat pada dinding pembuluh
darah yang berujung pada timbulnya gumpalan dan aneurysma pada pembuluh darah.
Berbeda dengan larva Strongylus edentatus yang mampu bermigrasi ke bawah parietal
dari peritoneum sehingga menyebabkan munculnya peradangan pada peritoneum, larva
pada Strongylus equinus dapat menyebabkan timbulnya kerusakan pada pankreas.
Menurut Studzinska et al. (2012) gejala lain yang dapat timbul adalah anemia dan
peradangan yang disebabkan cacing dewasa yang mengaitkan diri ke dinding usus
menggunakan bukal kapsul cacing, serta menghisap darah inang.
Pengendalian dan Pencegahan
Pengendalian pada kasus infeksi Strongylus spp. dapat dilakukan dengan
memastikan kebersihan kandang kuda dan dilakukannya rotasi kandang maupun
padang penggembalaan apabila kuda tidak dikandangkan. Secara ideal seharusnya
suatu tempat harus dibiarkan tanpa ada penggembalaan selama 2-3 bulan sehingga
larva infektif yang ada di rumput sebagai akibat kontaminasi oleh tinja dari ternak
tertular, dapat mati. Infeksi Strongylus spp. disebabkan oleh tertelannya telur infektif
oleh inang, maka diperlukan manajemen kandang yang baik. Penempatan pakan di
wadah khusus akan lebih baik karena menghindari kontaminasi pakan oleh feses.
Pemberian antihelmintik dapat dilakukan sebagai pengendalian maupun pengobatan.
Penggunaan kelas benzimadizoles sebagai antihelmintik dapat digunakan karena
terbukti mampu efektif memberantas cacing dewasamaupun larva (Rendle 2014).
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad RZ, Tiffarent R. 2020. Aspek patologi haemonchosis pada kambing dan
domba. WARTAZOA. 30(2):91-102.
Apsari IA, Dwinata IM. 1999. Prevalensi dan Intensitas Infeksi Leucocytozoon sp.
pada Ayam Buras di Bukit Jimbaran, Kecamatan Kuta Selatan.
Bulbul KH, Akand AH, Hussain J, Parbin S, Hasin D. 2020. A brief understanding of
Trichuris ovis in ruminants. International Journal of Veterinary Sciences and
Animal Husbandry. 5(3): 72-74.
Chaerunnisa NA, Oktaviana V, Sunarso A, Yudhana A, Kusnoto. 2019. Deteksi
helminthiasis pada kuda di kelompok kesenian Jaran Kencak Desa Patoman,
Banyuwangi. Jurnal Medik Veteriner. 2(2): 96-100
Cohn and Côté. 2020. Clinical Veterinary Advisor, 4th edition. AMS: Elsevier.
Gharbi M, Omri H, Jedidi M, Zorii S, Darghouth MZ. 2015. Epidemiological Study of
Sheep Anaplasmosis (Anaplasma ovis Infection) in Kairouan, Central Tunisia.
The Journal of Advances in Parasitology. 2(2):30-33.
Hannafiah M, Winaruddin, Rusli. 2002. Studi infeksi nematoda gastrointestinal pada
kambing dan domba di rumah potong hewan Banda Aceh. Journal Saint Vet.
20 (1):15-19.
Iqbal S, Jones MGK. 2017. Encyclopedia of Applied Plant Sciences. AMS: Elsevier.
Janis DWN, Deta HU, Winarso A. 2019. Perubahan bobot badan anak anjing lokal
terinfeksi Toxocara canis setelah pemberian pyrantel pamoat di Kota Kupang.
Jurnal Veteriner Nusantara. 2(2) : 49 – 59.
Kertawirawan IPA. 2013. Pengaruh tingkat sanitasi dan sistem manajemen
perkandangan dalam menekan angka kasus koksidiosis pada pedet sapi Bali.
Jurnal Widyariset 16(2):287-292.
Kusumarini SR, Yesica R, Wisesa IBGR, Hermanto J, Nurholizah Y, Trinastuti MW.
2021. Preliminary study: detection of ecto and endoparasites among wild rats
from urban area in Blimbing, Malang, East Java. Acta Veterinaria Indonesiana.
SI: 95-101.
Lacasta D, Ferrer LM, Sanz S, Labanda R, Gonzales JM, Benito AA. Ruiz H,
Rodríguez-Largo A, Ramos JJ. 2010. Anaplasmosis Outbreak in Lambs: First
Report Causing Carcass Condemnation. Animals. 10:2-9.
Munar S, Aliza D, Arisa IM. 2016. Identifikasi dan prevalensi endoparasit pada usus
ikan bawal air tawar (Colossoma macropomum) kolam budidaya di Desa Nya,
Kecamatan Simpang Tiga, Kabupaten Aceh Besar. Jurnal Ilmiah Mahasiswa
Kelautan dan Perikanan Unsyiah. 1(2): 236-242.
Nakamura K. 2022. Leucocytozoon caulleryi Infection in Chickens: Etiology,
Pathology, and Diagnosis. Japan Agricultural Research Quarterly: JARQ.56
(2):121-7.
Natasya M, Arif R, Tiuria R. 2021.Prevalensi kecacingan pada anjing dan kucing di
klinik smilevet kelapa gading periode januari 2020-januari 2021. Acta
Veterinaria Indonesiana. 9(3): 215-222
Nath TC, Eom KS, Choe S, Hm S, Islam S, Ndosi BA, Kang Y, Bia MM, Kim S,
Eamudomkarn C, Jeon HK, Park H, Lee D. 2021. Insight into one health
approach: endoparasite infections in captive wildlife in Bangladesh. Pathogens.
10(2):250.
Oktaviana PA, Dwinata M, Oka IBM. 2014. Prevalensi Infeksi Cacing Ancylostoma
Spp Pada Kucing Lokal (Felis Catus) Di Kota Denpasar. Buletin Vet. Udayana
6(2):161-167.
Pohan DS. 2015. Prevalensi koksidiosis pada sapi perah di kelompok ternak Tirta
Kencana dan Baru Sireum, Cisarua, Kabupaten Bogor [Skripsi]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Pohuang T, Jittimanee S, Junnu S. 2021. Pathology and molecular characterization of
Leucocytozoon caulleryi from backyard chickens in Khon Kaen Province,
Thailand. Veterinary World. 14(10):2634.
Plumb DC. 2018. Plumb's veterinary drug handbook. Iowa (US): John Wiley & Sons.
Rendle D. Targeting endoparasite control in mares and foals. Veterinary Times 2014
[online]. [diunduh 21 Oktober 2022]. Tersedia pada : http://
www.vetsonline.com/media/0c2/4998d45132f72784361ab 79387c2f.pdf
Rikihisa Y. 2011. Mechanisms of Obligatory Intracellular Infection with Anaplasma
phagocytophilum. CLINICAL MICROBIOLOGY REVIEWS. 24(3): 469–489.
Soulsby EJL. 1986. Helminth, Arthropoda and Protozoa of Domesticated Animals 7th
Edition. London (UK): Bailliere Tindall London.
Studzinska MB, Tomczuk K, Demkowska M, Szczepaniak KA, 2012. The
Strongylidae beloging to Strongylusgenus in horses form southeastern Poland.
Parasitol Res. 111(4): 1417-1421.
Tabbu CR. 2006. Penyakit Ayam dan Penanggulangannya : Penyakit Asal Parasit,
Noninfeksius dan Etiologi Kompleks Volume 2. Yogyakarta(ID): Kanisius.
Taylor M dan Coop R. 2013. Veterinary Parasitology Edisi 3. London (UK): Blackwell
Science.
Virginia Tech. 2017. SOP: Venipuncture in Dogs and Cats. US: University
Veterinarian and Animal Resource.
Yesica R. 2020. Case Report Leucocytozoonosis pada Kalkun (Meleagris gallopavo).
Media Kedokteran Hewan. 31(1):45-51.
Yufa M, Mairawita, Herwina H. 2018. Identifikasi dan prevalensi endoparasit pada
kambing di Kota Padang, Sumatera Barat. Jurnal Metamorfosa. 5(1): 94-98.

Anda mungkin juga menyukai