Anda di halaman 1dari 41

LAPORAN KEGIATAN PPDH

ROTASI PARASITOLOGI
yang dilaksanakan di
LABORATORIUM PARASITOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA

Oleh :
ANALYA, S.KH
NIM. 170130100011062

PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2019
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL .................................................................................................. ii


KATA PENGANTAR ........................................................................................... iii
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................... iv
DAFTAR ISI............................................................................................................... v
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................ vi
BAB 1. PENDAHULUAN ......................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................... 2
1.3 Tujuan ...................................................................................................... 2
1.4 Manfaat ..................................................................................................... 2
BAB 2. PELAKSANAAN DAN METODE PEMERIKSAAN .............................. 3
2.1 Tempat dan Waktu Pelaksanaan Kegiatan ............................................... 3
2.2 Metode Pemeriksaan dan Identifikasi Helminthes ................................... 3
2.3 Metode Pemeriksaan dan Identifikasi Ektoparasit .................................... 5
2.4 Metode Pemeriksaan dan Identifikasi Protozoa......................................7
BAB 3. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................... 10
3.1 Kasus Helminthes .................................................................................. 10
4.1.1. Kasus Ascaridia galli.................................................................. 10
4.1.2. Kasus Capillaria retusa ............................................................. 14
3.2 Kasus Protozoa ....................................................................................... 18
4.1.1. Kasus Eimeria sp ........................................................................ 18
4.1.2. Kasus Plasmodium sp ................................................................. 23
3.3 Kasus Ektoparasit.................................................................................... 28
4.1.1. Kasus Culex sp ........................................................................... 28
4.1.2. Kasus Ctenocephalidescanis ...................................................... 32
BAB 4. KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................. 37
4.1 Kesimpulan .............................................................................................. 37
4.2 Saran ........................................................................................................ 38
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 39
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Ilmu tentang parasit telah lama menunjukan peran pentingnya dalam bidang
kedokteran hewan dan manusia namun masih banyak penyakit baik pada hewan dan
manusia yang merupakan masalah kesehatan di Indonesia. Pertumbuhan penduduk yang
tinggi dan terjadinya urbanisasi yang tidak diimbangi sarana dan prasarana, telah
menambah banyaknya dearah kumuh di perkotaan. Makin berkurangnya air bersih,
pencemaran air dan tanah menciptakan kondisi lingkungan fisik yang memungkinkan
perkembangan vektor dan sumber infeksi termasuk oleh penyakit parasitik (Ahmad, 2010).
Parasit merupakan organisme yang hidup untuk sementara dan menetap di dalam atau pada
permukaan organisme lain dengan maksud untuk mengambil sebagian atau seluruh
kebutuhan makanannya serta mendapat perlindungan dari organisme lain tersebut. Penyakit
parasit pada hewan merupakan penyakit yang dapat mempengaruhi produktivitas ternak
dan umumnya tidak menimbulkan kematian, tetapi bersifat menahun yang dapat
mengakibatkan kekurusan, lemah dan turunnya daya produksi. Infeksi parasit yang ringan
sampai sedang tidak selalu menampakan gejala klinis yang nyata, sedangkan infeksi berat
dari parasit dapat menyebabkan gangguan fungsional dan terhambatnya pertumbuhan pada
hewan muda (Farid, 2012).
Pemeriksaan lebih lanjut untuk menentukan diagnosa penyakit parasit perlu dilakukan
karena merupakan aspek penting untuk mengtahui infeksi parasit. Sebagian besar Infeksi
parasit beralangsung tanpa gejala. Maka dari hal ini pemeriksaan laboratorium sangat
dibutuhkan untuk menegakkan diagnosa penyakit parasit karena diagnosa berdasarkan
gejala klinis kurang begitu jelas.
Pendidikan Profesi Dokter Hewan (PPDH) adalah suatu program pendidikan lanjutan
untuk menempuh jenjang sebagai dokter hewan. Kegiatan ini menuntut mahasiswa untuk
dapat terampil secara praktik dan juga pengetahuan. Pada rotasi PPDH Parasitologi yang
dilakukan di FKH UNAIR dilaksanakan untuk mengembangkan kemampuan mahasiswa
sebagai calon dokter hewan sehingga mampu menentukan tindakan terapi maupun
preventif terhadap kasus parasitik.
1.2 Rumusan masalah
1. Bagaimana cara mengidentifikasi helminthes, protozoa dan arthropoda pada hewan
yang diduga sakit?
2. Bagaimana cara mendiagnosa penyakit parasit sehingga dapat mengambil tindakan
terapi yang tepat?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui cara mengidentifikasi helminthes, protozoa dan arthropoda pada
hewan yang diduga sakit
2. Untuk mengetahui cara mendiagnosa penyakit parasit sehingga dapat mengambil
tindakan terapi yang tepat.
1.4 Manfaat
Memberikan ilmu pengetahuan dan keterampilan dalam mengidentifikasi helminthes,
protozoa dan arthropoda pada hewan yang diduga sakit dan cara mendiagnosa penyakit
parasit dengan benar.
BAB II
METODOLOGI
2.1 Tempat dan Waktu Kegiatan
Kegiatan PPDH program Pendidikan Profesi Dokter Hewan Universitas Brawijaya
Malang bertempat di Laboratorium Parasitologi Universitas Airlangga Surabaya pada
tanggal 20 Agustus – 3 September 2019.
2.2 Metode kegiatan
Pemeriksaan helminthes merupakan pemeriksaan yang bertujuan untuk
mengidentifikasi morfologi cacing berdasarkan telur yang didapatkan dalam sampel feses,
larva, dan morfologi bentuk cacing dewasa (Bendryman et al, 2010). Metode pemeriksaan
telur cacing dapat berupa metode natif, sedimen dan apung.
2.2.1 Prosedur pemeriksan Helminthes
 Pemeriksaan Telur Cacing pada Feses dengan Metode Natif (Bistner et al. 2000)
Isolasi telur cacing dilakukan dengan cara mengambil sampel feses dan
dimasukkan ke dalam pot sampel yang telah ditambahkan formalin 5%. Pemeriksaan
telur cacing pada feses dengan metode natif dilakukan dengan cara sebagai berikut :
- Sampel feses dioleskan secukupnya pada objek glass steril menggunakan lidi.
- Diteteskan 1-2 tetes air pada feses tersebut, kemudian diaduk dengan lidi.
- Selanjutnya objek glass ditutup dengan cover glass dan diamati dengan mikroskop
pembesaran 400X-1000X.
 Pemeriksaan Telur Cacing pada Feses dengan Metode Sedimentasi (Bistner et al.
2000).

Pemeriksaan telur cacing pada feses dengan metode sedimentasi dilakukan


dengan cara sebagai berikut :

- Dilakukan pembuatan suspensi dengan perbandingan satu bagian feses dan 10


bagian air .
- Suspensi disaring dengan saringan teh dan filtrat yang didapat ditampung pada
gelas plastik.
- Filtrat dimasukkan ke dalam tabung, kemudian disentrifugasi dengan kecepatan
1500 rpm selama 2-5 menit.
- Setelah disentrifuse supernatan (bagian jernih) dibuang dan diganti dengan air
kemudian dilakukan sentrifugasi ulang untuk memperoleh supernatan yang jernih.
- Selanjutnya supernatan dibuang dan diambil sedimen yang tersisa.
- Dilakukan pengambilan sedimen menggunakan pipet Pasteur dan diteteskan pada
objek glass.
- Objek glass ditutup dengan cover glass dan dilakukan pengamatan menggunakan
mikroskop dengan pembesaran 400X-1000X.
 Pemeriksaan Telur Cacing pada Feses dengan Metode Apung (Gandahusada,
2000).
Pemeriksaan telur cacing pada feses dengan metode apung dilakukan dengan cara
sebagai berikut :
- Dilakukan pembuatan suspensi dengan perbandingan satu bagian feses dan 10
bagian air
- Suspensi disaring dengan saringan teh dan filtrat yang didapat ditampung pada
gelas plastik.
- Filtrat dimasukkan ke dalam tabung, kemudian disentrifugasi dengan kecepatan
1500 rpm selama 2-5 menit.
- Setelah disentrifuse supernatan (bagian jernih) dibuang dan diganti dengan air
kemudian dilakukan sentrifugasi ulang untuk memperoleh supernatan yang jernih.
- Selanjutnya supernatan dibuang dan diganti larutan gula jenuh hingga 1 cm dari
mulut tabung, lalu disentrifugasi dengan cara yang sama.
- Tabung diletakkan pada rak tabung dan ditetesi dengan larutan gula jenuh sampai
cairan terlihat cembung pada mulut tabung sentrifugasi.
- Tabung ditutup dengan cover glass dan dibiarkan 1-2 menit.
- Cover glass diambil dan ditempelkan pada objek glass, kemudian diamati
menggunakan mikroskop dengan perbesaran 400X-1000X.
2.2.2 Prosedur Pemeriksaan Protozoa
Isolasi sampel feses untuk pemeriksaan protozoa dilakukan dengan cara
mengambil sampel feses dan dimasukkan ke dalam pot sampel tanpa menambahkan
apapun. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan telur cacing dengan metode sebagai
berikut :
 Pemeriksaan Protozoa pada Feses dengan Metode Natif (Sosiawati, 2007).
Pemeriksaan protozoa pada feses dengan metode natif dilakukan dengan cara
sebagai berikut:
 Pada objek glass diteteskan 1 tetes air dan ditambahkan sedikit feses selanjutnya
dicampurkan keduanya hingga merata
 Objek glass ditutup dengan cover glass dan diamati menggunakan mikroskop
dengan perbesaran 400-1000X
 Pemeriksaan Protozoa pada Feses dengan Metode Sedimen (Sosiawati, 2007).
Pemeriksaan protozoa pada feses dengan metode sedimen dilakukan dengan cara
sebagai berikut
 Dilarutkan 1 bagian feses dengan 10 bagian air, kenudian disaring larutan feses
dengan saringan (kain kasa)
 Filtrat hasil saringan dimasukkan ke dalam tabung sentrifus dan dilakukan
sentrifugasi 1500 rpm selama 5-10 menit.
 Supernatan hasil sentrifugasi dibuang dan ditambahkan air dalam jumlah yang
sama. Dilakukan sentrifugasi ulang kemudian dibuang lagi supernatannya.
 Apabila telah mendapatkan supernatan yang bersih, supernatan dibuang dan
disisakan sedikit cairan pada tabung.
 Diambil satu tetes cairan dan diteteskan di atas objek glass selanjutnya ditutup
dengan cover glass.
 Dilakukan pengamatan menggunakan mikroskop dengan perbesaran 400-1000X.
 Pemeriksaan Protozoa pada Feses dengan Metode Apung (Sosiawati, 2007).
Pemeriksaan protozoa pada feses dengan metode apung dilakukan dengan cara
sebagai berikut :
 Dilakukan pembuatan suspensi dengan perbandingan satu bagian feses dan 10
bagian air
 Suspensi disaring dengan saringan teh dan filtrat yang didapat ditampung pada
gelas plastik.
 Filtrat dimasukkan ke dalam tabung, kemudian disentrifugasi dengan kecepatan
1500 rpm selama 2-5 menit.
 Setelah disentrifuse supernatan (bagian jernih) dibuang dan diganti dengan air
kemudian dilakukan sentrifugasi ulang untuk memperoleh supernatan yang jernih.
 Selanjutnya supernatan dibuang dan diganti larutan gula jenuh hingga 2/3 tabung,
lalu disentrifugasi dengan cara yang sama.
 Tabung diletakkan pada rak tabung dan ditetesi dengan larutan gula jenuh sampai
cairan terlihat cembung pada mulut tabung sentrifugasi.
 Tabung ditutup dengan cover glass dandibiarkan 1-2 menit.
 Cover glass diambil dan ditempelkan pada objek glass, kemudian diamati
menggunakan mikroskop dengan perbesaran 400-1000X.
 Pemeriksaan Protozoa Darah dengan Metode Pembuatan Ulas Darah dengan
Pewarnaan Giemsa (Mahmmod,2011)
Metode pembuatan ulas darah tipis untuk pemeriksaan protozoa darah dilakukan
dengan cara sebagai berikut :
 Disiapkan dua objek glassuntuk tempat darah dan objek glass untuk penggulas
darah.
 Diteteskan satu tetes darah pada ujung objek glass pertama.
 Dilakukan pengulasan menggunakan objek glass pengulas dengan cara
membentuk sudut 30-450 pada salah satu ujung objek glass dan didorong ke ujung
satunya.
 Semakin tipis ulasan yang diperoleh akan semakin baik hasil yang didapat. Hasil
ulasan dikeringanginkan pada suhu ruang.
 Ulas darah yang telah kering difiksasi dengan methanol (methil alkohol absolut)
selama 3 menit.
 Dilanjutkan dengan memasukkan objek glass ulas darah ke dalam larutan giemsa
10-20% selama 30 menit. Semakin tinggi konsentrasi larutan giemsa, semakin
pendek waktu pengecatan.
 Preparat diangkat dan dicuci dengan air. Pencucian dilakukan dengan cara
mengalirkan air.
 Preparat dikeringanginkan dengan cara meletakkan objek glass pada posisi berdiri
pada bidang miring
 Preparat yang telah kering diamati menggunakan mikroskop dengan perbesaran
400-1000X dengan menambahkan minyak emersi
2.2.3 Isolasi dan Identifikasi Arthropoda
 Koleksi Arthropoda (Suwanti, dkk. 2012)
- Pengumpulan Lalat
Sampel lalat ditangkap menggunakan jaring insekta dan beberapa ditangkap
langsung dengan tangan menggunakan kantong plastik, lalu disimpan di botol air
minum plastik berisi chlorofom.
- Pengumpulan Pinjal
Sampel pinjal diperoleh dari kucing. Pinjal dari hewan berbulu di dapatkan
dengan menyisir dan menyibak bulu dari hewan-hewan tersebut, kemudian di
ambil dengan menggunakan pinset dan ditampung dalam wadah plastik yang di
isi KOH 10%.
 Pengawetan Kering Arthropoda (Suwanti, dkk. 2012)
Pengawetan kering dilakukan dengan metode pinning. Pinning dilakukan dengan
langkah-langkah sebaagai berikut:
 Arthropoda dimatikan dengan menggunakan chloroform.
 Sayap arthropoda dikembangkan dan kaki ditata untuk mempermudah
pengamatan.
 Dilakukan penusukan pada bagian thorax diantara sayap dan garis tengah tubuh
arthropoda.
 Lalat yang telah di pinning ditusukkan pada pinning blok (sterofoam).
 Untuk Arthropoda kecil diletakkan di atas ujung kerjas segitiga dan ditempel
menggunakan canada balsem. Pin dilakukan pada kertas tersebut.
 Selanjutnya dilakukan identifikasi dengan menggunakan stereo mikroskop atau
loop mikroskop.
 Hasil identifikasi arthropoda ditandai dengan pemberian label (nama
spesies/genus, predileksi/inang, nama kolektor, tanggal dan lokasi pengambilan)
 Arthropoda dikeringkan dalam oven 50-600 C selama 24 jam.
 Penyimpanan hasil pinning dengan cara meletakkan blok pinning pada kotak
penyimpanan yang telah diberikan kapur barus.
 Pengawetan Basah Arthropoda (Hadi, 2000)
Pengawetan basah arthropoda dapat dilakukan dengan pengawetan basah dengan
slide preparat berupa permanen mounting dengan pewarnaan dan pengawetan
permanen tanpa pewarnaan. Langkah pengawetan basah arthropoda adalah sebagai
berikut :
a. Permanent Mounting Tanpa Pewarnaan
 Arthropoda dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi KOH 10%
kemudian dipanaskan dalam air yang mendidih selama 1 jam atau lebih
hingga arthropoda tampak transparan.
 Arthropoda selanjutnya dimasukkan ke dalam alkohol dengan konsentrasi
berturut-turut 30, 50, 70, 95, 96% masing-masing 3 menit selanjutnya
dicelupkan ke dalam xylol dalam waktu 1 menit.
 Arthropoda diangkat dan diletakkan di atas objek glass dan direkatkan dengan
pemberian canada balsem selanjutnya ditutup dengan cover glass.
 Preparat diberi label dan diinkubasi dalam inkubator untuk dikeringkan
 Preparat diamati menggunakan mikroskop dengan perbesaran 40-100X
b. Pengawetan Arthropoda Permanen dengan Pewarnaan
 Arthropoda dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi KOH 10%
kemudian dipanaskan dalam air yang mendidih selama 1 jam atau lebih
hingga arthropoda tampak transparan.
 Arthropoda dicuci dengan aquadest sebanyak 2X.
 Selanjutnya direndam dalam alkohol 95% selama 10 menit.
 Arthropoda dipidahkan ke dalam acid fuchsin selama 30 menit.
 Dilanjutkan dengan perendaman dalam alkohol 95% selama 2 menit.
 Arthropoda dipindahkan ke dalam alkohol 95%+xylol dengan perbandingan
sama banyak selama 5 menit.
 Dilanjutkan dengan perendaman pada xylol selama 1 menit.
 Arthropoda yang telah diwarnai diletakkan di atas objek glass, direkatkan
menggunakan canada balsem dan ditutup menggunakan cover glass.
 Preparat yang telah jadi diberi label dan diinkubasi pada inkubator selama 24-
48 jam
 Preparat yang telah kering diamati menggunakan mikroskop dengan
perbesaran 40-100X.
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Helminthes
3.1.1 Ascaridia gali
a. Sinyalemen
Jenis Sampel : Saluran Pencernaan (Duodenum)
Jenis Hewan : Ayam
Asal Hewan : Pasar Wonokromo
Tanggal Pengambilan : 28 Agustus 2018
Tanggal Pengujian : 28 Agustus 2018
Anamnesa
Ayam terlihat lemas dan diare.
b. Pemeriksaan Laboratorik
Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan adanya cacing dewasa Ascaridia gali.

A B

C D
Gambar 3.1 A. Telur cacing cacing Ascaridia gali metode natif perbesaran 400x. B. Posterior
cacing Ascaradia galli. C. Anterior cacing Ascaridia galli (Dokumentasi
Pribadi,2018).
c. Klasifikasi dan Morfologi

Ascaridia galli merupakan parasit besar yang umum terdapat di dalam usus
kecil berbagai unggas peliharaan maupun unggas liar. Penyebarannya luas di seluruh
dunia. Cacing A. galli merupakan cacing terbesar dalam kelas nematoda pada unggas.
Tampilan cacing dewasa adalah semitransparan, berukuran besar, dan berwarna putih
kekuning-kuningan (Admin, 2008).
Pada bagian anterior terdapat sebuah mulut yang dilengkapi dengan tiga buah
bibir, satu bibir terdapat pada dorsal dan dua lainnya pada lateroventral. Pada kedua
sisi terdapat sayap yang sempit dan membentang sepanjang tubuh. Cacing jantan
dewasa berukuran panjang 51 – 76 mm dan cacing betina dewasa 72 – 116 mm.
Cacing jantan memiliki preanal sucker dan dua spicula berukuran panjang 1 –2,4 mm,
sedangkan cacing betina memiliki vulva dipertengahan tubuh. Telur A.galli berbentuk
oval, kerabang lembut, tidak bersegmen, dan berukuran 73–92 x 45–57µm
(Lalchhandama, 2010).

Gambar 3.2 Anterior (A) dan Posterior Ascaridia galli (B) (Schrank, 1788)
Menurut Soulsby (1982), klasifikasi A.galli adalah sebagai berikut :
Kelas : Nematoda
Subkelas : Secernentea
Ordo : Ascaridia
Superfamili : Ascaridiodea
Famili : Ascarididae
Genus : Ascaridia
Spesies : Ascaridia galli
d. Hospes dan Predileksi
Hospes dari Ascaridia galli yaitu ayam, angsa dan berbagai burung liar serta
predileksi pada dinding usus halus (Subekti dkk, 2010)
e. Siklus Hidup

Gambar 3.3 Siklus hidup Ascaridia galli (Pudjiatmoko, 2014)


Telur cacing keluar bersama tinja hospes definitif terinfeksi pada saat defekasi.
Saat berada di alam luar telur akan mengalami perkembangan yaitu di dalam telur akan
terbentuk larva, telur infeksius (telur dengan larva stadium II) akan dicapai setelah kira-
kira 10 hari dan sangat tahan terhadap pengaruh luar, dan bahkan dapat bertahan selama
tiga bulan pada tempat yang teduh tetapi cepat terbunuh dalam kekeringan, kepanasan
dan terkena sinar matahari langsung (Pudjiatmoko, 2014).
Unggas terinfeksi bila makan/minum yang tercemar telur infektif atau
termakannya cacing tanah yang sebelumnya menelan telur cacing infektif, transmisi dapat
terjadi secara mekanik langsung ke dalam usus hospes definitif. Setelah telur infeksius
tertelan, didalam saluran pencernaan hospes definitif, karena pengaruh enzem pencernaan
telur akan menetas dan terbebaslah larva stadium II. Setelah menetas, larva II akan
menetap didalam lumen usus selama 8 hari dan mengalami ekdisis (berubah) menjadi
larva III, setelah itu larva III akan masuk kedalam mukosa usus halus sampai jurang lebih
hari ke-17 berubah menjadi larva IV dan akhirnya masuk ke lumen usus dan menjadi
dewasa (6-8 minggu) (Pudjiatmoko, 2014).
.
f. Patogenesa dan Gejala Klinis
Ayam muda lebih sensitif terhadap kerusakan yang ditimbulkan Ascaridia galli.
Sejumlah kecil cacing Ascaridia galli yang berparasit pada ayam dewasa biasanya dapat
ditolerir tanpa adanya kerusakan tertentu pada usus. Infeksi Ascaridia galli dapat
menimbulkan penurunan berat badan, pada kondisi yang berat dapat terjadi penyumbatan
pada usus. Ayam yang terinfeksi Ascaridia galli dalam jumlah besar akan kehilangan
darah, mengalami penurunan kadar gula darah, peningkatan asam urat, atrofi timus,
gangguan pertumbuhan, dan peningkatan mortalitas. Umur hospes dan derajat keparahan
infeksi oleh Ascaridia galli memegang peranan penting dalam kekebalan terhadap cacing
tersebut. Infeksi A. galli menyebabkan penurunan berat badan yang signifikan. Hal ini
disebabkan karena ascaridiosis dapat mengganggu efisiensi absorpsi nutrisi yang
berlangasung di dalam usus halus ayam petelur. Sifat penyakit parasitik cacing A. galli
biasanya berjalan kronis sehingga menimbulkan gejala sakit yang perlahan atau subklinis.
Kecacingan tidak menyebabkan mortalitas tetapi menghasilkan morbiditas (Zalizar dkk.,
2006).
Gejala klinis yang terjadi pada infeksi cacing A. galli tergantung pada tingkat
infeksi. Pada infeksi berat akan terjadi mencret berlendir, selaput lender pucat,
pertumbuhan terhambat, kekurusan , kelemahan umum dan penurunan produksi telur.
Penyakit cacing oleh Ascaridia galli menyebabkan kerugian ekonomi yang cukup besar
bagi peternak. Cacing dewasa hidup di saluran pencernaan, apabila dalam jumlah besar
maka dapat menyebabkan sumbatan dalam usus. Penjelasan selanjutnya menyebutkan
bahwa kerugian disebabkan oleh karena cacing menghisap sari makanan dalam usus
ayam yang ditumpangi sehingga ayam akan menderita kekurangan gizi. Apabila cacing
genus Ascaris yang ditemukan dalam usus halus terlalu banyak, ayam akan menjadi
kurus.
Hal ini terjadi karena cacing yang memenuhi usus akan menghambat jalannnya
makanan, bahkan cacing mengeluarkan zat antienzim yang menyulitkan pencernaan
makanan (Balqis dkk, 2011).

g. Diagnosa dan Differential diagnosa


Ascariasis dapat menyebabkan gejala klinis umum berupa anemia, diare, lesu
sehingga terdapat beberapa penyakit yang dapat menjadi diferensial diagnosanya seperti
infeksi cacing Capillaria sp, Dyspharynx, Tetrameres, Cestodosis, dan Plasmodiosis
(Permin, 2002).
h. Pencegahan dan pengobatan
Terapi yang dapat diberikan adalah dilakukan pemberian piperazine.
Antihelmentik ini sangat efektif, dapat diberikan melalui makanan atau minuman. Dosis
pemberiannya 300-440 mg per kg pakan atau 440 mg piperazine sitrat per liter. Selain itu
dapat digunakan juga hygromisin B dosis 8gr per ton selama 8 minggu. Albendazol dosis
3,75 mg/kg bb, febedazol dosis 15-20 mg/kg bb selama 3 hari berturut-turut dapat
digunakan memberantas infestasi cacing pada ayam atau 30-60 ppm dalam pakan selama
6 hari berturut- turut, levamisol 37,4 mg/kg dlam air minum atau makanan. Satu kaplet
untuk 10 ekor ayam yang beratnya 1 kg dilarutkan dalam air 2 liter melalui minum atau
dihancurkan dalam makanan 1 kg (Pudjiatmoko, 2014).

3.1.2 Capilaria retusa.


a. Signalement
Jenis sampel : Feses Ayam
Asal sampel : Malang
Tanggal pengambilan : 19 Agustus 2018
Tanggal pengujian : 21 Agustus 2018
Media pengawet : Formalin 10%
Anamnesa
Ayam terlihat lemas dan kurus.

b. Pemeriksaan Laboratorium
Gambar 3.4 Telur Capilaria retusa. dengan perbesaran 400x (dokumentasi pribadi, 2018)
c. Klasifikasi dan Morfologi
Berikut merupakan klasifikasi dari cacing Capillaria retusa:
Kingdom : Animalia
Filum : Nematoda
Kelas : Adenophorea
Subklas : Enoplia
Ordo : Trichurida
Famili : Capillaridae
Genus : Capillaria
Spesies : Capillaria retusa
Genus Capillaria sp. sangat mirip dengan Trichuris sp. namun cacing Capillaria
sp. lebih ramping, bagian posterior dari tubuh cacing tidak lebih ramping dibanding
bagian anterior. Cacing dewasa jantan memiliki panjang 11-13 mm dan diameter 50-
75 mikron. Panjang betina 18-25 mm dan diameter 80-116 mikron uterus berisi telur
atau larva.
Telur Capillaria sp. berukuran 45-52 x 21-30 mikron. Karakteristik telur mirip dengan
Trichuris sp. berbentuk pipih dengan tonjolan di kedua kutubnya dan memiliki
membran tebal (Junquera, 2007)
d. Hospes dan Predileksi
Hospes Capillaria retusa dapat hidup pada sekum unggas.
e. Siklus Hidup
Siklus hidup nematoda mengikuti pola standar yang terdiri dari telur, empat
stadium larva, dan cacing dewasa. Larva cacing nematoda biasa disebut juvenile
karena cacing ini mirip dengan cacing dewasa. Nematoda kadang- kadang mempunyai
induk semang antara tergantung pada jenisnya. Jika tidak terdapat induk semang
antara, siklus hidup disebut langsung, sedangkan jika memiliki induk semang antara,
siklus hidup disebut tidak langsung (Kamaruddin, 2003). Siklus hidup nematoda
dimulai dari telur yang dihasilkan oleh cacing betina dewasa dalam inang definitif dan
dikeluarkan bersama feses. Telur berembrio akan berkembang menjadi Larva 1 (L1),
yang kemudian berkembang menjadi Larva 2 (L2) yang terlindungi oleh kulit
(cuticle). Larva 2 (L2) akan berkembang menjadi Larva 3 (L3) yang merupakan fase
infektif. Perkembangan telur menjadi larva infektif tergantung pada temperatur. Pada
kondisi di bawah normal (kelembaban tinggi dan temperature hangat), proses
perkembangan memerlukan waktu 7-10 hari. Hewan terinfeksi dengan menelan Larva
3 (L3). Sebagian besar larva tertelan saat merumput dan masuk ke dalam abomasum
(ruminansia) atau usus. Beberapa hari berikutnya Larva 3 (L3) menetas menjadi Larva
4 (L4) dan dikelilingi membran mukosa (di dalam kelenjar lambung). Setelah 10-14
hari.
f. Gejala Klinis
Tanda klinis dari infeksi penurunan berat badan, terhambatnya pertumbuhan,
turunnya produksi susu pada ternak yang menyusui serta penurunan daya tahan tubuh
terhadap serangan penyakit. Tanda klinis hewan yang terserang cacing nematoda
adalah kurus, bulu kusam, tidak nafsu makan, diare terutama pada musim hujan serta
kematian yang akut pada hewan-hewan muda (Beriajaya dan Priyanto, 2004).
g. Patogenesa
Rumput dan air minum yang terkontaminasi larva cacing kemudian termakan
oleh hewan, di dalam tubuh induk semang larva berkembang menjadi cacing dewasa
dan akan berpindah menuju organ yang sesuai untuk berkembangbiak. Cacing dewasa
dalam usus akan berkembang dengan menyerap sari makanan dari induk semang
(Anonim, 2012). Cacing nematoda juga menghisap darah atau cairan tubuh dan
bahkan memakan jaringan tubuh. Sebagian besar nematoda dalam usus bisa
menyebabkan obstruksi (Setiawan, 2008).
h. Pengobatan dan Pengendalian
Pengobatan pada hewan yang telah terinfeksi Capillaria sp. yaitu pemberian
levamisole pada air minum atau benzimidazole yang dicampurkan pada pakan. Di
Indonesia obat untuk terapi akibat nematode yang paling banyak digunakan adalah
dari golongan benzimidazole karena mudah didapat dan efektivitasnya baik (Astiti,
dkk., 2011). Pencegahan dalam kasus capillariasis dapat dilakukan dengan cara
melakukan sanitasi yang baik dan benar untuk mengeliminasi telur cacing Capillaria
sp.

3.2 Arthropoda
3.2.1 Culex sp.
a. Signalement
Jenis sampel : Nyamuk
Asal sampel : Mulyorejo, Surabaya
b. Pemeriksaan Laboratorium

Gambar 3.5 Culex sp. (dokumentasi pribadi, 2018)


c. Klasifikasi dan Morfologi
Pemeriksaan artrhopoda nyamuk Culex dilakukan dengan menggunakan
metode pinning. Berdasarkan metode tersebut dapat dipelajari mengenai morfologi
tubuh nyamuk sehingga dapat dengan mudah dalam mengidentifikasi spesies, siklus
hidup, morfoligi, hospes, dan patogenesa. Klasifikasi ilmiah C. quinquefasciatus
menurut Urquhart et al., (1996) adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Insecta
Ordo : Diptera
Family : Culicidae
Genus : Culex
Spesies : Culex sp
Nyamuk Culex sp memiliki kebiasaan yang berbeda dengan Aedes Aegepty,
bila Aedes aegepty suka hidup pada air bersih maka Culex sp menyukai air yang
kotor seperi genangan air, limbah pembuangan mandi, selokan dan sungai yang
penuh sampah. Culex merupakan nyamuk yang memiliki ciri fisik coklat keabu-
abuan ini mampu berkembang biak disegala musim. Hanya saja jumlahnya menurun
saat musim hijan karena jentik-jentiknya terbawa arus. Culex melakukan kegiatannya
dimalam hari. Culex sp adalah genus dari nyamuk yang berperan sebagai vector
penyakit yang penting seperti West Nile Virus, Filariasis, Japanese enchepalitis, St
Louis encephalitis. Nyamuk dewasa dapat berukuran 4 – 10 mm (0,16 – 0,4 inci),
dalam morfologinya nyamuk memiliki tiga bagian tubuh umum yaitu kepala, dada,
dan perut. Nyamuk Culex yang banyak di temukan di Indonesia yaitu jenis Culex
quinquefasciatus.
Nyamuk mempunyai beberapa ciri yaitu tubuhnya dibedakan atas kaput,
toraks, abdomen dan mempunyai 3 pasang kaki dan sepasang antena. Satu pasang
sayap dan halter menempatkan nyamuk dalam ordo Diptera. Sisik pada sayap dan
adanya alat mulut yang panjang seperti jarum menempatkan nyamuk ke dalam
familia Culicidae (Borror dkk., 1992). Genus Culex dicirikan dengan bentuk
abdomen nyamuk betina yang tumpul pada bagian ujungnya.Kepala Culex umumnya
bulat atau sferik dan memiliki sepasang mata, sepasangantena, sepasang palpi yang
terdiri atas 5 segmen dan 1 probosis antena yang terdiri atas 15 segmen.
Berbeda dengan 6 Aedes,pada genus Culex tidak terdapatrambut pada spiracular
maupun pada post spiracular.Panjang palpus maxillaries nyamuk jantan sama dengan
proboscis. Bagian toraks nyamuk terdiri atas 3 bagian yaitu protoraks,
mesotoraks dan metatoraks. Bagian metatoraks mengecil dan terdapat sepasang
sayap yang mengalami modifikasi menjadi halter. Abdomen terdiri atas segmen
tanpa bintik putih di tiap segmen.
Ciri lain dari nyamuk Culex adalah posisi yang sejajar dengan bidang
permukaan yang dihinggapi saat istirahat atau saat menusuk dengan kaki belakang
yang sedikit terangkat (Setiawati, 2000).Genus Culex dikenali dengan struktur
sketelumnya yang trilobus, ujung abdomen yang tumpul dan badannya yang
penuh dengan sisik-sisik. Selain itu, struktur yang membedakan genus ini dengan
genus yang lain adalah struktur yang disebut pulvilus yang berdekatan dengan
kuku diujung skaki nyamuk (Setiawati, 2000). Nyamuk Culex quinquefasciatus
berwarna coklat, berukuran sedang,dengan bintik-bintik putih di bagian dorsal
abdomen. Sedangkan kaki danproboscis berwarna hitam polos tanpa bintik-
bintik putih. Spesies ini sulit dibedakan dengan nyamuk genus Culex lainnya.
d. Siklus Hidup
1. Telur
Seekor nyamuk betina mampu meletakan 100-400 butir telur. Setiap spesies
nyamuk mempunyai kebiasaan yang berbeda-beda. Nyamuk Culex sp meletakan
telurnya diatas permukaan air secara bergelombolan dan bersatu membentuk rakit
sehingga mampu untuk mengapung.
2. Larva
Setelah kontak dengan air, telur akan menetas dalam waktu 2-3 hari. Pertumbuhan
dan perkembangan larva dipengaruhi oleh faktor temperature, tempat perindukan
dan ada tidaknya hewan predator. Pada kondisi optimum waktu yang dibutuhkan
mulai dari penetasan sampai dewasa kurang lebih 5 hari.
3. Pupa
Pupa merupakan stadium terakhir dari nyamuk yang berada di dalam air, pada
stadium ini tidak memerlukan makanan dan terjadi pembentukan sayap hingga
dapat terbang, stadium kepompong memakan waktu lebih kurang satu sampai dua
hari. Pada fase ini nyamuk membutuhkan 2-5 hari untuk menjadi nyamuk, dan
selama fase ini pupa tidak akan makan apapun dan akan keluar dari larva menjadi
nyamuk yang dapat terbang dan keluar dari air.

4. Dewasa
Setelah muncul dari pupa nyamuk jantan dan betina akan kawin dan nyamuk
betina yang sudah dibuahi akan menghisap darah waktu 24-36 jam. Darah
merupakan sumber protein yang esensial untuk mematangkan telur.
Perkembangan telur hingga dewasa memerlukan waktu sekitar 10 sampai 12 hari.

Nyamuk Culex sp betina dapat meletakkan telur sampai 100 butir setiap datang
waktu bertelur. Telur – telur tersebut diletakkan diatas permukaan air dalam keadaan
menempel pada dinding vertical bagian dalam tempat – tempat penampungan air .
Nyamuk Culex sp betina lebih menyukai tempat penampungan air yang tertutup longgar
untuk meletakkan telurnya dibandingkan dengan tempat penampunga air yang terbuka,
karena tempat penampungan air yang tertutup longgar tutupnya jarang dipasang dengan
baik sehingga mengakibatkan ruang didalamnya lebih gelap (Sumarmo,1988). Telur
akan menetas dalam waktu 1-3 hari pada suhu 30o C, sementara pada suhu 16o C telur
akan menetas dalam waktu 7 hari. Telur dapat bertahan tanpa media air dengan syarat
tempat tersebut lembab.
Telur dapat bertahan sampai berbulan – bulan pada suhu -2o C sampai 42o C.
Stadium larva berlangsung selama 6-8 hari. Stadium larva terbagi menjadi 4
tingkatanperkembangan atau instar. Instar I terjadi setelah 1-2 hari telur menetas, Instar
II terjadi setelah 2-3 hari telur menetas, instar III terjadi setelah 3-4 hari telur menetas
dan instar IV terjadi setelah 4-6 hari telur menetas. Stadium pupa terjadi seteah 6 -7 hari
telur menetas. Stadium pupa berlangsung selama 2 -3 hari.
Lama waktu stadium pupa dapat diperpanjang dengan menurunkan suhu pada
tempat perkembangbiakan, tetapi pada suhu yang sangat rendah dibawah 10o C pupa
tidak mengalami perkembangan.(Upik Kesumawati Hadi dan Susi Soviana ,2000).
Stadium dewasa terjadi setelah 9 – 10 hari telur menetas. Meskipun umur nyamuk Culex
sp betina di alam pendek yaitu kira – kira2 minggu, tetapi waktu tersebut cukup bagi
nyamuk Culex sp. Betina untuk menyebarkan virus dengue dari manusia yang terinfeksi
ke manusia yang lain (Soedarto, 1992).
Pupa-Pupa merupakan stadium terakhir dari nyamuk yang berada di dalam air, pada
stadium ini tidak memerlukan makanan dan terjadi pembentukan sayap hingga
dapatterbang, stadium kepompong memakan waktu lebih kurang satu sampai dua hari.
Pada fase ini nyamuk membutuhkan 2-5 hari untuk menjadi nyamuk, dan selama faseini
pupa tidak akan makan apapun dan akan keluar dari larva menjadi nyamuk yangdapat
terbang dan keluar dari air.
Setelah muncul dari pupa nyamuk jantan dan betina akan kawin dan
nyamuk betina yang sudah dibuahi akan menghisap darah waktu 24-36 jam. Darah
merupakan sumber protein yang esensial untuk mematangkan telur. Perkembangan
telur hingga dewasa memerlukan waktu sekitar 10 sampai 12 hari.
e. Pengobatan dan Pencegahan
Pencegahan nyamuk dapat dibagi menjadi tiga yaitu :
1. Pencegahan secara mekanik
Cara ini dapat di lakukan dengan mengubur kaleng-kaleng atau tempat-tempat
sejenis yang dapat menampung air hujan danmembersihkan lingkungan yang
berpotensial di jadikan sebagai sarang nyamuk Culex sp misalnya got dan potongan
bambu. Pengendalian mekanis lain yang dapat dilakukan adalah pemasangan kelambu
dan pemasangan perangkap nyamuk baik menggunakan cahaya lampu dan raket
pemukul.
2. Pencegahan secara biologi
Intervensi yang di dasarkan pada pengenalan organisme pemangsa, parasit,
pesaing untuk menurunkan jumlah Culex sp. Ikan pemangsa larva misalnya ikan
kepala timah, gambusia ikan mujaer dan nila di bak dan tempat yang tidak bisa
ditembus sinar matahari misalnya tumbuhan bakau sehingga larva itu dapat di makan
oleh ikan tersebut dan merupakan dua organisme yang paling sering di gunakan.
Keuntungan dari tindakan pengendalian secara biologis mencakup tidak adanya
kontaminasi kimiawi terhadap lingkungan.
Selain dengan penggunaan organisme pemangsa dan pemakan larva nyamuk
pengendalian dapat di lakukan dengan pembersihan tanaman air dan rawa-rawa yang
merupakan tempat perindukan nyamuk, menimbun, mengeringkan atau mengalirkan
genangan air sebagai tempat perindukan nyamuk dan membersihkan semak-semak di
sekitar rumah dan dengan adanya ternak seperti sapi, kerbau dan babi dapat
mengurangi jumlah gigitan nyamuk pada manusia apabila kandang ternak di letakkan
jauh dari rumah.
3. Pencegahan secara kimia.
Penggunaan insektisida secara tidak tepat untuk pencegahan dan pengendalian
infeksi dengue harus dihindarkan. Selama periode sedikit atau tidak ada aktifitas virus
dengue, tindakan reduksi sumber larva secara rutin, pada lingkungan dapat dipadukan
dengan penggunaan larvasida dalam wadah yang tidak dapat dibuang, ditutup, diisi
atau ditangani dengan cara lain. Biasanya kalau banyak ditemukan penderita yang
didalam darahnya ditemukan microfilaria akan dilakukan pengobatan misal dengan
DEC ( Di Ethyl Carbamazine ).

3.2.2 Ctenocephalides canis.


a. Signalement
Jenis sampel : Pinjal
Ras/Breed : Anjing Shih Tzu
Asal : Klinik Ini Vet Surabaya
Tanggal koleksi : 15 Agustus 2018
Tanggal pengujian : 23 Agustus 2018
Anamnesa
Anjing beberapa hari ini sering menggaruk-garuk dan sering menggesek-gesekan
badan ke tembok.

b. Pemeriksaan laboratorium
Sampel pinjal diambil secara langsung dari rambut anjing. Pemeriksaan pinjal
dengan pemeriksaan menggunakan mikroskop .

Gambar 3.6 Ctenocephalides canis (Dokumentasi pribadi, 2018)


c. Klasifikasi dan Morfologi
Pinjal ini sangat mengganggu anjing karena dapat menjadi vector Dipylidium
caninum. Meskipun mereka memakan darah anjing, kadang-kadang juga dapat menggigit
manusia. Mereka dapat bertahan tanpa makanan selama beberapa bulan, tetapi spesies
betina harus memakan darah sebelum menghasilkan telur. Klasifikasi Ctenocephalides
canis sebagai berikut :
Filum : Arthropoda
Kelas : Insekta
Ordo : Siphonaptera
Famili : Pulicidae
Genus : Ctenocephalides
Spesies: Ctenocephalides canis
Ctenocephalides canis merupakan bagian dari ordo yang meiliki ciri tidak
bersayap, memiliki tungkai panjang, dan koksa-koksa sangat besar, Tubuh gepeng di
sebelah lateral dilengkapi banyak duri yang mengarah ke belakang dan rambut keras,
Sungut pendek dan terletak dalam lekuk-lekuk di dalam kepala, Bagian mulut tipe
penghisap dengan 3 stilet penusuk. Ctenocephalides canis memilki bentuk kepala bundar,
gigi satu dan dua tidak sama panjang. Memiliki karakteristik kepala dengan anterior kuat-
bulat, dan memiliki tibiae belakang dengan delapan takik bantalan setae. Perbedaan
antara jantan dan betina dapat dilihat dari struktur tubuhnya, yaitu jika jantan pada ujung
posterior bentuknya seperti tombak yang mengarah ke atas dan antenna lebih panjang,
sedangkan tubuh betina berakhir bulat dan antena nya lebih pendek dari jantan. Kutu
dewasa berwarna hitam kecoklatan, tapi tampak hitam kemerahan setelah makan darah.
Kutu dewasa panjangnya 3-4mm. Memiliki baik ctenidia genal dan pronatal, memiliki
mata, pada koksa kaki ke-2 (mesopleuron) ditemukan batang pleural (Houseman, 2014)..
d. Siklus hidup
Siklus hidup Ctenocephalides canis terdiri dari tahap telur, tahap larva, tahap
pupa, dan dewasa. Pada tahap dewasa adalah satu-satunya tahap kutu menghabiskan
sebagian besar waktu mereka pada sebuah host. Mereka meninggalkan tuan rumah
sesekali dan biasanya hanya ketika satu host membuat kontak dengan yang lain.
Ctenocephalides canis dewasa bertelur pada host inang. Telur berbentuk oval dengan
ukuran 0,5 mm dan bewarna putih kekuningan. Larva keluar dari telur setelah 2-6 hari,
kemudian memakan makanan berupa drah kering, feses atau bahan organik lain. periode
larva berlangsung 7-10 hari. Pada kondisi suhu dan kelembaban yang optimal (suhu dari
13 0 C ke 32 0 C dan kelembaban relatif dari 50% menjadi 92%), stadium pupa
berlangsung selama 10-17 hari. Pinjal dewasa keluar dari pupa disebabkan adanya
perubahan yang signifikan antara konsetrasi karbon dioksida dari lingkungan luar dan
getaran dari luar (Sasmita dkk., 2011).
Gambar 3.7 Siklus hidup Ctenocephalides canis (Houseman, 2014)
e. Gejala Klinis
Gangguan utama yang ditimbulkan oleh pinjal adalah gigitannya yang mengiritasi
kulit dan cukup mengganggu. Ctenocephalides canis berperan sebagai inang antara
cacing pita Dipylidium caninum dan Hymenolepis diminuta. Ctenocephalides canis juga
merupakan inang anntara cacing filaria Dipetalonemia reconditum (Hadi dan Soviana,
2010).
f. Patogenesa
Pinjal dapat mengganggu hewan baik secara langsung maupun tidak langsung.
secara langsung biasanya berupa reaksi kegatalan pada kulit dan bentuk-bentuk kelainan
kulit lainnya. Infestasi ppinjal merupakan penyebab
kelainan kulit atau dermatitis yang khas yang dikenal sebagai flea allergic dermatitis.
Reaksi ini merupakan reaksi hipersensitifitas kulit terhadap komponen antigenik yang
terdapar pada saliva pinjal. Dermatitis ini biasanya juga diperparah dengan infeksi
sekunder sehingga dermatitis yang semula berupa dermatitis miliari, hiperpigmentasi dan
hiperkeratinasi dapat berlanjut dengan alopesia difus (kegundulan) akibat penggarukan
yang berlebihan. Selain itu, pinjal Ctenocephalides canis diketahui dapat menjadi inang
perantara cacing Dypilidium caninum. Pinjal dapat terinfeksi oleh cacing ini terutama
semasa larva yang aktif makan bahan organik dari sekitar inangnya, yang dapat berupa
telur cacing pita dalam feses anjing yang mengandung cacing. Di dalam tubuh larva
pinjal, telur cacing pita menetas dan menetap dalam otot larva berupa tahap larva cacing
yang dorman (cacing gelembung). Cacing gelembung bertahan dalam tubuh pinjal hingga
pinjal mencapa dewasa dan menghinggapi inang. Apabila pinjal dewasa termakan anjing,
pinjal dapat mati akan tetapi cacing berkembang dalam tubuh pinjal akan berkembang
disaluran pencernaan anjing menjadi cacing dewasa (Levine, 2004).
g. Pencegahan dan pengobatan
Pengobatan pinjal pada anjing dan kucing Pyrethrum dan bedak derris telah
digunakan dengan hasil yang baik dan derris dapat digunakan dalam larutan air sabun
sebagai pencuci. Bila digunakan sebagai bedak, 20-30 menit. Bulu kemudian disikat
dalam keadaan hewan berdiri pada kertas, pinjal yang mati dan pingsan dikumpulkan
pada kertas dan dibakar. Insektisida-insektisida ini baik digunakan untuk pinjal pada
kucing tetapi tidak satupun mempunyai daya tahan tersisa terhadap reinfestasi. Diantara
insektisida untuk pengendalian pinjal pada anjing ialah Potassa sulphurata, Ether soap,
Pyrethrins dan Benzil benzoate. BHC sebagai bedak mengandung 0,1 % gamma isomer
atau 0,01% sebagai cucian dan derris semuanya memberikan hasil yang memuaskan
meskipun pernah terjadi kematian pada anjing muda akibat penyemprotan dengan larutan
jenuh. Pembersihan bahan-bahan yang mengandung telur, larva, dan pupa pinjal atau
kalau memungkinkan dilakukan pembakaran dan pemusnahan. Penyemprotan dengan
insektisida pada sumber yang memungkinan terjadinya reinfestasi, contoh : 0,25 %
permethrim spray disemprotkan pada kandang dan lingkungan sekitar setiap bulan
(Taylor, et al., 2007).

3.3 Protozoa
3.3.1 Eimeria sp.
a. Signalemen
Jenis sampel : Feses
Jenis hewan : Sapi
Lokasi pengambilan : Sapi Qurban milik Lab. Parasit Surabaya
Kode : 6A2, 7A2, 16A1, 1B2, 1D1
Tanggal pengambilan : Agustus 2018
Tanggal pengujian : 27, 28 dan 31 Agustus 2018
b. Anamnesa
Kondisi sapi dalam kondisi Sapi memiliki bulu sedikit kusam, nafsu makan baik.
c. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksan laboratorium yang dilakukan adalah pemeriksaan feses secara natif,
sedimen dan apung. Preparat kemudian diamati dibawah mikroskop perbesaran 400x
dan teridentifikasi protozoa intestinal yaitu Eimiria sp pada sediaan sedimen dan
apung :

B
A

Gambar 3.8 A. Eimeria sp pada sediaan sedimen . B. pada sediaan apung perbesaran
400x (Dokumentasi pribadi. 2018).

d. Klasifikasi dan Morfologi


Filum : Apicomplexa
Kelas : Sporozoa
Sub kelas : Coceidia
Ordo : Eucoceidia
Sub ordo : Eimeriina
Famili : Eimeriidae
Genus : Eimeria,
Spesies : Emeria sp. (Levine, 1985)
Ookista Emeria sp. tidak bersporulasi didalam feses unggas yang terinfeksi.
Ookista berbentuk ovid lebar dan tidak ada perbedaan nyata dari lebar kedua ujung.
Ukurannya sangat bervariasi, panjang berkisar antara 14-31 mikron, lebar 9-25
mikron, dengan ratarata panjang 23 mikron dan lebar 19 mikron. Dinding ookista
halus, tidak ada mikropil pada ujung yang lebih kecil (Tampubolon, 2004). Ookista
membutuhkan waktu untuk bersporulasi kira-kira 48 jam (1-2 hari). Ookista yang
bersporulasi mengandung empat sporokista dan masing-masing sporokista
mengandung dua sporozoit. Sporokista berbentuk tanpa residudan berukuran kira-kira
lebar 7 mikron dan panjang 11 mikron. Sporokista pada ujung yang lebih kecil
terdapat sumbat berbentuk bulat kecil yang mengisi suatu lubang pada dindingnya dan
agak menonjol keluar. Sporozoit berbentuk sosis kecil terdapat dua dalam masing-
masing sporokista dengan massa bulat hialin dekat salah satu ujungnya (Tampubolon,
2004).
e. Siklus Hidup
.

Gambar 3.9 Siklus hidup Eimeria sp. (Protozoa, 2000)


Dalam buku Soulsby (1986), koksidiosis yang disebabkan oleh Emeria sp. adalah
suatu penyakit yang ditularkan dari unggas ke unggas lain melalui ookista yang sudah
bersporulasi. Genus Eimeria umumnya mengalami perkembangan siklus hidup secara
lengkap didalam dan diluar tubuh induk semangnya. Emeria sp. Siklus reproduksinya
dapat dibagi menjadi siklus aseksual dan siklus seksual. Siklus hidup ini dikenal
dengan tiga stadium yaitu: stadium skizogoni, gametogoni, dan sporogoni. Siklus
aseksual merupakan stadium skizogoni, siklus seksual meliputi stadium gametogoni.
Sedangkan sporogoni adalah stadium pembentukan spora. Siklus aseksual dimulai dari
ookista (stadium yang sangat resisten) yang dikeluarkan bersama-sama tinja dari
unggas yang terinfeksi, ookista pada fase itu belum infektif tetapi pada kondisi
kelembapan dan kehangatan yang optimal (250C - 290C) dan oksigen yang cukup
ookista Emeria sp. akan mengalami sporulasi dalam waktu 24-48 jam dalam suhu
kamar sampai terbentuk sporokista. Ookista yang telah bersporulasi infektif tertelan
oleh ayam yang rentan sehingga terbentuk sporokista yang didalamnya terdapat
badanbadan kecil berbentuk sosis kecil yang disebut sporozoit.
Ookista yang berada didalam usus sporozoitnya akan keluar dari dinding ookista
kemudian memasuki sel-sel epitel usus. Disitulah terjadi perkembangan sporozoit lalu
menjadi skizon. Skizon lalu menghasilkan bentukbentuk kecil seperti buah pisang
yang disebut merozoit. Perkembangan dan aktivitas merozoit dalam sel-sel epitel usus
menyebabkan robeknya sel-sel epitel dan menyebabkan pembebasan merozoit-
merozoit kedalam lumen usus.
Selanjutnya merozoit bebas tersebut memasuki sel-sel epitel baru dan
membentuk skizon generasi kedua. Skizon generasi kedua ini membentuk merozoit
generasi kedua yang kemudian menjadi skizon lagi. Siklus ini diulang sampai
terbentuk merozoit generasi ketiga sehingga menyebabkan kerusakan mukosa usus.
Siklus seksual berlangsung setelah melalui siklus aseksual yaitu siklus yang ditandai
dengan dimulainya mikrogametosit dan makrogametosit.
Setelah mikrogamet dan makrogamet bertemu didalam usus, maka akan
terbentuk zigot. Dari zigot dibentuk ookista. Ookista ini akan keluar dari tubuh
bersama tinja dan membentuk sporokista, masing-masing sporokista berisi dua
sporozoit. Jika ookista yang telah bersporulasi tersebut tertelan oleh unggas yang
rentan maka terjadi infeksi. Waktu yang dibutuhkan untuk siklus hidup Eimeria pada
unggas sangat bervariasi, berkisar antara 1-5 hari (Soulsby, 1986)
f. Hospes dan Predileksi
Emeria sp. merupakan parasit intraseluler sel epitel usus, beberapa pada sel lain
seperti saluran empedu, dan ginjal. Host definitif Eimeria sp. diantaranya sapi, kerbau,
kambing, domaba, babi, anjing, kucing dan hewan peliharaan serta hewan liar
(Soulsby, 1986)..
g. Patogenesis dan Gejala Klinis
Hewan muda lebih peka dibandingkan hewan tua, tetapi umumnya tidak
menimbulkan kematian. Periode prepaten masing-masing spesies berbeda tergantung
proses perkembangan protozoa didalam sel induk semang. Rata-rata perkembangan
Eimeria selama 3 minggu tergantung spesies. Gejala klinik yang terlihat adalah
anoreksia, kemudian demam tidak begitu mencolok tetapi sedikit mengalami
peningkatan suhu tubuh yang diikuti dengan diare yang bercampur darah. Gejala
klinis 16-23 hari setelah terjadi infeksi Eimeria bovis dan Eimeria zuernii, dan 3-4 hari
pada Eimeria alabamensis. Hewan tampak anemia karena terjadi pendarahan usus.
Kematian dapat terjadi (80- 90%) pada anak sapi yang hyperesthesia, konvulsi pada
kepala dan leher. Kematian bisa terjadi 24 jam setelah gejala disentri dan gangguan
syaraf. Koksidiosis bisa embuh sendiri atau self limiting disease dan sembuh secara
spontantanpa pengobatan spesifik serta tidak terjadi reinfeksi. Waktu yang dibutuhkan
untuk kembali normal dibutuhkan waktu yang lama. Infeksi sekunder dapat terjadi dan
kejadian sering didapatkan. Gejala klinik yang ditandai diare yang bercampur darah
pada babi tidak lazim (Soulsby, 1986)..

h. Pengendalian dan Pengobatan


Hewan dengan infeksi Emeria sp. umumnya akan sembuh dengan sendirinya
kecuali jika diinfeksi dengan jenis yang sama. Sedangkan pengobatan untuk stadium
lanjut tidak efektif (Soulsby, 1986). Pengobatan pada ternak dilaporkan yang paling
efektif adalah pada awal infeksi yaitu dengan menggunakanm Amprolium dan
Sulphadimidine. Pengendalian menjaga sanitasi kandang dan melakukan
penggembalaan berpindah (Avais, et. al., 2016).
3.3.2 Plasmodium
a. Signalement

Jenis sampel : Darah


Jenis hewan : Ayam Kampung
Jenis Kelamin : Betina
Umur : 7 bulan
Asal : Ngawi
Tanggal pengambilan: 26 Agustus 2018
Tanggal pengujian : 28 Agustus 2018
b. Temuan Klinis
 Ada benjolan lunak di telapak kaki sehingga pincang
 Diare berwarna hijau
c. Diagnosa penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah pemeriksaan ulas darah dengan
pewarnaan giemsa dibawah mikroskop dengan perbesaran 1000 kali.

d. Pemeriksaan laboratorium

Gambar 3.10 Plasmodium sp. pada eritrosit ayam (Dokumentasi pribadi, 2018)
e. Klasifikasi dan Morfologi

Berikut klasifikasi Plasmodium sp. (Levine, 1985) :


Kingdom : Haemosporida
Phylum : Apicomplexa
Class : Sporozoasida
Sub-Class : Coccidiasina
Order : Eucoccidiorida
Family : Plasmodidae
Genus : Plasmodium
Species : Plasmodium sp.
Plasmodium sp. merupakan protozoa yang menyebabkan Plasmodiosis,
Penyakit ini dapat menyerang berbagai jenis hewan baik mamalia maupun unggas,
namun hanya beberapa spesies saja yang menyebabkan Plasmodiosis pada unggas
domestic. Plasmodiosis pada ayam dapat disebabkan oleh Plasmodium galinaceum
dan P. juxtanuclear, sedangkan pada kalkun disebabkan oleh P. durae. Infeksi pada
unggas komersial dapat menyebabkan mortality rate yang tinggi mencapai 80-90%.
Kejadian Plasmodiosi pada unggas terjadi di berbagai belahan dunia seperti Amerika,
Afrika, dan Asia termasuk Indonesia.

f. Siklus hidup
Plasmodium sp. adalah protozoa yang terdapat didalam darah, khususnya sel eritrosit
dari bangsa unggas. Plasmodium sp. adalah protozoa yang dapat menyebabkan
penyakit malaria. Bentuk skizogoni terdapat pada sel
darah merah hospes, sedangkan bentuk gametogoni dan sporogoni terjadi
disaluran pencernaan vektor yaitu invertebrata. Bentuk gametosit Plasmodium sp.
adalah bundar dengan pigmen bergranul yang relatif besar, sedangkan bentuk
skizonnya bundar atau tidak beraturan dan dapat menghasilkan 3 – 8 merozoit dalam
satu siklus (Lucia dkk., 2012). Plasmodium sp. berkembang biak melalui tahapaseksual
dan tahap seksual. Tahan aseksual terjadi di tubuh inang, sedangkan tahap seksual
terjadi di dalam tubuh nyamuk vektor. Nyamuk yang terinfeksi memiliki sporozoit di
kelenjar ludahnya. Saat nyamuk menghisap darah inang, sporozoit tersebut akan
menginfiltrasi sel- sel makrofag di sekitar kulit dan membentuk skizon pre eritrositik
atau yang disebut kriptozoit. Kriptozoit tersebut mengalami perkembangan membentuk
merozoit yang akan keluar ketika makrofag lisis.Merozoit yang elpas akan
menginfiltrasi kembali makrofag pada kulit atau yang disebut metakriptozoit. Sama
seperti kriptozoit, metakriptozoit juga akan mengalami perkembangan membentuk
merozoit yang akan keluar ketika makrofag lisi. Merozoit yang keluar dari
metakriptozoit akan keluar menuju sel darah merah (skizon eritrositik) dan sel- sel
tubuh yang lain (skizon ekso- eritrositik).
g. Hospes dan Predileksi
Hostpes Plasmodium sp. adalah ayam domestik dan liar. Plasmodium sp. juga dapat
menginfeksi manusia, monyet, reptil, penguin, bebek, burung kenari, elang dan merpati.
Predileksi Plasmodium sp. adalah pada sel darah merah hostpes. Protozoa darah ini
dilaporkan tersebar diseluruh dunia, kecuali bagian antartika karena tidak ditemukan
adanya vektor nyamuk pada daerah tersebut. Plasmodium sp. lebih sering ditemukan
pada negara tropis dan subtropis seperti Afrika, Asia dan Amerika utara (Ali and
Sultana, 2015).

h. Patogenesa dan Gejala Klinis


Infeksi Plasmodium sp pada ayam akan menyebabkan hemolysis intravascular,
spenomegali, glumerulonenefritis, dan hipoglikemia. Kesakitan terjadi sehubungan
masuknya toksin malaria yang diproduksi Plasmodium sp pada saat schizogoni, masuk
ke dalam aliran darah. Hancurnya sel darah merah akibat toksin dan keberadaan
Plasmodium sp itu sendiri (Taylor, et al., 2007).
Tanda-tanda pertama yang terlihat pada ayam yang terserang malaria adalah:
demam dan diare yang berwarna kehijaun. Gejala klinis lain adalah anoreksia, bulu
kusut, depresi, kelemahan, keseimbangan terganggu, berat badan menurun drastic,
anemia, kelumpuhan, dan produsi telur menurun. Kematian terjadi dua hari setelah
terlihat gejala klinis. Pada keadaan kronis terlihat pial dan jengger pucat dan diare
kehijauan. Kelumpuhan terjadi akibat blocking kapiler otak akibat proses
eksoeritrositik (Taylor, et al., 2007).
i. Diagnosa dan Differential Diagnosa
Diagnosa didasarkan pada hasil pemeriksaan parasit didalam sel darah merah.
Untuk mebedakan dengan Haemoproteus sp, pada Plasmodium sp dalam sel darah
merah dapat ditemukan merozoit ataua schizon sedangkan pada Haemoproteus sp tidak
didapatkan (Mufasirin, dkk., 2011).
j. Pencegahan dan Pengobatan
Pengobatan terhadap plasmodiosis dapat dilakukan dengan pemberian
chloroquine (dosis 5-10 mg/kg BB), dan primaquine (dosis 0,3mg/kg BB). Chloroquine
dapat diberikan melalui air minum dengan dosis 250 mg/120mL. Selain zat tersebut,
kombinasi sulfamehoxine dan sulfachloropyrazine juga dapat digunakan sebagai terapi.
Pemberian quinacrine dengan dosis 1,6 mg/kg BB per hari selama 5 hari diketahui
efektif untuk mengobati Plasmodiosis.
Pencegahan dan pengendalian Plasmodiosis pada peternakan adalah dengan
mengendalikan nyamuk sebagai vektornya. Pengendalian kimiadilakukan dengan
penggunaan larvasidal untuk membunuh jentik nyamuk, fogging, penggunaan repelan.
Pengendalian non kimia dilakukandengan pembersihan lingkungan dari sarang nyamuk,
menjaga kebersihan dan sanitasi kandang, serta penggunaan light trap.
BAB IV
PENUTUP
3.4 Kesimpulan

Berdasarkan hasil identifikasi selama kegiatan Pendidikan Profesi Dokter Hewan yang
dilaksanakan di Laboratorium Parasitologi veteriner yang ditemukan adalah sebagai berikut :
1. Helminthes I
- Hewan : Ayam
- Sampel : Saluran Pencernaan
- Metode : Apung
- Hasil : Ascaridia galli
- Diagnosis : Ascariasis
- Terapi : Piperazine, Hygromisin B, Albendazol, Febedazol
2. Helminthes II
- Hewan : Ayam
- Sampel : Feses
- Metode : Natif
- Hasil : Telur Capillaria retusa
- Diagnosis : Capillariasis
- Terapi : Levamisole dan Benzimidazole
3. Arthropoda I
- Sampel : Nyamuk
- Metode : metode pinning dan pengamatan dengan mikroskop
- Hasil : Culex sp.
- Terapi : Insektisida
4. Arthropoda II
- Hewan : Pinjal
- Sampel : rambut anjing Shih Tzu
- Metode : pengamatan mikroskop
- Hasil : Ctenocephalides canis
- Diagnosis : Flea Allergic Dermatitis
- Pengendalian : insektisida (Potassa sulphurata, Ether soap, Pyrethrins dan Benzil
Benzoate)
5. Protozoa I
- Hewan : Sapi
- Sampel : Feses
- Metode : Sedimen dan Apung
- Hasil : Eimeria sp
- Diagnosis : Eimeriasis
- Terapi : Amprolium dan Sulphadimidine.
6. Protozoa II
- Hewan : Ayam
- Sampel : darah
- Metode : ulas darah dengan pewarnaan giemsa
- Hasil : Plasmodium sp
- Diagnosis : Plasmodiosis
- Terapi : Chloroquine dan Primaquine.

4.2 Saran
Sebaiknya perlu diperhatikan proses penyimpan sampel yaitu sesuai dengan jenis sampel
yang diambil baik helminth, arthropoda maupun protozoa sehingga hasil didapatkan sesuai
dengan karateristik masing – masing sampel.
DAFTAR PUSTAKA

Bendryman, S.S., S. Koesdarto., S.M Sosiawati., Kusnoto. 2010. Buku Teks Helmintiasis
Veteriner. Surabaya: Global Persada Press.

Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2012. Manual Penyakit Hewan Mamalia.Subdit
Pengamatan Penyakit Hewan.Dirjen pertanian dan keswan Republik Indonesia. Jakarta.

Hadi, U.K. & S. Soviana. 2000. Ektoparasit. Pengenalan, Diagnosis dan Pengendaliannya.
Laboratorium Entomologi. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor.

Kusnoto, B.S.Sri, K.Setiawan, S.M.Sri. 2011. Buku Ajar Ilmu Penyakit Helmint.Cetakan I. Pusat
Penerbitan dan Percetakan UNAIR. Surabaya.

Levine ND. 1994. Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.

Levine, D.N. 1995. Protozoologi Veteriner. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Levine, N.D.1990.Buku pelajaran parasitology veteriner. Indonesia ed. Gajah Mada University
Press. Yogyakarta.
Levine, Norman D. 1995. Protozoologi Veteriner. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Sasmita, R., P. Hastutiek, A. Sunarso, dan M. Yunus. 2013. Buku Ajar Arthropoda Veteriner.
Surabaya: Airlangga University Press.

Soedarto. 2008. Pengobatan Penyakit Parasit. Jakarta : Anggota IKAPI.


Soulsby EJL. 1982. Helmints, Protozoa and Arthopoda of Domesticated Animal. 4 th edition.
London: Bailliere Tinolali.

Subekti, S,.S. Mumpuni,. S. Koesdarto. H. Puspitawati dan Kusnoto. 2011. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Helmints. Airlangga University Press. Surabaya.

Suwanti, dkk. 2011. Petunjuk dan Laporan Praktikum Ilmut Penyakit Protozoa. Petunjuk dan
Laporan Praktikum Ilmut Penyakit Protozoa. Surabaya: Fakultas Kedokteran Univeristas
Airlangga.
Suwanti, L.T., N.D.R. Lastuti, E. Suprihati dan Mufasirin. 2012. Buku Ajar Protozoologi
Veteriner. Surabaya: Airlangga University Press.

Tabbu CR. 2002. Penyakit Ayam dan Penanggulanganya. Vol 2. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
hlm. 3-9.

Taylor, M. A., Coop, R. L., and Wall, R. L. 2007. Veterinary Parasitology, 3rd Edition. Wiley-
Blackwell.

Urquhart G.M., Armour J., Duncan J.L., Dunn A.m., and Jennings F.W. 1996. Veterinary
Parasitology 2nd Edition. ELBS, England.

Urquhart G.M., Armour J., Duncan J.L., Dunn A.m., and Jennings F.W. 1996. Veterinary
Parasitology 2nd Edition. ELBS, England.

Anda mungkin juga menyukai