Anda di halaman 1dari 23

PAPER

LABORATORIUM PARASITOLOGI VETERINER

Plasmodium Penyebab Malaria Unggas

Oleh:

Putu Teza Juliantari

2109611009

Gelombang 19 Kelompok i

LABORATORIUM KOASISTENSI DIAGNOSA LABORATORIUM

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
rahmat dan karunia-Nya saya dapat menyelesaikan paper yang berjudul
“Plasmodium Penyebab Malaria Unggas” tepat pada waktunya. Paper ini disusun
untuk memenuhi tugas Laboratorium Parasitologi Veteriner. Adapun paper ini
tentang “Plasmodium Penyebab Malaria Unggas” telah disusun dengan sebaik
mungkin dan tentunya dengan bantuan dari berbagai pihak sehingga melalui
kesempatan ini saya ingin menyampaikan terimakasih kepada berbagai pihak
yang turut membantu dalam penyelesaian paper ini. Saya juga berharap paper ini
dapat menambah wawasan dan dapat berguna bagi pembaca. Saya menyadari
bahwa paper ini terdapat banyak kesalahan dan jauh dari kata sempurna. Maka
dari itu, saran dan kritik dari pembaca yang bersifat membangun sangat
diharapkan untuk perbaikan dalam penyusunan paper diwaktu yang akan datang.

Denpasar, 7 Desember 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................ i
KATA PENGANTAR ......................................................................... ii
DAFTAR ISI .......................................................................................iii
DAFTAR GAMBAR .......................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN ................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .......................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ..................................................................... 2
1.3 Tujuan Penulisan ....................................................................... 3
1.4 Manfaat Penulisan ...................................................................... 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ....................................................... 4
2.1 Ternak Unggas .......................................................................... 4
BAB III PEMBAHASAN .................................................................. 6
3.1 Etiologi ...................................................................................... 6
3.2 Morfologi .................................................................................. 7
3.3 Kajian Epidemiologi .................................................................. 8
3.4 Siklus Hidup .............................................................................. 8
3.5 Pathogenesis ............................................................................. 10
3.6 Gejala Klinis ............................................................................ 11
3.7 Patologi Anatomi ..................................................................... 12
3.8 Diagnosa ................................................................................... 13
3.9 Diagnosa Banding .................................................................... 14
3.10 Pengobatan dan Pengendalian Penyakit ................................. 14
BAB IV PENUTUP ........................................................................... 16
4.1 Kesimpulan .............................................................................. 16
4.2 Saran ......................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................... 17

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Gambar Unggas Ayam ................................................... 4


Gambar 3.1 Bentuk merozoite Plasmodium sp. pada sel darah
merah unggas yang diamati menggunakan mikroskop
perbesaran 100x .............................................................. 7
Gambar 3.2 Siklus Hidup Plasmodium sp. ......................................... 9
Gambar 3.3 (i) Terjadi perubahan warna pada hati, (ii) Terjadi
perubahan warna pada limpa ......................................... 12
Gambar 3.4 Apusan darah yang diwarnai dengan Giemsa
menunjukan eritrosit terinfeksi dan mengandung
tropozoit Plasmodium sp. (1000x) ................................ 13
Gambar 3.5 Pemeriksaan menggunakan uji PCR pada unggas
yang terserang malaria................................................... 14

iv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kebutuhan pangan nasional memerlukan berbagai sumber dan jenis


pangan (Suprayogi et al., 2018). Peternakan unggas khususnya di Indonesia
merupakan salah satu komuditi yang sangat berpotensi untuk meningkatkan
perekonomian masyarakat. Kebutuhan akan daging unggas sangat tinggi
karena konsumsi masyarakat yang mayoritas mengkonsumsi daging
(Arifiandani et al., 2019). Kebutuhan daging yang cukup besar, masih
mengalami kendala yang dihadapi oleh para peternak unggas. Kendala yang
harus dihadapi oleh para peternak anatara lain adalah penyakit, permodalan,
cekaman lingkungan (bencana alam, suhu ekstrim, kualitas lingkungan yang
kurang baik) dan juga faktor pakan (Suprayogi et al., 2018). Penyakit menjadi
penghambat utama dalam peternakan unggas dan salah satu pemicu kerugian
dalam peternakan unggas. Kerugian tersebut dapat terbentuk kematian,
pertumbuhan terhambat, produksi telur turun atau terhenti sama sekali.
Unggas dikenal memiliki sistem kekebalan tubuh yang baik, tetapi tidak
sedikit unggas mengalami seranagn virus mematikan dan penyakit yang
merugikan misalnya penyakit parasiter.

Parasit adalah organisme yang hidup di luar atau di dalam tubuh


organisme lain (inang). Parasit merupakan organisme yang mengganggu
kehidupan inang. Keberadaan parasit dapat mempengaruhi kualitas dan
kesehatan inang yang terinfeksi. Berdasarkan tempat hidupnya parasit dapat
dikelompokkan menjadi endoparasit dan ektoparasit. Endoparasit adalah
parasit yang hidup dalam tubuh inang, misalnya anggota Trematoda,
Nematoda dan Protozoa. Ektoparasit adalah parasit yang hidup di luar tubuh
inang misalnya pada kelas Insekta (pinjal dan kutu) dan Arachnida (caplak
dan tungau) (Taylor et al., 2007). Penyakit pada unggas salah satunya dapat
diakibatkan oleh parasit protozoa. Penyakit parasiter pada unggas yang

1
2

disebabkan oleh protozoa darah yaitu penyakit Plasmodiosis yang disebabkan


oleh Plasmodium sp. (Sari et al., 2021). Selama ini, penyakit parasit darah
pada unggas dilaporkan masih menjadi kendala yang serius dalam industri
peternakan. Kerugian ekonomi yang disebabkan oleh penyakit-penyakit
tersebut berupa pertumbuhan ternak menjadi terhambat, penurunan daya kerja,
bobot badan, daya reproduksi dan produksi telur.

Malaria pada unggas atau sering dikenal dengan penyakit Plasmodiosis


pada unggas ditularkan oleh nyamuk Aedes sp, Anopheles sp. dan Culex sp.
Plasmodiosis merupakan arthropod born disease atau penyakit yang
ditularkan oleh arthropoda. Dalam hal ini nyamuk berperan sebagai vektor
biologis penyebaran penyakit. Penyakit tersebut menyebabkan anemia berat,
lemah, bahkan kematian pada unggas. Pemeriksaan mikroskopis berupa
apusan darah dilakukan untuk memeriksa keberadaan Plasmodium sp. dalam
eritrosit (Sari et al., 2021). Kejadian penyakit malaria pada unggas akan
meningkat seiring dengan tingginya curah hujan, karena akan terbentuk
genangan air di sekitar lingkungan yang merupakan tempat ideal untuk
perindukan dari nyamuk sebagai vektor penularan penyakit ini sehingga
populasi nyamuk akan ikut bertambah.

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Bagaimana etiologi Plasmodium sp. pada unggas?

1.2.2 Bagaimana morfologi Plasmodium sp. pada unggas?

1.2.3 Bagaimana kajian epidemiologi Plasmodium sp. pada unggas?

1.2.4 Bagaimana siklus hidup Plasmodium sp. pada unggas?

1.2.5 Bagaimana pathogenesis penyakit Plasmodiosis pada unggas?

1.2.6 Bagaimana gejala klinis penyakit Plasmodiosis pada unggas?

1.2.7 Bagaimana gambaran patologi anatomi penyakit Plasmodiosis pada


unggas?
3

1.2.8 Bagaimana diagnosa penyakit Plasmodiosis pada unggas?

1.2.9 Bagaimana diagnosa banding penyakit Plasmodiosis pada unggas?

1.2.10 Bagaimana pengobatan dan pengendalian Plasmodiosis malaria pada


unggas?

1.3 Tujuan Penulisan

1.3.1 Untuk mengetahui etiologi Plasmodium sp. pada unggas

1.3.2 Untuk mengetahui morfologi Plasmodium sp. pada unggas

1.3.3 Untuk mengetahui kajian epidemiologi Plasmodium sp. pada unggas

1.3.4 Untuk mengetahui siklus hidup Plasmodium sp. pada unggas

1.3.5 Untuk mengetahui pathogenesis penyakit Plasmodiosis pada unggas

1.3.6 Untuk mengetahui gejala klinis penyakit Plasmodiosis pada unggas

1.3.7 Untuk mengetahui gambaran patologi anatomi penyakit Plasmodiosis


pada unggas

1.3.8 Untuk mengetahui diagnosa penyakit Plasmodiosis pada unggas

1.3.9 Untuk mengetahui diagnosa banding penyakit Plasmodiosis pada


unggas

1.3.10 Untuk mengetahui pengobatan dan pengendalian penyakit Plasmodiosis


pada unggas

1.4 Manfaat Penulisan

1.4.1 Manfaat dari penulisan paper ini yaitu membantu memahami lebih lanjut
Plasmodium penyebab malaria pada unggas
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ternak Unggas

Unggas merupakan ternak bersayap, yang dalam taksonomi zoologinya


termasuk ke dalam golongan kelas Aves. Unggas umumnya merupakan bagian
dari ordo Galliformes (ayam dan kalkun) dan Anseformes (bebek). Jenis
unggas cukup banyak di antaranya adalah ayam, itik, kalkun dan angsa. Secara
taksonomi zoologi bangsa burung bisa digolongkan sebagai unggas. Ternak
unggas merupakan salah satu komoditas ternak yang sudah banyak
dikembangkan oleh masyarakat Indonesia. Ternak unggas merupakan ternak
yang dapat membantu dalam memenuhi kebutuhan protein hewani. Kelebihan
ternak unggas yaitu mudah dalam pemeliharaan serta harganya yang relatif
lebih murah. Permintaan daging unggas selalu meningkat dari tahun ke tahun
karena kandungan asam amino esensialnya lengkap. Serat daging unggas
pendek dan lunak, sehingga lebih mudah dicerna (Mahmud et al., 2017).

Gambar 2.1 Gambar Unggas Ayam (Sumber: Majalah Peternakan dan


Kesehatan Hewan. http://www.majalahinfovet.com/2007/10/ngorok-pada-
ayam-broiler.html)
Ayam digolongkan ke dalam kingdom Animalia, filum Chordata,
subfilum Vertebrata, kelas Aves, super order Carinatae, ordo Galliformes dan
spesies Gallus gallus (Scanes et al., 2004). Tubuh ayam ditutupi bulu yang
berfungsi sebagai pengatur suhu dan membantu pada saat terbang. Tulang
4
5

punggung didaerah leher dan otot dapat digerakkan. Tulang punggung tersebut
membentuk suatu susunan kaku yang memberikan kekuatan terhadap tubuh
yang cukup kuat untuk menopang gerakan dan aktifitas sayap. Ayam
merupakan salah satu jenis ternak unggas sebagai sumber protein hewani yang
dimanfaatkan daging atau telurnya. Permintaan daging dan telur ayam
semakin meningkat, hal itu karena harga daging dan telur yang terjangkau dan
mudah dalam memperolehnya (Wati et al., 2018).

Menurut fungsinya ayam dapat dibedakan menjadi ayam pedaging


(broiler) yang dimanfaatkan dagingnya, ayam petelur (layer) yang
dimanfaatkan telurnya, ayam hias atau ayam timangan (pet, klangenan) untuk
dilepas di kebun atau dapat juga dipelihara di dalam kurungan karena
kecantikan penampilan atau suaranya, dan ayam sabung yang dijadikan
sebagai permainan sabung ayam. Sedangkan berdasarkan ras dapat dibedakan
menjadi dua jenis yaitu ayam ras dan ayam bukan ras (ayam buras atau ayam
kampung) (Suprijatna et al., 2005).
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Etiologi

Unggas memiliki sistem kekebalan tubuh yang baik, tetapi tidak


sedikit pun mengalami serangan virus mematikan dan penyakit yang
merugikan misalnya penyakit parasiter. Penyakit parasit tersebut antara lain
disebabkan oleh protozoa darah yang dapat menyebabkan penyakit
Plasmodiosis (Rohajawati & Supriyati, 2010). Penyakit Plasmodiosis dikenal
juga dengan nama malaria unggas yang disebabkan oleh Plasmodium sp. yang
dapat merusak eritrosit berbagai jenis unggas. Vektor penyebar plasmodiosis
pada unggas atau adalah nyamuk Culex sp., Aedes sp., dan Anopheles sp.
Plasmodiosis merupakan arthropod-borne disease atau penyakit yang
ditularkan oleh Arthropoda yang berpredileksi di sel darah merah hospes.
Penyakit tersebut menyebabkan anemia berat, lemah, bahkan kematian pada
unggas. (Panhwer et al., 2016; Sari et al., 2021).

Parasit darah Plasmodium sp. yang sering menyerang unggas yaitu


spesies Plasmodium gallinaceum dan Plasmodium juxtanucleare sering
menyerang ayam. Spesies P. durae sering menyerang kalkun. Spesies P.
relictum menyerang burung dan spesies P. lophurae menyerang itik. Jenis
Plasmodium yang ditemukan pada ayam adalah P. gallinaceum dan P.
juxtanucleare. P. gallinaceum ditemukan di Asia dan Afrika, sedangkan P.
juxtanucleare ditemukan di Amerika Selatan, Afrika dan Asia. (Sadiq et al.,
2003 dalam Sabuni, 2009). Di Indonesia, penyakit yang disebabkan oleh
Plasmodium sp. ditemukan di berbagai daerah terutama pada ayam (Salut et
al., 2019). Plasmodium sp. dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

Filum : Apicomplexa
Kelas : Sporosoasida
Sub-kelas : Coccdiasina

6
7

Ordo : Eucoccodiarida
Sub-ordo : Haemospororina
Famili : Plasmodidae
Genus : Plasmodium
Spesies : P. gallinaceum, P. juxtanucleare,
P. durae, P. relictum, P. lophurae
3.2 Morfologi

Bentuk merozoit dari Plasmodium sp. umumnya berbentuk bulat


seperti cincin yang terlihat jelas dalam eritrosit. Bentuk dari merozoit ini dapat
berbentuk bulat seperti cincin tunggal atau ganda (Weisman et al., 2007 dalam
Sabuni, 2009). Merozoit biasanya berbentuk bulat dan berada disekitar inti sel
darah dan dalam jumlah yang banyak dapat menghancurkan eritrosit.
Gametosit berbentuk memanjang atau bulat dan memiliki inti tunggal.
Gametosit menghasilkan 8-30 merozoit (Suwanti et al., 2012) Gametosit
jantan (microgametocytes) umumnya berwarna seperti noda merah muda
dengan pewarnaan giemsa, sementara macrogametocytes umumnya berwarna
seperti noda biru pucat (Atkinson et al., 2008). Eritrosit yang terinfeksi
Plasmodium sp. akan menunjukan suatu cincin tipis protolasma dengan
nukleus pada sisinya. Bagian tengah parasit akan mengalami vakuolasi dan
tidak tercat, sedangkan cincin (protoplasma) dan nukleus akan tercat biru
(Salut et al., 2019).

Gambar 3.1 Bentuk merozoit Plasmodioum sp. pada sel darah merah
unggas yang diamati menggunakan mikroskop perbesaran 100x (Salut et
al., 2019)
8

3.3 Kajian Epidemiologi

Indonesia merupakan salah satu negara tropis, sehingga malaria masih


menjadi salah satu penyakit menular khususnya di beberapa wilayah yang
dinyatakan endemis malaria. Secara alamiah, penularan malaria terjadi karena
adanya interaksi dari agen (parasit Plasmodium sp.), host definitive (nyamuk
Aedes sp., Culex sp. dan Anopheles sp.) dan host intermediate (unggas).
Karena itu, penularan malaria dipengaruhi oleh keberadaan dan fluktuasi
populasi vektor definitive (nyamuk Aedes sp., Culex sp. dan Anopheles sp.)
yang salah satunya dipengaruhi oleh curah hujan, serta sumber parasit
Plasmodium sp. atau penderita yang disampingnya terdapat host rentan.
Sumber parasite Plasmodium sp. adalah host yang menjadi penderita positif
malaria. Namun, pada wilayah endemis malaria, gejala klinis jarang terjadi
meskipun parasit terus tumbuh didalam tubuh. Hal tersebut dikarenakan
perubahan tingkat resistensi unggas terhadap parasite malaria sebagai akibat
tingginya frekuensi kontak dengan parasit, bahkan dapat juga diturunkan
melalui mutase genetik. Keadaan tersebut mengakibatkan penderita carrier
(pembawa penyakit) atau penderita malaria tanpa gejala klinis (asymptomatic)
yang setiap saat dapat menularkan parasit ke unggas lainnya. Mortalitas pada
kasus akut Plasmodiosis dapat mencapai 90% (Hakim, 2011).

3.4 Siklus Hidup

Siklus hidup Plasmodium melibatkan nyamuk sebagai vektor


biologisnya. Plasmodium berkembang biak melalui tahap aseksual dan
seksual. Tahap aseksual terjadi di dalam tubuh inang, sedangkan fase seksual
terjadi di dalam tubuh nyamuk. Di dalam tubuh unggas, sporozoit yang ada
dalam kelenjar ludah vektor nyamuk akan ikut terinjeksikan dan masuk
kedalam tubuh unggas saat menghisap darah. Sporozoit berada didalam aliran
darah kurang dari 1 jam, kemudian masuk ke dalam sel endotel dan sel
jaringan sehingga membentuk skizon pre-eritrositik atau yang disebut dengan
cryptozoit. Cryptozoit selanjutnya mengalami perkembangan membentuk
merozoit yang akan keluar ketika makrofag lisis. Merozoit yang lepas
9

menyerang sel-sel dari lymphoid, sistem makrofag di otak, limpa, ginjal, paru-
paru, dan jaringan hati dan kembali ke makrofag pada kulit atau yang disebut
metacryptozoit. Metacryptozoit akan membentuk merozoit yang akan keluar
ketika makrofag lisis. Merozoit yang keluar dari metacryptozoit akan keluar
menuju sel darah merah (skizon eritrositik) dan sel-sel tubuh yang lain (skizon
ekso-eritrositik). Merozoit akan keluar dari eritrosit dan memasuki eritrosit
lainnya yang sebagian akan menuju sel endotel. Di dalam sel endotel ini
merozoit juga akan mengalami proses skizogoni dan membentuk skizon
eritrositik. Setelah infeksi berlangsung beberapa waktu dan terjadi
perkembangan aseksual yang tertentu jumlahnya, maka merozoit yang
memasuki sel darah merah berkembang menjadi makrogamet dan mikrogamet
yang akhirnya dihisap oleh vektor nyamuk dan mengalami fase seksual
(Panhwer et al., 2016; Salut et al., 2019; Freverta et al., 2008).

Gambar 3.2 Siklus Hidup Plasmodium sp. (Sumber: Bahan ajar protozoa
darah Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana)
Fase seksual di mulai dalam tubuh hospes definitif, sekitar 10-15 menit
setelah menghisap darah, mikrogamet akan membelah inti menjadi 6-8
mikrogamet panjang sangat mirip flagelum dan mengalami proses eksflagelasi
(mikrogamet lepas dan berenang bebas). Jika mikrogamet bertemu dengan
makrogamet akan terjadi pembuahan, sehingga terbentuk ookista yang dapat
bergerak (Ookinet). Di bawah epitel usus, ookinete membulat membentuk
kista. Ookinet menembus lambung dan berkembang menjadi ookista (Cornet
10

& Sorci, 2014). Selanjutnya akan membelah diri berulang-ulang sehingga


terbentuklah sejumlah sporoblast. Inti setiap sporoblast kemudian membagi
diri secara berulang-ulang, sehingga akhirnya setiap ookista berisi 10.000 atau
lebih sporozoit. Sporozoit keluar dari ookista yang bersifat motil masuk ke
dalam rongga badan dan akhirnya bermigrasi ke glandula saliva (Panhwer et
al., 2016; Salut et al., 2019; Freverta et al., 2008).

3.5 Pathogenesis

Infeksi Plasmodium sp. dimulai dari sporozoit yang dibawa vektor


masuk ke aliran darah hospes melalui gigitan. Sporozoit akan berkembang
menjadi skizon pada makrofag kulit. Skizon mengandung merozoit, merozoit
yang dibebaskan akan masuk ke eritrosit dan sebagian masuk ke sel endotel
membentuk skizon eksoeritrosit. Merozoit yang masuk ke dalam eritrosit akan
berkembang menjadi tropozoit muda yang kemudian berdiferensiasi menjadi
tropozoit dewasa dan gametosit. Tropozoit dewasa akan berkembang menjadi
skizon. Skizon akan melepaskan merozoit untuk menginfeksi sel darah merah
lainnya dengan cara melisiskan eritrosit, sehingga jumlah eritrosit akan
berkurang dan menimbulkan gejala klinis berupa anemia (Ali dan Sultana,
2015).

Perbanyakan tahap aseksual yang cepat dalam darah memicu ledakan


sel darah merah yang terinfeksi yang menyebabkan krisis anemia. Unggas
yang terinfeksi menderita luka parah pada limpa dan hati. Tingkat keparahan
penyakit, sangat tergantung pada jumlah parasit yang diinokulasi dan jalur
penularannya. Masa prepaten tergantung pada ukuran inokulum dengan dosis
tertinggi menghasilkan masa prepaten terpendek (4 hari) dan dosis terendah
menghasilkan masa prepaten terlama (8 hari) (Ali dan Sultana, 2015). Pada
malaria berat mekanisme patogenesisnya berkaitan dengan invasi merozoit ke
dalam eritrosit sehingga menyebabkan eritrosit yang mengandung parasit
mengalami perubahan struktur danbiomolekular sel untuk mempertahankan
kehidupan parasit. Perubahan tersebut meliputi mekanisme, diantaranya
11

transport membran sel, sitoadherensi, sekuestrasi dan resetting (Fitriany &


Sabiq, 2018).

Infeksi biasanya cepat dikendalikan oleh respon imun yang melibatkan


serangkaian faktor imun dan sitokin inflamasi tetapi juga oleh pembersihan sel
darah merah oleh limpa. Setelah aktivasi kekebalan ini, unggas memasuki fase
infeksi kronis yang ditandai dengan parasitemia darah tingkat rendah, yang
dapat berlangsung selama berbulan-bulan hingga bertahun-tahun. Intensitas
infeksi kronis mungkin berkorelasi dengan parameter infeksi akut. Dengan
kata lain, unggas yang menderita parasitemia puncak yang lebih besar selama
fase akut cenderung mempertahankan infeksi lebih lama daripada unggas yang
menderita infeksi akut yang lemah. Pada beberapa unggas juga dapat
menderita infeksi sekunder yang disebabkan oleh parasit recrudescence
(reaktivasi parasit eritrositik) atau kambuh (dari tahap parasit laten
eksoeritrositik). Namun, parasitemia dan gejala yang berhubungan dengan
infeksi umumnya lebih rendah dibandingkan dengan infeksi akut primer
(Cornet & Sorci, 2014).

3.6 Gejala Klinis

Masa inkubasi parasit ini adalah 5-10 hari dan lamanya parasite ini di
dalam darah yaitu 7-27 hari dan suhu yang berfluktasi. Unggas yang terinfeksi
dapat bersifat non-symptomatis atau tidak memunculkan gejala klinis. Unggas
yang tidak menunjujukan gejala klinis dapat berperan sebagai karier atau
sumber infeksi bagi unggas lain (Hakim, 2011). Gejala klinisi pada
Plasmodiosis pada unggas dapat dibagi menjadi 3 bentuk yaitu bentuk akut,
kurang akut dan paralisis. Bentuk akut pada infeksi Plasmodium terlihat ayam
meringkuk disudut kendang, muka dan jengger bengkak, kondisi semakin
buruk dan mengalami kematian dalam waktu singkat. Bentuk kurang akut
ayam terlihat pucat pada bagian muka dan jengger, kondisi lemah dan diare
berwarna hijau. Bentuk paralisis jarang ditemui dan biasanya terjadi pada
ayam yang sembuh dari serangan akut dan sudah di obati. Gejala klinis lain
yang muncul pada unggas yang terinfeksi berupa kelemahan, lesu, anoreksia,
12

membungkuk, dyspnea, demam intermiten, anemia, abdominal distention dan


ocular hemorrhagi (Panhwer et al., 2016; Williams, 2005).

Infeksi Plasmodium dalam sel darah merah menyebabkan pH darah


turun sehingga pengikatan oksigen oleh hemoglobin menjadi turun. Hal
tersebut menjadikan unggas mengalami kekurangan suplai oksigen (anoksia).
Pada ayam petelur, infeksi Plasmodiosis akan menyebabkan penurunan
produksi telur. Kematian akibat Plasmodiosis disebabkan oleh anemia ataupun
hambatan pada pembuluh kapiler otak atau organ vital lain yang di akibatkan
oleh skizon ekso-eritrositik pada sel endotel (Gimba et al., 2014).

3.7 Patologi Anatomi

Jika dilihat dari hasil pemeriksaan post mortem ditemukan terjadinya


hepatomegali, splenomegali, efusi perikardial, dan perubahan patologis pada
ginjal dan jantung (Gimba et al., 2014). Menurut Williams, 2005 perubahan
patologi anatomi pada unggas yang terinfeksi Plasmodium sp. yaitu pada
organ ginjal mulai mengalami pembengkakan pada 5 hari setelah infeksi,
menjadi sangat bengkak pada hari ke-12, dan kembali menjadi sedikit
membengkak pada hari ke 26. Selain itu, pada organ hati, limpa dan kandung
empedu juga mengalami perubahan patologis. Ada kecenderungan perubahan
warna pada organ menjadi lebih gelap saat penyakit berkembang. Warna hati
dan limpa mengalami perubahan yaitu berwarna kecokelatan perunggu dan
berubah kembali menjadi abu-abu tua yang sangat gelap. Pada organ jantung
ditemukan cairan didalam rongga pericardium jantung, sedangkan pada otak
terjadi pembedungan darah (Williams, 2005).

Gambar 3.3 (i) Terjadi perubahan warna pada hati, (ii) Terjadi perubahan
warna pada limpa (Seth et al., 2007)
13

3.8 Diagnosa

Diagnosa dapat ditegakkan dengan pengamatan gejala klinis,


pemeriksaan apusan darah, uji ELISA dan uji PCR. Deteksi mikroskopis
apusan darah dengan pewarnaan giemsa menjadi standar metode referensi
untuk diagnosa malaria. Apusan darah tipis difiksasi dengan metanol 100%
pada hari pengambilan yang sama dan diwarnai dengan larutan kerja Giemsa
10% selama 1 jam, kemudian diperiksa secara mikroskopis. Intensitas
parasitemia ditentukan dengan menghitung jumlah parasit per 1000 eritrosit,
seperti yang direkomendasikan (Chagas et al., 2017).

Gambar 3.4 Apusan darah yang diwarnai dengan Giemsa menunjukkan eritrosit
terinfeksi dan mengandung tropozoit Plasmodium sp. (1.000x) (Nazifi et al.,
2008).
Selain itu, dapat juga dilihat dari gejala klinis yang muncul,
pemeriksaan secara serologis menggunakan uji ELISA atau pemeriksaan
molekuler menggunakan PCR. Menurut, Panhwer et.al., 2016 penggunaan
PCR dalam mendiagnosis malaria di anggap lebih efektif dan lebih sensitif
dibandingkan menggunakan tes darah. Pemeriksaan PCR digunakan untuk
mendeteksi mitokondria dan ribososm. Uji PCR digunakan untuk spesies
tertentu Plasmodium lebih sensitif dan spesifik daripada tes lain dan dapat
mendeteksi sedikitnya 10 parasit/μL darah (Panhwer et al., 2016).
14

Gambar 3.5 Pemeriksaan menggunakan uji PCR pada unggas yang terserang
malaria (Panhwer et al., 2016).
3.9 Diagnosa Banding

Plasmodiosis menyebabkan gejala klinis yang umum berupa anemia


sehingga terdapat beberapa penyakit yang menjadi diagnose bandingnya
seperti kekurangan zat besi, Egg Drop Syndrome (EDS), infeksi akibat
parasite darah lain (Leucocytozoonosis dan Haemoproteus), anemia yang
disebabkan oleh virus, Coccidiosis, dan infestasi parasite eksternal penghisap
darah seperti caplak.

3.10 Pengobatan dan Pengendalian Penyakit

Pengobatan terhadap Plasmodiosis dapat dilakukan dengan pemberian


obat anti malaria. Preparat Fe dan vitamin serta garam-garam mineral
diberikan untuk mencegah keadaan anemia yang berkelanjutan akibat
banyaknya sel darah merah yang rusak karena parasit. Obat anti malaria dapat
berupa chloroquine (5-10 mg/kg BB) dan primaquine (0.3 mg/kg BB).
Chloroquine dapat diberikan melalui air minum dengan dosis 250 mg/120mL.
selain zat tersebut, kombinasi sulfamethoxine dan sulfa chloropyrazine juga
dapat digunakan sebagai obat Plasmodiosis. Pemberian quinacrine dengan
dosis 1.6 mg/kg BB per hari selama 5 hari diketahui efektif untuk mengobati
Plasmodiosis pada unggas. Halofuginone dapat diberikan sebagai
kemopropilaksis pada daerah yang endemis (Freverta et al., 2008).
15

Pengendalian Plasmodiosis pada unggas dapat dilakukan dengan cara


mengendalikan nyamuk sebagai vektor pembawanya. Jumlah nyamuk dapat
dikendalikan dengan cara penggunaan zat kimia maupun non-kimia.
Pengendalian secara kimiawi dapat dilakukan dengan penggunaan larvasidal
untuk membunuh jentik nyamuk, fogging dan penggunaan repelan.
Pengendalian secara non-kimia dapat dilakukan dengan pembersihan
lingkungan dari sarang nyamuk, menjaga kebersihan kandang, serta
penggunaan light trap. Kondisi lingkungan sekitar yang tidak mendukung
lingkungan hidup vektor biologi, menyebabkan tidak adanya sebaran vektor
biologis yang membawa parasit darah tersebut dan daya tubuh yang dimiliki
unggas tinggi sehingga tidak mudah terserang penyakit (Sari et al., 2021)
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Malaria atau Plasmodiosis pada unggas disebabkan oleh protozoa


darah Plasmodium sp. yang dibawa oleh vektor nyamuk Aedes sp., Culex sp.
dan Anopheles sp. Plasmodiosis merupakan arthropod-borne disease atau
penyakit yang ditularkan oleh Arthropoda. Secara alamiah, penularan malaria
terjadi karena adanya interaksi dari agen (parasit Plasmodium sp.), host
definitive (nyamuk Aedes sp., Culex sp. dan Anopheles sp.) dan host
intermediate (unggas). Mortalitas pada kasus akut Plasmodiosis dapat
mencapai 90%. Gejala klinisi Plasmodiosis pada unggas dapat dibagi menjadi
3 bentuk yaitu bentuk akut, kurang akut dan paralisis. Gejala klinis lain yang
muncul pada unggas yang terinfeksi berupa kelemahan, lesu, anoreksia,
membungkuk, dyspnea, demam intermiten, anemia, abdominal distention dan
ocular hemorrhagi. Jika dilihat dari hasil pemeriksaan post mortem ditemukan
terjadinya hepatomegali, splenomegali, efusi perikardial, dan perubahan
patologis pada ginjal dan jantung. Pengendalian Plasmodiosis pada unggas
dapat dilakukan dengan cara mengendalikan nyamuk sebagai vektor
pembawanya. Pemerian obat anti malaria seperti chloroquine dan primaquine
dapat diberikan pada unggas jika terkena infeksi Plasmodium sp.

4.2 Saran

Peternak unggas disarankan untuk lebih meningkatkan kebersihan


kandang untuk mengendalikan vektor pembawa penyakit. Kondisi lingkungan
yang selalu terjaga kebersihannya membantu pencegahan terhadap terjadinya
infeksi parasit atau penyakit lainnya. Pemerian obat anti malaria seperti
chloroquine dan primaquine dapat diberikan pada unggas jika terkena infeksi
Plasmodium sp. Jika gejala pada unggas terus berlanjut dapat menghubungi
dokter hewan setempat.

16
DAFTAR PUSTAKA

Arifiandi, M. Suprihati, E. Yuniarti, W.M. Lastuti, N.D.R. Hastutiek, P. Warsito,


S.H. 2019. Detection of Blood Protozoa Infecting Broiler Chicken Farms
in Tanjung Gunung Village, District Jombang. Journal of Parasit Science.
Vol 3. No 1.

Atkinson, C.T. Thomas, N.J. Hunter, B.D. 2008. Parasitic Disease of Wild Birds.
USA. Wiley-Blackwell.

Chagas, C.R.F. Valkiunas, G. Guimaraes, L.O. Monteiro, E.F. Guida, F.J.V.


Simoes, R.F. Rodrigues, P.T. Luna, E.J.A. Kirchgatter, K. 2017. Diversity
and Distrubution of Avian Malaria and Related Haesmosporidian Parasites
in Captive Birds From a Brazilian Megalopolis. Malaria Journal. 16:83.

Cornet, S. & Sorci, G. 2014. Avian Malaria Models of Disease. Encyclopedia of


Malaria.

Fitriany, J. & Sabiq, A. 2018. Malaria. Jurnal Avverous. Vol 4. No2.

Frevert, U. Spath, G.F. Yee, H. 2008. Exoerythrocytic Development of


Plasmodium gallinaceum in The White Leghorn Chicken. International
Journal Parasitologi. 38(6): 655-672.

Gimba, F.I. Zakaria, A. Mugok, L.B. Siong, H.C. Jaafar, N. Moktar, M.A.
Rahman, A.R.A. Amzah, A. Abu, J. Sani, R.A. Amin-Babjee, S.M.
Sharma, R.S.K. 2014. Haemoparasite of Domestic Poultry and Wild Birds
in Selangor, Malaysia. Malaysian Journal of Veterinary Science. Vol 5. No
1.

Hakim, L. 2011. Malaria: Epidemiologi dan Diagnosis. Jurnal Aspirator. Vol 3.


No. 2.

Nasifi, S. Razavi, S.M. Yavari, F. Rajaifar, M. Bazar, E. Esmailnejad, Z. 2008.


Evaluation olh Hematological Values in Indigenous Chickens Infected

17
18

with Plasmodium gallinaceum and Aegyptianella pullorum. Comp Clin


Pathol. 17:145-148.

Panhwer, S.N. Arijo, A. Bhutto, B. Buriro, R. 2016. Conventional and Molecular


Detection of Plasmodium in Domestic Poultry Birds. Journal of
Agriculture Science and Technology. 283-289.

Rohajawati, S. & Supriyati, R. 2010. Diagnosis Penyakit Unggas dengan Metode


Certainty Factor. Teknologi Komunikasi dan Informasi. 4(1): 41-46.

Sadiq, N. A., Adejinmi, J. O., Adedokun, O. A., Fashanu, S. O., Alimi, A. A. and
Sofunmade, Y. T. (2003). Ectoparasites and haemoparasites of indigenous
chicken (Gallus domesticus) in Ibadan and environs. Tropical
Veterinarian, 21: 187-191. dalam Sabuni, A.Z., 2009. Prevalence Intensity
and Pathology of Ecto and Haemoparasites Infections in Indigenous
Chickens in Eastern Province of Kenya. Skripsi.

Salut, E.P. Almet, J. Winarso, A. 2019. Identifikasi Parasit Darah Pada Ayam
Buras di Pasar Inpres Naikoten Kota Kupang. Jurnal Veteriner Nusantara.
Vol2. No 1.

Sari, K.I.K. Sudatri, N.W. Suartini, N.M. 2021. Prevalensi Leucocytozoonosis


dan Plasmodiosis Pada Itik (Anas plathyrynchos) yang Dipelihara Dalam
Skala Rumah Tangga. Journal of Biological Sciences. 8(1).

Scanes, C. G., G. Brant. & M. E. Ensminger. 2004. Poultry Science. Pearson


Education Inc., New Jersey.

Seth, D. Debnath, N. Rahman, A. Mukhopadhyaya, S. Mewis, I. Ulrichs, C.


Bramhachary, R.L. Goswami, A. 2007. Control of Poultry Chicken
Malaria by Surface Functionalized Amourphous Nanosilica. India.

Suprijatna, E., U. Atmomarsono, & R. Kartasujana. 2005. Ilmu Dasar Ternak


Unggas. Penerbit Penebar Swadaya. Jakarta.
19

Suwanti, L.T., N.D.R. Lastuti, E. Suprihati, dan Mufasirin. 2012. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Protozoa. Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Airlangga.
Surabaya.

Taylor M.A. Coop R.L. Wall R.L. 2007. Veterinary Parasitology. Third Edition,
Blackwell Publishing. Oxford.

Weisman, J., LeRoy, B.E., and Latimer, K. S. 2007. Haemoproteus Infection in


Avian Species. Veterinary Clinical Pathology Clerkship Program.
University of Georgia College of Veterinary Medicine. Athens. dalam
Sabuni, A.Z., 2009. Prevalence Intensity and Pathology of Ecto and
Haemoparasites Infections in Indigenous Chickens in Eastern Province of
Kenya. Skripsi.

Williams, R.B. 2005. Avian Malaria: Clinical and Chemical Pathology of


Plasmodium gallinaceum in The Domesticated Fowl Gallus gallus.
Journal Avian Pathology. 34 (1): 29-47.

Anda mungkin juga menyukai