Anda di halaman 1dari 71

Go-Livestock

Go Modern Animal Husbandry


Beranda
Klik Menu
Dropdown Menu
Menu

Home Laporan /
Laporan Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak (IKT) | Pemeriksaan
Parasit
BAB I
PENDAHULUAN
Parasit adalah hewan renik yang dapat menurunkan produktivitas hewan yang
ditumpanginya. Parasit dapat menyerang manusia dan hewan, seperti menyerang kulit
manusia. Jenis parasit dibagi menjadi 2 yaitu ektoparasit dan endoparasit. Ektoparasit
adalah parasit yang hidup di permukaan tubuh dari suatu organismel. Sedangkan
endoparasit adalah Parasit yang hidup di dalam tubuh organisme atau inang. Maka dari
itu sangat penting untuk memahami tentang parasit mengingat sangat pentingnya
kesehatan bagi ternak. Pemeriksaan parasit salah satunya dapat dilakukan dengan
pemeriksaan mikroskopis pada feses.

Praktikum ini bertujuan untuk mengetahui secara ternis pemeriksaan mikroskopis


pada feses dan lebih memahami karakteristik dari ektoparasit dan endoparasit. Adapun
manfaat yang diperoleh dari praktikum ini adalah untuk menambah pengetahuan
mengenai parasit dan ternis pemeriksaanya dalam laboratorium.

Lihat Juga
Laporan IKT Anamnesa
Laporan IKT Nekropsi

BAB II

MATERI DAN METODE


Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak dengan materi Pemeriksaan Feses dan
Pengamatan Preparat Parasit dilaksanakan pada hari Senin tanggal 22 November 2014
pukul 11.00 WIB di Laboratorium Ilmu Kesehatan Ternak, Fakultas Peternakan dan
Pertanian, Universitas Diponegoro, Semarang.
2.1. Materi
Bahan yang digunakan adalah feses domba ekor gemuk induk dan anakan. Alat-
alat yang digunakan yaitu mortaruntuk menghaluskan feses, pipet tetes untuk
mengambil bahan cair, mikroskop untuk mengamati objek, tabung sentifuse untuk
wadah feses, larutan gula jenuh untuk memisahkan pertikel padat dan cair, preparat
awetanparasit untuk pengamatan karakteristik fisik parasit, dan gelas objek untuk
menaruh sampel mikroskop.
2.2. Metode
2.2.1. Pemeriksaan Feses Metode Natif
Mengambil feses induk sebanyak 1-2 gram, meletakkan kedalam mortal dan
menambahkan air sampai cair kemudian mengaduk hingga rata. Mengambil larutan
feses tersebut dengan pipet tetes dan meletakkan di gelas objek lalu menutup
menggunakan kaca penutup. Mengamati preparat dibawah mikroskop dengan
perbesaran 10 x 10. Kemudian mencatat hasil dalam lembar yang tersedia. Melakukan
hal tersebut juga pada feses anakan.
2.2.2. Pemeriksaan Feses Metode Sentrifuse
Mengambil sebanyak 2 gram feses, masukkan kedalam mortar, menambahkan
sedikit air, mengaduk hingga homogen. Menuangkan ke dalam tabung sentrifuse hingga
tiga per empat bagian tabung. Putar tabung sentrifuse selama 5 menit. Menuangkan air
pada bagian atas, kemudian tambahkan air gula jenuh sampai tabung, mengaduk
secara homogen. Memutar sentrifuse selama 5 menit. Setelah itu meletakkan tabung
tegak lurus pada rak tabung reaksi. Menetesi kembali dengan cairan gulan jenuh sampai
penuh dan permukaan tabung menjadi cembung karena zat dalam tabung reaksi penuh
hampir luber. Menempelkan gelas objek pada permukaan tabung tersebut secara rapat.
Lalu membalik tabung dengan cepat dan balik lagi ke posisi semula secara hati-hati.
menutup bagian gelas objek yang terkena zat dalam tabung dengan menggunakan kaca
penutup. Melakukan pengambilan data secara duplo. Setelah itu mengamati gelas objek
menggunakan mikroskop dengan perbesaran 10x10.
2.2.3. Pengamatan Preparat Parasit
Mengamati parasit awetan yang ada kemudian mencatat ciri-ciri parasit awetan
tersebut, menggolongkan parasit awetan yang ada menjadi dua yaitu endoparasit dan
ektoparasit, lalu mencatat dan menggambarnya pada lembaran yang telah tersedia.

BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Hasil Pemeriksaan Mikroskopis Feses

3.1.1. Metode Natif

Berdasarkan hasil praktikum didapatkan hasil bahwa pengamatan pada feses


domba induk dan anakan dengan metode natif tidak ditemukan adanya telur cacing. Hal
ini dapat disimpulkan bahwa ternak tersebut sehat dan tidak terserang penyakit
cacingan. Ternak yang sehat tidak terlepas dari manajemen kesehatan ternak yang
diterapkan oleh peternak, misalnya kebersihan kandang, pakan, dan pemberian obat
cacing setiap periode tertentu. Menurut pendapat Soejoto dan Soebari (1996)
menyatakan bahwa tidak ditemukannya telur cacing karena feses diperoleh dari ternak
sehat. Ternak yang sehat biasanya dipelihara dengan manajemen yang baik seperti
perkandangan yang selalu bersih dan kepadatan dalam kandang yang ideal serta diberi
pakan yang cukup dan berkualitas. Selain itu juga dilakukan pencegahan penyaki cacing
secara rutin sehingga ternak tidak terserang penyakit cacingan. Menurut Darmono dan
Hardiman (2011) bahwa penyakit parasit saluran pencernaan atau cacingan dapat
dicegah dengan pemberian obat cacing pada ternak secara rutin.

3.1.2. Metode Sentrifuse

Berdasarkan hasil praktikum pengamatan pemeriksaan feses domba indukan dan


anakan dengan metode sentrifus dapat diketahui bahwa kedua ternak domba tersebut
sehat. Hal ini ditunjukkan dengan tidak ditemukannya telur cacing pada kedua sampel
feses domba tersebut. Faktor utama tidak adanya telur cacing pada feses yaitu
lingkungan yang bersih, pakan, dan iklim. Lingkungan yang bersih dapat dilakukan
misalnya dengan sanitasi kandang dan lingkungan sekitar kandang, dan memandikan
ternak. Pakan juga harus dibebaskan dari parasit, misalnya dengan melayukan dahulu
pakan hijauan yang akan diberikan pada ternak. Iklim juga sangat berpengaruh dalam
fluktuasi suhu dan kelembapan yang mana akan berpengaruh pada perkembangbiakan
cacing. Menurut pendapat Akhira et al. (2013) yang menyatakan bahwa kesesuaian suhu
dan kelembaban serta ketersedian oksigen memungkinkan telur-telur cacing yang keluar
bersama feses menetas dan menjadi larva infektif yang akan menginfestasi inang, hal ini
menujukkan bahwa semakin ideal kondisi lingkungan semakin banyak munculnya kasus
cacingan pada ternak. Ditambahkan oleh Reinecke (1983) yang menyatakan bahwa
sanitasi yang buruk, khususnya jika feses tidak dibersihkan secara teratur, dapat
menjadikan sumber infeksi ulang yang berkelanjutan dan cacingan pada ternak. Penyakit
cacingan dapat diobati atau dicegah dengan pemberian obat cacing sesuai parasit atau
cacing yang tumbuh. Menurutpendapat Tan dan Rahardja (2007) yang menyatakan
bahwa pengobatan infeksi parasit dapat diantisipasi dengan pemberian obat cacing.
Pengobatan dilakukan apabila ternak menujukkan gejala klinis terinfeksi parasit dan
pengobatan diberikan dengan cara interval berkelajutan serta menjaga lingkungan yang
bersih. Ditambahkan oleh Harjopranjoto et al. (1998) yang menyatakan bahwa proses
penularan cacing dapat melalui tanah dan pakan berupa hijauan yang terkontaminasi.

3.2. Pengamatan Preparat Parasit


3.2.1. Ektoparasit
Berdasarkan preparat yang diamati didapatkan hasil pengamatan dari ektoparasit
yaitu Boophilus microplus, Cteno cephalides canis, dan Bovicola bovis.

3.2.1.1. Boophilus microplus, berdasarkan pengamatan praktikum diperoleh hasil


sebagai berikut.

Ilustrasi 6. Boophilus microplus


Berdasarkan hasil pengamatan dapat diketahui bahwa Boophilus microplus yaitu
memiliki bentuk yang sama seperti caplakkarena bentuknya seperti serangga kecil
berwarna hitam dan bersifat parasit yang biasa hidup pada ternak yaitu berkaki empat
seperti kutu pada umumnya. Berdasarkan pendapat Ahmad (2004) menyatakan
bahwa boophilus microplus atau caplak memiliki kulit yang keras dan berumah satu
(hidup pada satu ekor hewan. Selain itu, daur hidupnya Boophilus microplus terdiri dari
telur, larva, nimfa, dan dewasa. Daur hidup Boophilus microplus dari larva sampai
dewasa dapat menempel pada satu individu induk semang yang sepanjang waktu terus
menghisap darah. Selain itu gejala klinis yang nampak pada ternak yaitu kerusakan
pada kulit, ternak menjadi tidak tenang karena gatal, berat badan menurun, penurunan
kondisi umum dan produksi. Manurung dan Ahmad (2003) menambahkan bahwa cara
penanggulangan sementara yang dapat dilakukan yaitu dengan akarisidam ivermectin,
dan yang masih dalam taraf penelitian ialah obat yang berasal dari tanaman tradisional.

3.2.1.2 Cteno cephalides canis,berdasarkan pengamatan praktikum diperoleh hasil


sebagai berikut.
Ilustrasi 7. Cteno cephalides canis
Berdasarkan praktikum dapat diperoleh bahwa hasil pengamatan yang telah
dilakukan yaitu, Cteno cephalides canis mempunyai ciri-ciri fisik berbentuk seperti lebah,
memiliki warna kuning kecoklatan, dan mempunyai sayap. Priyanto et al (2006)
menyatakan bahwa morfologi Cteno cephalides canis berkepala bundar, gigi satu dan
dua tidak mempunyai panjang yang sama. Menurut Dobler dan Peffer (2011)
bahwa Cteno cephalides canis termasuk serangga holometabolaus atau metamorphosis
sempurna karena daur hidupnya melalui 4 stadium yaitu telur, larva, pupa,
dewasa. Cteno cephalides canis betina bertelur diantara rambut inang. Jumlah telur yang
dikeluarkan pinjal betina berkisar antara 3-18 butir. Cteno cephalides canisbetina dapat
bertelur 2-6 kali sebanyak 400-500 butir selama hidupnyaMenurut Wall (1997) Cteno
cephalides canis berkembangbiak dengan cara bertelur, telur tersebut kemudian
menetas yang menjadi larva dan tumbuh menjadi dewasa. Parasit ini ditualarkan melalui
sentuhan antara hewan.

3.2.1.3. Bovicola bovis, berdasarkan pengamatan praktikum diperoleh hasil sebagai


berikut.

Ilustrasi 8. Bovicola bovis


Berdasarkan hasil pengamatan praktikum Bovicola bovis memiliki bentuk tubuh
pipih. Bovicola bovis sering disebut juga kutu penggigit sapi yang menyebabkan flek atau
bercak pada kulit sapi. Hal ini sesuai dengan pendapat Ako (2011) selain Haematopinus
eurysternus dan Lignognathus vituli, parasit luar seperti Bovicola bovis termasuk caplak
yang sering menyerang pada ternak perah yang menyebabkan penyakit kulit. Johnson
(2010) menambahkan bahwa kutu Bovicola bovis memiliki 4 tahapan siklus hidup mulai
dari telur, larva, nimfa dan dewasa dan salah satu spesies yang paling umum ditemukan
pada sapi di Montana. Bovicola bovis memiliki kepala kemerahan dan perut cokelat pucat
dengan garis-garis cokelat agak gelap. Betina dewasa panjangnya sekitar 1-16 inci.
Spesies ini memperoleh makanan untuk energi dan produksi telur dengan makan pada
kulit, ketombe dan rambut hewan. Kutu menggigit sering ditemukan di bagian atas
belakang, terutama daerah layu dan akan menyebar ke tubuh bagian belakang seperti
pangkal ekor.

3.2.2 Endoparasit
Berdasarkan preparat yang diamati didapatkan hasil pengamatan dari ektoparasit
yaitu Monieziasp., Fasciola gigantica, dan Raillietina sp.

3.2.2.1 Moniezia sp. berdasarkan pengamatan praktikum diperoleh hasil sebagai


berikut.

Ilustrasi 9. Moniezia sp.


Berdasarkan hasil pengamatan praktikum Moniezia sp. memiliki bentuk yang
pipih memanjang, strukturnya elastis, dan berwarna putih. Menurut Suwandi
(2001) Moniezia sp. termasuk dalam cacing kelas cestoda (cacing pita) yang mempunyai
ciri-ciri tubuh bersegmen, mempunyai scolex leher, proglotida (telur berembrio),
hermaprodit, reproduksi ovipar dan kadang-kadang berbiak dalam bentuk larva, infeksi
umumnya oleh larva dalam kista yang hidup dalam usus kecil pada sapi dan
kerbau.Menurut Adiwinata dan Sukarsih (1992) siklus hidup Moniezia sp. dimulai dari
telur atau proglotid akan keluar bersama feses dan akan mencemari rumput yang ada
pada lapangan, telur yang berada pada feses akan termakan oleh tungau dari jenis
galumna, orbatid. Didalam tubuh tungau telur yang ermakan akan berkembang menjadi
L4 dan tungau akan termakan bersama rumput pada saat sapi atau domba, kambing
merumput dan pada usus halus ternak cacing akan berkembang menjadi cacing dewasa
yang akan menempel pada mukosa usus ternak. Menurut Anyaegbunam et al.
(2013) Moniezia sp. meskipun sedikit, tetapi rentan ditemukan pada kambing. Tempat
kegemaran yang lebih dari daerah perut, dada, kaki dan punggung, yang mungkin yang
memiliki lebih sedikit bulu yang menutupi dan kulit.

3.2.2.2. Fasciola gigantica, berdasarkan pengamatan praktikum diperoleh hasil


sebagai berikut.
Ilustrasi 10. Fasciola gigantica
Berdasarkan hasil pengamatan praktikum, Fasciola giganticamemiliki bentuk pipih
menyerupai daun dan berwarna abu-abu serta di tengahnya terdapat warna kekuningan
atau lebih terang. Hal ini sesuai dengan pendapat Tabbu (2002) yang menyatakan
bahwa Fasciola giganticamemiliki bentuk tubuh menyerupai daun, pipih dorsoventral,
tidak memiliki bentuk bahu yang jelas, tidak bersegmen, dan tidak memiliki rongga
badan.Menurut Budianto et al., (2005) Siklus hidup cacing Fasciola gigantica terdiri atas
2 fase, yaitu aseksual dan seksual. Daur hidup aseksual berlangsung pada dua hospes,
yaitu siput dan tanaman air, sedangkan daur hidup seksual terjadi dalam hospes definitif.
Hospes definitif berupa ternak ruminansia akan terinfeksi oleh metaserkaria apabila
menelan makanan atau minuman yang mengandung metaserkaria. Metaserkaria akan
mengalami ekskistasi dan segera menembus mukosa usus untuk menuju ke hati.
Peristiwa ini akan menyebabkan haemorrhagi dan fibrosis pada jaringan hospes yang
selanjutnya akan memicu pengerahan sel-sel leukosit, termasuk eosinofil, pada jaringan
terluka.Ditambahkan oleh Guntoro (2012) yang menyatakan bentuk tubuh Fasciola
gigantica adalah segi tiga, pipih dan terlihat seperti daun, berwarna abu-abu kehijau-
hijauan sampai kecokelat-cokelatan,panjangnya dapat mencapai 2-3 cm.

3.2.2.3. Raillietina sp., berdasarkan pengamatan praktikum diperoleh hasil sebagai


berikut.

Ilustrasi 11. Raillietina sp.


Berdasarkan hasil dari pengamatan bahwa Raillietina sp memiliki tubuh
pipih, memanjang seperti pita, dan bersegmen-segmen. Parasit ini sering menyerang
ayam maupun unggas lainnya. Biasanya parasit ini menyebar melalui kotoran ayam. Hal
ini Sesuai dengan pendapat Levine dan Norman(2001) yang menyatakan
bahwa Cestodosis menyerang ayam pada semua umur dan penyebarannya melalui
kotoran ayam yang sakit atau alat-alat yang digunakan. Hadi (2004) menyatakan siklus
hidup cacing pita umumnya melewati inang antara seperti serangga (lalat dan
kumbang), serta cacing tanah. Peran inang antara itu pula yang menjadikan cacing pita
mudah tersebar luas. Telur yang keluar bersama feses akan bersifat aktif di lingkungan,
sehingga kemudian dapat termakan dan berkembang di dalam tubuh
inang. Cacing Raillietina spp tergolong dalam phylum Platyhelmintes, Class Cestoidea,
Sub Class Cestoda, Ordo Cyclophyllidea, Genus Railietina dan Spesies Raillietina sp.

BAB IV

SIMPULAN DAN SARAN


4.1. Simpulan
Pemeriksaan parasit pada sampel feses tidak ditemukan adanya cacing, hal ini
menunjukkan ternak dalam kondisi sehat. Pengamatan parasit pada preparat ektoparasit
dan endoparasit berguna untuk lebih memahami karakteristik dari masing-masing dari
parasit tersebut.

4.2. Saran

Sebaiknya dalam praktikum perlu dijelaskan lebih detail mengenai parasit-


parasit yang menyerang pada ternak supaya praktikan lebih paham.

DAFTAR PUSTAKA

Adiwinata, G Dan Sukarsih. 1992. Gambaran Darah Domba yang Terinfeksi Cacing Nematoda
Saluran Pencemaan Secara Alami di Kab. Bogor (Kec. Cijeruk, Jasinga dan Rumpin) .
Penyakit Hewan 24 (43) : 13-16.

Ahmad, R. Z. 2004. Cendawan Metarhizium anisopliae sebagai pengendalian hayati ektoparasit


caplak dan tungau pada ternak. Wartazoa. Vol. 14 (2). 73-78.

Akhira, D., Yudha, F., dan Hasan, M. 2013. Indentifikasi parasit nematoda saluran pencernaan
anjing pemburu (Canis familiaris) Di Kecamatan Lareh Sago Halaban Provinsi Sumatra
Barat. Jurnal Medika Veterinaria. Vol 7 No (1).
Ako Ambo. 2011. Buku Ajar Produksi Ternak Perah. Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin,
Makassar.

Anyaegbunam, Lucy C., Obi, Zita. C., dan Ezeoke Chinasa M. 2013. Ectoparasitosis and
Endoparasites in Local Goats (Capra hircus) In Onitsha, Anambra State, Nigeria.
International Journal of Fauna and Biological Studies; 1 (2): 1-3

Budianto, B., Subadrah S, Riwidiharso E, Kusmintarsih E. 2005. Kemampuan Metaserkaria


Fasciola gigantica yang Diiradiasi Ultra Violet (254 NM) dalam Reinfeksinya terhadap
Mencit (Mus musculus). Fakultas Biologi Unsoed. Purwokerto.

Darmono Dan Hardiman. 2011. Penyakit Utama Yang Sering Ditemukan Pada Ruminansia Kecil
(Kambing Dan Domba). Workshop Nasional Diversifikasi Pangan Daging Ruminansia Kecil
Balai. Besar Penelitian Veteriner, Bogor.
Dobler, G., dan Peffer. 2011. Fleas as Parasites of The Family Canidae. Biomed Central. 4 : 139
Guntoro, S. 2012. Membudidayakan Sapi Bali. Kanisius, Yogyakarta.
Hadi, U. K dan Saviana, S. 2000. Ektoparasit: Pengenalan, Diagnosis, dan Pengendaliannya.
Institute Pertanian Bogor, Bogor.
Harjopranjoto, S., R.S. Sasmita, Partosoewignjo, M. Hariadi, R.B. Soejoko, dan Sarmanu.1988.
Prosiding Simposium Nasional Penyakit Satwa Liar. Fakultas Kedokteran Hewan Airlangga
dan Kabun Binatang Surabaya.
Johnson Gregor. 2010. Management of Lice on Livestock. Montana State University. MSU
Extention.
Levine, D. N. dan W. Norman. 2001. Veteriner. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Manurung, J. dan R. Z. Ahmad. 2003. Pengobatan Caplak Boophilus microplus pada Sapi
Peranakan Ongole (PO) di Ciracap Sukabumi dengan Ekstrak Biji Srikaya (Annona
squamosa). Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Puslitbangnak
Bogor 29-30 Sept 2003. Hlm. 205-210.
Prianto, J. L. A., P. U. Tjahaya., dan Darwanto. 2006. Atlas Parasitologi Kedok Cetakan ke-9. PT
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Reinecke, R.K. 1983. Veterinary Heminthology. Butterworths. Durban.
Soejoto dan Soebari. 1996. Parasitologi Medik Jilid 3 Protozoologi dan Helmintologi. EGC, Solo.
Suwandi. 2001. Mengenal Berbagai Penyakit Parasitik Pada Ternak. Balai Penelitian Ternak. PO
BOX 221 Bogor 16002.

Tabbu, C. R. 2002. Penyakit Ayam dan Penanggulangannya.Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

Tan, H.T. dan K. Rahardja. 2007. Obat-Obat Penting: Khasiat Penggunaan dan Efek Sampingnya.
Edisi ke-6. PT. Elex Media Komputindo, Jakarta.
Wall, R., Shaw S.E., Penaliggon J. 1997. The Prevalence Of Flea Species On Cats And Dogs In
Ireland. Medical And Veterinary Entomology 11: 404-406.
ABOUT

CONTACT US

PRIVACY POLICY

DISCLAIMER

HOME
PETERNAKAN
OBAT TERNAK
SAPI
BURUNG
AYAM
KAMBING
BEBEK
KELINCI
Search... ?
Home Kesehatan Ternak LAPORAN PRAKTIKUM ILMU KESEHATAN TERNAK

LAPORAN PRAKTIKUM ILMU KESEHATAN TERNAK


Friday, 20 March 2015 Kesehatan Ternak

LAPORAN PRAKTIKUM ILMU KESEHATAN TERNAK

BAB I
PENDAHULUAN

Kesehatan hewan adalah suatu status kondisi tubuh hewan dengan seluruh sel yang
menyusunnya dimana cairan tubuh yang dikandungnya secara fisiologis berfungsi
normal. Pemberantasan penyakit secara tuntas di suatu kawasan tertentu mungkin
sulit dilaksanakan walaupun upaya telah berlangsung bertahun-tahun. Hal ini dapat
terjadi karena sifat alamiah gen penyakit yang berkemampuan tetap bertahan hidup
di luar induk semangnya, keterbatasan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam
penciptakan vaksin yang handal, atau ketidak mungkinan mengatasi atau
mengendalikan semua macam pembawa sifat bagi jasad renik yang ada.

Penyakit pada ternak yang tersebar sekarang ini banyak disebabkan oleh parasit,
baik endoparasit maupun ektoparasit. Endoparasit merupakan parasit yang berada
di dalam tubuh induk semang. Ektoparasit merupakan parasit yang berada di luar
atau permukaan tubuh induk semang. Pemeriksaan nekropsi merupakan
pemeriksaan jaringan tubuh ternak baik dipermukaan tubuh maupun didalam tubuh
yang dilakukan dengan cara membedah rongga tubuh

Praktikum ilmu kesehatan ternak dengan materi Pemeriksaan feses dan pengamatan
preparat parasit ini bertujuan untuk mengetahui apakah didalam tubuh ternak
terdapat telur cacing atau tidak. Manfaat yang diperoleh adalah praktikan dapat
mengidentifikasi ternak apakah ternak tersebut dalam keadaan sehat atau sakit.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pemeriksaan Kesehatan Ternak Ruminansia

Sapi perah Peranakan Friesian Holstein (PFH) merupakan hasil persilangan antara
sapi perah Friesiand Holstein (FH) dengan sapi-sapi lokal yang ada di Indonesia
dimana sifat FH-nya lebih menonjol (Muldjana, 1985). Sapi perah Friesian Holstein
mempunyai identitas warna hitam berbelang putih, kepala berbentuk panjang, lebar,
dan lurus (Siregar, 1993).

Kondisi fisiologis lingkungan yang dapat mempengaruhi kondisi fisiologis ternak,


meliputi frekuensi pernafasan, denyut jantung, dan suhu rektal yang
mengindikasikan kondisi kesehatan ternak (Santoso, 1995). Kesehatan ternak
dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Ciri-ciri ternak yang sehat antara lain lincah,
mata bersinar terang, nafsu makannya baik, frekuensi pernafasan baik, suhu tubuh
normal dan tidak terdapat bekas luka pada bagian permukaan tubuhnya. Kondisi
tubuh sapi yang seimbang adalah tidak terlalu gemuk dan tidak terlalu kurus,
langkah kakinya terlihat mantap dan teratur (Sugeng, 1998). Kesehatan hewan
adalah suatu status kondisi tubuh hewan dengan seluruh sel yang menyusun dan
cairan tubuh yang dikandungnya secara fisiologis berfungsi normal (Murtidjo, 1993).

Kesehatan hewan adalah status kondisi tubuh hewan dengan seluruh sel yang
menyusun dan cairan tubuh yang dikandungnya secara fisiologis yang berfungsi
normal. Faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan hewan antara lain faktor
mekanis, termis (suhu), nutrisi (pakan), pengaruh zat kimia, keturunan dan
sebagainya. Frekuensi nafas pada sapi rata-rata 20-30 kali per menit. Denyut jantung
sapi normal berkisar antara 50-60 kali per menit. Kulit dan bulunya tampak halus
mengkilat. Pertumbahan bulu merata di seluruh permukaan tubuhnya (Akoso, 1996).
Suhu tubuh ternak sapi yang normal berkisar antara 38-39 C (Willamson dan Payne,
1993).

Pemeriksaan kesehatan ternak dilakukan untuk mencegah dan merawat ternak,


supaya ternak tersebut dapat berproduksi dan beraktivitas secara normal tanpa
mengganggu proses fisiologisnya (Subronto, 1985). Adapun faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi kesehatan ternak antara lain faktor mekanis, termis, nutrisi,
pengaruh zat kimia dan keturunan. Penyakit yang pernah diderita ternak adalah
mencret, radang pusar, perut kembung, radang mulut, kuku dan lain-lain (Murtidjo,
1993).

Kondisi tubuh ternak yang seimbang dan sehat yaitu badan tidak terlalu gemuk atau
kurus, bagian sudut mata terlihat bersih tanpa adanya kotoran atau getah radang
dan tidak terlihat perubahan warna di selaput lendir dan kornea matanya (Murtidjo,
1993). Ternak sehat memiliki permukaan kulit yang halus, bersih dan mengkilat,
pertumbuhan bulu merata di permukaaan tubuh, bulu tumbuh panjang dan kasar
terutama di daerah beriklim sejuk, dan dalam keadaan normal penampilan bulu tidak
kusam (Santoso, 1995).

Pemeriksaan kondisi fisik ternak dilakukan pada saat ternak beraktivitas tidak dalam
posisi tidur sehingga sangat terlihat jelas tanda-tanda ternak yang sakit atau tidak
(Akoso, 1996). Untuk pencegahan penyakit, hal yang perlu dilakukan adalah dengan
sanitasi yang baik, tempat perteduhan yang cukup dan kandang yang kering (Blakely
and Bade, 1998).
2.1.1. Pengamatan tingkah laku ternak

Tingkah laku ternak dapat dijadikan sebagai indikasi kesehatan ternak, apabila
ternak tersebut sehat maka memiliki gerak yang aktif, mampu mengusir lalat, tidak
lesu dan tidak dapat tegak (Murtidjo, 1993). Ternak yang sehat dapat diamati dari
tingkah lakunya, baik dari jarak dekat maupun dari jarak jauh (Subronto, 1985). Sapi
yang sehat akan menampakkan gerakan yang aktif dan sikap sigap serta akan selalu
sadar dan cepat tanggap akan adanya perubahan situasi sekitar yang mencurigakan
(Sugeng, 1998).

2.1.2. Pemeriksaan fisik ternak

Kondisi fisik ternak yang sehat dapat diketahui dari sudut matanya yang terlihat
bersih tanpa adanya kotoran atau getah radang dengan tidak terlihat perubahan
warna yang diselaputi lendir dan kornea matanya. Ekornya selalu aktif mengibas
untuk mengusir lalat, kulit dan bulunya tampak halus dan mengkilat. Pemeriksaan
fisik dilakukan dengan cara palpasi, inspeksi visual dan penciuman di samping
pendengaran dengan cara auskultasi dan perkusi. Suhu normal sapi adalah 38,5 0C
(101,5 0F), suhu kritis 39,5 0C (103 0F) (Siregar, 1997). Pemeriksaan kondisi fisik
ternak dilakukan pada saat ternak beraktivitas tidak dalam posisi tidur sehingga
sangat terlibat jelas tanda-tanda ternak yang sakit dan ternak yang sehat (Santosa,
1995).

2.1.3. Kondisi fisiologis ternak

Fisiologis ternak meliputi suhu tubuh, denyut nadi, frekuensi pernafasan dan denyut
jantung. Pengetahuan fisiologis ternak sangat penting karena akan ikut dalam
menentukan keberhasilan usaha peternakan selain faktor genetik dan makanan
(Santosa, 1995). Sapi sehat bernafas dengan tenang dan teratur namun, sapi yang
ketakutan lelah akibat kerja berat, kondisi udara terlalu panas pernafasannya akan
menjadi lebih cepat. Kecepatan pernafasan sapi rata-rata berkisar 10-30 kali per
menit (Sugeng, 1998).

Secara fisiologis, ternak yang normal memiliki frekuensi pernafasan antara lain
ternak kuda 8-10 kali per menit, sapi 10-30 kali per menit, kerbau 12-15 kali per
menit, domba, babi dan kambing 10-20 kali per menit. Hal ini dipengaruhi oleh
beberapa faktor antara lain ukuran tubuh, umur, aktivitas ternak, kebuntingan,
lingkungan dan aktivitas pencernaan terutama pada rumen. Suhu tubuh yang normal
untuk kuda 38 0C, sapi 38,5 0C, kerbau 38,2 0C, babi dan domba 39 0C (Dukes,
1995). Frekuensi nafas untuk sapi dewasa adalah 10-30 kali per menit. Suhu tubuh
normal untuk anak sapi adalah 39,5 0C 40 0C, sedangkan untuk sapi dewasa 38 0C
39,50 0C. Suhu tubuh ini di pengaruhi oleh adanya jenis, bangsa, individu, umur,
jenis kelamin, kondisi tubuh, aktivitas yang berbeda, pakan dan kondisi klimat atau
suhu (Williamson dan Payne, 1993).

Denyut nadi pada ternak sapi yang istirahat berkisar antara 50-60 kali per menit,
sedangkan pada sapi yang sedang lari atau bekerja denyut nadinya mencapai 85 kali
per menit. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan denyut nadi adalah
umur, spesies, kelamin, kondisi ternak aktivitas dan suhu lingkungan. Ternak yang
mengalami stress akan meningkat denyut jantungnya. Denyut jantung pada sapi
berkisar antara 50-60 kali per menit (Frandson, 1996). Suhu lingkungan panas akan
meningkatkan denyut jantung dan frekuensi pernfasan pada ternak sehingga panas
tubuh langsung diedarkan oleh darah ke permukaan kulit dengan dikeluarkan melalui
radiasi, konveksi, konduksi maupun evaporasi atau penguapan. Sebaliknya jika suhu
lingkungan dingin, maka produksi panas akan digunakan untuk menjaga
keseimbangan panas agar suhu tubuh tidak turun (Levine, 1994).

2.1.4. Kondisi lingkungan ternak

Sanitasi merupakan upaya penjagaan kebersihan kandang dan lingkungan, sanitasi


yang baik dapat menghambat kehadiran bibit penyakit (Akoso, 1996). Sanitasi
merupakan suatu tindakan yang harus dilakukan oleh peternak dalam usahanya,
agar ternak yang dipelihara dalam kondisi yang sehat dan memiliki produksi yang
optimal (Siregar, 1997). Perawatan dan sanitasi ternak bertujuan untuk mencegah
berbagai macam penyakit dan parasit (Sugeng, 1998).

Sanitasi lingkungan meliputi kebersihan kandang, peralatan (tempat pakan, tempat


minum dan lain-lain), serta kebersihan lingkungan sekitar (Santoso, 1995).
Memandikan ternak perlu dilakukan karena jika ternak tidak dimandikan akan kotor
dan lembab. Apabila keadaan ini dibiarkan, tubuh ternak akan menjadi tempat untuk
tumbuh dan berkembangnya pathogen (kuman/penyakit), yaitu jamur, parasit yang
akan membahayakan ternak (Sugeng, 1998). Ternak dimandikan minimal satu
minggu sekali. Air yang digunakan harus bersih dan mengalir dengan cara disikat
dan disabun agar kuman-kuman penyakit pada bulu dan sekitarnya mati (Santosa,
1995). Waktu memandikan ternak sebaiknya pada pagi hari, lalu di jemur untuk
mendapatkan sinar matahari sehingga membantu pembentukan vitamin D
(Williamson dan Payne, 1993).

Faktor-faktor kebersihan lingkungan perlu dipertimbangkan untuk jaminan kesehatan


ternak dan peternak, bangunan kandang harus ditempatkan di suatu tempat
tertentu, yakni ditempat yang kering, atau ditempat yang lebih tinggi dari
lingkungan sekitar, atau yang tanahnya mudah menghisap air atau bila terdapat air
hujan, air akan mudah mengalir dengan cepat (Sugeng, 1998). Jika bangunan berada
di pepohonan besar, maka ruangan kandang akan mudah menjadi lembab sebab
cahaya matahari akan terhalang oleh pepohonan (Sugeng, 1998).

Kotoran dibawa dan ditempatkan di tempat khusus, bak penampungan kotoran, yang
nantinya bisa dimanfaatkan sebagai pupuk. Lantai kandang yang bersih sangat
berpengaruh terhadap kebersihan udara di dalam ruangan kandang itu sendiri
sehingga penghuni kandang pun menjadi lebih nyaman (Santoso, 1995). Sanitasi
kandang meliputi lingkungan kandang dan ternak, setiap hari kandang harus
dibersihkan dari kotoran (Akoso, 1996).

Letak kandang yang baik sebaiknya berada agak jauh dari pemukiman penduduk
dan dekat dengan sumber air serta sarana transportasi dan komunikasi. Lokasi
kandang sebaiknya tidak becek dan lembab serta cukup sinar matahari, di dataran
yang lebih tinggi dari dataran yang lainnya pada kompleks peternakan dan jauh dari
pemukiman penduduk (Setyadi, 1982). Atap kandang dapat berupa genting, daun
tebu, daun kelapa, daun rumbia maupun asbes. Lantai kandang dapat dibuat dari
bahan semen, papan atau kayu dan dibuat agak miring kira-kira 50 kemiringan.
Kemiringan lantai ini bertujuan agar air kencing sapi tidak bercampur dengan
kotoran, sehingga kesehatan sapi dapat terjamin (Siregar, 1997).

2.2.Parasit

Parasit adalah organisme yang hidup di atas atau di dalam beberapa organisme lain
yang dikenal sebagai induk semang. Parasit itu mungkin berupa hewan atau tumbuh-
tumbuhan, mereka mungkin virus, bakteri, protozoa, cacing atau arthropoda (Levine,
1994). Menurut cara hidupnya parasit dapat dibedakan antara ektoparasit dan
endoparasit. Parasit berasal dari hewan bebas yang mengalami evolusi. Kelompok
parasit adalah semua jasad renik yang bersifat merugikan hewan ternak yang hidup
di dalam atau di luar individu lain yang biasa disebut dengan induk semang.
Beberapa parasit memiliki organ semacam alat penghisap untuk bergantung. Banyak
parasit yang memproduksi sangat banyak telur, karena kemungkinan setiap telur
akan menginfeksi induk semang yang baru adalah sangat kecil.

2.2.1. Endoparasit

Salah satu jenis endoparasit adalah cacing. Cacing merupakan jenis parasit yang
memiliki daur hidup sangat spesifik. Daur hidup cacing terjadi pada tubuh induk
sehingga cacing bertelur dalam saluran empedu dan dibawa oleh cairan empedu
kedalam usus yang kemudian keluar bersama tinja. Endoparasit pada ruminansia
kecil dapat dibedakan atas tiga jenis yaitu: Nematoda atau cacing gilik, Cestoda atau
cacing pita dan Trematoda atau cacing daun. Cacing gilik yang penting pada
ruminansia kecil didaerah tropis lembab hidup dalam saluran pencernaan dan
seluruhnya memilki siklus hidup langsung. Tidak terdapat inang perantara untuk
jenis cacing ini. Trematoda hidup dalam saluran pencernaan atau organ yang terkait
dengannya seperti hati dan pankreas. Siklus hidupnya langsung. Contoh cacing
Trematoda yaitu, Fasciola hepatica dan Fasciola gigantika (Norman, 1994). Cestoda
adalah merupakan cacing pipih yang mempunyai ciri umum yaitu adanya
segmentasi tubuh yang unik, tanpa saluran pencernaan daur hidup yang berbeda.
Segmen-segmen tubuhnya disebut proglotia. Parasit ini biasa disebut cacing pita.
Cacing dewasa hidup di dalam usus vertebrata (Elmer dan Glenn, 1989).

2.2.1.1 Fasciola sp (Cacing daun). Fasciola hepatica ini berada dalam saluran
empedu atau usus yang menyebabkan kerusakan hati. Kerbau yang memiliki
kebiasaan berendam dalam kubangan berpeluang besar untuk terkena infeksi
penyakit ini. Panjang Fasciola gigantica dapat mencapai 7,5 cm, sedangkan Fasciola
hepatica sepanjang 3 cm. Fasciola mempunyai sebuah penghisap di bagian depan
dan sebuah lagi di bagian bawah tubuhnya (Levine, 1994). Daur hidupnya terjadi
pada tubuh induk semangnya. Cacing bertelur dalam saluran empedu dan dibawa
oleh cairan empedu masuk ke dalam usus yang kemudian akan keluar bersama tinja.
Bila cuacanya cocok, maka telur akan menetas dan menghasilkan larva stadium
pertama atau mirasidium dalam waktu 9 hari. (Kadarsan,et al. 1983).

Ternak akan terinfeksi oleh penyakit ini karena makan rumput yang mengandung
metaserkaria termakan oleh ternak tersebut akan menembus dinding usus dan
tinggal di dalam hati yang akan berkembang selama 5 atau 6 minggu. Dalam tahap
akhir larva cacing akan memasuki saluran empedu untuk tumbuh menjadi dewasa.
Gejala yang sering terjadi adalah ternak akan menjadi lemah dan depresi, bagian
perut membesar dan terasa sakit. (Kadarsan,et al.1983). Usaha pencegahan untuk
mengobati ternak dari cacing Fasciola sp ini selain dengan pengobatan juga
dilakukan upaya pemberantasan siput yang berada di sekitar lingkungan ternak
sampai radius 5 km. Pengobatan Fasciola hepatica dilakukan dengan pemberian obat
karbon tetraklorida (CCl4 ), Hexaclorothan dan Clioxnide (Tjahjati dan Soebronto,
2001).

2.2.1.2. Ascaridia galli. Cacing ini terdapat pada usus kecil ayam dan burung
galinaseosa lain di seluruh dunia.. Ascaridia galli mempunyai siklus hidup yang
langsung. Telur keluar bersama tinja dan berkembang menjadi stadium infektif pada
tanah dalam waktu 8 14 hari pada kondisi biasa telur infektif tertelan oleh burung
dan menetas di dalam proventrikulus atau usus halus. Beberapa larva masuk
kedalam dinding usus, tetapi kebanyakan tetap di dalam rumen. Larva berkembang
melewati usus dan pindah ke selaput lendir (Levine, 1994). Cacing Ascaridia galli
merupakan nematoda parasitik yang sering ditemukan pada unggas termasuk ayam
petelur panjang rata-rata cacing jantan kira-kira 50 mm, dan yang betina dapat lebih
dari 100 mm, parasit tersebut menyebabkan kerugian kepada peternak berupa
penurunan berat badan dan hambatan pertumbuhan, penurunan produksi telur serta
penurunan kualitas telur. Hal tersebut karena cacing selain menyerap zat-zat
makanan juga menyebabkan kerusakan sel-sel epitel villi serta berkurangnya luas
permukaan villi usus yang berperanan dalam proses pencernaan dan penyerapan
makanan (Zalizar, et al. 2006).

2.2.1.3. Moniesia sp. Moniesia sp dengan bentuk tubuh bersegmen-segmen


proglotida, setiap prolotida terdiri atas organ lengkap, bersifat hermaprodit (Levine,
1994). Cacing dewasa hidup dalm usus halus, panjang seluruhnya dapat mencapai 6
m dan pada umumnya telurnya menyerupai buah jambu, bergaris tengah sebesar
0,06 mm terbungkus dalam kulit yang mempunyai bentuk segitiga (Blakely dan
Bade, 1998). Daur hidup cacing pita ini dimulai dari telur yang keluar bersama-sama
tinja kemudian jatuh ke tanah, telur cacing pita akan menjadi makanan tungau, yang
bertindak sebagai induk semang sementara di dalam usus tungau, telur cacing akan
menetas menjadi larva yang akan menembus usus masuk kedalam rongga tubuh
dan larva akan berkembang menjadi sistiserkoid yang tahan hidup selama 2-5 bulan,
selanjutnya tungau tanah akan menempel pada daun atau batang rumput dan
bilamana rumput dimakan oleh domba, sistiserkoid kan tumbuh menjadi cacing
dewasa di dalam usus halus (Kadarsan et al., 1983).

2.3.1.4. Raillietina sp. Raillietina sp memiliki banyak proglotid terdapat rostelum


dengan kait berbentuk palu yang tersusun dalam lingkaran ganda, alat penghisap
kadang-kadang dipersenjatai dengan kait yang kecil dan berdegenerasi yang
tersusun dalam beberapa lingkaran. Raillietina sp merupakan cacing pita pada
unggas piaraan, daerah penyebarannya luas terdapat baik di daerah dingin maupun
di daerah panas seperti Indonesia. Panjangnya dapat mencapai 25 cm. Stadium larva
terdapat pada semut atau larva lalat rumah. Sebagai hospes perantara adalah semut
jerami yang termasuk genus Pheiole, dan kelinci tanpa disengaja menelannya pada
saat makan tumbuh-tumbuhan (Levine dan Norman, 1994). Alat penghisap kadang-
kadang dipersenjatai dengan kait yang kecil dan bergenerasi yang tersusun dalam
beberapa lingkaran (Kadarsan et al, 1983).

2.3.1.5. Oesophagostomum sp. Merupakan cacing benjol pada ternak Mempunyai


mulut yang mengarah ke depan dan dikelilingi oleh kerah mulut yang terdapat
papila-papila kepala dan yang dibatasi oleh cincin cekung di sebelah posterior.
Biasanya terdapat dua mahkota daun. Cacing ini biasanya terdapat pada usus besar
sapi, domba, kambing, dan lain-lain (Levine, 1994). Larva Oesophagustomum sp
akan membentuk bungkul di usus halus dan usus besar, yang daur hidupnya
meliputi larva yang secara aktif merayap ke puncak rumput, yang kemudian akan
termakan oleh hewan (Akoso, 1996).

2.2.2. Ektoparasit

Ektoparasit pada umumnya termasuk dalam golongan arthropoda, kelompok-


kelompok serangga dan akarina pada khususnya. Arthropoda adalah jenis parasit
yang memiliki mulut ventral pada segmen pertama atau kepala, sebuah sisitem
pencernan yang dibagi menjadi beberapa daerah yang sedikit berbeda untuk tiap
kelompok dan sebuah anus yang terletak di ujung (Kadarsan et al., 1983). Parasit
jenis arthropoda dapat mendatangkan kerugian pada induk semangnya dengan cara
menghisap darah, cairan limfe atau eksudat, memakan jaringan padat secara
langsung, menyebabkan terjadinya reaksi alergi, menyebabkan terjadinya berbagai
reaksi tubuh seperti pembengkakan, hipertrofi, hiperplasia, dan pembentukan
benjolan. Selain itu juga dapat bertindak sebagai pembawa penyakit dan parasit
misalnya malaria, dapat juga menurunkan ketahanan induk semang terhadap
penyakit-penyakit lain dan parasit (Levine,1994).

2.2.2.1. Tabanus sp. Tabanus sp juga dikenal sebagai lalat kerbau yang memiliki
warna gelap, hitam kecoklat-coklatan dan bertubuh kekar dengan ujung belakangnya
meruncing dengan permukaan atas toraksnya bergaris, sayapnya tidak jernih,
matanya besar mengambil tempat paling banyak dari permukaan kepala (Kadarsan
et al., 1983). Lalat betina dewasa bertahan hidup dengan menghisap darah,
sedangkan yang jantan hidup dari cairan tanaman, kebanyakan dari lalat ini
menyerang mangsanya pada siang hari, bagian-bagian mulut lalat betina mirip
sebuah pisau sehingga luka yang ditimbulkan sewaktu menghisap darah dapat
cukup besar, lalat kerbau dapat pula menyebarkan bibit penyakit dimana penyakit
surra adalah salah satu penyakit yang ditimbulkan oleh flagellata Trypanosoma
evansi dimana (Levine,1994).

2.2.2.2. Musca domestica. Musca domestica juga dikenal sebagai lalat rumah. Lalat
ini mempunyai alat mulut untuk menjilat dan tidak menggigit. Larvanya berkembang
di dalam kotoran, tumbuh-tumbuhan busuk lalu larva tersebut akan bermigrasi ke
daerah yang lebih kering untuk menjadi pupa. Lalat dewasa makan makanan
manusia dan dapat menularkan sejumlah penyakit usus karena kebiasaannya
mondar-mandir dari kotoran ke makanan. Lalat ini juga menjadi induk semang bagi
cacing lambung kuda Habronema muscae dan Draschia megastoma (Levine, 1994).

Ukuran lalat rumah ini kecil, hanya sebesar biji kacang tanah dan berwarna hitam
kecoklatan. Kepalanya besar berwarna coklat gelap. Matanya besar menonjol,
sepasang sungut terletak di depan mata dan tiap sungut terdiri atas ruas dasar
berbentuk dengan sehelai rambut yang bercabang-cabang tumbuh di atasnya. Lidah
pengisapnya melebar ke bagian ujung dan berbentuk seperti parut. Dengan alat ini
lalat mengisap cairan makanan. Toraksnya bertanda 4 garis membujur. Abdomennya
berwarna kekuning-kuningan, sedangkan ruas terakhir berwarna coklat kehitaman.
Tiga pasang kakinya ditutupi oleh rambut lebat dan bercakar dua buah. Sayapnya
sepasang, tipis serta tembus cahaya, berwarna kelabu pucat dan pangkalnya
berwarna kekuningan serta urat sayapnya tampak jelas (Kadarsan et al., 1983).

2.2.2.3. Hippobosca. Lalat ini disebut juga lalat kuda karena banyak dijumpai pada
kuda, lalat ini menyerang mangsanya dengan menggigit, dan bekas gigitannya
menyebabkan iritasi pada kulit, tubuh lalat ini menyempit di bagian tengah dan
bagian perut membulat atau berbentuk persegi dan mempunyai bulu-bulu pendek
menutupi seluruh permukaan badan, sedangkan bulu-bulu panjang terdapat pada
bagian toraks, abdomen, dan kaki, matanya kelihatan menonjol dan mulutnya
berfungsi sebagai penyayat kulit dan penghisap darah. Ukurannya sedikit lebih besar
dar lalat rumah (Levine dan Norman, 1994).

Tubuh lalat kuda menyempit di bagian tengah dengan bagian perut membulat atau
bentuk persegi. Bulu-bulu pendek menutupi seluruh permukaan badan dengan
sekelompok bulu-bulu yang panjang dan keras terdapat di sebagian dari toraks,
abdomen dan kaki. Matanya kelihatan menonjol, bagian-bagian mulut berfungsi
sebagai alat penyayat kulit dan penghisap darah. Sayapnya jernih dengan guratan
urat sayap tebal dan sederhana susunannya. Pada setiap kakinya terdapat cakar
yang kuat. Ukurannya sedikit lebih besar dari lalat rumah (Kadarsan et al., 1983).

2.2.2.4. Stomoxys calcitrans. Stomoxys calcitrans yaitu lalat kandang. Lalat kandang
berkembang biak pada sayuran yang membusuk, terutama bila bahan tersebut
tercampur tinja. Lalat tersebut mengganggu sapi dan juga menularkan penyakit sura
yang disebabkan oleh Trypanosoma evansi, antraks, anemia pada kuda dan cacing
lambung kuda Habronema majus (Levine, 1994).

2.2.2.5. Heterodoxus. Heterodoxus termasuk dalam subordo Anblycere. Heterodoxus


merupakan serangga parasit pada burung atau mamalia. Bagian-bagian dari kelas ini
menjadi kutu-kutu bulu, batang bulu dan tubuh unggas (Levine dan Norman, 1994).
Heterodoxus mengandung spesies-spesies yang terdapat pada anjing khusus di
negara-negara tropis tidak di negara eropa dan pada kanguru dan kanguru kecil
(Kadarsan et al., 1983).

minggu menjadi lalat dewasa, kecepatan untuk menjadi lalat dewasa tergantung dari
jenis lalat kuda (Levine, 1994).
BAB III

MATERI DAN METODE

Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak dengan materi Pemeriksaan Kesehatan Ternak


Ruminasia dilaksanakan pada hari Kamis, 4 November 2011 di kandang Bapak
Tisnoaji di desa Koum Rt01/Rw04 Gunung Pati. Pemeriksaan Feses dan Pengamatan
Preparat Parasit ini dilaksanakan pada hari Jumaat tanggal 11 November 2011
bertempat di Laboratorium Ilmu Kesehatan Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas
Diponegoro, Semarang. Pemeriksaa Kesehatan Unggas dilaksanakan pada hari
Jumat, 18 november 2011 bertempat di Laboratorium Ilmu Kesehatan Ternak,
Fakultas Peternakan, Universitas Diponegoro, Semarang.

3.1. Materi

3.1.1. Pemeriksaan Parasit

Materi yang digunakan dalam pengamatan parasit secara makroskopis adalah


awetan hewan seperti Taena saginata, Paramphistomum cervi, dan Fasciola hepatica.
Pemeriksaan Secara mikroskopis adalah preparat Paramphistomum sp, Rhicichepalus
sp, Heterodoxus sp, Ctenocephalides canis dan Haematopinus sp. Alat yang
digunakan dalam pengamatan secara mikroskopis dengan mikroskop dan untuk
makroskopis tidak menggunakan alat bantu. Pemeriksaan telur cacing, materi yang
digunakan adalah feses sapi perah, air, dan Naoh. Alat yang digunakan adalah
mikroskop, kaca penutup, pengaduk, centrifuse, tabung reaksi, cawan petri, objek
gelas, gelas beker, pipet dan mortir. Alat dalam praktikum nekropsi adalah pisau.
Jarum suntik, pisau bedah dan tabung reaksi.

3.2. Metode

3.2.1. Pemeriksaan Parasit

Metode pengamatan parasit secara makroskopis adalah dapat dilihat dengan


mikroskop. Cara yang dilakukan dengan menyiapakan preparat awetan. Setelah itu
langsung digambar dan dicari spesifikasi pada parasit tersebut diamati lagsung
dengan mata. Setelah itu hasil yang pengamatan di gambar serta menyebutkan
warna dan ciri-ciri bagian tubuhnya.

3.2.2. Identifikasi Telur Cacing

Metode yang digunakan dalam pemeriksaan telur cacing adalah dengan metode
natif dan centrifuse. Pengamatan dengan metode natif adalah mengambil sedikit
feses dan menaruhnya pada objek gelas, lalu meneteskan air diatasnya serta
meratakannya, kemudian memeriksanya dengan menggunakan mikroskop dengan
perbesaran 10 x 10.

Pengamatan dengan metode centrifuse adalah mengambil feses dan menaruhnya


dalam mortir, menambahkan sedikit air dan mengaduknya sampai rata, lalu
dituangkan ke dalam tabung centrifuse sampai bagian, memutar dengan alat
centrifuse selama 5 menit, membuang cairan jernih di atas endapan, lalu
menuangkan larutan gula jenuh diatas endapan sampai tabung dan mengaduknya
hingga tercampur rata, memutarnya lagi dengan alat sentrifuge selama 5 menit,
meletakkan tabung tersebut dalam rak, lalu meneteskan NaCl jenuh diatas cairan
dalam tabung sampai permukaan cairan menjadi cembung dan menunggunya
sampai 3 menit, menempelkan objek gelas pada permukaan yang cembung dengan
hati-hati, kemudian dengan cepat, balik objek gelas tersebut, lalu menutupnya
dengan kaca penutup dan memeriksanya dengan mikroskop dengan perbesaran 10
x 10.

3.2.3. nekropsi

Metode yang dilakukan dalam praktikum adalah dengan mematikan ayam terlebih
dahulu dengan cara menyembelih, kemudian ayam yang telah mati dibersihkan
bulunya pada bagian dada. Pengamatan dilakuakan pada kulit luat dan kulit dalam,
setelah diamati ayam kemudian dibedah untuk diamati bagian dalamnya mulai dari
slauran pernafasan, saluran pencernaan, dan saluran reproduksi.
0
inShare

Subscribe to receive free email updates:


Subscribe

RELATED POSTS :

CARA MENGATASI CACINGAN PADA ANJING DENGAN


OBAT CACING MANUSIACARA MENGATASI CACINGAN PADA ANJING DENGAN
OBAT CACING MANUSIA Jangan kaget kalo anjing anda terlihat tidak mau makan dan
kemudian pada ko Read More...

Masalah-Masalah Dalam Kesehatan Ternak PerahMasalah-


Masalah Dalam Kesehatan Ternak Perah Seringkali peternak tidak mengetahui
sampai sejauhmana bahaya suatu penyakit, bagaimana car Read More...

LAPORAN PRAKTIKUM ILMU KESEHATAN


TERNAKLAPORAN PRAKTIKUM ILMU KESEHATAN TERNAK BAB I PENDAHULUAN
Kesehatan hewan adalah suatu status kondisi tubuh hewan dengan se Read More...

MALARIA UNGGAS HAEMOPROTEUSMALARIA


UNGGAS HAEMOPROTEUS ETIOLOGI Spesies yang terpenting ialah Haemoproteus
columbae menginfeksi burung merpati, Haemoproteus lop Read More...

Pemeriksaan Kesehatan Ternak AyamPemeriksaan Kesehatan


Ternak Ayam 1. Kondisi performans Berdasarkan prkatikum dengan materi
pemeriksaan kesehatan unggas diperoleh hasil Read More...
NEWER POSTOLDER POSTHOME

Popular Posts

Labels

Jenis-jenis Bahan Baku Pakan Ternak Unggas


Jenis-jenis Bahan Baku Pakan Ternak Unggas Bahan pakan ternak adalah bahan yang dapat dimakan,
dicerna dan digunakan oleh ternak. Bahan p...
CARA MEMULAI BETERNAK AYAM BROILER
Ayam Pedaging (Broiler) adalah ayam ras yang mampu tumbuh cepat sehingga dapat menghasilkan
daging dalam waktu relatif singkat (5-7 minggu)...

PENYEBAB BURUNG PUYUH BISA TERLAMBAT BERTELUR


Mengapa puyuh saya terlambat bertelur? Pertanyaan itu masih demikian saya ingat, dari peternak
yang baru memulai. Tentu bukan dari pe...

MANFAAT DAN KELEBIHAN DAGING BURUNG PUYUH


MANFAAT DAN KELEBIHAN DAGING BURUNG PUYUH 1.Dagingnya sangat lezat dan gurih. 2.Dagingnya,
merupakan makanan alternatif bagi para...

Bahan Baku Pakan Sebagai Sumber Protein Nabati


Bahan baku pakan sebagai sumber protein Bahan baku pakan sebagai sumber protein nabati antara lain
: Bungkil Kelapa Bahan pakan...

CARA PEMBUATAN EM4 UNTUK KESEHATAN IKAN


EM (Effective Microorganism) merupakan kumpulan beberapa mikroorganisme yang bermanfaat dalam
dunia pertanian, peternakan, dan perikanan. M...

PANDUAN CARA BETERNAK BABI YANG SUKSES


Bagi masyarakat Non Muslim Ternak babi di Indonesia sudah lama dikenal masyarakat. Hasil produksi
peternakan babi dapat memberikan keuntung...
JENIS JENIS VAKSIN UNTUK SEMUA JENIS TERNAK
VAKSIN UNTUK SEMUA TERNAK Berikut ini adalah jenis jenis vaksin untuk semua ternak. ANTHRAVAK
Vaksindo Satwa Nusantara Bentuk Sediaan...

FUNGSI,MANFAAT DAN CARA PENGGUNAAN INJEKSI VITAMIN B12
Injeksi Vitamin B12 Larutan Injeksi meningkatkan pertumbuhan dan memperbaiki produksi yang jelek
serta mencegah anemia dan anoreksi pada he...
LAPORAN PRAKTIKUM ILMU KESEHATAN TERNAK
LAPORAN PRAKTIKUM ILMU KESEHATAN TERNAK BAB I PENDAHULUAN Kesehatan hewan adalah suatu
status kondisi tubuh hewan dengan...

Copyright 2014

Avian Multifarm Jaya


Wednesday, 13 November 2013

Laporan Praktikum Kesehatan Ternak

I. PENDAHULUAN

Latar Belakang

Manajemen pemeliharaan yang baik, khususnya program kesehatan ternak


menjadi hal yang paling mendasar untuk meningkatkan produksi. Pemeriksaan
kesehatan ternak itu sendiri meliputi pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
sistema.

Penyakit parasit cacing ini sering juga terjadi pada sapi, baik itu sapi lokal
maupun sapi peranakan. Dengan adanya penyakit parasit cacing ini dapat
menimbulkan kerugian yang cukup besar, hal ini dapat berupa gangguan
pertumbuhan, penurunan bobot badan, daya tahan tubuh, penurunan produksi
telur bahkan sampai berhenti bereproduksi serta terjadi peningkatan biaya
pemeliharaan.

Keberhasilan usaha peternakan sangat ditentukan oleh status kesehatan


ternak yang dipelihara program kesehatan. Ektoparasit adalah parasit yang
hidupnya diluar tubuh (permukaan kulit tubuh) induk semang.
Protozoa merupakan anggota dari hewan yang sederhana. Tubuh nya
walaupun komplek, tersusun dari sel tunggal dan hampir semuanya mempunyai
ukuran mikroskopis. Protozoa tersusun dari organela organela tetapi bukan
organ, karena mereka merupakan diferensiasi dari satu sel.

Progaram vaksinasi ND yaitu hendaklah disesuaikan dengan situasi penyakit


yang ada dilapangan, penyediaan atau tersedianya vaksin. Vaksin yang sering
digunakan oleh peternakan adalah vaksin ND Strain La-sota. Vaksin ini bisa
digunakan pada vaksinasi awal yaitu pada anak ayam dan bisa untuk vaksinasi
ulangan.

Vaksin Flu burung ada beberapa macam yaitu : VAKSIFLU AI (vaksin unggas
inaktif Avian Influenza subtipe H5 dalam emulsi minyak), OPTIMUNE AIV (vaksin
Inaktif dalam emulsi minyak berisi virus Avian Influenza subtipe H5 yang low
pathogenik), AFLUVET dan MEDIVAC.

Hasil akhir dari pemeriksaan di laboratorium sangat dipengaruhi oleh cara


penanganan dan pengiriman contoh atau spesimen yang dilakukan oleh dokter,
paramedis, petugas lapangan, maupun peternak. Contoh yang dikirim secara
cepat dan terbuka kemungkinan akan dapat dicapai hasil pemeriksaan
laboratorium yang 100% akurat.

Tujuan

Tujuan dari semua praktikum yang telah dilalui adalah mahasiswa dapat
mengetahui dan memeriksa langsung keadaan kesehatan ternak yang terdapat
di Fapet farm Fakultas Peternakan Universitas Jambi.

Manfaat

Manfaat dari praktikum yang telah dilaksanakan adalah mahasiswa menjadi


tahu faktor-faktor penyebab timbulnya suatu penyakit yang dapat merugikan
peternak dan cara mengAtasinya lebih dini.

II. MATERI DAN METODE

Waktu dan Tempat


Praktikum Pemeriksaan ternak di laksanakan pada tgl 24-mar-2009 pada hari
selasa jam 02.00 wib.yang dilaksanakan di Laboratarium Kesehatan Ternak
Gedung C dan Fapet Farm Fakultas Peternakan Universitas Jambi.

Materi

Pada praktikum Sanitasi dan Desinfektan peralatan yang digunakan adalah


sikat lembut, sabun dettol, sikat lantai, sapu lidi, sekop, air, ember. Pada
praktikum Pemeriksaan Kesehatan Ternak Secara Umum alat yang digunakan
adalah stethoscope, thermometer, satu ekor sapi, kambing jantan dan betina,
domba jantan dan betina.

Pada praktikum Endoparasit (telur cacing) alat yang digunakan feces sapi,
tabung centrifuge, centrifuge, NaCl jenuh, gula Sheater, aquades, cover glass,
object glass, dan mikroskop. Pada praktikum Ektoparasit alat yang digunakan
alcohol 70%, aquades, cotton swab, botol plastic atau botol kaca, cawan Petri,
objek glass, cover glass, mikroskop dan beberapa ektoparasit yang berhasil
dikumpulkan.

Pada praktikum protozoa alat yang digunakan adalah feces ternak, kalium
bicromat 2,5%, cawan Petri, dan alat alat yang digunakan pada praktikum
Endoparasit. Pada praktikum vaksinasi ND alat dan bahan yang digunakan alat
suntikan yang steril, aquades, vaksin ND strain La Sota, vial vaksin dan ayam
yang akan divaksin. Vaksinasi AI alat yang digunakan alat suntik, VAKSIFLU AI
dan ayam yang akan di vaksin.

Pada praktikum Pengambilan dan Pengiriman Spesimen alat yang digunakan


adalah seekor ternak, alcohol 10 %, botol kaca.

Metode

Untuk praktikum Sanitasi dan Desinfektan metoda yang dilakukan yaitu


bersihkan kandang, lantai kandang dari kotoran ternak yang berserakan, tempat
pakan kemudian mandikan sapi dengan sikat yang lembut dan sabun detol, lalu
lakukan desinfektan dengan menggunakan Cyperkiller dengan dosisi yang ada,
desinfeksi kandang ternak dan ternak.

Pratikum Pemeriksaan Ternak Secara Umum, amati keadaan ternak yang


dimulai dari keadaan kulit dan bulu, sistem pencernaan, pernafasan, sirkulasi,
sistem gerak dan uregenital. Perhatikan tiap-tiap bagian tersebut, apakah ada
kelainan yang menunjukkan adanya penyakit. Pada Praktikum Pemeriksaan
Penyakit Endoparasit dilakukan dengan 3 metoda yaitu : metoda Natif dilakukan
dengan meletakkan feces diatas gelas objek, ditambah satu tetes air, setelah itu
dicampur dan tutup deng cover glass dan amati dibawah mikroskop. Metode
Sheater dengan melakukan timbang 1 gr feces masukkan kedalam tabung reaksi
dan tambahkan gula sheater dan disentrifuge selama 10 menit dengan
kecepatan 3500 rpm, setelah itu tambah kembali gula sheater hingga penuh,
tepelkan cover glass tepat dibibir tabung. Angkat cover glass dan letakkan diatas
glass objek dan amati dibawah mikroskop.

Metoda Apung, ambil 5 gr feces masukkan dalam tabung centrifuge,


kemudian tambah air sampai 2/3 tabung dan aduk rata biarkan 5 menit, air dan
bahan yang terapung buang lalu tambahkan dengan air lagi dan centrifuge
selama 10 menit. Cairan dibuang, lalu tambah dengan NaCl jenuh sampai 2/3
tabung, centrifuge lagi selama 10 menit. Tabung diambil, tambahkan lagi NaCl
jenuh sampai permukaan kelihatan cembung, biarkan selama 10 menit lalu
letakkan glass objek diatas bibir tabung, cairan yang menempel diamati dibawah
mikroskop.

Metoda pemeriksaan Protozoa, letakkan feces yang diambil dalam cawan


petri dan campur dengan kalium bicromat, dan sipam selama 4-7 hari pada suhu
kamar, lalu periksaa ookista pada feces dengan meggunakan metoda apung.

Metoda Praktikum Koleksi dan Identifikasi Ektoparasit, kumpulkan ektoparasit


seperti lalat, caplak dan kutu kambing, sapi, domba, kerbau, rusa, kucing, anjing
dan ayam. Lalu masukkan kedalam botol plastik yang berisi alkohol 70 % yang
berbeda. Lalu amati masing masing ektoparasit dengan mikroskop.

Metoda Praktikum Vaksinasi ND dan AI, untuk vaksinasi ND terlebih dahulu


siapkan alat suntik yang steril, lalu larutkan vaksin dengan menggunakan larutan
aquadestilata dengan dosis 0,5 1,0 cc/ ekor, gunakan vaksin ND Strain La sota
50 dosis. Dan untuk 1 ekor ayam digunakan 0,5 cc / ekor maka 1 vial vaksin 50
dosis dilarutkan dalam 25 cc aquadestilata. Suntikkan 0,5 cc / ekor pada otot
dada ayam. Sedangkan untuk vaksin AI tidak perlu dilarutkan karena vaksin AI
sudah dalam bentuk larutan, dosisi yang digunakan untuk ayam umur lebih dari
21 hari 0,5 ml dan suntikkan dibawah kulit pada pangkal leher.

Pada praktikum Pengambilan dan Penerimaan Spesimaen metoda yang


dilakukan yaitu potong terlebih dahulu ternak yang akan diambil spesimennya,
lalu ambil bagian bagian yang akan diuji spesimen seperti hati, ginjal, jantung,
limpa, usus, proventrikulus, otak. Masukkan kedalam botol kaca yang berisi
formalin 10 %.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

PEMERIKSAAN TERNAK SECARA UMUM

Dari praktikum yang telah delaksanakan maka diperoleh hasil sebagai


berikut:

Kulit dan Bulu Hasil


Kambing jantan Kambing betina Domba Sapi

1 Turgor kulit Turun Normal Turun Normal

Bulu Kusam/rontok Normal Rusak/kotor Normal

Luka Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada

Lesi/jejas Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada

2 Pernafasan

a. Cara bernafas Normal Normal Normal Normal

b. Frekuensi nafas Normal Normal 38x/1 mnt Normal 35x/1menit

c. Cermin hidung Kering Kering Basah Basah

d. Eksudat hidung Tidak ada Tidak ada Tidak ada Ada

e. Batuk Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada

3 Sirkulasi

a. Pulsus denyut Kuat Betina Kuat Kuat


jantung

b. Frekuensi pulsus
62/menit 4238,3/menit 66/menit 77/menit
c. Perdarahan
Ada Ada Ada Ada

4 Pencernaan

a. cara mengambil Dengan bibir Dengan bibir Dengan bibir Dengan lidah
pakan

b. Cara mengunyah
Normal Normal Normal Normal
pakan

c. Tonus lambung
Normal Normal Normal Normal
d. Peristaltik usus
Normal Normal Normal Normal
e. Muntah
Tidak Tidak Tidak Tidak
Cara buang kotoran
- Normal - Normal
g. Frekuensi buang
feces

h. Konsistensi buang - Normal - Normal


kotoran

- Normal - Normal

5 Uregenital
a. Cara urinisasi Normal Normal - Normal

b. Warna urin Kuning Kuning - Kuning

c. Kekeruhan Jernih Jernih - jernih

6 Syaraf & Gerak

a. Reaksi Refleks Ada Ada Ada Ada

b. Cara berjalan Normal Normal Normal Normal

7 Panca indera

a. Mata Bersinar, tidak Bersinar, tidak ada Bersinar, Bersinar,


ada leleran leleran tidak ada tidak ada
leleran leleran

Bagus Bagus
b. Refleks mendengar
Bagus Bagus
37,7c 36,9c
c. Suhu tubuh
38,6c 38,5c

Pembahasan :

a. Sapi

Dari hasil pemeriksaan pada sapi yang kami amati, keadaan sistema sapi
tersebut dari mulai kondisi kulit dan bulu, pernafasan, sirkulasi, cara makan,
uregenitalis, syaraf dan gerak, dan juga panca inderanya dalam keadaan normal.
Jadi dapat disimpulkan bahwa kadaan sistema sapi tidak ada mengalami
perubahan yang menunjukkan sapi tersebut menderita penyakit yang
membahayakan.

WILLIAMSON (1993) menyatakan bahwa penyakit yang biasa diderita sapi


adalah menceret, dengan tanda-tanda mata sayu, lesu, menceret, dan kadang-
kadang peningkatan secara abnormal dari suhu dan meningkatnya pernafasan.

b. Kambing

JAMES (1992), menyatakan bahwa kambing mengambil makanannya dengan


menggunakan bibir dan kambing lebih menyukai dedaunan dari pada rumput,
serta dapat menempuh perjalanan yang jauh untuk mencari makanan
kesukaannya dibandingkan sapid an domba.

Kambing tergolong hewan pemamahbiak, serta mempunyai kebiasaan


memakan hijauan yang terdapt diatas. Untuk keadaan kulit kambing yang
diamati tidak ada mengalami kelainan ataupun cacat. AAK (1978), menyatakan
bahwa penanganan yang sembarangan atau tidak terampil dan factor
lingkungan seperti penyakit kulit dan perusakan oleh serangga banyak
mengurangi nilai kulit kambing.

c. Domba

Domba yang sehat apabila dilakukan pemeriksaan sistema tidak ada


mengalami perubahan. Domba yang diamati memiliki keadaan yang normal, dan
tidak ada mengalami perubahan apapun, sesuai dengan pernyataan DEVENDRA
(1980) bahwa domba yang akan digunakan sebagai bibit atau peremajaan
mempunyai beberapa hal yang harus diperhatikan salah satunya kesehatan
ternak, dan tidak terserang penyakit.

Pembahasan :

Dari hasil yang didapat maka caplak dan kutu merupakan parasit yang
merugikan, baik itu merugikan ternak tersebut sebagai tempat hidup kutu dan
caolak, jug adapt merugikan para peternak. Mereka harus mengeluarkan banyak
biaya untuk mengatasi masalah ini.

CAMERON (1956), menyatakan bahwa kutu merupakan parasit permanent


eksternal dan obligat pada burung dan hewan mamalia. Kutu ini tidak meloncat
ataupun terbang melainkan berjalan cepat.

Kutu dan caplak disini merupaka phylum Arthropoda yaitu hewan yang
memiliki tubuh beruas-ruas. Sesuai dengan pernyataan ASKEW (1971) bahwa
semua kutu tidak bersayap, dia mempunyai tubuh pipih, dan antenna pendek
dengan 3 sampai 5 ruas, dan kakinya pendek. Hanya mempunyai tursus yang
cakarnya digunakan untuk bepegangan pada bulu atau rambut.

Bukan hanya kutu atau caplak yang menyebabkan penyakit ektoparasit,


tetapi lalat juga salah satu agen penyakit. Sesuai dengan pernyataan SMYTH
(1976), bahwa lalat merupakan ektoparasit penghisap darah.

VAKSINASI ND (NEWCASTLE DISEASE)

Pemberian Vaksin Newcastle Disease Pada Ternak

Pada praktikum vaksinasi ini, kami melakukan vaksinasi Newcastle Disease


pada ternak ayam yang memiliki bobot badan sekitar 1 kg yang berumur lebih
dari 21 hari. Sebagaimana kita ketahui bahwa penyakit Newcastle Disease
merupakan penyakit yang sering terdapat pada ternak unggas. Penyakit ini
disebabkan oleh virus yang dapat dicegah dengan cara vaksinasi.

Vaksinasi yang dilakukan pada praktikum ini adalah vaksinasi ND yaitu vaksin
yang dapat mencegah penyakit ND atau tetelo pada ternak unggas. Penyakit ND
atau tetelo merupakan penyakit yang paling sering ditemukan pada ternak
ayam, dan untuk pencegahan dari penyakit ini adalah dengan cara vaksinasi.
ANONYMOUS (1975), menyatakan bahwa penyebab dari penyakit Newcastle
Disease adalah virus Paramyxovirus. Ternak yang menderita penyakit ND tampak
lesu dan sulit bernafas, gangguan pencernaan antara lain diare berwarna
kehijau-hijauan, gangguan susunan syaraf pusat antara lain kelumpuhan dan
terticolis.

Sesuai dengan pernyataan NUGROHO (1989) bahwa penyakit Newcastle


Disease merupakan penyakit pernafasan yang akut dan mudah sekali menuar.
Pencegahan yang dilakukan untuk penyakit ini adalah vaksinasi dan sanitasi.

TAKEHARA (1987) juga menyatakan bahwa Newcastle Disease (ND)


menunjukkan adanya suatu variasi yang besar dalam bentuk dan derajat
keparahan penyakit.

Dosis vaksin yang diberikan

Pada praktikum ini kami menggunakan dosis yaitu dosis dilarukan dalam 0,5
cc aquadestilata kemudian vaksin ND Strain La sota 50 dosis. Sedangkan untuk
dosis setiap 1 ekor ayam : 1 cc/ekor maka 1 vial dilarutkan dalam 50 cc
aquadestilata.

PEMERIKSAAN PROTOZOA

1. Pada Feces Unggas

Feces unggas yang diamati yaitu feces ayam petelur, ayam broiler, dan ayam
kampung, berikut hasilnya :

Protozoa pada Feces ayam Klasifikasi :


kampung (Eimeria tenella)
Kingdom : Animalia

Phylum : Protozoa

Class : Sprozoasida

Ordo : Coccidia

Family : Eimeriidae

Genus : Eimeria

Species : Eimeria tenella


Protozoa pada feces ayam Klasifikasi :
broiler (Eimeria necatrix)
Kingdom : Animalia

Phylum : Protozoa

Class : Sprozoasida

Ordo : Coccidia

Family : Eimeriidae

Genus : Eimeria

Species : Eimeria necatrix

Protozoa pada feces ayam Klasifikasi :


Petelur (Eimeria mitis)
Kingdom : Animalia

Phylum : Protozoa

Class : Sprozoasida

Ordo : Coccidia

Family : Eimeriidae

Genus : Eimeria

Species : Eimeria mitis

Dari hasil tersebut maka dapat diketahui bahwa feces ayam kampong
terdapat ookista Eimeria tenella pada stadium perkembangan. Disini terlihat
bahwa bentuk dari E. tenella bulat telur, dengan dilapisi seperti selaput.
NORMAN (1955), menyatakan bahwa struktur dari ookista yang khas adalah
dinding ookista terdiri dari satu atau dua lapis dan mungkin dibatasi selaput.

Pada feses ayam broiler ditemukan ookista Eimeria necatrix pada stadium
perkembangan, SUMIATNO (1990), menyatakan bahwa E. necatrix bertahan
selama 12 hari dan dapat menyebabkan mukosa halus menjadi tebal dan
akibatnya penyakit yang disebabkan sering dinyatakan sebagai koksidiosis yang
khronis.

NUGROHO (1998), menyatakan bahwa Eimeria necatrix merupakan protozoa


yang terdapat dalam usus halus dan sekum pada ayam, dengan bentuk bulat
memanjang dan halus. Protozoa ini dapat menyebabkan penyakit yang khronis
pada ternak ayam.

VAKSINAI AVIAN INFLUENZA (AI)


Penyakit viral merupakan penyakit yang sangat sulit dilakukan
pengobatannya dan bahkan jarang sekali dapat disembuhkan karena memang
sebagian besar penyakit viral tidak ada obatnya. Penyakit viral ini kebanyakan
bersifat endemik pada suatu kawasan sehingga sulit untuk pemberantasannya.
Satu-satunya jalan terbaik untuk mengatasinya adalah dengan vaksinasi. Selain
karena jalan pengobatan penyakit viral yang mahal dan persentase atau
kemungkinan ternak sembuh dari penyakit viral ini sangat kecil, vaksinasi juga
mudah dilakukan dengan biaya yang minim namun dengan kemungkinan ternak
terkena penyakit viral yang kecil.

Sehingga vaksinasi merupakan idola para peternak dalam menjaga


kesehatan ternak dan salah satu cara yang paling sering digunakan untuk
mencegah timbulnya penyakit di suatu kawasan peternakan. Seperti yang
dikatakan Rasyaf (2004), bahwa banyak program pencegahan penyakit yang
dapat diaplikasikan di suatu kawasan peternakan. Program pencegahan penyakit
tersebut diantaranya program sanitasi, vaksinasi , dan program pengobatan dini
pada umur tertentu ketika gejala ayam sakit mulai tampak serta program lainnya
yang berhubungan dengan manajemen pemeliharaan.

Vaksin mempunyai macam-macam tipe dan strain, Redaksi Agromedia


(2006), menyatakan ada tiga tipe vaksin yang dikenal sekarang, yaitu vaksin
virus hidup (live virus vaccine), adalah virus dalam vaksin masih hidup dan
memiliki kemampuan yang lengkap untuk menghasilkan kekebalan tubuh
terhadap suatu penyakit, vaksin yang dilemahkan (attenuated vaccine), adalah
vaksin yang dibuat dengan cara melemahkan organisme aktif, dan vaksin yang
dimatikan (killed vaccine), organisme yang digunakan untuk menghasilkan
vaksin telah dimatikan dn tidak mempunyai kemampuan untuk emnularkan
pnyakit kepada ayam. Sedangkan strain vaksin bermacam-macam tergantung
dari jenis vaksinnya.

PENGAMBILAN DAN PENGIRIMAN SPESIMEN

Specimen merupakan bagian / organ tubuh ternak yang diambil untuk diuji
secara laboratories untuk mengetahui penyakit ternak yang menyebabkan
kematian. Pada praktikum yang telah kami laksanakan ini kami mencoba
mengambil specimen ternak yang masih hidup yaitu bebek betina untuk di uji
pemeriksaan jaringan.

NUGROHO (1989), menyatakan bahwa untuk mengambil specimen pada


ternak kita harus perhatikan keadaan ternak tersebut. Apabila ternak masih
hidup kita dapat mengambil bagian-bagian tertentu seperti, leleran hidung atau
telinga, darah, feces, kerokan kulit.

Bagian bagian yang diambil untuk uji jaringan yaitu hati, limpa, otak,
jantung, usus, uterus, ginjal, proventrikulus. Masing-masing dipotong dan
dimasukkan kedalam botol kaca yang berisi formalin 10 %.
SANITASI DAN DESINFEKTAN

Dari praktikum yang telah dilakukan yaitu dengan langkah langkah :


membersihkan kandang, dengan membuang terlebih dahulu feces feces yang
ada dilantai lalu menyiram dengan air. Bersihkan tempat pakan, tempat pakan
dikosongkan. Lalu mandikan sapi dengan menggunakan sikat yang lembut dan
sabun dettol atau sejenisnya. Pada praktikum ini saya memandikan sapi yang
diberi nama Bobo, siputih.

Setelah itu gembalakan sapi tersebut agar dia dapat makan dan berinteraksi
dengan udara bebas. Selagi sapi digembalakan maka kita dapat membersihkan
peralatan, tempat pakan, lantai kandang.

Setelah semua bersih masukkan sapi, dan lakukan proses desinfeksi untuk
membunuh mikroorganisme yang terdapat pada kandang, peralatan dan bahkan
pada tubuh ternak. Disini kami menggunakan desinfektan cyperkiller, yang dapat
digunakan untuk membunuh nyamuk, lalat, caplak, kutu dan ektoparasit
lainnya. SUDONO (1969), menyatakan bahwa sinar matahari pagi yang
masuk kedalam kandang sangat penting, karena sinar pagi tak begitu panas dan
lebih banyak mengandung sinar ultraviolet yang dapat berfungsi sebagai
desinfektan dan membantu pembentukan kulit.

IV. PENUTUP

Kesimpulan

Dari paraktikum yang telah dilakukan selama ini maka didapatkan


kesimpulan bahwa setiap pemeliharaan ternak manajemen dan program
pemeliharaan harus diperhatikan demi kesehatan ternak yang kita pelihara.
Apabila pemeliharaan dan lingkungan ternak tidak diperhatikan maka besar
kemungkinan penyakit akan sering muncul sehingga usaha peternakan
mendapat kerugian yang besar.

Saran

Peralatan yang digunakan pada praktikum harus lebih diperhatikan agar


tidak ada lagi yang mengalami kerusakan sehingga kegiatan praktikum ini dapat
berjalan dengan lancar.
DAFTAR PUSTAKA

AAK. 1980. Kawan Beternak II.. Jakarta Press. Jakarta.

Anonymous. 1975. Penataran Ilmu Penyakit Unggas. Panitia Penyelengara Penataran Ilmu
Penyakit Unggas. Yogyakarta.

Akoso, B. T. Manual Keshatan Ternak. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Becker, E. R. 1927. Protozoa pada Rumen dan Retikulum Kambing. M.S. Thesis, Univ. Urbana.

Darmono. 1992. Tata Laksana Usaha Sapi Kereman. Kanisius. Yogyakarta.

Devendra, C. 1980. Produksi Kambing Didaerah Tropis. ITB. Bandung.

lenn, R. N. 1989. Parasitologi. Gadjah mada University Press. Yogyakarta.

orak. 1971. Avertebrate. Eka Offset. Semarang.

schmann, H. 1960. Reproduksi Arthropoda. Universitas N. Car. Press. Washington.

groho, E. 1989. Penyakit Ayam Di Indonesia. Ekka Offset. Semarang.

angga, C.T. 1996. Penyakit Ayam dan Penanggulangannya. Kanisius. Yogyakarta.

Diposkan oleh Avian Trenggono di 01:42

Email ThisBlogThis!Share to TwitterShare to FacebookShare to Pinterest

Label: Artikel Peternakan, kesehatan ternak, Makalah

No comments:

Post a Comment
link ke posting ini
Create a Link

Newer PostOlder PostHome

Subscribe to: Post Comments (Atom)

comment

Flag Counter

There was an error in this gadget

Popular Posts

Manajemen Pemeliharaan pedet dan dara


Dasar ternak unggas : Penetasan telur
makalah pengantar ilmu peternakan
laporan praktikum vaksinasi unggas
laporan praktikum evaluasi kecukupan ternak non ruminansia
Komunikasi Adopsi dan Difusi Inovasi dalam Penyuluhan Peternakan
Makalah papper kepemimpinan
Perawatan Pedet dan Sapi Dewasa serta Pencegahan Penyakit

Konten
Kategori

Artikel Peternakan
Ayam Bangkok
Informasi peternakan
kesehatan ternak
Makalah
Pengetahuan
PowerPoint Presentation
Ternak Itik

PASANG IKLAN

PASANG IKLAN

Checker PG Statistic Blog

Check Page Rank of your Web site pages instantly:

http:// Check PR

1
2
This page rank checking tool is powered by Page Rank Checker service
3
4
5

Template images by Jason Morrow. Powered by Blogger.


photograph
Submit

Rabu, 19 September 2012

laporan ilmu kesehatan ternak

BAB I

PENDAHULUAN

Kesehatan ternak merupakan hal terpenting untuk ternak karena


kesehatan ternak ini akan berpengaruh terhadap hasil produksi, reproduksi serta
pertumbuhan ternak. Kesehatan ternak dapat diindentifikasikan dengan
mengamati tingkah laku, keadaan fisik luar maupun pemeriksaan kondisi
fisiologis ternak. Ternak yang sehat tampak lincah dan nafsu makan normal.
Pemeriksaan fisik meliputi palpasi permukaan tubuh, keadaan bulu, keadaan
lubang-lubang tubuh, frekuensi nafas serta konsistensi feses. Secara fisiologis
ternak yang sehat dapat diamati kontraksi rumen, kontraksi usus, kecepatan
pernafasan, suhu rektal, detak jantung serta kecepatan nadi. Salah satu
penyebab ternak tidak sehat adalah parasit. Penyakit yang menyerang pada
ternak unggas sangat bervariasi, misalnya dapat dilihat dari adanya perubahan
anatomi yang nampak dari permukaan tubuh unggas.

Tujuan praktikum Ilmu Kesehatan Ternak adalah untuk mengetahui


kesehatan ternak melalui pengamatan tingkah laku ternak, pemeriksaan fisik
tubuh ternak, pemeriksaan fisiologis ternak, mengetahui telur cacing dengan
sampel feses, dan mengetahui cara pemeriksaan ayam dengan metode seksio
atau nekropsi sehingga dapat mengetahui penyakit yang menyerang ayam
tersebut karena sifat penyakit pada unggas khususnya adalah penyakitnya
menular, sangat sering terjadi komplikasi atau lebih dari satu penyakit dalam
tubuh ternak. Manfaat dari praktikum ini adalah mahasiswa dapat membedakan
ternak sakit dan tidak, mengetahui kandang serta lingkungan yang baik dan
tidak, serta mengetahui telur cacing pada sampel feses dengan metode natif dan
sentrifuse dan juga dapat mengetahui ciri-ciri penyakit maupun penyakit yang
diderita ternak dengan cara mengamati permukaan organ ternak dan organ
dalamnya secara langsung.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Analisis Kondisi Peternakan Rakyat

Analisis kondisi peternakan rakyat yaitu dengan menggunakan teknik


anamnesa. Anamnesa merupakan suatu langkah untuk mengetahui keadaan
ternak dengan menanyakan keadaan ternak kepada peternak atau yang
merawat tanpa mempengaruhi jawaban dari peternak (Ludgate,
2006). Anamnesa merupakan suatu teknik tanya jawab yang dilakukan kepada
pemilik ternak untuk mendapatkan informasi dan fakta-fakta yang terjadi
tentang riwayat penyakit ternak yang sedang diperiksa beserta situasi
lingkungan peternakan dan manajemen pemeliharaannya.Pertanyaan-
pertanyaan harus ditujukan kepada fakta-fakta penting yang telah diceritakan
atau terhadap gejala-gejala klinis yang telah diamati pemiliknya. Hal lain yang
menyangkut tipe perkandangan, makanan ternak, dan air juga perlu diajukan.
Lama berlangsungnya suatu penyakit dan riwayat tentang penyakit baik dari
hewan yang sama atau yang sekandang juga perlu ditanyakan (Subronto, 2003).

2.1.1. Lingkungan dan Kandang Ternak


Kandang Ternak domba untuk penggembalaan maupun kandang
penggemukan dibedakan menjadi kandang yang langsung ke tanah dan kandang
panggung. Kandang domba ada dua tipe yaitu tipe permanen dan semi
permanen.Disekitar kandang ini terdapat kandang lain yaitu sapi dan kambing
asal tidak menganggu kandang yang lain (Zaida et al, 2008). Sekitar kandang
sebaiknya ditanami beberapa pohon-pohon atau hijauan agar mudah dalam
mencari pakan dan menambahkan oksigen untuk ternak. Kandang perlu
mendapatkan perawatan secara rutin agar layak dipakai dan tidak rusak.
Kandang perlu bersih, kering, dan sehat. Bagian kandang yang rusak segera
diperbaiki atau diganti. Air minum untuk domba berasal dari air minum sintesis
(Jahi, 2005).

2.1.2. Tata Laksana

Tata laksana pemeliharaan meliputi tempat tinggal ternak yang dibangun


harus jauh dalam keramaian dan pemukiman dan segla sesuatu yang dapt
memenuhi kebutuhan ternak, seperti pakan. Pakan adalah segala sesuatu yang
dapat diberikan kepada ternak baik bahan organik maupun anorganik yang
dapat dicerna sebagian maupun seluruhnya oleh tubuh dalam waktu 24 jam.
Pakan yang dapat diberikan kepada ternak dapat berupa hijauan dan konsentrat
(Sitepoe, 2008).

2.2. Pemeriksaan Kesehatan Ternak Ruminansia

Biasanya suhu tubuh ternak diukur melalui rektum. Termometer harus


berada di dalam rektum sedikitnya satu menit sebelum diambil dan dibaca
isinya.Suhu rektal yang normal seekor domba adalah antara 38 0C - 39,330C
(Subronto, 2003). Rata-rata frekuensi atau kecepatan respirasi tiap menit dalam
keadaan istirahat pada domba adalah 20-30 (Ludgate, 2006). Frekuensi
pernafasan bervariasi tegantung dari jenis domba dan umurnya. Angka rata-rata
dapat naik bila terjadi kejutan atau latihan.

Kondisi ternak berkaitan dengan kesehatan ternak. Kesehatan ternak adalah suatu status
kondisi tubuh hewan dengan seluruh sel yang menyusun dan cairan tubuh yang dikandungnya secara
fisiologis berfungsi normal. Hewan sakit adalah suatu kondisi yang ditimbulkan oleh suatu individu
hidup atau oleh penyebab lain baik yang diketahui maupun tidak yang dapat merugikan kesehatan
hewan tersebut. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kesehatan hewan antara lain faktor
mekanis, termis, nutrisi, pengaruh zat kimia, keturunan, dan sebagainya (Subronto, 2003).
Permukaan tubuh ternak harus terjaga karena jasad renik atau kutu dapat masuk ke dalam tubuh
ternak melalui lubang-lubang tubuh seperti mulut, hidung, alat kelamin dan kulit yang luka
(Sudarmono et al., 2008).

2.3. Pemeriksaan Parasit


Dalam keadaan normal dua pertiga tinja terdiri dari air dan sisa makanan,
zat hasil sekresi saluran pencernaan, epitel usus, bakteri apatogen, asam lemak,
urobilin, gas indol, skatol dan sterkobilinogen. Bahan pemeriksaan tinja
sebaiknya berasal dari defekasi spontan, jika pemeriksaan sangat diperlukan
contoh tinja dapat diambil dengan jari bersarung dari rektum. Parasit merupakan
salah satu penghambat bagi gerak laju pembangunan peternakan, terutama
dalam hubungannya dengan peningkatan populasi dan produksi ternak. Usaha
pengendalian helminthiasis untuk menghindari kerugian yang lebih besar
diperlukan suatu tindakan pencegahan dan pemberantasan (Hadi,
2004). Penyakit parasit pada hewan merupakan penyakit yang dapat
mempengaruhi produktivitas ternak dan umumnya tidak menimbulkan kematian,
tetapi bersifat menahun yang dapat mengakibatkan kekurusan, lemah dan
turunnya daya produksi (Levine dan Norman, 2001). Pemeriksaan parasit pada
ternak dapat dilakukan dengan metode Natif, langkah-langkah metode natif
adalah mengambil sedikit tinja dan diletakkan di atas obyek glass, kemudian
ditetesi air dan diratakan dengan kaca penutup. Langkah berikutnya mengamati
dibawah mikroskop dengan perbesaran 10x10 dan menggambar telur cacing
yang diamati. Metode sentrifuse adalah mengambil sedikit tinja dalam mortir
dan menambahkan sedikit air, kemudian mengaduk sampai larut merata.
Menuangkan ke tabung sampai tabung lalu memutar dengan alat sentrifuse
selama 5 menit (Tabbu 2000).

2.3.1. Ektoparasit

Ektoparasit (parasit luar) meliputi filum artropoda, di dalamnya terdapat


kelas insecta dan arachnoida. Kelas insecta meliputi jenis hewan serangga,
sedangkan arachnoida digolongkan ke dalam caplak, kutu, tungau (Levine dan
Norman, 2001).

2.3.1.1. Tabanus sp, tabanus sp memiliki mulut seperti gunting yang


bertujuan untuk memotong kulit dan kemudian untuk meminum darah. Tabanus
suka binatang sapi dan tidak terlalu berbahaya bagi manusia (Hadi,
2004). Tabanus dapat menularkan flagelata parasit darah, Trypanosoma evansi,
yang menyebabkan penyakit sura pada ternak. Siklus hidup tabanus sp dimulai
saat induk meletakkan telur pada kotoran hewan, bangkai serta tempat sampah
kemudian telur berubah menjadi larva tabanus sp, fase ini kira-kira terjadi
selama 2 minggu dan selanjutnya larva berubah manjadi lalat dewasa atau yang
sering dikenal dengan nama tabanus sp (Levine dan Norman, 2001).

2.3.1.2. Larva gasterophilus intestinalis, termasuk ke dalam kelas Insecta,


ordo Diptera, sub ordo Cyclurrhopha, famili Gasterophilidae. Lalat dewasa G.
Intestinalis tidak ditemukan di Indonesia, tetapi banyak ditemukan di negara
empat musim. Lalat dewasanya merupakan lalat yang banyak mempunyai bulu
dan bagian mulutnya tidak berkembang serta tidak berfungsi. Warnanya coklat
menyerupai lebah. Panjang tubuhnya sekitar 81 mm, dan sayapnya mempunyai
pita melintang yang gelap tidak teratur (Hadi dan Saviana, 2000). Levine dan
Norman (2001) menyatakan bahwa Larva gasterophilus intestinalis berwarna
merah dan biasanya terdapat di ujung bagian kardiaka lambung.

2.3.2. Endoparasit

Endoparasit adalah parasit yang menginfeksi ternak dari dalam tubuh


ternak tersebut. Endoparasit meliputi:

2.3.2.1. Raillietina sp, merupakan genus cacing pita pada


ayam. Cestodosismenyerang ayam pada semua umur. Penyebarannya melalui
kotoran ayam yang sakit atau alat-alat yang digunakan. Gejala yang terlihat
antara lain lesu, pucat, kurus dan diikuti dengan sayap yang menggantung serta
kondisi yang berangsur-angsur menurun dan selanjutnya diikuti kematian akibat
komplikasi. Cacing Cestoda yang sering hidup pada ayam yaitu Raillietina
spp. Tubuhnya mempumyai banyak proglotida. Terdapat restelum dengan kait
berbentuk palu yang tersusun dalam lingkaran ganda. Alat penghisap kadang-
kadang dipersenjatai dengan kait yang kecil yang tersusun dalam beberapa
lingkaran (Levine dan Norman, 2001).Raillietina sp dapat membuat liang pada
dinding duodenum sehingga membentuk nodul-nodul, serupa dengan nodul-
nodul pada penyakit TBC unggas. Cara pencegahan yaitu dengan menjauhkan
unggas dengan inang perantaranya. Infeksi Cestoda memiliki tingkat penyebaran
lebih luas daripada infeksi oleh Nematoda dan trematoda. Pada usus ayam buras
rata-rata ditemukan 132,27 ekor cacing yang antara lain terdiri dari cacing
Cestoda Raillietina spp. Cacing Raillietina spptergolong dalam
phylum Platyhelmintes, Class Cestoidea, Sub
Class Cestoda, Ordo Cyclophyllidea, Genus Railietina dan Spesies Raillietina
spp (Hadi, 2004).
2.3.2.2. Fasciola, Fascioliasis (Distomatosis, Liver fluke disease, Liver rot,
Penyakit cacing hati) Fascioliasis atau penyakit cacing hati merupakan penyakit
yang berlangsung akut, sub akut, atau kronik, disebabkan oleh trematoda genus
Fasciola, Fascioloides, dan Dicrocoelium. Merupakan penyakit yang disebabkan
oleh cacing Fasciola sp. Fasciolosis pada kerbau dan sapi biasanya bersifat
kronik, sedangkan pada domba dan kambing dapat bersifat akut. Kerugian akibat
fasciolosis ditaksir 20 Milyard rupiah/tahun yang berupa penurunan berat badan
serta tertahannya pertumbuhan badan, hati yang terbuang dan kematian.
Disamping itu kerugian berupa penurunan tenaga kerja dan daya tahan tubuh
ternak (Subronto,2003). Pada umunya fascioliasis digunakan untuk
menggambarkan, atau untuk menentukan diagnosis, penyakit cacingan yang
menyerang ternak sapi, kerbau, kambing, domba, unta, dan spesies lainnya yang
disebabkan cacing trematoda genus Fasciola. Selain di jaringan hati, cacing
dapat bertumbuh dan berkembang di jaringan lain, misalnya paru-paru, otak dan
limpa. Distribusi geografik, didaerah tropik, termasuk Indonesia fascioliasis
disebabkan Fasciola gigantica, yang diserang ternak sapi, kerbau, kambing,
domba dan babi. Penyakit ini banyak diderita oleh ternak ruminansia di bagian
bumilain, Australia, Amerika, Eropa penyebabnya cacing trematoda Fasciola
hepatica disamping menyerang rumunansia juga menyerang manusia (Tabbu,
2000).

Patogenesis Fasciolosis pada sapi, kerbau, domba dan kambing dapat


berlangsung akut maupun kronik. Yang akut biasanya karena invasi cacing muda
berlangsung secara masif dalam waktu pendek, dan merusak parenkim hati,
hingga fungsi hati sangat terganggu, serta terjadinya perdarahan ke dalam
rongga peritonium. Meskipun cacing muda hidup di jaringan hati, tidak mustahil
juga mengisap darah, seperti yang dewasa, dan menyebabkan anemia.
Diperkirakan 10 ekor cacing dewasa menyebabkan kehilangan darah sebanyak 2
ml/hari (Subronto. 2003). Fasciola sp, hidup di dalam hati dan saluran empedu.
Cacing ini memakan jaringan hati dan darah. Perlu dikembangkan teknik
diagnosa fasciolosis yang bisa mendeteksi adanya infeksi aktif. Salah satu teknik
tersebut adalah dengan captureELISA untuk deteksi coproantigen merupakan
diagnosa Fasciola dengan memberikan hasil yang sensitif, spesifik dan cepat
(Tabbu, 2000).

Fascioliasis juga sering disertai diare, yang mungkin disebabkan oleh


enjima yang terdapat di dalam cacing yang merangsang selaput lendir usus,
hingga terjadi enteritis. Kurangnya produksi empedu juga menyebabkan
metabolisme lemak terganggu, dan juga mendorong terjadinya diare
(alimentaris). Infeksi oleh cacing Fasciola gigantica menyebabkan kerusakan hati
serius dalam bentuk fibrosis, dan anemia pada sapi, kerbau, dan domba maupun
kambing. Invasi campuran fasciola dan nematoda dapat mengakibatkan
cacingan pada domba dan kambing (Subronto,2003). Jumlah telur cacing yang
terlalu sedikit dalam feses akan mengalami kesulitan dalam mendiagnosa, dan
telur tidak akan ditemukan sampai cacing hati mulai produksi telur biasanya
antara minggu ke 10-14 setelah hewan diinfeksi oleh cacing Fasciola
Hepatica (Tabbu, 2000).
2.4. Pemeriksaan Kesehatan Unggas

2.4.1. Pengamatan Performans Unggas

Pengamatan performans unggas dapat diperhatikan keadaan umum


ternak, status gizi, kulit, bulu, leleran dari liang-liang tubuh, adanya
tumor/bentukan abnormal lainnya, keadaan mata, pial, cuping telinga, keadaan
daerah kloaka apakah kotor, berdarah, luka (Sujionohadi, 2004). Secara umum
keadaan luarnya yaitu ayam terlihat kurus, kepala dan leher menekuk, lemah,
pial biru dan jatuh, mengantuk, respirasi meningkat serta feses yang encer
berwarna hijau keputihan.Pada ternak jenis unggas cenderung mudah terserang
penyakit dibandingkan dengan ternak ruminansia karena
penularannya. Penularan terutama melalui udara dalam kandang ayam, bulu,
debu kandang, tinja, air liur. Ayam terinfeksi mengandung virus dalam darah
untuk waktu yang lama dan menjadi sumber infeksi bagi ayam yang
rentan. Penularan melalui telur tidak menciri (Fadilah et al, 2004).

2.4.2. Pengambilan Darah

Pemeriksaan kondisi kesehatan ayam dapat pula dengan melihat serum


dalam darah. Pada pemeriksaan darah digunakan darah yang diambil dari vena
sayap yang kemudian diletakkan dalam tabung berisi EDTA sebagai
antikoagulan, untuk kemudian diperiksa di laboratorium patologi klinik untuk
melihat sifat kimia darah tersebut serta untuk untuk pemeriksaan diferensial
leukosit pada darah(Tabbu, 2000).

2.4.3. Nekropsi

Nekropsi merupakan suatu prosedur untuk melakukan pemeriksaan yang cepat dan rinci
secara patologi anatomi untuk mengetahui sebab-sebab kematian seekor atau sekelompok hewan
yang dalam hal ini adalah ayam sehingga dapat dilakukan penanggulangan (Fadilah et al,
2004). Pada nekropsi yang dilakukan adalah mengamati beberapa organ dalam yang mengalami
perubahan atau kelainan sehingga dapat dijadikan sumber dugaan bahwa ayam tersebut terserang
suatu penyakit dengan melakukan pembedahan (Tabbu, 2000).

Penyakit aflatoksikosis adalah penyakit keracunan makanan yang disebabkan olek aflatoksin
yang dihasilkan oleh cendawan aspergillus flavus. Penyebaran dari penyakit aflatoksikosis melalui
spora yang terbawa angin dan jatuh pada makanan itik. Hal ini sesuai dengan pendapat Suprijatna,
et al. (2005) yang menyatakan bahwa penyakit pada ternak dapat dilihat dalam organ
pencernaannya. Organ pernapasan yang normal pada ternak tidak adanya kelainan dan gangguan.
Hal ini sesuai dengan pendapat Tabbu (2000) yang menyatakan bahwa organ pernapasan dapat
menjadi ciri-ciri apakah unggas itu mengalami gangguan terhadap suatu penyakit atau tidak.

BAB III

MATERI DAN METODE

Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak dengan materi Pemeriksaan Kesehatan


Ternak Ruminansia dilaksanakan pada hari Senin tanggal 07 November
2011 pukul 15.00-16.00 WIB di Peternakan Domba Pak Gunardi di Fakultas
PeternakanUniversitas Diponegoro Semarang, materi Pemeriksaan Mikroskopis
Feses pada hari Jumat tanggal 11 November 2011 pukul 09.30-11.30 WIB dan
materi Pemeriksaan Kesehatan Unggas pada hari Jumat tanggal 18 November
2011 pukul 09.30-11.30 WIB di Laboratorium Ilmu Kesehatan Ternak, Fakultas
Peternakan, Universitas Diponegoro, Semarang.

3.1. Materi

Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah stetoskop berfungsi untuk
memeriksa gerak paru-paru, jantung, rumen dan usus. Termometer berfungsi
untuk memeriksa suhu tubuh, dan stopwatch untuk menghitung waktu yang
dibutuhkan dalam pemeriksaan, plastik yang digunakan untuk alas dalam
mengamati organ dalam, pisau untuk mematikan atau membunuh ayam, sarung
tangan, spuit 3 cc, tabung reaksi untuk menampung darah ayam.

Sedangkan bahan yang digunakan adalah ternak domba sebagai ternak


yang akan diperiksa kesehatannya, feses domba induk dan anakan, NaCl sebagai
pelarut gula jenuh, preparat awetan yaitu Raillitena sp, Tricharis lambing,
Tabannus sp, Fasciola gigantic, Gastrophillus intestinalis, ayam layer (petelur).
3.2. Metode

3.2.1. Analisa kondisi peternakan rakyat

Metode yang digunakan dalam praktikum ini adalah metode anamnesa


yaitu menanyakan riwayat hidup peternak dan ternaknya. Menanyakan kondisi
ternak kepada peternak yang merawat ternak tersebut yang berisi semua aspek
tentang kesehatan ternak. Mengamati tingkah laku ternak secara kasat mata
atau mata telanjang, mengamati aktifitas gerak ternak, aktifitas makan dan
minum, mengamati pergerakan dari anggota tubuh ternak, dan posisi berdirinya,
mengamati kondisi permukaan tubuh, lubang-lubang tubuh seperti mulut,
hidung, mata, telinga, anus. Memeriksa gerak paru, jantung, rumen dan usus
dengan menggunakan stetoskop dan memeriksa suhu tubuh dengan
termometer.

3.2.2. Pemeriksaan kesehatan domba

Identifikasi penyakit dapat dilakukan dengan cara mengamati tingkah laku


ternak kambing dari jarak jauh, seperti gerakan ternak, sikap berdiri, sikap
berjalan, sikap berbaring, nafsu makan/minum dan sikap dalam kelompok.
Memeriksa fisik tubuh ternak, seperti kondisi bulu, permukaan tubuh, anggota
gerak, lubang tubuh, luka di permukaan tubuh, konsistensi feses. Memeriksa
kondisi fisiologis ternak seperti temperatur tubuh, kecepatan pernafasan,
kecepatan pembuluh nadi, detak jantung, kontraksi usus, kontraksi rumen.
Kemudian membuat kesimpulan sementara atas status kondisi kesehatan
ternak.Setelah itu, memeriksa sampel berupa feses di laboratorium untuk
mengetahui adanya parasit atau tidak, dan dapat menyimpulkan ternak tersebut
menderita suatu penyakit yang disebabkan oleh parasit tersebut.

3.2.3. Pemeriksaan Parasit

3.2.3.1. Metode Natif, langkah-langkah metode natif adalah mengambil sedikti


tinja dan diletakkan di atas obyek glass, kemudian ditetesi air dan diratakan
dengan kaca penutup. Langkah berikutnya mengamati dibawah mikroskop
dengan perbesaran 10x10 dan menggambar telur cacing yang diamati.
3.2.3.2. Metode Sentrifuse, langkah-langkah metode sentrifuse adalah
mengambil sedikit tinja dalam mortir dan menambahkan sedikit air, kemudian
mengaduk sampai larut merata. Menuangkan ke dalam tabung centrifuse sampai
tabung lalu memutar dengan alat centrifuse selama 5 menit. Kemudian
membuang cairan jernih di atas endapan. Menuang NaCl jenuh di atas endapan
sampai tabung dan mengaduk hingga tercampur merata. Memutar lagi
dengan alat centrifuse selama 5 menit lalu meletakkan tabung diatas rak, posisi
tegak lurus. Meneteskan NaCl jenuh di atas cairan dalam tabung, sampai penuh
meluber dan dibiarkan selama 3 menit. Selanjutnya menempelkan obyek glass
pada permukaan yang cembung dengan hati-hati, kemudian dengan cepat obyek
glass dibalik. Menutup obyek glass yang ditempeli cairan dengan kaca penutup
lalu memeriksa di bawah mikroskop, dengan perbesaran 10 x 10.

3.2.4. Pengamatan Performans Unggas

Pengamatan Performans Unggas dengan cara melakukan pengamatan


terhadap unggas sebelum dilakukan pembedahan, pengamatan meliputi tingkah
laku dari unggas tersebut, perubahan anatomi baik pada bagian kepala, tubuh,
kaki dan kulit.

3.2.5. Pengambilan Darah

Pengambilan darah ayam dapat melalui Vena Bracialis (Vena yang


berada di bagian sayap dalam) atau vena jugularis dengan menggunakan spuit 3
cc, kemudian darah dimasukkan dalam tabung gelas secara hati-hati (darah
dialirkan lambat melalui dinding tabung). Tabung penampung tanpa
antikoagulan, biarkan selama setengah jam, amati perubahannya.

3.2.6. Nekropsi

Pemeriksaan nekropsi dilakukan pada ayam yang diduga sakit dengan


cara menyembelih ayam terlebih dahulu dengan cara memotong pembuluh
darah arteri maupun vena jugularis, basahi bulu unggas terutama di bagian dada
dan perut.Ayam yang sudah mati diletakkan di atas alas plastik dengan posisi
punggung diatas, paksakan menekan kedua paha kearah bawah agar lebih
leluasa dalam melakukan nekropsi, amati organ-organ dalam ayam dengan
seksama dan teliti, setelah itu melihat kondisi organ apakah terdapat kelainan
atau tidak dengan melihat dari warna organ, ukuran, konsistensi serta uji apung.

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Kondisi Peternak Rakyat

Berdasarkan hasil wawancara yang dengan peternak didapatkan hasil


sebagai berikut:

Ilustrasi 1. Wawancara dengan peternak


Sumber: Data Primer Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak, 2011.

Bapak Gunardi merupakan seorang peternak yang pendidikan akhirnya SLTA, tinggal di daerah
Banjarsari Selatan No. 2B Tembalang. Bapak Gunardi ini memulai beternak sejak tahun 2003 dengan
ilmu peternakan yang didapat secara otodidak. Jumlah ternak yang dipelihara sekarang berjumlah
13 ekor betina, 5 ekor induk dan 8 ekor anak, sedangkan yang berproduksi sebanyak 5 ekor. Ilmu
beternak tidak hanya cukup didapat dari otodidak saja melainkan harus tetap belajar baik dengan
cara membaca banyak buku tentang peternakan maupun belajar langsung atau seringnya
berkomunikasi dengan para peternak agar ilmu beternak terus bertambah dan akan memudahkan
dalam mengatasi segala permasalahan yang ada. Salah satu cara untuk mengetahui penyakit yang
menyerang ternak pada peternakan rakyat diantaranya adalah teknik anamnesa dilakukan dengan
wawancara tentang kondisi dan riwayat kesehatan ternak kepada peternak yang memelihara ternak
tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Ludgate (2006), yang menyatakan bahwaanamnesa
merupakan suatu metode untuk mengetahui riwayat suatu penyakit dengan cara menanyakan
secara langsung kepada orang memelihara ternak.

Bapak Gunardi dalam mengidentifikasi penyakit pada ternaknya dengan cara ada atau
tidaknya penurunan nafsu makan dan perbedaan bentuk serta warna pada feses ternak. Penyakit
yang biasa menyerang ternak Bapak Gunardi adalah cacingan yang diakibatkan oleh salah dalam
memakan pakan, kembung karena masuknya benda-benda yang seharusnya tidak dimakan seperti
plastik atau karena pakan hijauan yang basah dan diare yang diakibatkan oleh gangguan dalam
sistem pencernaannya. Hal ini sesuai pendapatSubronto (2003) bahwa faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi kesehatan hewan antara lain faktor mekanis, termis, nutrisi, pengaruh zat kimia,
keturunan, dan sebagainya.

4.1.1. Pengamatan kondisi lingkungan dan kandang ternak

Berdasarkan hasil pengamatan pada kondisi lingkungan kandang ternak


domba:

Ilustrasi 2. Lingkungan perkandangan


Sumber: Data Primer Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak, 2011.

Bangunan kandang pada peternakan ini bersifat semi permanen, namun


tempat pakan dan minumnya bersifat permanen. Jarak antara kandang dengan
rumah sekitar 1 km dan kondisi ini cukup mendukung dalam pemeliharaan
ternak karena terdapat tanaman disekitar kandang diantaranya rumput gajah,
rumput liar dan pohon gamal yang sekaligus digunakan sebagai pakan ternak
serta pendukung suhu udara dan tiupan angin yang cukup. Hal ini sesuai
pendapat Zaida et al(2008) yang menyatakan bahwa kandang domba ada dua
tipe yaitu tipe permanen dan semi permanen. Sebaiknya dalam pembuatan
tempat pakan dan tempat minum bagi ternak domba adalah permanen. Jahi
(2005) yang menambahkan bahwadisekitar kandang sebaiknya ditanami
beberapa pohon-pohon atau hijauan agar mudah dalam mencari pakan dan
menambahkan oksigen untuk ternak.

Terdapat ternak sapi, ternak kambing, dan ternak unggas disekitar kandang
domba. Air di kandang bersumber dari air sintetis sehingga mempermudah
dalam pemberian minum untuk ternak. Hal ini sesuai dengan pendapat Jahi
(2005) yang menyatakan bahwa air minum untuk ternak domba berasal dari air
sintetis. Sedangkan Zaida et al (2008) menyatakan tidak masalah disekitar
peternakan domba ada peternakan lain asalkan tidak saling menggangu dan
tidak membahayakan.

Ilustrasi 3. Bentuk kandang

Sumber: Data Primer Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak, 2011.

Atap kandang berasal dari genteng, lantainya dari semen, tempat pakan
dan minum secara koloni, sanitasi kurang baik dan bangunan dinding tidak
terlalu rapat sehingga sinar matahari yang masuk ke dalam kandang cukup baik.
Kebersihan lingkungan sudah baik meliputi tempat pakan dan minum bersih,
kandang cukup bersih dan pembuangan feses berada disebelah kandang. Jarak
pembuangan feses ini tidak terlalu jauh dari yang semestinya. Pembersihan
kandang tidak dilakukan setiap sehari sehingga kebersihan kandang kurang
baik. Kapasitas kandang yang dihuni cukup untuk ternak dapat bergerak
bebas. Hal ini tidak sesuai pendapatTabbu (2000), yang
menyatakan bahwa sanitasi adalah suatu usaha yang dilakukan untuk
membebaskan kandang dari bibit penyakit maupun parasit lainnya dengan
menggunakan obat pengendali seperti desinfektan pada dosis yang dianjurkan.
Ludgate (2006), menambahkan bahwa kebersihan kandang harus tetap dijaga,
jarak antara kandang dengan pembuangan feses harus jauh dengan kandang
minimal 10 meter dari kandang.

4.1.2. Tata Laksana

Berdasarkan pengamatan pada tata laksana pemeliharaan ternak


didaptkan hasil:

Ilustrasi 4. Tata laksana pemeliharaan


Sumber: Data Primer Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak, 2011.

Pakan yang diberikan pada ternak adalah pakan yang telah tersedia di
ladang penggembalaan.Waktu pemberian pakan oleh peternak terhadap ternak
hanya satu kali ketika ternak pulang dari penggembalaan. Hal ini sesuai dengan
pendapat Sitepoe (2008) yang menyatakan bahwa pakan yang dapat diberikan
kepada ternak dapat berupa hijauan yang meliputi hijauan segar atau kering dan
juga konsentrat.Tata laksana dalam pemeliharaan ternak, lokasi kandang, pakan
dan kebersihan kandang. Lokasi pembangunan kandang sesuai karena kandang
dibangun jauh dengan pemukiman kandang. Hal ini sesuai dengan pendapat
Subronto (2003), bahwa pembangunan kandang hendaknya jauh dari keramaian
dan pemukiman penduduk. Hal ini bertujuan agar ternak tidak stres sehingga
ternak merasa nyaman dalam kandang.

4.2. Pemeriksaan Kesehatan Hewan


Berdasarkan hasil Pemeriksaan Kesehatan Hewan dapat diamati kondisi
ternak sebagai berikut.

Ilustrasi 5. Kondisi ternak


Sumber: Data Primer Praktikum Ilmu Kesehatan Ternak, 2011.

Ternak yang diamati merupakan ternak domba betina dengan umur


sekitar 2 tahun. Aktifitas ternak ini lincah, nafsu makan dan minum normal,
posisi berdirinya yang tegak dan bobot badan yang cukup. Hal ini sesuai dengan
pendapat yang dinyatakan oleh Purbowati (2009) yang menyatakan bahwa
dalam kondisi sehat tingkah laku domba lincah dengan nafsu makan yang baik.
Ternak sehat juga dapat dilihat dengan mengamati pada bagian eksterior organ
ternak seperti sorot mata yang ramah, tidak terdapat lendir disekitar mulut dan
hidung dan disekitar anus tidak terdapat kotoran yang menempel. Pada ternak
yang sakit biasanya suka memakan makanan yang tidak lazim. Hal ini sesuai
denngan pendapat Rianto et al. (2009) yang menyatakan bahwa kesehatan pada
tubuh ternak dapat dilihat berdasarkan organ luarnya juga perilaku ternak
seperti memakan makanan yang tidak lazim.

Pemeriksaan fisik meliputi bagian tubuh yang sakit, pengaruh penyakit


tersebut terhadap ternak, dan cara pengobatan yang telah
dilakukan. Temperatur tubuh yang didapat dari ternak domba adalah
39,20C, sedangkan gerakan rumennya sebanyak 2 kali per menit. Hal ini sesuai
dengan pendapat Subronto (2003) yangmenyatakan bahwa domba mempunyai
suhu normal berkisar 38,3 39,9 0 C dan gerakan rumen 2 kali dalam satu menit.
Gerakan pernafasan tenang dan teratur, kecepatan pulsus 28 kali/menit, gerak
usus cepat, gerak rumen 2 kali/menit, kondisi feses yang keluar dari ternak
tersebut berbentuk padat dengan permukaan yang bulat, dan urin yang
dikeluarkan banyak. Hal ini sesuai pendapat Ludgate (2006) bahwa rata-rata
frekuensi atau kecepatan respirasi tiap menit dalam keadaan istirahat pada
domba adalah 20-30.

4.3. Hasil Pemeriksaan Parasit

4.3.1. Metode Natif, berdasarkan hasil pengamatan parasit dengan metode


natif didapatkan hasil:

Sumber: Data Primer Praktikum Ilmu Sumber : www.google.com// fasci


Kesehatan Ternak, 2011. olahepatica

Ilustrasi 6. Fasciola Hepatica


Dari hasil pengamatan pada feses anakan domba dengan
metode natif terdapat telur cacing yang berbentuk bulat dan pada bagian
dalamnya terdapat lingkaran seperti cincin. Telur cacing tersebut
tergolong Ascaris vitularia. Cacing ini mengakibatkan kecernaan makanan dalam
tubuh ternak berkurang karena cacing mengeluarkan zat antienzim. Hai ini
sesuai dengan pendapat Tabbu (2000) yang menyatakan bahwa apabila cacing
genus Ascaris yang ditemukan dalam usus halus terlalu banyak, ayam akan
menjadi kurus. Hal ini terjadi karena cacing yang memenuhi usus akan
menghambat jalannnya makanan. Fase hidup cacing berawal dari telur yang ada
di hati ternak, yang keluar bersama feses, feses berada pada suhu lembab
menetas menjadi larva dan mencari siput untuk kelangsungan siklus hidupnya,
siput berada pada tempat yang lembap dan larvanya yang ada pada siput
tertinggal pada tumbuhan yang digunakan untuk pakan ternak, sehingga
sebagai pakan rumput harus di jemur dulu selama 4 jam Hadi dan Saviana
(2000).
4.3.2. Metode Sentrifuse

Berdasarkan hasil praktikum pada metode sentrifuse tidak terdapat


telur cacing. Metode sentrifuse adalah metode yang digunakan dalam
pemeriksaan feses untuk mengetahui adanya telur cacing maupun cacing
dengan menggunakan cairan NaCl. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Tabbu
(2000). yang menyatakan bahwametode sentrifuse dipergunakan untuk
pemeriksaan secara cepat dan baik untuk infeksi berat, tetapi untuk infeksi yang
ringan sulit ditemukan telur-telurnya. Cara pemeriksaan ini menggunakan
larutan NaCl fisiologis (0,9%) atau eosin 2%. Penggunaa eosin 2% dimaksudkan
untuk lebih jelas membedakan telur-telur cacing dengan kotoran disekitarnya.

4.4. Pengamatan Preparat Awetan Parasit

Berdasarkan pengamatan parasit yang dilakukan ada dua macam


parasit yaitu endoparasit dan ektoparasit. Parasit yang termasuk endoparasit
yaituRaillitena sp dan Tricharis lambing, dan Fasciola gigantica. Sedangkan jenis
parasit ektoparasit yaitu Tabannus sp dan Larva gastrophilu intestrinalis.
4.4.1. Ektoparasit

Berdasarkan pengamatan ektoparasit diperoleh hasil bahwa yang


termasuk ektoparasit diantaranya adalah Tabannus sp dan Larva gastrophilus
intestrinalis.

4.4.1.1. Tabannus sp, Berdasarkan pengamatan ektoparasit Tabanus


sp diperoleh hasil sebagai berikut:

Sumber : Data Primer Praktikum Ilmu Sumber:www.google.com//Taban


Kesehatan Ternak, 2011. us sp
Ilustrasi 7. Tabanus sp

Tabanus sp dapat ditemukan pada ternak, parasit ini mempunyai sayap


dan badan yang berbulu-bulu selain itu mempunyai mulut yang dapat
menghisap darah.Siklus hidup tabanus sp dimulai dari telur yang biasanya
berdada pada permukaanair yang berlumpur. Telur berkembang mengeluarkan
larva. Larva jatuh kedalam air masuk kedalam lumpur berkembang menjadi
pupa. Pupa berkembang menjadi lalat dewasa . Hal ini sesuai dengan pendapat
Hadi dan Saviana (2000), yang menyatakan bahwa tabanus memiliki mulut
seperti gunting yang bertujuan untuk memotong kulit dan kemudian untuk
meminum darah. Tabanus suka menghisap darah binatang ternak dan tidak
terlalu berbahaya bagi manusia. Menurut Noble (2004), bahwa Tabanus dapat
menularkan flagelata parasit darah, Trypanosoma evansi, yang menyebabkan
penyakit sura pada ternak. Siklus hidup tabanus sp berawal dari telur yang
menetas menjadi larva dan pupa kemudian berkembang menjadi lalat dewasa.
Hal ini sesuai dengan pendapat Levine (2001) yang menyatakan bahwa siklus
hidup tabanus sp dimulai saat induk meletakkan telur pada kotoran hewan,
bangkai serta tempat sampah, lalu telur akan berubah menjadi larva tabanus sp,
fase ini kira-kira selama 2 minggu, selanjutnya larva akan berubah
manjadi tabanus sp. Pencegahan dapat dimulai dengan membersihkan kandang
dari genangan lumpur, karena siklus hidup awal tabanus sp berasal dari air yang
mengenang dalam kandang. Hal ini sesuai dengan pendapat Noble (2004) yang
menyatakan bahwa pencegahan tabanus sp dapat dilakukan dengan
membersihkan kandang yang ada genangan airnya, dipping pada lalat dewasa
dan penyemprotan residu pada dinding kandang dengan Malathion.

4.4.1.2. Larva Gasterophilus intestinalis, Berdasarkan pengamatan


ektoparasitLarva Gasterophilus intestinalis diperoleh hasil sebagai berikut:

Sumber : Data Primer Praktikum Ilmu Sumber:www.google.com//


Kesehatan Ternak, 2011. Gasterophillus intestinalis
Ilustrasi 8. Larva Gasterophilus intestinalis

Larva Gasterophilus intestinalis termasuk ke dalam kelas Insecta,


ordo Diptera, sub ordo Cyclurrhopha, famili Gasterophilidae. Lalat
dewasa Gasterophilus intestinalis tidak ditemukan di Indonesia, tetapi banyak
ditemukan di negara empat musim. Lalat dewasanya merupakan lalat yang
banyak mempunyai bulu dan bagian mulutnya tidak berkembang serta tidak
berfungsi. Hal ini sesuai dengan pendapat Hadi dan Saviana, (2000) yang
menyatakan bahwa larva Gasterophilus intestinalis mempunyai bentuk seperti
lebah yang mempunyai banyak bulu, warnanya coklat menyerupai lebah.
Panjang tubuhnya sekitar 81 mm, dan sayapnya mempunyai pita melintang yang
gelap tidak teratur. Fase hidup dari Gasterophilus intestinalis dimulai saat induk
meletakkan telur pada kotoran hewan, bangkai serta tempat sampah, lalu telur
akan berubah menjadi larva fase ini kira-kira selama 2 minggu, selanjutnya larva
akan berubah manjadi lalat. Levine dan Norman (2001) menyatakan
bahwa Gasterophilus intestinalis berwarna merah dan biasanya terdapat di ujung
bagian kardiaka lambung.

4.4.2. Endoparasit
Berdasarkan pengamatan endoparasit diperoleh hasil bahwa yang
termasuk endoparasit diantaranya adalah Raillitena sp, Tricharis
lambing, dan Fasciolagigantica.

4.4.2.1. Raillitena sp, Berdasarkan pengamatan parasit Raillitena sp diperoleh


hasil sebagai berikut:

Sumber: Data Primer Praktikum Ilmu Sumber:www.google.com// Rail


Kesehatan Ternak, 2011. litena sp
Ilustrasi 9. Raillitena sp

Parasit Raillietina sp, biasanya menyerang unggas. Penyebarannya


melalui kotoran ayam. Sesuai dengan pendapat Levine dan Norman (2001) yang
menyatakan bahwa Cestodosis menyerang ayam pada semua umur dan
penyebarannya melalui kotoran ayam yang sakit atau alat-alat yang digunakan.
Gejala yang terlihat antara lain lesu, pucat, kurus dan diikuti dengan sayap yang
menggantung serta kondisi yang berangsur-angsur menurun dan selanjutnya
diikuti kematian akibat komplikasi. Raillietina sp, yang juga bersifat sangat
pathogen dan dapat membuat liang pada dinding duodenum. Hal ini sesuai
dengan pendapat Noble (2004) yang menyatakan bahwa Raillietina sp dapat
membuat liang pada dinding duodenum sehingga membentuk nodul-nodul,
serupa dengan nodul-nodul pada penyakit TBC unggas. Cara pencegahan yaitu
dengan menjauhkan unggas dengan inang perantaranya.

4.4.2.2 Tricharis lambing, Berdasarkan pengamatan parasit Tricharis


lambingdiperoleh hasil sebagai berikut:
Sumber: Data Primer Praktikum www.google.com//
Ilmu Kesehatan Ternak , 2011. tricharis lambing
Ilustrasi 10. Tricharis lambing

Tricharis lambing cacing ini umumnya menginfeksi babi muda, terutama


babi muda yang berumur maksimal 6 bulan atau anakan babi. Menurut pendapat
yang dinyatakan oleh (Noble, 2004). Tricharis lambing mempunyai habitat pada
saluran usus dan menghisap darah inangnya, dengan menggunakan semacam
kait yang ditusukkan ke dalam lapisan usus sehingga usus mengalami luka.
Akibat dari kegiatan ini maka babi muda yang terinfeksi akan mengalami diare
berdarah, anemia dan bahkan dapat menyebabkan kematian. Siklus hidup dari
tricharis lambing adalah telur cacing yang berubah menjadi larva, apabila dalam
kondisi baik cacing ini akan berkembang menjadi cacing dewasa. Hal ini sesuai
dengan pendapat yang dikemukakan oleh Levine dan Norman (2001) yang
menyatakan bahwa siklus hidup tricharis lambing sangatlah baik pada kondisi
yang mengguntungkan, pencegahannya dengan membersihkan kandang dan
penyemprotan residu di sekitar kandang.

4.5. Pemeriksaan Kesehatan Ternak Unggas

Berdasarkan hasil praktikum pada pemeriksaan kesehatan ternak unggas


dari segi riwayat hidup unggas yaitu jenis unggas layer atau petelur. Jenis
kelamin betina dengan umur afkir 80 minggu didapatkan di pasar yang
kondisinya telah sakit, tindakan yang telah dilakukan peternak dalam
pencegahan penyakit yaitu dengan menjual, karena dalam keadaan afkir atau
sudah tidak berproduktivitas. Menurut pendapat Rasyaf (2008) menyatakan
bahwa umur akhir dari ayam petelur berkisar antara 65-80 minggu, pada kondisi
umur ini produktivitas dari telur akan menurun dan akan terjadi penyusutan
berat telur. Apabila dibiarkan dalam kondisi seperti ini peternak akan mengalami
kerugian sehingga ayam petelur pada kondisi afkir lebih banyak dijual.
4.5.1. Pengamatan Performans Unggas

Berdasarkan pengamatan performans unggas didapatkan hasil sebagai


berikut:

Sumber: Data Primer Praktikum www.google.com// unggas sehat


Ilmu Kesehatan Ternak , 2011.
Ilustrasi 12. Performans Unggas

Berdasarkan hasil praktikum pengamatan performans unggas pada


ayam petelur periode afkir didapatkan hasil tingkah lakunya lemah dalam
berjalan, bagian kepala terdapat benjolan. Hal ini sesuai dengan pendapat
Fadilah et al. (2004) yang menyatakan bahwa pada kondisi ayam afkir biasa
dilakukan seleksi ayam untuk memilih ayam ayam yang tidak produktif. Ayam-
ayam yang tidak produktif tersebut kemudian dilakukan pengafkiran agar terjadi
efisiensi pakan. Karena jika ada ayam yang tidak produktif tetap dipelihara maka
akan terjadi pemborosan. Ciri-ciri ayam yang tidak produktif yakni tingkah laku
ayam lemah dan jengger ayam terlihat kusam, bintik-bintik dan dan
pucat. Pemeriksaan terhadap ada tidaknya penyakit pada ternak dapat dilakukan
dengan cara pemeriksaan terhadap tingkah laku dan nekropsi. Hal ini sesuai
dengan pendapat yang dikemukakan (Tabbu, 2000) bahwa pemeriksaan penyakit
dapat dilakukan dengan mengamati tingkah laku ternak, apabila tidak
menemukan hasil dapat dilakukan dengan pemeriksaan nekropsi agar tidak
semua populasi ternak terserang penyakit yang sama.

4.5.2. Pengambilan Darah

Darah ayam diambil menggunakan spuit 3cc, darah dimasukkan dalam


tabung gelas secara hati-hati (darah dialirkan lambat melalui dinding
tabung).Pengambilan darah ini digunakan untuk dapat mendiagnosa penyakit
yang ada pada ternak. Pada tabung penampung yang dibiarkan selama setengah
jamterjadi pengendapan dibawah dan terdapat serum darah berwarna kuning.
Hal ini sesuai dengan pendapat yang dinyatakan oleh Tabbu (2000) yang
menyatakanbahwa pengambilan darah pada ternak dilakukan dibagian vena
jugularis dan vena saphena, pemeriksaan ini selain untuk bakteriologis juga
dapat mendiagnosis penyakit pada ternak. Sesuai dengan pendapat Fadilah et
al. (2004) yang menyatakan pengambilan spesimen pada ayam digunakan untuk
mendiagnosis penyakit yang diderita ternak.

4.5.3. Neskropsi

Berdasarkan hasil pengamatan pada praktikum nekropsi didapatkan hasil sebagai berikut:

Sumber: Data Primer Praktikum www.google.com// organ


Ilmu Kesehatan Ternak , 2011. pencernaan
Ilustrasi 13. Organ Pencernaan

Berdasarkan hasil pengamatan pada praktikum nekropsi, organ-organ dalam pencernaan


masih terlihat bagus seperti jantung, ginjal, dan pankreas yang memiliki ukuran normal dengan
warna yang homogen. Pada pemeriksaan hati ukurannya mengecil, warnanya coklat, konsistensi
rapuh, dan adanya flek hitam pada hati, pankreas normal warnanya homogen, ginjalnya terdapat
flek merah, pemeriksaan usus bagus, diduga ayam petelur yang digunakan dalam praktikum
nekropsi menderita penyakit aflatoksikosis atau penyakit yang disebabkan karena banyaknya bahan
kimia yang terdapat dalapm pakan. Hal ini sesuai pendapat Tabbu (2000) yang menyatakan
penyakit aflatoksikosis merupakan masalah utama bagi peternak ayam pedaging maupun
petelur. Penyakit aflatoksikosis adalah penyakit keracunan makanan yang disebabkan olek
aflatoksin yang dihasilkan oleh cendawan aspergillus flavus. Penyebaran dari penyakit aflatoksikosis
melalui spora yang terbawa angin dan jatuh pada makanan itik. Hal ini sesuai dengan pendapat
Suprijatna, et al. (2005) yang menyatakan bahwa penyakit pada ternak dapat dilihat dalam organ
pencernaannya.

Sumber: Data Primer Praktikum www.google.com// organ


Ilmu Kesehatan Ternak , 2011. pernapasan
Ilustrasi 14. Organ Pernapasan Unggas

Trakea yang memiliki warna putih dengan kondisi isinya bersih. Paru-paru memiliki warna
merah dengan konsistensi kenyal dan mengapung apabila dilakukan uji apung serta pada
pemeriksaan syaraf didapatkan warna putih dan ukuran kecil. Pada organ pernapasan terdapat
kelainan pada paru-paru bagus dan pada uji apung paru-paru masih mengapung dalam air, hal ini
menunjukkan organ pernapasan pada ayam tidak mengalami gangguan. Organ pernapasan yang
normal pada ternak tidak adanya kelainan dan gangguan. Hal ini sesuai dengan pendapat Tabbu
(2000) yang menyatakan bahwa organ pernapasan dapat menjadi ciri-ciri apakah unggas itu
mengalami gangguan terhadap suatu penyakit atau tidak. Hal ini diperkuat dengan pendapat Rasyaf
(2008) yang mengemukakan salah satu ciri-ciri kelainan atau penyakit pada ternak dapat dilihat
dengan kantong udaranya.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Ternak hasil pengamatan dalam keadaan sehat, namun kondisi kandang


yang kurang mendukung dikarenakan alas kandang yang kotor dan tempat
pembuangan feses yang kurang baik yang akan menyebabkan adanya penyakit.
Penyakit yang biasanya menyerang ternak ini adalah penyakit cacingan,
kembung dan diare.

Pemeriksaan Parasit dapat menggunakan metode natif dengan pegamatan


mikroskop dan metode sentrifuse mengambil sedikit tinja dalam mortir dan
menambahkan sedikit air, kemudian mengaduk sampai larut merata.
Menuangkan ke dalam tabung centrifuse sampai tabung lalu memutar dengan
alat centrifuse selama 5 menit.

Nekropsi merupakan suatu prosedur untuk melakukan pemeriksaan yang


cepat dan rinci secara patologi anatomi untuk mengetahui sebab-sebab
kematian seekor atau sekelompok hewan sehingga dapat dilakukan
penanggulangan. Organ-organ dalam pencernaan masih terlihat bagus namun
pada hatinya terjadi pengecilan ukuran pada organ, warnanya cokelat,
konsistensi rapuh dan hancur. Pada organ pernapasan terdapat kelaian pada
paru-paru, ada bintik-bintik atau flek hitam.

5.2. Saran

Diusahakan para praktikan memahami dan menguasai terlebih dahulu


sebelum melaksanakan praktikum agar dapat mempermudah dalam
menjalankan praktikum. Terutama pada saat pemeriksaaan mikroskopis feses
yang membutuhkan ketelitian.

DAFTAR PUSTAKA
Fadilah, Roni Polana, Agustin. 2004. Aneka Penyakit Pada Ayam dan Cara Mengatasinya.
Agromedia Pustaka, Jakarta
Hadi, U. K dan Saviana, S. 2000. Ektoparasit: Pengenalan, Diagnosis,
dan Pengendaliannya. Institute Pertanian Bogor, Bogor.

Jahi, A. (2005). Bagaimana Respon Petani Miskin di dua Desa Tepi Hutan, di Kecamatan Ujung Jaya Kabupaten
Sumedang, Sumedang.

Levine, D. N. dan W. Norman. 2001. Veteriner. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Ludgate, P. J. 2006. Sukses Beternak Kambing dan Domba. Agro Inovasi, Jakarta.
Rasyaf, M. 2008. Panduan Beternak Ayam Pedaging. Penebar Swadaya. Jakarta

Sitepoe, M. 2008. Cara Memelihara Domba dan Kambing Organik. Indeks, Jakarta.
Subronto. 2003. Ilmu Penyakit Ternak (Mammalia) I. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Sujionohadi, Kliwon dan Ade Iwan Setiawan. 2004. Ayam Kampung Petelur.Penerbit
Swadaya, Jakarta.
Suprijatna, Edjeng Dr., Prof. Dr. Umiyati Atmomarsono, Prof. Dr. Ruhyat Kartasudjana.
2005. Ilmu Dasar Ternak Unggas. Penebar Swadaya, Jakarta.
Tabbu, C. R. 2000. Penyakit Ayam dan Penanggulagannya.Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Zaida, Handarto dan Natari. 2008. Analisis Pengubahan Iklim Mikro didalam Kandang
Domba Garut dengan Metode Pengendalian Pasif. Garut.

LAMPIRAN
Lampiran 1. Wawancara dengan Peternak

1 Nama Gunardi

2 Banjar Sari Selatan No.


Alamat
2B, Tembalang
3 Pendidikan SLTA
4 Mulai beternak tahun 2003
5 Ilmu beternak didapat dari Otodidak
6 13 ekor, betina 13,
Jumlah ternak induk 5, anak 8 dan 5
produksi
7 Nafsu makan turun,
Bagaimana cara mengetahui kalau
bentuk atau warna
ternaknya sakit
feses tidak normal
8 Sebutkan nama penyakit yang pernah Cacingan, kembung
menyerang ternaknya dan diare
9 Obat cacing dan diberi
Cara menangani kalau ada penyakit cuka untuk
mencairkan feses
1 Diberi obat cacing 3
0 bulan sekali, agar tidak
Usaha untuk mencegah penyakit kembung pakan
disesuaikan dengan
bobot ternak
1 Digembalakan selama
1 5 jam kemudian diberi
Pakan yang diberikan dan waktu pemberian
makan ketika telah
sampai kandang
1 Dimandikan minimal 2
Cara membersihkan tubuh ternak
2 kali seminggu
1 Menggunakan skup
3 dan sapu, kemudian
Cara membersihkan kotoran
disemprot
menggunakan air
1 Dibuang kelahan untuk
4 Cara membuang kotoran yang menumpuk digunakan sebagai
pupuk

Lampiran 2.Pengamatan kondisi Lingkungan dan Kandang Ternak

1 Jarak kandang dengan rumah 1 km


2 Apakah lingkungan mendukung Mendukung
3 Sapi, kambing dan
Ternak lain disektar kandang
ungags
4 Sumber air Air sintesis
5 Kondisi saluran pembuangan feses Kurang baik
6 Tanaman disekitar kandanSuhu udara dan Rumput gajah, rumput
tiupan anging liar dan gamal
7 Sifat bangunan kandang Cukup
8 Kebersihan alas kandang Semi permanen
9 Tempat pakan dan minum Kotor
10 Kondisi lain yang kurang memenuhi syarat Permanen
Tempat pembuangan
feses
Lampiran 3. Pemeriksaan Kesehatan Ternak

Pengamatan Tingkah laku


ternak
Ternak yang diamati

Jenis ternak Domba

Jenis kelamin Betina

Umur ternak 2 tahun, anakan 1-6


bulan
Aktifitas Lincah
Nafsu makan dan minum Normal
Posisi berdiri Tegak
Bagian anggota tubuh yang tidak aktif bergerak -
Kondisi berat badan Cukup
Lampiran 4. Pemeriksaan Fisik

1 Bagian tubuh yang Nampak sakit -


2 Pengaruhnya terhadap ternak -
3 Pengobatan yang telah dilakukan -
4 Temperature tubuh 39,20C
5 Gerakan pernafasan Tenang teratur
6 Kecepatan pulsus -
7 Gerakan usus Cepat
8 Gerakan rumen 2 kali
9 Padat bentuk permukaan
kondisi feses yang keluar
bulat
10 Kondisi urin Keluar banyak
11 Pemeriksaan lain -
Lampiran 5. Hasil Pemeriksaan Mikroskopis Feses

Metode Gambar telur cacing Ciri khusus Diagnosa


Natif Telur cacing Pada domba
bulatan/bentuk anakan
bagian dalamnya terdapat
terdapat lingkaran telur Fascila
sepertio cincin hepatica

Sentrifuse - - -
Lampiran 6. Pengamatan Preparat Awetan Parasit

No
Gambar Ciri khusus Keterangan
.

Pipih

Menggerombol
1. Panjang Endoparasit

Putih
Raillitena sp

Putih

Silinder
2. Tricharis lambing Endoparasit

Badan berbuku-buku

3. Ada jarum di mulut Ektoparasit


Tabanus sp
Bersayap

4. Berwarna coklat abu- Endoparasit


abu

Bening

Berbentuk pipih

Panjang
Fasciola gigantica

Berbuku-buku

5. Larva gastrophilus Berwarna keruh Ektoparasit


intestinalis
Panjangnya 1,5 cm
Lampiran 7. Riwayat Hidup Unggas

1 Jenis Unggas Ayam Layer (petelur)


.
2 Jenis Kelamin Betina
.
3 Umur 80 minggu
.
4 Didapatkan dari Pasar
.
5 Kondisi Umum Sakit
.
6 Riwayat Kesehatan -
.
7 Tindakan peternak Dijual
.
Lampiran 8. Pengamatan Performans Unggas

1. Tingkah laku Lemah


2. Perubahan Anatomi

Bagian Kepala Bengkak di bagian kepala,


jengger berwarna pucat,
bengkok, tidak lurus.

Bagian Tubuh -

Bagian Kulit Tidak ada kelainan pada kulit

Bagian Kaki Tidak ada kelainan di bagian kaki

Anda mungkin juga menyukai