ROTASI PARASITOLOGI
yang dilaksanakan di
LABORATORIUM PARASITOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
Oleh :
ANALYA, S.KH
NIM. 170130100011062
Halaman
PENDAHULUAN
3.1 Helminthes
3.1.1 Ascaridia gali
a. Sinyalemen
Jenis Sampel : Saluran Pencernaan (Duodenum)
Jenis Hewan : Ayam
Asal Hewan : Pasar Wonokromo
Tanggal Pengambilan : 28 Agustus 2018
Tanggal Pengujian : 28 Agustus 2018
Anamnesa
Ayam terlihat lemas dan diare.
b. Pemeriksaan Laboratorik
Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan adanya cacing dewasa Ascaridia gali.
A B
C D
Gambar 3.1 A. Telur cacing cacing Ascaridia gali metode natif perbesaran 400x. B. Posterior
cacing Ascaradia galli. C. Anterior cacing Ascaridia galli (Dokumentasi
Pribadi,2018).
c. Klasifikasi dan Morfologi
Ascaridia galli merupakan parasit besar yang umum terdapat di dalam usus
kecil berbagai unggas peliharaan maupun unggas liar. Penyebarannya luas di seluruh
dunia. Cacing A. galli merupakan cacing terbesar dalam kelas nematoda pada unggas.
Tampilan cacing dewasa adalah semitransparan, berukuran besar, dan berwarna putih
kekuning-kuningan (Admin, 2008).
Pada bagian anterior terdapat sebuah mulut yang dilengkapi dengan tiga buah
bibir, satu bibir terdapat pada dorsal dan dua lainnya pada lateroventral. Pada kedua
sisi terdapat sayap yang sempit dan membentang sepanjang tubuh. Cacing jantan
dewasa berukuran panjang 51 – 76 mm dan cacing betina dewasa 72 – 116 mm.
Cacing jantan memiliki preanal sucker dan dua spicula berukuran panjang 1 –2,4 mm,
sedangkan cacing betina memiliki vulva dipertengahan tubuh. Telur A.galli berbentuk
oval, kerabang lembut, tidak bersegmen, dan berukuran 73–92 x 45–57µm
(Lalchhandama, 2010).
Gambar 3.2 Anterior (A) dan Posterior Ascaridia galli (B) (Schrank, 1788)
Menurut Soulsby (1982), klasifikasi A.galli adalah sebagai berikut :
Kelas : Nematoda
Subkelas : Secernentea
Ordo : Ascaridia
Superfamili : Ascaridiodea
Famili : Ascarididae
Genus : Ascaridia
Spesies : Ascaridia galli
d. Hospes dan Predileksi
Hospes dari Ascaridia galli yaitu ayam, angsa dan berbagai burung liar serta
predileksi pada dinding usus halus (Subekti dkk, 2010)
e. Siklus Hidup
b. Pemeriksaan Laboratorium
Gambar 3.4 Telur Capilaria retusa. dengan perbesaran 400x (dokumentasi pribadi, 2018)
c. Klasifikasi dan Morfologi
Berikut merupakan klasifikasi dari cacing Capillaria retusa:
Kingdom : Animalia
Filum : Nematoda
Kelas : Adenophorea
Subklas : Enoplia
Ordo : Trichurida
Famili : Capillaridae
Genus : Capillaria
Spesies : Capillaria retusa
Genus Capillaria sp. sangat mirip dengan Trichuris sp. namun cacing Capillaria
sp. lebih ramping, bagian posterior dari tubuh cacing tidak lebih ramping dibanding
bagian anterior. Cacing dewasa jantan memiliki panjang 11-13 mm dan diameter 50-
75 mikron. Panjang betina 18-25 mm dan diameter 80-116 mikron uterus berisi telur
atau larva.
Telur Capillaria sp. berukuran 45-52 x 21-30 mikron. Karakteristik telur mirip dengan
Trichuris sp. berbentuk pipih dengan tonjolan di kedua kutubnya dan memiliki
membran tebal (Junquera, 2007)
d. Hospes dan Predileksi
Hospes Capillaria retusa dapat hidup pada sekum unggas.
e. Siklus Hidup
Siklus hidup nematoda mengikuti pola standar yang terdiri dari telur, empat
stadium larva, dan cacing dewasa. Larva cacing nematoda biasa disebut juvenile
karena cacing ini mirip dengan cacing dewasa. Nematoda kadang- kadang mempunyai
induk semang antara tergantung pada jenisnya. Jika tidak terdapat induk semang
antara, siklus hidup disebut langsung, sedangkan jika memiliki induk semang antara,
siklus hidup disebut tidak langsung (Kamaruddin, 2003). Siklus hidup nematoda
dimulai dari telur yang dihasilkan oleh cacing betina dewasa dalam inang definitif dan
dikeluarkan bersama feses. Telur berembrio akan berkembang menjadi Larva 1 (L1),
yang kemudian berkembang menjadi Larva 2 (L2) yang terlindungi oleh kulit
(cuticle). Larva 2 (L2) akan berkembang menjadi Larva 3 (L3) yang merupakan fase
infektif. Perkembangan telur menjadi larva infektif tergantung pada temperatur. Pada
kondisi di bawah normal (kelembaban tinggi dan temperature hangat), proses
perkembangan memerlukan waktu 7-10 hari. Hewan terinfeksi dengan menelan Larva
3 (L3). Sebagian besar larva tertelan saat merumput dan masuk ke dalam abomasum
(ruminansia) atau usus. Beberapa hari berikutnya Larva 3 (L3) menetas menjadi Larva
4 (L4) dan dikelilingi membran mukosa (di dalam kelenjar lambung). Setelah 10-14
hari.
f. Gejala Klinis
Tanda klinis dari infeksi penurunan berat badan, terhambatnya pertumbuhan,
turunnya produksi susu pada ternak yang menyusui serta penurunan daya tahan tubuh
terhadap serangan penyakit. Tanda klinis hewan yang terserang cacing nematoda
adalah kurus, bulu kusam, tidak nafsu makan, diare terutama pada musim hujan serta
kematian yang akut pada hewan-hewan muda (Beriajaya dan Priyanto, 2004).
g. Patogenesa
Rumput dan air minum yang terkontaminasi larva cacing kemudian termakan
oleh hewan, di dalam tubuh induk semang larva berkembang menjadi cacing dewasa
dan akan berpindah menuju organ yang sesuai untuk berkembangbiak. Cacing dewasa
dalam usus akan berkembang dengan menyerap sari makanan dari induk semang
(Anonim, 2012). Cacing nematoda juga menghisap darah atau cairan tubuh dan
bahkan memakan jaringan tubuh. Sebagian besar nematoda dalam usus bisa
menyebabkan obstruksi (Setiawan, 2008).
h. Pengobatan dan Pengendalian
Pengobatan pada hewan yang telah terinfeksi Capillaria sp. yaitu pemberian
levamisole pada air minum atau benzimidazole yang dicampurkan pada pakan. Di
Indonesia obat untuk terapi akibat nematode yang paling banyak digunakan adalah
dari golongan benzimidazole karena mudah didapat dan efektivitasnya baik (Astiti,
dkk., 2011). Pencegahan dalam kasus capillariasis dapat dilakukan dengan cara
melakukan sanitasi yang baik dan benar untuk mengeliminasi telur cacing Capillaria
sp.
3.2 Arthropoda
3.2.1 Culex sp.
a. Signalement
Jenis sampel : Nyamuk
Asal sampel : Mulyorejo, Surabaya
b. Pemeriksaan Laboratorium
4. Dewasa
Setelah muncul dari pupa nyamuk jantan dan betina akan kawin dan nyamuk
betina yang sudah dibuahi akan menghisap darah waktu 24-36 jam. Darah
merupakan sumber protein yang esensial untuk mematangkan telur.
Perkembangan telur hingga dewasa memerlukan waktu sekitar 10 sampai 12 hari.
Nyamuk Culex sp betina dapat meletakkan telur sampai 100 butir setiap datang
waktu bertelur. Telur – telur tersebut diletakkan diatas permukaan air dalam keadaan
menempel pada dinding vertical bagian dalam tempat – tempat penampungan air .
Nyamuk Culex sp betina lebih menyukai tempat penampungan air yang tertutup longgar
untuk meletakkan telurnya dibandingkan dengan tempat penampunga air yang terbuka,
karena tempat penampungan air yang tertutup longgar tutupnya jarang dipasang dengan
baik sehingga mengakibatkan ruang didalamnya lebih gelap (Sumarmo,1988). Telur
akan menetas dalam waktu 1-3 hari pada suhu 30o C, sementara pada suhu 16o C telur
akan menetas dalam waktu 7 hari. Telur dapat bertahan tanpa media air dengan syarat
tempat tersebut lembab.
Telur dapat bertahan sampai berbulan – bulan pada suhu -2o C sampai 42o C.
Stadium larva berlangsung selama 6-8 hari. Stadium larva terbagi menjadi 4
tingkatanperkembangan atau instar. Instar I terjadi setelah 1-2 hari telur menetas, Instar
II terjadi setelah 2-3 hari telur menetas, instar III terjadi setelah 3-4 hari telur menetas
dan instar IV terjadi setelah 4-6 hari telur menetas. Stadium pupa terjadi seteah 6 -7 hari
telur menetas. Stadium pupa berlangsung selama 2 -3 hari.
Lama waktu stadium pupa dapat diperpanjang dengan menurunkan suhu pada
tempat perkembangbiakan, tetapi pada suhu yang sangat rendah dibawah 10o C pupa
tidak mengalami perkembangan.(Upik Kesumawati Hadi dan Susi Soviana ,2000).
Stadium dewasa terjadi setelah 9 – 10 hari telur menetas. Meskipun umur nyamuk Culex
sp betina di alam pendek yaitu kira – kira2 minggu, tetapi waktu tersebut cukup bagi
nyamuk Culex sp. Betina untuk menyebarkan virus dengue dari manusia yang terinfeksi
ke manusia yang lain (Soedarto, 1992).
Pupa-Pupa merupakan stadium terakhir dari nyamuk yang berada di dalam air, pada
stadium ini tidak memerlukan makanan dan terjadi pembentukan sayap hingga
dapatterbang, stadium kepompong memakan waktu lebih kurang satu sampai dua hari.
Pada fase ini nyamuk membutuhkan 2-5 hari untuk menjadi nyamuk, dan selama faseini
pupa tidak akan makan apapun dan akan keluar dari larva menjadi nyamuk yangdapat
terbang dan keluar dari air.
Setelah muncul dari pupa nyamuk jantan dan betina akan kawin dan
nyamuk betina yang sudah dibuahi akan menghisap darah waktu 24-36 jam. Darah
merupakan sumber protein yang esensial untuk mematangkan telur. Perkembangan
telur hingga dewasa memerlukan waktu sekitar 10 sampai 12 hari.
e. Pengobatan dan Pencegahan
Pencegahan nyamuk dapat dibagi menjadi tiga yaitu :
1. Pencegahan secara mekanik
Cara ini dapat di lakukan dengan mengubur kaleng-kaleng atau tempat-tempat
sejenis yang dapat menampung air hujan danmembersihkan lingkungan yang
berpotensial di jadikan sebagai sarang nyamuk Culex sp misalnya got dan potongan
bambu. Pengendalian mekanis lain yang dapat dilakukan adalah pemasangan kelambu
dan pemasangan perangkap nyamuk baik menggunakan cahaya lampu dan raket
pemukul.
2. Pencegahan secara biologi
Intervensi yang di dasarkan pada pengenalan organisme pemangsa, parasit,
pesaing untuk menurunkan jumlah Culex sp. Ikan pemangsa larva misalnya ikan
kepala timah, gambusia ikan mujaer dan nila di bak dan tempat yang tidak bisa
ditembus sinar matahari misalnya tumbuhan bakau sehingga larva itu dapat di makan
oleh ikan tersebut dan merupakan dua organisme yang paling sering di gunakan.
Keuntungan dari tindakan pengendalian secara biologis mencakup tidak adanya
kontaminasi kimiawi terhadap lingkungan.
Selain dengan penggunaan organisme pemangsa dan pemakan larva nyamuk
pengendalian dapat di lakukan dengan pembersihan tanaman air dan rawa-rawa yang
merupakan tempat perindukan nyamuk, menimbun, mengeringkan atau mengalirkan
genangan air sebagai tempat perindukan nyamuk dan membersihkan semak-semak di
sekitar rumah dan dengan adanya ternak seperti sapi, kerbau dan babi dapat
mengurangi jumlah gigitan nyamuk pada manusia apabila kandang ternak di letakkan
jauh dari rumah.
3. Pencegahan secara kimia.
Penggunaan insektisida secara tidak tepat untuk pencegahan dan pengendalian
infeksi dengue harus dihindarkan. Selama periode sedikit atau tidak ada aktifitas virus
dengue, tindakan reduksi sumber larva secara rutin, pada lingkungan dapat dipadukan
dengan penggunaan larvasida dalam wadah yang tidak dapat dibuang, ditutup, diisi
atau ditangani dengan cara lain. Biasanya kalau banyak ditemukan penderita yang
didalam darahnya ditemukan microfilaria akan dilakukan pengobatan misal dengan
DEC ( Di Ethyl Carbamazine ).
b. Pemeriksaan laboratorium
Sampel pinjal diambil secara langsung dari rambut anjing. Pemeriksaan pinjal
dengan pemeriksaan menggunakan mikroskop .
3.3 Protozoa
3.3.1 Eimeria sp.
a. Signalemen
Jenis sampel : Feses
Jenis hewan : Sapi
Lokasi pengambilan : Sapi Qurban milik Lab. Parasit Surabaya
Kode : 6A2, 7A2, 16A1, 1B2, 1D1
Tanggal pengambilan : Agustus 2018
Tanggal pengujian : 27, 28 dan 31 Agustus 2018
b. Anamnesa
Kondisi sapi dalam kondisi Sapi memiliki bulu sedikit kusam, nafsu makan baik.
c. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksan laboratorium yang dilakukan adalah pemeriksaan feses secara natif,
sedimen dan apung. Preparat kemudian diamati dibawah mikroskop perbesaran 400x
dan teridentifikasi protozoa intestinal yaitu Eimiria sp pada sediaan sedimen dan
apung :
B
A
Gambar 3.8 A. Eimeria sp pada sediaan sedimen . B. pada sediaan apung perbesaran
400x (Dokumentasi pribadi. 2018).
d. Pemeriksaan laboratorium
Gambar 3.10 Plasmodium sp. pada eritrosit ayam (Dokumentasi pribadi, 2018)
e. Klasifikasi dan Morfologi
f. Siklus hidup
Plasmodium sp. adalah protozoa yang terdapat didalam darah, khususnya sel eritrosit
dari bangsa unggas. Plasmodium sp. adalah protozoa yang dapat menyebabkan
penyakit malaria. Bentuk skizogoni terdapat pada sel
darah merah hospes, sedangkan bentuk gametogoni dan sporogoni terjadi
disaluran pencernaan vektor yaitu invertebrata. Bentuk gametosit Plasmodium sp.
adalah bundar dengan pigmen bergranul yang relatif besar, sedangkan bentuk
skizonnya bundar atau tidak beraturan dan dapat menghasilkan 3 – 8 merozoit dalam
satu siklus (Lucia dkk., 2012). Plasmodium sp. berkembang biak melalui tahapaseksual
dan tahap seksual. Tahan aseksual terjadi di tubuh inang, sedangkan tahap seksual
terjadi di dalam tubuh nyamuk vektor. Nyamuk yang terinfeksi memiliki sporozoit di
kelenjar ludahnya. Saat nyamuk menghisap darah inang, sporozoit tersebut akan
menginfiltrasi sel- sel makrofag di sekitar kulit dan membentuk skizon pre eritrositik
atau yang disebut kriptozoit. Kriptozoit tersebut mengalami perkembangan membentuk
merozoit yang akan keluar ketika makrofag lisis.Merozoit yang elpas akan
menginfiltrasi kembali makrofag pada kulit atau yang disebut metakriptozoit. Sama
seperti kriptozoit, metakriptozoit juga akan mengalami perkembangan membentuk
merozoit yang akan keluar ketika makrofag lisi. Merozoit yang keluar dari
metakriptozoit akan keluar menuju sel darah merah (skizon eritrositik) dan sel- sel
tubuh yang lain (skizon ekso- eritrositik).
g. Hospes dan Predileksi
Hostpes Plasmodium sp. adalah ayam domestik dan liar. Plasmodium sp. juga dapat
menginfeksi manusia, monyet, reptil, penguin, bebek, burung kenari, elang dan merpati.
Predileksi Plasmodium sp. adalah pada sel darah merah hostpes. Protozoa darah ini
dilaporkan tersebar diseluruh dunia, kecuali bagian antartika karena tidak ditemukan
adanya vektor nyamuk pada daerah tersebut. Plasmodium sp. lebih sering ditemukan
pada negara tropis dan subtropis seperti Afrika, Asia dan Amerika utara (Ali and
Sultana, 2015).
Berdasarkan hasil identifikasi selama kegiatan Pendidikan Profesi Dokter Hewan yang
dilaksanakan di Laboratorium Parasitologi veteriner yang ditemukan adalah sebagai berikut :
1. Helminthes I
- Hewan : Ayam
- Sampel : Saluran Pencernaan
- Metode : Apung
- Hasil : Ascaridia galli
- Diagnosis : Ascariasis
- Terapi : Piperazine, Hygromisin B, Albendazol, Febedazol
2. Helminthes II
- Hewan : Ayam
- Sampel : Feses
- Metode : Natif
- Hasil : Telur Capillaria retusa
- Diagnosis : Capillariasis
- Terapi : Levamisole dan Benzimidazole
3. Arthropoda I
- Sampel : Nyamuk
- Metode : metode pinning dan pengamatan dengan mikroskop
- Hasil : Culex sp.
- Terapi : Insektisida
4. Arthropoda II
- Hewan : Pinjal
- Sampel : rambut anjing Shih Tzu
- Metode : pengamatan mikroskop
- Hasil : Ctenocephalides canis
- Diagnosis : Flea Allergic Dermatitis
- Pengendalian : insektisida (Potassa sulphurata, Ether soap, Pyrethrins dan Benzil
Benzoate)
5. Protozoa I
- Hewan : Sapi
- Sampel : Feses
- Metode : Sedimen dan Apung
- Hasil : Eimeria sp
- Diagnosis : Eimeriasis
- Terapi : Amprolium dan Sulphadimidine.
6. Protozoa II
- Hewan : Ayam
- Sampel : darah
- Metode : ulas darah dengan pewarnaan giemsa
- Hasil : Plasmodium sp
- Diagnosis : Plasmodiosis
- Terapi : Chloroquine dan Primaquine.
4.2 Saran
Sebaiknya perlu diperhatikan proses penyimpan sampel yaitu sesuai dengan jenis sampel
yang diambil baik helminth, arthropoda maupun protozoa sehingga hasil didapatkan sesuai
dengan karateristik masing – masing sampel.
DAFTAR PUSTAKA
Bendryman, S.S., S. Koesdarto., S.M Sosiawati., Kusnoto. 2010. Buku Teks Helmintiasis
Veteriner. Surabaya: Global Persada Press.
Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2012. Manual Penyakit Hewan Mamalia.Subdit
Pengamatan Penyakit Hewan.Dirjen pertanian dan keswan Republik Indonesia. Jakarta.
Hadi, U.K. & S. Soviana. 2000. Ektoparasit. Pengenalan, Diagnosis dan Pengendaliannya.
Laboratorium Entomologi. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor.
Kusnoto, B.S.Sri, K.Setiawan, S.M.Sri. 2011. Buku Ajar Ilmu Penyakit Helmint.Cetakan I. Pusat
Penerbitan dan Percetakan UNAIR. Surabaya.
Levine ND. 1994. Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Levine, D.N. 1995. Protozoologi Veteriner. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Levine, N.D.1990.Buku pelajaran parasitology veteriner. Indonesia ed. Gajah Mada University
Press. Yogyakarta.
Levine, Norman D. 1995. Protozoologi Veteriner. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Sasmita, R., P. Hastutiek, A. Sunarso, dan M. Yunus. 2013. Buku Ajar Arthropoda Veteriner.
Surabaya: Airlangga University Press.
Subekti, S,.S. Mumpuni,. S. Koesdarto. H. Puspitawati dan Kusnoto. 2011. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Helmints. Airlangga University Press. Surabaya.
Suwanti, dkk. 2011. Petunjuk dan Laporan Praktikum Ilmut Penyakit Protozoa. Petunjuk dan
Laporan Praktikum Ilmut Penyakit Protozoa. Surabaya: Fakultas Kedokteran Univeristas
Airlangga.
Suwanti, L.T., N.D.R. Lastuti, E. Suprihati dan Mufasirin. 2012. Buku Ajar Protozoologi
Veteriner. Surabaya: Airlangga University Press.
Tabbu CR. 2002. Penyakit Ayam dan Penanggulanganya. Vol 2. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
hlm. 3-9.
Taylor, M. A., Coop, R. L., and Wall, R. L. 2007. Veterinary Parasitology, 3rd Edition. Wiley-
Blackwell.
Urquhart G.M., Armour J., Duncan J.L., Dunn A.m., and Jennings F.W. 1996. Veterinary
Parasitology 2nd Edition. ELBS, England.
Urquhart G.M., Armour J., Duncan J.L., Dunn A.m., and Jennings F.W. 1996. Veterinary
Parasitology 2nd Edition. ELBS, England.