Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PRAKTIKUM

PARASITOLOGI

“Mengidentifikasi Parasit pada Feses Ayam,Usus Ayam, dan Caplak/Kutu”

OLEH :

NAMA : Mas'udi

NIM : G0119306

PRODI : PETERNAKAN

FAKULTAS PETERNAKAN DAN PERIKANAN

UNIVERSITAS SULAWESI BARAT

TAHUN AJARAN 2020-2021


LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN PRAKTIKUM PARASITOLOGI

Laporan praktikum parasitologi ini disusun sebagai tugas untuk menyelesaikan praktikum
Prasitologi dan salah satu Syarat lulus Mata Kuliah Parasitologi.

NAMA : Mas'udi

NIM : G0119306

PRODI : PETERNAKAN

Majene, 17 November 2021

Menyetujui,

Koordinat Asisten Asisten Laporan

Asri Ramadani S,Pt Indar Dewi

NIM.G0117315 NIM.G0117329

Mengetahui,

Dosen Penanggung Jawab Praktikum

Drh. Nur Saidah Said S,Pt M,Si

NIP : 198607252019032015
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan Puji syukur kehadirat Allah Swt. berkat limpahan Rahmat dan
Hidayah-NYA, Praktikum Mk.Parasitologi ini dapat diselesaikan sebagai bahan acuan dalam
pelaksanaan mata kuliah Parasitologi dilingkungan Prodi S1 Peternakan Universitas Sulawesi
Barat.

Ungkapan terima kasih yang mendalam kami sampaikan kepada berbagai pihak yang
telah membantu memberikan gagasan dan saran dalam penyusunan laporan praktikum ini.
Dengan disusunnya laporan praktikum ini diharapkan dapat membantu mahasiswa untuk
memahami mata kuliah Parasitologi , dan sebagai salah satu upaya peningkatan
kemampuan dan keterampilan di bidang Parasitologi sebagaimana yang diharapkan oleh
Kurikulum Kesehatan dan tuntutan kebutuhan pelayanan kesehatan.

Akhirnya diharapkan laporan ini dapat dilihat dan dibaca secara optimal oleh
mahasiswa dan selaku dosen pembimbing dilingkungan Prodi S1 Peternakan Universitas
Sulawesi Barat. Untuk penyempurnaan penyusunan selanjutnya, kami sangat
mengharapkan kritik dan saran dari berbagai pihak yang berkompeten dalam bidang ini.

Majene,17November-2021

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN................................................................................................i

KATA PENGANTAR .........................................................................................................ii

DAFTAR ISI.......................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................................1

1.1 LATAR BELAKANG ......................................................................................................1

1.2 TUJUAN PRAKTIKUM .................................................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................................2

2.1 FESES AYAM ...............................................................................................................2

2.2 CAPLAK/KUTU ...........................................................................................................3

2.3 GENUS CAPLAK ...........................................................................................................6

2.4 PERIODE PERKEMBANGAN CAPLAK .........................................................................6

2.5 DAUR HIDUP CAPLAK .................................................................................................7

2.6 PENGENDALIAN CAPLAK ...........................................................................................8

2.7 ALAT-ALAT PRAKTIKUM ..........................................................................................10

BAB III METODE PENELITIAN .........................................................................................13

3.1 ALAT ......................................................................................................................... 13

3.2 BAHAN .......................................................................................................................13

3.4 CARA KERJA ..............................................................................................................14

BAB IV HASIL PEMBAHASAN .........................................................................................15

BAB V PENUTUP ...............................................................................................................

5.1 KESIMPULAN .......................................................................................................

5.2 SARAN .................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................... 22

LAMPIRAN ...................................................................................................................... 23
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Parasit adalah organisme yang hidup pada atau di dalam makhluk hidup lain (disebut
inang) dengan menyerap nutrisi, tanpa memberi bantuan atau manfaat lain padanya.
Contoh parasit misalnya cacing di dalam perut dan protozoa Plasmodium (penyebab
malaria) di dalam darah. Parasit dapat menyerang manusia dan hewan, serta menurunkan
produktivitas inang yang ditumpanginya.

Penanganan penyakit parasit pada ternak sebenar tidak sulit, cukup dengan melakukan
sanitasi yang teratur, dan pemberian obat cacing dengan teratur serta perhatian peternak
terhadap ternaknya.

B. TUJUAN PRAKTIKUM

1. Untuk Mengidentifikasi Telur Cacing yang Terdapat pada Feses ayam.

2. Untuk Mengetahui Parasit pada Ayam.

3. Untuk Menegidentifikasi Parasit Caplak/Kutu.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
A. Feses Ayam

Pemeriksaan feses dimaksudkan untuk mengetahui ada tidaknya telur cacing


ataupun larva infektif. Pemeriksaan ini juga dimaksudkan untuk mendiagnosa tingkat infeksi
cacing parasit usus pada ayam yang diperiksa fesesnya.

Identifikasi parasit yang tepat memerlukan pengalaman dalam membedakan sifat


sebagai spesies, parasit, kista, telur, larva, dan juga memerlukan pengetahuan tentang
berbagai bentuk pseudoparasit dan artefak yang mungkin dikira suatu parasit. Identifikasi
parasit juga dalam keadaan hidup maupun sediaan yang telah dipulas. Bahan yang akan
diperiksa tergantung dari jenis parasitnya, untuk cacing atau protozoa usus maka bahan
yang diperiksa adalah tinja atau feses, sedangkan parasit darah dan jaringan dengan cara
biopsi, kerokan kulit maupun imunologis.

Identifikasi parasit tergantung dari persiapan bahan yang baik untuk memeriksa
dengan mikroskop, baik dalam keadaan hidup maupun sebagai satuan yang telah dipulas.
Hal yang menguntungkan adalah untuk mengetahui kira-kira ukuran daru bermacam-
macam parasit tetapi perbedaan individual tidak memungkinkan membedakan spesies
hanya dengan melihat besarnya. Feses sebagai bahan pemeriksaan harus dikumpulkan di
dalam suatu tempat yang bersih dan kering bebas dari urine.

Endoparasit merupakan parasit yang hidup di dalam tubuh inang, umumnya berupa
berbagai jenis cacing, arthropod, bakteri, protozoa dan virus Endoparasit yang menyerang
vertebrata adalah protozoa, virus, bakteri, trematoda, cestoda dan nematoda. Salah satu
yang banyak diinfeksi oleh parasit adalah unggas. Parasit helmint atau cacing secara alami
ditemukan pada berbagai jenis ungas liar dan unggas peliharaan. Endoparasit yang sering
menginfeksi unggas peliharaan seperti bebek, itik, burung dan ayam adalah nematode.
Endoparasit dapat menyerang ayam pada semua umur. Ayam yang terinfeksi endoparasit
memiliki gejala seperti lesu, pucat, kondisi tubuh menurun bahkan mengakibatkan
kematian. Endoparasit dapat menghambat pertumbuhan dan mengakibatkan penurunan
produksi ayam kampung.

Ayam kampung ditemukan diseluruh wilayah Indonesia. Ayam kampung (Gallus


domesticus) dikenal pula dengan sebutan ayam lokal. Ayam lokal berarti ayam yang
berkembang dalam lingkungan setempat di mana ayam tersebut hidup. Dengan demikian
ayam kampung adalah sebutan di Indonesia bagi ayam pemeliharaan yang tidak diternakan
dalam pola peternakan masal (seperti ayam ras petelur dan pedaging) serta tidak berasal
dari ras yang dihasilkan untuk kepentingan komersial. Ayam kampung juga dapat terkena
penyakit. Namun, ayam kampung relatif lebih tahan dibandingkan dengan ayam ras. Hal ini
karena ayam kampung biasanya belum terkena rekayasa genetika yang memacu
pertumbuhan daging maupun telurnya.

B. Caplak
Caplak adalah jenis kutu hewan yang termasuk ke dalam kelompok laba-laba
(Arachnida). Ciri khas caplak adalah bagian kepala, dada, dan perut menyatu, berkulit khitin
tebal dan keras, larvanya berkaki tiga pasang, sedangkan nimfa dan dewasanya berkaki
empat pasang. Pada caplak jantan, skutum menutupi bagian dorsal. Sedangkan caplak
betina skutum hanya menutupi sebagian kecil. Caplak sapi yaitu Boophilus microplus
termasuk dalam golongan caplak keras. Pada caplak keras dibagian depan (anterior) terlihat
ada semacam kepala yang sebenarnya adalah bagian dari mulutnya/kapitulum, basis kapituli
sebelah dorsal yang bersegi enam. Spiralkulum bulat atau oval yang berada di depan atau di
samping dari keempat coxae. Kepala dan dada serta abdomen tergabung dalam betuk oval
atau elips. Larva berkaki enam, sedangkan nimfa dan caplak dewasa berkaki delapan. Tiap
kaki terdiri dari enam bagian ruas kaki, dengan ujung yang terdapat kait. Kelenjar coxae
terdapat antara coxae I dan II, yang mampu mensekresikan cairan guna perlekatan pada
kulit selama menghisap darah dan ketika kopulasi. Coxae I bercelah dangkal (bifid). Jenis
kelamin dapat dibedakan antara jantan dan betina. Pada jantan terdapat lempeng adanal.
Pipih dorsoventral dan bagian dorsal cembung dengan empat pasang kaki (dewasa). Organ
olfaktori terdapat pada tarsi kaki depan. Tubuh berwarna agak merah dan coklat mahoni.
Bagian belakang tubuh tanpa festoon.

Caplak sapi adalah jenis caplak berkulit keras yang dianggap paling penting dalam dunia
pertenakan sapi. Karena telah mendatangkan kerugian yang sangat besar bagi peternakan
sapi. Dalam keadaan tidak menghisap darah caplak ini berukuran hanya sebesar biji
mentimun dan berwarna coklat. Alat penghisap terletak di ujung yang berfungsi untuk
menempel dan menghisap darah. Caplak sapi betina dapat mengembang 10-12 kali dari
ukuran aslinya sesudah menghisap darah. Caplak sapi terkenal sebagai caplak satu induk
yang berarti larva, nimfa, dapat di jumpai pada satu induk semang. Setelah kenyang
menghisap darah akan menjatuhkan diri dari induk semang untuk bertelur. Telurnya
sejumlah 3.000-5.000 butir yang di keluarkan sedikit demi sedikit setiap harinya. Dalam
keadaan kelembaban tinggi dan suhu yang memadai telur akan menetas dalam waktu
sekitar 14 hari. Larva yang berkaki 3 pasang segera naik ke daun-daun rumput untuk
menunggu kesempatan menempel pada induk semang. Bila tidak cepat mendapat induk
semang yang baru larva dapat menahan lapar untuk berminggu-minggu bahkan sampai
berbulan-bulan. Setelah berhasil mendapatkan induk semang dan menghisap darahnya,
larva akan melepaskan diri dari induk semang untuk berganti kulit menjadi nimfa. Proses ini
di ulangi lagi oleh nimfa untuk menjadi dewasa.

Ditinjau dari habitatnya yang menjatuhkan diri dari induk semang dalam kaitan dengan
pertumbuhannya mulai dari telur sampai dewasa, maka caplak dibedakan :

1. Caplak berinduk semang satu

Caplak berinduk semang satu adalah caplak yang seluruh daur hidupnya mulai dari telur
sampai dewasa berada dalam satu induk semang. Caplak jenis initidak melalui tahapan
menjatuhkan diri dari induk semang.
Contoh: Boophilus decoloratus, B. anulatus, dan B. Mikroplus.

2. Caplak berinduk semang dua

Caplak jenis ini tahapan larva dan nimfe berada dalam satu induk semang. Setelah induk
semang kenyang akan jatuh kemudian menginfeksi induk semang yang lain untuk langsung
tumbuh menjadi dewasa.

Contoh: Rhipichepalus evertsi, R.bursa, Hyaloma truncatum dan H. Dromedariae.

3. Caplak berinduk semang tiga

Caplak jenis ini setiap tahapan akan jatuh dan berganti induk semang yang berbeda.

Contoh: Rhiphichepalus appendicultus, R. provus, R. capensis, dan Amblyoma hebraeum.

C. BERBAGAI GENUS DALAM FAMILY IXODIDAE

1. Boophilus

Caplak ini tidak memiliki hiasan pada skutum dan tidak memiliki festoon. Basis kapituli
berbentuk segienam. Caplak ini memiliki hipostoma yang pendek . palpi menonjol ke dorsal
dan lateral. Pada lateral skutum terdapat mata. Pada pasangan kaki pertama terdapat celah.
Caplak jantan memiliki keping adanal dan keping asesori.

Genus ini terdiri dari 5 spesies. Spesies yang penting adalah Boophilus microplus, B.
annulatus dan B. decoloratus. Ketiganya merupakan vektor penting piroplasmosis pada sapi
di Amerika, Afrika, Asia, Eropa, dan Australia.

2. Ixodes

Caplak ini tidak memiliki hiasan pada skutum, juga tidak memiiki mata dan festoon.
Kapitulum pada kapak betina biasanya lebih panjang dari yang jantan. Segmen kedua dan
ketiga palpi menonjol dari dasar, sehingga membentuk sudut antara palpus dengan bagian
mulut. Lekuk anus melengkung ke anterior menuju anus disebut prostriate. Pada genus lain
lekuk anus terlihat lebih posterior dan disebut metastriate. Pada jantan terdapat tujuh
keping ventral yang tersusun dalam tiga baris di medial, yaitu pregenital, medial, dan anal ;
sepasang adanal dan sepasang epimeral. Tepi keping epimeral yang terletak sebelah lateral
tampak tidak jelas.

Genus Ixodes memiliki 250 spesies dan sekitar 40 spesies terdapat di Amerika Utara.
Contoh spesies dari genus ini antara lain adalah I. ricinus, I. persulcatus, I. rubicundus, dan I.
holocyclus.

3. Dermacentor
Caplak ini memiliki hiasan skutum. Lekuk anus terletak lebih posterior. Basis kapituli
berbentuk segi empat. Pada lateral skutum terdapat mata. Caplak ini memiliki festoon yang
berjumlah satu buah. Baik jantan maupun betina memiliki celah pada pasangan koksa
pertama. Pada jantan koksa semakin posterior semakin membesar dan koksa terbesar
terdapat pada pasangan kaki keempat. Caplak ini tidak memiliki keping ventral.

Genus ini terdiri dari 31 spesies. Spesies Dermacentor nitens merupakan vektor dalam
penularan piroplasmosis pada kuda, sedangkan C. variabilis merupakan vektor tularemia
dan Rocky mountain spotted fever pada anjing di Amerika.

4. Amblyomma

Caplak ini memiliki hiasan pada skutum. Bagian mulut lebih panjang dari basis kapituli.
Segmen kedua palpi dua kali lebih panjang dari segmen ketiganya. Caplak ini memiliki mata
dan festoon. Tidak memiliki keping adanal. Spirakel agak segi tiga atau berbentuk koma.

Saat ini diketahui genus ini terdiri dari 100 spesies. Spesies yang penting adalah A.
maculatum merupakan parasit penting pada sapi di Amerika Serikat.

5. Haemaphysalis

Caplak ini tidak memiliki hiasan pada skutum dan mata. Pada mata juga tidak
didapatkan keping ventral. Basis kapituli berbentuk segiempat dan dasar dari segmen kedua
menonjol ke lateral melewaati basis kapituli. Segmen kedua dan ketiga meruncing ke
anterior, sehingga bagian kapitulum sebelah anterior dari basis kapituli berbentuk segitiga.
Caplak ini memiliki festoon dan sebuah keping adenal posterior.

Genus Haemaphysis memiliki 150 spesies. Spesies penting dari genus ini yang dapat
menularkan piroplasmosis adalah Haemaphysis punctata. Spesies penting yang lain adalah
H. spigniera merupakan vektor penyakit Kyasanur dan H. longicornis yang sering menyerang
sapi-sapi di Australia.

6. Rhipicephalus

Caplak ini berwarna kemerahan atau coklat kehitaman. Lekuk anus terletaak lebih
posterior. Pada pasangan koksa pertama terdapat celah. Caplak jantan memiliki keping
adanal dan adanal asesori. Basis kapituli berbentuk segi enam. Caplak ini memiliki festoon
dan mata, tetapi tidak memiliki hiasan pada skutum.

Genus ini terdiri dari 63 spesies. Spesies yang termasuk dalam genus ini antara lain R.
appendiculatus, R. bursa, R. sanguineus dan R. evertsi.

7. Hyalomma
Merupakan caplak yang memiliki perangkat mulut yang panjang. Caplak ini mirip
dengan genus Ambylomma, tetapi segmen kedua palpi tidak sama panjang dengan segmen
ketiganya. Menurut Harwood dan James (1979) genus ini terdiri dari 21 spesies.

D. PERIODE PERKEMBANGAN CAPLAK


1. Periode Prapeneluran (Praoviposisi)

Lancaster dan Meisch (1986) menyatakan bahwa periode peneluran pada suhu
36,1 ºC diperlukan waktu antara 2-3 hari, 19-39 hari pada suhu 15-15,5ºC. Hitchcock
(1955) mencatat bahwa periode prapeneluran pada suhu 33,1 ºC adalah 2-3 hari. Selain
itu Davey et al. (1980) juga mencatat bahwa periode prapeneluran adalah memiliki
rataan 3,2 hari serta menurut Strickland et al. (1976) periode yang dibutuhkan yaitu 2-39
hari.

Periode prapeneluran pada caplak sangat dipengaruhi oleh suhu. Semakin rendah
suhu tempat bertelur, maka semakin lama periode prapenelurannya. Pengaruh
kelembaban relatif terhadap periode prapeneluran memiliki pengaruh yang sangat kecil
dan bahkan tidak berhubungan sama sekali dengan lamanya periode sebelum dan
sesudah peletakan telur. Menurut Shaw et al. (1970), kelembaban relatif hanya
berperan pada penjagaan kerusakan telur.

2. Periode Peneluran (Oviposisi)

Periode peneluran yaitu lamanya waktu yang diperlukan seekor caplak dalam
peletakan telur. Menurut Strickland et al. (1976), periode bertelur di Brazil yaitu antara
4-44 hari, minimal periode bertelur yaitu 6-7 hari dalam bulan Desember dan Januari di
Amerika Latin (Graham et al., 1975). Hitchcock (1955) mencatat juga bahwa periode
peneluran pada suhu 30 ºC adalah 9-12 hari, 4 hari pada suhu 39 ºC dan 44 hari pada
suhu 15 ºC. periode peneluran juga sangat dipengaruhi oleh suhu, seperti yang
dikemukakan oleh Seddon (1967) bahwa pada suhu dibawah 15,5 ºC peneluran kadang
tidak menentu dan pada suhu -6 ºC biasanya sangat fatal untuk peneluran.

Periode peneluran juga sangat berhubungan dengan jumlah telur yang dihasilkan
karena semakin lama periode peneluran, maka akan memungkinkan caplak tersebut
menghasilkan jumlah telur yang lebih banyak. Hal ini juga berkaitan dengan bobot
caplak itu sendiri. Caplak yang lebih berat bobot badannya akan memiliki periode
peneluran yang lebih lama.

3. Periode Inkubasi Telur

Periode inkubasi telur adalah lamanya waktu yang dibutuhkan telur caplak hingga
menetas. Periode ini dihitung saat telur pertama dikeluarkan secara massal oleh caplak
sampai menetas. Robert (1970) menyatakan bahwa telur akan menetas setelah 2-3
minggu selama musim panas, tetapi musim dingin dengan suhu 15 ºC akan memakan
waktu lebih dari 16 minggu. Hitchock (1955) mencatat bahwa masa inkubasi telur
bervariasi dari 14 hari pada suhu 36 ºC sampai 146 hari pada suhu 17 ºC. sedangkan
menurut Davey et al. (1980), masa inkubasi telur caplak ini berkisar antara 22-26 hari
pada suhu 26-28 ºC dan kelembaban relatif 70-90 %.

4. Periode Daya Hidup Larva

Daya tahan hidup larva dipengaruhi oleh suhu dan kelembaban relatif. Larva dapat
bertahan hidup maksimum 240 hari pada suhu 22,2 ºC dan kelembaban relatif 90 %

5. Periode Parastik pada Tubuh Sapi

Periode parastik pada tubuh sapi yaitu waktu yang dibutuhkan oleh caplak ketika
menempel pada tubuh sapi dan berkembang sampai menjadi dewasa. Periode parastik
dimulai saat larva menempel sampai dengan menjadi dewasa jenuh darah dan jatuh ke
induk semang. Menurut Lapage (1962), periode parastik pada tubuh sapi berkisar antara
15-55 hari.

E. DAUR HIDUP CAPLAK/KUTU

Daur hidupnya diawali dari bentuk telur yang diletakkan induknya di tanah. Caplak
dewasa setelah kawin akan menghisap darah sampai kenyang, lalu jatuh ke tanah dan
disinilah akan bertelur. Larva yang baru menetas segera akan mencari inangnya dengan
pertolongan benda-benda sekitarnya serta bantuan olfaktoriusnya. Setelah
mendapatkan inangnya, ia akan menghisap darah inang darah hingga kenyang
(enggorged) lalu akan jatuh ke tanah atau tetap tinggal pada tubuh inang tersebut dan
segera menyilih (molting) menjadi nimfa. Nimfa menghisap darah kembali, setelah
kenyang akan jatuh ke tanah dan molting menjadi capak dewasa.Satu siklus daur hidup
berkisar antara 6 minggu sampai tiga tahun. Caplak betina setelah kawin dan kenyang
dengan darah induk semangnya akan jatuh ke tanah dan kemudian bertelur. Jumlah
telur yang dihasilkannya bervariasi antara 2.000-20.000 butir telur yang terkumpul
dalam satu kelompok. Setelah tuntas bertelur caplak akan mati. Telur yang
dihasilkanakanmenetas dalam waktu 2-10 minggu, tergantung pada jenis caplak dan
cuaca. Caplak jantan akan mencoba bertahan berada pada tubuh induk semang untuk
kawin lagi. Caplak yang dewasa dapat bertelur sekitar 100-18.000 butir/caplak. Caplak
sangat tahan terhadap perubahan fisik misalnya terendam air, kekeringan atau
ketidakadaan makanan dalam waktu berbulan-bulan.

Daur hidup caplak meliputi tahap kehidupan pada tubuh bagian luar induk semang
dan tahapan untuk vegetasi atau di kandang hewan. Ketahanan hidupnya tergantung
pada simpanan pakan darah yang dihisap sewaktu menempel pada induk semang. Oleh
karena itu, caplak harus menghisap darah sebanyak mungkin agar dapat hidup sampai
tahap berikutnya dengan memproduksi beribu telur. Caplak menghisap darah dengan
cara menempel sambil menggigit induk semangnya beberapa hari atau beberapa minggu
dengan giginya. Gigitan caplak dapat menimbulkan reaksi peradangan ditempat caplak
tersebut menggigit, apabila ribuan caplak datang menggigit maka hewan akan banyak
kehilangan darah sehingga terjadi penurunan kondisi dan luka gigitan yang
menyebabkan penurunan kualitas kulit ternak yang dapat menjadi parah bila terjadi
infeksi ikutan.

Telur caplak akan menetas menjadi larva yang memiliki 3 pasang kaki. Larva-larva
tersebut akan merambat dan menempel pada ujung rumput kemudian pindah ke tubuh
hewan yang kebetulan sedang merumput larva yang sudah kenyang ditubuh hewan
akan jatuh dan berubah menjadi nimfe yang akan tumbuh menjadi dewasa. Berdasarkan
jumlah inang yang diperlukan caplak dalam melengkapi satu siklus daur hidupnya
dikenal istilah caplak berumah satu, berumah dua dan berumah tiga.

F. PENGENDALIAN CAPLAK/KUTU

Pengendalian caplak tergantung pada jenis caplak dan induk semangnya disamping
penggunaan bahan kimia, pengendalian caplak juga melibatkan berbagai bahan non
kimia dan tatalaksana lingkungan kandang atau padang pengembalaaan yang
baik.Keadaan lingkungan padang penggembalaan yang dapat tertembus sinar matahari
umumnya tidak disukai oleh caplak. Pemangsa atau predator caplak adalah jenis-jenis
burung tertentu, hewan pengerat, dan semut. Predator-predator ini dapat menurunkan
populasi caplak.

Cara pengendalian yang paling efektif adalah dengan pestisida atau akarisida, yaitu
sejenis bahan kimia yang mampu membunuh caplak. Bahan kimia umumnya sangat
efektifuntuk membunuh caplak, tetapi penggunaan yang berlebihan dapat
menyebabkan caplak menjadi resisten atau tahan terhadap pengaruh kimia tersebut. Di
tempat-tempat tertentu berbagai jenis dan galur caplak telah tahan terhadap jenis
pestisida tertentu, sehingga pengendalian dengan bahan kimia tidak efektif lagi. Dalam
keadaan demikian, maka jenis akarisida yang di pakai harus diganti.

1. Bahan kimia

Akarisida adalah agen kima yang dipergunakan untuk membasmi caplak atau kutu.
Karena caplak cenderung akan tahan terhadap bahan kimia, maka orang berusaha
menciptakan obat yang paling ampuh dengan toksisitas rendah terhadap ternak dan
manusia dan efekresisensinya berkurang. Dengan usaha-usaha tersebut maka akibatnya
adalah terdapat banyak jenis obat yang diproduksi.

Akarisida yang pertama kali digunakan adalah jenis arsenic yang potensinya besar dan
harganya murah. Bahan ini sekarang tidak lagi banyak digunakan untuk memberantas
caplak. Bahan kimia lain yang masih banyak digunakan adalah lindane, toksafen (choor-
hidrocarbon), coumadioksation, diasinon (organo-posfat), karbaril armitros (karbonat), dan
sintesis piretroida.Akarisida yang digunakan harus dicampur air dan diaduk sampai merata.
Agar bahan kimia tersebut larut dalam air semuanya , maka dapat di tambah bahan pelarut.

2. Pengendalian dengan cara celup

Pengendalian caplak yang paling efektif terutama bagi peternakan skala sedang atau
besar adalah dengan cara celup (dipping) menggunakan akarisida yang cocok. Peternakan
skala kecil bila menggunakan cara ini dapat mengupayakan secara kelompok.

Sebelum cairan atau bubuk akarisida dimasukan ke dalam bak, terlebih dahulu harus
dilakukan pra-pencampuran, yakni mencampurkannya dengan air di dalam ember sebanyak
20 liter. Dengan cara demikian akan lebih mudah terjadi pencampuran secara merata
keseluruh bak, obat dalam bentuk pasta, apabila memungkinkan dan tidak merusak
efektivitas obat tersebut, dapat di panaskan terlebih dahulu sampai mencair dan baru di
tuangkan ke dalam bak air.Akarisida di dalam bak dalam tahap permulaan pada umumnya
belum teraduk. Oleh karena itu, harus diaduk terlebih dahulu dengan menggunakan papan
pengaduk atau dengan caramemasukan sapi secara langsung sekitar 20 ekor seperti proses
pencelupan biasa, kemudian diulangi lagi untuk yang ke dua kalinya. Dengan cara ini
diharapkan akarisida teraduk secara sempurna.

Parasit lain yang menyerang sistem perkemihan dari Genus Trichomonas penyakit
menular ini ditandai dengan menurunnya daya reproduksi, rahim bernanah dan keguguran
pada waktu bunting muda. Pencegahan dapat dilakukan dengan mengetahui asal-usul dan
kesuburan sapi yang akan dibeli, mengawinkan ternak-ternak yang baru dibeli dengan kawin
suntik dan apabila ada sapi pejantan yang sakit dianjurkan untuk dipotong saja. Infestasi
parasit yang sering terjadi pada ternak peliharaan banyak menimbulkan kerugian ekonomis
yang cukup besar, kemampuan kerjanya menurun, luka-luka pada kulit yang akan
menurunkan harga ternak itu sendiri. Pencegahan yang dilakukan ternak bisa disemprot
dengan obat-obatan anti lalat atau caplak.

Petani peternak di pedesaan berusaha mencegah ternaknya digigit oleh caplak


dengan jalan membakar kayu di sekitar kandang dalam waktu sepanjang sore dan malam
hari. Akibat dari serangan caplak sapi, sapi mendapat banyak gangguan. Gangguan yang
paling ringan berupa rasa gatal pada kulit yang menyebabkan sapi terus menggosok-gosok
badanya sehingga dapat menimbulkan luka pada kulit. Serangan caplak dalam jumlah
banyak dapat menyebabkan sapi menderita anemia, sehingga produksi daging ataupun susu
akan terganggu. Lebih parah lagi caplak sapi juga menyebarkan penyakit protozoa pada
induk semangnya seperti Babesia bigemina. Pada sapi-sapi yang terawat baik, ganguan
caplak sapi segera dapat diatasi. Pada industri peternakan besar. Cara-cara yang telah
dilakukan untuk mengatasi gangguan caplak sapi adalah dengan penyemprotan, merendam
badan sapi dalam larutan insektisida dan melarang ternak digembalakan untuk beberapa
waktuagar terhindar dari bahaya infestasi baru di lapangan.Berbagai jenis obat hewan anti
protozoa, anthelmentika (anti cacing) dan anti ektoparasit (serangga) termaktub dalam
Indeks Obat Hewan Indonesia (terakhir edisi V 2005) terbitan Direktorat Jenderal
Peternakan Departemen Pertanian Republik Indonesia bekerjasama dengan Asosiasi Obat
Hewan Indonesia (ASOHI).

G. ALAT-ALAT PRAKTIKUM
1. MIKROSKOP

Pengertian mikroskop sebenarnya merupakan alat yang digunakan untuk melihat objek
dengan ukuran kecil, karena sangat kecilnya objek yang diamati sehingga tidak bisa dilihat
dengan mata telanjang. Beberapa objek yang biasa diamati menggunakan mikroskop
diantaranya mikro organisme, jaringan (tumbuhan atau hewan), bakteri hingga virus. Jika
anda sedang belajar mengenai mikroskop.

Mikroskop sendiri merupakan serapan dari bahasa Yunani, yakni :

 Micro yang berarti kecil, dan


 Scopein yang berarti melihat

Sejarah tentang mikroskop berawal dari ditemukannya kaca oleh bangsa Romawi sekitar
abad ke-1 Masehi, atau sekitar tahun 100. Mereka mulai menggunakan kaca, menguji dan
ber-eksperiman dengan berbagai bentuk kaca yang bening. Pada suatu kondisi mereka
menemukan sebuah kaca dengan struktur tebal pada bagian tengah dan tipis pada
tepi(pinggirannya). Mungkin ini yang dimaksud dengan lensa cembung pada saat itu.
Mereka mulai menyadari dan menggunakan lensa tersebut untuk melihat benda-benda di
sekitar mereka, dan ternyata menjadi terlihat lebih besar dari ukuran aslinya.

Jadi benarlah bahwa mikroskop bermula dari ditemukannya kaca, lalu kemudian
ditemukan lensa cembung, lalu digunakannya lensa cembung untuk melihat benda dengan
ukuran yang kecil bahkan digunakan untuk memfokuskan cahaya matahari sehingga bisa
membakar benda-benda tertentu. Lensa yang ditemukan bangsa romawi ini tidak banyak
digunakan hingga abad ke-13, hingga kemudian terdapat pengrajin lensa yang
memproduksi lensa untuk dijadikan kacamata. Mikroskop sederhana yang paling awal
ditemukan merupakan kaca pembesar dengan pembesaran sekitar 6 sampai 10 kali
pembesaran. Hal-hal yang paling umum dan sering diamati adalah serangga kecil dan kutu.
Awalnya kaca pembesar ini memiliki sebutan “flea glasses”. Sekitar tahun 1590an Zaccharias
Janssen dan ayahnya Hans membuat eksperimen dengan lensa cembung ini. Mereka
mencoba memasukan beberapa lensa cembung ke dalam tabung dan menciptakan
penemuan yang sangat penting. Pada eksperimen ini ditemukan bahwa objek di ujung
tabung menjadi terlihat begitu besar, melebihi kaca pembesar atau mikroskop sederhana
pada versi sebelumnya. Zaccharias Janssen dan Hans ternyata baru saja menemukan
mikroskop majemuk(dikenal dengan istilah mikroskop yang menggunakan dua lensa atau
lebih).

Galileo Galilei mendengar eksperimen yang dilakukan oleh Janssen dan Hans,
kemudian ia mulai bereksperimen sendiri. Galileo mulai menggambarkan prinsip-prinsip
lensa, cahaya dan  menerapkannya pada mikroskop dan teleskop. Ia juga mulai
menambahkan alat pemfokusan pada mikroskopnya dan menjelajahi langit dengan
teleskopnya. Di negara lain terdapat Anthony Leeuwenhoek dari belanda yang menjadi
sangat tertarik pada lensa dan kaca pembesar. Ia tertarik untuk mengamati dan menghitung
jumlah benang di kain tenun. Anthony menjadi sangat tertarik dengan lensa, ia mulai 
belajar membuat lensa, menggiling dan memolesnya hingga mencapai ukuran dan
kelengkungan yang tepat. Lensa buatan Anthony bahkan mampu melakukan pembesaran
hingga 270X. Leeuwenhoek menjadi terlibat lebih dalam sains dan ilmu pengetahuan
dengan mikroskop buatannya. Hal-hal baru yang kemudian diamati oleh beliau adalah
bakteri, ragi, sel, darah dan banyak binatang kecil yang ada pada setetes air. Sekitar tahun
1632-1723 Anthony Leeuwenhoek menjadi terkenal dan dipanggil dengan sebutan “Father
of Microscopy” atau “Bapak Mikroskop” Disisi lain terdapat Robert Hooke, seorang
berkebangsaan Inggris(kadang disebut “English Father of Microscopy”), juga merupakan
orang yang berpengaruh besar dalam menciptakan desain-desain mikroskop yang tepat,
beliau menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk bekerja dengan mikroskop. Hingga
sekitar pertengahan abad ke-19 langkah besar peradaban mikroskop dibuat, hingga muncul
berbagai instrumen berkualitas seperti mikroskop saat ini dihadapan kita. Beberapa negara
yang pernah menjadi produsen mikroskop adalah Jerman, Amerika, Jepang, Itali dan Cina.
Pastikan anda mendapat mikroskop dengan kualitas yang terbaik untuk laboratorium anda.

FUNGSI MIKROSKOP

Berdasarkan pada sumber cahayanya sebetulnya mikroskop dibagi menjadi 2 jenis,


yakni mikroskop cahaya dan mikroskop elektron. Trus apa sih perbedaan antara mikroskop
cahaya dan mikroskop electron? Mikroskop cahaya merupakan jenis mikroskop yang
memanfaatkan cahaya(alami atau buatan) sebagai sumber energi untuk memperbesar
bayangan objek, sedangkan mikroskop elektron merupakan jenis mikroskop yang
memanfaatkan elektron sebagai sumber energi untuk memperbesar bayangan objek.
Beberapa jenis mikroskop yang mungkin anda perlu ketahui fungsi dan aplikasi
penggunaannya seperti mikroskop monokuler, mikroskop binokuler dan mikroskop
trinokuler.

2. CENTRIFUGE

Centrifuge adalah sebuah peralatan yang pada umumnya digerakkan oleh motor
listrik yang menempatkan obyek di rotasi sekitar sumbu tetap, menerapkan kekuatan
untuk tegak lurus sumbu. Centrifuge bekerja menggunakan prinsip sedimentasi, dimana
percepatan sentripetal menyebabkan zat padat untuk memisahkan sepanjang arah
radial (bagian bawah tabung). Oleh objek yang sama ringan tanda akan cenderung
bergerak ke atas.

FUNGSI CENTRIFUGE

Fungsi Atau Prinsip Kerja Alat Centrifuge adalah pada pemisahan molekular dari sel
atau organel subselular. Pemisahan tersebut berdasarkan konsep bahwa partikel yang
tersuspensi di sebuah wadah akan mengendap ke dasar wadah karena adanya gaya
gravitasi. Sehingga laju pengendapan suatu partikel yang tersuspensi tersebut dapat diatur
dengan meningkatkan atau menurunkan pengaruh gravitasional terhadap partikel.
Pengaturan laju pengendapan tersebut dapat dilakukan dengan cara menempatkan wadah
yang berisi suspensi partikel kemesin Centrifuge tepatnya pada bagian rotor yang kemudian
akan berputar dengan kecepatan tertentu. Hal tersebut tergantung pada ukuran dan bobot
jenis dari suspensi. Dengan demikian Prinsip Kerja alat tersebut adalah dengan
memanfaatkan gaya centrifugal sehingga bahan tesebut dapat terpisah. Ini dilakukan
dengan cara memutar campuran dengan sangat cepat dan bertumpu pada titik pusat. Dan
pada akhirnya alat ini akan berhenti beroperasi ketika katup/pintu Centrifuge terbuka saat
bekerja.
BAB III

METODE PENELITIAN

A. PELAKSANAAN

WAKTU : Sabtu,13 November 2021

TEMPAT : Lab Terpadu UNIVERSITAS SULAWESI BARAT

B. ALAT DAN BAHAN

1. ALAT
 Pisau/Catter
 Gunting
 Pipet Tetes
 Stopwach
 Mikroskop
 Objek Glass
 Cover Glass
 Cawan Petri
 Mortar & Penumbuknya
 Tabung Reaksi
 Tabung Kecil (tempat untuk centrifug)
 Centrifuge
 Beaker Glass
 Batang Pengaduk
 Timbangan

2. BAHAN
 Feses Ayam Broiler & Kampung
 Usus Ayam
 Caplak & Kutu
 Garam
 Gula
 Air

C. CARA KERJA

1. Identifikasi secara Natif


 Ambil Feses Ayam dan Letakkan pada Cawan Petri, Kemudian Timbang Hingga 1
Gram.
 Setelah itu, Masukkan Feses Ayam ke Dalam Mortar,lalu Tuangkan Sedikit Air dan
Aduk Sampe Rata.
 Setelah Fesesnya Rata Tuangkan Secukupnya ke Dalam Objek Glass kemudian, Tutup
dengan Cover Glass.
 Setelah Disatukan Pasangkan ke Pada Mikroskop Melalui Perbesaran 40.

2. Identifikasi Memakai Garam Jenuh

 Larutkan Garam dalam Air Selama 5 Menit dengan Berat 200 Gram.
 Jika Garam sudah Larut, Ambil Feses Ayam (yg sudah ditimbang (1 gram)) Dan
Masukkan Kedalam Mortar lalu, Tuangkan Sedikit Larutan Garam yang Dilarutkan
Kemudian Aduk Sampai Rata.
 Setelah Fesesnya Rata Pindahkan ke Dalam Tabung Kecil untuk Centrifuge.
 Setelah Dipindahkan Masukkan Feses Ayam Kedalam Centrifuge dan Diamkan
Selama 20 Menit Dengan Kecepatan 2000.

D. HASIL PEMBAHASAN

1. Metode Natif

Pemeriksaan feses dapat dilakukan dengan metode kualitatif dan kuantitatif.


Salah satu metode kualitatif adalah metode natif. Metode natif dipergunakan untuk
pemeriksaan secara cepat dan baik untuk infeksi berat, tetapi untuk infeksi ringan
sulit ditemukan telur-telurnya. Cara pemeriksaan ini menggunakan larutan lugol atau
eosin 2%. Penggunaan eosin dimaksudkan untuk lebih jelas membedakan telur-telur
cacing dengan kotoran di sekitarnya. Kelebihan metode ini adalah mudah dan cepat
dalam pemeriksaan telur cacing semua spesies, biaya yang diperlukan sedikit, serta
peralatan yang digunakan juga sedikit. Sedangkan kekurangan metode ini adalah
dilakukannya hanya untuk infeksi berat, infeksi ringan sulit dideteksi. Metode natif
dilakukan dengan cara mencampur feses dengan sedikit air dan meletakkannya di
atas gelas obyek yang ditutup dengan deckglass dan memeriksa di bawah mikroskop.

2. Metode Apung

Metode ini dipergunakan untuk pemeriksaan secara cepat dan baik untuk infeksi
berat, tetapi untuk infeksi yang ringan sulit ditemukan telur-telurnya. Cara
pemeriksaan ini menggunakan larutan NaCl fisiologis (0,9%) atau eosin 2%.
Penggunaa eosin 2% dimaksudkan untuk lebih jelas membedakan telur-telur cacing
dengan kotoran disekitarnya. Metode ini digunakan larutan NaCl jenuh atau larutan
gula atau larutan gula jenuh yang didasarkan atas BD (Berat Jenis) telur sehingga
telur akan mengapung dan mudah diamati. Metode ini digunakan untuk
pemeriksaan feses yang mengandung sedikit telur. Cara kerjanya didasarkan atas
berat jenis larutan yang digunakan, sehingga telur-telur terapung dipermukaan dan
juga untuk memisahkan partikel-partikel yang besar yang terdapat dalam tinja.
Pemeriksaan ini hanya berhasil untuk telur-telur Nematoda, Schistostoma,
Dibothriosephalus, telur yang berpori-pori dari famili Taenidae, telur-telur
Achantocephala ataupun telur Ascaris yang infertil. Metode ini digunakan untuk
menentukan dan mengidentifikasi larva cacing Ancylostoma Duodenale, Necator
Americanus, Srongyloides Stercolaris dan Trichostronngilus yang didapatkan dari
feses yang diperiksa. Teknin ini memungkinkan telur cacing dapat berkembang
menjadi larva infektif pada kertas saring basah selama kurang lebih 7 hari, kemudian
larva ini akan ditemukan didalam air yang terdapat pada ujung kantong plastik.
Teknik sediaan tebal (cellaphane covered thick smear tecnique) atau disebut teknik
Kato. Pengganti kaca tutup seperti teknik digunakan sepotong “cellahane tape”.
Teknik ini lebih banyak telur cacing dapat diperiksa sebab digunakan lebih banyak
tinja. Teknik ini dianjurkan untuk Pemeriksaan secara massal karena lebih sederhana
dan murah. Morfologi telur cacing cukup jelas untuk membuat diagnosa.

Setelah Melakukan Rangkaian Praktikum Maka Dapat Disimpulkan Bahwa:


1. Didalam Feses Ayam Tidak Ditemukan Parasit atau Telur Penyebab Penyakit
Ameria Dilihat Dari Mikroskop.
2. Didalam Caplak atau Kutu Tidak Terdapat Telur Parasit Jika Dilihat Melalui
Mikroskop.
3. Sedangkan pada Usus Ayam Broiler atau Kampung Baik yang Merah Ataupun
Sedikit Merah Tidak Ditemukan Juga Parasit Penyebab Penyakit.
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Setelah Melakukan Praktikum Parasitologi Kita dapa Menyimpulkan bahwa didalam Feses
Ayam dan Usus Ayam tidak terdapat Telur cacing Yang Menempel dan begitupun dengan
Caplak/Kutu setelah Melalui 2 Cara yaitu Metode Natif dan Metode garam Jenuh.

B. SARAN

Saran penulis yang bisa diberikan yaitu perlu adanya kordinasi yang lebih gencar lagi dalam
melakukan Praktikum Parasitologi agar kegiatan-kegiatan yang akan dilaksanakan dapat
terlaksana dengan maksimal. Untuk kedepannya pada saat ditempat PKL harap
mengerjakan laporan PKLnya agar apabila terjadi kekurangan pada data dapat dilengkapi
dan mudah dalam hal tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Bowman, D.D (1999). Georgis’ Parasitology for Veterinery. 8th Ed. Saunders an Imprint of Elsevier
Science.
Davey, R. B., J. Garza Jr., G. D. Thompson & R.O. Drummond. 1980.       Ovipositional Biology
of the Southern Cattle Tick, Boophilus microplus        in the Laboratory. J. Med. Entomol.
17(2):117-121.
Graham, O. H., J. C. Gonzales, R. A. Bram & L. Beltran. 1975. Ecology and          Control of
External Parasites of Economic Importanca on Bovines in Latin America. CIAT. Cali-Colombia.
Pp. 77-82.
Harwood, R. F. and M. T. James. 1979. Entomology in Human and Animal            Health.
Seventh Edition. Macmillan Publishing Co., Inc. New York.
Hendrix, C.M., and E. Robinson. 2006. Diagnostic Parasitology for Veterinary Technicians. 3th Ed.
Mosby Inc. an affiliate Elsevier Inc.
Hitchcock, L. F. 1955. Studies on the Non-Parasitic Stage of the Cattle Tick, Boophilus microplus (Can.)
(Acarina : Ixodidae). Austral. J. Zool. 3:293-311.
James N,Leah L. 2001. Life Cycle of the Brown Dog Tick, Rhipicephalus sanguineus. [terhubung
berkala]. University of Florida.
Lancaster, J. L. and M. V. Meisch. 1986. Arthropods in Livestock and Poultry Production Departement
of Entomology. Pp. 167-180. 
Lapage, G. 1962. Moonig’s Veterinary Helminthology and Entomology. 4 ed. London.
Levine N D. 1990.Parasitologi Veteriner. Terjemahan G. Ashadi. Gajah Mada University Press,
Yogyakarta.
Nuttal, G. H. F. and Warburton, C. 1911. Ticks, a Monograph of the Ixodoidea. Part II, Ixodidae.
Cambridge Univ. Press. London.
Roberts, F. H. S. 1970. Australian Ticks. C. S. I. R. O, Melbourne, Australia.
Saito, Y. and Hoogstraal. 1973. Haemaphysalis (Kaeseriana) Mageshimaensis sp. (Ixodidea :
Ixodidae), a Japanese deer Parasite with Bisexual and Parthenogenetic Reproduction. J.
Parasitol. 59 : 569-78.
Seddon, H. R. 1967. Diseases of Domestic Animals in Australia. Parts 3. Arthropod Infestations (Ticks
and Mites). Service Publications (Veterinary  Hygiene) No. 7. 170 p.
Semtner, P. J. and J. A. Hair. 1973. The Ecology and Behavior of the Lone Star Tick (Acarina :
Ixodidae), Abundance and Seasonal Distribution in Different Habitat Types. J. Med. Entomol.
10: 618 – 28.
Shaw, R. D., J. A. Thorburn & H. G. Wallace. 1970. Cattle Tick Control. Welcome Researth
Organization. London. England. Pp. 7-11.
Soulsby EJL. 1982. Helminths, Arthropods and Protozoa of Domesticated Animals. New York.
Strickland, R. K., R.R Gerrish, J. L. Hourrigan & G.O Schubert. 1976. Ticks of Veterinary
Importance. U. S. Dep. Agric. Hamb. 122 p.

LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai