MenteriHukumdanHakAsasiManusiaRepubliklndonesia,berdasarkanUndangUndang
t"-". ls i.r,"" 2002 tentans Hak cipta yairu u;dans undang tenrang perlindungan ciplaan di
il;;; ;;;;."s.,"truan, seni aan sastra (tidakdimeli;dunsl hak kekaraan intelektual lainnval'
;;;;;; ;i;;";;."skan bahwa hal-hal tersebut bawah ini telah terdanar dalam Daftar umum
Ciptaan:
IL Pencipta
Nama 1. Dr. drh. I WAYAN SUARDANA, M.St.;
2. drh. IDA BAGUS NGUR3II SWACITA' M'P'
Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Udayana, Jalan P.B. Sudirman
Denpasar, Bali.
Kewarganegaraan Indonesia
VIL Jangka waktu PerlindLrngan Berlaku selama hnlup Pencipta dan terus berlangsung
hingga 50 (Iima puluh) tahun setelah Pencipta
meninggal dunia.
PendaftaranCiptaandalamDaftarUmumCiptaantidal<-me-ngandungaltisebagai
yang Direktorat Jenderai
Densesalan atas isi, arti, maksud, aLau bentuk dari Ciptaan jawabdidaftar, drri maksud atau
berranssunB atas isi
[;:';:;;;;;;;i.;; ;";J;ii;';" ciprda,r ridak Penr"lalan J6 Undans undans Nomor 1q
o"""iJ al', ciiil"" lang r.raafrar' tPa'sa Sodan Pasal
Tahun 2002 Tentang Hak CiPta)
a.n, MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
DIREKTUR JENDERAL I{EKq.YAAN INTELEKTUAL
u.b.
DIREKTUR HAK CIPTA, DESAIN INDUSTRI,
DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TER?ADU' DAN RAHASIA DAGANG
S,H,, M,H,
NtP. 19551 I29 198203200 1
HKt,2-01-000002651
PRAKATA
Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa / Ida Sang Hyang
Widhi Wasa, karena atas berkat rahmat-Nya lah penyusunan Buku Higiene Makanan ini
dapat diselesaikan dengan baik.
Penyusunan buku ini dimaksudkan sebagai materi dasar bagi mahasiswa yang
mengambil mata kuliah Higiene Makanan sehingga dapat dijadikan pegangan pokok
mengingat belum adanya buku ajar standar Higiene Makanan yang tersedia di pasaran.
Buku ajar ini disusun dengan mengkompilasi beberapa materi dari buku-buku lainnya,
serta dalam kesempatan ini, kami selaku penyusun belum berkesempatan untuk
menambah kepustakaan yang diperlukan mengingat keterbatasan waktu yang kami
miliki.
Atas terselesainya buku ini, penulis mengucapakan terimakasih sebesar-besarnya
kepada Kepala UPT. Penerbit Universitas Udayana (Bapak Prof.Ir.D.K.Harya Putra,
MSc., PhD.) atas segala bantuan dan motivasinnya serta sekaligus sebagai penyunting.
Terimakasih juga penulis sampaikan kepada Bapak dan Ibu dosen staf Lab. Kesmavet
FKH Unud atas kepercayaan dan dorongan morilnya dari awal sampai selesainya
penulisan buku ajar ini. Akhir kata, penulis menyadari bahwa buku ini masih jauh dari
sempurna. Untuk itu segala masukan dan koreksi akan penulis terima dengan senang
hati.
Penulis
i
DAFTAR ISI
halaman
PRAKATA …………………………………………………………………………. i
ii
3.1.1 Warna Daging ....................................................................................... 37
3.1.2 Daya Ikat Air / DIA (Water Holding Capacity) ................................... 39
3.1.3 pH Daging …………………………………………………………… 42
3.1.4 Susut Masak …………………………………………………………. 42
3.1.5 Keempukan dan Tekstur ……………………………………………. 43
3.1.6 Flavor dan Aroma …………………………………………………… 43
3.1.7 Bau dan Rasa Daging ……………………………………………….. 44
BAB IV. PENANGANAN, PENGIRIMAN, DAN PEMOTONGAN TERNAK
TERHADAP KUALITAS DAGING………………………………………… 45
4.1 Stres dan Rasa Sakit pada Binatang ………………………..……………… 45
4.2 Efek Stres dan Luka terhadap Kualitas dan Produk Sampingan …………... 45
4.2.1 Kualitas Daging ……………………………………………………… 46
4.2.2 Kerusakan pada Daging ……………………………………………… 47
4.2.3 Kualitas Lapisan Kulit dan Kulit ……………………………………. 49
4.3 Transportasi Hewan ……………………………………………………….. 49
4.4 Pengoperasian Transportasi ……………………………………………….. 54
4.5 Pemotongan Hewan ……………………………………………………….. 55
4.6 Menjaga Stándar Perlakuan terhadap Hewan ……………………………… 65
BAB V. PEMERIKSAAN KESEHATAN ANTE-MORTEM DAN POST-
MORTEM …………………………………………………............................. 70
5.1 Proses Konversi Otot Menjadi Daging ……………………………………. 70
5.1.1 Perubahan Berat ................................................................................... 70
5.1.2 Berhentinya Sirkulasi Darah ke Daging ............................................... 70
5.1.3 Penurunan pH Daging Pasca Pemotongan ........................................... 71
5.1.4 Perubahan Suhu ................................................................................... 73
5.1.5 Rigor Mortis ........................................................................................ 73
5.2 Pemeriksaan Kesehatan Ante-Mortem ……………………………………. 74
5.2.1 Pengertian, Maksud dan Tujuan Pemeriksaan Ante-Mortem ………. 74
5.2.2 Pelaksana, Tempat dan Peralatan ……………………………………. 75
5.2.3 Prosedur Pemeriksaan Kesehatan Ante-Mortem ……………………. 76
5.2.4 Keputusan Akhir dari Pemeriksaan Ante-Mortem ……………….. 77
5.3 Pemeriksaan Kesehatan Post-Mortem …………………………………….. 78
5.3.1 Pengertian dan Tujuan Pemeriksaan Post-Mortem …………………. 78
5.3.2 Tujuan Pemeriksaan Post-Mortem ...................................................... 78
5.3.3 Pelaksana, Tempat dan Peralatan ........................................................ 79
5.3.4 Prosedur Pemeriksaan Post-Mortem ................................................... 80
5.3.5 Keputusan Akhir Pemeriksaan Post-Mortem ...................................... 86
BAB VI. RUMAH PEMOTONGAN HEWAN …………………………………… 89
6.1 Definisi …………………………………………………………………….. 89
6.2 Persyaratan Umum Pendirian RPH ……………………………………….. 91
6.3 Kriteria Dasar ……………………………………………………………… 92
6.4 Good Manufacturing Practice (GMP) pada RPH …………………………. 98
6.5 Sanitation Standard Operating Procedures (SSOP) pada RPH …………… 99
6.6 Nomor Kontrol Veteriner (NKV) ………………………………………….. 100
6.7 Surat Keputusan Mentri Pertanian No. 555/Kpts/TN.240/9/1986 tentang
Syarat-syarat RPH dan Usaha Pemotongan Hewan ……………………….. 101
6.8 Surat Keputusan Mentri Pertanian No. 557/Kpts/TN.520/9/1987 tentang
Syarat-syarat Rumah Pemotongan Unggas dan Usaha Pemotongan Unggas 106
6.9 Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 02 Tahun 2006
tentang Baku Mutu Air Limbah bagi Kegiatan Rumah Pemotongan Hewan 114
iii
BAB VII. PENANGANAN KARKAS DAN TEKNOLOGI PENGAWETAN
DAGING ............................................................................................................. 117
7.1 Pelayuan ........................................................................................................ 117
7.2 Penyimpanan dan Preservasi ........................................................................ 117
7.2.1 Teknologi Tradisional Pengawetan Daging ...………………………. 118
7.2.2 Teknologi Modern Pengawetan Daging ...………..………………… 120
BAB VIII. PERUNDANG UNDANGAN DAN PERATURAN PEMERINTAH
TENTANG PEMOTONGAN TERNAK, KESEHATAN DAGING, DAN
PRODUKSI SUSU DALAM NEGERI …………………………………….. 133
8.1 Staatsblad Nomor 614 tahun 1936 tentang Pemotongan Ternak Besar
Betina Bertanduk …………………………………………………………. 133
8.2 Undang-undang No.6 tahun 1967 tentang Ketentuan ketentuan Pokok
Peternakan dan Kesehatan Hewan …………………………………………. 135
8.3 Peraturan daerah Bali No. 5 tahun 1974 tentang Pemotongan ternak Potong 136
8.4 Instruksi Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertanian No.
18/1979 dan No.5/1979 tentang Pencegahan dan Larangan Pemotongan
ternak Sapi / Kerbau Betina Bunting dan atau Sapi / Kerbau Betina Bibit ... 137
8.5 Instruksi Gubernur Kepala Daerah Tingkai I Bali Tanggal 1 Oktober 1980
tentang Pencegahan dan Larangan Pemotongan Ternak Sapi/Kerbau
Betina Bibit atau Sapi/Kerbau Betina yang Masih Produktif ........................ 141
8.6 Pedoman Pengendalian Penyakit Hewan Menular ........................................ 141
8.7 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 22 tahun 1983 tentang
Kesehatan Masyarakat Veteriner .................................................................. 141
8.8 Surat Keputusan Direktorat Jenderal Peternakan No. 17 tahun 1983
tentang Syarat-syarat, Tata cara Pengawasan dan Pemeriksaan Susu
Produksi Dalam Negeri ................................................................................. 145
8.9 Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 431/Kpts/TN.310/7/1992 tentang
Pemotongan Hewan Potong dan Penanganan Daging serta Hasil Ikutannya 151
BAB IX. PENYAKIT YANG DITULARKAN LEWAT MAKANAN …………. 163
9.1 Beberapa Bakterial Foodborne Disease yang Umum Dijumpai pada Bahan
Makanan …………………………………………………………………... 164
9.1.1 Ekologi Organisme dalam Makanan ……………………………….. 172
9.1.2 Pengendalian ………………………………………………………… 173
9.2 Penyakit Spesifik yang Ditularkan melalui Susu dan Produk Susu ……… 174
BAB X. KOMPOSISI, KUALITAS, DAN PRODUKSI SUSU …………………. 178
10.1 Peranan Sapi Perah dalam Produksi Pangan Dunia ................................... 178
10.2 Peranan Susu dan Produk Susu dalam Menu Manusia .............................. 181
10.3 Peranan Sapi Perah dalam Produksi Protein Hewani ................................. 184
10.4 Susu .........................................................………………………………… 185
10.4.1 Standar Susu ................................................................................... 186
10.4.2 Keadaan Susu ................................................................................. 187
10.4.3 Susunan Susu ................................................................................. 190
10.4.4 Komposisi Susu ………………………………………………….. 195
10.4.5 Kolostrum ………………………………………………………… 195
10.5 Sanitasi Peralatan ...................... …………………………………………. 197
10.6 Produk Susu ……………………………………………………............... 199
BAB XI HIGIENE PRODUKSI SUSU……..…................………………………... 203
11.1 Anatomi Ambing ...………………………….…………………………… 203
11.2 Fisiologi Ambing ………………………………………………………… 206
11.3 Pemerahan Susu ………..………………………………………………… 208
iv
11.4 Sanitasi …………………………………………………………………… 213
BAB XII STRUKTUR, KOMPOSISI, DAN NILAI GIZI TELUR …………… 216
12.1 Sifat-sifat Telur …………………………………………………………… 216
12.2 Komposisi dan Nilai Gizi Telur ………………………………………….. 221
12.3 Mutu Telur ..........................................................………………………… 221
12.4 Kontaminasi Telur ...................................................................................... 223
12.5 Kerusakan Telur .......................................................................................... 224
12.6 Telur Busuk ................................................................................................ 225
12.7 Standar Telur Ayam Konsumsi (SNI 01-3926-1995) ................................ 226
12.8 Pengawetan Telur ....................................................................................... 228
BAB XIII KONSEP JAMINAN MUTU PADA BAHAN PRODUK ASAL
HEWAN DENGAN HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) ….. 232
13.1 Pendahuluan ……………………………………………………………… 232
13.2 Bahaya pada Produk Pangan …………………………………………….. 233
13.3 Aplikasi Prinsip HACCP ………………………………………………… 234
13.3.1 Latar Belakang Penerapan Sistem HACCP ……………………….. 234
13.3.2 Konsep HACCP ……………………………………………………. 236
13.3.3 Pengertian HACCP ………………………………………………… 236
13.3.4 Aplikasi Pelaksanaan HACCP …………………………………….. 237
RUJUKAN …………………………………………………………………………. 249
v
DAFTAR TABEL
Tabel halaman
1. Beberapa Jenis Mikroorganisme Spesifik yang Dapat Merusak Makanan ....... 1
2. Aktivitas Air (aw), Kadar Air, dan Kerusakan Beberapa Bahan Pangan oleh
Mikroorganisme ................................................................................................. 3
3. Pertumbuhan Logaritmis dari Mikroorganisme dengan Waktu Berkembang
Biak 10 Menit ……………………………………………………………… 15
4. Pengelompokan Mikroorganisme Berdasarkan Reaksi Pertumbuhannya
terhadap Suhu ………………………………………………………………… 18
5. Komposisi Kimiawi Relatif Otot Rangka Mamalia (persen berat daging
segar) .................................................................................................................. 26
6. Perkiraan Luas Lantai untuk Transportasi Berbagai Jenis Hewan ................... 52
7. Jarak Maksimum untuk Trekking …………………………………………….. 54
8. Tegangan dan Waktu yang Dianjurkan untuk Pemingsanan Listrik ................. 60
9. Batas Akhir pH yang Dapat Dicapai oleh Berbagai Jenis Ternak ..................... 71
10 Keputusan Akhir Hasil Pemeriksaan Ante-Mortem ………………………….. 78
11 Keputusan Akhir Hasil Pemeriksaan Post-Mortem …………………………... 87
12 Persentase Penyembelihan Ternak di ASEAN ................................................ 92
13 Lamanya Waktu yang Dibutuhkan Bagi Bakteri Pembentuk Lendir untuk
Tumbuh pada Permukaan Daging Basah …………………………………….. 122
14 Masa Simpan Daging Beku (bulan) .................................................................. 125
15 Beberapa Jenis Bakteri Penyebab Foodborne Disease dan Bahan Makanan
Asal Hewan sebagai Makanan Perantara ........................................................... 171
16 Kandungan Kholesterol dalam Setiap 100 gram Bahan Pangan ....................... 180
17 Komposisi Susu dari Beberapa Spesies Hewan ................................................. 181
18 Produksi dan Konsumsi Susu di Indonesia 1969-1993 ..................................... 182
19 Penyesuaian Berat Jenis Air Susu dari t x 76 pada 27 ½0C 191
27 ½0C 27 ½0C
20 Penyesuaian Kadar Lemak Susu (1,23 K.L) ...................................................... 193
21 Kandungan Kimia Susu Kolostrum Dengan Waktu Pemerahan ....................... 196
22 Komposisi Butter (%) ……………………………………………………….. 200
23 Komposisi Ketiga Komponen Utama Telur ………………………………….. 218
24 Komposisi Telur Ayam Ras dan Bebek ……………………………………… 221
25 Kriteria Mutu Telur Berdasarkan Ukuran Berat ................................................ 221
26 Standar Mutu Telur menurut USDA-AS ……………………………………... 223
27 Persyaratan Mutu Telur menurut SNI 01-3926-1995 ........................................ 223
28 Prosedur Kerja HACCP ..................................................................................... 238
vi
DAFTAR GAMBAR
Gambar halaman
1. Fase-fase Pertumbuhan Mikroorganisme …………………………………….. 15
2. Penampang Lintang Otot Rangka ..................................................................... 23
3. Serabut (sel) otot ............................................................................................... 23
4. Otot Skeletal atau Otot Kerangka Sampai dengan Struktur Miofibril .............. 25
5. Skema Perubahan Warna .................................................................................. 39
6. Pengaruh pH terhadap Jumlah Air Mobilisasi di Dalam daging yang
Disebabkan oleh Distribusi Grup Bermuatan pada Miofilamen dan Ukuran
Ruang diantara Miofilamen .............................................................................. 41
7. Daging PSE, Daging Bagus dan Daging DFD .................................................. 47
8. Memar Akut pada Daging Sapi ………………………………………………. 48
9 Penempatan Senapan yang Benar untuk Pemingsanan Hewan yang Berbeda
Seperti Kuda, Sapi, Kambing, Domba dan Babi …………………………….. 57
10 Pemakaian Captive Pistol/Captive Bolt Pistol (CBP) ……………………….. 58
11 Kurva Penurunan pH Setelah Proses Penyembelihan dan Pengaruhnya
terhadap Warna Daging ………………………………………………………. 74
12 Pemeriksaan Limfoglandula pada Karkas yang Diperiksa …………………… 85
13 Sumber Penularan Hewan (animal reservoir) bagi Organisme Salmonella ..... 164
14 Sumber Penularan Manusia (human reservoir) bagi Organisme
Staphylococcus .................................................................................................. 165
15 Sumber Penularan Manusia dan Hewan bagi Organisme C.perfringens ......... 167
16 Potongan Melintang Ambing ………………………………………………… 204
17 Terjadinya Pelepasan Susu atau “Milk let down” …………………………….. 207
18 Rangsangan Waktu akan Diperah, Sapi dalam Situasi Tenang, Hormon 208
Oksitosin Menyebabkan Susu Keluar dari Alveoli …………………………...
19 Rangsangan Waktu akan Diperah, Sapi dalam Keadaan Takut karena 208
Diperlakukan Kasar atau Takut Nyalak Anjing, Hormon Adrenalin Menahan
Keluarnya Susu ……………………………………………………………….
20 Struktur Telur dan Bagian-bagiannya ............................................................... 217
21 Potongan Melintang dari Sebuah Kerabang Telur ............................................ 219
22 Bagan alir proses produksi daging di RPH ....................................................... 237
23 Diagram Alir Produksi Susu Skim Bubuk ……………………………………. 243
24 Diagram Alir Produksi Keju Lunak Matang …………………………………. 245
vii
BAB I
EKOLOGI KERUSAKAN PANGAN OLEH MIKROORGANISME
Oleh
I Wayan Suardana
1.1 Pendahuluan
Bahan pangan jarang sekali dijumpai dalam keadaan steril, sekalipun ada beberapa
bahan pangan yang dapat membatasi pertumbuhan beberapa jenis mikroorganisme.
Hampir semua bahan pangan dicemari oleh berbagai mikroorganisme terutama dari
lingkungan sekitarnya seperti udara, air, tanah, debu, kotoran, ataupun bahan organik
yang telah busuk. Walaupun demikian, berdasarkan pengalaman nampak bahwa hanya
sebagian saja dari berbagai pencemar di atas yang berperan sebagai pencemar mikroba
awal, yang akan berkembang pada bahan pangan sampai jumlah tertentu. Dengan kata
lain, populasi mikroorganisme yang berada pada suatu bahan pangan, pada umumnya
bersifat sangat spesifik dan tergantung pada jenis bahan pangan dan kondisi tertentu dari
penyimpanannya. Sebagai contoh air susu segar biasanya dirusak oleh bakteri asam laktat,
produk biji-bijian/serealia kebanyakan dirusak oleh kapang, dan sari buah terutama
dirusak oleh khamir. Contoh-contoh lain dari pencemaran yang khas pada masing-masing
produk dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Beberapa Jenis Mikroorganisme Spesifik yang Dapat Merusak Makanan (Mossel,
1971 dalam Buckle et al., 1987)
Jenis Produk Bahan Pangan Jenis mikroorganisme yang paling berperan saat
pembusukan terjadi dalam kondisi standar dari
penyimpanan
Produk Susu Streptococcus, Lactobacillus, Microbacterium
Gram positif berbentuk tongkat *Bacillus
Daging Segar Gram negatif berbentuk tongkat *Micrococcus, Clados-
porium, Thanidium
Ayam Gram positif berbentuk tongkat *Micrococcus
Sosis, ham, dan sebagainya Micrococcus, Lactobacillus, Streptococcus,
Debaryomyces, Penicillium
Ikan, Udang Kerang Gram positif berbentuk tongkat *Micrococcus
Telur Pseudomonas, Cladosporium, Penicillium, Sporotrichum
Sayur-sayuran Gram positif berbentuk tongkat * Lactobacillus, Bacillus
Buah-buahan dan sari buah Acetobacter, Lactobacillus, Saccharomyces, Toarupsis,
Botrytis
Biji-bijian serelia Aspergillus, Fusarium, Monilia, Penicillium, Rhizopus
Roti Bacillus, Aspergillus, Endomyces, Neurospore, Rhizopus
*sebagai contoh jenis-jenis Achromobacter dan Pseudomonas
1.3.2 Waktu
Bila suatu sel mikroorganisme diinokulasi pada media nutrien segar, pertumbuhan
yang terlihat mula-mula adalah suatu peningkatan ukuran, volume, dan berat sel. Ketika
ukurannya telah mencapai kira-kira dua kali dari besar sel normal, selanjutnya sel tersebut
akan membelah dan menghasilkan dua sel. Sel-sel tersebut kemudian tumbuh dan
membelah diri menghasilkan empat sel. Selama kondisi memungkinkan, pertumbuhan dan
pembelahan sel berlangsung terus sampai sejumlah besar populasi sel terbentuk. Jika
jumlah sel dan sel yang terbentuk seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 3 terjadi, maka
sejumlah besar sel dapat terbentuk dalam waktu yang sangat singkat.
Waktu antara masing-masing pembelahan sel berbeda-beda tergantung dari spesies
dan kondisi lingkungannya, tetapi untuk kebanyakan bakteri waktu ini berkisar antara
10-60 menit. Tipe pertumbuhan yang cepat ini disebut pertumbuhan logaritmis atau
eksponensial karena bila log jumlah sel digambarkan terhadap waktu dalam grafik akan
menunjukkan garis lurus. Akan tetapi, pada kenyataannya tipe pertumbuhan eksponensial
ini tidak langsung terjadi pada saat sel dipindahkan ke media nutrien segar dan tidak
terjadi secara terus menerus. Biasanya hal ini hanya terjadi dalam satu fase yang singkat
dari pertumbuhan populasi mikroorganisme. Dikenal empat fase pertumbuhan selama
pertumbuhan populasi mikroorganisme yaitu fase lambat (lag phase), fase pertumbuhan
Fase tetap/stasioner
Log Jumlah Sel Fase menurun/kematian
Hidup
Fase logaritmik
1.3.3 Suhu
Suhu adalah salah satu faktor lingkungan terpenting yang mempengaruhi
kehidupan dan pertumbuhan organisme. Suhu dapat mempengaruhi mikroorganisme
dengan dua cara yang berlawanan.
1) Apabila suhu naik, kecepatan metabolisme naik dan pertumbuhan dipercepat.
Sebaliknya apabila suhu turun, kecepatan metabolisme juga turun dan
pertumbuhan diperlambat.
2) Apabila suhu naik atau turun, tingkat pertumbuhan mungkin terhenti, komponen
sel menjadi tidak aktif dan sel-sel dapat mati.
Berdasarkan hal di atas, beberapa hal sehubungan dengan suhu bagi setiap organisme
dapat digolongkan sebagai berikut ini.
Buku Ajar Higiene Makanan 17
1) Suhu minimum, di bawah suhu ini pertumbuhan mikroorganisme tidak terjadi lagi.
2) Suhu optimum, adalah suhu di mana pertumbuhan paling cepat.
3) Suhu maksimum, di atas suhu ini pertumbuhan mikroorganisme tak mungkin
terjadi.
Suhu optimum selalu lebih mendekati maksimum daripada minimum. Berdasarkan
hubungan antara suhu tersebut di atas, mikroorganisme dapat digolongkan menjadi
kelompok psikrofil, psikrotrof, mesofil, thermofil, dan thermotrof. Nilai suhu sehubungan
dengan kelompok ini seperti terlihat pada Tabel 4.
1.3.4 Nilai pH
Setiap organisme mempunyai kisaran nilai pH di mana pertumbuhan masih
memungkinkan dan masing-masing biasanya mempunyai pH optimum. Kebanyakan
mikroorganisme dapat tumbuh pada kisaran ph 6,0 – 8,0 dan nilai pH di luar kisaran 2,0
sampai 10,0 biasanya bersifat merusak. Beberapa mikroorganisme dalam bahan pangan
tertentu seperti khamir dan bakteri asam laktat tumbuh dengan baik pada kisaran nilai pH
3,0 – 6,0 dan sering disebut sebagai mikroorganisme asidofil.
Makanan yang mempunyai pH rendah (di bawah 4,5) biasanya tidak dapat
ditumbuhi oleh bakteri, tetapi dapat menjadi rusak oleh oleh pertumbuhan khamir dan
kapang. Oleh karena itu, makanan yang mempunyai pH rendah relatif lebih tahan selama
penyimpanan jika dibandingkan dengan makanan yang mempunyai pH netral atau
mendekati netral.
Penggolongan makanan berdasarkan pH nya dapat dikatagorikan sebagai berikut :
1. makanan berasam rendah, yaitu makanan yang mempunyai pH di atas 5,3 seperti
daging, ikan, dan susu,
2. makanan berasam sedang, yaitu makanan yang mempunyai pH 5,3 sampai di atas
4,5, misalnya bayam, asparagus, bit, dan waluh kuning,
3. makanan asam, yaitu makanan yang mempunyai pH 4,5 sampai diatas 3,7
misalnya tomat, pear, dan nenas, dan
4. makanan berasam tinggi, yaitu makanan yang yang mempunyai pH 3,7 atau
kurang, misalnya buah beries dan acar-acaran.
1.3.8 Radiasi
Sinar ultraviolet dengan panjang gelombang tertentu dan radiasi ionisasi seperti
sinar X dan sinar gamma dapat dengan mudah terserap oleh sel mikroorganisme. Sinar-
sinar tersebut dapat menggangu metabolisme sel dan umumnya dapat cepat mematikan.
Secara umum daging yang membentuk tubuh ternak tersusun oleh tiga tipe
jaringan, yaitu jaringan otot, jaringan ikat fibrous, dan jaringan lemak. Ketiga tipe
jaringan tersebut tersusun oleh sel-sel di dalam matriks yang mengandung serabut. Otot
dan jaringan ikat merupakan komponen utama dari karkas ternak pedaging, sehingga otot
dan jaringan ikat merupakan penyusun sekaligus penentu kualitas daging. Karena
pentingnya informasi tentang otot dan jaringan ikat sebagai komponen utama dan penentu
kualitas daging, maka struktur fibrus, komposisi protein dan sifat-sifat otot, khususnya
otot rangka, perlu diuraikan secukupnya.
Gambar 2. Penampang Lintang Otot Rangka (Forrest et al., 1975 dalam Soeparno, 2005)
Gambar 3. Serabut (sel) otot (Forrest et al., 1975 dalam Soeparno, 2005)
Sumber : Forrest et al. (1975); Lawrie (1979): Judge et al. (1989) dalam Soeparno (2005).
2.2.3 Kolesterol
Kolesterol adalah salah satu komponen lemak yang bila terkandung dalam darah
dengan jumlah yang tinggi dapat meningkatkan risiko penyakit jantung. Kadar kolesterol
dalam daging tidak berhubungan dengan kadar kolesterol dalam darah pada individu yang
normal. Kolesterol sebenarnya disintesis oleh tubuh pada kadar 600-1500 mg per hari.
Namun apabila sejumlah kolesterol telah dikonsumsi (berasal dari luar tubuh),
mengakibatkan jumlah kolesterol yang disentesis oleh tubuh akan menurun. Sekalipun
demikian, direkomendasikan untuk mengkonsumsi kolesterol tidak lebih dari 300 mg per
hari. Diketahui bahwa daging sapi mengandung 81-106 mg/100 g daging, daging babi
(bacon), hanya 58 mg /100 g masak oven atau 85mg /100 g daging masak goreng.
Buku Ajar Higiene Makanan 27
Daging domba bagian paha depan mengandung kolesterol sekitar 119-124
mg/100g, bagian bahu 96mg/100g, shank depan 102-106 mg/100g, paha bagian belakang
78-100mg/100g dan daging rusuk 83-92 mg/100g. Untuk daging domba masak
diperkirakan kandungan kolesterolnya berkisar antara 152-182 mg/100g untuk daging
bahu, sedangkan loin 148-192 mg/10g, rusuk 128-142 mg/100g dan sirloin 153-186
mg/100g. Daging ayam mengandung 75-89 mg/100 g pada bagian dada, 90-94 mg/100g
untuk paha berkulit, dan 85-93 mg/10g untuk paha tanpa kulit. Daging itik mengandung
kolesterol 84-89 mg/100g dan daging kalkun 69-89 mg/100g. Daging ikan mengandung
kolesterol 42-81 mg/100g, kepiting 100-150 mg/100g dan udang 177-195 mg/100g (NRC,
1988).
Konsumsi kalori yang tinggi sering dihubungkan dengan kegemukan, sedangkan
faktor kegemukan, stress, dan ketidakaktifan dapat berkaitan dengan penyakit jantung.
Setiap 100g daging masak hanya mengandung sekitar 15-230 kalori atau sekitar 8-12%
dari 2000 kalori dalam makanan.
Daging mengandung sejumlah besar asam lemak esensial bagi manusia, yakni
asam lemak linoleat, arakidonat, dan mungkin lenolenat, dan kebutuhan akan asam lemak
esensial relatif sangat sedikit yang sudah dapat dipenuhi oleh lemak intramuskular
(marbling)
Kualitas karkas dan daging dipengaruhi oleh faktor sebelum dan sesudah
pemotongan. Faktor sebelum pemotongan yang dapat mempengaruhi kualitas daging
antara lain adalah genetik, spesies, bangsa, tipe ternak, jenis kelamin, umur, pakan
termasuk bahan aditif (hormon, antibiotika, dan mineral), dan stres. Faktor setelah
pemotongan yang mempengaruhi kualitas daging antara lain metode pelayuan, stimulasi
listrik, metode pemasakan, pH karkas dan daging, bahan tambahan termasuk enzim
pengempuk daging, hormon dan antibiotika, lemak intramuskular atau marbling, metode
penyimpanan dan preservasi, macam otot daging, dan lokasi otot pada suatu otot daging.
Pada dasarnya, kualitas karkas adalah nilai karkas yang dihasilkan oleh ternak dan
bersifat relatif terhadap suatu kondisi pemasaran. Faktor yang menentukan nilai karkas
meliputi berat karkas, jumlah daging yang dihasilkan, dan kualitas daging dari karkas yang
bersangkutan.
Faktor kualitas daging yang dimakan terutama meliputi warna, keempukan dan
tekstur, flavor dan aroma termasuk bau dan cita rasa serta juiciness dari daging. Di
samping itu, lemak intramuskular, susut masak (cooking loss) yaitu berat sampel daging
yang hilang selama pemasakan atau pemanasan, retensi cairan, dan pH daging ikut
menentukan kualitas daging (Soeparno, 2005). Dalam pengujian kualitas daging,
digunakan sampel dengan memperhatikan macam otot, dan penyiapan sampel. Uji fisik
obyektif daging meliputi : uji daya putus Warner-Bratzler (WB) adesi, kekuatan tarik,
kompresi, dan teknik penyiapan sampel. Faktor daya putus WB dipengaruhi oleh
pelayuan, pemasakan, umur, dan bangsa ternak. Nilai WB adalah indeks kealotan
miofibril. Adhesi adalah indeks kekuatan jaringan ikat, kekuatan tarik, identitas
keempukan/kealotan daging. Faktor kekuatan tarik antara lain meliputi pelayuan, pH dan
pemasakan. Kompresi merupakan indikasi keempukan daging. Susut masak berhubungan
dengan keempukan daging.
c. Jenis molekul mioglobin dan keadaan fisik serta kimiawi komponen yang ada
pada daging
Warna daging dapat berubah akibat bereaksinya pigmen dengan beberapa
bahan. Dalam hal ini, kemampuan pigmen daging untuk mengikat molekul lain
tergantung pada status kimiawi ion besi yang terdapat pada cincin heme. Fe dapat
dalam bentuk reduksi atau oksidasi. Dalam bentuk fero, Fe dapat bereaksi dengan
gas seperti oksigen dan nitrit oksida.
2+ 3+
Jika ion ferro (Fe ) dioksidasi menjadi ion ferri (Fe ), maka ion besi ini
akan sulit untuk mengikat molekul lain, termasuk molekul oksigen. Jika ion ferro
2+
(Fe ) direduksi, maka ion ini akan mudah sekali bersatu dengan air seperti yang
terjadi pada daging yang belum disayat atau jika bersatu dengan oksigen akan
terlihat seperti daging yang sudah berhubungan dengan udara dalam beberapa saat.
Jika oksigen yang tersedia terbatas jumlahnya atau kemampuannya
mengikat oksigen hilang (karena globin rusak), maka akan terjadi oksidasi ion
ferro menjadi ion ferri sehingga warna daging menjadi coklat (dikenal dengan
istilah met mioglobin).
Jika oksigen yang tersedia cukup (karena cukup berhubungan dengan
udara), maka ion ferro akan berikatan langsung dengan oksigen sehingga terjadi
senyawa oksimioglobin yang sangat penting perannya dalam membentuk warna
merah daging yang disukai konsumen. Pigmen ini umumnya terdapat pada bagian
permukaan daging yang biasanya terbentuk 30-45 menit setelah daging diangin-
anginkan.
Selama daging tidak dimasak, pigmen oksimioglobin masih bisa terdapat
pada bagian dalam daging. Hal ini terjadi karena enzim sitokrom pada daging
masih berfungsi sehingga dapat bereaksi dengan oksigen yang berasal dari
permukaan daging. Pada daging yang dimasak, pigmen yang berperan adalah
globin haemikhromogen yang memberi aspek merah cerah. Secara alami
temperatur pemanasan mempengaruhi tingkat perubahan pigmen, sehingga daging
sapi yang dimasak sampai temperatur 60-700C berwarna merah muda dan pada
temperatur 70-800C akan tampak berwarna coklat kehijauan.
Buku Ajar Higiene Makanan 38
Denaturasi globin dan reduksi inti hematin terjadi jika mioglobin dibuka,
secara serentak terhadap H2S dan oksigen sehingga terbentuk sulfmioglobin yang
berwarna hijau atau bereaksi dengan H2O atau asam askorbat atau bahan-bahan
pereduksi lainnya yang akhirnya membentuk kholeglobin yang memberi warna
hijau. Hal ini juga terjadi karena terjadinya pertumbuhan mikroorganisme tertentu.
Daging yang berisi senyawa oksimioglobin lebih stabil (tidak mudah
teroksidasi) jika dibandingkan dengan daging yang dalam bentuk tereduksi. Oleh
karenanya, jika kita ingin mendapatkan daging yang disenangi konsumen
(berwarna ungu atau merah), maka perlu diberikan perlakuan yang cukup dengan
cara mengangin-anginkan daging atau membungkusnya dengan bahan yang kedap
udara (vakum).
Skema perubahan warna daging tersaji pada Gambar 5.
Oksigenasi ( + O2)
Myoglobin (Fe 2+) Oksimyoglobin (Fe 2+)
Merah Keunguan Merah Cerah
Oksidasi (-O2)
Chelomyoglobin
Hijau
Sulfmyoglobin
Hijau
Oksidasi
Porfirin Kuning
Oksidasi Coklat, tak berwarna
DIA dipengaruhi oleh pH. DIA menurun dari pH tinggi sekitar 7-10 sampai pada
pH titik isoelektrik protein daging 5,0-5,1. Pada pH isoelektrik ini, protein daging tidak
bermuatan (jumlah muatan positif sama dengan jumlah muatan negatif) dan solubilitasnya
minimal. Bila pH di atas titik isoelektrik, sejumlah muatan positif akan dibebaskan dan
berakibat terjadinya surplus muatan negatif. Sebagai akibatnya akan terjadi penolakan
dari miofilamen, sehingga terbentuk banyak ruang untuk molekul air, yang berakibat pada
meningkatnya DIA. Demikian pula, bila pH di bawah titik isoelektrik protein daging,
karena akses muatan positif, akan terjadi penolakan miofilamen dan terbentuk ruang yang
banyak bagi molekul air. Gambaran pengaruh pH terhadap DIA / WHC dari daging tersaji
pada Gambar 6.
Meningkatkan
WHC
3.1.3 pH Daging.
pH awal diukur pada awal pengukuran setelah pemotongan sampai 45 menit dan
pH akhir (ultimat) kira-kira setelah 24 jam; pH normal daging adalah 5,4 – 5,8. Faktor
yang berpengaruh terhadap pH daging di antaranya: stress sebelum pemotongan, injeksi
hormon/obat-obatan, spesies, individu ternak dan macam otot, stimulasi listrik, aktivitas
enzim, dan terjadinya glikolisis.
4.2 Efek Stres dan Luka terhadap Kualitas Daging dan Produk Sampingan
Stres adalah kondisi yang mengancam integritas ternak, dan dapat disebabkan oleh
faktor lingkungan sebelum pemotongan (stres prepemotongan) yang berinteraksi dengan
faktor biologis yaitu kemudahan terkena stres atau resisten terhadap stres. Faktor stres
sebelum pemotongan seperti nutrisi, iklim atau temperatur dingin dan fluktuasi
temperatur, kelembaban, ketakutan, terluka, kelelahan atau gerakan berlebiha, stimulasi
listrik, injeksi adrenalin, dan pemuasaan dapat mengubah metabolisme postmortem.
Respon jaringan terhadap stres tergantung pada kemampuan ternak mengatasi stres dan
mekanisme mempertahankan homeostasis. Respon terhadap stres berbeda di antara
spesies, dan di antara individu ternak pada spesies yang sama.
Buku Ajar Higiene Makanan 45
4.2.1 Kualitas Daging
Energi yang dibutuhkan untuk aktivitas otot pada hewan / ternak hidup didapat dari
gula (glikogen) yang terdapat pada otot. Pada binatang yang sehat dan cukup istirahatnya,
kandungan glikogen pada ototnya sangat tinggi. Sesudah hewan dipotong atau dijagal,
kandungan glikogen dalam otot berubah menjadi asam laktat .
Asam laktat dibutuhkan dalam pembentukan daging, dalam hal ini daging menjadi
lezat dan empuk, sehingga kualitas daging menjadi baik dan memiliki warna yang baik
juga. Bilamana hewan stres sebelum dan selama penjagalan, maka jumlah glikogen dalam
otot akan berkurang sehingga tingkat asam laktat yang berkembang pada daging menjadi
berkurang sesudah penjagalan. Hal ini akan mengurangi kualitas daging.
Daging Pucat Lembek dan Berair (Pale Soft Exudative (PSE) Meat)
PSE pada babi disebabkan oleh stres singkat beberapa saat sebelum penjagalan,
sebagai contoh selama penurunan/bongkar muat, penangkapan, pengurungan, dan proses
pemingsanan.
Dalam hal ini, hewan mengalami kegelisahan dan ketakutan yang tinggi yang
disebabkan oleh penanganan yang kurang baik, perkelahian pada pengurungan, dan teknik
pemingsanan yang buruk. Semuanya itu dapat mengakibatkan proses biokimia khususnya
pada glikogen otot terjadi penurunan secara drastis dan daging menjadi sangat pucat
(Gambar 7), sebagai akibat dari rendahnya tingkat keasaman daging (tingkat keasaman
5,4 – 5,6 sesudah penjagalan) dan aroma yang buruk. Membiarkan babi-babi beristirahat
selama satu jam sebelum dijagal dan penanganan yang baik akan sangat mengurangi risiko
PSE.
Daging Gelap Keras dan Kering (Dark Firm and Dry (DFD) Meat)
Kondisi ini dapat ditemui pada daging sapi atau biri-biri dan kadang-kadang pada
daging babi dan burung unta sesaat sesudah penjagalan. Daging tampak lebih gelap dan
kering dari batas normal dan memiliki tekstur yang lebih keras. Glikogen otot banyak
hilang pada saat penangkapan, pengiriman dan saat sebelum dijagal. Sebagai akibatnya,
pada saat sesudah hewan dipotong, terdapat sedikit produksi asam laktat, yang
menyebabkan kondisi DFD pada daging (Gambar 7)
Gambar 7. Perbedaan Warna dan Teksur Daging PSE, Daging Bagus, dan Daging DFD
(Gradin, 2001)
Daging DFD ini berkualitas tidak baik karena memiliki rasa yang berkurang dan
berwarna gelap. Daging DFD tidak dapat diterima oleh para konsumen dan memiliki daya
tahan yang tidak lama untuk disimpan, karena memiliki tingkat keasaman (pH) tidak
normal yaitu berkisar antara 6,4 – 6,8. DFD pada daging bersumber dari ternak yang
mengalami stres, terluka, atau berpenyakit sebelum disembelih.
Jenis Kendaraan
Setiap kendaraan yang dipakai untuk mengirim hewan potong haruslah berventilasi
yang baik, memiliki lantai anti licin dengan selokan air yang baik dan peneduh terhadap
sinar matahari dan hujan, khususnya untuk babi.
Ventilasi
Kendaraan pengangkut harus tidak tertutup penuh, kekurangan ventilasi membuat
hewan stres bahkan mati lemas, khususnya bila udara panas. Sirkulasi udara yang buruk
dapat membuat terkumpulnya gas kendaraan sehingga dapat terjadi keracunan. Kendaraan
dengan ventilasi yang baik sangat penting untuk perputaran udara.
2. Kebanyakan hewan dapat diberi makan dan minum sebelum dikirim. Ini adalah efek
penenang. Akan tetapi, babi jangan diberi makan sebelum dikirim karena makanan
yang dimakan akan meragi / terfermentasi dan gas yang terbentuk akan
menyebabkan tekanan pada jantung sehingga dapat menimbulkan serangan jantung
dan berakhir dengan kematian.
3. Jangan mencampur hewan yang bertanduk dan tak bertanduk pada kendaraan yang
sama, karena hal ini bisa menyebabkan terjadinya memar atau luka. Spesies hewan
yang berbeda juga tidak boleh dicampur. Domba, kambing, dan sapi muda di bawah
6 bulan dapat dicampur. Babi tidak boleh dikirim dengan hewan jenis lain bila tidak
dipisahkan dengan penyekat. Kerbau tidak boleh dibawa bersama-sama dengan
ternak lain kalau tidak dipisahkan dengan penyekat yang kokoh.
4. Hewan yang berpenyakit, terluka, kurus, atau hamil tua tidak boleh dikirim.
Demikian juga halnya dengan hewan yang tidak sehat.
5. Kendaraan juga harus dilengkapi dengan lerengan yang dapat dilepas untuk
membantu menurunkan hewan dalam situasi yang tak diharapkan, seperti kerusakan
kendaraan yang terlalu lama di mana hewan tersebut harus diturunkan.
Waktu
Lingkungan dengan temperatur tinggi akan meningkatkan risiko stres terhadap
panas dan tingkat kematian selama perjalanan. Sangatlah penting untuk mengirim hewan
pada pagi atau sore yang sejuk atau bahkan bisa pada malam hari. Khususnya untuk babi,
kombinasi kelembaban dan suhu yang panas bisa mematikan babi dalam perjalanan.
Membasahi babi dengan air selama perjalanan akan sangat membantu mendinginkan
tubuh ternak.
Lama Perjalanan
Perjalanan ternak harus diusahakan singkat dan langsung, tanpa ada
pemberhentian. Jika kendaraan berhenti, babi cenderung untuk berkelahi. Sapi dan
domba/kambing tidak boleh melakukan perjalanan lebih dari 36 jam. Apabila lebih, maka
ternak tersebut harus diturunkan sesudah 24 jam untuk diberi makan dan minum. Babi
harus diberi kesempatan minum yang lebih sering selama perjalanan yang lama,
khususnya pada kondisi panas dan lembab.
Pemingsanan Hewan
Pemingsanan dengan pemukulan
Metode ini dilaksanakan dengan hentakan fisik pada otak hewan.
Captive Bolt
Metode ini bekerja seperti pinsip senapan yang menembakkan peluru kosong. Alat
ini mementalkan semacam baut pendek (dari batang besi) dari laras bedil. Tembakan baut
itu menghentakkan tulang otak, dan akan membuat hewan menjadi pingsan karena
rusaknya susunan saraf otak atau terjadinya memar pada otak. Cara penembakan baut ini
mungkin merupakan alat pemingsanan yang paling serbaguna karena bisa dan cocok
dipakai untuk sapi, babi, domba, dan kambing, di samping juga bisa digunakan untuk
kuda, dan onta, serta dapat dipakai di seluruh belahan dunia (walaupun pemingsan listrik
lebih baik dari pistol baut, untuk memingsankan babi dan domba). Biaya untuk
pemakaiannya sangat minim. Hal ini membuat alat ini sebagai suatu pilihan, khususnya di
negara-negara berkembang.
Gambar 9. Penempatan Senapan yang Benar untuk Pemingsanan Hewan yang Berbeda
Seperti Kuda, Sapi, Kambing, Domba dan Babi (Gradin, 2001)
A. Bagian bawah dikeluarkan dari bagian utama CBP untuk memasukkan pelurunya.
Gambar 10. Pemakaian Captive Pistol/Captive Bolt Pistol (CBP) (Gradin, 2001)
Untuk pemingsanan yang efisien, sangatlah penting bagi pemakai untuk dilatih
dengan baik dalam pemakaian bedil pemingsanan ini. Bilamana pemakai tak terlatih,
ketepatan pemingsanan akan berkurang; rotasi dua penembak sangat disarankan. Untuk
pemingsanan babi yang lebih besar, dibutuhkan peluru yang lebih kuat karena rongga
sinus pada tulang kepalanya juga lebih besar. Kerbau besar memiliki ujung bertulang
pada kepala depannya, dan membuat penembakan menjadi lebih susah. Namun,
penembakan seperti ini tidak sesuai untuk memingsankan burung onta, karena terlalu
kecilnya otak untuk cara ini.
Pemotongan
Pemotongan adalah salah satu bagian dari proses penjagalan di mana saluran darah
utama pada laher dipotong, yang membuat darah mengalir dari tubuh hewan sehingga
hewan menjadi mati. Pisau pemotong harus selalu diasah. Pisau tumpul akan
memperpanjang proses ini sebagai akibat ujung-ujung saluran darah tidak terpotong
dengan baik. Hal ini akan menyebabkan terjadinya penggumpalan darah yang dini dan
menyumbat saluran-saluran darah, sehingga menyebabkan terjadinya pelambatan
pendarahan dan memperpanjang masa menuju kematian. Proses pemotongan harus
dilakukan secara cepat dan tepat. Pada unggas, domba dan kambing, dan burung onta,
leher dipotong di sebelah rahang.
Buku Ajar Higiene Makanan 63
Cara standar untuk memotong sapi adalah dengan menusuk kulit di antara dada dan
geraham dengan potongan membujur sepanjang 30 cm. Selanjutnya, dengan alasan
higienis, pisau bersih harus dipakai dan dimasukkan dengan kemiringan 45° untuk
mencapai vena jugularis dan arteri carotis. Pada babi, tusukan membujur dibuat ke dalam
dada untuk mencapai urat-urat darah paling dalam.
Untuk semua tusukan, vena jugularis dan arteri carotis harus benar-benar
tertembus. Jika semua pembuluh darah tidak terpotong, pengeluaran darah mungkin belum
berakhir, yang menyebabkan penggumpalan darah dalam jaringan tubuh, sehingga dapat
mengakibatkan kerusakan pada daging secara cepat.
Waktu yang sesingkat mungkin dibutuhkan antara proses pemingsanan dan
pemotongan karena dua alasan berikut ini.
a. Kelambatan dalam pemotongan bisa mengakibatkan hewan sadar kembali,
khususnya bila hewan dipingsankan dengan cara elektrik. Sebagai contoh: unggas
yang dipingsankan dengan listrik akan sadarkan diri dalam waktu 1-3 menit.
Umumnya pemotongan unggas harus dilaksanakan dalam waktu 15 detik sesudah
pemingsanan. Untuk hewan lain interval antara pemingsanan dan pemotongan
harus dibuat sesingkat mungkin, biasanya dalam waktu di bawah satu menit.
b. Kelambatan dalam pemotongan akan mengakibatkan bertambahnya tekanan darah
sehingga jaringan darah akan rusak akibatnya terjadilah perdarahan yang meluas
(haemorrhagie) pada otot. Darah yang berlebihan pada jaringan tubuh ini akan
meningkatkan kerusakan pada daging.
1 2 3 4 5 6 24
Lampiran 1.
Hewan yang berdasarkan pemeriksaan ante-mortem, disembelih di bawah
pengawasan dokter hewan pada kasus penyakit :
1) Coryza gangraenosa bovum
2) Haemorrhagic septicemia
3) Piroplasmosis
4) Surra
5) Arthritis
6) Hernis
7) Fractura 13) Septicemia
8) Abses 14) Cachexia
9) Epithelimia 15) Hydrops
10) Actinomycosis 16) Oedema
11) Actinobacillosis 17) Brucellosis
12) Mastitis 18) Tubercullosis
6.1 Definisi
Beberapa istilah yang sering dijumpai terkait dengan ikhwal pemotongan hewan
untuk dikonsumsi dagingnya dan sering mengelirukan apabila tidak dipahami secara baik
dan benar, maka beberapa istilah penting tersebut seyogianya perlu disajikan secara
sistematis sehingga akan memudahkan dalam pemahamannya. Istilah-istilah tersebut
diantaranya:
1. Rumah Pemotongan Hewan (RPH)/ABATTOIR: Bangunan atau kompleks
bangunan yang dibuat menurut bagan tertentu, tempat penduduk di suatu kota atau
suatu daerah diharuskan untuk menyembelih ternaknya (sapi, kerbau, babi,
kambing/domba, dan kuda) dan mempersiapkan dagingnya menurut aturan tertentu
yang mengacu pada Codex Allimentarius Commission (CAC) dan Surat Keputusan
Menteri Pertanian RI No. 555/KPTS/TN.240/9/1986.
2. Rumah Pemotongan Unggas (RPU): Bangunan atau kompleks bangunan yang
dibuat menurut bagan tertentu, tempat penduduk di suatu kota atau suatu daerah
diharuskan untuk menyembelih ternaknya (ayam, itik, dan kalkun) dan
mempersiapkan dagingnya menurut aturan tertentu yang mengacu pada Codex
Allimentarius Commission (CAC) dan Surat Keputusan Menteri Pertanian RI
No. 557/KPTS/ TN.520/9/1987.
3. Tempat Penjualan Daging (TPD): Bangunan atau kompleks bangunan yang
dibuat menurut bagan tertentu untuk memproses produk ternak yang selanjutnya
dikemas menurut aturan tertentu.
4. RPH Darurat/Desa: Suatu RPH yang peralatan dan bangunannya amat minim,
terutama ditujukan untuk pemisahan bahan asal ternak yang dianggap bersih dan
tidak bersih, yang selanjutnya dipasarkan dalam keadaan masih segar atau segera
setelah selesai disembelih.
5. Pengawas RPH: Dokter Hewan sebagai Kepala Dinas Peternakan setempat, atau
petugas lain yang mewakilinya, yang diberi kewenangan untuk mengawasi segala
aspek dari pengadaan daging sehat dan utuh di dalam atau di luar RPH yang
berada di dalam wilayah kekuasaannya.
Buku Ajar Higiene Makanan 89
6. Penanggung jawab RPH: Dokter Hewan atau petugas lain yang mewakilinya,
yang diberi kewenangan untuk bertanggung jawab terhadap segala aspek untuk
pengadaan daging yang aman, sehat, utuh, dan halal (ASUH) di dalam RPH yang
dibawahkannya.
7. Pimpinan RPH: Seseorang yang bertanggung jawab secara teknis dan
organisatoris, dalam pengadaan daging yang aman, sehat, utuh, dan halal (ASUH)
di dalam RPH yang dipimpinnya.
8. Pajak Pemotongan: Pungutan uang dari pemotongan/ penyembelihan ternak
tanpa disertai imbalan jasa.
9. Retribusi Pemotongan: Pungutan uang dari pemotongan/ penyembelihan
ternak disertai imbalan jasa.
10. Ternak Potong: Sapi, kerbau, kuda, domba/kambing, dan babi, yang jika
dipotong/disembelih pemiliknya diharuskan membayar pajak pemotongan.
11. Pemotongan Darurat: Penyembelihan ternak akibat kecelakaan, sehingga
keadaannya mengkhawatirkan, sakit dan akan mati, serta dikhawatirkan akan
menimbulkan bahaya penularan kepada hewan lain atau manusia.
12. Penyembelih Ternak/ Jagal/ Kaum: Mereka yang menjalankan pekerjaan
memotong/menyembelih ternak dengan persyaratan yang telah ditetapkan menurut
agama dan memiliki sertifikat dari Majelis Ulama Indonesia (MUI).
13. Nomor Kontrol Veteriner (NKV): Nomor registrasi yang diterbitkan oleh
Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan untuk RPH/RPU/TPD yang telah
memenuhi persyaratan.
14. Pengikatan (Casting): Cara merobohkan ternak yang akan disembelih.
15. Pemingsanan (Stunning): Pemingsanan ternak secara fisik (dirusak otak
besarnya), kimiawi (dialiri gas CO2), elektrik (dialiri listrik) sebelum ternak
tersebut disembelih, asal tidak mati. Pemingsanan (masih dalam keadaan hidup)
sesuai Fatwa Majelis Ulama Indonesia (Fatwa MUI) tanggal 23 Oktober 1976.
16. Pemotongan Halal (Halal Slaughter): Penyembelihan ternak (kecuali babi)
menurut Syari’at Islam.
17. Pemanasan (Scalding): Suatu cara penanganan ternak yang telah disembelih
dengan dimasukkan ke dalam air panas (55-600C) supaya memudahkan
pengerokan rambut (babi) atau pencabutan bulu (ayam).
18. Effluent : Sisa hasil penyembelihan yang tidak digunakan lagi (limbah).
Rumah Pemotongan Hewan yang digunakan untuk memotong hewan guna memenuhi
kebutuhan akan daging antar Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II dalam satu
Buku Ajar Higiene Makanan 103
Propinsi Daerah Tingkat I harus memenuhi semua syarat yang telah disebutkan di atas,
dan syarat lain sebagai berikut ini.
a. Kompleks RPH dilengkapi dengan :
1. kandang istirahat berlantai semen;
2. laboratorium yang juga dapat dipergunakan untuk identifikasi kuman dengan
pemupukan;
3. tempat pemotongan darurat yang dilengkapi dengan ruang penahan daging;
dan
4. instalasi pengolah limbah yang berupa saringan untuk memisahkan
limbah/buangan padat secara fisik.
b. Tersedia tempat pelayuan dengan dinding bagian dalamnya dilapisi bahan
kedap air setinggi 2 meter dan dilengkapi dengan exhauster.
c. Rumah pemotongan Hewan harus dilengkapi juga dengan timbangan untuk karkas
serta rel-rel pengangkut karkas.
Rumah Pemotongan Hewan yang digunakan untuk memotong hewan guna memenuhi
kebutuhan daging antarpropinsi Daerah Tingkat I harus memenuhi semua syarat yang
telah disebutkan di atas, dan syarat lain sebagai berikut ini.
a. Kompleks RPH dilengkapi juga dengan :
1. laboratorium yang bisa digunakan untuk pemeriksaan residu antibiotika;
2. instalasi pengolah limbah dengan perlakuan secara fisik dan biologis (filtrasi,
aerasi, digesti anaerobik, dan sedimentasi);
3. tempat parkir kendaraan angkutan daging;
4.kandang istirahat berlantai semen dengan jarak minimal 50 meter dari bangunan
utama; dan
5. tempat untuk memperlakukan karkas/bahan yang ditolak berupa incenerator
dengan pembakar bertekanan yang memenuhi syarat kesehatan lingkungan
(dengan cerobong asap).
b. Terdapat ruang khusus dalam bangunan utama untuk tempat pencucian jeroan dan
tempat khusus untuk perebusan jeroan.
c. Terdapat ruang pelayuan dengan dinding yang seluruh bagian dalamnya dilapisi
porselin atau bahan lain yang sejenis dan dilengkapi dengan temperatur 180C.
d. Terdapat ruang pelepasan daging dari tulang dengan temperatur 180C.
e. Dinding bagian dalam dari bangunan utama RPH tertutup penuh dengan porselin.
f. Tersedia air panas untuk mencuci pisau dan alat penanganan lain.
Buku Ajar Higiene Makanan 104
g. Tersedia ruang untuk ganti pakaian karyawan.
h. Tersedianya kendaraan angkutan daging tanpa atau dengan alat pendingin yang
disesuaikan dengan jarak angkut.
Rumah Pemotongan Hewan yang digunakan untuk memotong hewan guna memenuhi
kebutuhan ekspor harus memenuhi syarat-syarat seperti yang telah disebutkan di atas serta
syarat-syarat lain sebagai berikut ini:
a. Tersedia ruang pendingin yang dilengkapi dengan pintu pengamanan dari bahan
tidak berkarat serta pengatur suhu.
b. Tersedia ruang pelepasan daging dari tulang dengan temperatur 100C.
c. Tersedia ruang pembungkusan, pewadahan, dan penandaan produk akhir.
d. Tersedia laboratorium yang juga dapat digunakan untuk pemeriksaan hormon.
e. Tersedia ruangan untuk ganti pakaian, locker, ruang istirahat karyawan, serta
kantin.
f. Tersedia kendaraan angkutan daging khusus yang harus dilengkapi dengan alat
pendingin atau pengatur suhu.
Usaha pemotongan hewan dapat dilaksanakan pada perorangan warga negara Indonesia
atau badan yang didirikan menurut hukum Indonesia.
Setiap orang yang melaksanakan usaha pemotongan hewan harus memperoleh izin usaha
dari :
a. Direktur Jenderal Peternakan, sepanjang mengenai usaha pemotongan hewan kelas
A dan kelas B;
b. Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, sepanjang mengenai usaha pemotongan hewan
kelas C; dan
c. Bupati / Walikotamadya, sepanjang mengenai usaha pemotongan hewan kelas D.
Izin usaha pemotongan hewan tidak dapat dipindah-pindahkan kepada orang lain/badan
lain tanpa persetujuan tertulis dari pemberi izin.
6.8 Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 557 / Kpts / TN.520 / 9 / 1987 Tentang
Syarat-Syarat Rumah Pemotongan Unggas dan Usaha Pemotongan Unggas
Rumah Pemotongan Unggas yang digunakan untuk memotong unggas guna memenuhi
kebutuhan ekspor harus memenuhi syarat-syarat seperti yang telah disebutkan di atas serta
syarat-syarat lain sebagai berikut.
a. Kompleks RPU harus dilengkapi dengan :
1. laboratorium yang juga dapat digunakan untuk pemeriksaan hormon, dan
2. ruang khusus untuk ganti pakaian, locker, ruang istirahat/ruang makan untuk
para karyawan.
b. Bangunan utama RPH harus dilengkapi dengan :
1. ruang pendingin karkas (pendingin kering),
2. alat penyedot udara untuk pengemasan,
3. alat pembeku cepat, dan
4. ruang pendingin (cold storage) yang dilengkapi dengan pintu pengaman yang terbuat
dari bahan yang tidak berkarat dan alat pengatur suhu.
c. Tersedia kendaraan pengangkut daging unggas dengan alat pendingin.
Setiap orang yang melaksanakan usaha pemotongan unggas harus memperoleh izin usaha
dari :
a. Direktur jenderal Peternakan, sepanjang mengenai usaha pemotongan unggas kelas
A dan kelas B.
b. Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, sepanjang mengenai usaha pemotongan
unggas kelas C.
c. Bupati atau Walikotamadya, sepanjang mengenai usaha pemotongan unggas kelas
D
Buku Ajar Higiene Makanan 113
Izin usaha pemotongan unggas tidak dapat dipindah-pindahkan kepada orang lain/badan
lain tanpa persetujuan tertulis dari pemberi izin.
6.9 Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 02 Tahun 2006 tentang
Baku Mutu Air Limbah bagi Kegiatan Rumah Pemotongan Hewan
Beberapa hal penting yang perlu diketahui dari Peraturan Menteri Negara
Lingkungan Hidup Nomor 02 Tahun 2006 tentang Baku Mutu Air Limbah bagi Kegiatan
Rumah Pemotongan Hewan adalah:
6.9.1 Ketentuan Umum
a. Air limbah RPH adalah sisa dari suatu usaha dan/ atau kegiatan RPH yang
berwujud cair.
b. Baku mutu air limbah bagi kegiatan RPH adalah ukuran batas atau kadar
maksimum unsur pencemar dan/atau jumlah pencemar yang ditenggang
keberadaannya dalam air limbah kegiatan RPH yang akan dibuang atau dilepas
ke media lingkungan.
Baku mutu air limbah dalam Peraturan Menteri ini berlaku untuk kegiatan RPH: sapi,
kerbau, babi, kuda, kambing, dan/ atau domba. Baku mutu ini ditetapkan dengan tujuan
untuk:
a. menjaga dan meningkatkan kualitas lingkungan hidup, dan
b. menurunkan beban pencemaran lingkungan melalui upaya pengendalian
pencemaran dari kegiatan RPH.
Menteri Negara
Lingkungan Hidup,
Ttd
Ir Rachmat Witoelar
Menteri Negara
Lingkungan Hidup,
Ttd
Ir Rachmat Witoelar
7.1 Pelayuan
Pelayuan adalah penanganan karkas dan daging segar sebelum mengalami
kerusakan mikrobial dengan cara penggantungan dan penyimpanan dalam waktu dan suhu
tertentu, di atas titik beku daging. Pelayuan sering disebut dengan istilah aging,
conditioning dan hanging. Chilling (-4oC – 1 oC) dapat dilakukan selama 24 jam pelayuan.
Karkas sapi perlu pelayuan, kambing, domba, dan babi tidak perlu karena proses rigor
mortis berlangsung relatif cepat.
Pelayuan menyebabkan terjadinya peningkatan keempukan. Pelayuan merupakan
bentuk fungsi dari temperatur. Batas mikrobia 105 CFU/cm2 akan menghasilkan karkas
atau daging layu yang baik. Selama 24-26 jam pertama, dominan terjadi proses glikolisis
postmortem, dan denaturasi proteolisis terjadi sebelum tercapainya pH akhir dari daging.
Enzim proteolitik menjadi aktif sehingga daya ikat air oleh protein (WHC) akan
meningkat. Di samping itu, warna merah daging dapat berubah menjadi coklat.
Penurunan pH dan proses glikolisis otot dapat berhubungan dengan asam laktat
yang terbentuk. pH akhir tercapai akibat glikogen otot habis atau pH cukup rendah sampai
glikolisis terhenti, dan pH normal daging setelah proses glikolisis adalah 5,3 – 5,9.
Faktor pH, faktor intrinsik (spesies, tipe otot, glikogen, dan variasi ternak) dan
faktor ekstrinsik termasuk temperatur lingkungan, bahan aditif, dan stres, akan
mempengaruhi pH daging. Efek penurunan pH yang cepat dan ekstensif adalah warna
daging menjadi pucat, daya ikat air dari protein daging yang rendah dan permukaan
daging terlihat lembab dan basah (drip). Nilai pH yang tinggi menyebabkan daging
berwarna gelap, permukaan daging terlihat kering dan cairan daging terikat sangat kuat.
b. Urutan (Sosis)
Bahan baku pembuatan urutan atau sosis adalah daging dan lemak babi ataupun
sapi, dan usus babi sebagai selongsong. Perbandingan antara daging dan lemak dalam
pembuatan sosis adalah 1:1 atau 1:2 atau 2:1 tergantung dari permintaan konsumen.
Bumbu-bumbu yang digunakan berupa ketumbar, merica, jahe, kencur, kunir, kemiri,
bawang putih, cabe, dan garam dapur. Penggaraman yang dilihat dalam pembuatan sosis,
merupakan pengawetan daging dengan cara pengurangan mikroorganisme. Apabila garam
yang ada dalam sosis cukup, maka sistem air yang dibutuhkan untuk pertumbuhan
mikroorganisme menjadi tidak tersedia. Kandungan nitrat pada produk ini akan tereduksi
oleh fermentasi bakteri menjadi nitrit dan selanjutnya berubah menjadi oksida nitrit di
mana hasil oksidasi ini akan mampu menghambat pertumbuhan, bahkan menghentikan
pertumbuhan Clostridium. Proses penjemuran urutan (sosis) memakan waktu 4-7 hari,
sehingga material menjadi lebih kering akibat terjadinya penguapan air. Adanya hasil
fermentasi mikroorganisme pada sosis oleh mikroorganisme Lactobacillus, Pediococcus
atau campuran Micrococcus / Lactobacillus akan dapat menurunkan pH sosis dari 5,8 –
6,2 menjadi 4,8 – 5,3. Urutan yang baik tahan 6-10 minggu.
c. Buntilan / Bebontot
Bahan baku buntilan / bebontot adalah daging sapi atau daging babi. Bumbunya
terdiri atas ketumbar, merica, jahe, kencur, kunir, kemiri, bawang putih, cabe, dan garam
dapur. Bebontot dijemur selama 6-7 hari. Buntilan dapat tahan selama 4-6 minggu.
e. Kerupuk
Bahan kerupuk biasanya berupa kulit babi, sapi, ayam, kerbau, dan kini sering juga
digunakan bahan dari cakar ayam. Kulit babi, sapi, ayam, dan kerbau terlebih dahulu
direbus, yang disertai dengan campuran bahan pemekar seperti kapur, dan natrium
bikarbonat. Garam dapur biasanya dicampur secara merata setelah proses perebusan.
Kerupuk karena keadaannya sangat garing, mempunyai daya simpan yang lama, yaitu
antara 6-9 bulan.
Tabel 13. Lamanya Waktu yang Dibutuhkan Bagi Bakteri Pembentuk Lendir untuk
Tumbuh pada Permukaan Daging Basah (Buckle et al., 1987)
Suhu (0C) Waktu (hari)
0 10
1 7
3 4
5 3
10 2
16 1
Penyimpanan daging dingin sebaiknya dibatasi dalam waktu yang relatif singkat,
karena adanya kerusakan daging yang meningkat sesuai dengan lama dan waktu
penyimpanan. Faktor yang mempengaruhi lama simpan daging dingin (refrigerasi) antara
lain: jumlah mikroba awal, temperatur dan kelembaban selama penyimpanan, ada
tidaknya pelindung (misalnya lemak atau kulit), daging spesies ternak dalam ruang
pendingin, dan tipe produk yang disimpan.
b. Pembekuan
Laju pembekuan ada dua macam, yaitu pembekuan lambat, dan pembekuan cepat.
Waktu yang diperlukan untuk melewati temperatur 00C sampai (-50C) biasanya
digunakan sebagai petunjuk kecepatan pembekuan. Beberapa metode pembekuan daging
yang dapat digunakan diantaranya : (1) udara diam, (2) pembekuan plat, (3) pembekuan
cepat, (4) pencelupan ke dalam cairan atau pemercikan cairan pembeku, dan (5)
pembekuan kriogenik.
Metode udara diam, menggunakan udara sebagai medium transfer panas serta
tergantung pada konveksi, sehingga daging membeku secara lambat. Temperatur
pembekuan bervariasi antara –100C sampai –300C.
Pembekuan plat menggunakan logam sebagai medium yang mentransferkan panas.
Daging yang dibekukan berkontak langsung dengan plat pembeku. Temperatur pembeku
berkisar antara –200C sampai –300C. Kecepatan pembekuan tergantung pada konduksi
transfer panas, dan pembekuan berjalan lebih cepat daripada metode udara diam.
c. Pengeringan
Asal mula pengeringan daging untuk pengawetan telah diketahui 500 tahun yang
lalu di Mesir dalam pembuatan mummi. Pengurangan kadar air pada daging dapat
menghambat pertumbuhan dan perkembangbiakan atau membunuh mikrofloranya.
Jumlah panas yang dipergunakan pada preservasi daging atau daging proses ada
dua macam, yaitu: pemanasan sedang atau moderat, yaitu pemanasan pada temperatur
580C sampai 750C, dan pemanasan pada temperatur tinggi, biasanya lebih tinggi daripada
1000C. Perlakuan dengan pemanasan moderat dikenal dengan istilah pasteurisasi.
Pasteurisasi memperpanjang masa simpan daging, tetapi masih memerlukan refrigerasi.
Pemanasan di atas 1000C dikenal dengan istilah sterilisasi. Namun sterilisasi dapat
mengakibatkan terjadinya kerusakan pada tiamin (vit. B1) dan asam askorbat (vit. C)
sehingga nilai nutrisi daging lebih rendah daripada daging segar.
Resistensi dan ketahanan sel dan spora mikroorganisme terhadap panas berbeda
diantara mikroorganisme. Resistensi panas dari mikroorganisme pada umumnya
dinyatakan sebagai “waktu kematian termal” atau lazim disebut “thermal death time
(TDT)”, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk membunuh sejumlah sel dan spora tertentu
pada kondisi spesifik tertentu (temperatur, jumlah dan tipe mikroorganisme, serta
karakteristik medium pemanasan). TDT pada temperatur 1210C telah digunakan sebagai
referens sterilitas dan dinyatakan sebagai Fo (F = Fahrenheit). Untuk Clostridium
botulinum, nilai Fo nya 2,45 – 2,8 menit. Untuk proses pemanasan yang mempunyai Fo =
5, pengaruh lethal terhadap populasi bakteri yang terjadi pada temperatur 1210C adalah
dalam waktu 5 menit.
Pemanasan pada temperatur tinggi dalam waktu yang singkat akan mengurangi
kerusakan organoleptik dan kualitas nutrisi daging jika dibandingkan dengan pemanasan
pada temperatur yang lebih rendah dalam waktu yang lebih lama.
Pada teknologi modern pengawetan daging, pengeringan dapat dilakukan dengan
udara panas dan pengeringan lewat pembekuan (freeze-dried).
Buku Ajar Higiene Makanan 126
A. Pengeringan daging dengan udara panas
Daging giling yang telah dimasak dikeringkan dengan menggunakan aliran udara
panas bersuhu sekitar 700C. Dengan cara ini, kadar air daging kering menjadi
5,6% dan kadar lemak 24,4%. Daging kering ini mempunyai daya simpan antara
8-10 bulan.
Kadar nitrit yang diizinkan pada produk akhir daging proses adalah 200 ppm dan
maksimal 500 ppm. Nitrit bersifat toksik bila dikonsumsi dalam jumlah yang berlebihan.
Dosis nitrit yang lebih dari 15–20 mg/kg berat badan bisa menyebabkan kematian. Produk
cured meat biasanya mengandung nitrit 20–40 kali lebih rendah daripada dosis lethal ini,
sehingga masalah toksisitas nitrit dapat diabaikan bila penambahannya sesuai dengan
standar.
Bahan baku daging yang sering digunakan dalam pembuatan kuring adalah daging
babi, sapi, kalkun., ayam, dan itik. Komponen kuring lainnya berupa garam dapur, natrium
nitrit, gula, kadang-kadang ditambah bumbu-bumbuan. Ion nitrit (NO2-) akan bereduksi
menjadi ion nitrit oksida (NO-) yang akan bereakasi dengan pigmen mioglobin daging
menjadi nitromioglobin yang berwarna merah cerah yang stabil. Ion nitrit juga bereaksi
dengan serat daging yang akan memberikan citarasa yang khas.
Setelah proses kuring, maka daging diasapi. Asap kayu mengandung unsur-unsur
pengawet yaitu: asam format, asam asetat, fenol, aseton, aldehid, kreosot, guaiakol, dan
yang lainnya. Komponen formaldehid dari pengasapan dapat menghambat
perkembangbiakan mikroba, komponen fenol bersifat antioksidan yang menghambat
proses ketengikan. Lebih lanjut, pengasapan akan memberikan citarasa khas, serta
membuat warna permukaan daging menjadi coklat kemerahan, yang merupakan warna
e. Pengalengan
Urutan pekerjaan dalam proses pengalengan yaitu :
1. pemilihan bahan dan penyiapan awal,
2. pemanasan awal (blanching),
3. pengisian kaleng,
4. pengeluaran udara (exhausting,)
5. penyegelan kaleng,
6. sterilisasi komersial,
7. pendinginan kaleng,
8. pencucian kaleng,
9. pemberian label, dan
10. pengepakan .
5. Penyegelan Kaleng
Dalam kondisi mendekati hampa udara, kaleng ditutup dan disegel secara
permanen dengan alat penutup kaleng (can closer) sehingga terjadi lipatan ganda antara
tutup dengan badan kaleng (double seaming)
6. Sterilisasi Komersial
Sterilisasi komersial adalah pemanasan akhir dari kaleng yang sudah terisi dan
sudah disegel. Intensitas sterilisasi komersial diatur agar mampu membunuh spora
Clostridium botulinum tanpa merusak bahan pangan isi kaleng tersebut. Sterilisasi
komersial biasanya dilakukan dalam autoklaf dengan suhu 115 – 1210C, selama 30-76
menit tergantung dari besar kecilnya kaleng.
7. Pendinginan Kaleng
Pendinginan kaleng dilakukan dengan cara semprotan air, sehingga tekanan dalam
kaleng yang tinggi akibat pemanasan dapat diturunkan. Air pendingin sedapat mungkin
f. Radiasi Ion
Metode preservasi daging dengan radiasi pada umumnya menggunakan radiasi
mengion terhadap produk. Radiasi mengion adalah radiasi yang mempunyai energi dan
cukup untuk melepaskan elektron dari atom, serta menghasilkan ion. Tipe radiasi mengion
yang banyak digunakan adalah sinar katoda energi tinggi (elektron berkecepatan tinggi
yang dihasilkan oleh generator elektron), atau sinar X yang dihasilkan oleh elektron yang
mengenai target logam berat, dan sinar gamma dari sumber radioaktif seperti Co60 .
Radiasi mengion dapat membunuh mikroorganisme pada dan dalam daging,
sehingga disebut sebagai sterilisasi dingin. Jumlah energi radiasi yang diabsorpsi oleh
produk daging yang sedang diiradiasi dinyatakan dengan unit rad (satu juta rad = satu
mega rad, kira-kira sama dengan 2 kalori).
Radiasi mengion menyebabkan perubahan kimia, fisik, dan organoleptik daging,
termasuk diskolorasi. Misalnya, dosis 5 Mrad dapat menyebabkan protein daging
kehilangan daya ikat airnya. Iradiasi bisa menyebabkan mioglobin daging sapi
dikonversikan menjadi metmioglobin. Radiasi mengion juga menyebabkan perubahan
lemak, yaitu ransiditas oksidatif. Iradiasi dapat mengubah tekstur daging menjadi lebih
Buku Ajar Higiene Makanan 131
empuk. Selama penyimpanan, enzim dalam daging dapat mengubah flavor dan tekstur,
sehingga iradiasi daging untuk penyimpanan lama harus dipanaskan agar enzim menjadi
tidak aktif, misalnya pada temperatur 710C.
Jenis radiasi ion untuk pengewetan bahan pangan adalah sinar katoda energi tinggi
atau sinar X lembut dari generator, dan sinar gamma dari unsur radioaktif (mempunyai
Co60). Radiasi yang digunakan hendaknya tak lebih dari 9 µeV agar tidak timbul radioaktif
dari unsur-unsur tertentu dalam daging.
Sinar katoda dan sinar-X digunakan untuk membunuh mikroba pada permukaan,
sedangkan sinar gamma untuk perlakuan yang menembus jaringan. Radiasi ion sangat
efektif membunuh bakteri, daging tak mengalami perubahan kimia, dan dapat
diaplikasikan sekalipun daging telah dibungkus dengan kertas, plastik, maupun logam.
Dosis untuk sterilisasi daging diperlukan 4,5 µ rad. Dengan dosis ini, maka
seluruh mikroba termasuk spora C. botulinum akan terbunuh. Komoditi yang biasa
diberikan radiasi ion adalah daging sapi, dan daging babi segar, ham, bacon, dan karkas
ayam.
8.3 Peraturan Daerah Bali Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemotongan Ternak
Potong
Peraturan ini pada dasarnya serupa dengan peraturan daerah lain di Indonesia
tentang pemotongan ternak potong, hanya terdapat sedikit variasi yang disesuaikan dengan
situasi dan kondisi setempat. Perda Bali No.5 tahun 1974 terdiri atas 13 Bab dan 47 pasal.
Dalam ketentuan umum, dijelaskan beberapa definisi sebagai berikut ini.
Jagal adalah mereka yang menjalankan pekerjaan memotong ternak potong,
mengerjakan daging, dan menjual daging.
Ternak potong adalah sapi, kerbau, kuda, kambing, domba, dan babi.
Daging adalah ternak potong yang telah disembelih atau bagian-bagiannya
kecuali tanduk, kuku, dan kulit (kecuali kulit babi).
Rumah Potong Umum dan Rumah Potong Swasta diusahakan oleh pemerintah
daerah Tingkat II setelah mendapat pertimbangan dari dokter hewan. Daerah
pemotongannya sampai dengan radius 5 kilometer. Tata tertib pemakaian rumah potong
ditetapkan oleh Bupati Kepala Daerah Tingkat II dengan pertimbangan teknis dokter
hewan.
Juru daging dan petugas teknis lainnya yang ditunjuk bertanggung jawab atas
pekerjaan sehari-hari Rumah Potong Umum :
1. diangkat dan diberhentikan oleh kepala daerah atas pertimbangan dokter hewan;
Ternak potong yang akan disembelih harus dibawa ke Rumah Potong Umum
sehari sebelumnya, dan diperiksa oleh juru daging. Pemeriksaan meliputi biaya potong,
kesehatan hewan, dan kegunaannya. Ternak yang baik untuk dipotong diberi cap “P”.
Pemerintah melarang pemotongan hewan yang telah ditolak atau membawa hewan
tersebut keluar dari Rumah Potong Umum dan juga menunjuk dokter hewan/pegawai
teknis untuk menentukan apakah seekor ternak boleh dipotong atau tidak. Dokter
hewan/petugas teknis memberi surat ‘KIR’ untuk memotong ternak yang telah diberi cap
‘P’ yang hanya berlaku 2x24 jam. Juru daging/petugas teknis bertugas mencatat banyak,
macam, dan jenis kelamin ternak yang akan dipotong. Pemeriksaan ante-mortem
dilakukan setiap hari mulai matahari terbit sampai terbenam.
Setelah disembelih, ternak potong tersebut diperiksa lagi (pemeriksaan post-
mortem). Adapun perlakuan terhadap ternak yang telah dipotong meliputi:
1. digantung pada alat-alat yang disediakan menurut petunjuk dokter hewan;
2. dibelah memanjang, tetapi kedua bagiannya masih bergandengan; dan
3. organ-organ tubuh rongga dada, rongga perut dan pinggul, kecuali ginjal
dikeluarkan.
Pekerjaan membersihkan daging dan lain-lain dilarang dilakukan di ruang lain dari
ruang yang telah disediakan. Juru daging mempunyai tugas memeriksa ternak potong dan
daging serta dapat menentukan kondisi ternak potong apakah baik atau tidak. Jika
menemukan perubahan, juru daging minta kepada dokter hewan untuk melakukan
pemeriksaan selanjutnya.
8.4 Instruksi Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertanian Nomor 18/1979
dan Nomor 5/1979 tentang Pencegahan dan Larangan Pemotongan Ternak
Sapi/Kerbau Betina Bunting dan atau Sapi/Kerbau Betina Bibit
Inti materi Instruksi Bersama ini merupakan penegasan hal-hal yang terkandung
dalam Staatblad Nomor 614 tahun 1936. Penegasan ini dianggap penting karena terjadi
kecenderungan penurunan populasi ternak sapi/kerbau akhir-akhir ini. Di samping itu,
terdapat fakta bahwa para jagal cenderung untuk memotong sapi/kerbau betina karena
Petunjuk teknis Instruksi Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertanian
adalah seperti berikut ini.
1. Tempat Pemotongan :
Pemotongan hewan betina ternak besar harus di rumah potong Pemerintah
Daerah setempat yang ditunjuk/diizinkan oleh pemerintah Daerah setempat, yang
memenuhi syarat teknis.
Pemotongan di luar rumah potong hanya dapat dibenarkan bila keadaannya tidak
memungkinkan dengan syarat harus dapat izin/izin sementara pemerintah dengan
pengertian tempat darurat/sementara tersebut mudah diawasi petugas teknis dan
jangkauannya seluas mungkin (misalnya satu tempat pemotongan darurat dapat
dijangkau beberapa desa).
Dapat dikecualikan apabila pemotongan harus dilakukan secara terpaksa
(pemotongan darurat) misalnya karena kecelakaan sehingga tidak
memungkinkan hewan tersebut dibawa ke rumah potong dan dalam hal hewan
tersebut membahayakan untuk umum, apabila tidak dibunuh/dipotong di tempat.
Pada Bab II diatur ikhwal Pengawasan Kesehatan Masyarakat Veteriner (pasal 2-15)
sebagai berikut.
Setiap hewan potong yang akan dipotong harus sehat dan telah diperiksa
kesehatannya oleh petugas pemeriksa yang berwenang.
Pemotongan hewan potong harus dilaksanakan di RPH atau tempat pemotongan
hewan lainnya yang ditunjuk oleh pejabat yang berwenang.
Perkecualiannya adalah pemotongan hewan untuk keperluan keluarga, upacara
adat, dan keagamaan.
Penyembelihan hewan secara darurat dapat dilakukan setelah mendapat izin dari
Bupati/Walikota/petugas yang ditunjuk.
Syarat-syarat RPH, pekerja, pelaksanaan pemotongan, dan cara pemeriksaan
kesehatan dan pemotongan harus memenuhi ketentuan-ketentuan yang
ditetapkan oleh Menteri.
Usaha pemotongan hewan untuk penyediaan daging kebutuhan antarpropinsi dan
ekspor harus memperoleh surat izin usaha pemotongan hewan dari
Menteri/pejabat yang ditunjuknya.
Usaha pemotongan hewan untuk penyediaan daging kebutuhan
antarkabupaten/kotamadya Daerah Tingkat II harus memperoleh surat izin usaha
pemotongan hewan dari Bupati/Walikota.
Daging hewan yang telah selesai dipotong harus segera diperiksa kesehatannya
oleh petugas pemeriksa yang berwenang.
Daging yang lulus dalam pemeriksaan, baru dapat diedarkan setelah terlebih
dahulu dibubuhi cap/stempel oleh petugas pemeriksa yang berwenang.
Diberlakukan larangan mengedarkan daging yang tidak berasal dari RPH.
Setiap orang atau badan dilarang menjual daging yang tidak sehat.
Setiap perusahaan susu harus memenuhi persyaratan tentang kesehatan sapi
perah, dan lain-lain.
Persyaratan usaha peternakan susu rakyat diatur tersendiri oleh Menteri.
Syarat-syarat tenaga kerja yang mengani produksi susu harus sehat, berpakaian
bersih dan lain-lain.
Diberlakukan larangan mengedarkan susu yang tidak memenuhi syarat.
Buku Ajar Higiene Makanan 142
Usaha peternakan babi harus memenuhi ketentuan masyarakat veteriner, seperti
kesehatan lingkungan, perkandangan, dan lain-lain.
Usaha peternakan unggas harus memenuhi ketentuan masyarakat veteriner,
seperti kesehatan lingkungan, perkandangan, dan lain-lain.
Diberlakukan larangan mengedarkan telur yang tidak memenuhi persyaratan.
Setiap usaha/kegiatan pengawetan bahan makanan asal hewan harus memenuhi
syarat-syarat kesehatan.
Ditetapkan batas maksimum kandungan residu, bahan hayati, antibiotika, dan
obat lainnya di dalam bahan makanan asal hewan.
Setiap usaha pengumpulan, penampungan, penyimpanan, dan pengawetan bahan
makanan asal hewan harus memenuhi ketentuan kesmavet yang ditetapkan oleh
Menteri.
Pelaksanaan pengawasan Kesmavet atas pemotongan hewan dan lain-lain
dilakukan oleh Bupati/Walikota Daerah Tingkat II (dokter hewan pemerintah).
Pengawasan atas pelaksanaan ketentuan-ketentuan Kesmavet antardaerah
Tingkat II dilakukan oleh Gubernur.
Pada Bab IV diatur ikhwal Pemberantasan Rabies (pasal 21-25) sebagai berikut.
Menteri menetapkan daerah-daerah tertentu di dalam wilayah Negara
Republik Indonesia sebagai daerah bebas rabies.
Untuk mempertahankan daerah bebas rabies, setiap orang atau badan
hukum dilarang memasukkan anjing, kucing, kera, dan satwa liar lainnya
yang diduga dapat menularkan rabies.
Menteri dapat memberikan pengecualian hanya untuk kepentingan umum,
ketertiban umum, dan pertahanan-keamanan.
Menteri mengatur syarat-syarat dan tata cara:
a. pemasukan anjing, kucing, kera, dan satwa liar lainnya yang diduga
dapat menularkan rabies dari wilayah Negara Republik Indonesia,
b. pengeluaran anjing, kucing, kera, dan satwa liar lainnya yang diduga
dapat menularkan rabies dari wilayah Negara Republik Indonesia ke
luar negeri, dan
c. pemasukan dan pengeluaran anjing, kucing, kera, dan satwa liar
lainnya yang diduga dapat menularkan rabies antardaerah di dalam
wilayah Negara Republik Indonesia.
Pencegahan dan pemberantasan rabies pada anjing, kucing, kera , dan satwa
liar lainnya yang diduga dapat menularkan rabies diatur lebih lanjut oleh
Menteri.
Pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan rabies diselenggarakan dengan
bekerjasama dengan instansi lain.
Pencegahan dan pemberantasan rabies pada anjing di bawah kewenangan
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dilakukan oleh Departemen
Pertahanan dan Keamanan.
8.8. Surat Keputusan Direktorat Jenderal Peternakan Nomor 17 tahun 1983 tentang
Syarat-syarat, Tata Cara Pengawasan, dan Pemeriksaan Kualitas Susu Produksi
Dalam Negeri
1. Ketentuan Umum
Dalam surat keputusan ini, ditentukan difinisi sebagai berikut ini:
a. Susu adalah susu sapi meliputi susu segar, susu murni, susu pasteurisasi,
dan susu sterilisasi.
b. Susu murni adalah cairan yang berasal dari ambing sapi sehat yang
diperoleh dengan cara pemerahan yang benar tanpa mengurangi atau
menambah sesuatu komponen.
c. Susu segar adalah susu nurni yang tidak mengalami proses pemasakan.
d. Susu pasteurisasi adalah susu murni yang telah mengalami proses
pasteurisasi secara sempurna.
e. Susu sterilisasi adalah susu murni yang telah mengalami proses sterilisasi
secara sempurna.
Bab III mengatur Tata Cara Pengawasan dan Pengujian Kualitas Air Susu sebagai berikut.
Susu yang beredar diawasi dan diuji kualitasnya oleh Dinas Peternakan.
Pengawasan kualitas susu oleh Dinas Peternakan meliputi :
a. pemeriksaan terhadap kesehatan sapi, kandang sapi, tempat
pemerahan, cara pemerahan, kebersihan, kamar susu, dan
peralatan yang digunakan, jenis dan kekuatan desinfektan, dll;
yang berhubungan dengan kesehatan sapi perah dan kualitas
susu,
b. pengambilan contoh susu, dan
c. penahanan, penyitaan, pemusnahan terhadap susu yang tidak
memenuhi syarat, susu dipalsukan dan susu yang beredar tanpa
izin setelah berkonsultasi dengan instansi yang berwenang.
Dalam melaksanakan pengawasan kualitas susu, petugas Disnak yang
ditunjuk oleh kepala Disnak Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II
setempat mempunyai wewenang:
a. sewaktu-waktu memasuki tempat usaha peternakan sapi
perah, penampungan susu, dan pengumpul susu;
b. melakukan tindakan seperti di atas; dan
c. sewaktu-waktu menghentikan kendaraan pengedar/penjual susu/
pengangkut susu.
Contoh susu yang akan diuji kualitasnya dapat diambil dari usaha
peternakan sapi perah, pengumpul susu, penanampung susu,
pengedar/penjual susu, kendaraan pengangkut susu, dan pabrik pengolahan
susu.
Tata cara pengambilan dan pengiriman contoh susu untuk pengujian lebih
lanjut sesuai dengan tata cara yang telah ditentukan.
Bab IV mengatur ikhwal Hasil Pemeriksaan dan Pengujian Kualitas susu sebagai berikut.
Setiap hasil pengujian kualitas susu diberi nilai.
Cara penilaian ditetapkan tersendiri.
Hasil pengujian kualitas susu dimonitor oleh Direktur Jenderal Peternakan.
Hasil pengujian kualitas susu yang dilakukan di lab merupakan patokan
bila ada ketidaksesuaian mengenai hasil pengujian yang dilakukan oleh lab
lain.
Bab IV mengatur ikhwal Penanganan Hasil Ikutan dan Limbah sebagai berikut.
1. Hasil ikutan dapat dimanfaatkan untuk keperluan konsumsi manusia, bahan
baku makanan ternak dan ikan, atau bahan baku industri.
2. Penanganan hasil ikutan dilakukan sesuai dengan sarana pemanfaatannya.
3. Hasil ikutan yang tidak dimanfaatkan merupakan limbah.
Penampungan limbah dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Foodborne disease adalah penyakit yang ditularkan lewat makanan, yang berupa
gangguan pada saluran pencernaan makanan dengan gejala umum sakit perut, diare
dan/atau muntah. Agen utama penyebab penyakit yang ditularkan melalui makanan adalah
Terjadinya penyakit yang ditularkan melalui makanan o1eh bakteri sangat tergantung
1. terdapatnya agen penyebab penyakit pada saat pengolahan makanan, yang ditularkan
4. penyimpanan makanan pada suhu ruangan selama lebih dari 2 jam, dan
Beberapa bakteri utama penyebab penyakit yang ditularkan melalui makanan ini
1. Melalui infeksi, yakni termakannya sel-sel bakteri dalam jumlah yang cukup untuk
2. Melalui intoksikasi, yakni gejala sakit yang timbul disebabkan oleh toksin yang
Makanan
1. Salmonellosis
Agen Penyebab
Salmonellosis terjadi akibat infeksi oleh bakteri Salmonella sp. yang terdiri atas
beberapa ratus serotipe. Seluruh serotipe tersebut memiliki potensi yang sama besar
sebagai agen penyebab penyakit. Masa inkubasinya berkisar antara 6-48 jam dengan
gejala sakit berupa sakit perut, diare, rasa mual, kedinginan, demam, dan sakit kepala.
Lamanya sakit dapat berkisar antara 3-5 hari. Bayi, anak-anak, orang sakit, dan orang
Sumber
Salmonella dapat berasal dari ekskreta manusia maupun hewan, dan air yang
terkontaminasi o1eh limbah. Salmonella sering ditemukan dalam bahan makanan asal
hewan, terutama daging, daging unggas, dan telur, yang belum atau masih setengah
enteritidis dilaporkan sering ditemukan pada kulit telur dengan grade A. Selanjutnya,
HEWAN
Salmonella
Infeksi
Keracunan makanan
Gambar 13. Sumber Penularan Hewan (animal reservoir) bagi Organisme Salmonella
(Direktorat Bina Kesehatan Hewan, 1995)
2. Intoksikasi Staphylococcus
Agen penyebeb penyakit
Intoksikasi Staphylococcus disebabkan oleh toksin yang dihasilkan oleh bakteri
Staphylococcus aureus dalam makanan yang dikontaminasinya (Gambar 14)
Manusia
(Hidung, luka di kulit)
Staphylococcus
Tangan
Makanan
Penyimpanan dalam suhu ruangan
mendukung perkembang biakan
Toksin
Keracunan makanan
Hewan Manusia
Lalat
Ekskreta
Karkas Tangan
Daging mentah
Spora yang bertahan dari pemasakan akan menjadi bentuk vegetatif dan berkembang biak
selama pendinginan dan penyimpanan
Keracunan makanan akibat toksin yang dihasilkan dalam usus induk semang
Gambar 15. Sumber Penularan Manusia dan Hewan bagi Organisme C.perfringens
(Direktorat Bina Kesehatan Hewan, 1995)
Pencegahan
Suhu internal makanan perlu selalu diperhatikan. Bagi makanan yang akan disajikan
panas, maka suhu internal hendaknya dijaga agar suhu minimumnya 60°C, atau suhu
maksimum 5,5°C bagi makanan yang akan disajikan dingin.
5. Botulismus
Agen Penyebab Penyakit
Botulismus disebabkan oleh toksin yang diproduksi oleh bakteri Clostridium
botulinum dalam makanan yang terkontaminasi
Seperti halnya C. perfringens, C. botulinum juga termasuk ke dalam golongan
bakteri anaerobik, dan dapat ditemukan dalam bentuk vegetatif atau spora. Bentuk
vegetatif dapat menghasilkan toksin sebagai penyebab sakit.
Toksin botulismus menyerang sistem saraf dan dapat bersifat fatal bila penderita
tidak mendapat pertolongan. Masa inkubasi berkisar antara 12-48 jam dengan gejala
berupa penglihatan kabur, kesulitan untuk berbicara, menelan, dan benafas. Kematian
akibat botulismus dapat dihindari dengan pemberian antitoksin. Akan tetapi, efek
samping yang diakibatkannya cukup berat berupa kerusakan saraf yang sulit untuk
diperbaiki kembali.
Sumber
Dapat ditemukan di tanah atau air. Botulismus biasanya selalu diasosiasikan
dengan makanan kaleng yang tidak mengalami proses pemanasan dengan temperatur
yang cukup tinggi untuk dapat menghancurkan spora. Akan tetapi, telah pula
Buku Ajar Higiene Makanan 168
dilaporkan bahwa kejadian botulismus dapat juga diasosiasikan dengan makanan
masak dalam kemasan hampa udara yang disimpan terlalu lama pada suhu ruangan.
Pencegahan
Untuk mencegah terjadinya botulismus, hindari makanan yang berasal dari: a)
kemasan kaleng yang sudah bocor, menggembung, atau sudah rusak, b) kemasan botol
yang sudah retak, tutupnya yang tidak rapat, atau sudah menggelembung, c) kemasan
yang menyemburkan air pada saat dibuka, dan d) kemasan kaleng yang sudah
mengalami penyimpangan bau dan penampilan. Buang makanan dalam kemasan
industri rumah tangga yang sudah tidak lagi memenuhi persyaratan.
6. Listeriosis
Agen penyebab penyakit
Listeriosis disebabkan oleh Listeria monocytogenes. Kasus ini jarang terjadi,
tetapi bersifat fatal.
Kelompok berisiko tinggi adalah wanita hamil dan anak-anak. Gejala pada orang
dewasa menyerupai gejala influenza, yang terjadi secara tiba-tiba meliputi: demam,
kedinginan, sakit kepala, nyeri punggung, dan kadang-kadang disertai sakit perut dan
diare. Pada bayi, gejala sakit dapat berupa gangguan pernafasan, tidak mau minum,
dan muntah. Komplikasi listeriosis dapat berupa meningitis atau meningoenchepalitis
yang menyebabkan kerusakan pada jaringan di sekitar otak atau tulang belakang, dan
septichemia.
Sumber
Agen penyebab penyakit ini biasanya ditemukan dalam usus manusia dan hewan,
dalam susu dan di lingkungan pengolahan makanan. Listeria. dapat tetap tumbuh
(walaupun lambat) pada suhu lemari es (4-80C).
Pencegahan
Untuk menghindari terjadinya listeriosis, terutama bagi mereka yang termasuk
kelompok berisiko tinggi, hendaknya berhati-hati dalam memilih makanan dalam
kemasan, terutama makanan berlabel "disimpan dalam lemari es". Perhatikan cara
penyimpanan di rumah, sesuaikan dengan petunjuk yang tercantum pada kemasan.
Perlu pula diperhatikan tanggal kadaluwarsa.
Sumber
Beberapa galur Escherchia coli seringkali diasosiasikan dengan air yang telah
terkontaminasi oleh faeces dan sejak lama telah diketahui menjadi penyebab diare
pada anak-anak. Salah satu serotipe bakteri ini, yaitu 0157: H7. Bakteri ini
memproduksi toksin yang dapat menyebabkan hemorrhagic colitis. Daging giling
mentah dan susu yang tidak dipasteurisasi dilaporkan menjadi salah satu sumber
makanan penyebab penyakit tersebut.
Pencegahan
Yang perlu diperhatikan untuk menghindari terjadinya hemorrhagic colitis
adalah:
1) Pemasakan, dan pemanasan makanan dengan seksama,
2) sanitasi yang baik, dan
3) penyimpanan makanan dalam lemari es (suhu maksimum 5,5°C) segera
setelah dimasak hingga makanan tersebut akan dikonsumsi.
8. Yersiniosis
Agen penyebab penyakit
Agen Penyebab yersiniosis adalah Yersinia enterocolitica. Masa inkubasi
adalah 1-7 hari dengan lama sakit antara 1-2 hari. Gejala dapat berupa nyeri perut yang
menyerupai radang apendiks, demam, diare (seringkali bercampur darah),
kadang-kadang disertai muntah.
Pencegahan
Selalu dimasak atau dipanaskan kembali makanan yang akan dikonsumsi
dengan sempurna dan seksama. Di samping itu, personal hygiene dan sanitasi yang
baik sangat diperlukan untuk menghindari yersiniosis.
Tabel 15.Beberapa Jenis Bakteri Penyebab Foodborne Disease dan Bahan Makanan Asal
Hewan sebagai Makanan Perantara.
Jenis bakteri Masa Lama Gejala Cara Jenis
inkubasi sakit penularan makanan
Salmonella 6-48 jam 3-5 hari Sakit perut, diare, Infeksi Daging, daging
mual, kedinginan, ayam dan
demam, pusing produknya,
telur, produk
susu
Staphylococcus 0,5-8 jam 1-2 hari Muntah yang hebat, Toksin Daging ham, es
aureus diare, sakit perut dan dalam krim, keju
kejang Makanan
Clostridium 9-15 jam 1 hari Nyeri perut, diare, Toksin Daging yang
perfringens mual dalam usus telah dimasak
dan daging
ayam
Clostridium 12-48 jam Kematian Pandangan kabur, Toksin Susu segar dan
botolinum dalam 1-8 kesulitan berbicara, dalam daging ayam
hari, atau menelan dan bernafas makanan
2. Staphylococcus aureus
Dalam intoksikasi Staphylococcus, keracunan makanan umumnya dihubungkan
dengan daging masak yang dikonsumsi dalam keadaan dingin. Diduga organisme tersebut
berasal dari tangan orang yang terlibat dalam proses produksi, pengirisan, atau penyajian.
3. Salmonella sp
Hampir seluruh serotipe Salmonella yang berhasil mencapai makanan berasal dari
bahan mentah. Daging unggas dan daging pada umumnya sudah terkontaminasi ketika
masih di tempat pemrosesan karkas. Kontaminasi silang yang terjadi antara bahan mentah
dengan makanan yang telah dimasak dapat terjadi melalui tangan, permukaan peralatan
memasak, dan peralatan lainnya serta pakaian pekerja.
9.1.2 Pengendalian
Penyakit yang ditularkan melalui makanan pada umumnya terjadi akibat kesalahan
manusia dalam proses penanganan makanan yang menyebabkan terkontaminasinya
makanan oleh bakteri. Mengingat titik-titik rawan yang memungkinkan terjadinya
kontaminasi adalah a) saat mempersiapkan makanan, dan b) pada periode penyimpanan
9.2 Penyakit Spesifik yang Ditularkan melalui Susu dan Produk Susu
Susu dapat merupakan sumber penyakit bagi manusia. Sebenarnya tanpa adanya
perlakuan pasteurisasi, banyak penyakit yang ditimbulkan sehubungan dengan konsumsi
susu yang kurang higienis. Secara garis besarnya, penyakit yang dibawa oleh susu dapat
berasal dari dua sumber:
1. langsung dari sapi, karena banyak dari penyakit yang diderita sapi dapat juga
mempengaruhi manusia, dan
Buku Ajar Higiene Makanan 174
2. dengan penularan lewat susu dari lingkungan luar selama pengangkutan sapi
sampai ke tangan konsumen.
Beberapa penyakit yang dapat ditularkan langsung dari sapi adalah sebagai berikut ini.
1. Tuberkulosis
Dari semua penyakit yang ditularkan melalui susu, tuberkulosis adalah yang paling
menonjol. Mycobacterium bovis adalah penyebab penyakit pada sapi dan dapat
dipindahkan ke dalam susu, terutama bila ambingnya kena infeksi. Sampai ditemukannya
prosedur pasteuriasi yang efektif, susu adalah salah satu bahan pangan penyebab utama
tuberkulosis pada populasi sapi.
2. Salmonellosis
Salmonella merupakan komponen mikroorganisme yang sangat sering menjadi
penyebab keracunan makanan. Walaupun bakteri ini dapat dirusak oleh perlakuan
pasteurisasi, ada kalanya bakteri ini dapat berasal dari lingkungan, untuk selanjutnya
mencemari susu. Sumber utama kontaminasi bakteri ini biasanya berasal dari jenis burung
dan binatang pengerat. Cara terbaik untuk memastikan bahwa produk terbebas dari
Salmonella adalah dengan jalan kontrol yang ketat terhadap proses produksi dan higiene
lingkungan.
3. Brucellosis
Brucellosis pada sapi disebabkan karena adanya infeksi oleh Brucella abortus,
sebagai organisme penyebab terjadinya keguguran. Penyakit ini bersifat menular, dan
gejala-gejala infeksinya pada manusia adalah demam yang berselang-seling, banyak
keringat, sakit kepala, dan kesakitan pada seluruh anggota badan.
4. Leptospirosis
Penyakit sapi ini disebabkan oleh bakteri dari jenis Leptospira, dan pada manusia
ditandai dengan influensa, dan gejala-gejala jenis typhoid.
6. Staphylococcosis
Walaupun bakteri ini sendiri dapat dirusak oleh perlakuan pemanasan,
Stapylococcus aureus dapat menghasilkan toksin yang bersifat tahan panas, sehingga akan
tetap bertahan dengan perlakuan pasteurisasi, dan menyebabkan terjadinya keracunan. Hal
ini menunjukkan bahwa sekalipun bakteri tidak ditemukan dalam bahan pangan (susu),
tidak berarti bahwa bahan pangan tersebut bebas dari kemungkinan terjadinya keracunan.
Toksin biasanya dihasilkan apabila jumlah mikroorganisme pencemar cukup tinggi, yakni
106CFU/gram. Organisme ini tidak dapat tumbuh dengan baik pada temperatur rendah.
Higiene yang baik serta kontrol suhu, merupakan tindakan yang mesti dilakukan untuk
meminimalkan munculnya bahaya.
6. Listeriosis
Sebagian besar bakteri patogen pada produk susu bersifat mesofilik, sehingga tidak
dapat tumbuh pada temperatur refrigerasi. Akan tetapi, tidak demikian halnya dengan
bakteri Listeria monocytogenes yang dapat tumbuh pada suhu 00C. L. monocytogenes
bersifat peka terhadap panas dan dapat dirusak dengan suhu pasteurisasi. Terajadinya
cemaran pada produk setelah perlakuan panas diduga akibat terjadinya cemaran setelah
pasteurisasi. L.monocytogenes juga dapat tumbuh pada media yang mengandung 10%
NaCl.
Namun, karena pencapaian target tersebut di atas sulit dan dirasa penyediaan daging 8,1
kg per kapita per tahun sangat memberatkan perkembangan populasi ternak potong, maka
pada tahun 1983 dalam Widyakarya NASLIPI diadakan perencanaan ulang target
pencapaian gizi masyarakat Indonesia dengan menurunkan target konsumsi protein hewani
asal ternak 4 gram per kapita per hari dan dibebankan masing-masing setara dengan
konsumsi susu 4 kg, telur 4 kg, dan daging 6 kg per kapita per tahun. Di dunia ini,
terdapat lebih dari 3 juta ternak dan sejumlah unggas dengan jumlah yang hampir sama.
Buku Ajar Higiene Makanan 182
Total produksi ternak tersebut sebenarnya mampu menyediakan protein hewani sebesar 20
gram per kapita per hari. Akan tetapi, yang menjadi masalah adalah penyebaran ke daerah-
daerah yang kekurangan. Peningkatan produksi protein hewani dunia diperkirakan naik
terus sampai tahun 1990, tetapi setelah itu menurun kembali apabila populasi penduduk
terus mengalami peningkatan.
Sesuai dengan standar tersebut di atas, maka pada bagian ini akan dibicarakan
ikhwal keadaan susu dan susunan susu. Keadaan susu meliputi: 1) warna, bau, dan rasa, 2)
kebersihan, 3) derajat keasaman, 4) uji alkohol, 5) angka reduktase, 6) uji didih, 7) uji titik
beku, dan 8) jumlah bakteri dalam susu. Dibicarakan pula mengenai klasifikasi susu dan
defect susu. Sedangkan susunan susu meliputi: 1) berat jenis, 2) kadar lemak, dan 3) bahan
kering tanpa lemak (BKTL).
Kebersihan
Kebersihan susu dapat diamati dengan mata, mikroskop, atau dengan kaca
pembesar. Pengamatan dengan mata untuk mengetahui adanya kotoran atau benda asing
terutama benda mengambang seperti insekta, rumput, dan lain-lain. Uji kebersihan dapat
dilakukan dengan menyaring susu dengan kapas, sehingga akan terlihat endapan yang
tertinggal pada kapas tersebut. Endapan tersebut selanjutnya diamati di bawah mikroskop.
Kotoran yang sering terdapat pada susu berupa dedak, ampas kelapa, kotoran kandang,
bulu, pasir, dan lain-lain. Susu yang baik harus tidak mengandung benda-benda asing, baik
yang mengambang, melayang, maupun mengendap. Penentuan kebersihan atau derajat
kebersihan dilihat sebagai: bersih sekali, bersih, sedang, kotor dan kotor sekali dan
biasanya ditentukan dengan angka. Menurut Jogjasche Gewesteleike Melkverodening
(1926), angka kebersihan dibagi menjadi bersih dengan nilai 8, kurang bersih dengan nilai
4, dan kotor dengan nilai 0.
Uji didih
Uji didih juga digunakan untuk menentukan apakah susu masih dalam keadaan
baik atau tidak. Caranya adalah dengan memanaskan susu sebanyak 5 ml di dalam tabung
reaksi dalam pemanas air yang mendidih selama 10 menit. Selanjutnya, diamati
konsistensinya, apakah ada penggumpalan. Apabila ada penggumpalan, berarti uji didih
positif, susu kurang baik. Susu yang baik dalam uji didih tidak terjadi penggumpalan,
sehingga uji didih negatif. Penggumpalan dapat diamati secara jelas pada dinding tabung
reaksi, yaitu terdapatnya partikel-partikel kasar yang melekat pada dinding.
Jumlah bakteri
Jumlah bakteri dalam susu dapat ditentukan dengan metode Standar Plate Count
Test (PCT). Media pertumbuhan untuk bakteri digunakan Plate Count Agar (PCA) dengan
inkubasi pada susu 370C selama 48 jam. Perhitungannya dengan menghitung koloni yang
tumbuh dalam satuan colony forming unit/ml (cfu/ml). Jumlah bakteri diperkirakan dengan
mengalikan jumlah koloni yang tumbuh dengan pengencernya.
Kadar lemak
Kadar lemak dapat diuji dengan metode Gerber atau Bobcock, tetapi ada cara
penentuan yang lain seperti dengan metoda Majonnier biasanya untuk penentuan lemak es
krim.
Kedua metoda tadi baik metode Bobcock maupun Gerber, digunakan untuk
menentukan kadar lemak susu penuh, sedang untuk penentuan kadar lemak susu skim
dapat digunakan metode tersebut, tapi dengan penggunaan asam sulfat sebanyak 20 ml.
Tabel penyesuaian kadar lemak susu (1,23 KL) adalah seperti yang tersaji pada Tabel 20.
Klasifikasi Susu
Klasifikasi susu segar didasarkan kepada jumlah bakteri dalam susu dan dibagi
menjadi tiga kelas, yaitu kelas A, kelas B, dan kelas C.
Susu kelas A. Susu kelas A adalah susu dari sapi yang sehat dan tidak dari sapi
yang menderita tuberculosis atau brucellosis dan memenuhi sanitasi yang telah ditentukan,
serta susu yang dihasilkan harus segera disimpan pada suhu dingin. Kandungan bakteri
dalam susu masing-masing peternak tidak boleh lebih dari 100.000/ml. Setelah dicampur
sebelum dipasteurisasi, kandungan bakteri tidak boleh lebih dari 300.000/ml. Apabila
sudah dipasteurisasi, kandungan bakteri tidak boleh lebih dari 20.000/ml.
Susu kelas B. Susu segar yang tidak dapat memenuhi persyaratan kelas A,
dimasukkan ke dalam susu segar kelas B, yaitu pada waktu diangkut sebelum pasteurisasi
kandungan bakteri tidak boleh lebih dari 1.000.000/ml. Setelah mengalami pasteurisasi
kandungan bakteri tidak boleh lebih dari 50.000/ml. Di beberapa tempat tidak boleh
dikonsumsi langsung oleh konsumen, tetapi perlu untuk diproses atau diolah lebih lanjut.
Susu kelas C. susu segar kelas C adalah susu segar yang tidak dapat memenuhi
syarat kelas B. Biasanya kelas ini disebabkan oleh kondisi sanitasi yang kurang baik dan
tidak memenuhi syarat.
Cacat susu
Cacat susu adalah adanya penyimpangan bau dari susu, ataupun penyimpangan
lainnya. Cacat terhadap bau susu dapat berasal dari pakan, karena reaksi kimia, kondisi
sapi itu sendiri, faktor lingkungan, dan pemasakan. Cacat lainnya, misalnya susu asam
yaitu susu segar yang kurang baik atau abnormal, kemungkinan susu tersebut rusak. Akan
tetapi, ada susu asam yang memang diproduksi sebagai susu asam hasil fermentasi susu.
Sebagai contoh, cacat bau susu karena reaksi kimia oksidasi disebut oxidized flavor,
karena ransiditas disebut ransid flavor, serta sunlight flavor disebabkan susu terkena
sinar matahari, sehingga sebaiknya susu dilindungi dari sinar matahari dengan botol
Buku Ajar Higiene Makanan 194
berwarna. Lingkungan harus diperhatikan sehingga susu tidak mempunyai bau abnormal
karena susu mudah terpengaruh oleh bau sekeliling.
10.4.5 Kolostrum
Susu pertama yang dihasilkan waktu laktasi hari pertama sampai hari ke-5 adalah
kolostrum. Komposisi susu kolostrum berbeda dengan komposisi susu normal. Pada susu
kolostrum, kandungan globulin lebih tinggi dari susu normal, yaitu dapat mencapai 12
sampai 13 %, sehingga komposisi susu kolostrum adalah air 71,69%, lemak 3,37%, kasein
4,83%, albumin dan globulin 15,85%, laktosa 2,48%, abu 1,78% dan total soloid 28,31%.
Gambaran perubahan kandungan kimia susu kolostrum sesuai dengan waktu pemerahan
seperti tersaji pada Tabel 21.
Protein susu
Protein dalam susu akan mengalami koagulasi apabila dipanaskan, suasana asam
atau oleh adanya enzim protease. Pengumpulan protein atau terjadinya koagulasi
digunakan sebagai dasar pengolahan susu untuk pembuatan keju dan tahu susu.
Pengumpulan protein pada pembuatan keju diperoleh dengan menggunakan rennin
sebagai enzim protease. Pembuatan tahu susu menggunakan enzim protease untuk
pengumpulan protein, dengan menggunakan enzim bromelin dari sari buah nanas atau
dengan menggunakan enzim papain dari buah papaya. Gumpalan protein tersebut disebut
curd.
Whey adalah cairan yang diperoleh dari susu yang telah dipisahkan dari lemak dan
kasein. Protein dalam whey sekitar 0,5 sampai 0,7% adalah laktalbumin, dan kandungan
protein yang lain adalah laktoglobulin.
Lemak susu
Lemak susu sering disebut dengan milk fat dan merupakan penyusun susu yang
penting, karena merupakan penentu kualitas susu dan untuk proses pengolahan
selanjutnya. Kecuali itu, lemak berguna sebagai penentu tekstur, bau, dan rasa. Lemak
susu sebesar 3,0 sampai 4% dalam susu, berbentuk globulus dan merupakan emulsi.
Lemak susu tersusun dari gliserol sebesar 12,5%, dan asam lemak sebesar 85,5%.
Skim
Skim adalah susu setelah lemaknya dipisahkan sehingga besarnya kandungan
lemak tinggal 0,1 sampai 0,5%, dan bahan kering tanpa lemak tidak kurang dari 8,0
sampai 9,0%. Susu krim biasanya dikonsumsi untuk konsumen yang membutuhkan kalori
rendah. Pemisahan lemak ini dapat dilakukan dengan cream separator. Susu skim yang
dihasilkan dari pemisahan lemak dengan separator mempunyai komposisi sebagai berikut:
air 90,42%, protein 3,68%, lemak 0,10%, laktosa 5,00%, dan abu 0,80%.
Laktosa
Laktosa adalah gula susu atau karbohidrat utama dalam susu sekitar 4,9 sampai
5%. Laktosa merupakan disakarida, bila terhidrolisis akan terurai menjadi glukosa dan
galaktosa. Enzim laktase dapat menghidrolisis laktosa menjadi galaktosa. Enzim ini sering
disebut juga beta D-galaktosidase. Laktase ada dalam pencernaan mamalia termasuk
manusia. Ada sebagian orang yang tidak dapat menghidrolisis laktosa dalam alat
pencernaannya yang disebabkan oleh tidak adanya enzim laktase pada saluaran
pencernaan dan disebut lactose intolerance. Produk susu fermentasi biasanya kandungan
laktosanya sudah berkurang, sehingga dapat membantu orang yang lactose intolerance.
Mikroba jamur Sacharomyces lactis dapat digunakan untuk memfermentasi laktosa,
sehingga dapat mengurangi kandungan laktosa dalam susu.
Gambar 16. Potongan Melintang Ambing. (Gambar dari Caren Carney dalam
Soetarno,1999)
Pelepasan susu
Adanya pencucian ambing sewaktu sapi akan diperah, rabaan tangan pemerah,
atau kecupan dari mulut pedet, akan menimbulkan rangsangan “saraf parasimpatikus”,
yang menyalurkan rangsangan dari ambing ke otak, sehingga menyebabkan
Buku Ajar Higiene Makanan 206
dikeluarkannya hormon oksitosin dari kelenjar hypophysis pars posterior, untuk
selanjutnya dicurahkan ke dalam aliran darah. Labih jauh, saraf simpatikus akan
mempengaruhi jalannya darah dan volume darah yang mengalir ke ambing. Dengan
demikian, hormon oksitosin yang ikut dalam peredaran darah ke ambing akan
menimbulkan pelepasan susu (“Milk let down”) karena memperbesar kontraksi sel-sel
mioepitel (Gambar 17).
Dengan adanya kontraksi sel-sel mioepitel pada ambing oleh hormon oksitosin,
akan menyebabkan susu yang ada di lumen dilepaskan melalui saluran-saluran susu,
akhirnya susu sampai ke rongga ambing dan rongga puting (Gambar18). Tetapi apabila
saat ini karena sesuatu hal sapi menjadi takut, maka kontraksi sel-sel mioepitel menjadi
terhenti. Hal ini karena pengaruh hormon adrenalin atau hormon epinephrine yang
dihasilkan oleh kelenjar adrenalis seperti tersaji pada Gambar 19.
Kelenjar Adrenalin
Jantung
Gambar 17. Terjadinya Pelepasan Susu atau “Milk let down” (Foley, 1972 dalam
Soetarno, 1999)
Ketika pemerahan berlangsung dalam suasana tenang, atau tidak terganggu oleh
suara gaduh atau perlakuan kasar, pelepasan susu akan terjadi sangat singkat, yaitu 45-60
detik setelah sapi mendapat rangsangan. Hal itu karena hormon oksitosin telah tiba di
Otak
Saraf
Oksitosin
Oksitosin
Jantung
Perangsangan
Gambar 18. Rangsangan Waktu akan Diperah, Sapi dalam Situasi Tenang, Hormon
Oksitosin Menyebabkan Susu Keluar dari Alveoli (Eustice, 1988 dalam
Soetarno, 1999)
Otak
Saraf
Kel.Adrenal
Adrenalin
Adrenalin
Perangsangan
Gambar 19. Rangsangan Waktu akan Diperah, Sapi dalam Keadaan Takut karena
Diperlakukan Kasar atau Takut akan Nyalakan Anjing, Hormon Adrenalin
Menahan Keluarnya Susu (Eustice, 1988 dalam Soetarno, 1999)
B. Sanitasi Sapi
Sapi harus tetap bersih. Setiap hari, rata-rata sapi perah mengeluarkan kotoran
dan air kencing hampir 7 sampai 8% dari berat badannya. Untuk sapi sebesar 550 kg,
dikeluarkan kotoran dan air kencing 38 sampai 45 kg.
Kotoran harus dibersihkan dari kandang sesering mungkin, dan jangan biarkan
sapi berbaring di atas kotoran atau air kencing. Bedding harus tersedia bagi sapi. Sapi
C. Sanitasi Kandang.
Kandang sapi perah merupakan suatu pabrik penghasil makanan/minuman sehat
bagi manusia. Kandang harus disapu dan dibersihkan secara teratur, jangan dibiarkan
kandang pemerahan berdebu dan kotor. Siram lantai kandang secara teratur dan gunakan
desinfektan untuk membunuh kuman dan bakteri. Jangan hanya menyapu lantai waktu
akan memerah. Berikan makanan kering paling sedikit 1 (satu) jam sebelum pemerahan
atau tunggu setelah pemerahan selesai, untuk menghindari banyaknya debu.
Kandang yang bersih menghindarkan susu dari pencemaran oleh kotoran dan bau
(sifat susu mudah menghisap bau dari sekitarnya). Kandang yang bersih membuat sapi
nyaman, dan peternak betah bekerja di kandang. Sapulah lantai kandang dan kotoran
dikumpulkan jauh dari tempat pemerahan/kamar susu. Gunakan sapu lidi/sekop yang
berbeda untuk makanan dan kotoran.
Bersihkan bak/cangkir otomatis. Bak air minum yang kotor merupakan sarang
bibit penyakit. Sapi tidak suka minum air yang kotor dan berbau.
Buku Ajar Higiene Makanan 215
BAB XII
STRUKTUR, KOMPOSISI, DAN NILAI GIZI TELUR
Oleh
Drh. I Wayan Suardana, MSi
Telur merupakan bahan pangan yang sempurna karena mengandung zat gizi yang
lengkap bagi pertumbuhan mahluk hidup. Protein telur mempunyai mutu yang tinggi
karena memiliki susunan asam amino essensial yang lengkap sehingga dijadikan patokan
untuk menentukan mutu protein dari bahan pangan yang lain.
Telur dikelilingi oleh kulit setebal 0,2 – 0,4 mm yang berkapur dan berpori-pori.
Kulit telur ayam berwarna putih–kuning sampai coklat, telur bebek berwarna kehijauan,
dan warna kulit telur burung puyuh ditandai dengan adanya bercak-bercak (totol-totol)
dengan warna tertentu. Bagian sebelah dalam kulit telur ditutupi oleh dua lapisan yang
menempel satu dengan yang lain, tetapi keduanya akan terpisah pada ujung telur yang
tumpul membentuk kantung udara. Kantung udara mempunyai diameter sekitar 5 mm
pada telur segar, dan bertambah besar ukurannya selama penyimpanan. Kantung udara
dapat digunakan untuk menentukan umur telur.
Putih telur atau albumin, merupakan bagian telur yang berbentuk seperti gel,
mengandung air, dan terdiri atas 4 fraksi yang berbeda-beda kekentalannya. Bagian putih
telur yang terletak dekat kuning telur lebih kental, dan membentuk lapisan yang disebut
kalaza (kalazaferous). Lapisan kalazaferous merupakan lapisan tipis tetapi kuat yang
mengelilingi kuning telur. Kalaza ini berbentuk seperti tali yang bergulung dan yang satu
menjulur ke arah ujung tumpul dan yang lain ke arah ujung lancip dari telur. Dengan
adanya kalaza ini, kuning telur pada telur segar berada di tengah-tengah telur. Bila diamati
lebih jauh, kuning telur ternyata terdiri atas lapisan-lapisan gelap dan terang berselang
seling (Winarno, 2002).
A B C D E F
G H I J K L
Keterangan :
A = kantung udara
B = kalaza
C = kuning telur
D =cakram janin (germinal disc) dan lapisan putih dari kuning telur (white
yolk)
E = membran vitelin
F = lapisan musin
G = kulit telur
H = membran kulit telur
I = kutikula
J = lapisan putih telur luar
K = lapisan tebal putih telur
L = lapisan putih telur dalam
Gambar 20. Struktur Telur dan Bagian-bagiannya (Winarno dan Koswara, 2002).
a. Pertahanan fisik
Kutikula
Mulai dari pemebentukannya di oviduct (saluran telur) kerabang telur telah
diselaputi oleh suatu lapisan protein setebal 0,01 mm yang disebut sebagai kutikula.
Penyelaputan ini akan menutupi sebagian besar pori-pori kerabang telur sehingga
mengurangi kemungkinan masuknya bakteri, jamur, maupun virus ke bagian lebih dalam
dari telur. Penggosokan kerabang telur, pencucian dan perubahan suhu, kelembaban, suhu
kamar, dan lain-lainnya merupakan faktor yang mempengaruhi lapisan kutikula, dan
menyebabkan kerabang telur akan lebih peka terhadap penetrasi mikroorganisme.
Gambar 21. Potongan Melintang dari Sebuah Kerabang Telur (Board, 1966 dalam
Soejoedono, 1997).
Selaput telur
Selaput telur terdiri atas 2 lapisan yang saling terjalin, kecuali di bagian ujung telur
berbentuk tumpul untuk menjadi kantung hawa. Lapisan tersebut yaitu: (1) serabut keratin
yang akan berfungsi juga sebagai penyaring mikroorganisme, dan (2) selaput bagian
dalam yang kaya akan lisozym yang berperanan besar dalam mematikan mikroorganisme.
Mekanisme penetrasi bakteri ke dalam selaput telur belum diketahui dengan pasti. Sebagai
pertahanan terhadap infasi mikroorganisme, selaput telur merupakan barrier yang paling
utama.
b. Pertahanan Kimiawi
Bila kutikula, kulit telur, dan membran telur tidak berfungsi dalam pertahanan
terhadap infasi bakteri, maka putih telur akan terkontaminasi. Akan tetapi, untuk
pH basa
pH dari telur yang baru saja ditelurkan berada di sekitar 7,5 dan pH inilah
sebenarnya merupakan pH yang disenangi oleh sebagian besar mikroorganisme saprofit.
Pada permulaan penyimpanan telur, hilangnya sebagian besar CO2 melalui pori-pori telur
akan menaikkan pH sampai stabil di atas 9,0. Keadaan ini akan tercapai dengan cepat bila
suhu udara di sekitarnya cukup tinggi. Untuk sebagian besar mikroorganisme, pH setinggi
itu tidak baik untuk pertumbuhan ataupun daya tahannya, terlebih lagi bagi
mikroorganisme Pseudomonas fluorescens, Proteus vulgaris, dan Alcaligenes sp, yang
tidak dapat tumbuh pada kondisi tersebut.
Lysozym
Lysozyme atau lisosim adalah suatu protein yang mempunyai kegiatan biologis
bersifat enzymatik, yaitu menghidrolisis ikatan glikosida dinding sel bakteri Gram positif.
Daya kerja lisis ini telah dibuktikan dengan baik secara in vitro. Akan tetapi, beberapa
mikroorganisme pada suatu keadaan tertentu tahan terhadap serangan lisosim, seperti
Staphylococcus aureus atau beberapa spesies pembentuk spora (Clostridium
tyrobutyricum). Umumnya jarang dapat dijumpai adanya bakteri Gram positif dalam telur
karena ketidaktahanan organisme tersebut terhadap lisosim.
Konalbumin
Konalbumin adalah suatu protein yang mempunyai kegiatan biologis bersifat
enzymatik sama seperti halnya dengan lysozym. Konalbumin dapat menghambat
pertumbuhan mikroorganisme karena daya khelasi yang dimilikinya terutama terhadap ion
Fe2+. Reaksi ini amat tergantung pada pH dan konsentrasi besi. Aktivitas konalbumin akan
bertambah bila pH > 7,0. Inhibisi ini amat tergantung pada jenis bakteri. Bakteri Gram
Buku Ajar Higiene Makanan 220
negatif kurang terhambat oleh konalbumin jika dibandingkan dengan bakteri Gram
positif.
12.2 Komposisi dan Nilai Gizi Telur
Telur dari berbagai jenis unggas memiliki fungsi yang sama, yaitu menyediakan
kebutuhan hidup bagi mahluk. Oleh sebab itu, komposisi telur berbagai unggas hampir
sama. Perbedaan komposisi kimia antarspesies, terutama terletak pada jumlah dan proporsi
zat-zat yang dikandungnya, yang umumnya dipengaruhi oleh keturunan, makanan, dan
lingkungan.
Pada umumnya, telur mengandung komponen utama yang terdiri atas air, protein,
lemak, karbohidrat, vitamin, dan mineral. Komposisi telur ayam ras dan bebek dapat
dilihat pada Tabel 24.
Tabel 24. Komposisi Telur Ayam Ras dan Bebek
No. Komposisi Telur Ayam Telur Bebek
Putih Kuning Telur Putih Kuning Telur
telur telur utuh telur telur utuh
1. Air (%) 88.57 48.50 73.70 88.00 47.00 70.60
2. Protein (%) 10.30 16.15 13.00 11.00 17.00 13.10
3. Lemak (g) 0.03 34.65 11.50 0.00 35.00 14.30
4. Karbohidrat (g) 0.65 0.60 0.65 0.80 0.80 0.80
5. Abu (g) 0.55 1.10 0.90 - - 0.95
Sumber: Winarno, (2002)
1. Cara Subyektif
Secara subyektif, mutu telur dapat dinilai dengan cara candling; yaitu meletakkan
telur dalam jalur sorotan sinar (matahari atau lampu listrik) yang kuat, sehingga
memungkinkan pemeriksaan kulit telur dan bagian dalam telur. Pada tingkat pengecer,
pemeriksaan telur umumnya dilakukan dengan cara peneropongan dengan sumber cahaya
matahari atau lampu pijar. Dengan cara ini, adanya keretakan kulit telur dapat ditemukan,
juga posisi kuning telur, ukuran, dan posisi kantung udara, bintik-bintik darah, kerusakan
oleh mikroorganisme dan pertumbuhan jamur dapat diamati. Kelemahan cara ini adalah
bahwa hanya dapat diketahui kerusakan yang menonjol saja dan apabila digunakan dalam
jumlah besar, maka cara ini dianggap tidak praktis.
2. Cara Obyektif
Metode pemeriksaan telur secara obyektif dilakukan dengan cara memecahkan
telur dan menumpahkan isinya pada bidang datar dan licin (biasanya kaca), kemudian
dilakukan pengukuran terhadap parameter Indeks Kuning Telur (Yolk Index), Indeks
Putih Telur (Albumine Index), dan Haugh Unit.
Indeks Kuning Telur (IKT) adalah perbandingan tinggi kuning telur dengan garis
tengah kuning telur. Telur segar mempunyai Indeks Kuning Telur 0,33 – 0,50 dengan rata-
rata IKT 0,42. Semakin tua/lama umur telur (sejak ditelurkan unggas), maka Indeks
Kuning Telur semakin menurun. Hal ini karena terjadinya penambahan ukuran kuning
telur sebagai akibat terjadinya perpindahan air dari putih telur ke kuning telur. Standar
untuk Indeks Kuning Telur adalah sebagai berikut : 0,22 = jelek; 0,39 = rata-rata; dan 0.45
= tinggi.
Indeks Putih Telur adalah perbandingan tinggi putih telur (albumin) kental dengan
garis tengahnya. Pengukuran dilakukan setelah kuning telur dipisahkan secara hati-hati.
Telur yang baru mempunyai Indeks Putih Telur antara 0,050–0,174, tetapi biasanya
berkisar antara 0,090 dan 0,120. Indeks Putih Telur dipercepat oleh meningkatnya pH.
Buku Ajar Higiene Makanan 222
Indeks mutu telur yang dianggap terbaik adalah Indeks Haugh atau Haugh Unit,
yang dapat dinyatakan dengan rumus sebagai berikut :
Keterangan :
H = tinggi putih telur tebal (mm),
W = berat telur (gram), dan
G = 32
Telur yang baru mempunyai nilai HU = 100, sedangkan telur dengan mutu yang baik
mempunyai HU minimal 72. Telur yang tidak layak dikonsumsi mempunyai HU kurang
dari 30.
Tabel 26. Standar Mutu Telur menurut USDA-AS
No Parameter Kelas
AA A B C
1. Kulit Bersih, utuh, Bersih, utuh, Ada noda, Noda cukup,
normal normal utuh, sedikit utuh
abnormal
2. Kantung 1/8 inci 1/8 – ¼ inci ¼ - 3/8 inci, 3/8 inci,
udara bergeser, bergelombang
tidak atau tidak
bergelembung
3. Kuning telur Batas jelas, Batas agak Batas jelas Batas hilang
ditengah, jelas ditengah,
bebas bercak bebas bercak
4. Albumen Jernih, kental Jernih, agak Jernih, agak Jernih, encer,
kental encer berair, bercak
5. Haugh Unit 72 60 - 70 31 - 60 31
Sumber: Winarno, (2002)
b. Setelah ditelurkan
Kecuali hal-hal yang menyangkut Salmonella, bagi industri telur masih belum jelas
benar dan dirasa tidak penting apakah telur terkontaminasi di oviduct ataukah setelah
ditelurkan. Ini disebabkan karena tidak ada hubungan yang jelas antara kontaminasi
sebelum ditelurkan dan kecepatan terjadinya kebusukan pada telur.
Setelah keluar, telur mendapat kontaminasi pada saat pengeluaran (oviposition),
dari dubur ayam dan dari sarang. Kontaminasi melalui cara inilah yang paling sering
terjadi pada telur setelah dikeluarkan. Pada saat iitu, telur dalam keadaan basah sehingga
melalui cairan tersebut bakteria terserap ke dalam telur. Akan tetapi, peran dari
kontaminasi ini tak penting karena hanya 1% dari telur yang baru dan bersih, yang akan
menjadi busuk.
Jumlah mikroorganisme di kulit telur normal adalah kurang lebih 105. Kecuali
kulit telur kotor benar, tidak ada hubungan antara penampakan (appearance) dari kulit
telur dan kandungan jumlah mikroorganisme. Organisme yang sering dijumpai di kulit
telur lebih kurang 15 genus, dan sumber utama penularannya adalah debu, tanah, dan
feces unggas. Flora yang ada di kulit ini didominasi oleh Gram negatif dan Micrococcus
sp.
12.5 Kerusakan Telur
Sejak dikeluarkan dari kloaka, telur mengalami berbagai perubahan karena
pengaruh waktu, dan kondisi lingkungan, yang akhirnya dapat menyebabkan kerusakan.
Perubahan tersebut dapat dikelompokkan menjadi 2 golongan, yaitu perubahan luar dan
perubahan di dalam isi telur.
1. Perubahan Luar
Perubahan luar adalah perubahan yang dapat diamati tanpa memecah telur.
Perubahan tersebut meliputi :
a. Penurunan berat
Penurunan berat disebabkan karena penguapan gas seperti uap air,
karbohidrat, amoniak, nitrogen, dan H2S.
b. Pembesaran kantong udara
Pembesaran kantong udara terjadi karena berkurangnya isi telur akibat
penguapan
Buku Ajar Higiene Makanan 224
c. Timbulnya bercak-bercak pada permukaan kulit telur
Timbulnya bercak-bercak disebabkan karena adanya pertumbuhan
mikroba terutama kapang atau jamur.
c. Persyaratan
Persyaratan mutu telur menurut SNI 01-3926-1995 seperti tersaji
pada Tabel 27 berikut ini.
13.1 Pendahuluan
Globalisasi ekonomi yang berkembang dewasa ini telah memunculkan berbagai isu
jaminan mutu yang terkait dengan pemasaran hasil pertanian termasuk hasil peternakan.
“Pasar Bebas” tahun 2003 baik di kawasan ASEAN, yang selanjutnya diikuti kawasan
yang lebih luas seperti NAFTA, Pasar Tunggal Eropa, dan APEC, telah mendorong
persaingan yang semakin tajam dalam pemasaran komoditas pangan baik harga maupun
mutu.
Dalam mengantisipasi pasar bebas tersebut, negara-negara pengimpor hasil
peternakan, terutama negara maju, cenderung memberlakukan persyaratan mutu dan
lingkungan. Negara tersebut menuntut agar produsen menerapkan sistem manajeman mutu
secara terpadu yang setara dengan yang mereka berlakukan. Dengan lahirnya UU
No.8/1999 tentang Perlindungan Konsumen dan UU No. 7/1996 tentang Pangan, maka
tuntutan masyarakat konsumen akan peran pemerintah dalam menyediakan produk pangan
hewani yang ASUH (aman, sehat, utuh dan halal) kian meningkat.
Sebagian industri yang bergerak dalam bidang hasil peternakan/ makanan, dalam
upaya keamanan produknya banyak bertumpu pada sistem pengawasan produk akhir (end
product inspection). Cara ini dinilai kurang baik terutama bila kaitannya dengan
pencemaran untuk upaya pencegahan (preventive measure). Tingkat pencemaran dapat
terjadi mulai dari penyiapan vahan baku, saat pengolahan, penambahan flavor, saat
penanganan, penyimpanan, pengangkutan, pemasaran hingga ke konsumen. Atas dasar itu,
maka diperlukan suatu sistem pengawasan dan pencegahan sejak awal untuk menghindari
terjadinya pencemaran yang berlanjut dalam suatu proses produksi, sehingga keamanan
produk dapat dipertanggung jawabkan (quality assurance) bagi konsumen. Penerapan
sistem HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) pada usaha produk peternakan
secara terpadu memungkinkan untuk mengantisipasi terjadinya bahaya (hazard) yang
mengakibatkan ketidakamanan dan ketidaklayakan mutu produk ternak.
sektoral dituntut untuk dapat menyediakan bahan pangan asal hewan yang berkualitas
dan aman bagi masyarakat konsumen. Hal tersebut merupakan dampak dari tuntutan
kualitas hidup dan kehidupan yang semakin meningkat. Untuk pemenuhan kebutuhan
bahan pangan asal hewan, diperlukan suatu sistem pengawasan baik terhadap aspek
pemeriksaan (inspection) terhadap setiap mata rantai pengadaan bahan pangan asal
bahan pangan asal hewan, tempat penampungan susu/telur, serta pelabuhan impor.
diperlukan adanya upaya peningkatan efektivitas peran pengawasan pada mata rantai
pengadaan pangan. Pendekatan melalui konsep HACCP (Hazard Analysis Critical Control
Point) merupakan salah satu alternatif untuk mengevaluasi sistem pengawasan, mulai dari
memberikan jaminan keamanan dan kualitas pangan. Keberhasilan pendekatan konsep ini
di antaranya dapat ditempuh dengan dukungan teknis melalui pelatihan bagi personal yang
pelaksanaannya di lapangan.
liberalisasi perdagangan, yang dihadapkan pada daya saing harga dan tuntutan kualitas
yang semakin disadari oleh masyarakat konsumen. Dengan telah ditanda tanganinya
perjanjian General Agreement on Tarif and Trade (GATT) oleh negara-negara anggota
World Trade Organization (WTO) yang merupakan suatu forum negosiasi perdagangan
dunia menuju satu pasar global (One Global Market), maka mau tidak mau semua negara
anggota WTO harus memenuhi komitmen seperti yang tercantum dalam GATT tersebut.
Khusus untuk produk pertanian, diperlukan kesepakatan mengenai aplikasi Sanitary dan
Phytosanitary (SPS) yang memang konsisten dengan aturan GATT. Kesepakatan ini
mengatur tindakan perlindungan keamanan pangan (Food Safety) yang perlu dijalankan
oleh masing-masing negara anggota WTO dalam bidang kesehatan hewan dan tumbuhan
(Animal and Plant Health). Bentuk ini diterjemahkan dalam standar yang semakin ketat
melalui dua bentuk standar yaitu ISO 9000 untuk produk non-pangan dengan berbagai
variasinya, dan standar HACCP untuk produk pangan. Mengingat tuntutan pasar akan
mutu dan persyaratan kesehatan yang semakin tinggi, maka untuk dapat merebut pasaran
domestik maupun Internasional, masalah mutu dan kesehatan harus diperhatikan dan
menjadi acuan dalam proses produksi. Untuk maksud tersebut, maka strategi
pembangunan pertanian mesti didasarkan pada pendekatan sistematik secara terpadu dan
kerawanan terhadap pencemaran baik yang sifatnya mikrobiologi, kimia, maupun fisik,
yang secara potensial dapat menimbulkan bahaya bagi kesehatan. Critical Control Point
tingkat yang tidak membahayakan. Penerapan konsep ini secara langsung akan
maupun fisik lainnya pada suatu bahan pangan, serta dapat menghindari
pada pengawasan sebagai faktor kunci yang dapat mempengaruhi keamanan dan kualitas
pangan, maka petugas pengawas, produsen, maupun konsumen akan dapat menjamin
PENGANGKUTAN/TRANSPORTASI
ISTIRAHAT
PROSES PENYEMBELIHAN
SAPI, KERBAU, DOMBA, KUDA
BABI
PEMBELAHAN KARKAS
PENGELUARAN JEROAN CCP2
PEMERIKSAAN DAGING/
PENGEPAKAN KONSUMEN
PENGEPAKAN KONSUMEN
PELAYUAN/PENIRISAN
PEMERIKSAAN DAGING/POST MORTEM
PENDINGINAN
PENDINGINAN CCP1
CCP1 (COLD STORAGE)
(COLD STORAGE)
PELAYUAN/PENIRISAN
CCP2
PENGANGKUTAN
PENGANGKUTAN CCP2
KONSUMEN
KONSUMEN
Keterangan :
Kecil kemungkinan terkontaminasi (minor contamination)
Besar kemungkinan terkontaminasi (mayor contamination)
CCP1 Merupakan CCP yang efektif
CCP2 Tidak absolut
Gambar 22. Bagan alir proses produksi daging di RPH (Direktorat Bina Kesehatan
Hewan. 1995)
2. Pengangkutan/ Penyebaran penyakit Hanya hewan sehat yang Pengawasan kesehatan hewan yang
transportasi*) dipotong dimulai dari peternakan dengan
melakukan seleksi hewan yang akan
dipotong
Stres Hindari mengangkut Sesuaikan daya tampung/kapasitas
hewan dalam jumlah kendaraan angkut dengan jumlah
banyak ternak
10 Pembelahan karkas Kontaminasi karkas dari alat Mencegah kontaminasi Pencucian alat dan tangan petugas
. (gergaji) dan pekerja/petugas pada karkas sebelum pembelahan karkas
11 Pemeriksaan jeroan Kontaminasi karkas dan Mencegah kontaminasi Pencucian alat dan tangan
. dan karkas (post- jeroan dari alat (pisau) dan pada karkas dan jeroan pekerja/petugas sebelum
mortem) petugas/pekerja pemeriksaan post mortem
Sesuai dengan SK Menteri
Pertanian No.
413/Kpts/TN.310/7/1992 tentang
pemotongan hewan potong dan
penanganan daging serta hasil
ikutannya dan SK Menteri
Pertanian No.
295/Kpts/TN.240/5/1989 tentang
pemotongan babi dan penanganan
daging babi dan hasil ikutanya
18 Penanggulangan Peralatan yang kotor Upayakan peralatan Sterilisasi semua peralatan yang
. lalat/insekta
pemotongan/ berhubungan dengan proses
penanganan daging pemotongan/penanganan daging
yang bersih Pengawasan adanya lalat/insekta
Kontaminasi lewat Pengawasan dan pada awal operasional
lalat/insekta pencegahan
melampaui batas toleransi yang harus dipenuhi (Critical Limit). Apabila CCP melampaui
batas toleransi yang harus dipenuhi, maka harus dilakukan tindakan koreksi. Hasil
2
Pemisahan
Pemisahan x Krim mentah
3. Pasteurisasi 0
CCP
4.
Penguapan
5.
Tangki penyeimbang 0
bang
6. Pemanasan kembali 0 CCP
bang
7.
Pengeringan awal 0
bang
8.
Pengeringan kedua
Penggumpalan 0
9. Penyimpanan 0
bang
10. Pengepakan 0
bang
bang
Kontaminasi
CCP
Lingkungan x
Pada susu skim bubuk, bahaya (hazard) biasanya akibat dari terjadinya
kontaminasi bubuk susu oleh Salmonella, yang dapat hidup dengan baik sewaktu
penyimpanan, kemudian kuman akan mengalami perkembangan yang pesat pada kondisi
tertentu. Sementara itu, bakteri Staphyllococcus aureus diketahui sebagai penyebab
Buku Ajar Higiene Makanan 243
keracunan makanan pada bubuk susu. Baru-baru ini dilaporkan bahwa bakteri Salmonella
juga menyebabkan terjadinya wabah keracunan.
Semua wabah tersebut diketahui akibat dari faktor umum berupa adanya akumulasi
dari kontaminan debu serta adanya penimbunan bubuk dalam lingkungan pabrik yang
dapat memindahkan kuman kepada produk akhir melalui kesalahan mekanis ataupun
kesalahan lainnya.
Bahaya kedua yang penting adalah penggunaan udara yang terkontaminasi pada
saat tingkat pengeringan kedua, saat pemindahan bubuk ke gudang penyimpanan, atau
selama kegiatan pengisian dan proses pengepakan.
Bahaya selanjutnya dapat berasal dari adanya kontaminasi lingkungan yang
terpusat pada tangki pengering sewaktu proses pemanasan kembali yang tidak cukup
untuk membunuh bakteri Samonella atau kuman patogen lainnya, atau akibat terjadinya
pertumbuhan Staphyllococcus aureus dan toksin yang dihasilkan sebelum proses
pengeringan. Berdasarkan atas asumsi tersebut, hal-hal yang perlu diperhatikan adalah
bahwa bakteri Salmonella kemungkinan besar ditemukan sewaktu dalam ruang pengering
akibat dari sekumpulan droplet yang tidak dapat dimusnahkan, dan yang kedua yaitu
toksin Staphyllococcus yang bersifat stabil terhadap panas, akan terus bertahan di dalam
produk.
Berdasarkan latar belakang tersebut, pengetahuan mengenai alur rekontaminasi
seperti ditunjukkan dalam Gambar 34, merupakan kunci dalam pengawasan higiene pada
produk susu skim bubuk dan produk susu bubuk lainnya sehingga dapat disimpulkan
sebagai berikut ini:
Habatan higiene untuk mencegah kontaminasi biasanya berasal dari daerah
penanganan bubuk.
Minimalkan timbunan debu dan bubuk susu pada daerah pengering dan daerah
penanganan bubuk lainnya dari pabrik.
Peliharalah kondisi kering dalam daerah pengering dan daerah penanganan bubuk
dengan menggunakan teknik kering bersih (misalnya teknik vakum).
Periksa ruang pengering serta perbaiki dan pelihara secara teratur peralatan untuk
pengering dan peralatan untuk penanganan lainnya.
Gunakan pengering udara bakteriologis untuk proses pengering ke-2/ sekunder dan
selanjutnya untuk pemindahan bubuk dan kegiatan penanganan bubuk termasuk
pengepakan.
2 CCP
Pasteurisasi
Pemisahan 0
Penambahan Rennet 0
3.
5.
Fermentasi 0 CCP
bang
6. Pengasinan 0
bang
7.
Penusukan 0
bang
8.
Pematangan 0
bang
9. Pengepakan 0
bang
Kontaminasi CCP
Lingkungan x
Gambar 24. Diagram Alir Produksi Keju Lunak Matang (Early, 1998)
Buku Ajar Higiene Makanan 245
Bahaya pada pembuatan keju lunak matang adalah bahwa keju menjadi
terkontaminasi oleh kuman patogen yang dapat tumbuh infektif selama pematangan dan
selama distribusí, ketika pH dari keju jenis ini meningkat dari pH <5,0 menjadi pH 6,0
atau lebih.
Sebagian besar wabah keracunan makanan yang terjadi di USA tahun 1971
dilaporkan berasal dari kuman enteropathogenic serotipe Escherichia coli pada keju
import jenis Brie dan Camembert. Wabah yang lebih baru adalah terjadinya wabah oleh
Listeria monocytogenes yang diawali dengan terjadinya wabah di Los Angeles tahun 1985
dengan jumlah kasus sebanyak 86 kasus yang menewaskan 29 orang. Survei yang lebih
luas terhadap kejadian L. monocytogenes pada keju lunak yakni survei oleh Pini dan
Gilbert (1988) yang menunjukkan bahwa antara tahun 1986/1987 sebanyak 10% keju
lunak yang diimpor ke UK positif Listeria monocytogenes < 102 cfu/g – 105 cfu/g. Perlu
dicatat bahwa penerapan Good Manufacturing Practice (GMP) yang merupakan dasar
dari analisis HACCP dari suatu perusahan dapat diterima, yang terbukti dengan tidak
ditemukannya mikroorganisme pada keju import.
Pada Gambar 35, terlihat bahwa ada 3 Critical Control Point (CCP) dalam
perusahan keju lunak matang. Yang pertama adalah: pasteurisasi, di mana sebagian besar
produk keju berasal dari susu mentah, sehingga memperbesar kemungkinan terjadinya
bahaya terhadap konsumen. Critical Control Point (CCP) kedua adalah: fermentasi.
Adanya perkembangan asam pada keju merupakan hal yang penting dalam perusahan
keju. Critical Control Point (CCP) ketiga adalah higiene pabrik. Pada Gambar 35,
ditunjukkan bahwa kemungkinan dapat terjadinya rekontaminasi pada semua tingkatan
post-pasteurisasi misalnya: rekontaminasi dari produk akibat dari tingginya derajat
keterpaparan pada saat penanganan dan kontaminasi dari lingkungan selama pembuatan
dan pematangan. Di sisi lain, pH keju akan meningkat kepada tingkat yang mana kuman
patogen termasuk Listeria monocytogenes dapat memperbanyak diri. Munculnya
dominasi Listeria pada keju jenis ini adalah akibat dari keadaan mikroorganisme
psychrotrophic alami serta toleransi terhadap penurunan water activity (aw) dari keju.
Berdasarkan hal itu, maka kuman akan tumbuh baik pada temperatur pematangan yang
biasa digunakan (10-120C), dan kuman akan terus tumbuh ketika pH keju meningkat di
atas 5.
Toleransi terhadap garam menunjukkan bahwa tangki pengasinan diperkirakan
sebagai vektor untuk terjadinya rekontaminasi. Secara alami, kuman psychrotrophic yaitu
Buku Ajar Higiene Makanan 246
L. monocytogenes akan dapat membentuk koloni dan tumbuh pada lingkungan sedikit
basah dan dingin.
Jelasnya bahaya nyata dengan faktor utama yaitu kontaminasi lingkungan oleh L.
monocytogenes dimungkinkan pada daerah prosessing yang basah. Lebih lanjut,
digambarkan hasil survei dari USA di mana hasil isolasi yang menunjukkan hasil positif
L. monocytogenes (dalam %) yaitu :
lantai untuk daerah prosessing 17,9%;
lantai untuk ruang pendingin 27,9%;
lantai tempat masuk 17,2%;
lantai keset dan pencuci kaki 12,0%;
lantai lainnya 26,3%; dan
daerah yang tidak kontak dengan produk 8,1%.
Lebih lanjut, data dibagi atas daerah basah menunjukkan 85,7% positif, sementara daerah
kering 14,3%. Hal ini menggambarkan bahwa tempat basah merupakan tempat selektif
untuk Listeria monocytogenes.
Dari pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa kunci untuk meminimalkan
kontaminasi pada keju lunak adalah sebagai berikut ini:
o Buat prosedur pencegahan higiene yang baik, untuk mencegah kontaminasi pada
daerah di mana keju terpapar dan ditangani post-pasteurisasi.
o Jaga daerah di mana keju ditangani dengan sekering mungkin. Di sini meliputi
upaya meminimalkan penggunaan pipa air selama produksi serta penggunaan
ventilasi yang cukup untuk mencegah pengembunan pada permukaan.
o Buat rencana pembersihan pada semua permukaan untuk mencegah adanya
kontaminasi meliputi: permukaan lantai, dinding, langit-langit, dan semua
permukaan luar (tidak kontak dengan produk) serta permukaan peralatan.
o Rencanakan pemantauan dan pemeliharaan semua peralatan untuk mengetahui
bahwa semuanya dalam kondisi baik dan tidak rusak yang dapat merupakan
wahana untuk terjadinya kontaminasi pada produk.
Anonimous, 1999. Workshop on Animal Product and Animal Byproduct Processing. Semi
Project of Quality Improvement in Undergraduate Program. Bogor Agriculture
University. Faculty of Animal Science. Department of Animal Production.
Arka, I.B. 1994. Ilmu Pengetahuan Daging dan Teknologinya. Universitas Udayana.
Buckle, K.A., Edwards, R.A., Fleet, G.H., and M. Wootton. 1987. Ilmu
Pangan.Terjemahan : Hari Purnomo dan Adiono. UI Press. Jakarta.
Gradin, P.G.C.T. 2001. Petunjuk untuk Penanganan, Pengiriman dan Pemotongan Hewan
yang Manusiawi. (diterjemahkan oleh Marjaya W). Food and Agriculture of The
United Nations Regional Office for Asia and The Pacific. 84 hal.
Gunawan, J., 2002. Teknik Assesmen NKV sebagai Persyaratan Dasar Penerapan HACCP
di Industri Pangan Asal Hewan. dalam Pelatihan Penerapan HACCP pada Industri
Pangan Asal Hewan untuk Dosen Universitas/Perguruan Tinggi. 13-24 Mei 2002.
Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner. Ditjen Bina Produksi Peternakan.
Jakarta.
Lukman, D.W., 1999. Materi Kuliah HACCP Program Magister Ilmu Kesmavet. IPB.
Prihadi, S., 1997. Dasar Ilmu Ternak Perah. Fakultas Peternakan UGM.
Soejoedono, R.R., 1997. Mikrobiologi Pangan Asal Hewan. Bahan Kuliah Pascasarjana
Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner. Fakultas Pascasarjana IPB.
Bogor.
Soeparno, Indratiningsih, Sukarjono triatmojo, dan Rihastuti. 2001. Dasar Teknologi Hasil
Ternak. Jurusan Teknologi Hasil Ternak. Fakultas Peternakan UGM.
Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Gajah Mada University Press.
Winarno, F.G., dan S.Koswara. 2002. Telur: Komposisi, Penanganan dan Pengolahannya.
M-Brio Press. Bogor.