Anda di halaman 1dari 44

LAPORAN PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN

LABORATORIUM PROTOZOOLOGI VETERINER


TANGGAL 15-20 SEPTEMBER 2017

OLEH :
KELOMPOK 2 PPDH XXIX
Akbar Haryo Widhi 061311133193
Arya Bagaskara P 061311133048
Atlan Panigus Prasetyo 061311133022
Chairanir Rofiah 061311133099
Citrasari Henra Putri 061311133266
Debby Adelia M 061311133066
Desy Meta Anggraini 061311133025
Desty Shafira A 061311133115
Dewi Nur Sholikhah 061311133156
Dina Novitasari 061311133047
Dwi G Nurcahyawati 061311133279
Dya Winarti 061311133272

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Parasitologi adalah ilmu yang mempelajari fenomena hidup parasitis atau fenomena
keparasitan. Parasitologi mempelajari parasit, inangnya, dan hubungan diantara keduanya.
Organisme parasite adalah organisme yang hidupnya bersifat parasitis yaitu hidupnya
selalu merugikan organisme yang ditempatinya (hospes). Predator juga merupakan
organisme yang hidupnya bersifat merugikan organisme lain (yang dimangsa).
Perbedaannya adalah jika predator ukuran tubuhnya jauh lebih besar dari yang dimangsa,
bersifat membunuh dan memakan sebagian besar tubuh mangsanya. Sedangkan parasit,
selain ukurannya jauh lebih kecil dari hospesnya juga tidak menghendaki hospesnya mati,
sebab kehidupan hospes sangat esensial dibutuhkan bagi parasit yang bersangkutan.
Organisme parasit terdiri dari arthropoda, helmint dan protozoa. Protozoa adalah
organisme seluler yang bersifat eukariotik dengan tidak memiliki dinding sel dan
heterotroph serta dapat bergerak (motil). Protozoa dapat bergerak dengan menggunakan
alat geraknya yaitu pseudopia (kaki semu), silia (rambut getar) atau flagella (bulu cambuk).
Ciri-ciri protozoa yaitu organisme uniseluler (bersel satu), bersifat eukariotik, tidak
memiliki dinding sel, heterotrof (umumnya tidak dapat membuat makanannya sendiri),
hidup soliter atau berkelompok, hidup bebas secara parasit, bebas dan sporofit dan memiliki
ukuran tubuh sekitar 100-300 mikron.
Akibat yang ditimbulkan oleh adanya infeksi protozoa bermacam-macam tergantung
pada jaringan yang diserang. Ternak dapat mengalami diare, disentri, enteritis, bottle jaw,
penurunan berat badan, penurunan nafsu makan, hipoproteinemia, anemia, abortus,
gangguan reproduksi dan bahkan kematian. Secara umum infeksi protozoa dapat
menurunkan produktivitas ternak baik secara langsung maupun tidak langsung.
Menyadari akibat yang ditimbulkan oleh gangguan protozoa terhadap kesehatan hewan,
maka seorang dokter hewan harus mampu melakukan diagnosis penyakit protozoa
sehingga dapat dilakukan usaha pengobatan, pencegahan dan pengendalian. Sehubungan
dengan hal tersebut maka sangat diperlukan suatu pengetahuan tentang kehidupan protozoa
yang bersangkutan baik morfologi, siklus hidup serta aspek epidemiologi penyakit yang
ditimbulkan.

1.2 RUMUSAN MASALAH


1. Apa saja spesies dari protozoa yang dapat mengganggu dan menimbulkan penyakit?
2. Bagaimana morfologi dari masing-masing protozoa yang ditemukan?

2
3. Bagaimana gejala klinis yang ditimbulkan akibat protozoa yang ditemukan?

1.3 TUJUAN
Untuk mengidentifikasi dan mengenali berbagai spesies protozoa yang mengganggu
dan menimbulkan penyakit pada hewan.

1.4 MANFAAT
Dari kegiatan yang telah dilaksanakan diharapkan dapat meningkatkan kemampuan
mahasiswa pendidikan profesi dokter hewan dalam melakukan diagnosis penyakit yang
disebabkan oleh protozoa, mengetahui morfologi protozoa, serta mengetahui cara
pencegahan dan pengendalian.

3
BAB 2 MATERI DAN METODE

2.1 ALAT DAN BAHAN


2.1.1 ALAT
 Objek glass  Mikroskop
 Cover glass  Gelas
 Tabung sentrifus  Saringan
 pipet  Pengaduk
 Sentrifus  Plastik
 Mikrohematokrit  Kertas label
 Plastisin  Cotton bud
 Rak tabung
2.1.2 BAHAN
o Kalium bikromat
o Metanol
o Giemsa
o Larutan gula jenuh
o Aquadest
o NaCl fisiologis

4
2.2 CARA KERJA
A. PEMERIKSAAN FESES DENGAN METODE NATIF
1) Mengambil sedikit feses menggunakan ujung gelas pengaduk yang kecil
lalu dioleskan pada objek glass.
2) Lalu diberi satu-dua tetes air dan diratakan.
3) Menutup dengan cover glass.
4) Memeriksa di bawah mikroskop dengan pembesaran 100x.

B. PEMERIKSAAN FESES DENGAN METODE APUNG


1) Membuat suspense feses dengan perbandingan 1 bagian feses dan 10
bagian air. Saring dan filtrat dimasukkan ke dalam tabung sentrifus.
2) Sentrifugasi selama 2-5 menit dengan kecepatan 1500 rpm. Sentrifugasi
dilakukan beberapa kali sampai supernatant jernih.
3) Setelah jernih, supernatant dibuang dan diganti larutan gula jenuh sampai
1 cm dari muluttabung, lalu disentrifus selama 2-5 menit dengan kecepatan
1500 rpm.
4) Tabung sentrifus diletakkan di rak tabung dan pelan-pelan ditetesi dengan
larutan gula jenuh sampai cairan terlihat cembung pada mulut tabung
sentrifus.
5) Meletakkan gelas penutup pelan-pelan di atas tabung sentrifus, dibiarkan
1-2 menit, kemudian diperiksa di bawah mikroskop dengan perbesaran
100x.

C. PEMBUATAN PREPARAT ULAS DARAH DENGAN PEWARNAAN


GIEMSA
1) Darah diteteskan pada gelas objek (A), dengan ujung objek gelas lain (B)
dibuat ulasan.
2) Posisi objek glass A mendatar, dipegang dengan ibu jari dan telunjuk
tangan kiri.
3) Ambil objek glass lain (B) yang ujungnya rata, sentuhkan pada tetesan
darah sehingga darah pada objek glass A di tangan kiri menyebar pada
ujung objek glass B yang berdiri.
4) Condongkan dengan kemiringan 30-450 objek glass yang berdiri (B), dan
dorong objek glass sehingga darah terhapus.
5) Hapusan darah diangin-anginkan pada suhu kamar.
6) Selanjutnya hapusan darah difiksasi dengan cara mencelupkan ke dalam
larutan methanol jenuh selama 3 menit.
7) Tanpa dikeringkan dulu, hapusan darah dimasukkan dalam larutan giemsa
10-20% selama 30 menit.
ii
8) Preparat diangkat lalu dicuci dengan air mengalir.
9) Ulas darah dikeringkan dengan cara diangin-anginkan.
10) Preparat yang sudah kering diamati di bawah mikroskop perbesaran 1000x
dengan oil emersi.

D. SWAB KERONGKONGAN
1) Menyiapkan cotton bud yang sudah dibasahi dengan NaCl fisiologis dan
menyiapkan larutan NaCl fisiogis di dalam petri.
2) Membuka mulut merpati lalu cotton bud dihapuskan pada seluruh mukosa
kerongkongan.
3) Cotton bud lalu dimasukkan ke dalam petri.
4) Mengambil 1-2 tetes larutan pada petri lalu diteteskan pada objek glass
dan ditutup dengan cover glass.
5) Preparat diperiksa di bawah mikroskop dengan perbesaran 100x.

2.3 IDENTIFIKASI
Identifikasi dilakukan berdasarkan morfologi, habitat, dan host dari
protozoa yang
didapatkan. Pemeriksaan dapat dilakukan menggunakan mikroskop.

BAB 3 HASIL

3.1 PROTOZOA SALURAN PENCERNAAN


Pemeriksaan protozoa pada saluran pencernaan menggunakan dua jenis
sampel, yakni sampel feses dan kerongkongan. Sampel feses berasal dari hewan
sapi, kambing, domba, kerbau rawa, anjing, kucing, kelinci, babi, kalkun, dan ayam.
Sedangkan sampel kerongkongan berasal dari burung merpati. Berikut adalah tabel
hasil pemeriksaan:
Jenis Hasil
No. Tanggal Sampel Asal sampel
pemeriksaan pemeriksaan
14 September
1 Feses Anjing Sutorejo Natif dan apung Isospora sp.
2017
2 Feses Babi 1 RPH Pegirian Natif dan apung -
15 September
3 Feses Babi 2 RPH Pegirian Natif dan apung -
2017
4 Feses Babi 3 RPH Pegirian Natif dan apung -

iii
5 Feses Babi 4 RPH Pegirian Natif dan apung -
Swab Trichomonas
6 Merpati 1 Wonokusumo
kerongkongan sp.
Swab
7 Merpati 2 Wonokusumo -
kerongkongan
Feses Kambing
8 FKH Natif dan apung -
1
Feses Kambing
9 FKH Natif dan apung Eimeria sp.
2
Feses Kambing
10 FKH Natif dan apung -
3
Feses Kambing
11 FKH Natif dan apung -
4
Feses Kambing
12 FKH Natif dan apung -
5
Feses Kambing
13 FKH Natif dan apung -
6
Feses Kambing
14 FKH Natif dan apung -
7
Feses Kambing
15 FKH Natif dan apung -
8
16 Feses Sapi 1 FKH Natif dan apung -
17 Feses Sapi 2 FKH Natif dan apung -
18 Feses Kelinci 1 Milik pribadi Natif dan apung -
19 Feses Kelinci 2 Milik pribadi Natif dan apung -
20 Feses Kelinci 3 Milik pribadi Natif dan apung -
21 Feses Kucing 1 RSH Natif dan apung -
22 Feses Kucing 2 RSH Natif dan apung -
23 Feses Kucing 3 RSH Natif dan apung -
24 Feses Kucing 4 RSH Natif dan apung -
Jenis Hasil
No. Tanggal Sampel Asal sampel
pemeriksaan pemeriksaan
25 Feses Domba 1 FKH Natif dan apung Eimeria sp.
26 15 September Feses Domba 2 FKH Natif dan apung -
27 2017 Feses Domba 3 FKH Natif dan apung -
28 Feses Domba 4 FKH Natif dan apung -

iv
29 Feses Ayam 1 FKH Natif dan apung -
30 Feses Ayam 2 FKH Natif dan apung -
31 Feses Ayam 3 FKH Natif dan apung -
32 Feses Ayam 4 FKH Natif dan apung -
33 Feses Ayam 5 FKH Natif dan apung -
16 September Feses Kerbau Balantidium
34 Baluran Natif dan apung
2017 rawa coli
Feses Kambing
35 FKH Natif dan apung -
9
Feses Kambing
36 FKH Natif dan apung Eimeria sp.
10
Feses Kambing
37 FKH Natif dan apung Eimeria sp.
11
Feses Kambing
38 FKH Natif dan apung Eimeria sp.
12
Feses Kambing
39 FKH Natif dan apung Eimeria sp.
13
Feses Kambing
40 FKH Natif dan apung Eimeria sp.
14
Feses Kambing
41 FKH Natif dan apung Eimeria sp.
17 September 15
2017 Feses Kambing
42 Probolinggo Natif dan apung -
16
Eimeria sp.
Feses Kambing
43 Probolinggo Natif dan apung Entamoeba
17
coli
Feses Kambing
44 Tubanan Natif dan apung -
18
45 Feses Sapi 3 Kaliwaron Natif dan apung -
46 Feses Sapi 4 Kaliwaron Natif dan apung -
47 Feses Sapi 5 Kaliwaron Natif dan apung Eimeria sp.
Balantidium
48 Feses Sapi 6 Kaliwaron Natif dan apung
coli
49 Feses Sapi 7 Kaliwaron Natif dan apung -
50 Feses Sapi 8 Kaliwaron Natif dan apung -

v
Balantidium
51 Feses Sapi 9 Kaliwaron Natif dan apung
coli
52 Feses Sapi 10 Kaliwaron Natif dan apung -
53 Feses Sapi 11 Kaliwaron Natif dan apung -
54 Feses Sapi 12 Kaliwaron Natif dan apung -
55 Feses Sapi 13 RPH Pegirian Natif dan apung -
-
56 Feses Sapi 14 RPH Pegirian Natif dan apung

Jenis Hasil
No. Tanggal Sampel Asal sampel
pemeriksaan pemeriksaan
57 Feses Sapi 15 RPH Pegirian Natif dan apung -
58 Feses Sapi 16 RPH Pegirian Natif dan apung -
59 Feses Sapi 17 RPH Pegirian Natif dan apung -
60 Feses Sapi 18 RPH Pegirian Natif dan apung -
61 Feses Sapi 19 RPH Pegirian Natif dan apung -
62 Feses Sapi 20 RPH Pegirian Natif dan apung -
63 Feses Sapi 21 RPH Pegirian Natif dan apung -
64 Feses Sapi 22 RPH Pegirian Natif dan apung -
65 Feses Sapi 23 RPH Pegirian Natif dan apung -
66 17 September Feses Sapi 24 RPH Pegirian Natif dan apung -
67 2017 Feses Sapi 25 RPH Pegirian Natif dan apung -
68 Feses Sapi 26 RPH Pegirian Natif dan apung -
69 Feses Sapi 27 Probolinggo Natif dan apung -
70 Feses Sapi 28 Probolinggo Natif dan apung -
71 Feses Sapi 29 Probolinggo Natif dan apung -
72 Feses Sapi 30 Probolinggo Natif dan apung -
73 Feses Sapi 31 Tubanan Natif dan apung Eimeria sp.
74 Feses Kalkun 1 Tubanan Natif dan apung -
75 Feses Kalkun 2 Tubanan Natif dan apung -
76 Feses Kalkun 3 Tubanan Natif dan apung -
Keterangan: - adalah hasil negatif.
3.2 PROTOZOA DARAH
Pemeriksaan protozoa pada darah menggunakan sampel darah yang berasal
dari sapi, kambing, babi, tikus, biawak, ayam, burung puyuh, burung kutilang dan

vi
burung merpati. Sampel darah diperiksa menggunakan metode ulas darah yang
diwarnai dengan pewarna Giemsa. Berikut adalah tabel hasil pemeriksaan:
No. Tanggal Sampel Asal sampel Hasil pemeriksaan
1 Darah Babi 1 RPH Pegirian -
2 15 September Darah Babi 2 RPH Pegirian -
3 2017 Darah Merpati 1 Wonokusumo Haemoproteus sp.
4 Darah Merpati 2 Wonokusumo -
No. Tanggal Sampel Asal sampel Hasil pemeriksaan
5 15 September Darah Sapi 1 RPH Pegirian -
6 2017 Darah Sapi 2 RPH Pegirian -
7 17 September Darah Burung puyuh Probolinggo -
8 2017 Darah Burung kutilang Probolinggo -
9 Darah Tikus Milik pribadi Trypanosoma sp.
10 Darah Sapi 3 RPH Pegirian -
Anaplasma
11 Darah Sapi 4 RPH Pegirian
marginale
12 Darah Sapi 5 RPH Pegirian -
13 Darah Sapi 6 RPH Pegirian -
14 Darah Sapi 7 RPH Pegirian -
15 Darah Sapi 8 RPH Pegirian -
16 Darah Sapi 9 RPH Pegirian -
17 Darah Sapi 10 RPH Pegirian -
18 Darah Sapi 11 RPH Pegirian -
18 September
19 Darah Sapi 12 RPH Pegirian -
2017
20 Darah Babi 3 RPH Pegirian -
21 Darah Babi 4 RPH Pegirian -
22 Darah Babi 5 RPH Pegirian -
23 Darah Babi 6 RPH Pegirian -
24 Darah Babi 7 RPH Pegirian -
25 Darah Babi 8 RPH Pegirian -
26 Darah Babi 9 RPH Pegirian -
27 Darah Babi 10 RPH Pegirian -
28 Darah Babi 11 RPH Pegirian -
29 Darah Babi 12 RPH Pegirian -
30 Darah Babi 13 RPH Pegirian -

vii
31 Darah Kambing 1 FKH -
32 Darah Kambing 2 FKH -
33 Darah Kambing 3 FKH -
34 Darah Kambing 4 FKH -
35 Darah Ayam 1 Pasar Keputran -
Leucocytozoon sp.
36 19 September Darah Ayam 2 Pasar Keputran
2017
37 Darah Ayam 3 Pasar Keputran -
38 Darah Ayam 4 Pasar Keputran Leucocytozoon sp.
No. Tanggal Sampel Asal sampel Hasil pemeriksaan
39 Darah Ayam 5 Pasar Keputran -
40 Darah Ayam 6 Pasar Keputran -
41 Darah Ayam 7 Pasar Keputran -
42 Darah Ayam 8 Pasar Keputran -
43 Darah Ayam 9 Pasar Keputran -
44 Darah Ayam 10 Pasar Keputran -
45 Darah Ayam 11 Pasar Keputran Leucocytozoon sp.
46 Darah Ayam 12 Pasar Keputran -
Pasar
47 19 September Darah Ayam 13 Plasmodium sp.
Wonokromo
2017
Pasar
48 Darah Ayam 14 -
Wonokromo
Pasar
49 Darah Ayam 15 -
Wonokromo
Pasar
50 Darah Ayam 16 -
Wonokromo
51 Darah Biawak 1 Kalidami Haemogregarina sp.
52 Darah Biawak 2 Kalidami -
53 Darah Biawak 3 Kalidami -
54 Darah Sapi 13 RPH Pegirian -
55 Darah Sapi 14 RPH Pegirian -
56 Darah Sapi 15 RPH Pegirian -
20 September
57 Darah Sapi 16 RPH Pegirian -
2017
58 Darah Sapi 17 RPH Pegirian -
59 Darah Sapi 18 RPH Pegirian -
60 Darah Sapi 19 RPH Pegirian -

viii
61 Darah Sapi 20 RPH Pegirian -
62 Darah Sapi 21 RPH Pegirian -
63 Darah Sapi 22 RPH Pegirian -
64 Darah Sapi 23 RPH Pegirian -
65 Darah Sapi 24 RPH Pegirian -
66 Darah Sapi 25 RPH Pegirian -
67 Darah Sapi 26 RPH Pegirian -
68 Darah Sapi 27 RPH Pegirian -
Keterangan: - adalah hasil negatif.

BAB 4 PEMBAHASAN

4.1 PROTOZOA SALURAN PENCERNAAN


4.1.1 Entamoeba coli
a. Klasifikasi
Filum : Sarcomastigophora
Kelas : Sarcodina
Ordo : Amoeba
Famili : Entamoebidae
Genus : Entamoeba
Spesies : Entamoeba coli
b. Morfologi
Pada stadium trofozoit, protozoa berukuran sekitar 15-50 µm,
dimana inti mempunyai endosom lebih besar dan terletak di perifer.
Sitoplasma dari trofozoit terdapat vakuola makanan yang berisi
reruntuhan sel atau bakteri. Selain itu, terdapat pseudopodia sebagai
alat gerak dan tidak berbentuk jari tangan. Gerakan dari trofozoit
Entamoeba coli adalah lamban. Sedangkan pada stadium kista,
ukuran diameternya adalah 10-30 µm dan kista dewasa berinti
delapan. Badan kromatin (chromatoid body/bars) dari Entamoeba
coli berujung agak bulat.

ix
Stadium kista pada
Entamoeba coli yang
terlihat akan menjadi
stadium trofozoit

c. Siklus Hidup
Setelah mengkonsumsi makanan atau minuman yang
terkontaminasi Entamoeba coli dalam bentuk kista dewasa, kista
yang tertelan akan mengalami ekskistasi di dalam lumen usus.
Setiap inti akan mengalami pembelahan ganda sampai jumlahnya
menjadi delapan. Setiap pembelahan juga akan diiikuti oleh
sitoplasma dan bentuk ini disebut sebagai stadium metakista.
Metakista akan berkembang menjadi lebih besar dan menjadi
trofozoit. Trofozoit akan tetap tinggal di lumen usus atau
menembus mukosa usus dan berkembang biak membentuk koloni-
koloni, dimana kekuatan untuk menembus atau menginvasi
berbeda dengan strain yang patogen. Trofozoit akan mencari
makan dan melakukan pembelahan ganda lalu tubuhnya akan
menjadi lebih bulat dan mengecil, disebut stadium prekista. Bentuk
prekista ini berinti satu dan akan membentuk kista dengan
mengadakan pembelahan ganda pada inti sampai menjadi delapan.
Kista akan keluar bersama feses penderita.
d. Patogenesis dan Gejala Klinis
Setelah mengkonsumsi makanan atau minuman yang
terkontaminasi Entamoeba coli dalam bentuk kista dewasa, kista
x
yang tertelan akan mengalami ekskistasi di dalam lumen usus.
Setiap inti akan mengalami pembelahan ganda sampai jumlahnya
menjadi delapan. Setiap pembelahan juga akan diiikuti oleh
sitoplasma dan bentuk ini disebut sebagai stadium metakista.
Metakista akan berkembang menjadi lebih besar dan menjadi
trofozoit. Trofozoit akan tetap tinggal di lumen usus atau
menembus mukosa usus dan berkembang biak membentuk koloni-
koloni, dimana kekuatan untuk menembus atau menginvasi
berbeda dengan strain yang patogen. Trofozoit akan mencari
makan dan melakukan pembelahan ganda lalu tubuhnya akan
menjadi lebih bulat dan mengecil, disebut stadium prekista. Bentuk
prekista ini berinti satu dan akan membentuk kista dengan
mengadakan pembelahan ganda pada inti sampai menjadi delapan.
Kista akan keluar bersama feses penderita.

4.1.2 Balantidium coli


a. Klasifikasi
Filum : Ciliaphora
Kelas : Kinetofragminophorasida
Ordo : Fragminophorasida
Subordo : Balantidirina
Famili : Balantidiidae
Genus : Balantidium
Spesies : Balantidium coli
b. Morfologi
Anggota dari genus Balantidium bentuk vegetatifnya berupa
tropozoit mempunyai bentuk oval sampai elips. Seluruh
permukaan tubuh tertutup oleh silia yang tersusun seperti deretaan
longitudinal, silia merupakan alat gerak (lokomosi) bagi
xi
balantidium. Pada fase tropozoit terdapat pula bentukan seperti
mulut yang disebut peristom. Jika masih dalam fase kista
balantidium memiliki silia namun masih tertutup dan bentuk kista
lebih bulat dari fase tropozoit.
Balantidium mempunyai 2 inti yaitu : makronukleus yang
berbentuk halter dan mikronukleus yang berbentuk bulat, inti inilah
yang bertanggung jawab dalam proses reproduksi. Balantidium
berkembangbiak dengan cara pembelahan ganda atau konjugasi.
Silia tidak tampak dengan jelas pada gambar hasil kelompok kami.
Balantidium yang ditemukan oleh kelompok kami ditemukan
pada feses hewan sapi perah yang didapat di daerah Kaliwaron,
Surabaya.

Makronukleus
berbentuk
halter

Kista Balantidium
coli

xii
- Terdapat silia
- terdapat
peristom

Trofozoid Balantidium
coli
c. Siklus Hidup
Infeksi Balantidium coli terjadi karena termakannya kista
yang mencemari makanan atau minuman. Di dalam usus halus
kista akan mengalami eksistasi menjadi bentuk trofozoid. Bentuk
trofozoid akan bermultiplikasi di dalam lumen ileum dan sekum.
Di dalam kolon terbentuk trofozoid yang akan mengalami enkistasi
menjadi kista yang akan dikeluarkan bersama tinja. Stadium kista
dan trofozoid dapat berlangsung di dalam satu jenis hospes. Hospes
alamiah adalah babi. Namun manusia dan sapi juga bisa terinfeksi.
d. Patogenesis dan Gejala Klinis
Penyakit yang ditimbulkan oleh Balantidium coli hampir mirip
dengan penyakit yang disebabkan oleh Entamoeba histolytica. Di
selaput lendir usus besar, bentuk vegetatif membentuk abses- abses
kecil yang kemudian pecah manjadi ulkus yang menggaung.
Penyakit ini dapat berlangsung akut dengan ulkus merata pada
selaput lendir usus besar. Pada kasus berat, ulkus ini dapat menjadi
gangrene yang berakibat fatal. Biasanya disertai dengan sindrom
disentri. Penyakit dapat menjadi menahun dengan diare yang di
sertai konstipasi, sakit perut, tidak nafsu makan, muntah, dan
kakeksia ( cachexia ). Infeksi ringan Balantidium coli biasanya
tidak menampakkan gejala, bila parasit hidup dirongga usus besar.

xiii
Balantidium coli kadang – kadang dapat menimbulkan infeksi
eksterintestinal, misalnya dapat menyebabkan peritonitis dan
uretritis. Pernah ditemukan bahwa Balantidium coli di hepar dan
pulmo. Bahkan di ekuador Balantidium coli ditemukan sebagai
sindrom disentris dan abses hepar.

4.1.3 Eimeria sp.


a. Klasifikasi
Filum : Apicomplexa
Kelas : Sporozoasida
Ordo : Eucoccidiorida
Subordo : Eimeriorina
Family : Eimeriidae
Genus : Eimeria
Spesies : Eimeria sp
b. Morfologi
Ookista mengandung satu zigot. Ookista keluar dari sel epitel
usus induk semang dan dipasasekan ke luar bersama feses induk
semang dalam keadaan belum berspora. Berbentuk bulat,
subsperikal, ovoid atau ellipsoid dengan ukuran yang beragam
sesuai dengan spesiesnya. Dinding kista terdiri dari 2 lapis yang
berbatas jelas. Pada beberapa spesies dinding luar berwarna
kekuningan atau kehijauan dan beberapa ada yang mempunyai
jalur-jalur atau titik-titik. Lapisan luar dari dinding ookista terdiri
atas protein dan lapisan dalamnya tersusun oleh lemak.
Beberapa spesies mempunyai mikrofil. Mikrofil tertutup oleh
tutup mikrofil, mempunyai bentukan garis lengkung pada dinding
kista ke arah luar disebut polar cup. Dinding ookista kadang
terdapat organel badan residu dan juga polar granules tergantung
pada jenis spesiesnya. Pada ookista yang berspora terbentuk
sporozoit yang terbungkus dalam sporokista. Sporokista pada
xiv
umumnya berbentuk oval memanjang yang mempunyai satu atau
lebih titik ujung sporokista yang disebut badan stieda. Tiap
sporokista mengandung sporozoit, jumlahnya tergantung pada
genus parasite. Sporozoit bentuknya bengkok seperti koma atau
pisang. Sporozoit mempunyai vakuola yang bulat dan granular
sitoplasmanya yang berbeda degan inti. Inti tertelak di tengah.

ookista yang
belum
bersporulasi

c. Siklus Hidup
Siklus hidup dimulai dari tertelannya ookista infektif
(ookista berspora) oleh induk semang yang sesuai. Di dalam usus
induk semang dinding ookista pecah oleh tekanan dinding usus
(atau tembolok pada ayam) dan oleh enzim tripsin yang dibebaskan
ke dalam usus. Pecahnya dinding ookista menyebabkan
terbebasnya sporokista. Proses pencernaan yang melibatkan enzim
pencernaan, garam empedu dan CO2 menyebabkan sporokista
pecah dan membebaskan sporozoit. Sporozoit bergerak dengan
cepat dan dapat mengadakan kontraksi serta memanjang. Sporozoit
selanjutnya menembus sel epitel usus pada vili-vili usus. Di dalam
epitel usus parasite mengadakan perkembangan secara aseksual
(skizogoni) dan seksual (gametogoni).
 Perkembangan skizogoni
Sporozoit yang masuk ke dalam sel epitel usus bentuknya
berubah menjadi bulat. Bentukan ini disebut trofozoit. Di
xv
dalam sel epitrl, kebanyakan tertelak di atas inti sel, beberapa
di bawah inti sek. Dalam beberapa jam inti spozoit akan
membelah secara skizogoni membentuk skizon
(meron/meront). Skizon pada tahap ini disebut skizon generasi
pertama. Pembelahan inti trofozoit pada fase skizogoni terjadi
secara mitosis, mula-mula sitoplasma tidak ikut membelah
baru setelah dihasilkan sejumlah (banyak) anak inti dikelillingi
oleh zona yang jelas, yaitu sitoplasma. Sel-sel anak dari hasil
pembelahan secara skizogoni disebut dengan merozoit.
Merozoit dalam skizon generasi pertama disebut merozoit
generasi pertama. Merozoit yang terbebas akan menginfeksi
sel epitel baru dan terjadilah siklus aseksual yang sama,
membentuk skizon generasi kedua yang nantinya akan
menghasilkan merozoit generasi kedua, begitu seterusnya.
Skizon generasi kedua ini dapat meluas ke sel jaringan lain.
Beberapa merozoit dari generasi kedua akan berkembang
menjadi bentuk gametosit.
 Perkembangan gametogoni (seksual)
Permulaan terjadinya gametogoni sedikit sekali diketahui.
Diperkirakan merozoit yang berkembang menjdi gametosit
berasal dari skizon yang berbeda, yaitu tipe skizon A dan B.
Skizon tipe A, mempunyai ukuran lebih kecil, mengandung
sedikit merozoit yang nantinya akan berkembang menjadi
mikrogamet (gamet jantan). Skizon B, merupakan skizon yang
berukuran besar yang nantinya akan menghasilkan merozoit
yang akan berkembang menjadi makrogametosit, yaitu sel
yang menghasilkan makrogamet (gamet betina). Jumlah
mikrogamet umumnya lebih banyak daripada makrogamet.
Makrogamet ukurannya lebih besar dan sama besarnya dengan
ukuran ookista yang nantinya akan dihasilkan. Fertilisasi
(pembuahan) makrogamet oleh mikrogamet menghasilkan
xvi
zigot, yang disebut ookista. Dalam perkembangannya zigot
dikelilingi oleh dinding. Jika pembentukan dinding ookista
sudah cukup, ookista akan keluar dari sel jaringan dan
dipasasekan ke luar tubuh induk semang bersama feses. Di luar
tubuh induk semang (di alam bebas) ookista mengalami
perkembangan secara sporulasi.
 Perkembangan sporogoni (sporulasi)
Sporulasi adalah proses terbentuknya spora dalam ookista.
Ookista yang berspora merupakan ookista yang infektif.
Protoplasma dari zigot dalam ookista akan memendek dari
dinding ookista menjadi bentuk sporont. Sporont membagi
menjadi beberapa sporoblast dan sebagian tetap tinggal di
sitoplasma sebagai residual body oocyst. Tahap awal
sporoblas berbentuk agak bulat kemudian memanjang menjadi
bentuk oval (elips) dan selanjutnya berkembang menjadi
sporokista. Protoplasma pada masing-masing sporokista
membelah menjadi 2 menjadi sporozoit. Protoplasma dari
pembelahan ini beberapa tersisa dan tetap tinggal dalam
sporokista yang dsebut dengan sporocyst residual body.
d. Patogenesis dan Gejala Klinis
Spesies yang berbeda akan memberikan gejala klinis yang
berbeda pula, gejala klinis yang ditimbulkan bervariasi pada infeksi
bermacam spesies dan juga pada banyak sedikitnya jumlah
koksidia yang menginfeksi dan resistensi hospes. Spesies yang
kurang pathogen tidak atau sedikit menunjukan gejala klinis.
Gejala klinis dari penyakit ini yang disebabkan parasit Eimeria
tenella adalah Ekskreta berdarah dan mencret, nafsu makan
kurang, sayap terkulai, bulu kusam dan menggigil kedinginan.
Eimeria sp menyebabkan penyakit koksidiosis yang dapat
menyerang mamalia maupun unggas. Salah satu spesies yang
paling pathogen pada ayam adalah Eimeria tanella sedangkan pada
xvii
sapi adalah Eimeria bovis. Penularan penyalit akibat tertelannya
ookista yang sudah bersporulasi yang mengkontaminasi pakan dan
minuman.
Koksidiosis pada ayam berlokasi pada dua tempat yaitu di
sekum (caecal coccidiosis) yang disebabkan oleh E. tenella dan di
usus (intestinal coccidiosis) yang disebabkan oleh delapan jenis
lainnya (Jordan dkk., 2001). Koksidiosis merupakan salah satu
penyakit yang banyak mendatangkan masalah dan kerugian pada
peternakan ayam. Kerugian yang ditimbulkan meliputi kematian
(mortalitas), penurunan berat badan, pertumbuhan terhambat,
nafsu makan menurun, produksi daging turun, meningkatnya biaya
pengobatan, upah tenaga kerja dan lain-lain. Kerugian yang
ditimbulkan dapat menghambat perkembangan peternakan ayam
dan menurunkan produksi protein hewani.

xviii
4.1.4 Isospora sp.
a. Klasifikasi
Filum : Apicomplexa
Kelas : Sporozoasida
Subkelas : Coccidiasina
Ordo : Eucoccidiorida
Subordo : Eimeriorina
Famili : Eimeriidae
Genus : Isospora
Spesies : Isospora sp.
b. Morfologi
Setiap ookista berukuran 20-50μm. Dinding telur tidak
berwarna dan tipis. Saat sporulasi masing-masing mengandung dua
sporocysts (disparic) masing-masing dengan empat sporozoit
(tetrazoic).
c. Siklus Hidup
Pada dasarnya ada tiga tahap dalam siklus hidup Isospora. Yang
pertama disebut sporogoni dan merupakan tahap aseksual
perkembangan parasit. Ini terjadi secara eksogen, dan mengarah
pada perkembangan sporozoit pada ookista. Setelah ini terjadi,
ookista sekarang dianggap infektif.
Enzim pencernaan memecah dinding ookista yang
menyebabkan pelepasan sporozoit infektif. Sporozoit kemudian
menembus epitel villus usus, yaitu jejunum dan ileum. Setiap
ookista mengandung 2 sporokista masing-masing dengan 4
sporozoit. Tahap ini akan terjadi relatif cepat di bawah kondisi
optimal kelembaban tinggi dan suhu antara 20 dan 40 0 C.
Langkah selanjutnya adalah schizogony. Ini adalah proses
aseksual yang terjadi secara endogen. Setelah sporozoid
menyerang epitel, mereka kemudian membentuk trofozoit.
xix
Trofozoit ini kemudian membentuk merozoit, yang dikenal sebagai
merogoni.
Gametogony yang merupakan divisi seksual terjadi secara
endogen, yaitu di sel usus. Merozoites kemudian membentuk
microgamonts (jantan) atau macrogamonts (betina). Invasi
macrogametocytes yang mengandung sel oleh mikrogametosit
menyebabkan pembuahan dan siklus berlanjut.
d. Patogenesis dan Gejala Klinis
Anjing atau kucing yang terinfeksi melepaskan ookista
koksidia di dalam feses. Pada kondisi yang lembab dan hangat,
ookista bersporulasi menjadi stadium infektif dalam 3-5 hari.
Anjing terinfeksi jika memakan pakan atau minum yang
terkontaminasi tanah atau feses yang mengandung ookista infektif.
Di dalam usus, ookista ruptur dan melepaskan sporozoit, yang
kemudian akan melakukan penetrasi ke dalam sel epitel usus,
kemudian berkembang biak dan akhirnya merusak sel hospes.
Mekanisme yang lain, yaitu koksidia dapat ditularkan secara
vertikal. Anak anjing dapat terinfeksi koksidia sebelum dilahirkan
jika induk terinfeksi koksidia semasa masih menjadi anak anjing
dan menjadi carrier.
Gejala Klinis yang tampak berupa diare yang merupakan
gejala paling umum terjadi, frekuensi diare bervariasi. Pada
beberapa kasus diare bisa diikuti dengan adanya darah. Jika tidak
segera dilakukan pengobatan terhadap diare maka hewan akan
mengalami dehidrasi, anemia, kurus, lemah dan akhirnya mati.

4.1.5 Trichomonas gallinae


a. Klasifikasi
Filum : Sarcomastigophora
Subfilum : Mastigophora
Kelas : Zoomastigophorasida
xx
Ordo : Trichomonadorida
Famili : Trichomonadidae
Genus : Trichomonas
Spesies : Trichomonas gallinae

xxi
b. Morfologi
Trichomonas sp. berbentuk piriformis atau seperti buah pir dan
berukuran kecil dengan panjang sekitar 10 µm serta lebar 5 µm.
Protozoa ini mempunyai empat flagela anterior dan satu flagela
posterior yang membentuk membran undulata dimana membran
undulata mencapai dua pertiga panjang tubuh. Selain itu,

Trichomonas sp. Memilik


axostile yang menjulang sampai posterior tubuh.

c. Habitat dan Cara Penularan


Ditemukan pada saluran pencernaan bagian atas (depan) dan
hati dari induk semang. Maka dari itu, pemeriksaan dapat
dilakukan dengan cara swab kerongkongan dari hewan yang
diduga menderita trichomoniasis.
Penularan pada unggas dapat melalui konsumsi makanan dan air
minum yang terkontaminasi oleh Trichomonas gallinae. Pada
merpati khususnya, dapat ditularkan melalui kontak mulut saat
xxii
induk memberikan makanan pada anaknya. Induk merpati
meregurgitasi makanan dan “pigeon’s milk” yang diproduksi di
tembolok untuk diberikan kepada anaknya, dimana makanan dan
Trichomonas gallinae dapat secara mudah tercampur.
d. Patogenesis dan Gejala Klinis
Setelah menginfeksi induk semang, Trichomonas gallinae akan
berkembangbiak secara longitudinal binary fission di mukosa
mulut dan dapat menyebar ke daerah sekitarnya. Burung atau
unggas yang menderita trichomoniasis akan mengalami depresi,
hipersalivasi yang juga berbau, jengger dan pial gelap, penurunan
berat badan, serta kelemahan. Selain itu, mulut unggas akan sering
terbuka dan terlihatnya gerakan menelan yang berulang. Unggas
atau burung biasanya akan mati kelaparan karena terdapat blokade
pada oesophagus.

4.2 PROTOZOA DARAH UNGGAS


4.2.1 Leucocytozoon sp.
a. Klasifikasi
Phylum : Apicomplexa
Class : Sporozoasida
Ordo : Eucoccidiorida
Subordo : Haemospororina
Family : Plamodiidae
Genus : Leucocytozoon
Spesies : L. simondi, L. caullery, L. sabrazesi, L. smithi
b. Morfologi
Gamet ditemukan di dalam sel lekosit, tetapi beberapa spesies
di dalam eritrosit. Merogoni terjadi di dalam parenkim hati,
jantung, ginjal organ lainnya dan tidak pernah terjadi di dalam
eritrosit atau lekosit. Vektornya lalat (Simolium dan Culicoides).

xxiii
Sporozoit dan Merozoit mempunyai tiga cincin kutub, tidak ada
konoid, dua roptri dan beberapa mikrotubulus subperikuler.

Stadium gamet
Leucocytozoon s
yang mendesak
eritrosit

c. Siklus Hidup
Di dalam tubuh vektor, dimulai sejak lalat menghisap darah
penderita, bersama darah juga akan terhisap gamon (Mikro dan
Makro)-gamet, didalam tubuh lalat mikrogamet akan secara aktif
mencari Makrogamet untuk kawin, hasil perkawinan terbentuklah
zygot berbentuk bulat kemudian berkembang lebih lanjut
bentuknya berubah memanjang dan dapat bergerak disebut
ookinet, ookinet bergerak menuju dinding usus tengah untuk
membentuk ookista, ookista mengalami proses SPROGONY
(pembentukan sporozoit) dengan menbelahan berlipat ganda
(skizogoni) menghasilkan sporozoit, sporozoit akan bermigrasi
menuju kelenjar air liur sehingga lalat menjadi infektif
Di dalam tubuh hewan peka, dimulai juga saat lalat infektif
menghisap darah, sporozoit yang berada didalam kelenjar ludah
akan ikut tersebar kedalam peredaran darah, kemudian akan
memasuki sel endotel (ginjal, hati dan paru-paru) serta didalam
ruangan berisi darah atau didalam jaringan (jantung, limpa,
pankreas, thymus, otot-otot, usus, tarakhea, ovarium, kelenjar
xxiv
adrenal, dan otak. Sporozoit mengalami proses MEROGONY
(pembentukan merozoit) dengan cara pemebelahan berlipat ganda
(skizogoni) sehingga dibebaskan banyak merozoit. Merogoni
berlangsung beberapa kali, kemudian mengalami proses
GAMETOGONY (pembentukan gamet) akhirnya terbentuklah
(Mikro dan Makro)-ganet. Gamet akan muncul didalam darah
perifer 14 hari setelah infeksi baik didalam eritrosit atau eritroblast,
gamon dewasa kadang-kadang ditemukan bebas didalam plasma
darah. Gamet ini akan ikut terhisap saat lalat menghisap darah
maka terulanglah siklus seperti diatas.
d. Gejala Klinis
L. caulleri sebenarnya tidak terlalu patogen, namun untuk
beberapa strain tertentu dapat bersifat sangat patogen. Penyakit
yang diakibatkan oleh protozoa ini adalah leucocytozoonosis.
Leucocytozoonosis memiliki kemiripan gejala klinik dengan
malaria ungga yang disebabkan oleh Plasmodium sp. Gejala
klinisnya dapat dilihat tergantung dari berat ringannya infeksi.
Untuk infeksi yang bersifat berat (akut) akan menimbulkan lesu,
kehilangan keseimbangan, anemia, berak hijau, batuk darah,
jengger dan pial berwarna pucat, hingga kematian ayam.
Kematian ini terjadi seminggu setelah parasit menginfeksi darah
unggas. Pada kasus ringan/kronis, mengakibatkan gangguan
pertumbuhan ayam, dan gangguan pada produksi telur.

4.2.2 Haemoproteus columbae


a. Klasifikasi
Filum : Apicomplexa
Kelas : Sporozoasida
Ordo : Eucoccidiorida
Sub ordo : Haemospororina
Famili : Plasmodidae
xxv
Genus : Haemoproteus
Spesies : Haemoproteus columbae
b. Morfologi
Protozoa darah yang mempunyai bentuk menyerupai
plasmodium. Pada darah perifer hanya dijumpai bentuk gametosit,
sedangkan skizogoni tidak terbentuk di sel-sel darah perifer tetapi
pada sel endotel dari organ dalam. Gametosit terdapat pada eritrosit
berbentuk seperti halter yang mengelilingi inti induk semang.
Gametosit mempunyai pigmen granul dan tidak mendesak inti.
Perkembangan seksual dan sporogoni juga terjadi pada insekta
penghisap darah. Parasit ditularkan melalui lalat Hippobosca,
Pseudolyncia canariensis, dan Ornithomiya oviculris.
c. Siklus Hidup
Didalam tubuh hospes, merpati akan terinfeksi bila digigit oleh
vektor yang terinfeksi. Sporozoit yang ada pada kelenjar ludah (air
liur) vektor (lalat Hippobosca) akan ikut terinjeksikan ke dalam
aliran darah, sporozoit selanjutnya akan masuk ke dalam sel
endotel buluh darah (paru-paru, hati dan limpa) dan terjadi proses
Merogoni (pembentukan Merozoit), merogoni di dalam sel endotel
terjadi beberapa kali, sampai akhirnya merozoit memasuki
eritrosit, didalam eritrosit terjadi proses gametogoni (pembentukan
Mikro dan Makro gamet ), gametogoni terjadi 28 – 30 hari setelah
infeksi. (Mikro dan Makro)-gamet akhirnya ikut terhisap oleh
vektor pada saat menghisap darah.
Didalam usus tengah lalat, mikrogamon menghasilkan 4
mikrogamet atau lebih, kemudian mikrogamet akan mencari
makrogamet . Hasil penggabungannya (Mikro + Makro)-gamet
menghasilkan zygote yang bisa bergerak disebut Ookinet. Ookinet
merayap menuju dinding usus tengah dan melindungi dirinya
dengan membentuk dinding disebut Ookista. Didalam ookista akan

xxvi
terbentuk sejumlah besar sporozoit, kemudian masuk ke dalam
rongga badan dan akhirnya menuju glandula salivaria.

Gametosit bentuk halter dengan pigmen


granul dalam eritrosit induk semang

d. Patogenesis dan Gejala Klinis


Menyerang burung dan reptil yang berpredileksi di dalam darah.
Menyebabkan anemia dan aspeksia (karena kongesti paru-paru)
yang merupakan gejala khas pada hewan yang terinfeksi
Haemoproteus sp. Namun pada umunya infeksi Haemoproteus
kurang pathogen. Infeksi pada merpati dewasa biasanya tidak
menampakkan gejala klinis. Gejala yang tampak adalah anoreksia
dan anemia. Pada infeksi yang bersifat akut, burung cenderung
tiduran terus dan pada infeksi yang berat dapat menimbulkan
kematian. Kelainan paska mati yang dapat diamati yaitu
membesarnya hati dan limfa serta berwarna gelap.

4.2.3 Plasmodium sp.


a. Klasifikasi
xxvii
Filum : Apicomplexa
Kelas : Sporozoasida
Subkelas : Coccidiasina
Ordo : Eucoccidiorida
Sub Ordo : Haemospororina
Famili : Plasmodiidae
Genus : Plasmodium
Spesies : Plasmodium sp.
b. Morfologi
Berbentuk gametosit bundar, mempunyai pigmen granul yang
relatif besar. Bentuk skizon bundar atau tidak beraturan dan
menghasilkan 3-8 merozoit. Siklus skizogoni 36 jam. Mendesak
atau tidak mendesak inti. Stadium eksoeritrositik terjadi pada sel
endotel dan RES pada lien, otak, liver.

Plasmodium sp. Stadium skizon pada darah ayam

xxviii
c. Siklus Hidup

(a) Sporozoit masuk melalui gigitan nyamuk (b) skizon pre


eritrositik/ criptozoid pada makrofag kulit (c) merozoid terbebas
menginfeksi sel lain (d) trbentuk meta criptozoid (e) merozoit
masuk ke eritrosit (f) merozoid menginfeksi sel endotel
siklus
membentuk skizon hidup Plasmodium
eksoeritrositik gallinaceum
(g) skizogoni (soulsby,
di eritrosit (h)1986)
merozoit menginfeksi eritrosit baru (i) merozoit menginfeksi sel
endoel baru (j)merozoit dari skizon eksoeritrositik menginfeksi
eritrosit baru (k) makrogamet (l) mikrogamet (m) dan (n) terhisap
nyamuk, makrogamet dan mikrogamet mengalami perkembangan
di usus nyamuk (o) pembuahan (p) oozigot (ookinet) (q) ookinet
menembus dinding usus (r)sporogoni (s) ookista pecah, sporozoid
migrasi ke kelenjar ludah nyamuk.
Vektor penyakit ini adalah: Culex sp., Aedes aegypty, Armigere
obturbans. Sehingga protoza ini juga disebut sebagai penyebab
penyakit malaria unggas.

d. Patogenesis dan Gejala Klinis

xxix
Bersifat akut pada ayam muda, dan bersifat kronis pada ayam
dewasa, bersifat fatal dan memiliki mortalitas tinggi pada ayam ras.
Plasmodium pada ayam menyebabkan hemolisis intravaskuler,
splenomegaly, glomerulonephritis dan hipoglikemia.
Menyebabkan rasa sakit akibat masuknya toksin malaria yang
diproduksi oleh Plasmodium pada fase skizogoni pada aliran darah
dan mengakibatkan hancurnya sel darah merah akibat toksin dan
keberadaan dari Plasmodium. Dapat menyebabkan kelumpuhan
akibat blocking kapiler otak. Kematian dapat terjadi 2 hari setelah
munculnya gejala klinis.
Gejala klinis yang muncul akibat infeksi Plasmodium sp
diantaranya adalah demam, diare berwarna kehijauan, nafsu makan
menurun, bulu kusut, depresi, gangguan keseimbangan, penurunan
berat badan, anemia, posisi tubuh ayam meringkuk, bergerombol
dan tidak banyak bergerak, kelumpuhan hingga kematian.
Perubahan post mortem yang ditemukan berupa hepatomegali, dan
berwarna abu-abu belang-belang, pembesaran limpa, karkas pucat
dan perdarahan pada organ dalam dan otot dada.

4.3 PROTOZOA DARAH MAMALIA


4.3.1 Trypanosoma sp.
a. Klasifikasi
Filum : Sarcomastigophora
Subfilum : Mastigophora
Kelas : Zoomastigophorasida
Ordo : Kinetoplastorida
Subordo : Trypanosomarina
Famili : Trypanosomatidae
Genus : Trypanosoma
Spesies : Trypanosoma sp

xxx
b. Morfologi
Famili Trypanosomatidae berbentuk seperti daun dan beberapa
bulat. Organela yang dimiliki anatara lain: inti, mikrotubulus, satu
flagella, kinetoplas, badan golgi, lisosom dan reticulum
endoplasmic. Flagella muncul dari kompleks badan basal (basal
body atau blepharoplast) dan kinetoplas (kinetoplast). Kinetoplas
merupakan granula kecil yang merupakan DNA ekstranuklear.
Anggota famili ini mempunyai beberapa stadium amastigote,
promastigote, epimastigote, trypomastigote.

c. Siklus Hidup
Menurut cara penularan oleh vektor, Trypanosoma dibagi dalam
dua kelompok secara biologis, yaitu stercoraria dan salivaria dan
mekanis. Sebagian besar kelompok stercoraria bersifat tidak
patogen, kecuali Trypanosoma cruzi.
Siklus hidup Trypanosoma brucei merupakan contoh dari
kelompok salivaria. Hewan terinfeksi karena tergigit oleh lalat
yang di glandula salivanya mengandung Trypanosoma. Pertama
kali masuk ke dalam tubuh induk semang, protozoa membelah diri
secara pembelahan ganda longitudinal di dalam darah dan getah
xxxi
bening (limfe) dalam bentuk trypomastigote. Selanjutnya,
Trypanosoma melewati blood-brain barrier, masuk cairan
cerebrospinal dan berkembang biak dan berhabitat di antara sel –
sel saraf. Sewaktu terhisap oleh vector (lalat Glossina sp.) T. brucei
berada pada bagian posterior usus vector, berkembang biak sebagai
bentuk trypomastigote selama sekitar 10 hari. Awalnya berbentuk
lebar pada hari ke-10 dan 12 berbentuk langsing dan bermigrasi ke
proventrikulus. Migrasi selanjutnya ke esophagus dan faring yang
akhirnya ke glandula salivaria. Di glandula salivaria berbentuk
epimastigote, dari bentuk tersebut berubah menjadi bentuk
metasiklik trypomastigote dan bentuk inilah yang merupakan
stadium infektif bagi induk semang.
Trypanosoma evansi merupakan contoh penulaaran secars
mekanis oleh lalat penghisap darah, antara lain: lalat Tabanus,
Stomoxys, Haematopota dan Lyperosia. Dalam tubuh vector,
parasit tidak mengalami perkembangan. Setelah menghisap darah
penderita T. evansi tetap berada pada probosis vector dan langsung
ditularkan ke induk semang lain. Di dalam tubuh induk semang
T.evansi, berbentuk trypomastigote dengan habitat di plasma darah
dan limfe.
d. Patogenesis dan Gejala Klinis
Tingkat keparahan dan tanda-tanda klinis surra bervariasi sesuai
dengan virulensi strain T. evansi, spesies inang dan faktor stres
lainnya pada hewan. Surra dapat menyebabkan kematian mencapai
30-100 %. Bentuk akut penyakit dapat berlangsung sampai tiga
bulan dan ditandai dengan demam, penurunan berat badan
progresif, nafsu makan menurun, anemia, kerato konjungtivitis
berulang dan plak urtikaria pada leher dan sayap, edema di dada,
perut, alat kelamin dan peningkatan suhu tubuh sesuai dengan
puncak parasitemia. Tanda-tanda klinis pada kasus-kasus kronis
kurang khas. Defisit produksi, lesu, kekurusan progresif, anemia,
xxxii
dan demam berulang dapat diamati. Keterlibatan sistem saraf pusat
terminal umum. Berikut merupakan gejala klinis dari hewan yang
terkena Trypanosoma evansi:
 Penyakit surra pada kuda
Pada kuda, masa inkubasi 1-4 minggu, dan kadang-kadang
sampai 8 minggu, setelah itu muncul beberapa gejala seperti
demam dengan flutuasi tinggi dengan puncak tinggi dengan
parasitemia (41,5 ° C hingga 44 ° C), lemah, lesu, anemia,
penurunan berat badan yang parah. Sementara terlihat pada
kulit terjadi Letusan kulit, perdarahan petekie pada kelopak
mata, terutama membran nictitating (yang dapat berubah
kuning ketika mencapai tahap icteric), vulva dan mukosa
vagina, perdarahan ke dalam ruang anterior mata, aborsi, dan
perubahan gerak, dengan tanda-tanda gugup klasik seperti kaki
belakang yang tersandung dengan kaki depan atau sering
disebut Mal de Caderas, dan edema (submaxillary, kaki,
briskets, perut, testis dan ambing) muncul setelah beberapa
waktu. Hewan dapat juga mati mendadak dan tak terduga atau
menunjukkan tanda-tanda delirium dan berjuang selama
berjam-jam sebelum mereka mati kelelahan. Dengan tingkat
kematian pada kuda mencapai 50 %.
 Penyakit surra pada sapi kerbau
Pada sapi maupun kerbau penyakit surra kadang kadang tidak
menimbulkan gejala spesifik yang dimana tingkat
kematiannya mencapai 90 %. Dampak umum yang dapat
diakibatkan oleh surra ialah anemia, kekurusan yang mengarah
ke gangguan dalam cyclicity oestrous, aborsi, dan gangguan
produksi susu. Di Thailand, tanda-tanda klinis dicatat dalam
kerbau adalah demam, kekakuan, konjungtivitis, kekurusan,
edema (pembengkakan kaki), inappetence, dyspnea, anemia,
penyerahan diri, diare, aborsi, dan kematian. Tanda-tanda
xxxiii
gugup menunjukan meningoencephalitis. (Marc Desquesnes et
all 2013).
 Penyakit surra pada kambing domba
Pada infeksi alami tidak terlihat gejala khusus, tapi biasanya
gejala surra terutama demam (40°C), kurang nafsu makan, dan
anemia. Selama hipertermia, modifikasi perilaku seperti
kelelahan atau agresivitas tiba-tiba telah diamati; anemia bisa
surut setelah 2 bulan; parasitemia umumnya rendah (10 parasit
/ mL) dan menurun sampai tidak terdeteksi selama beberapa
bulan. Namun, dalam kondisi tertentu seperti pembatasan
makanan atau transportasi stres, parasit bisa kambuh ke dalam
darah dan tanda-tanda klinis muncul kembali. Pada infeksi
eksperimental domba dengan isolat Nigeria T. evansi, akut dan
evolusi kronis yang diamati, dengan demam, selaput lendir
pucat, epifora, kehilangan nafsu makan, kekurusan, kusam,
dan mantel berambut kasar; di evolusi akut binatang mati
dalam waktu 2 minggu; Pengamatan postmortem
menunjukkan pembesaran limpa dan kelenjar getah bening.
Sedangkan pada kambing memiliki kerentanan yang rendah
terhadap penyakit ini, gejala yang ditimbulakan hamper sama
seperti pada domba tetapi pada beberapa kejadian bisa juga
terdapat peradangan sendi.
 Penyakit surra pada babi
Infeksi pada babi telah lama dilaporkan sebagai sangat ringan
atau tanpa gejala; Namun, gejala-gejala seperti demam,
anoreksia, kekurusan, dan aborsi. Infeksi babi sering kronis
dengan tidak hanya demam tinggi, anemia, kehilangan berat
badan, aborsi, dan ruam kulit, tetapi juga lambat dalam
penerimaan rangsang, dan kelumpuhan kaki belakang.
 Penyakit surra pada carnivore

xxxiv
Anjing sangat rentan terhadap T. evansi, dan mereka sering
menunjukkan tanda-tanda klinis yang kuat menyebabkan
kematian, kadang-kadang dalam seminggu dan paling sering
dalam waktu satu bulan dalam kasus-kasus akut, terutama pada
anjing liar yang tidak diobati dan juga kadang-kadang bahkan
meskipun perawatan klinis
tanda-tanda demam intermiten (39°C-41°C), edema di kepala,
termasuk laring (dibedakan dari rabies), edema dinding perut
dan kaki, anemia, kelemahan, kurang nafsu makan
menyebabkan kekurusan dan, kadang-kadang, paresis di
bagian belakangnya. Selain itu kasus myocarditis dan tanda
tanda gairah seksual juga telah dilaporkan dalam beberapa
kasus. Tanda-tanda pada mata adalah paling sering ditemukan
pada anjing, dengan konjungtivitis, lachrymation, keratitis,
opacity kornea, dan / atau tanda-tanda perdarahan, yang dapat
menyebabkan fibrin deposito di ruang anterior mata.
 Penyakit surra pada hewan liar
Penyakit surra ini juga menyerang beberapa hewan liar
diantaranya yang pernah dilaporkan adalah seperti kelelawar
vampir, capybaras, coatis, babi hutan, rusa, dan hewan
pengerat. Tanda-tanda klinisnya ialah anoreksia, kelemahan,
ataksia, dan anemia, sedangkan otopsi mengungkapkan
perikarditis, splenomegali dan gastritis colitis dan enteritis.
Pada badak sumatera gejala yang dapat ditimbulkan dari surra
ini seperti depresi, anoreksia, inkoordinasi, tremor otot,
perdarahan hidung, lemas, dan sesak napas diikuti dengan
kematian.
4.3.2 Anaplasma marginale
a. Klasifikasi
Filum : Apicomplexa
Kelas : Sporozoasida
xxxv
Sub Kelas : Coccidiasina
Ordo : Eucoccidiorida
Sub Ordo : Piroplasmorina
Famili : Theileriidae
Genus : Anaplasma
Spesies : Anaplasma marginale
b. Morfologi
Bentuk bulat kecil dan berada di tepi eritrosit. Ukuran protozoa
ini 0,2 – 0,5 µm dan tidak memiliki sitoplasma serta nampak ada
bentukan halo yang melingkarinya. Dengan pewarnaan Giemsa
protozoa ini akan terlihat seperti titik merah sampai merah gelap
di pinggir dari eritrosit.

c. Siklus Hidup
Secara lengkap siklus hidup dari Genus Anaplasma belum
diketahui. Perkembangbiakan di dalam eritrosit dilakukan secara
binary fission dan terkadang multiple fission. Penularan protozoa
ini pada siklus hidupnya dapat terjadi melalui vektor mekanis,
yakni oleh lalat penghisap darah (Tabanus sp, Stomoxys sp dll)

xxxvi
serta melalui vektor biologis, yakni caplak (Boophilus sp,
Dermasentor sp, Hyaloma sp, Riphicephalus sp dan Ixodes sp).
Siklus hidup protozoa ini pada vektor biologis dimulai saat
caplak menghisap darah yang terinfeksi Anaplasma marginale,
kemudian darah tersebut masuk ke dalam saluran pencernaan
caplak. Anaplasma marginale akan melakukan perkembangan diri
di sel-sel usus caplak. Perkembangan bentuk dari Anaplasma
marginale terdiri atas dua bentuk, yakni bentuk vegetatif
(reticulated) serta bentuk padat (dense). Bentuk vegetatif muncul
pertama kali dengan pembelahan biner kemudian akan berubah
bentuk menjadi bentuk padat yang merupakan bentuk infektif serta
dapat bertahan hidup di luar sel. Setelah mengalami perkembangan
di sel-sel usus Anaplasma marginale akan menginfeksi jaringan
lain termasuk kelenjar saliva yang menjadi perantara infeksi
kepada inang utama saat caplak menghisap darah Anaplasma
marginale akan masuk ke dalam aliran darah inang utama.
d. Patogenesis dan Gejala Klinis
Gejala klinis akut akan nampak jika 70% eritrosit terinfeksi,
gejala yang muncul yakni Anemia, fever, anoreksia, berat badan
turun, abortus, icterus, Sering Urinasi dan Konstipasi. Pada
pemeriksaan post mortem hewan yang terkena anaplasmosis akan
terlihat adanya perbesaran dan kongesti pada limpa. Terjadi
perbesaran juga pada kantung empedu serta perubahan warna
kantung empedu menjadi gelap. Darah juga menjadi encer akibat
terganggunya koagulasi. Jantung juga mengalami perbesaran
dengan ptechie. Perbesaran juga terjadi pada hepar dan saluran
empedu yang menyebabkan terjadinya ikterus sehingga membuat
karkas dan selaput mata berwarna kuning.

xxxvii
4.4 PROTOZA PADA BIAWAK
4.4.1 Haemogregarina sp.
a. Klasifikasi
Filum : Apicomplexa
Kelas : Conoidasida
Ordo : Eucoccidiorida
Subordo : Adeleorina
Family : Haemogregarinidae
Genus : Haemogregarina
Spesies : Haemogregarina sp.
b. Morfologi
 Bentuk hampir mirip dengan Haemoproteus tapi tidak ada
granula berpigmen

 Mendesak inti
c. Siklus Hidup

xxxviii
Lintah menghisap darah pada reptile atau hewan amfibi dan
sporozoit kedalam aliran darah reptile/amfibi. Sporozoit
menginfeksi eritrosit menjadi stadium tropozoit. Eritrosit yang
terinfeksi akan menuju ke kapiler dari sumsum tulang dan menjadi
makroskizon. Makroskizon ini memproduksi sekitar 14 merozoit
yang akan menyebar melalui aliran darah dan menginfeksi eritrosit
yang lain. Pada sumsum tulang beberapa tropozoit akan menjadi
mikroskizon dan memproduksi sekitar 6 merozoit yang akan
menginfeksi eritrosit juga. Merozoit dari makroskizon dan
mikroskizon yang menginfeksi eritrosit akan menjadi makrogamet
dan mikrogamet. Makrogamet dan mikrogamet akan berhenti
berkembang pada stadium ini hingga ada lintah yang menghisap
darah yang mengandung mikro/makrogamet pada reptile atau
amfibi. Pada tubuh lintah perkembangan seksual dari
haemogregarina sp. ini akan berlangsung, pada usus lintah
makrogamet dan mikrogamet bersatu untuk menjadi zygot yang
akan berkembang menjadi ookista. Ookista akan melepaskan
sporozoit ke seluruh sistem sirkulasi dari tubuh lintah dan
berkumpul di proboscis dari lintah, setelah itu sporozoit akan
ditularkan melalui gigitan lintah
d. Patogenesis dan Gejala Klinis
Protozoa ini dapat menyebabkan Haemogregariniasis pada
reptil maupun amfibi. Pada umumnya, tidak ada gejala klinis pada
inang naturalnya seperti reptile. Namun gejala anorexia dan lesu
terlihat pada hewan selain reptile yang terinfeksi
xxxix
Haemogregariniasis. Belum ada terapi efektif pada reptile,
beberapa penelitian menyatakan atovaquone-proguanil dapat
digunakan untuk terapi

xl
KESIMPULAN
Dari hasil pemeriksaan beberapa sampel feses dan darah dari berbagai
lokasi dan beberapa hewan didapatkan protozoa sebagai berikut :
Pada saluran pencernaan didapatkan Entamoeba coli, Balantidium coli, Eimeria sp,
Isospora sp dan Trichomonas gallinae. Leucocytozoon sp, Haemoproteus sp dan
Plasmodium sp ditemukan pada darah unggas. Sedangkan pada darah mamalia
ditemukan Trypanosoma sp dan Anaplasma marginale.

DAFTAR PUSTAKA
Suwanti, LT., Lastuti, NDR., Suprihati, E., Mufasirin. 2012. Buku Ajar
Protozoologi Veteriner. Surabaya: Fakultas Kedokteran Hewan, UNAIR.

Yabsley M. J. 2013. Hemogregarines of Reptile. American Association of Zoo


Veterinarian Infectious Diseases Committee Manual 2013.
Davies A. J., and Nico J. S. 2001. The Life Cycle of Haemogregarina bigemina
(Adeleina : Haemogregarinidae) in South African Host. Folia Parasitologica 48:
169-177

xli

Anda mungkin juga menyukai