Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN KEGIATAN PPDH

ROTASI DIAGNOSA LABORATORIK


yang dilaksanakan di
LABORATORIUM PARASITOLOGI FKH
UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA

Disusun oleh

FRANSISKA PANASEA ANGGY


NIM. 150130100111032

PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


PROGRAM KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2016

i
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL i
LEMBAR PENGESAHAN ii
KATA PENGANTAR iii
DAFTAR ISI iv
DAFTAR TABEL v
DAFTAR GAMBAR vi
BAB 1 PENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Rumusan Masalah
1.3. Tujuan
1.4. Manfaat
BAB 2 PELAKSANAAN KEGIATAN
2.1. Isolasi dan Identifikasi Helmintes
2.1.1. Pemeriksaan Telur Cacing Pada Feses dengan Metode
Natif
2.1.2. Pemeriksaan Telur Cacing Pada Feses dengan Metode
Sedimentasi
2.1.3. Pemeriksaan Telur Cacing Pada Feses dengan Metode
Apung
2.1.4. Pemeriksaan Saluran Pencernaan Unggas
2.1.5. Pembuatan Preparat Permanen Helmintes Kering
2.2. Isolasi dan Identifikasi Arthropoda
2.2.1. Koleksi Arthropoda
2.2.2. Pengawetan Kering Arthropoda
2.2.3. Pengawetan Basah Arthropoda
2.3. Isolasi dan Identifikasi Protozoa
2.3.1. Pemeriksaan Protozoa pada Feses dengan Metode
Natif
2.3.2. Pemeriksaan Protozoa pada Feses dengan Metode
Sedimentasi
2.3.3. Pemeriksaan Protozoa pada Feses dengan Metode
Apung
2.3.4. Pemeriksaan Protozoa pada Darah dengan Metode
Pembuatan Ulas Darah Tipis
2.3.5. Pemeriksaan Protozoa pada Darah dengan Metode
Pembuatan Ulas Darah dengan Pewarnaan Giemsa
2.3.6. Swab Kerongkongan Unggas
BAB 3 HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Helminthes
3.1.1. Ascaridia galli
3.1.2. Oesophagostomum sp.
3.2. Protozoa
3.2.1. Tetratrichomonas sp.
3.2.2. Giardia sp.
3.3. Arthropoda

2
3.3.1. Scabies scabei
3.3.2. Crysomia sp.
BAB 4 PENUTUP
4.1. Simpulan
DAFTAR PUSTAKA

3
DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman
Gambar 2.1. Bagan Struktur Organisasi Pusvetma 7
Gambar 4.1. Mekanisme Pengaduan Konsumen 20

4
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Penyakit parasiter merupakan salah satu jenis penyakit infeksius yang
disebabkan oleh agen-agen parasit seperti helmint, protozoa maupun ektoparasit.
Penyakit parasit diduga menyebabkan berbagai kerugian terutama kerugian
ekonomi pada hewan ternak. Hal ini disebabkan karena agen penyakit dapat
menimbulkan penurunan berat badan, menurunkan kemampuan reproduksi serta
biaya untuk tindakan terapi terhadap agen penyebab.
Selain berperan langsung sebagai agen penyakit, beberapa jenis parasit
juga berperan sebagai vektor baik vektor mekanik maupun vektor biologis. Vektor
inilah yang berperan menyebarkan penyakit dari hewan sakit ke hewan yang
sehat. Oleh karena itu perlu adanya pengertian dan pemahaman terhadap penyakit
parasiter pada hewan. Beberapa hal yang perlu dipahami sebagai calon dokter
hewan antara lain morfologi parasit, penentuan diagnosa, gejala klinis yang
ditimbulkan, siklus hidup serta terapi yang tepat terhadap jenis parasit tertentu.
Pemahaman tersebut berfungsi sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan
tindakan pencegahan dan pemberantasan terhadap penyakit parasiter.
Penentuan diagnosa terhadap penyakit parasit dapat dilakukan dengan
melakukan pemeriksaan klinis serta pemeriksaan laboratorium. Beberapa jenis
sampel yang dapat yang dipakai dalam pemeriksaan laboratorium yaitu feses,
darah, organ serta kerokan kulit. Pengambilan sampel didasarkan pada infestasi
parasit berupa endoparasit maupun ektoparasit.

1.2 Rumusan masalah


1. Jenis parasit apakah yang ditemukan di lapangan ?
2. Bagaimana cara isolasi dan identifikasi parasit tersebut?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui jenis parasit dan cara isolasi serta identifikasi parsit yang
berada di lingkungan peternakan.

1
1.4 Manfaat
Melalui kegiatan koasistensi rotasi diagnosa laboratorik di Laboratorium
Parasitologi FKH Unair ini diharapkan mahasiswa koasistensi dapat mengetahui
jenis parasit dan cara isolasi serta identifikasi parsit yang berada di lingkungan
peternakan.

2
BAB II
METODOLOGI

2.1 Isolasi dan Identifikasi Helmintes


Isolasi telur cacing dilakukan dengan cara mengambil sampel feses dan
dimasukkan ke dalam pot sampel yang telah ditambahkan formalin 5%.
Selanjutnya dilakukan pemeriksaan telur cacaing dengan metode sebagai berikut :

2.1.1 Pemeriksaan Telur Cacing pada Feses dengan Metode Natif


Pemeriksaan telur cacing pada feses dengan metode natif dilakukan dengan cara
sebagai berikut :
− Sampel feses dioleskan secukupnya pada objek glass steril meggunakan lidi.
− Diteteskan 1-2 tetes air pada feses tersebut, kemudian diaduk dengan lidi.
− Selanjutnya objek glass ditutup dengan cover glass dan diamati dengan
mikroskop dengan pembesaran 100x.

2.1.2 Pemeriksaan Telur Cacing pada Feses dengan Metode Sedimentasi


Pemeriksaan telur cacing pada feses dengan metode sedimentasi dilakukan
dengan cara sebagai berikut :
− Dilakukan pembuatan suspensi dengan perbandingan satu bagian feses dan 10
bagian air .
− Suspensi disaring dengan saringan teh dan filtrat yang didapat ditampung pada
gelas plastik.
− Filtrat dimasukkan ke dalam tabung, kemudian disentrifugasi dengan
kecepatan 1500 rpm selama 2-5 menit.
− Setelah disentrifuse supernatan (bagian jernih) dibuang dan diganti dengan air
kemudian dilakukan sentrifugasi ulang untuk memperoleh supernatan yang
jernih.
− Selanjutnya supernatan dibuang dan diambil sedimen yang tersisa.
− Dilakukan pengambilan sedimen menggunakan pipet Pasteur dan diteteskan
pada objek glass.

3
− Objek glass ditutup dengan cover glass dan dilakukan pengamatan
menggunakan mikroskop dengan pembesaran 100x.

2.1.3 Pemeriksaan Telur Cacing pada Feses dengan Metode Apung


Pemeriksaan telur cacing pada feses dengan metode apung dilakukan dengan cara
sebagai berikut :
− Dilakukan pembuatan suspensi dengan perbandingan satu bagian feses dan 10
bagian air
− Suspensi disaring dengan saringan teh dan filtrat yang didapat ditampung
pada gelas plastik.
− Filtrat dimasukkan ke dalam tabung, kemudian disentrifugasi dengan
kecepatan 1500 rpm selama 2-5 menit.
− Setelah disentrifuse supernatan (bagian jernih) dibuang dan diganti dengan
air kemudian dilakukan sentrifugasi ulang untuk memperoleh supernatan
yang jernih.
− Selanjutnya supernatan dibuang dan diganti larutan gula jenuh hingga 1 cm
dari mulut tabung, lalu disentrifugasi dengan cara yang sama.
− Tabung diletakkan pada rak tabung dan ditetesi dengan larutan gula jenuh
sampai cairan terlihat cembung pada mulut tabung sentrifugasi.
− Tabung ditutup dengan cover glass dan dibiarkan 1-2 menit.
− Cover glass diambil dan ditempelkan pada objek glass, kemudian diamati
menggunakan mikroskop dengan perbesaran 100x.

2.1.4 Pemeriksaan Saluran Pencernaan Unggas


Pemeriksaan saluran pencernaan unggas dilakukan dengan cara sebagai berikut :
− Saluran pencernaan yang disediakan diuraikan hingga membentuk saluran
yang panjang.
− Saluran pencernaan kemudian dibedah menggunakan scalpel dan atau gunting
untuk menemukan cacing pada masing masing bagian.
− Cacing yang ditemukan pada masing masing bagian disimpan pada larutan
PZ. Cacing yang ditemukan kemudian dibagi menjadi dua untuk pembuatan
preparat kering / preparat permanen dan preparat basah.

4
− Dilakukan kerokan / scraping pada mukosa usus menggunakan scalpel untuk
menemukan adanya telur cacing.
− Dilakukan pula pengambilan sampel feses pada masing masing bagian
saluran pencernaan dan dilakukan pemeriksaan telur cacing menggunakan
tiga metode tersebut diatas.
− Cacing di temukan selanjutnya diidentifikasi.

2.1.5 Pembuatan Preparat Permanen Helminthes Kering


Pembuatan preparat permanen helminthes kering dilakukan dengan cara sebagai
berikut :
− Cacing yang ditemukan pada pembedahan saluran pencernaan difiksasi
dengan cara menjepit cacing diantara dua objek glass. Kedua ujung objek
glass diikat dengan tali rafia.
− Objek glass dan cacing dimasukkan ke dalam larutan alcohol gliceryn 5%
selama 24 jam.
− Kemudian objek glass dan cacing dimasukkan ke dalam alcohol 70% selama
5 menit.
− Objek glass dan cacing dipindahkan ke dalam larutan carmine selama ±8 jam
tergantung ketebalan kutikula cacing.
− Cacing dilepaskan dari fiksasi dan dimasukkan ke dalam alcohol asam selama
2 menit, kemudian dipindahkan ke dalam larutan alcohol basa selama 20
menit.
− Selanjutnya dilakukan dehidrasi bertingkat dengan alcohol, dengan
dimasukkan dalam alkohol 70% selama 5 menit, alkohol 85% selama 5 menit,
dan alkohol 95% selama 5 menit.
− Dilakukan mounting dengan larutan Hung's I selama 20 menit.
− Cacing diambil dari larutan Hung's I, diletakkan pada objek glass yang bersih
dan diteteskan larutan Hung's II diatas cacing tersebut, kemudian ditutup
dengan cover glass.
− Preparat permanen dikeringkan dalam inkubator pada suhu 370 C, dan
dikeringkan pada suhu ruangan.
− Preparat cacing permanen diamati menggunakan mikroskop.

5
2.2 Isolasi dan Identifikasi Arthropoda
2.2.1.Koleksi Arthropoda
Koleksi arthropoda dilakukan dengan cara sebagai berikut :
- Koleksi lalat dilakukan menggunakan alat berupa jaring insekta.
- Koleksi kutu dilakukan dengan memeriksa bulu secara teliti.
- Koleksi pinjal dilakukan dengan memeriksa bulu secara teliti
- Pengumpulan tungau dilakukan dengan cara mengerok kulit hewan hingga
timbul perembesan darah. Kerokan kulit dicampur dengan formalin 5% untuk
diawetkan dalam keadaan basah, sedangkan untuk pemeriksaan langsung
kerokan kulit dicampur KOH 10% selama 5 menit kemudian ditutup dengan
cover glass dan diamati menggunakan mikroskop.
- Pengumpulan caplak dilakukan dengan memeriksa bulu secara teliti.

2.2.2. Pengawetan Kering Arthropoda


Pengawetan kering dilakukan dengan metode pinning. Pinning dilakukan dengan
langkah-langkah sebaagai berikut:
− Arthropoda dimatikan dengan menggunakan chloroform.
− Sayap arthropoda dikembangkan dan kaki ditata untuk mempermudah
pengamatan.
− Dilakukan penusukan pada bagian thorax diantara sayap dan garis tengah
tubuh arthropoda.
− Lalat yang telah di pinning ditusukkan pada pinning blok (sterofoam).
− Untuk Arthropoda kecil diletakkan di atas ujung kerjas segitiga dan ditempel
menggunakan canada balsem. Pin dilakukan pada kertas tersebut.
− Selanjutnya dilakukan identifikasi dengan menggunakan stereo mikroskop
atau loop mikroiskop.
− Hasil identifikasi arthropoda ditandai dengan pemberian label (nama
spesies/genus, predileksi/inang, nama kolektor, tanggal dan lokasi
pengambilan)
− Arthropoda dikeringkan dalam oven 50-600 C selama 24 jam.
− Penyimpanan hasil pinning dengan cara meletakkan blok pinning pada kotak
penyimpanan yang telah diberikan kapur barus.

6
2.2.3 Pengawetan Basah Arthropoda
Pengawetan basah arthropoda dapat dilakukan dengan pengawetan permanen
dengan pewarnaan dan pengawetan permanen tanpa pewarnaan. Langkah
pengawetan basah arthropoda adalah sebagai berikut :
a. Pengawetan Arthropoda Permanen tanpa Pewarnaan
− Arthropoda dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi KOH 10%
kemudian dipanaskan dalam air yang mendidih selama 1 jam atau lebih
hingga arthropoda tampak transparan.
− Arthropoda selanjutnya dimasukkan ke dalam alkohol dengan konsentrasi
berturut-turut 30, 50, 70, 95, 96% masing-masing 3 menit selanjutnya
dicelupkan ke dalam xylol dalam waktu 1 menit.
− Arthropoda diangkat dan diletakkan di atas objek glass dan direkatkan dengan
pemberian canada balsem selanjutnya ditutup dengan cover glass.
− Preparat diberi label dan diinkubasi dalam inkubator untuk dikeringkan
− Preparat diamati menggunakan mikroskop dengan perbesaran 40-100X
b. Pengawetan Arthropoda Permanen dengan Pewarnaan
− Arthropoda dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi KOH 10%
kemudian dipanaskan dalam air yang mendidih selama 1 jam atau lebih
hingga arthropoda tampak transparan.
− Arthropoda dicuci dengan aquadest sebanyak 2X.
− Selanjutnya direndam dalam alkohol 95% selama 10 menit.
− Arthropoda dipidahkan ke dalam acid fuchsin selama 30 menit.
− Dilanjutkan dengan perendaman dalam alkohol 95% selama 2 menit.
− Arthropoda dipindahkan ke dalam alkohol 95% + xylol dengan perbandingan
sama banyak selama 5 menit.
− Dilanjutkan dengan perendaman pada xylol selama 1 menit.
− Arthropoda yang telah diwarnai diletakkan di atas objek glass, direkatkan
menggunakan canada balsem dan ditutup menggunakan cover glass.
− Preparat yang telah jadi diberi label dan diinkubasi pada incubator selama
24-48 jam
− Preparat yang telah kering diamati menggunakan mikroskop dengan
perbesaran 40-100X.

7
2.3 Isolasi dan Indentifikasi Protozoa
Isolasi sampel feses untuk pemeriksaan protozoa dilakukan dengan cara
mengambil sampel feses dan dimasukkan ke dalam pot sampel tanpa
menambahkan apapun. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan telur cacaing dengan
metode sebagai berikut :

2.3.1.Pemeriksaan Protozoa pada Feses dengan Metode Natif


Pemeriksaan protozoa pada feses dengan metode natif dilakukan dengan cara
sebagai berikut:
− Pada objek glass diteteskan 1 tetes air dan ditambahkan sedikit feses
selanjutnya dicampurkan keduanya hingga merata
− Objek glass ditutup dengan cover glass dan diamati menggunakan mikroskop
dengan perbesaran 400-1000x.

2.3.2.Pemeriksaan Protozoa pada Feses dengan Metode Sedimen


Pemeriksaan protozoa pada feses dengan metode sedimen dilakukan dengan cara
sebagai berikut
− Dilarutkan 1 bagian feses dengan 10 bagian air, kenudian disaring larutan
feses dengan saringan (kain kasa)
− Filtrat hasil saringan dimasukkan ke dalam tabung sentrifus dan dilakukan
sentrifugasi 1500 rpm selama 5-10 menit.
− Supernatan hasil sentrifugasi dibuang dan ditambahkan air dalam jumlah
yang sama. Dilakukan sentrifugasi ulang kemudian dibuang lagi
supernatannya.
− Apabila telah mendapatkan supernatant yang bersih, supernatant dibuang dan
disisakan sedikit cairan pada tabung.
− Diambil satu tetes cairan dan diteteskan di atas objek glass selanjutnya
ditutup dengan cover glass.
− Dilakukan pengamatan menggunakan mikroskop dengan perbesaran
400-1000x.

8
2.3.3.Pemeriksaan Protozoa pada Feses dengan Metode Apung
Pemeriksaan protozoa pada feses dengan metode apung dilakukan dengan cara
sebagai berikut :
− Dilakukan pembuatan suspensi dengan perbandingan satu bagian feses dan 10
bagian air
− Suspensi disaring dengan saringan teh dan filtrat yang didapat ditampung
pada gelas plastik.
− Filtrat dimasukkan ke dalam tabung, kemudian disentrifugasi dengan
kecepatan 1500 rpm selama 2-5 menit.
− Setelah disentrifuse supernatan (bagian jernih) dibuang dan diganti dengan
air kemudian dilakukan sentrifugasi ulang untuk memperoleh supernatan
yang jernih.
− Selanjutnya supernatan dibuang dan diganti larutan gula jenuh hingga 2/3
tabung, lalu disentrifugasi dengan cara yang sama.
− Tabung diletakkan pada rak tabung dan ditetesi dengan larutan gula jenuh
sampai cairan terlihat cembung pada mulut tabung sentrifugasi.
− Tabung ditutup dengan cover glass dan dibiarkan 1-2 menit.
− Cover glass diambil dan ditempelkan pada objek glass, kemudian diamati
menggunakan mikroskop dengan perbesaran 400-1000X.

2.3.4 Pemeriksaan Protozoa Darah dengan Metode Pembuatan Ulas Darah


Tipis
Metode pembuatan ulas darah tipis untuk pemeriksaan protozoa darah dilakukan
dengan cara sebagai berikut :
− Disiapkan dua objek glass untuk tempat darah dan objek glass untuk
penggulas darah.
− Diteteskan satu tetes darah pada ujung objek glass pertama .
− Dilakukan pengulasan menggunakan objek glass pengulas dengan cara
membentuk sudut 30-450 pada salah satu ujung objek glass dan didorong ke
ujung satunya.
− Semakin tipis ulasan yang diperoleh akan semakin baik hasil yang didapat.
Hasil ulasan dikeringanginkan pada suhu ruang.

9
− Ulasan darah diamati menggunakan mikroskop dengan perbesaran 40-100x.

2.3.5.Pemeriksaan Protozoa Darah dengan Metode Pembuatan Ulas Darah


dengan Pewarnaan Giemsa
Pemeriksaan protozoa darah menggunakan teknik ulas darah dengan pewarnaan
giemsa dilakukan dengan tahapan sebagai berikut :
− Ulas darah yang telah kering difiksasi dengan methanol (methil alkohol
absolut) selama 3 menit.
− Dilanjutkan dengan memasukkan objek glass ulas darah ke dalam larutan
giemsa 10-20% selama 30 menit. Semakin tinggi konsentrasi larutan giemsa,
semakin pendek waktu pengecatan.
− Preparat diangkat dan dicuci dengan air. Pencucian dilakukan dengan cara
mengalirkan air.
− Preparat dikeringanginkan dengan cara meletakkan objek glass pada posisi
berdiri pada bidang miring
− Preparat yang telah kering diamati menggunakan mikroskop dengan
perbesaran 400-1000x dengan menambahkan minyak emersi.

2.3.6.Swab Kerongkongan Unggas


Swab kerongkongan unggas dilakukan untuk mendiagnosa keberadaan
Trichomoniasis. Pemeriksaan swab kerongkongan dilakukan dengan cara sebagai
berikut :
− Kerongkongan unggas yang didiagnosa trichomoniasis di swab menggunakan
cotton buds steril yang telah dicelupkan ke dalam NaCl fisiologis.
− Hasil swab pada cotton buds dicelupkan ke dalam cawan petri yang berisi
NaCl fisiologis, selanjutnya dilakukan homogenisasi.
− Untuk pemeriksaan lebih lanjut diambil satu tetes homogenate dari cawan
petri dan diteteskan di atas objek glass.
− Objek glass ditutup dengan cover glass dan diamati menggunakan mikroskop
dengan perbesaran 400-1000x. Hasil positif bila ditemukan pergerakan
flagella Trichomonas sp.

10
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Helminthes
3.1.1. Ascaridia galli
a. Penyebab dan Morfologi
Ascaridia galli merupakan cacing golongan nematoda yang dapat
menyebabkan ascaridiasis pada ayam. Menurut Soulsby (1982), klasifikasi
cacing A. galli adalah sebagai berikut:
Kelas : Nematoda
Sub kelas : Secernentea 
         Ordo : Ascaridia
Superfamili  : Ascaridiodea 
         Famili : Ascarididae
Genus : Ascaridia 

Gambar 3.1. Telur cacing Ascaridia galli

Ascaridia galli merupakan parasit besar yang umum terdapat di dalam


usus kecil berbagai unggas peliharaan maupun unggas liar. Penyebarannya
luas di seluruhdunia. Cacing A. galli merupakan cacing terbesar dalam kelas
nematoda pada unggas. Tampilan cacing dewasa adalah semitransparan,
berukuran besar, dan berwarna putih kekuning-kuningan. Mulut cacing ini
dilengkapi dengan tiga bibir yaitu satu bibir di bagian dorsal dan dua bibir
lainnya di bagian latero ventral. Pada kedua sisi terdapat sayap yang sempit
dan membentang sepanjang tubuh. Panjang cacing jantan 50 -76 mm
sedangkan panjang cacing betina 72 – 116 mm. Bagian posterior dari cacing
jantan memiliki alae yang jelas, dilengkapi dengan papil sebanyak 10

11
pasang dan alat penghisap prekloaka serta dua spikula langsing panjang.
Vulva cacing petina terletak sedikit anterior pada bagian tengah tubuh.
Bentuk telur oval, berdinding rata, tidak bersegmen serta belum berkembang
saat dikeluarkan bersama feses dengan ukuran 73 – 93 µm x 45 – 57 µm
(Koesdarto dkk, 2007).

b. Siklus Hidup dan Cara Penularan


Daur hidup A. galli bersifat langsung dan tidak langsung. Telur
infektif yang termakan oleh induk semang akan menetas di dalam
proventrikulus (lambung kelenjar) atau di dalam duodenum. Untuk
berkembang menjadi cacing dewasa, telur nematoda ini akan mengalami
empat tingkatan molting.
Telur A. Galli yang dikeluarkan bersama feses hospes definitif akan
berkembang menjadi stadium infektif (telur infektif) dalam waktu ± 10 hari
di udara terbuka. Perkembangan selanjutnya telur menjadi larva stadium II
yang sangat kuat (resisten) dalam kondisi yang tidak menguntungkan. Pada
stadium II ini, larva mampu bertahan hidup lebih dari 3 bulan di tempat
yang teduh namun akan segera mati bila keadaan kering dan cuaca panas
sekalipun larva berada di dalam tanah (Koesdarto, 2007).
Telur cacing yang tertelan oleh hospes definitif akan menetas menjadi
larva stadium III di dalam usus pada hari ke-8 pasca infeksi kemudian larva
hidup bebas di dalam intestine. Pada hari ke-9 hingga ke-10 larva stadium
III akan menembus mukosa usus kemudian berkembang menjadi larva
stadium IV pada hari ke-14 hingga ke-15 pasca infeksi. Pada hari ke-17
hingga ke-18 cacing muda akan keluar dari mukosa usus menuju lumen
intestine dan menjadi dewasa pada minggu ke-6 hingga ke-8 (Koesdarto,
2007).

c. Patogenesis
Penetrasi larva stadium III ke dalam mukosa usus dapat menyebabkan
enteritis haemorhagis dan kerusakan dinding usus sedangkan pada ayam
muda dapat menyebabkan anemia, diare, nafsu makan turun serta haus yang

12
berlebihan. Gejala yang timbul berupa ayam terlihat lemas, malas,
mengantuk,  kaki menjadi pucat dan sayap terkulai. Selanjutnya Calneck
(1991) menjelaskan bahwa pada infeksi berat menyebabkan ayam
kehilangan banyak darah, penurunan kadar gula darah, peningkatan kadar
asam urat.
Ayam muda lebih peka dibandingkan dengan ayam tua. Hal ini
disebabkan karena mukus intestinum pada ayam tua lebih banyak
dibandingkan pada ayam muda. Mukus intestinum merupakan tempat
dibentuknya antibodi terhadap parasit. Sehingga dengan adanya peningkatan
jumlah mukus pada intestin ayam yang lebih tua akan menjadi faktor
penghambat perkembangan larva cacing A. Galli (Koesdarto, 2007).
Dilaporkan pula oleh Calneck (1991) bahwa dalam
perkembangannya A. galli dapat tersasar dan terperangkap di dalam uterus
sehingga cacing mi dapat pula ditemukan di dalam telur ayam. Pada ayam
betina infeksi cacing ini dapat menyebabkan penurunan produksi telur,
kehilangan bobot badan walaupun konsumsi pakannya tetap meningkat.
Penurunan bobot badan dan penurunan konsumsi pakan terutama terjadi
pada umur 9-21 minggu setelah infeksi. Ascaridia galli dilaporkan juga
menyebabkan terlambatnya waktu ayam mulai bertelur dan penurunan berat
telur sampai sebesar 33% (Tiuria, 1991).

d. Gejala Klinis
Apabila jumlah cacing ascaridia galli dalam usus seekor ayam
sedikit, maka cacing tersebut tidak menimbulkan gangguan pada ayam.
Apabila jumlahnya cukup banyak akan menimbulkan ganguan kesehatan
atau kematian terutama pada anak ayam. Anak ayam yang menderita
cacingan akan memperlihatkan tanda-tanda seperti; tampak kurus, pucat,
lemas, sayap agak terkulai, bulunya tidak mengkilat, terjadi diare bewarna
keputih-putihan (seperti kapur, encer dan agak berlendir), pada anak ayam
terjadi kematian yang banyak dan pada yang dewasa terjadi penurunan
produksi telur (Koesdarto, 2007).

13
e. Diagnosa
Pemeriksaan feses untuk menemukan telur cacing A. Galli serta
penemuan cacing saat pemeriksaan post mortem (Koesdarto, 2007).

f. Perubahan Post Mortem


Perubahan anatomi (makroskopik) berupa kerusakan terbesar terjadi
sewaktu tahap perpindahan dari pertumbuhan larva cacing. Perpindahan dari
dalam lapisan usus dapat menyebabkan radang usus mendarah, cacing dapat
ditemukan secara relatif lebih banyak di lumen usus, seperti terlihat pada
Gambar 1 (Akoso, 1998). Tabbu (2002) menambahkan infeksi Ascaridia
galli dalam jumlah besar akan kehilangan darah, mengalami penurunan
kadar gula darah, peningkatan asam urat, atrofi timus, gangguan
pertumbuhan dan peningkatan mortalitas.
Perubahan histopatologi (mikroskopik) biasanya terlihat bahwa usus
terjadi erosi sel epitel dan terlihat adanya hemoragi, sehingga ayam tersebut
didiagnosa menderita ascaridiasis. Hemoragi yang terjadi pada usus kecil
bisa menyebabkan usus mengalami ulserasi sel epitel. Kerusakan pembuluh
darah menyebabkan terjadinya obstruksi akut atau enteristis yang
disebabkan oleh cacing atau protozoa akan terjadi penetrasi yang lebih
dalam pada lapisan usus. Disamping itu bisa terjadi nekrosis dan penebalan
lokal pada lapisan muskularis yang akan mengakibatkan usus halus tidak
berfungsi secara sempurna (Tabbu, 2002).

g. Terapi
Menurut Koesdarto (2007) beberapa jenis obat yang dapat digunakan
sebagai terapi dari Ascaridiasis antara lain :
1. Piperazin adipat 300 – 400 mg/kg pakan
2. Piperazin sitrat 400 mg/liter air untuk 24 jam
3. Phenotiazin 2200 mg/kg pakan
4. Hygromycin-B 8 gram/ton pakan
5. Mebendazol, Tetramizol dan Haloxon

14
3.1.2. Oesophagostomum sp.
a. Morfologi
Spesies Oesophagostomum yang menyerang babi antara lain
Oesophagostomum dentatum, Oesophagostomum brevicaudum,
Oesophagostomum georgianum, dan Oesophagostomum. Berdasarkan
klasifikasi taksonomi dalam (Soulsby, 2001) cacing ini termasuk dalam
klasifikasi :
Kingdom : Animalia
Filum : Nematoda
Ordo : Strongylida
Famili : Strongyloidae
Genus : Oesophagostomum
Spesies : Oesophagostomum dentatum
Cacing jenis ini tersebar hampir di seluruh negara terutama pada
daerah yang hangat serta memiliki kelembaban yang cukup tinggi.
Predileksi cacing ini terdapat pada usus halus bagian bawah serta kolon
(Griffiths, 1978). Telur berbentuk oval berdinding tipis, terdiri dari dua lapis
dan berukuran 63,18 μm x 36,75 μm dan 67,20 μm x38,79 μm (Dewi,
2007). Menurut Olsen (2000) telur Oesophagostomum berukuran 74–88μm
x 45–54 μm. Tiap telur mengandung 16-32 sel morula (Ballweber, 2001).
Cacing ini memiliki kapsula buccalis silindris dan sempit, memiliki corona
radiata, mempunyai bursa terdiri 3 lobi dan ada spikula. Oesofagustomum
dentatum merupakan parasit pada caecum dan colon pada ternak sapi,
kambing, domba, babi dan kera. Sering disebut cacing nodular, sebab larva
cacing membentuk nodular pada intestinum (Dewi, 2007).

b. Siklus Hidup
Siklus hidup dari cacing ini bersifat langsung. Telur akan keluar
bersama feses dan berkembang menjadi larva rhabditiform yang pertama
(L1) yang akan menetas kurang lebih 24 jam pada tanah yang lembab
dengan suhu sekitar 26ºC. Setelah itu, L1 akan membentuk larva stadium 3
(L3) dalam waktu sekitar 5 hari. Babi akan mulai terinfeksi setelah menelan
L3 yang infektif. L3 kemudian akan menembus dinding sekum atau kolon

15
dan berkembang menjadi L4 di dalam dinding, larva tumbuh hingga
mencapai panjang antara 1,5-2,5 mm. Setelah itu, L4 akan kembali ke dalam
lumen usus dan berkembang menjadi cacing dewasa. Telur ditemukan
pertama kali keluar bersama feses penderita setelah 41 hari terjadi infeksi
(Ballweber, 2001).

c. Epidemiologi dan Transmisi


Kemampuan hidup larva pada padang rumput tergantung pada faktor
lingkungan. Penyebaran yang signifikan akan terjadi pada kondisi
lingkungan yang sesuai yaitu musim panas dikombinasi dengan
tumbuh-tumbuhan sebagai pelindungnya. Penyebaran sangat menurun pada
saat temperatur rendah dan sepanjang musim kemarau, dimana terdapat
sedikit tumbuh-tumbuhan. Infeksi cacing Oesophagostomum dentatum
berlangsung pada saat babi memakan tumbuh-tumbuhan atau pakan yang
mengandung larva infektif (Kusumamihardja, 2002).

d. Patogenesis dan Gejala Klinis


Cacing ini dapat membentuk nodul-nodul pada permukaan lumen usus
pada saat L3 menembus dinding usus dan menimbulkan respon inflamasi.
Hal ini dapat menyebabkan protein-losing enteropathy serta enteritis
haemorrhagi. Gejala klinis yang ditimbulkan yaitu anoreksia, diare,
penurunan berat badan bahkan dapat menyebabkan kematian meski hal ini
jarang terjadi.

e. Pencegahan dan Pengobatan


Pencegahan dilakukan dengan cara melakukan sanitasi yang baik dan
benar sehingga mampu mengeliminasi telur cacing Oesophagostomum
dentatum (Subekti, 2011). Pengobatan yang diberikan pada hewan yang
terinfeksi Oesophagostomum dentatum diantaranya adalah ivermectin atau
albendazole 5 – 10mg/kg, dan yomesan 75 mg/kgBB. Ivermectin berfungsi
antiparasit yang memiliki parasidal baik cacing dewasa dan telur. Yomesan
yang berisi niclosamide adalah antiparasit yang bekerja dengan cara

16
menghalangi/ menghambat fosforilasi oksidatif mitokondria sel jaringan
cacing tersebut

3.2 Protozoa
3.2.1. Tetratrichomonas sp.
a. Morfologi
Tetratrichomonas gallinarum sebelumnya dikenal sebagai
Trichomonas gallinae kemudian diubah menjadi T. gallinarum berdasarkan
skema taksologi (Honigberg, 1963). Tetratrichomonas gallinarum
merupakan protozoa luminal yang menyerang pada golongan unggas.
Protozoa ini termasuk ke dalam Ordo Trichomonadida dan Family
Trichomonadidae. Famili Trichomonadidae umumnya predileksi di dalam
saluran pencernaan (sekum dan kolon) tetapi ada juga di dalam saluran
reproduksi dan tempat lain. Bentuknya piriform dengan ujung anterior
bundar sedangkan posteriornya meruncing. Memiliki satu inti dibagian
anterior tubuh dan di bagian anterior dari blepharoplast yang menyatu
dengan granula basal (Cepicka dkk, 2005).
Tetratrichimonas gallinarum biasa ditemukan di gastrointestinal tract
bagian bawah khususnya bagian sekum. Trichomonadida merupakan
organisme unicellular dengan nukleus tunggal yang memiliki tanda
karakteristik (menciri) memiliki 3 – 6 flagela, salah satunya barangkali
bertaut dengan tubuh membentuk membrana undulasi. Ordo ini berkembang
biak secara aseksual biasanya pembelahan biner. Trichomonadida tidak
memiliki mitokondria sebagai tempat fermentasi oksidativ tapi memiliki
organel khusus yang disebut dengan hydrogenosome. Organel ini
menggunakan cara fermentatif untuk metabolisme pyruvate dan bukan
menggunakan siklus Krebs seperti pada mitokondria sebagai sumber energi
(Cepicka dkk, 2010). Trichomonadida hidup dalam fase tripozoit secara in
vitro dengan kondisi yang mendukung serta bergerak dengan bantuan
flagela. Tropozoit T. Gallinarum berbentuk seperti buah pir dengan ukuran
antara 6 hingga 15 µm yang terlihat berukuran sama dengan sel darah
merah. Tropozoit memiliki empat flagella anterior yang bebas dengan satu

17
flagel yang terdapat undulating membrane dengan panjang 8 – 13 µm dan
berujung bebas di bagian posterior. Inti berbentuk ovoid dengan ukuran 2.5
– 3 µm. Axostyle terdiri dari dereta mikrotubulus dari bagian apikal tubuh
hingga ke akhir posterior. Fase flagelata terdiri dari vakuola makanan yang
besar, hydro-genosome, struktur seperti costa dan rongga-rongga retikulum
endoplasma yang mengelilingi nukleus dengan ciri khas membran
perinuklear dalam jarak yang teratur (Mehlorn dkk, 2009).

b. Epidemiologi dan Transmisi


Tetratrichomonas gallinarum merupakan protozoa yang umumnya
tinggal di intestinal tract pada beberapa spesies unggas yang berbeda
termasuk ayam, kalkun, ayam mutiara, burung puyu, bebek dan angsa.
Protozoa ini dapat ditransmisikan melalui makanan yang terkontaminasi.
Hewan yang terinfeksi mengeluarkan parasit hidup paling cepat dua hari
pasca infeksi. Sebagai tambahan pada tropozoit, pseudokista dari T.
Gallinarum melindungi parasit selama proses fecal-oral transmission.
Setelah T. Gallinarum menginfeksi hospes, protozoa ini akan segera
mengadakan perkembangbiakan secara longitudinal binnary fission (Amin
dkk, 2011; Mehlhorn dkk, 2009).

c. Patogenitas
Tetratrichomonas gallinarum seringkali muncul pada infeksi campuran
dengan protozoa lainnya, terutama Histomonas meleagridis dan Blastocystis
sp. di usus besar. Menurut Allen (1941), T. Gallinarum menyebabkan lesi di
sekum dan hati pada unggas domestik dan kalkun serta parasit tersebut
dapat berperan sebagai agen enterohepatitis. Kemampuan patogen dari T.
Gallinarum ditunjukan oleh Lee (1972) berdasarkan infeksi kloakal pada
ayam usia 3 – 6 minggu. Meskipun ayam yang terinfeksi terlihat sehat,
tercatat bahwa terjadi hilangnya mikrovili dan pengurangan glycocalyx
dengan matrix polisakarida yang hilang seluruhnya. Cairan kloaka berwarna
kuning dan berbusa berisi papula pada permukaan mukosa sekum (Norton,
1997). Sebagai tambahan, enteritis nekrotik parah terjadi di duodenum dan

18
jejunum. Potensial patologi dari T. Gallinarum pada bebek menurut Crespo
dkk (2001) ditandai dengan penurunan produksi telur dan peningkatan
mortalitas pada bebek betina. Secara menarik, bebek jantan pada flock
terinfeksi secara klinis normal. Penelitian lainnya menunjukkan bahwa T.
Gallinarum dapat menyebabkan typhlohepatitis akut pada bebek (Richter
dkk, 2010). Pada burung liar, terdapat tiga laporan yang berhubungan T.
Gallinarum dengan perubahan patologi. Patton dan Patton (1996)
melaporkan T. Gallinarum ditemukan di otak dari mockingbird yang
menderita encephalitis. Dua kasus lain yang ditemukan yaitu di Waldrapp
ibis (Laing dkk, 2013) dan American white pelican (Burns dkk, 2013)
menggambarkan hepatitis nekrotis atau hepatitis/splenitis pada burung yang
terinfeksi.

d. Pengendalian
Menurut Mufasirin (2000) pengendalian terhadap penyakit ini yaitu
dengan tersedianya pakan dan minum yang bebas dari kontaminasi penyakit
serta pemisahan hewan yang sakit. Unggas yang terinfeksi dapat di terapi
dengan cooper sulphate dalam air minum dengan perbandingan 1 : 2000
selama 3 – 5 hari dan diulang setelah 5–7 hari.

3.2.2. Giardia sp.


a. Morfologi
Giardia sp. merupakan salah satu protozoa luminal yang tersebar di
seluruh dunia dan dapat menyerang mamalia, unggas serta amfibi.
Klasifikasi ilmiah Giardia adalah sebagai berikut (Van dkk, 2000) :
Kingdom : Protozoa
Philum : Sarcomastigophora
Subphylum : Metamonada
Kelas : Zoomastogophorasida
Ordo : Diplomonadorida
Family : Hexamitidae
Genus : Giardia
Spesies : Giardia sp.

19
Studi genetik yang dilakukan akhir-akhir ini mengidentifikasi
beberapa kelompok Giardia yang dibedakan berdasarkan spesies hospes.
Pada unggas, terdapat 2 spesies Giardia yang sering menginfeksi, yaitu
Giardia psittaci dan Giardia ardeae (Spickler, 2002).

Gambar 3.4. Giardia spp. pada fase kista dari feses ayam arab (perbesaran
400x) (Dokumentasi PPDH, 2015)

Spesies Giardia merupakan jenis parasit protozoa enteritik uniseluler


yang berflagela. Giardia memiliki dua stadium, yaitu tropozoit (aktif) dan
kista (inaktif). Stadium tropozoit berbetuk seperti buah pir, simetris bilateral
dengan bentuk cekung pada bagian permukaan ventral dan terdapat ventral
disc, mempunyai dua buah nukleus di bagian anterior, empat pasang
flagella, sepasang axostyl serta berukuran 9-21 x 5-15 µm. Ventral disk
dikenal sebagai alat untuk menancap atau melekat, yang memungkinkan
parasit untuk menancap dan menempel dengan kuat pada hospes (Eckmann,
2003). Axostyle merupakan struktur pendukung yang tertanam di sepanjang
sumbu longitudinal dalam sitoplasma.
Pada stadium kista, protozoa ini berbentuk oval, mempunyai 2 dinding
tipis dengan 2-4 nuleus, memiliki elemen karakteristik yang sama dengan
tropozoit serta berukuran 9-13 x 7-10 µm. Sitoplasmanya berbutir halus dan
letaknya terpisah dari dinding kista.

b. Siklus Hidup
Siklus hidupnya bersifat langsung. Penularan terjadi melalui rute
fecal-oral. Terutama melalui makanan atau minuman yang tercemar oleh
kista. Kista keluar melalui feses, tiap kista mengandung dua buah tropozoit.

20
Setelah tertelan tropozoit akan keluar dari kista dan menempel pada jejunum
dan memperbanyak diri dengan cara pembelahan biner. Berikutnya, tiap
tropozoit akan membentuk sebuah kista (enkistasi). Reproduksi asexual
menghasilkan dua tropozoit dalam satu kista. Selain itu, tropozoit dapat
keluar bersama feses, terutama selama infeksi akut, dan menyebabkan

transmisi parasit. Meski demikian, kista bersifat lebih resisten pada kondisi
lingkungan luar dan lebih bertanggung jawab dalam melanjutkan transmisi
(Ballweber, 2001).
Gambar 3.5. Siklus hidup Giardia spp (Van et al, 2002)

c. Epidemiologi dan Transmisi


Giardiasis terjadi hampir diseluruh dunia, akan tetapi lebih banyak
terjadi pada daerah yang kurang akan sanitasi. Kista bertahan di dalam air,
misalnya air mentah dari danau dan sungai. Giardiasis paling sering terjadi
melalui pencemaran air. Giardia dapat ditemukan hampir pada 80% air
mentah yang diperoleh dari danau dan sungai. Hal ini menyebabkan
terjadinya diare akut maupun kronis pada hewan (Spickler, 2002). Penularan
terjadi dengan cara hewan menelan makanan atau minuman yang
terkontaminasi oleh kista Giardia sp. Fase kista Giardia sp. mampu
bertahan hingga berbulan-bulan pada suhu air 8°C. Hal ini yang
menyebabkan parasit ini dapat ditemui hampir disemua jenis perairan baik
sungai, muara, maupun danau (Van et al, 2002).

d. Patogenisitas dan Gejala Klinis


Selama siklus hidupnya, Giardia sp. memiliki 2 fase, yaitu fase
tropozoit dan kista. Fase kista, pada dasarnya merupakan fase laten.
Tropozoit yang bermultifikasi melalui pembelahan biner dan hidup pada
usus dapat bergerak bebas atau melekat pada mukosa usus menggunakan

21
ventral sucking disk (Eckmann, 2003). Hal ini, akan menyebabkan
terjadinya inflamasi pada mukosa usus. Infeksi dari Giardia sp.
menunjukkan dapat menyebabkan atropi vili dan hiperplasia kripta dari
usus. Hal ini menyebabkan penurunan permukaan area absorbsi dari usus
halus yang berujung pada terhalangnya penyerapan glukosa, sodium dan air.
Selain itu, terjadi penurunan aktivitas disaccharidase yang mengganggu
proses pencernaan.
Beberapa gejala klinis yang mungkin muncul pada kasus giardiasis
antara lain diare akut hingga kronis, nausea, serta penurunan berat badan
yang muncul 1 hingga 3 minggu pasca infeksi dan berlangsung dalam 2
hingga 6 minggu. Gejala dehidrasi hingga kematian dapat muncul pada
kasus infeksi yang berlangsung terus-menerus (Eckmann, 2003).

e. Pencegahan dan Pengobatan


Pengendalian utama yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya
infeksi Giardia spp. adalah dengan cara menjaga kebersihan dan sanitasi air
dan lingkungan (Eckmann, 2003). Pengobatan Giardiasis dapat dilakukan
dengan pemberian Fenbendazole, Metronidazole serta Albendazole.
Metronidazole merupakan drug of choice bagi kejadian Giardiasis
(Ballweber, 2001).

3.3 Arthropoda
3.3.1. Scabies scabei
a. Morfologi dan Predileksi
Penyakit Scabiosis disebabkan tungau Sarcoptes scabiei. Tungau
jantan berukuran panjang 213- 285µm dan lebar 162-210 µm, sedangkan
yang betina berukuran panjang 300-504 µm dengan lebar 230- 420 µm.

22
Tungau betina bertelur pada kulit dipinggir-pingir luka atau liang kulit, telur
yang dihasilkan sebnyak 40 -90 butir. Telur-telur ini kan menetas 1-5 hari
menjadi larva berkaki enam. Larva berkembang menjadi nimfa yang berkaki
delapan tetapi belum mempuinyai alat-alat kelamin. Dari nimfa akhirnya
terbentuk tungau dewasa. Dari telur sampai dewasa diperlukan 11-16 hari.
Tungau betina diperkirakan hidup tidak lebih dari 40 hari. Tungau ini amat
peka terhadap kekeringan (Soulsby, 1982).
Gambar 3.6. Tungau Sarcoptes scabei

Sarcoptes scabiei, biasanya menyerang daerah yang sedikit ditumbuhi


bulu, seperti sekitar kepala, mata, telinga, siku, pada daerah perut bagian
ventral dan lipatan paha. Apabila hewan telah positif skabies, perlu
dilakukan pengobatan yang langsung membunuh tungau (mitecidal) secara
topikal atau sistemik. Sampai saat ini penyakit skabies sebagai penyakit
strategis masih belum dapat diatasi dengan baik terbukti masih banyaknya
kasus-kasus skabies yang dilaporkan. Semua hewan ternak dapat terserang
penyakit ini pada seluruh tubuh, namun predileksi serangan skabies pada
tiap-tiap hewan berbeda-beda, pada kerbau di punggung, paha, leher, muka,
daun telinga. Pada kelinci disekitar mata, hidung, jari kaki kemudian meluas
ke seluruh tubuh (Manurung dkk, 1990).

b. Siklus Hidup
Siklus hidup dari telur sampai menjadi dewasa berlangsung satu
bulan. Setelah melakukan kopulasi S. scabiei jantan mati, tetapi
kadang-kadang dapat bertahan hidup beberapa hari. Pada yang betina
terdapat bulu cambuk pada pasangan kaki ke-3 dan ke-4, sedangkan pada
yang jantan bulu cambuk demikian hanya dijumpai pada pasangan kaki ke-3
saja. Kemudian yang betina mencari tempat untuk meletakkan telur di
lapisan kulit (stratum corneum) dengan membuat terowongan sambil
bertelur . Dari sepasang tungau kira-kira hanya 10% telur yang dapat
menetas dan akan menjadi dewasa sehingga kira-kira 11 ekor tungau
dewasa. Telur-telur akan menetas setelah 3 - 4 hari, dan menghasilkan larva

23
yang akan keluar ke permukaan kulit untuk kemudian masuk ke dalam
lapisan tanduk kulit dengan menggali terowongan di sekitar folikel rambut.
Setelah jangka waktu 10 - 17 hari larva menjadi dewasa. Di luar hospes
tungau hanya dapat hidup 2 - 3 hari pada suhu kamar (Iskandar, 2000).

c. Patogenesis
Penularan penyakit Scabies terutama terjadi secara kontak langsung
antar ternak sakit dan ternak sehat ; baik antara hewan piaraan maupun
antara hewan piaraan dan hewan liar (Sweatman, 1971). Introduksi ternak
baru yang subklinis penyakit Scabies, alat-alat peternakan yang tercemar,
maupun bekas kandang hewan penderita penyakit Scabies dan peternak
yang terkena penyakit Scabies merupakan sumber penularan yang cukup
potensial.
Masa inkubasi dari penyakit Scabies bervariasi antara 10-42 hari.
Rasa gatal akan nampak lebih jelas pada saat cuaca panas yaitu terjadi
peningkatan aktifitas tungau (Sheahan, 1974). Bervariasinya masa inkubasi
ini diduga erat kaitannya dengan kelebatan dari rambut bagian tubuh yang
terserang. Penderita mengalami iritasi, tampak tidak tenang,
menggosok-gosokkan tubuhnya, turunnya nafsu makan yang mengakibatkan
merosotnya kondisi tubuh, serta turunnya pertambahan berat badan,
kelemahan umum dan dapat berakhir dengan kematian. Disamping itu
penderita dapat mengalami anemia. Pada kambing lesi biasanya dimulai dari
bagian punggung dari hidung untuk selanjutnya dapat menyebar keseluruh
tubuh. Bagian tubuh yang lembab lebih disukai oleh tungau Sarcoptes
dibandingkan dengan bagian tubuh yang kering. Pada sapi, lesi pada
penderita banyak dijumpai dikulit daerah leher, punggung dan pangkal ekor,
sedangkan pada penderita kronis lesi dijumpai pada daerah abdomen dan
ambing (Budiantono, 2004).
Tungau Sarcoptes mengisap cairan limfa dengan jalan melakukan
perobekan lapisan epidermis, dan memakan sel-sel jaringan epidermis
muda. Hal ini menyebabkan timbulnya rasa gatal yang terus menerus,
sebagai akibatnya penderita akan menggosok-gosokkan tubuhnya sehingga

24
mengakibatkan luka, yang pada akhirnya memperburuk kondisi tubuh
penderita. Pada awalnya kulit mengalami erithema, kemudian berlanjut
berbentuk papula, vesikula dan akhirnya terjadi peradangan yang diikuti
oleh pembentukan eksudat. Eksudat mengendap pada permukaan kulit
sehingga terbentuk keropeng-keropeng/ kerak. Proses selanjutnya, akan
terjadi keratinisasi dan proliferasi yang berlebihan dari jaringan ikat
sehingga menyebabkan bertambah tebalnya kulit serta terjadi
pengkeriputan. Selanjutnya akan diikuti oleh kerontokan bulu yang dapat
terjadi pada seluruh permukaan tubuh sehingga pasien mengalami alopeksia
(Soulsby, 1982).
Menurut Morsy et al. (1989) jalannya penyakit Scabies dibagi 3
phase, yaitu phase pertama, terjadi 1-2 hari setelah infestasi. Saaat ini
tungau mulai menembus lapisan epidermis sehingga pada permukaan kulit
terdapat banyak lubang-lubang kecil. Pada phase kedua, tungau telah berada
dibawah lapisan keratin, permukaan kulit telah ditutupi oleh kerak/
keropeng yang tebal. Kerontokan bulu terjadi pada phase ini dan phase ini
terjadi setelah 4-7 minggu infestasi. Phase ketiga tampak kerak-kerak mulai
mengelupas sehingga pada permukaan kulit kembali terlihat lubang-lubang
kecil. Phase terakhir ini terjadi 7-8 minggu setelah infestasi, tampak
beberapa tungau meninggalkan bekas –bekas lubang tersebut.

d. Gejala klinis
Pada awal infestasi, kulit mengalami erithrema kemudian akan
berlanjut dengan terbentuknya papula, vesikula dan akhirnya terjadi
peradangan yang diikuti oleh pembentukan eksudat karena iritasi. Hewan
penderita tampak gelisah karena rasa gatal, menggaruk atau menggesek
tubuhnya sehingga terjadi luka dan perdarahan. Eksudat mengendap pada
permukaan kulit dan terbentuk keropeng atau kerak. Proses selanjutnya akan
terjadi keratinasi dan proliferasi yang berlebihan dari jaringan ikat sehingga
menyebabkan penebalan kulit dan pengkeriputan. Perubahan ini akan
mengakibatkan kerontokan rambut yang ada pada permukaan tubuh. Nafsu
makan penderita terganggu sehingga hewan menjadi kurus. Apabila

25
pengobatan tidak dilakukan secara tuntas maka sering terjadi infeksi
sekunder akibat bakteri atau jamur sehingga timbul abses dan bau busuk
(Wardhana dkk, 2006).

e. Pengobatan
Penyakit kudis pada kelinci dapat disembuhkan dengan Neguvon
0,15% dan Asuntol 0,05 – 0,2% (Manurung dkk, 1990). Pengobatan skabies
pada kerbau dapat dilakukan dengan salep Asuntol 50 WP konsentrasi 2%,
untuk membasmi telur dan larva yang tersisa dapat diulang 10 hari
kemudian. Kambing yang terserang kudis dapat diobati dengan Ivermectin
dengan dosis 0,2 mg/kg berat badan secara subkutan dengan ulangan 2 kali
setiap 21 hari, dan Asuntol 0,1% dalam air dengan cara dimandikan
sebanyak 5 kali dengan selang waktu 10 hari. Penanggulangan kudis pada
anjing bisa menggunakan Ivermectin dengan dosis 0,05 mg/kg berat badan
secara subkutan 3 minggu sekali dan dikombinasi dengan salep belerang 3%
sekali sehari. Pengobatan alternatif pada kambing dapat menggunakan salep
belerang, campuran bawang merah, cuka dan oli bekas, biasa digunakan
peternak.

f. Pencegahan
Dalam melakukan pencegahan dan pengendalian penyakit skabies
perlu diperhatikan pola hidup, sanitasi, pemindahan hewan, karantina, dan
pengobatan. Pola dan kebiasaan hidup yang kurang bersih dan kurang benar
memungkinkan berlangsungnya siklus hidup S. scabiei dengan baik.
Sanitasi termasuk kualitas penyediaan air yang kurang dan ternak yang
terlalu padat perlu dihindari (Sardjono dkk, 1997). Pemindahan hewan dari
satu tempat ke tempat lain perlu penanganan yang serius.

3.3.2. Crysomia sp
a. Morfologi
Ciri umum Chrysomya megacephala dewasa selain memiliki warna
tubuh hijau kebiruan metalik, mengkilat, lalat ini memiliki ukuran kira-kira

26
1,5 kali lalat rumah. Mempunyai abdomen berwarna hijau metalik dengan
mata bewarna jingga dan bagian mulutnya bewarna kuning. Panjang lalat
kurang lebih 8 mm dari kepala sampai ujung abdomen. Lalat jantan
memiliki sepanjang mata yang cenderung bersatu atau holoptik sedangkan
lalat betina memiliki sepasang mata yang sedikit terpisah antara satu dan
lainnya atau dioptik. Mengenai ciri morfologi Chrysomya megacephala
yang menonjol dibandingkan terhadap spesies lainnya pada genus yang
sama, bahwa pada lalat jantan terdapat bentuk mata faset yang membesar
pada pertengahan atas mata sehingga memberi batas yang jelas dan
seolah-olah membagi mata faset atas dua bagian (Griffiths, 1978).
Lalat ini memiliki antena kokoh terdiri dari 3 segmen (segmen paling
ujung seringkali terdiri dari beberapa segmen dalam satu-kesatuan). Segmen
ke-1 dan ke-3 kecil, segmen ke-2 bentuknya berbeda. Palpus maksilaris
umumnya memegang kedepan. Alat mulut diper gunakan untuk menyayat
dan menghisap. Sayap umumnya memiliki vena yang menyilang. Venasi
sayap dan susunan rambut tanda karakteristik untuk identifikasi. Hanya lalat
betina menghisap darah untuk pembentukan telur.

b. Siklus Hidup

c. Epidemiologi
d. Patogenisitas dan Gejala Klinis
e. Pencegahan

27
BAB IV

PENUTUP

4.1 Simpulan
Ascaridia galli merupakan cacing golongan nematoda yang dapat
menyebabkan ascariasis pada ayam. Penularan penyakit ini melalui rute
fecal-oral. Gejala klinis yang timbul dari penyakit antara lain tampak kurus, pucat,
lemas, sayap agak terkulai, bulunya tidak mengkilat, terjadi diare bewarna
keputih-putihan (seperti kapur, encer dan agak berlendir), pada anak ayam terjadi
kematian yang banyak dan pada ayam dewasa terjadi penurunan produksi telur.
Beberapa jenis antelmentik yang dapat digunakan untuk mengobati ascariasis
yaitu piperazin adipat, piperazin sitrat, phenotiazin, hygromycin-B, mebendazol,
tetramizol dan haloxon.

28
Daftar Pustaka

Akoso, B.T. 1998. Kesehatan Unggas. Kanisius. Yogyakarta

Calneck, B.W. 1991. Diseases of Poultry 9th Edition. Wolfe Publishing Ltd. USA

Koesdarto S. dkk. 2007. Ilmu Penyakit Nematoda Veteriner Edisi 2 Cetakan 2.

Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga. Surabaya

Soulsby, E.J.L. 1982. Helminths, Arthropods and Protozoa of Domesticated

Animals. 7th Edition. Bailler. London

Tabbu, C. R. 2002. Penyakit Ayam dan Penanggulangannya Volume 2. Kanasius.

Yogyakarta

Tiuria R. 1991. Hubungan Antara Dosis Infeksi, Biologi Ascaridia galli dan

Produktivitas Ayam Petelur. Tesis. Program Pascasarjana. Program Studi

Sains Veteriner, Institut Pertanian Bogor

29

Anda mungkin juga menyukai