Disusun oleh
i
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL i
LEMBAR PENGESAHAN ii
KATA PENGANTAR iii
DAFTAR ISI iv
DAFTAR TABEL v
DAFTAR GAMBAR vi
BAB 1 PENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Rumusan Masalah
1.3. Tujuan
1.4. Manfaat
BAB 2 PELAKSANAAN KEGIATAN
2.1. Isolasi dan Identifikasi Helmintes
2.1.1. Pemeriksaan Telur Cacing Pada Feses dengan Metode
Natif
2.1.2. Pemeriksaan Telur Cacing Pada Feses dengan Metode
Sedimentasi
2.1.3. Pemeriksaan Telur Cacing Pada Feses dengan Metode
Apung
2.1.4. Pemeriksaan Saluran Pencernaan Unggas
2.1.5. Pembuatan Preparat Permanen Helmintes Kering
2.2. Isolasi dan Identifikasi Arthropoda
2.2.1. Koleksi Arthropoda
2.2.2. Pengawetan Kering Arthropoda
2.2.3. Pengawetan Basah Arthropoda
2.3. Isolasi dan Identifikasi Protozoa
2.3.1. Pemeriksaan Protozoa pada Feses dengan Metode
Natif
2.3.2. Pemeriksaan Protozoa pada Feses dengan Metode
Sedimentasi
2.3.3. Pemeriksaan Protozoa pada Feses dengan Metode
Apung
2.3.4. Pemeriksaan Protozoa pada Darah dengan Metode
Pembuatan Ulas Darah Tipis
2.3.5. Pemeriksaan Protozoa pada Darah dengan Metode
Pembuatan Ulas Darah dengan Pewarnaan Giemsa
2.3.6. Swab Kerongkongan Unggas
BAB 3 HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Helminthes
3.1.1. Ascaridia galli
3.1.2. Oesophagostomum sp.
3.2. Protozoa
3.2.1. Tetratrichomonas sp.
3.2.2. Giardia sp.
3.3. Arthropoda
2
3.3.1. Scabies scabei
3.3.2. Crysomia sp.
BAB 4 PENUTUP
4.1. Simpulan
DAFTAR PUSTAKA
3
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
Gambar 2.1. Bagan Struktur Organisasi Pusvetma 7
Gambar 4.1. Mekanisme Pengaduan Konsumen 20
4
BAB I
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
1. Mengetahui jenis parasit dan cara isolasi serta identifikasi parsit yang
berada di lingkungan peternakan.
1
1.4 Manfaat
Melalui kegiatan koasistensi rotasi diagnosa laboratorik di Laboratorium
Parasitologi FKH Unair ini diharapkan mahasiswa koasistensi dapat mengetahui
jenis parasit dan cara isolasi serta identifikasi parsit yang berada di lingkungan
peternakan.
2
BAB II
METODOLOGI
3
− Objek glass ditutup dengan cover glass dan dilakukan pengamatan
menggunakan mikroskop dengan pembesaran 100x.
4
− Dilakukan kerokan / scraping pada mukosa usus menggunakan scalpel untuk
menemukan adanya telur cacing.
− Dilakukan pula pengambilan sampel feses pada masing masing bagian
saluran pencernaan dan dilakukan pemeriksaan telur cacing menggunakan
tiga metode tersebut diatas.
− Cacing di temukan selanjutnya diidentifikasi.
5
2.2 Isolasi dan Identifikasi Arthropoda
2.2.1.Koleksi Arthropoda
Koleksi arthropoda dilakukan dengan cara sebagai berikut :
- Koleksi lalat dilakukan menggunakan alat berupa jaring insekta.
- Koleksi kutu dilakukan dengan memeriksa bulu secara teliti.
- Koleksi pinjal dilakukan dengan memeriksa bulu secara teliti
- Pengumpulan tungau dilakukan dengan cara mengerok kulit hewan hingga
timbul perembesan darah. Kerokan kulit dicampur dengan formalin 5% untuk
diawetkan dalam keadaan basah, sedangkan untuk pemeriksaan langsung
kerokan kulit dicampur KOH 10% selama 5 menit kemudian ditutup dengan
cover glass dan diamati menggunakan mikroskop.
- Pengumpulan caplak dilakukan dengan memeriksa bulu secara teliti.
6
2.2.3 Pengawetan Basah Arthropoda
Pengawetan basah arthropoda dapat dilakukan dengan pengawetan permanen
dengan pewarnaan dan pengawetan permanen tanpa pewarnaan. Langkah
pengawetan basah arthropoda adalah sebagai berikut :
a. Pengawetan Arthropoda Permanen tanpa Pewarnaan
− Arthropoda dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi KOH 10%
kemudian dipanaskan dalam air yang mendidih selama 1 jam atau lebih
hingga arthropoda tampak transparan.
− Arthropoda selanjutnya dimasukkan ke dalam alkohol dengan konsentrasi
berturut-turut 30, 50, 70, 95, 96% masing-masing 3 menit selanjutnya
dicelupkan ke dalam xylol dalam waktu 1 menit.
− Arthropoda diangkat dan diletakkan di atas objek glass dan direkatkan dengan
pemberian canada balsem selanjutnya ditutup dengan cover glass.
− Preparat diberi label dan diinkubasi dalam inkubator untuk dikeringkan
− Preparat diamati menggunakan mikroskop dengan perbesaran 40-100X
b. Pengawetan Arthropoda Permanen dengan Pewarnaan
− Arthropoda dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi KOH 10%
kemudian dipanaskan dalam air yang mendidih selama 1 jam atau lebih
hingga arthropoda tampak transparan.
− Arthropoda dicuci dengan aquadest sebanyak 2X.
− Selanjutnya direndam dalam alkohol 95% selama 10 menit.
− Arthropoda dipidahkan ke dalam acid fuchsin selama 30 menit.
− Dilanjutkan dengan perendaman dalam alkohol 95% selama 2 menit.
− Arthropoda dipindahkan ke dalam alkohol 95% + xylol dengan perbandingan
sama banyak selama 5 menit.
− Dilanjutkan dengan perendaman pada xylol selama 1 menit.
− Arthropoda yang telah diwarnai diletakkan di atas objek glass, direkatkan
menggunakan canada balsem dan ditutup menggunakan cover glass.
− Preparat yang telah jadi diberi label dan diinkubasi pada incubator selama
24-48 jam
− Preparat yang telah kering diamati menggunakan mikroskop dengan
perbesaran 40-100X.
7
2.3 Isolasi dan Indentifikasi Protozoa
Isolasi sampel feses untuk pemeriksaan protozoa dilakukan dengan cara
mengambil sampel feses dan dimasukkan ke dalam pot sampel tanpa
menambahkan apapun. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan telur cacaing dengan
metode sebagai berikut :
8
2.3.3.Pemeriksaan Protozoa pada Feses dengan Metode Apung
Pemeriksaan protozoa pada feses dengan metode apung dilakukan dengan cara
sebagai berikut :
− Dilakukan pembuatan suspensi dengan perbandingan satu bagian feses dan 10
bagian air
− Suspensi disaring dengan saringan teh dan filtrat yang didapat ditampung
pada gelas plastik.
− Filtrat dimasukkan ke dalam tabung, kemudian disentrifugasi dengan
kecepatan 1500 rpm selama 2-5 menit.
− Setelah disentrifuse supernatan (bagian jernih) dibuang dan diganti dengan
air kemudian dilakukan sentrifugasi ulang untuk memperoleh supernatan
yang jernih.
− Selanjutnya supernatan dibuang dan diganti larutan gula jenuh hingga 2/3
tabung, lalu disentrifugasi dengan cara yang sama.
− Tabung diletakkan pada rak tabung dan ditetesi dengan larutan gula jenuh
sampai cairan terlihat cembung pada mulut tabung sentrifugasi.
− Tabung ditutup dengan cover glass dan dibiarkan 1-2 menit.
− Cover glass diambil dan ditempelkan pada objek glass, kemudian diamati
menggunakan mikroskop dengan perbesaran 400-1000X.
9
− Ulasan darah diamati menggunakan mikroskop dengan perbesaran 40-100x.
10
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Helminthes
3.1.1. Ascaridia galli
a. Penyebab dan Morfologi
Ascaridia galli merupakan cacing golongan nematoda yang dapat
menyebabkan ascaridiasis pada ayam. Menurut Soulsby (1982), klasifikasi
cacing A. galli adalah sebagai berikut:
Kelas : Nematoda
Sub kelas : Secernentea
Ordo : Ascaridia
Superfamili : Ascaridiodea
Famili : Ascarididae
Genus : Ascaridia
11
pasang dan alat penghisap prekloaka serta dua spikula langsing panjang.
Vulva cacing petina terletak sedikit anterior pada bagian tengah tubuh.
Bentuk telur oval, berdinding rata, tidak bersegmen serta belum berkembang
saat dikeluarkan bersama feses dengan ukuran 73 – 93 µm x 45 – 57 µm
(Koesdarto dkk, 2007).
c. Patogenesis
Penetrasi larva stadium III ke dalam mukosa usus dapat menyebabkan
enteritis haemorhagis dan kerusakan dinding usus sedangkan pada ayam
muda dapat menyebabkan anemia, diare, nafsu makan turun serta haus yang
12
berlebihan. Gejala yang timbul berupa ayam terlihat lemas, malas,
mengantuk, kaki menjadi pucat dan sayap terkulai. Selanjutnya Calneck
(1991) menjelaskan bahwa pada infeksi berat menyebabkan ayam
kehilangan banyak darah, penurunan kadar gula darah, peningkatan kadar
asam urat.
Ayam muda lebih peka dibandingkan dengan ayam tua. Hal ini
disebabkan karena mukus intestinum pada ayam tua lebih banyak
dibandingkan pada ayam muda. Mukus intestinum merupakan tempat
dibentuknya antibodi terhadap parasit. Sehingga dengan adanya peningkatan
jumlah mukus pada intestin ayam yang lebih tua akan menjadi faktor
penghambat perkembangan larva cacing A. Galli (Koesdarto, 2007).
Dilaporkan pula oleh Calneck (1991) bahwa dalam
perkembangannya A. galli dapat tersasar dan terperangkap di dalam uterus
sehingga cacing mi dapat pula ditemukan di dalam telur ayam. Pada ayam
betina infeksi cacing ini dapat menyebabkan penurunan produksi telur,
kehilangan bobot badan walaupun konsumsi pakannya tetap meningkat.
Penurunan bobot badan dan penurunan konsumsi pakan terutama terjadi
pada umur 9-21 minggu setelah infeksi. Ascaridia galli dilaporkan juga
menyebabkan terlambatnya waktu ayam mulai bertelur dan penurunan berat
telur sampai sebesar 33% (Tiuria, 1991).
d. Gejala Klinis
Apabila jumlah cacing ascaridia galli dalam usus seekor ayam
sedikit, maka cacing tersebut tidak menimbulkan gangguan pada ayam.
Apabila jumlahnya cukup banyak akan menimbulkan ganguan kesehatan
atau kematian terutama pada anak ayam. Anak ayam yang menderita
cacingan akan memperlihatkan tanda-tanda seperti; tampak kurus, pucat,
lemas, sayap agak terkulai, bulunya tidak mengkilat, terjadi diare bewarna
keputih-putihan (seperti kapur, encer dan agak berlendir), pada anak ayam
terjadi kematian yang banyak dan pada yang dewasa terjadi penurunan
produksi telur (Koesdarto, 2007).
13
e. Diagnosa
Pemeriksaan feses untuk menemukan telur cacing A. Galli serta
penemuan cacing saat pemeriksaan post mortem (Koesdarto, 2007).
g. Terapi
Menurut Koesdarto (2007) beberapa jenis obat yang dapat digunakan
sebagai terapi dari Ascaridiasis antara lain :
1. Piperazin adipat 300 – 400 mg/kg pakan
2. Piperazin sitrat 400 mg/liter air untuk 24 jam
3. Phenotiazin 2200 mg/kg pakan
4. Hygromycin-B 8 gram/ton pakan
5. Mebendazol, Tetramizol dan Haloxon
14
3.1.2. Oesophagostomum sp.
a. Morfologi
Spesies Oesophagostomum yang menyerang babi antara lain
Oesophagostomum dentatum, Oesophagostomum brevicaudum,
Oesophagostomum georgianum, dan Oesophagostomum. Berdasarkan
klasifikasi taksonomi dalam (Soulsby, 2001) cacing ini termasuk dalam
klasifikasi :
Kingdom : Animalia
Filum : Nematoda
Ordo : Strongylida
Famili : Strongyloidae
Genus : Oesophagostomum
Spesies : Oesophagostomum dentatum
Cacing jenis ini tersebar hampir di seluruh negara terutama pada
daerah yang hangat serta memiliki kelembaban yang cukup tinggi.
Predileksi cacing ini terdapat pada usus halus bagian bawah serta kolon
(Griffiths, 1978). Telur berbentuk oval berdinding tipis, terdiri dari dua lapis
dan berukuran 63,18 μm x 36,75 μm dan 67,20 μm x38,79 μm (Dewi,
2007). Menurut Olsen (2000) telur Oesophagostomum berukuran 74–88μm
x 45–54 μm. Tiap telur mengandung 16-32 sel morula (Ballweber, 2001).
Cacing ini memiliki kapsula buccalis silindris dan sempit, memiliki corona
radiata, mempunyai bursa terdiri 3 lobi dan ada spikula. Oesofagustomum
dentatum merupakan parasit pada caecum dan colon pada ternak sapi,
kambing, domba, babi dan kera. Sering disebut cacing nodular, sebab larva
cacing membentuk nodular pada intestinum (Dewi, 2007).
b. Siklus Hidup
Siklus hidup dari cacing ini bersifat langsung. Telur akan keluar
bersama feses dan berkembang menjadi larva rhabditiform yang pertama
(L1) yang akan menetas kurang lebih 24 jam pada tanah yang lembab
dengan suhu sekitar 26ºC. Setelah itu, L1 akan membentuk larva stadium 3
(L3) dalam waktu sekitar 5 hari. Babi akan mulai terinfeksi setelah menelan
L3 yang infektif. L3 kemudian akan menembus dinding sekum atau kolon
15
dan berkembang menjadi L4 di dalam dinding, larva tumbuh hingga
mencapai panjang antara 1,5-2,5 mm. Setelah itu, L4 akan kembali ke dalam
lumen usus dan berkembang menjadi cacing dewasa. Telur ditemukan
pertama kali keluar bersama feses penderita setelah 41 hari terjadi infeksi
(Ballweber, 2001).
16
menghalangi/ menghambat fosforilasi oksidatif mitokondria sel jaringan
cacing tersebut
3.2 Protozoa
3.2.1. Tetratrichomonas sp.
a. Morfologi
Tetratrichomonas gallinarum sebelumnya dikenal sebagai
Trichomonas gallinae kemudian diubah menjadi T. gallinarum berdasarkan
skema taksologi (Honigberg, 1963). Tetratrichomonas gallinarum
merupakan protozoa luminal yang menyerang pada golongan unggas.
Protozoa ini termasuk ke dalam Ordo Trichomonadida dan Family
Trichomonadidae. Famili Trichomonadidae umumnya predileksi di dalam
saluran pencernaan (sekum dan kolon) tetapi ada juga di dalam saluran
reproduksi dan tempat lain. Bentuknya piriform dengan ujung anterior
bundar sedangkan posteriornya meruncing. Memiliki satu inti dibagian
anterior tubuh dan di bagian anterior dari blepharoplast yang menyatu
dengan granula basal (Cepicka dkk, 2005).
Tetratrichimonas gallinarum biasa ditemukan di gastrointestinal tract
bagian bawah khususnya bagian sekum. Trichomonadida merupakan
organisme unicellular dengan nukleus tunggal yang memiliki tanda
karakteristik (menciri) memiliki 3 – 6 flagela, salah satunya barangkali
bertaut dengan tubuh membentuk membrana undulasi. Ordo ini berkembang
biak secara aseksual biasanya pembelahan biner. Trichomonadida tidak
memiliki mitokondria sebagai tempat fermentasi oksidativ tapi memiliki
organel khusus yang disebut dengan hydrogenosome. Organel ini
menggunakan cara fermentatif untuk metabolisme pyruvate dan bukan
menggunakan siklus Krebs seperti pada mitokondria sebagai sumber energi
(Cepicka dkk, 2010). Trichomonadida hidup dalam fase tripozoit secara in
vitro dengan kondisi yang mendukung serta bergerak dengan bantuan
flagela. Tropozoit T. Gallinarum berbentuk seperti buah pir dengan ukuran
antara 6 hingga 15 µm yang terlihat berukuran sama dengan sel darah
merah. Tropozoit memiliki empat flagella anterior yang bebas dengan satu
17
flagel yang terdapat undulating membrane dengan panjang 8 – 13 µm dan
berujung bebas di bagian posterior. Inti berbentuk ovoid dengan ukuran 2.5
– 3 µm. Axostyle terdiri dari dereta mikrotubulus dari bagian apikal tubuh
hingga ke akhir posterior. Fase flagelata terdiri dari vakuola makanan yang
besar, hydro-genosome, struktur seperti costa dan rongga-rongga retikulum
endoplasma yang mengelilingi nukleus dengan ciri khas membran
perinuklear dalam jarak yang teratur (Mehlorn dkk, 2009).
c. Patogenitas
Tetratrichomonas gallinarum seringkali muncul pada infeksi campuran
dengan protozoa lainnya, terutama Histomonas meleagridis dan Blastocystis
sp. di usus besar. Menurut Allen (1941), T. Gallinarum menyebabkan lesi di
sekum dan hati pada unggas domestik dan kalkun serta parasit tersebut
dapat berperan sebagai agen enterohepatitis. Kemampuan patogen dari T.
Gallinarum ditunjukan oleh Lee (1972) berdasarkan infeksi kloakal pada
ayam usia 3 – 6 minggu. Meskipun ayam yang terinfeksi terlihat sehat,
tercatat bahwa terjadi hilangnya mikrovili dan pengurangan glycocalyx
dengan matrix polisakarida yang hilang seluruhnya. Cairan kloaka berwarna
kuning dan berbusa berisi papula pada permukaan mukosa sekum (Norton,
1997). Sebagai tambahan, enteritis nekrotik parah terjadi di duodenum dan
18
jejunum. Potensial patologi dari T. Gallinarum pada bebek menurut Crespo
dkk (2001) ditandai dengan penurunan produksi telur dan peningkatan
mortalitas pada bebek betina. Secara menarik, bebek jantan pada flock
terinfeksi secara klinis normal. Penelitian lainnya menunjukkan bahwa T.
Gallinarum dapat menyebabkan typhlohepatitis akut pada bebek (Richter
dkk, 2010). Pada burung liar, terdapat tiga laporan yang berhubungan T.
Gallinarum dengan perubahan patologi. Patton dan Patton (1996)
melaporkan T. Gallinarum ditemukan di otak dari mockingbird yang
menderita encephalitis. Dua kasus lain yang ditemukan yaitu di Waldrapp
ibis (Laing dkk, 2013) dan American white pelican (Burns dkk, 2013)
menggambarkan hepatitis nekrotis atau hepatitis/splenitis pada burung yang
terinfeksi.
d. Pengendalian
Menurut Mufasirin (2000) pengendalian terhadap penyakit ini yaitu
dengan tersedianya pakan dan minum yang bebas dari kontaminasi penyakit
serta pemisahan hewan yang sakit. Unggas yang terinfeksi dapat di terapi
dengan cooper sulphate dalam air minum dengan perbandingan 1 : 2000
selama 3 – 5 hari dan diulang setelah 5–7 hari.
19
Studi genetik yang dilakukan akhir-akhir ini mengidentifikasi
beberapa kelompok Giardia yang dibedakan berdasarkan spesies hospes.
Pada unggas, terdapat 2 spesies Giardia yang sering menginfeksi, yaitu
Giardia psittaci dan Giardia ardeae (Spickler, 2002).
Gambar 3.4. Giardia spp. pada fase kista dari feses ayam arab (perbesaran
400x) (Dokumentasi PPDH, 2015)
b. Siklus Hidup
Siklus hidupnya bersifat langsung. Penularan terjadi melalui rute
fecal-oral. Terutama melalui makanan atau minuman yang tercemar oleh
kista. Kista keluar melalui feses, tiap kista mengandung dua buah tropozoit.
20
Setelah tertelan tropozoit akan keluar dari kista dan menempel pada jejunum
dan memperbanyak diri dengan cara pembelahan biner. Berikutnya, tiap
tropozoit akan membentuk sebuah kista (enkistasi). Reproduksi asexual
menghasilkan dua tropozoit dalam satu kista. Selain itu, tropozoit dapat
keluar bersama feses, terutama selama infeksi akut, dan menyebabkan
transmisi parasit. Meski demikian, kista bersifat lebih resisten pada kondisi
lingkungan luar dan lebih bertanggung jawab dalam melanjutkan transmisi
(Ballweber, 2001).
Gambar 3.5. Siklus hidup Giardia spp (Van et al, 2002)
21
ventral sucking disk (Eckmann, 2003). Hal ini, akan menyebabkan
terjadinya inflamasi pada mukosa usus. Infeksi dari Giardia sp.
menunjukkan dapat menyebabkan atropi vili dan hiperplasia kripta dari
usus. Hal ini menyebabkan penurunan permukaan area absorbsi dari usus
halus yang berujung pada terhalangnya penyerapan glukosa, sodium dan air.
Selain itu, terjadi penurunan aktivitas disaccharidase yang mengganggu
proses pencernaan.
Beberapa gejala klinis yang mungkin muncul pada kasus giardiasis
antara lain diare akut hingga kronis, nausea, serta penurunan berat badan
yang muncul 1 hingga 3 minggu pasca infeksi dan berlangsung dalam 2
hingga 6 minggu. Gejala dehidrasi hingga kematian dapat muncul pada
kasus infeksi yang berlangsung terus-menerus (Eckmann, 2003).
3.3 Arthropoda
3.3.1. Scabies scabei
a. Morfologi dan Predileksi
Penyakit Scabiosis disebabkan tungau Sarcoptes scabiei. Tungau
jantan berukuran panjang 213- 285µm dan lebar 162-210 µm, sedangkan
yang betina berukuran panjang 300-504 µm dengan lebar 230- 420 µm.
22
Tungau betina bertelur pada kulit dipinggir-pingir luka atau liang kulit, telur
yang dihasilkan sebnyak 40 -90 butir. Telur-telur ini kan menetas 1-5 hari
menjadi larva berkaki enam. Larva berkembang menjadi nimfa yang berkaki
delapan tetapi belum mempuinyai alat-alat kelamin. Dari nimfa akhirnya
terbentuk tungau dewasa. Dari telur sampai dewasa diperlukan 11-16 hari.
Tungau betina diperkirakan hidup tidak lebih dari 40 hari. Tungau ini amat
peka terhadap kekeringan (Soulsby, 1982).
Gambar 3.6. Tungau Sarcoptes scabei
b. Siklus Hidup
Siklus hidup dari telur sampai menjadi dewasa berlangsung satu
bulan. Setelah melakukan kopulasi S. scabiei jantan mati, tetapi
kadang-kadang dapat bertahan hidup beberapa hari. Pada yang betina
terdapat bulu cambuk pada pasangan kaki ke-3 dan ke-4, sedangkan pada
yang jantan bulu cambuk demikian hanya dijumpai pada pasangan kaki ke-3
saja. Kemudian yang betina mencari tempat untuk meletakkan telur di
lapisan kulit (stratum corneum) dengan membuat terowongan sambil
bertelur . Dari sepasang tungau kira-kira hanya 10% telur yang dapat
menetas dan akan menjadi dewasa sehingga kira-kira 11 ekor tungau
dewasa. Telur-telur akan menetas setelah 3 - 4 hari, dan menghasilkan larva
23
yang akan keluar ke permukaan kulit untuk kemudian masuk ke dalam
lapisan tanduk kulit dengan menggali terowongan di sekitar folikel rambut.
Setelah jangka waktu 10 - 17 hari larva menjadi dewasa. Di luar hospes
tungau hanya dapat hidup 2 - 3 hari pada suhu kamar (Iskandar, 2000).
c. Patogenesis
Penularan penyakit Scabies terutama terjadi secara kontak langsung
antar ternak sakit dan ternak sehat ; baik antara hewan piaraan maupun
antara hewan piaraan dan hewan liar (Sweatman, 1971). Introduksi ternak
baru yang subklinis penyakit Scabies, alat-alat peternakan yang tercemar,
maupun bekas kandang hewan penderita penyakit Scabies dan peternak
yang terkena penyakit Scabies merupakan sumber penularan yang cukup
potensial.
Masa inkubasi dari penyakit Scabies bervariasi antara 10-42 hari.
Rasa gatal akan nampak lebih jelas pada saat cuaca panas yaitu terjadi
peningkatan aktifitas tungau (Sheahan, 1974). Bervariasinya masa inkubasi
ini diduga erat kaitannya dengan kelebatan dari rambut bagian tubuh yang
terserang. Penderita mengalami iritasi, tampak tidak tenang,
menggosok-gosokkan tubuhnya, turunnya nafsu makan yang mengakibatkan
merosotnya kondisi tubuh, serta turunnya pertambahan berat badan,
kelemahan umum dan dapat berakhir dengan kematian. Disamping itu
penderita dapat mengalami anemia. Pada kambing lesi biasanya dimulai dari
bagian punggung dari hidung untuk selanjutnya dapat menyebar keseluruh
tubuh. Bagian tubuh yang lembab lebih disukai oleh tungau Sarcoptes
dibandingkan dengan bagian tubuh yang kering. Pada sapi, lesi pada
penderita banyak dijumpai dikulit daerah leher, punggung dan pangkal ekor,
sedangkan pada penderita kronis lesi dijumpai pada daerah abdomen dan
ambing (Budiantono, 2004).
Tungau Sarcoptes mengisap cairan limfa dengan jalan melakukan
perobekan lapisan epidermis, dan memakan sel-sel jaringan epidermis
muda. Hal ini menyebabkan timbulnya rasa gatal yang terus menerus,
sebagai akibatnya penderita akan menggosok-gosokkan tubuhnya sehingga
24
mengakibatkan luka, yang pada akhirnya memperburuk kondisi tubuh
penderita. Pada awalnya kulit mengalami erithema, kemudian berlanjut
berbentuk papula, vesikula dan akhirnya terjadi peradangan yang diikuti
oleh pembentukan eksudat. Eksudat mengendap pada permukaan kulit
sehingga terbentuk keropeng-keropeng/ kerak. Proses selanjutnya, akan
terjadi keratinisasi dan proliferasi yang berlebihan dari jaringan ikat
sehingga menyebabkan bertambah tebalnya kulit serta terjadi
pengkeriputan. Selanjutnya akan diikuti oleh kerontokan bulu yang dapat
terjadi pada seluruh permukaan tubuh sehingga pasien mengalami alopeksia
(Soulsby, 1982).
Menurut Morsy et al. (1989) jalannya penyakit Scabies dibagi 3
phase, yaitu phase pertama, terjadi 1-2 hari setelah infestasi. Saaat ini
tungau mulai menembus lapisan epidermis sehingga pada permukaan kulit
terdapat banyak lubang-lubang kecil. Pada phase kedua, tungau telah berada
dibawah lapisan keratin, permukaan kulit telah ditutupi oleh kerak/
keropeng yang tebal. Kerontokan bulu terjadi pada phase ini dan phase ini
terjadi setelah 4-7 minggu infestasi. Phase ketiga tampak kerak-kerak mulai
mengelupas sehingga pada permukaan kulit kembali terlihat lubang-lubang
kecil. Phase terakhir ini terjadi 7-8 minggu setelah infestasi, tampak
beberapa tungau meninggalkan bekas –bekas lubang tersebut.
d. Gejala klinis
Pada awal infestasi, kulit mengalami erithrema kemudian akan
berlanjut dengan terbentuknya papula, vesikula dan akhirnya terjadi
peradangan yang diikuti oleh pembentukan eksudat karena iritasi. Hewan
penderita tampak gelisah karena rasa gatal, menggaruk atau menggesek
tubuhnya sehingga terjadi luka dan perdarahan. Eksudat mengendap pada
permukaan kulit dan terbentuk keropeng atau kerak. Proses selanjutnya akan
terjadi keratinasi dan proliferasi yang berlebihan dari jaringan ikat sehingga
menyebabkan penebalan kulit dan pengkeriputan. Perubahan ini akan
mengakibatkan kerontokan rambut yang ada pada permukaan tubuh. Nafsu
makan penderita terganggu sehingga hewan menjadi kurus. Apabila
25
pengobatan tidak dilakukan secara tuntas maka sering terjadi infeksi
sekunder akibat bakteri atau jamur sehingga timbul abses dan bau busuk
(Wardhana dkk, 2006).
e. Pengobatan
Penyakit kudis pada kelinci dapat disembuhkan dengan Neguvon
0,15% dan Asuntol 0,05 – 0,2% (Manurung dkk, 1990). Pengobatan skabies
pada kerbau dapat dilakukan dengan salep Asuntol 50 WP konsentrasi 2%,
untuk membasmi telur dan larva yang tersisa dapat diulang 10 hari
kemudian. Kambing yang terserang kudis dapat diobati dengan Ivermectin
dengan dosis 0,2 mg/kg berat badan secara subkutan dengan ulangan 2 kali
setiap 21 hari, dan Asuntol 0,1% dalam air dengan cara dimandikan
sebanyak 5 kali dengan selang waktu 10 hari. Penanggulangan kudis pada
anjing bisa menggunakan Ivermectin dengan dosis 0,05 mg/kg berat badan
secara subkutan 3 minggu sekali dan dikombinasi dengan salep belerang 3%
sekali sehari. Pengobatan alternatif pada kambing dapat menggunakan salep
belerang, campuran bawang merah, cuka dan oli bekas, biasa digunakan
peternak.
f. Pencegahan
Dalam melakukan pencegahan dan pengendalian penyakit skabies
perlu diperhatikan pola hidup, sanitasi, pemindahan hewan, karantina, dan
pengobatan. Pola dan kebiasaan hidup yang kurang bersih dan kurang benar
memungkinkan berlangsungnya siklus hidup S. scabiei dengan baik.
Sanitasi termasuk kualitas penyediaan air yang kurang dan ternak yang
terlalu padat perlu dihindari (Sardjono dkk, 1997). Pemindahan hewan dari
satu tempat ke tempat lain perlu penanganan yang serius.
3.3.2. Crysomia sp
a. Morfologi
Ciri umum Chrysomya megacephala dewasa selain memiliki warna
tubuh hijau kebiruan metalik, mengkilat, lalat ini memiliki ukuran kira-kira
26
1,5 kali lalat rumah. Mempunyai abdomen berwarna hijau metalik dengan
mata bewarna jingga dan bagian mulutnya bewarna kuning. Panjang lalat
kurang lebih 8 mm dari kepala sampai ujung abdomen. Lalat jantan
memiliki sepanjang mata yang cenderung bersatu atau holoptik sedangkan
lalat betina memiliki sepasang mata yang sedikit terpisah antara satu dan
lainnya atau dioptik. Mengenai ciri morfologi Chrysomya megacephala
yang menonjol dibandingkan terhadap spesies lainnya pada genus yang
sama, bahwa pada lalat jantan terdapat bentuk mata faset yang membesar
pada pertengahan atas mata sehingga memberi batas yang jelas dan
seolah-olah membagi mata faset atas dua bagian (Griffiths, 1978).
Lalat ini memiliki antena kokoh terdiri dari 3 segmen (segmen paling
ujung seringkali terdiri dari beberapa segmen dalam satu-kesatuan). Segmen
ke-1 dan ke-3 kecil, segmen ke-2 bentuknya berbeda. Palpus maksilaris
umumnya memegang kedepan. Alat mulut diper gunakan untuk menyayat
dan menghisap. Sayap umumnya memiliki vena yang menyilang. Venasi
sayap dan susunan rambut tanda karakteristik untuk identifikasi. Hanya lalat
betina menghisap darah untuk pembentukan telur.
b. Siklus Hidup
c. Epidemiologi
d. Patogenisitas dan Gejala Klinis
e. Pencegahan
27
BAB IV
PENUTUP
4.1 Simpulan
Ascaridia galli merupakan cacing golongan nematoda yang dapat
menyebabkan ascariasis pada ayam. Penularan penyakit ini melalui rute
fecal-oral. Gejala klinis yang timbul dari penyakit antara lain tampak kurus, pucat,
lemas, sayap agak terkulai, bulunya tidak mengkilat, terjadi diare bewarna
keputih-putihan (seperti kapur, encer dan agak berlendir), pada anak ayam terjadi
kematian yang banyak dan pada ayam dewasa terjadi penurunan produksi telur.
Beberapa jenis antelmentik yang dapat digunakan untuk mengobati ascariasis
yaitu piperazin adipat, piperazin sitrat, phenotiazin, hygromycin-B, mebendazol,
tetramizol dan haloxon.
28
Daftar Pustaka
Calneck, B.W. 1991. Diseases of Poultry 9th Edition. Wolfe Publishing Ltd. USA
Yogyakarta
Tiuria R. 1991. Hubungan Antara Dosis Infeksi, Biologi Ascaridia galli dan
29