Anda di halaman 1dari 7

PRAKTIKUM I

PEMBUATAN PREPARAT BASAH

I. Tujuan
1. Dapat melakukan pemeriksaan feses secara makroskopis
2. Dapat membuat sediaan dan melakukan pemeriksaan secara mikroskopis
II. Dasar Teori
Kecacingan merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit
berupa cacing. Cacing umumnya tidak menyebabkan penyakit berat sehingga
sering kali diabaikan walaupun sesungguhnya memberikan gangguan
kesehatan. Tetapi dalam keadaan infeksi berat atau keadaan yang luar biasa,
kecacingan cenderung memberikan analisa keliru ke arah penyakit lain dan
tidak jarang dapat berakibat fatal (Margono, 2008).
Salah satu upaya yang dapat dilakukan selain melalui pencegahan untuk
mengurangi tingginya angka infeksi parasit cacing adalah dengan mempelajari
spesies-spesies yang dapat menginfeksi dan juga memberikan pengobatan yang
sesuai sehingga infeksi tidak akan menuju kategori berat. Untuk dapat
melakukan hal tersebut maka diperlukan suatu penelitian atau identifikasi
parasit yang sesuai. Identifikasi parasit yang tepat memerlukan pengalaman
dalam membedakan sifat sebagai spesies, parasit, kista, telur, larva, dan juga
memerlukan pengetahuan tentang berbagai bentuk pseudoparasit dan artefak
yang mungkin dikira suatu parasit. Identifikasi parasit juga bergantung pada
persiapan bahan yang baik untuk pemeriksaan baik dalam keadaan hidup
maupun sediaan yang telah di pulas. Bahan yang akan di periksa tergantung
dari jenis parasitnya, untuk cacing atau protozoa usus maka bahan yang akan di
periksa adalah feses atau feses, sedangkan parasit darah dan jaringan dengan
cara biopsi, kerokan kulit maupun imunologis (Kadarsan, 2005).
Pemeriksaan feses di maksudkan untuk mengetahui ada tidaknya telur
cacing ataupun larva yang infektif. Pemeriksaan feses ini juga di maksudkan
untuk mendiagnosa tingkat infeksi cacing parasit usus pada orang yang di
periksa fesesnya (Gandahusada.dkk, 2000).
III. Alat dan Bahan
a. Alat
1. Kaca objek (object glass)
2. Deck Glass / Cover glass
3. Mikropipet
4. Tip kuning
5. Pengaduk
6. Mikroskop
b. Bahan
1. Sampel Feses Pasien RSUP Sanglah
IV. Reagen
1. Eosin
2. Lugol
V. Cara Kerja
1. Disiapkan alat, bahan, dan reagen yang diperlukan.
2. Diambil 2 buah kaca objek yang bersih dan bebas lemak, diletakkan di atas
meja praktikum pada permukaan yang datar.
3. Diambil sampel feses menggunakan mikropipet masing-masing sebanyak
20 ul untuk satu kaca objek. Karena sampel feses yang digunakan memiliki
tekstur yang cair, maka digunakan mikropipet tersebut untuk mengambil
sampel.
4. Sampel yang dipipet diletakkan di atas 2 buah kaca objek tersebut
5. Sampel pada kaca objek pertama ditambahkan dengan larutan eosin,
sedangkan pada kaca objek kedua ditambahkan dengan lugol.
6. Kedua sediaan tersebut kemudian dihomogenkan dengan pengaduk.
7. Masing-masing sampel ditutup dengan cover glass lalu diamati di bawah
mikroskop pada perbesaran objektif 10x dan 40x.
8. Hasil yang didapatkan dicatat pada laporan sementara
VI. Hasil Pemeriksaan
VII. Pembahasan
Pada praktikum kali ini dilakukan pembuatan preparat basah serta
pengamatan preparat basah telur cacing. Adapun sampel dalam percobaan ini
menggunakan sampel feses awetan yang positif mengandung telur cacing
dengan pengawet formalin 10% yang didapat dari Laboratorium Rumah Sakit.
Tujuan dari praktikum ini adalah untuk dapat membuat sediaan atau preparat
basah (feses) serta dapat melakukan pengamatan atau pemeriksaan feses secara
mikroskopis. Pada praktikum kali ini dilakukan dua jenis pewarnaan yaitu
dengan menggunakan larutan eosin 2% dan lugol. Hasil pengamatan preparat
dengan pewarnaan eosin akan dilihat latar belakang berwarna merah sedangkan
pada preparat dengan pewarnaan lugol, latar belakang yang dapat dilihat pada
mikroskop berwarna kuning. Adapun hasil pengamatan yang diperoleh dari
preparat basah yaitu dapat dilihat telur cacing Ascaris lumbricoides yang sudah
dibuahi (fertilized eggs) dan yang tidak dibuahi (unfertilized eggs).
Ascaris lumbricoides secara umum dikenal sebagai cacing gelang.
Tempat hidup cacing dewasa adalah di dalam usus halus manusia tetapi kadang-
kadang cacing ini dijumpai di bagian usus lainnya. Dalam tinja penderita
kadang-kadang ditemukan telur Ascaris lumbricoides yang telah hilang lapisan
albuminnya, sehingga sulit dibedakan dari telur cacing lainnya. Terdapatnya
telur yang berukuran besar menunjukkan ciri khas telur cacing Ascaris
lumbricoides (Irianto, 2009).
Adapun klasifikasi ilmiah dari Ascaris lumbricoides adalah sebagai
berikut.

Kingdom : Animalia

Filum : Nematoda

Kelas : Secernentea

Ordo : Ascaridida

Famili : Ascarididae
Genus : Ascaris

Spesies : Ascaris lumbricoides (Linnaeus, 1987).

Ascaris lumbricoides mempunyai dua jenis telur, yaitu telur yang sudah dibuahi
dan telur yang belum dibuahi. Telur yang sudah dibuahi (fertilized eggs) berbentuk
lonjong, berukuran 45-70 um x 35-50 um, mempunyai kulit telur yang tidak berwarna.
Kulit telur bagian luar tertutup oleh lapisan albumin yang permukaannya bergerigi dan
berwarna coklat karena menyerap warna zat empedu. Sedangkan di bagian dalam kulit
telur terdapat selubung vitelin yang tipis, tetapi kuat sehingga telur cacing Ascaris
lumbricoides dapat bertahan sampai satu tahun di dalam tanah. Sedangkan telur yang
tidak dibuahi (unfertilized eggs) dapat ditemukan apabila di dalam usus penderita
hanya terdapat cacing betina saja. Telur yang tidak dibuahi ini berbentuk lebih lonjong
dan lebih panjang dari ukuran fertilized eggs dengan ukuran sekitar 80-55 um dan telur
ini tidak memiliki rongga di kedua kutubnya (Dahlan, 2004).

Siklus hidup Ascaris lumbricoides yaitu pada tinja penderita askariasis yang
buang air besar tidak pada tempatnya dapat mengandung telur askariasis yang telah
dibuahi. Telur ini akan matang dalam waktu 21 hari. Telur akan masuk ke saluran
pencernaan dan telur akan menjadi larva pada usus. Larva akan menembus usus dan
akan masuk ke dalam pembuluh darah. Kemudian beredar mengikuti sistem peredaran
darah yaitu hati, jantung dan paru-paru. Pada paru-paru cacing akan merusak alveolus,
masuk ke bronkiolus, bronkus, trakea kemudian di laring. Selanjutnya akan tertelan
kembali masuk ke saluran pencernaan. Pada usus, larva akan menjadi cacing dewasa.
Cacing akan menetap di usus dan kemudian berkopulasi dan bertelur. Telur ini pada
akhirnya akan keluar kembali (Margono, 2000).

Diagnosis askariasis dilakukan dengan menemukan telur pada tinja pasien atau
ditemukan cacing dewasa pada anus, hidung atau mulut. Pada pewarnaan dengan eosin,
cara pembuatan sediaan harus tipis sehingga warnanya tampak merah jambu muda.
Apabila warnanya merah jambu tua atau jingga maka berarti sediaan terlalu tebal.
Sedangkan pada pewarnaan dengan lugol, cara pembuatan sediaan sama dengan eosin
tetapi sediaan tidak terlalu tipis. Cara ini dipakai untuk pemeriksaan kista. Bentuk
vegetatif dalam larutan iodium ini menjadi bulat karena mati, sehingga pemeriksaan
bentuk vegetatif menjadi lebih sulit ditemukan (Priyatno, 2008).

Pewarnaan dengan iodine atau eosin, dengan pewarnaan ini dapat memperjelas
gambaran telur cacing yang dalam keadaan alamiahnya memiliki dinding yang tidak
berwarna. Dengan pewarnaan ini, bagian-bagian tubuh cacing juga akan tampak lebih
jelas sehingga lebih mudah untuk mengidentifikasi spesies cacingnya. Dengan cat
iodine (misalnya lugol) gambaran morfologi kista dari protozoa juga dapat menjadi
lebih jelas sehingga mudah untuk diidentifikasi. Askariasis adalah penyakit parasit
yang disebabkan oleh nematoda Ascaris lumbricoides. Hospes atau inang dari parasit
ini adalah manusia (Yuliati, 2005).

VIII. Kesimpulan
Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan dapat disimpulkan
bahwa pada pembuatan preparat basah dengan sampel feses awetan. Sampel
awetan tersebut positif mengandung telur cacing dengan pengawet formalin
10% yang didapat dari Laboratorium Rumah Sakit. Pada praktikum kali ini
dilakukan dua jenis pewarnaan pada preparat yaitu dengan menggunakan
larutan eosin 2% dan lugol. Adapun hasil pengamatan yang diperoleh dari
preparat basah yaitu dapat dilihat telur cacing Ascaris lumbricoides yang sudah
dibuahi (fertilized eggs) dan yang tidak dibuahi (unfertilized eggs). Ascaris
lumbricoides secara umum dikenal sebagai cacing gelang. Tempat hidup cacing
dewasa adalah di dalam usus halus manusia tetapi kadang-kadang cacing ini
dijumpai di bagian usus lainnya.
IX. Daftar Pustaka
Dahlan, S. 2004. Diagnostic Medical Parasitology Edisi 4. Washington DC:
ASM Press
Gandahusada, S.W Pribadi dan D.I. Herry. 2000. Parasitologi Kedokteran
Fakultas Kedokteran UI : Jakarta
Irianto, A. 2009. Konsep Dasar Ilmu Helmintologi. Jakarta: Kencana
Kadarsan,S. 2005. Binatang Parasit. Bogor: Lembaga Biologi Nasional-LIPI.
Linnaeus. 1987. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Rineka Cipta

Margono S. 2008. Nematoda Usus Buku Ajar Parasitologi Kedokteran.


Edisi 4. Jakarta: FK UI,6-20.
Margono. 2000. Parasitologi Kedokteran Edisi Ketiga. Jakarta: BPFKUI
Pradiana. Evita. 2010. Dasar-dasar Parasitologi Klinis. Jakarta : Penebar
Swadaya
Priyatno. 2008. Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta
Silmi. 2009. Pemeriksaan Telur Cacing Pada Kotoran Kuku dan Higiene Siswa
Sekolah Dasar. Medan : Fakultas Kesehatan Masyarakat Univertas
Sumatera Utara
Soedarto. 2009. Helmintologi Kedokteran Edisi ke 2. Jakarta : EGC

Yuliati. 2005. Penyakit Parasitik yang Kurang Diperhatikan di Indonesia.


Jakarta: Orasi Pengukuhan Profesor Riset Bidang Entomologi dan
Moluska

Anda mungkin juga menyukai