Anda di halaman 1dari 116

PPDH GELOMBANG XXXIII

LAPORAN KOASISTENSI PARASITOLOGI


4 November – 22 November 2019

KELOMPOK 1 SUBKELOMPOK 3

Dio Putra P., S.KH. 061913143052


Kristoforus Arnold K., S.KH. 061913143102
Galuh Esti P., S.KH. 061913143030
Ratna Bangun P., S.KH. 061913143092
Rifqa Azizah A.M., S.KH. 061913143101
Sis Wisnuarti T., S.KH. 061913143060
Nadya Akifah P. E., S.KH. 061913143081

DEPARTEMEN PARASITOLOGI VETERINER


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2019
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI .................................................................................................... i

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ............................................................................... 1
1.2 Tujuan ............................................................................................ 1
1.3 Manfaat .......................................................................................... 1

BAB II MATERI DAN METODE


2.1 Waktu dan Tempat Pemeriksaan .................................................... 2
2.2 Metode Pemeriksaan
2.2.1 Alat dan bahan ..................................................................... 2
2.2.2 Koleksi sampel .................................................................... 2
2.2.3 Prosedur pemeriksaan
2.2.3.1 Bedah saluran cerna hewan .................................... 2
2.2.3.2 Pemeriksaan telur cacing
2.2.3.2.1 Metode Natif ........................................... 3
2.2.3.2.2 Metode Sedimen...................................... 3
2.2.3.2.3 Metode Apung......................................... 4
2.2.3.3 Pembuatan preparat permanen pewarnaan Semichen-
Acetic carmine........................................................ 4
2.2.3.4 Swab Kerongkongan .............................................. 5
2.2.3.5 Teknik Sporulasi .................................................... 5
2.2.3.6 Teknik Gerusan Organ ........................................... 5
2.2.3.7 Pembuatan Ulas Darah Giemsa .............................. 6
2.2.3.8 Koleksi Lalat dan Nyamuk..................................... 6
2.2.3.9 Koleksi Pinjal ......................................................... 7
2.2.3.10 Koleksi Kutu dan Caplak ..................................... 7
2.2.3.11 Koleksi Tungau .................................................... 7
2.2.3.12 Prosedur Pengawetan
2.2.3.12.1 Pengawetan Kering ............................ 8
2.2.3.12.2 Pengawetan Basah .............................. 9
2.2.3.13 Identifikasi ............................................................. 9

BAB III HASIL PEMERIKSAAN .................................................................. 10

BAB IV PEMBAHASAN ................................................................................ 14

i
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dewasa ini, keberadaan akan sejumlah agen infeksi telah sangat beragam,
baik dari segi jumlah maupun keberagaman spesiesnya. Virus, bakteri, helmint
maupun protozoa kesemuanya dapat menginfeksi manusia maupun hewan dapat
secara langsung maupun melalui berbagai inang perantara, yang pada departemen
ini lebih di fokuskan inang perantara nya berupa lalat, kuta, caplak, maupun pinjal.
Lantas peran Veteriner turut menjadi kunci utama guna mencegah terjadinya
penyebaran dari agen infeksi tersebut. Baik yang hanya ada pada hewan, maupun
yang dapat ditularkan kepada manusia (zoonosis). Helmint misalnya, dengan
banyaknya variasi yang tersebar di seluruh penjuru dunia tentunya menjadi
perhatian serius yang hingga detik ini kerap menginfeksi manusia, baik secara
langsung maupun melalui perantara.
Parasit cacing yang menginfeksi hewan dan atau manusia tentunya
memperoleh banyak keuntungan dari inang yang diinfeksinya, namun sebaliknya,
sebagai inang tentunya akan ada banyak kerugian yang harus ditanggung, seperti
kerusakan patologis, terganggunya metabolisme tubuh, terhambatnya pertumbuhan
inang hingga dapat menyebabkan kematian. Guna mengetahui agen parasitic cacing
yang menginfeksi hewan tentunya diperlukan kemampuan dan keterampilan dalam
proses identifikasinya. Jenis cacing, patogenesa, gejala klinis yang diakibatkan,
distribusi, inang perantara, kerugian yang ditimbulkan hingga pengobatan dan
pengendalian yang dapat dilakukan sebagai Dokter Hewan guna mencegah
terjadinya reinfeksi.
1.2 Tujuan
1. Mengidentifikasi jenis cacing pada saluran pencernaan hewan ruminansia
(sapi, kambing dan kuda), mammalia (anjing, kucing, dan tikus), unggas
(ayam dan burung dara), satwa liar (monyet, wallaby tanah, kera jepang,
harimau sumatera, kijang, rusa sambar) serta reptile (iguana dan leopard
gecko) melalui pemeriksaan telur cacing dan protozoa pada feses, darah dan
pembedahan saluran cerna.
2. Mendiagnosis penyakit helminthiasis, vektor pembawanya serta melakukan
tindakan penanganan yang tepat terhadap agen helminth maupun protozoa
yang berpotensi menginfeksi hewan maupun manusia.
1.3 Manfaat
1. Meningkatkan kemampuan dan keterampilan mahasiswa Pendidikan
Profesi Dokter Hewan (PPDH) dalam mengidentifikasi jenis cacing pada
saluran pencernaan hewan melalui pemeriksaan telur cacing pada feses dan
pembedahan saluran cerna.
2. Mahasiswa Pendidikan Profesi Dokter Hewan (PPDH) mampu
mendiagnosa penyakit helminthiasis, mengetahui vektor pembawanya serta
melakukan tindakan penanganan yang tepat terhadap agen cacing parasitik
yang menginfeksi hewan.

1
BAB II MATERI DAN METODE

2.1 Waktu dan Tempat Pemeriksaan


Pemeriksaan sampel dilakukan pada tanggal 4 – 22 November 2019 di
Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga.
2.2 Materi Pemeriksaan
2.2.1 Alat dan Bahan
Pada pemeriksaan ini menggunakan alat-alat diantaranya adalah
cawan petri, tabung sentrifuge, sentrifuge, pinset, gunting bedah, gelas
plastik, pipet, pengaduk, saringan, object glass dan cover glass,
mikroskop cahaya, kertas label, pot plastik, mortir dan penggerus,
spatula.
Bahan-bahan yang digunakan diantaranya adalah Larutan NaCl,
Larutan formalin 10%, Larutan Kalium Dikromat, Larutan KOH,
Larutan pewarna Carmine, Larutan gula jenuh, Alkohol 70%, alkohol
85%, alkohol 95%, alkohol glicerin 5%, Alkohol asam dan alkohol basa,
Saluran pencernaan unggas (ayam dan merpati), Saluran pencernaan
mamalia (anjing dan tikus), Feses dari beberapa jenis hewa
2.2.2 Koleksi Sampel

Sampel dikumpulkan dari tempat yang berbeda yaitu pasar ikan


Gunung Anyar, Kenjeran, Pasar Surya Pucang dan Wonokromo, Rumah
Potong Hewan Pegirian, Rumah Potong Hewan Kedurus, Rumah Sakit
Hewan Pendidikan Universitas Airlangga dan peternakan warga di
sekitar Surabaya-Mojokerto.

2.2.3 Prosedur Pemeriksaan Sampel


2.2.3.1 Bedah saluran cerna

Pemeriksaan parasite cacing pada saluran pencernaan unggas


dilakukan pembedahan terhadap saluran cerna ayam, anjing, tikus dan burung
dara.

1. Saluran pencernaan dipisahkan mula dari oesophagus hingga anus.


2. Dilakukan pembedahan pada organ hepar, proventrikulus dan
ventrikulus
3. Dilakukan pembedahan dan pemeriksaan pada usus halus hingga anus,
serta dilakukan pengamatan terhadap adanya kelainan yang tampak.

2
4. Melakukan metode kerokan (scrapping) menggunakan scalpel untuk
mencari kemungkinan adanya scolex cacing pita atau Coccidian.
5. Mengoleksi cacing yang diperoleh dari masing-masing organ dengan
dimasukkan ke dalam pot berisi NaCl dan sebagian lainnya dimasukkan
ke dalam pot berisi larutan formalin 10% dan beberapa cacing akan
dibuat preparat dengan pewarnaan Carmine.
6. Preparat cacing yang ditemukan kemudian diberi label dengan identitas
berupa nama cacing, habitat, hospes dan kolektor.
2.2.3.2 Pemeriksaan Telur Cacing
2.2.3.2.1 Metode natif
1. Membuat suspense feses dengan air
2. Meneteskan 1 – 2 tetes suspense feses tersebut di atas object glass
3. Object glass ditutup dengan cover glass dan diamati menggunakan
mikroskop dengan perbesaran 100-400×.
2.2.3.2.2 Metode sedimen
1. Membuat suspense feses dengan ditambahkan air.
2. Suspense feses tersebut kemudian disaring menggunakan saringan.
3. Filtrate dimasukkan ke dalam tabung sentifus dengan perbandingan 1:10
untuk kemudian dilakukan sentrifugasi dengan kecepatan 1500 rpm
selama 5-10 menit.
4. Supernatant dibuang dan ditambahkan air sama banyak seperti filtrate
awal pada langkah ketiga.
5. Proses sentrifugasi diulangi kembali, lalu supernatant dibuang dan
ditambahkan air.
6. Sentrifugasi diulang kembali hingga supernatant jernih.
7. Supernatant dibuang dan disisakan sedikit lalu endapan pada dasar
tabung diaduk hingga rata.
8. Filtrate diambil menggunakan pipet dan diteteskan pada object glass lalu
ditutup dengan cover glass.
9. Preparat yang telah didapatkan kemudian diperiksa menggunakan
mikroskop dengan perbesaran 100-400×.

3
2.2.3.2.3 Metode apung
1. Membuat suspense feses dengan ditambahkan air.
2. Suspense feses tersebut kemudian disaring menggunakan saringan.
3. Filtrate dimasukkan ke dalam tabung sentifus dengan perbandingan 1:10
untuk kemudian dilakukan sentrifugasi dengan kecepatan 1500 rpm
selama 5-10 menit.
4. Supernatant dibuang dan ditambahkan air sama banyak seperti filtrate
awal pada langkah ketiga.
5. Proses sentrifugasi diulangi kembali, lalu supernatant dibuang dan
ditambahkan air.
6. Sentrifugasi diulang kembali hingga supernatant jernih.
7. Supernatant dibuang dan ditambahkan larutan gula jenuh sampai
permukaan tabung sentrifus cembung dan ditutup menggunakan cover
glass lalu dibiarkan selama 5 menit.
8. Gelas penutup kemudian diambil dan diperiksa menggunakan
mikroskop dengan perbesaran 100-400×.
2.2.3.3 Pembuatan preparat permanen pewarnaan Semichen- Acetic
carmine
1. Cacing difiksasi menggunakan 2 object glass dan kedua ujungnya diikat
menggunakan karet agar rapat.
2. Object glass berisikan cacing dimasukkan ke dalam alcohol gliserin 5%
selama 24 jam, lalu setelahnya dimasukkan ke dalam alcohol 70%
selama 5 menit.
3. Preparat setengah jadi dimasukkan ke dalam larutan Carmine selama ±
8 jam, bergantung pada ketebalan kutikula cacing.
4. Cacing dilepas dari fiksasi dan dimasukkan ke dalam alcohol asam
selama 2 menit lalu direndam dalam alcohol basa selama 20 menit.
Kemudian dilakukan tahap dehidrasi dengan memasukkan cacing ke
dalam alcohol bertingkat (70%, 85% dan 95%) dengan masing – masing
waktu yang dibutuhkan sebanyak 5 menit dan dilanjutkan dengan
mounting pada larutan Hung’s I selama 20 menit.

4
5. Setelah dari larutan Hung’s I, cacing diletakkan pada object glass dan
ditetesi dengan larutan Hung’s II secukupnya di atas cacing tersebut.
Kemudian ditutup dengan cover glass.
6. Preparat diinkubasi menggunakan inkubator dengan suhu 37 °C selama
24 jam guna mengeringkan preaparat agar merekat sempurna.
7. Setelah proses inkubasi dan preparat mengering, kemudian dilakukan
identifikasi menggunakan mikroskop.
2.2.3.4 Swab Kerongkongan
1. Siapkan gelas objek dan beaker glass kecil atau pot salep berisikan NaCl
fisiologis
2. Pegang unggas yang didiagnosa terinfeksi Trichomoniasis dan buka
mulut lebar-lebar
3. Menggunakan cotton bud yang telah dibasahi NaCl fisiologis kemudian
dimasukkan sampai ke pangkal kerongkongan dan diusapkan (swab)
4. Hasil usapan tersebut lalu dimasukkan ke beaker glass yang berisi NaCl
fisiologis dan dicampur sampai homogen
5. Ambil satu tetes dengan pipet pasteur dan letakkan pada gelas obyek
dan ditutup dengan gelas penutup kemudian amati pada mikroskop
dengan pembsaran 400×-1000×.
6. Bila hewan positif mengalami Trichommoniasis, dalam proses
pemeriksaan akan ditemukan Trichomonas yang aktif bergerak dengan
flagellanya.
2.2.3.5 Teknik Sporulasi
1. Sampel feses yang diindikasi mengandung agen protozoa diletakkan
pada wadah khusus (pot salep) dan ditambahkan larutan kalium
bikromat 2-5%.
2. Wadah dibiarkan terbuka untuk memberikan suasana aerob.
3. Sampel feses kemudian diperiksa 3 hari setelah dilakukan sporulasi.
2.2.3.6 Teknik gerusan organ
1. Organ yang mengalami kelainan diambil beberapa bagian untuk
dilakukan pemeriksaan.
2. Organ tersebut lalu digerus dengan mortir dengan ditambahkan
beberapa tetes larutan NaCl fisiologis.

5
3. Gerusan yang telah hancur tersebut kemudian diletakkan pada object
glass dan ditutup dengan cover glass.
4. Preparat gerusan organ tersebut kemduian dilakukan pemeriksaan di
bawah mikroskop dengan perbesaran 400- 1000×.
2.2.3.7 Pembuatan ulasa Darah Giemsa
1. Ulas darah tipis yang tekah kering dilanjutkan difiksasi dengan
methanol (methyl alcohol absolut) selama 3 – 5 menit.
2. Tanpa dikeringkan, object glass dimasukkan pada larutan giemsa 10 –
20% selama 30 menit.
3. Usapan darah tebal langsung dimasukkan ke dalam pewarna Giemsa
tanpa dilakukan fiksasi menggunakan methanol absolut.
4. Setelah 30 menit, object glass diambil dan dicuci dengan air mengalir
(air kran) secara perlahan sampai zat warna tidak ada yang tersisa.
5. Pada pencucian hasil ulas darah tebal tidak diperbolehkan pada air
mengalir
6. Object glass diposisikan berdiri untuk dikeringkan pada bidang
pengering di suhu kamar.
7. Object glass yang telah mongering untuk kemudian dikeringkan
menggunakan mikroskop dengan perbesaran 400 - 1000×, untuk
perbesaran 1000× ditambahkan minyak emersi.
2.2.3.8 Koleksi Lalat dan Nyamuk

Lalat dikoleksi menggunakan insect net dan dimasukkan ke dalam botol


atau pot spesimen berisikan formalin. Lalat seperti Pseudolyncia canariensis
diambil dari bagian caudal burung Merpati, lalat dapat diambil pada sela – sela
bulu Merpati. Nyamuk dikoleksi menggunakan insect net atau insektisida dan
dimasukkan ke dalam pot berisi kapas alkohol 70% hingga nyamuk tidak dapat
bergerak atau mati. Larva lalat dikoleksi menggunakan pinset secara langsung
dan disimpan pada pot spesimen. Larva dan pupa nyamuk diambil langsung
pada kubangan air dan dikoleksi menggunakan pot spesimen berisi air.

6
2.2.3.9 Koleksi Pnjal

Pinjal anjing (Stenoceplaides canis) dan kucing (Stenocephalides felis)


dewasa dapat dikoleksi lasung dari inangnya atau lingkungan bangunan tempat
pemeliharaan anjing dan kucing. Anjing dan kucing atau hewan atau dibiarkan
lepas dalam bangunan sebagai umpan pinjal. pinjal juga dapat dikoleksi dari
kucing dengan memasukkan badan kucing ke dalam kantong plastik, sehingga
pinjal akan mati dan lepas dari induk semangnya dan tertampung pada kantong
plastik, kucing diangkat dan pinjal dapat terkumpul (Penuntuk Praktikum Ilmu
Penyakit Arthropoda, FKH UNAIR 2015). Pengambilan sampel pinjal juga
dapat dilakukan dengan mengambil langsung pada hewan menggunakan pinset
dan dimasukkan ke dalam pot spesimen berisi KOH.

2.2.3.10 Koleksi Kutu dan Caplak

Pengumpulan kutu penghisap tergantung pada keberhasilan pemeriksaan


bulu untuk memperoleh telur, nimpa, dan kutu dewasa. Kutu yang lepas dan
siap bertelur sering ditemukan di daerah yang mudah kontak dengan hewan lain
sehingga memudahkan penularan. Bentuk nimpa dan dewasa sering ditemukan
secara aktif sedang makan dibawah bulu pada permukaan kulit (Bram, 1978).
Koleksi kutu dan caplak dapat dilakukan langsung pada hewan yang memiliki
kutu, penggambilan dapat dilakukan menggunakan bantuan pinset. Kutu
disimpan dalam pot spesimen berisi KOH.

2.2.3.11 Koleksi tungau

Koleksi tungau dilakukan dengan cara pengambilan sampel yang diduga


menjadi predileksi dari tungau dan disimpan dalam pot spesimen berisi KOH.
Tungau seperti Sacrcoptes sp. dapat dilakukan scrapping keropeng hingga
terlihat rembesan darah. Knemidocoptes sp. juga dilakukan Scrapping pada
hewan dengan ciri kaki kapur pada unggas. Octodectes sp. pengambilan sampel
dari kotoran telinga kucing yang diduga terserang tungau. Demodex sp. pada
keropeng anjing di permukaan kulit dilakukan scrapping hingga folikel rambut.

7
2.2.3.12 Prosedur Pengawetan
2.2.3.12.1 Pengawetan kering
1. Mengembangkan sayap (Spreading), Serangga bersayap sebelum
dilakukan pinning, dikembangkan lebih dahulu, kaki- kakinya
dibentangkan, untuk memudahkan mempelajarinya. Serangga yang
kecil dapat diletakkan di atas ujung kertas segi tiga dan ditempel
menggunakan lem.
2. Menusuk Seranggan dengan Pin (Pinning), Serangga dipegang di antara
ibu jari dan telunjuk, sedangkan tangan yang lain menusukkan pin pada
serangga tersebut. Lalat di pin melalui thorax antara pangkal sayap
depan, sedikit ke kanan pangkal garis tengah.
3. Pemberian Label, Label berguna untuk meberikan informasi mengenai
tanggal dan lokasi spesimen tersebut diperoleh dan tambahan
keterangan perlu dituliskan seperti nama kolektor, dan habitat serangga
tersebut. Label disesuaikan dengan keperluan. label yang ditempel pada
gelas sediaan harus ditempel tepinya.
4. Kotak Penyimpanan Serangga, dasar kotak harus lunak sehingga bisa
ditancapkan pin. Ukuran kotak disesuaikan dengan ukuran serangga
yang disimpan. Penyimpanan serangga pada kotak harus dibubuhi kapur
barus untuk mencegah serangga dimakan serangga lain.
2.2.3.12.2 Pengawetan basah
1. Pengawetan basah dalam cairan
Bahan dasar cairan yang digunakan adalah Ethyl Akohol 70 – 80% atau
larutan campuran seperti:
AGA Solution (untuk larva bertubuh lunak) :
Ethyl Alkohol 70% 8 bagian
Aquades 5 bagian
Gliserin 1 bagian
Asam Asetat pekat 1 bagian
Aceto Alkohol (untuk yang berkutikula tebal) :
Ethyl Alkohol 70% 1 atau 2 bagian
Asam Asetat pekat 1 bagian

8
2. Pengawetan Basah dalam Slide Preparat
Dilakukan untuk mengawetkan serangga yang sangat kecil dan
lunak, serta memiliki pigmen yang tidak terlalu tebal seperti larva
nyammuk, nyamuk dewasa, kutu, tungau dan caplak.
 Permanent Mounting tanpa Pewarnaan
 Tahap Clearing : untuk menipiskan pigmen serangga,
serangga dibunuh kemudian dimasukkan dalam KOH 10%
selama 1-10 jam.
 Tahap dehidrasi : digunakan alkohol dengan konsentrasi
semakin meningkat mulai dari 30%, 50%, 70%, 95%, 96%,
kemudian dipindah ke xylol
 Tahap Mounting atau Melekatkan : untuk melekatkan
serangga pada slide dengan menggunakan permount Canada
balsam
 Labeling
 Permanent Mounting dengan Pewarnaan
 Clearing : dengan KOH 10%
 Dicuci dengan aquadest 2 kali
 Dehidrasi : merendam dengan alkohol 95% selama 10 menit.
 Pewarnaan : merendam dalam Acid Fuschin selama 30 menit
 Dehidrasi : merendam dalam alkohol 95% selama 2 menit
 Direndam dalam alkohol 95% + Xylol ana, 5 menit
 Direndam dalam Xylol selama 5 menit
 Permount dan labeling

2.2.3.13 Identifikasi

Identifikasi dilakukan stelah pengamatan pada preparat berupa


morfologi, habitat, dan host dari Arthropoda yang didapatkan. Pegamatan
dilakukan dibawah mikroskop cahaya (tungau, kutu, caplak, dan pinjal) dan
mikroskop stereo (lalat dan nyamuk). Labelling dapat dilakukan guna
memberikan informasi mengenai tanggal pengambilan, lokasi spesimen, nama
kolektor, dan spesies dari serangga setelah dilakukan identifikasi.

9
BAB III HASIL PEMERIKSAAN

Hewan Entomologi Protozoa Helmintologi

Kuda Tabanus rubidus Eimeria Triodontophorus spp


(Equus leuckarti Parascaris equorum
caballus) Trichostrongylus
Trichomena spp.
Oxyuris equi
Strongyloides westeri
Gastrodicus aegypticus
Ayam - - Ascaridia galli
(Gallus gallus Heterakis gallinarum
domesticus) Raillietina sp
Capilaria sp

Kambing Damalinia ovis - Trichostrongylus spp


Moniezia sp.
Haemonchus contortus
Gaegeria pachyscelis
Chabertia ovina
Oesophagostomum
columbianum
Sapi Hippobosca maculata Blastocystis sp Fasciola gigantica
(Bos taurus) Stomoxys calcitrans Balantidium coli Paramphistomum cervi
Haematopinus Eurytrema
eurysternus pancreaticum
Moniezia sp.
Strongyloides papilosus
Ascaris lumbricoides
Schistosoma bovis
Babi - Eimeria sp. Ascaris suum
(Sus scrofa Bourgelatia diducta
domesticus) Trichuris suis

Anjing Rhipichepalus Isospora sp. Echinococcus sp.


(Canis lupus) sanguienus Ancylostoma caninum
Dipylidium caninum
Kucing Otodectes sp. Isospora sp. Ancylostoma sp.
(Felis catus) Ctenocephalides felis

Kelinci Sarcoptes scabiei Eimeria sp.


(Oryctolagus Trypanosoma sp.
cuniculus)
Tikus Hoplopleura janzei - Hymenlopis diminuta
Strongyloides ratti

10
(Rattus Capillaria hepatica
norvegicus)
Merpati Columbicola columbae Leucocytozoon -
(Chalcophaps Pseudolynchia sabrazesi
indica) canariensis Haemoproteus
Trichomonas gallinae columbae
Menachantus Plasmodium sp
stramineus Eimeria sp.
Trichomonas
gallinae
Bebek - Eimeria sp. Ascaridia galli
Heterakis gallinarum
Capillaria sp.
Ikan kerapu Argulus sp. - -
Lernea sp.
Biawak - Haemogregarina Duthiersia expansa
(Varanus sp. Tanqua tiara
salvator )
Ular (Morelia Amblyomma gervaisi - Kalicephalus sp.
viridis)
Rusa Sambar - Balantidium coli Schistosoma sp.
KBS
Rusa Timor - Balantidium coli Oesophagostomum
KBS columbianum
Jerapah KBS - - Schistosoma sp.
Kijang KBS - - -
Beruang Madu - - -
KBS
Monyet KBS - - -
Gajah Haematomyzus - -
elephantis
Kalkun - - -
(Meleagris
gallopavo)
Lain-lain Musca domestica
Culex sp.
Sarcophaga
haemorrhoidalis

HELMINTH
Kelas Species Host Predileksi

Triodontophorus spp Kuda Kolon


Nematoda Parascaris equorum Kuda Usus Halus
Trichostrongylus sp. Kuda, Kambing Lambung/Usus Halus

11
Trichomena spp. Kuda Usus Halus
Oxyuris equi Kuda Usus Besar/Rectum
Strongyloides westeri Kuda Usus Halus
Ascaridia galli Ayam, Bebek Usus Halus
Heterakis gallinarum Ayam, Bebek Usus Halus
Capilaria sp Ayam, Bebek Usus Halus
Haemonchus contortus Kambing Abomasum
Gaegeria pachyscelis Kambing Usus Halus
Oesophagostomum Kambing, domba, Kolon
columbianum dan kijang liar
Chabertia ovina Kambing, domba Kolon
Strongyloides papilosus Sapi Usus Halus
Ascaris lumbricoides Sapi, manusia Usus Halus
Strongyloides ratti Tikus Usus Halus
Nematoda Ascaris suum Babi Usus Halus
Trichuris suis Babi Usus Besar
Bourgelatia diducta Babi Lambung/Usus Halus
Ancylostoma caninum Anjing, Kucing Usus Halus
Capillaria hepatica Tikus Hepar
Tanqua tiara Biawak Lambung
Kalicephalus sp Ular Usus Halus
Fasciola gigantica Sapi Hepar
Paramphistomum cervi Sapi Rumen-Retikulum
Eurytrema Sapi Saluran pankreas
pancreaticum
Trematoda
Gastrodiscus Kuda Usus Halus & Besar
aegyptiacus
Schistosoma sp. Sapi, Rusa, Jerapah Vena porta &
Mesenterica
Moniezia sp. Sapi, Kambing Usus Halus
Raillietina tetragona Ayam, Bebek Usus Halus
Dipylidium caninum Anjing, Kucing Usus Halus
Cestoda
Echinococcus sp Anjing Usus Halus
Hymenolepis diminuta Tikus Usus Halus
Duthiersia expansa Biawak Usus Halus

PROTOZOA

Ordo Famili Genus Host


Eimeria Babi, Sapi,
Eucoccidiorida Eimeriidae
kambing, domba

12
Isospora Anjing, Kucing
Haemogregarinidae Haemogregarina Biawak
Haemospororida Plasmodiidae Plasmodium Merpati
Haemoproteus Merpati
Leucocytozoon Ayam
Blastocystidae Blastocystis Sapi
Vestibuliferida Balantididae Balantidium Sapi, Rusa, Babi
Trypanosomatida Trypanosomatidae Trypanosoma Kelinci
Trichomonadida Trichomonadidae Trichomonas Merpati

ENTOMOLOGI
LALAT DAN NYAMUK
Jenis Parasit Ordo Subordo Famili
Culex sp. Nematocera Ceratopogonidae
Tabanus rubidus Tabanidae
Pseudolynchia canariensis
Hippoboscidae
Hippobosca maculata Diptera
Brachycera
Sarcophaga haemorrhoidalis Sarcophagidae
Musca domestica Muscidae
Chrysomya bezziana Calliphoridae

KUTU (PHTHIRAPTERA)
Subordo Species Host
Damalinia ovis Kambing
Mallophaga
Columbicola columbae Merpati
Haematopinus eurysternus Sapi
Anoplura
Hoplopleura janzeni Tikus
Rhynchophthirina Haematomyzus elephantis Gajah

PINJAL (SIPHONAPTERA)
Famili Species Host
Pulicidae Ctenocephalides felis Kucing

CAPLAK (ARACHNIDA)
Famili Species Host
Rhipicephalus sanguienus Anjing
Ixodidae
Ambylomma gervaisi Ular

TUNGAU
Species Host
Sarcoptes scabiei Kucing
Otodectes sp. Kelinci

13
BAB IV PEMBAHASAN

4.1 Helminth

CLASS NEMATODA

1. Triodontophorus spp

a. Klasifikasi

Kelas : Nematoda
Family : Strongylidae
Genus : Triodontophorus
Spesies : Triodontophorus sp.

Gambar 1. Telur Triodontophorus sp.


b. Predileksi
Kolon
c. Inang Definitif
Equus caballus, Equus africanus
d. Morfologi
 Berwarna kemerahan, berukuran 1.0 – 2.5 cm.
 Buccal capsule bertipe subglobular dan memiliki 3 pasang gigi
oesophageal yang tebal dimana masing-masing tersusun dari 2 lempeng,
tepi anterior yang menebal dan dikelilingi oleh 6 struktur menyerupai
lempeng. Saluran di sisi dorsal tampak menonjol.
 Spikula jantan berakhir di kait kecil.

14
f. Gejala Klinis
Anemia, penurunan berat badan, kelemahan dan diare.
g. Patogenesa
Seperti kebanyakan parasite cacing pada kuda lainnya, Triodontophorus sp.
memiliki efek patogenik berupa kerusakan pada mukosa usus besar akibat gigitan
saat makan, hal ini dikarenakan adanya gigi-gigi kecil pada dasar buccal cavity.
h. Pengobatan
Benzimidazole, Pyrantel dan Avermectin atau Milbemycin
i. Pengendalian
 Selama durasi merumput, seluruh kuda berumur di bawah 2 bulan harus
diberikan perawatan setiap 4–8 minggu dengan Anthelmintik berspektrum
luas.
 Setiap hewan baru yang masuk wajib dikarantina selama 48–72 jam dan
diberikan Anthelmintik sebelum dimasukkan pada lingkungan kandang.
2. Parascaris equorum

b. Klasifikasi

Kelas : Chromadorea
Family : Ascarididae
Genus : Parascaris
Spesies :Parascaris equorum

Gambar 2. Telur Parascaris equorum dokumetasi pribadi, 2019


c. Predileksi
Usus halus
d. Inang Definitif
Kuda dan zebra

15
e. Morfologi
a) Panjang cacing jantan 15-28 cm. Panjang cacing betina sampai 50 cm
dengan diameter 88 mm.

b) Cacing kaku, kuat, dan kepalanya besar. Mempunyai tiga bibir yang
dipisahkan oleh tiga bibi intermediate kecil dan terbagi di bagian
posterior dan anterioroleh celah horizontal pada permukaan medial.

c) Telur berbentuk subglobuler dan mempunyai lapisan albumin, diameter


90-100 μm

f. Gejala klinis
Perut buncit, mantel rambut kasar, dan pertumbuhan lambat

g. Patogenesa
Kuda dapat mengalami batuk dan keluarnya cairan hidung selama tahap
migrasi paru-paru. Jaringan parut organ dalam, terutama paru-paru dan hati, dapat
terjadi selama migrasi parasit. Infestasi parah pada P. equorum dewasa juga dapat
menyebabkan kolik , penyumbatan usus, dan kemungkinan pecahnya usus.

h. Kerugian
Penyebab penyakit kolik pada kuda

i. Pengobatan
Pengobatan dengan memberikan obat antihelmintik seperti ivermectin atau
moxidectin

j. Pencegahan
Menjaga padang rumput dan kandang kuda bebas kotoran telah terbukti efektif
mengurangi infestasi parasit pada kuda. Rotasi padang rumput, terutama dengan
menempatkan hewan dari spesies lain ke dalam rotasi, juga dapat mengurangi
jumlah infestasi parasit.

3. Trichostrongylus sp.

a. Klasifikasi
Filum : Nematoda
Kelas : Chromadorea

16
Ordo : Rhabditida
Famili : Tricostrongylidae
Genus : Trichostrongylus
Spesies : Trichostrongylus sp.

Gambar 2. Telur Trichostrongylus sp. dokumetasi pribadi, 2019


b. Predileksi
Usus Halus
c. Inang Definif
Herbivora
d. Morfologi
 Ukuran telur 85-115 um, bentuk telur oval, panjang, dan berujung runcing
pada satu atau kedua ujung.
 Ukuran cacing biasanya bisa sampai 5mm.
e. Gejala klinis
Hewan pada usia muda akan lebih mudah terkena, namun tidak menutup
kemungkinan hewan dewasa juga dapat terinfeksi. Sakit pada bagian perut,
mual, diare, pusing, turun berat badan, anoreksia, lemas dan batuk berat. Infeksi
yang parah dapat menyebabkan kematian sebelum ada gejala klinis yang jelas.

4. Trichomena spp.

a. Klasifikasi
Kelas : Secernentea
Family : Stringylida

17
Genus : Trichonema

Gambar 3. Telur Trichonema sp. dokumetasi pribadi, 2019

b. Predileksi
Usus Besar
c. Inang Definitif
Kuda
d. Morfologi
Jantan memiliki panjang sekitar 6 mm, tidak termasuk lobus bursal dorsal, yang
menonjol agak pada sudut kanan dari poros tubuh, dengan ketebalan maksimum 44
mm di tengah tubuh; posterior tubuh menjadi lebih tipis dan memiliki ketebalan 24
mm tepat di depan bursa. Betina memiliki panjang sekitar 9 mm, dan 7 dan· 76 mm
di tengah; tubuh menjadi lebih tipis ke arah. ujung posterior yang berakhir dengan
ekor lurus dan runcing.
e. Gejala klinis

Anak kuda yang mengalami infeksi berat menunjukkan diare akut,


kelemahan dan kekurusan. Hewan yang lebih tua dapat mengalami infeksi yang
lebih kronis tanpa menunjukkan tanda-tanda klinis.
f. patogenesa

Parasit dewasa dapat ditemukan di duodenum dan jejunum proksimal dan


dalam jumlah besar dapat menyebabkan peradangan dengan edema dan erosi
epitel. pada enteritis catarrhal dengan gangguan pencernaan dan penyerapan.
Migrasi larva melalui paru-paru dapat menyebabkan perdarahan hebat dan

18
gangguan pernapasan. Penetrasi kulit dapat menyebabkan iritasi dan dermatitis.
g. Pengobatan

Penggunaan Anthelmintik berupa Benzimidazole.


h. Pencegahan
Menjaga pakan dan kandang kuda bebas kotoran telah terbukti efektif mengurangi
infestasi parasit pada kuda.

5. Oxyuris equi

a. Klasifikasi
Kelas : Secernentea
Family : Oxyuridae
Genus : Oxyuris equi
Spesies : Oxyuris equi

Gambar 3. Telur Oxyuris equi (dokumetasi pribadi, 2019)


b. Predileksi
Usus besar
c. Inang Definitif
Kuda
d. Morfologi
Panjang cacing jantan antara 9 - 12 mm dan panjang cacing betina mencapai
150 mm. Esofagus sampai pada bagian tengah dan bulbus tidak jelas. Cacing jantan
mempunya satu spikula yang menyerupai jarum. Panjang spikula 0,12-0,165 μm,
sedangkan pada ekornya terdapat dua pasang papil yang besar. Telur oval asimetris,

19
tum,pul di satu sisi dan mempunya operkulum di satu ujungnya berukuran sekitar
42 x 90 μm.
e. Siklus hidup
Cacing jantan dan cacing betina muda habitanya pada sekum dan colon.
Setelah fertilisasi cacing betina dewasa menuju rektum dan menuju kearah anus.
Telur dikeluarkan dan diletakkan dalam bentuk kluster. Perkembangan telur cepat
untuk menjadi stadium infektif dalam waktu 3-5 hari. Larva infektif didalam usu
halus dan stadium III terbentuk kripta dan mukosa kolon bagian ventral dan sekum.
Larva stadium IV terbentuk 8-10 hari setelah terjadi infeksi, pada saat ini memiliki
bukal kapsul yang besar dan terbenan pada mukosa. Alat-alat seksnya masak pada
stadium dewasa yang dicapai antara 4-5 hari setelah infeksi.
f. Gejala klinis dan patologi
Cacing dewasa menyebabkan pruritus saat bertelur.Kuda menggosok daerah
ekor yang menyebabkan kerusakan pada rambut kepala ekor, penampilan 'berekor
tikus'. Larva L4 dapat menyebabkan peradangan pada mukosa usus karena erosi
disebabkan oleh makan (jarang).
g. Pengobatan
Pemberian obat antihelmentik seperti ivermectin atau moxidectin
6. Strongyloides westeri

a. Klasifikasi
Kelas : Nematoda
Ordo : Strongylida
Famili : Strongyloidae
Genus : Strongyloides
Spesies : Strongyloides westeri

20
Lenght : 48,3 μm

Lenght : 34,7 μm

Gambar 6. Telur Strongyloides westeri dokumetasi pribadi, 2019


b. Predileksi
Usus Halus
c. Inang Definitif
Equus caballus, Equus africanus, Equus grevyi
d. Morfologi
 Ukuran cacing panjang 9 mm dan diameternya 0,08-0,95 mm. Panjang
esophagus 1,3-1,5 mm. telur erukuran 40-5 x 3-40 µm.
 Memiliki oesophagus yang panjang dan menempati 1/3 bagian dari panjang
tubuh. Uterus terjalin dengan usus sehingga tampak seperti pintalan benang.
Ekornya tumpul.
 Telurnya berbentuk oval, selubungnya tebal, halus dan kecil 40–52 × 32–40
µm, salah satu dindingnya asimetris, kutubnya lebar dan pada telur terdapat
larva berukuran kecil dan tebal yang apabila dikeluarkan bersama feses
dapat menetas menjadi L1.
e. Gejala Klinis
Anak kuda yang mengalami infeksi berat menunjukkan diare akut,
kelemahan dan kekurusan. Hewan yang lebih tua dapat mengalami infeksi yang
lebih kronis tanpa menunjukkan tanda-tanda klinis.
f. Patogenesa

21
Parasit dewasa dapat ditemukan di duodenum dan jejunum proksimal dan
dalam jumlah besar dapat menyebabkan peradangan dengan edema dan erosi epitel.
pada enteritis catarrhal dengan gangguan pencernaan dan penyerapan. Migrasi larva
melalui paru-paru dapat menyebabkan perdarahan hebat dan gangguan pernapasan.
Penetrasi kulit dapat menyebabkan iritasi dan dermatitis.
g. Pengobatan
Penggunaan Anthelmintik berupa Benzimidazole.
h. Pengendalian
 Memusnahkan jumlah larva yang hidup bebas dengan membersihkan
secara berkala pada feses yang dihasilkan.
 Pada kandang pejantan, anak kuda harus turut diberi pengobatan
Anthelmintik terhadap S. westeri pada usia 1–2 minggu.
7. Ascaridia galli

b. Klasifikasi
Kelas : Nematoda
Ordo : Ascaridida
Famili : Ascarididae
Genus : Ascaridia
Spesies : Ascaridia galli

Gambar 7. Telur Ascaridia galli.


c. Predileksi
Duodenum
d. Inang Definitif
Gallus sp.

22
e. Morfologi
 Telur berbentuk oval, berdinding rata, tidak tersegmentasi, berwarna cokelat
pucat dan ukuran telur tersebut 73-92 x 45-57 µm.
 Cacing ini adalah cacing nematoda yang ukurannya paling besar diantara
jenis cacing pada unggas, berbentuk bulat, berwarna putih, tidak berpigmen
dan dilengkapi dengan kutikula yang halus.
 Pada cacing jantan, ukurannya 50-76 mm, sedangkan pada betina berukuran
72-112 mm dengan diameter 0,5-1,2 mm.
 Tubuh bagian posterior cacing jantan memiliki alae yang kecil dan
dilengkapi dengan 10 pasang papila yang kecil dan gemuk, bagian mulut
(anterior) memiliki 3 bibir besar, oeshophagus tidak membentuk bulbus,
precloacal succer berbentuk sirkuler dan diliputi lapisan kutikula yang tebal,
spikula sama panjang berukuran 1-2,4 cm, vulva terletak pada bagian
pertengahan tubuh.

f. Gejala Klinis
Gejala klinis yang terjadi pada infeksi cacing A.galli bergantung pada tingkat
infeksi. Pada infeksi berat terjadi diare berlendir, selaput lendir pucat, pertumbuhan
terhambat, kekurusan, kelemahan, anemia, diare dan penurunan produksi telur.

g. Patogenesa
Efek dari infeksi A. galli dapat terlihat pada periode prepaten, ketika larva
telah mencapai duodenum atau mukosa intestinal. Pada infeksi yang terbilang
ringan, umumnya tidak menunjukkan gejala klinis. Cacing dapat menyebabkan
enteritis kataral yang dapat berujung pada haemoragi dan kematian pada infeksi
berat.

h. Kerugian
Helminthiasis yang diakibatkan oleh A. galli menyebabkan kerugian
ekonomi yang cukup besar bagi peternak. Cacing dewasa hidup di saluran
pencernaan, apabila dalam jumlah besar maka dapat menyebabkan sumbatan
dalam usus. Kerugian disebabkan oleh karena cacing menghisap sari makanan
dalam usus ayam yang terinfestasi sehingga ayam menderita kekurangan gizi.

i. Pengobatan

23
Unggas muda harus dipisahkan dari unggas dewasa, dan lingkungan tempat
unggas dipelihara harus mempunyai saluran air yang baik sehingga air tidak
tergenang ditanah. Ayam yang dipelihara dalam kandang litter harus cukup
ventilasi dan secara periodik litter diganti, tempat pakan dan minum

j. Pengendalian
Pengobatan terhadap Ascaridia galli yang paling sering dilakukan dengan
pemberian piperazine. Anthelmentik ini sangat efektif, dapat diberikan melalui
makanan atau minuman. Dosis pemberiannya 300–440 mg per kg pakan atau 440
mg piperazine sitrat per liter. Selain itu dapat digunakan juga hygromisin B dosis
8 gr per ton selama 8 minggu. Albendazol dosis 3,75mg/ kg bb, Fenbendazol
dosis 15– 20 mg/kg bb selama 3 hari berturut-turut dapat digunakan memberantas
infestasi cacing pada ayam atau 30–60 ppm dalam pakan selama 6 hari berturut-
turut, Levamisol 37.5 mg/kg dalam air minum atau makanan. Satu kaplet untuk
10 ekor ayam yang beratnya 1 kg dilarutkan dalam air 2 liter melalui minum atau
dihancurkan dalam makanan 1 kg.

8. Heterakis gallinarum

a. Klasifikasi
Kelas : Nematoda
Ordo : Ascaridida
Famili : Ascarididae
Genus : Heterakis
Spesies : Heterakis gallinarum

Gambar 8. Telur Heterakis gallinarum.


b. Predileksi

Sekum ayam, kalkun, itik, angsa dan sejumlah burung lainnya.

24
c. Inang Definitif
Gallus sp.
d. Inang Perantara
Lumbricus terrestris (Cacing tanah)
e. Morfologi

 Telur berbentuk membujur, tebal dan terlapisi oleh lapisan halus, berukuran
65–80 × 35–46 μm dan tidak tersegmentasi.
 Panjang cacing jantan 7-13 µm sedangkan cacing betina panjangnya 10-15
µm. Terdapat lateral alae yang besar di samping tubuhnya yang meluas ke
posterior. Esofagus bagian posterior membentuk bulbus. Ekor cacing jantan
dilengkapi alae yang besar, menonjol dan sirkuler, terdapat procloacal
sucker dan 12 pasang papillae.
f. Gejala Klinis
Gejala awal akibat Histomoniasis pada kalkun meliputi feces yang berwarna
kekuningan menyerupai belerang, mengantuk, sayap menggantung, berjalan
dengan langkah yang kaku, mata tertutup, kepala digantung mendekati badan,
anoreksia, nafsu minum mengkat, bulu kusam dan berdiri. Kulit dikepala berwarna
kebiruan (sianotik) tetapi dapat juga berwarna normal atau disebut juga Black
Head. Sekitar 12 hari pasca infeksi, maka kalkun biasanya mengalami emasiasi.
Masa inkubasi penyakit tersebut berkisar 7–12 hari dan dapat berlangsung kronis
sampai ayam tersebut mati.
g. Patogenesa
Meski termasuk nematode yang umum ditemukan pada unggas, namun infeksi
yang berjalan berat dapat menyebabkan penebalan pada mukosa sekum. Selain
mengakibatkan infeksi tunggal, H. galli dapat pula berperan sebagai vector
protozoa Histomonas meleagridis.
i. Pengobatan
Phenothiasin karena tidak larut dalam air, maka pemberiannya dicampur
dalam makanan atau berbentuk sedian pil atau kapsul dengan dosis 0,5 g/ekor
dewasa atau dicampur dengan makanan dengan konsentrasi 0,5% dengan dosis
tunggal. Piperazine citrat, dalam kapsul 200 mg diberikan sekali dipakai.
j. Pengendalian

25
Kebersihan kandang harus terjaga selalu bersih sehingga kotoran (yang
mungkin mengandung telur cacing infektif) tidak tertelan oleh hospes.
9. Capilaria sp

a Klasifikasi
Ordo : Enoplida
Famili : Capillariidae
Genus : Capillaria
Spesies : Capillaria sp.

Gambar 9. Telur Capillaria sp.


b. Predileksi

Crop dan Oesophagus, Hepar (C. hepatica)

c. Inang Definitif

Gallus sp.

d. Inang Perantara

Terrestris

e. Morfologi

 Berwarna putih dan berbentuk menyerupai filamen. Struktur stikosom yang


sempit menempati 1/3 dari panjang tubuh. Terdapat mulut dan tidak
memiliki buccal capsule.

26
 Cacing jantan memiliki spikula tunggal yang panjang, pipih, tidak berwarna
dan memiliki struktur primitif menyerupai bursa. Cacing betina yang
mengandung telur memiliki bipolar plugs.
 Telur berukuran 60–65 × 25–28 µm, berwarna cokelat pucat, memiliki
bipolar plugs, lapisan luar tebal dan berbentuk menyerupai barel.

g. Gejala Klinis

Unggas yang terinfeksi menjadi lemah, kurus dan anemia sedangkan pada
unggas yang terinfeksi kronis terjadi menebalkan dinding usus yang ditutupi oleh
eksudat catarrhal.

h. Kerugian

Infeksi ringan dimana jumlah cacing kurang dari 100 dapat menyebabkan
penurunan berat badan dan menurunkan produksi telur. Infeksi berat sering
menyebabkan ayam kurang bergairah (dungu) dan kekurusan

i. Pengobatan

Levamisol dalam air minum sangat efektif, efektivitas nya sama dengan
pengobatan menggunakan benzimidazol dalam pakan. Peningkatan dosis
anthelmintik oral yang diberikan selama beberapa hari, juga memberikan hasil yang
sangat memuaskan

10. Haemonchus contortus

b Klasifikasi
Kelas : Nematoda
Ordo : Strongylida
Famili : Trichostrongylidae
Genus : Haemonchus
Spesies : Haemonchus contortus

27
Lenght : 44,3
μm

Gambar 10. Telur Haemonchus contortus.

c Predileksi
Abomasum
d Inang definitive
Domba, kambing, sapi, dan ruminansia lain
e Morfologi
 Cacing jantan berwarna kemerahan sedangkan betina memiliki ovary yang
melingkari usus yang berwarna merah secara spiral, menimbulkan kesan seperti
tonggal tukang cukur.
 Kutikula bergaris-garis transversal, juga terdapat sejumlah garis longitudinal
 Servikal papilla menonjol, mempunyai buccal cavity yang keci ldengan gigi
yang langsing dibagian dorsal.
 Bursa kopulatrik besar, lobus lateral memanjang, rays silindris, sedang lobus
dorsalis kecil terletak asimetris terhadap lobus lateral sinestra dan ditopang oleh
rays yang berbentuk Y. Panjang spikula 0.46-0.506mm, masing-masing
dilengkapi dengan duri kecil pada ujungnya.
 Vulva biasanya ditutupi oleh tonjolan bibir ( vulva flap) yang biasanya besar
dan sangat menonjol, tetapi dapat pula mengecul seperti sebuah titik.
 Ukuran telur : 70-85 x 41-48 mikron, mengandung embrio yang terdiri dari 16-
32 sel dan dikeluarkan bersama feces.

28
f Gejala Klinis
Pada ruminansia yang masih muda, haemonchosis dapat menyebabkan
kematian tanpa menampakkan gejala selain hidraemia. Pada kasus kronis, anemia
merupakan gejala utama dapat juga disertai dengan diare. Terlihat edematus yang
disebut Bottle Jaw atau Wateri poke yang pembengkakaknnya biasa terlihan di
bawah rahang atau pada sisi ventral abdomen. Hewan cepat menjadi lemah,
langkahnya sempoyongan, sedangkan nafsu makan bervariasi.

g Patogenesa
Dapat disebebakan oleh pengaruh larva cacing yang infektif (L3) dan toksin
yang dihasilkan. Dalam waktu kurang dari 2 hari setelah L3 masuk ke dalam tubuh
inang, L3 akan melepaskan selubung kemudian menembus mukosa
abomasumdengan membuat lubang, lalu akan tinggal sementara pada lamina
propria. Pada hari ke 4, L4 mulai muncul ke permukaan abomasum dan mulai
menghisap darah inang. Cacing dewasa yang hidup di lumen abomasum (kadang di
duodenum) akan merusak mukosan dengan cara menusukkan dorsal lancetnya
untuk menghisap darah. Haemonchus juga mengeluarkan suatu zat antipembekuan
darah ke dalam luka yang ditimbulkan. Oleh karenanya mukosa tersebut menjadi
sangat teriritasi dan cacing menghabiskan darah inang dengan jumlah yang cukup
besar.

Pada kambing dan domba, Haemonchus juga mengakibatkan penurunan


kemampuan digesti dan absorpsi protein, kalsium, dan fosfor. Terjadi penurunan
haemoglobin dan penurunan berat badan yang mencolok.

Jumlah yang dapat menimbulkan kematian pada domba tergantung pada


berbagai factor, seperti umur inang, ukuran, dan berat badan, lama infeksi, status
nutrisi dan status hematologi.

h Kerugian
Dapat mengakibatkan penurunan produksi, hingga kematian.
i Pengobatan
 Phenothiazin, dosis 5-40g (untuk kambing/ domba, single use)
 Tetramisole hydrochloride, dosis 15mg, kg bb (kambing, domba)

29
 Levamisole hidroklorida (antibiotika broad spectrum), dosis 7,5mg/kg
bb/PO; 2ml/50 kg bb/Injeksi (kambing, domba)
 Neguvon, dosis 55mg/kg bb (kambing, domba)
 Methyridine, dosis 200mg/kg bb (dapat PO atau inj., untuk semua hewan)
 Parbendazole, dosis 30mg/kg bb (sapi); 20-30 mg/kg bb (kambing, domba).
Hewan bunting tidak boleh diberikan obat ini.
 Avermectin, dosis 1ml/50kg bb/IM atau SC
j Pengendalian
 Vaksinasi pada ternak
 Mengandangkan ternak tanpa digembalakan atau dengan metode rotasi
padang rumput.
 Menggunakan antelmika seperti, Wormolas (Phenothiazin 2,5% dari
molasses)
 Pengobatan secara periodic terhadap ternak dewasa dan muda, terutama
yang baru disapih
 Pengobatan prventif terhadap ternak yang sedang bunting dan aanyak yang
baru lahir dengan memberi garam, mengandung 10% phenothiazine dalam
makanan.
 Melakukan pemeriksaan telur cacing secara teratur
11. Gaegeria pachyscelis

1. Klasifikasi

Kelas : Nematoda

Ordo : Strongylida

Famili : Ancylostomatidae

Subfamili : Ancylostominae

Genus : Gaigeria

Spesies : Gaigeria pachyscelis

30
Gambar 11. Telur Gaegeria pachyscelis dokumetasi pribadi, 2019.
2. Predileksi

Duodenum

3. Inang Definitif

Kambing dan domba

4. Morfologi

 Panjang cacing jantan 20 mm, sedang cacing betina 30 mm.

 Mirip dengan Bunostoum sp., pada bukal kapsul terdapat dorsal cone dan

sepasang subventral lancet yang terdiri atas beberapa cuping lanset tetapi

tidak memiliki gigi dorsal.

 Spikula langsing dengan ujung lurus (unbarbed ends)

 Telur berukuran 105-129 × 50-55 μm, tumpul pada kedua ujungnya.

5. Gejala Klinis

Hewan yang terinfeksi akan memperlihatkan tanda-tanda kelemahan,

kekurusan, nafsu makan menurun, bulu kotor dan terlihat kusam. Terdapat

31
anemia, diare yang terkadang disertai dengan perdarahan serta menurunnya

berat badan. Infeksi berat dapat menyebabkan bottle jaw.

6. Patogenesa

Akibat infeksi cacing nematoda pada usus hewan ini banyak sekali

menimbulkan kerusakan pada dinding mukosa usus. Cacing jenis ini selain

menghisap darah juga bentuk larvanya dapat menembus mukosa sehingga

menimbulkan reaksi keradangan yang disertai perdarahan dan hewan

mengalami anemia. Pada infeksi yang berat akan menyebabkan

hypoproteinemia yang akhirnya menyebabkan timbulnya edema di bawah kulit

intermandibular yang disebut dengan Bottle Jaw. Akibat penembusan kulit

dapat menyebabkan reaksi lokal berupa peradangan, terbentuk papula dan gatal-

gatal pada kulit.

7. Pengobatan

Dilakukan dengan pemberian mebendazole dan pyrantel tartrat secara oral.

8. Pengendalian

 Memberikan obat cacing pada ternak secara berkala

 Memusnahkan jumlah larva yang hidup bebas dengan membersihkan secara

berkala pada feses yang dihasilkan.

 Menghindari padang gembala yang basah sehingga tertelannya larva infektif

yang menempel di daun dapat diminimalisir

12. Oesophagostomum columbianum

a. Klasifikasi

Kelas : Nematoda

32
Ordo : Strongylida

Famili : Trichonematidae

Genus : Oesophagustomum

Spesies : Oesophagustomum columbianum

Gambar 12. Telur Oesophagostomum columbianum, telur sudah membelah


b. Predileksi

Kolon

c. Inang Definitif

Kambing, domba, dan bangsa kijang liar.

d. Morfologi

 Panjang cacing jantan 12-16,5 mm, sedang cacing betina 15-21,5 mm.

 Memiliki cervical alae yang lebar, memiliki external leaf crown ±20 elemen

dan internal leaf crown ±40 elemen. Di ujung anterior terdapat cervical

groove yang melebar bagian ventral sampai lateral. Di belakang cervical

groove terdapat cervical papillae yang merupakan tanda khas dari spesies

ini.

 Ekor cacing betina meruncing

33
 Bursa kopulatrik cacing jantan tumbuh sempurna dan mempunyai 2 spikula.

 Telur memiliki lapisan/selaput tipis. Telur dikeluarkan sudah mengandung

8-16 sel (segmen) berukuran 73-89 × 34-45 μm.

e. Gejala Klinis

Akan mengalami peritonitis, hal ini disebabkan bila terdapat jumlah nodule

yang banyak dan pecah maka eksudat akan masuk ke rongga peritonium. Pada

anak domba (3-6 bulan) bila terdapat 80-90 cacing dalam usus dan 200-300

cacing pada domba dewasa sudah menyebabkan diare berwarna hijau hitam

disertai lendir. Pada keadaan kronis, diare profus menyebabkan dehidrasi, kulit

kering, tubuh bagian belakang membungkuk, kaku dan koyor, konstipasi karena

jumlah cacing yang banyak, nafsu makan menurun, sangat kekurusan,

penurunan berat badan dan bila berlanjut dapat menyebabkan kematian.

f. Patogenesa

Umumnya yang terserang ialah hewan yang berumur 4-24 bulan, dan

setelah larva tertelan I inang akan mengadakan penetrasi ke dinding usus. Pada

anak domba atau domba dewasa yang sudah pernah terserang, migrasi larva ke

mukosa kurang atau tidak menyebabkan reaksi tubuh. Oleh karena itu kadang

dijumpai cacing dewasa dalam jumlah banyak di dalam kolon tetapi tidak

dijumpai nodul-nodul pada dinding kolon. Pada hewan yang [eka, larva akan

masuk ke dalam submucosa dan mengadakan penetrasi pada lamina propria

usus sehingga terjadi reaksi radang local di sekeliling larva. Karena adanya

reaksi keradangan terjadi pengumpulan sel-sel eosinophil, makrofag, dan sel

raksasa, foreign body mengelilingi larva sehingga terbentuk nodule. Terjadi

pengejuan dan pengapuran pada pusat nodul serta terbentuk kapsul oleh

34
fibroblast diluarnya. Larva dapat bertahan kurang lebih 3 bulan dan bila nodul

sudah mengalami pengejuan dan pengapuran maka larva akan mati, oleh karena

itu akan sedikit ditemukan cacing atau larva yang akan keluar dari nodule

menjadi dewasa dalam kolon.

g. Pengobatan

Dilakukan dengan pemberian mebendazole dan pyrantel tartrat secara oral.

h. Pengendalian

 Memberikan obat cacing pada ternak secara berkala

 Memusnahkan jumlah larva yang hidup bebas dengan membersihkan secara

berkala pada feses yang dihasilkan.

 Menghindari padang gembala yang basah sehingga tertelannya larva infektif

yang menempel di daun dapat diminimalisir.

13. Chabertia ovina

a Klasifikasi
Kelas : Nematoda
Ordo : Strongylida
Famili : Trichonematidae
Genus : Chabertia
Spesies : Chabertia ovina

35
Gambar 13. Telur Chabertia ovina.
b Predileksi
Kolon
c Inang definitif
Domba, kambing, sapi, dan ruminansia lain.
d Morfologi
 Cacing bermulut lebar, memiliki buccal capsul yang lebar dan terbuka
antero-ventral, dimana ujung anterior melengkung ke bagian ventral. Mulut
dikelilingi oleh dua deret kutikula kecil yang merupakan leaf crown. Cacing
jantan dilengkapi dengan bursa kopulatrik yang sempurna dan spikula.
 Ukuran cacingg rata-rata 1-2 cm.
 U
e Siklus
k Hidup
Siklus
u hidupnya mirip dengan trichostongyles. Setelah masuk kedalam host
terakhir,r L3 melepaskan lapisan luar di usus halus, masuk ke mukosadan
berkembang
a menjadi L4. L4 bermunculan dan berkumpul dalam cecum, dan
bergantin menjadi cacing remaja (L5) lalu menuju kolon, dan di kolon menjadi
cacing dewasa. Proses ini terjadi dalam kurun waktu +- 6 minggu.
t
f Gejala Klinis
e
Domba yang terinfeksi akan mengalami penurunan berat badan, dan
l
kekurangan darah. Pada kondisi terinfeksi parah, gejala klinis mungkin muncul saat
u
r
36
c
a
periode prepatent. Dalam kasus ini, telur akan ditemui pada feses hewan, tapi
mugkin akan sulit untuk diidentifikasi karena bentuknya yang mirip dengan telur
nematode trichostrongly dan stongly lainnya.

g Patogenesa
Terjadi saat cacing dewasa mencari makan dengan menempel pada ukosa dan
membuat lubang pada mukosa yang akhirnya membentuk buccal capsule yang
akhirnya dicerna. Dikarenakan luka tersebut maka terjadi ulser mukosa dan
pendarahan local, serta pengurangan serapan protein. Pada infeksi yang berat,
akibat dari +- 200-300 cacing yang mencari makan di kolon dan sudah bengkak dan
menebal, serta terdapat pendarahan local di tempat dimana cacing-cacing
menempel. Beberapa sumber mengatakan bahwa larva dan cacing pada fase L5
merupakan penghisap darah.

14. Strongyloides papilosus


b. Klasifikasi

Kelas : Nematoda
Ordo : Strongylida
Famili : Strongyloididae
Genus : Strongyloides
Spesies : Strongyloides papillosus

Lenght : 26,4 μm
Lenght : 54,3 μm

Gambar 14. Telur Strongyloides papilosus dokumetasi pribadi, 2019

37
c. Predileksi

Usus halus

d. Inang Definitif

Sapi, kambing, domba, kelinci dan ruminansia liar.

e. Morfologi

 Ukuran cacing Panjang 3,5-6 μm dan diameter tubuh 0,05-0,8 μm.

 Telur memiliki ujung yang tumpul dan berdinding tipis. Berukuran 40-60 × 20-

25 μm, sudah mengandung larva yang telah berkembang sewaktu dikeluarkan

bersama feses inang.

f. Gejala Klinis

Hewan yang terinfeksi Strongyloides ini akan memperlihatkantanda-tanda

lemah, kekurusan, nafsu makan menurun, bulu kotor, kusam dan terlihat suram.

Disamping itu juga terlihat adanya anemia, diare yang kakdang-kadang disertai

perdarahan dan menurunnya berat badan.

g. Patogenesa

Parasit dewasa dapat ditemukan di duodenum dan jejunum proksimal dan

dalam jumlah besar dapat menyebabkan peradangan dengan edema dan erosi

epitel. Pada enteritis catarrhal dengan gangguan pencernaan dan penyerapan.

Migrasi larva melalui paru-paru dapat menyebabkan perdarahan hebat dan

gangguan pernapasan. Penetrasi kulit dapat menyebabkan iritasi dan dermatitis.

h. Pengobatan

Penggunaan Anthelmintik berupa Benzimidazole, Pyrantel tartrat secara oral.

38
16. Ascaris suum

a. Klasifikasi
Kelas : Nematoda
Ordo : Ascaridida
Famili : Ascarididae
Genus : Ascaris
Spesies : Ascaris suum

Gambar 16. Telur Ascaris suum dokumetasi pribadi, 2019.


b. Predileksi
Usus halus
c. Inang Definitif
Babi (Sus scrofa)
d. Morfologi
 Cacing jantan memiliki panjang 15-30 cm dan diameter 2 – 4 mm pada
bagian tubuh yang paling lebar. Mempunyai 3 bibir pada ujung anterior
kepala dan gigi-gigi kecil atau dentikel dipinggirnya.
 Cacing jantan mempunyai 2 spikulum yang dapat keluar dari kloaka
 Cacing betina memiliki panjang 20 – 49cm dan diameter 3 – 6mm.
 Cacing beina memiliki vulva pada sepertiga anterior panjang tubuh dan
ovarium yang luas. Uterusnya dapat berisi sampai 27 juta telur pada satu
waktu dengan 200.000 butir telur yang dapat dihasilkan setiap hari.
e. Gejala Klinis
Adanya manisfestasi dari cacing dewasa mengakibatkan penurunan berat
badan. Tidak ada gejala klinis yang signifikan kecuali obstruksi pada instestinal
atau system bilier. Infeksi berat pada anak babi dapat turut disebebakan dari

39
terjadinya infeksi sekunder oleh agen bacterial dan viral. Pada anak babi
dibawah umur 4 bulan, aktivitas larva selama fase migrasi pulmoner dapat
megakibatkan pneumonisa yang berlangsung sementara dana dapat pulih
dengan cepat.
f. Patogenesa
Larva migran dapat menyebabkan eosinophilic granuloma, hepatitis
intestinal dan fibrosis dengan infiltrasi eosinophil yang berat pada hepar. Infeksi
yang berjalan kronis dapat menyebabkan kematian akibat dari pulmo yang
mengalami konsolidasi pada pada alveoli disertai emfisema intersisial dan
oedema interlobular.
g. Kerugian
Menyebabkan hepatitis intersisial, fibrosis, dan kematian.
h. Pengobatan
Pemberian anti-helmintik seperti Benzimidazole (infeksi intestinal), inj.
Levamisole dan Ivermectin (pneumonia).
i. Pengendalian
 Feses yang dihasilkan setelah 3-4 hari pengobatan dilakukan pembakaran
karena terdapat sejumlah besar telur cacing.
 Melakukan pengetatan pada system sanitasi perkandangan serta tempat
pakan dan minum.
 Dilakukan pemberina Anthelmintik pada babi yang baru masuk ataupun
keluar.
17. Trichuris suis

a. Klasifikasi
Kelas : Secernentea
Ordo : Trichurida
Famili : Trichuridae
Genus : Trichuris
Spesies : Trichuris suis

40
lapisan luar
tebal

polar plug
transparan

Gambar 17. Telur Trichuris suis (dokumetasi pribadi, 2019).


b. Predileksi
Usus Besar
c. Inang Definitif
Sus scrofa
d. Morfologi
 Cacing dewasa berwarna putih, berbentuk menyerupai cambuk, 3/5 bagian
anterior tubuh halus seperti benang. Esofagus sempit berdinding tipis
terdiri dari satu lapis sel, tidak memiliki bulbus esofagus, bagian anterior
yang halus ini akan menancapkan dirinya pada mukosa usus, 2/5 bagian
posterior lebih tebal, berisi usus dan perangkat kelamin.
 Cacing jantan memiliki panjang 30–45 mm, bagian posterior melengkung
ke depan sehingga membentuk satu lingkaran penuh. Pada bagian
posterior ini terdapat satu spikulum yang menonjol keluar melalui selaput
retraksi.
 Cacing betina panjangnya 30–50 mm, ujung posterior tubuhnya membulat
tumpul. Organ kelamin tidak berpasangan (simpleks) dan berakhir di
vulva.
 Telur berukuran 50–68 × 21–31 µm, memiliki bentuk seperti tempayan
pada kedua kutubnya terdapat operkulum, yaitu semacam penutup yang
jernih dan menonjol. Dindingnya terdiri atas dua lapis bagian dalam jernih
dan bagian luar kecokelatan.

41
e. Siklus Hidup
Siklus hidup cacing ini dimulai dari tertelannya telur infektif oleh babi.
Telur infektif kemudian menetas dan berkembang memasuki stadium L2 didalam
usus, larva kemudian bermigrasi menuju sekum. Larva akan tinggal di kelenjar
Lieberkuhn selama 3–10 hari, kemudian ke lumen sekum dan menjadi dewasa
dalam waktu 3 bulan sesudah infeksi.
f. Gejala Klinis
Terjadi peradangan akut atau kronis pada mukosa sekum dengan disertai
diare dengan konsistensi sangat cair dan dapat disertai dengan adanya darah, serta
anemia.
g. Patogenesa
Infeksi dari T. suis umumnya asimptomatis, namun infeksi yang berat
dengan jumlah larva yang cukup banyak dapat mengakibatkan colitis haemoragi
dan atau inflamasi difterik pada mukosa sekum. Hal ini diakibatkan dari
perpindahan atau pergerakan larva pada subepitel bagian ujung anterior. Infeksi
yang berat pada babi dapat diakibatkan karena adanya infeksi sekunder dari
Spiroseta.
h. Kerugian
Penurunan berat badan dan produksi.
i. Pengobatan
Pemberantasan dapat dilakukan dengan menggunakan obat-obat
Antelmintika, seperti Benzimidazoles, Levamizole dan Macrolytic lactones (Mls)
atau mectins, golongan obat anthelmintic berspektrum sempit Organophosphare
compounds, Sallcynillides dan Triclabendazole ( Magdalena, 2005).
j. Pengendalian
Pencegahan secara umum terhadap kesemua cacing nematoda di atas sangat
tergantung kepada kesehatan lingkungan.
18. Bourgelatia diducta

a. Klasifikasi

Kelas : Nematoda
Ordo : Echinostomatida
Famili : Chabertiidae

42
Genus : Bourgelatia
Spesies : Bourgelatia diducta

Length: 38,9 µm

Length: 66.0 µm

Gambar 1. Telur Bourgelatia diducta di babi ()

b. Predileksi
Sekum dan kolon
c. Inang Definitif
Babi
d. Morfologi
 Panjang dari cacing jantan dewasa 8,0–10,0 mm dan 0,41-0,50 mm
maksimal lebarnya. Panjang cacing betina 10,0-12,0 mm dan 0,46-0,55
mm maksimal lebarnya.
 Eksternal corona radiata memiliki struktur leaf-like dan mulut collar (0,14-
0,15 mm in diameter).
e. Siklus Hidup

Telur yang keluar bersama feses inanag akan menetas menjadi larva infektif.
Larva akan termakan oleh inang (babi), kemudian berkembang dan akan menempel
pada mukosa kolon. Larva tersebut akan berkembang menjadi lebih Panjang dan
kemudian akan menjadi cacing dewasa. Cacing betina dan jantan akan berkopulasi,
kemudian cacing betina akan menghasilkan telur dan keluar melalui feses.

43
f. Gejala Klinis
Gejala klinis masih belum banyak diketahui, apabila dilihat dari siklus
hidup, maka gejala klinis yang tampak yaitu feses bisa cair dan
tercampur darah maupun lendir. Apabila cacing dewasa terlalu banyak
di dalam usus maka kemungkinan akan ternjadi konstipasi.
g. Patogenesa

Penyebaran infeksi cacing tersebut terjadi secara langsung, dengan


termakannya larva infektif oleh inang (babi). Kemudian telur akan berkembang di
dalam saluran pencernaan inang (babi) terutama di dalam sekum dan kolon
menjadi cacing dewasa dan apabila jumlah cacing banyak akan mengakibatkan
konstipasi pada inang penderita dan menyebabkan ptechial haemorrhagi akibat
larva yang masuk ke dinding usus.
19. Ancylostoma caninum

a. Klasifikasi
Filum : Nematoda
Kelas : Secernentea
Ordo : Strongylida
Famili : Ancylostomidae
Genus : Ancylostoma
Spesies : Ancylostoma caninum

Gambar 19. Telur Ancylostoma caninum

44
Gambar 20. cacing Ancylostoma caninum dokumetasi pribadi, 2019.
b. Predileksi
Usus halus
c. Inang Definitif
Canis lupus, Felis catus
d. Morfologi
Cacing dewasa berwarna merah keabuan, berukuran 12 mm (jantan) dan 15
– 20 mm (betina). Oral aperture membuka ke arah antero-dorsal dan dilengkapi
dengan ventral 3 buah gigi pada tiap sisi. Bucal capsul terletak dalam, tidak
terdapat dorsal cone, terdapat sepasang gigi dorsal yang berbentuk segitiga dan
sepasang gigi ventro-lateral.
Bursa kopulatrik berkembang dengan baik, mempunyai spikula yang
panjangnya 0.8 – 0.95 mm. Vulva terletak pada 2/5 bagian tubuh dari anterior.
Ukuran telur 56–75 × 34–47 μm dan berisi kurang lebih 8-16 sel ketika keluar
bersama feses.
e. Siklus Hidup
Telur cacing dikeluarkan bersama feses. Pada kondisi lingkungan yang
optimum dalam waktu 12-36 jam telur akan menetas menjadi L1. Kemudian
dalam waktu kurang lebih 1 minggu L3 (infektif) terbentuk. Penularan pada
inang yang lain dapat dengan bermacam- macam cara yaitu: peroral, perkutan,
perkutan, prenatal dan colostral atau lactogenic infection.
f. Gejala Klinis
Pada infeksi akut, terkait dengan paparan mendadak hewan yang rentan
terhadap sejumlah besar larva infektif, anemia dan kelesuan dan kadang-kadang
gangguan pernapasan. Pada anak anjing atau kucing yang menyusu, anemia
seringkali parah dan disertai dengan diare, yang mengandung darah dan lendir.

45
Tanda-tanda patologis pada pernapasan mungkin karena adanya kerusakan
akibat larva di pulmo atau karena efek anemia anoksik. Pada infeksi yang lebih
kronis, hewan mengalami penurunan berat badan, bulunya kusam, kehilangan
nafsu makan.
g. Kerugian
 Menyebabkan anemia. Terdapat lesi-lesi pada kulit akibat penularan
perkutan, terutama pada kaki, dapat berupa eczema basah sampai ulcerasi.
 Infeksi sangat berat yang menyebabkan kelainan pada paru-paru pada hari
ke-1 sampai ke-5 setelah infeksi.
 Anak anjing yang mendapat infeksi prenatal atau colostral dapat mengalami
anemia yang parah sehingga menyebabkan kematian dalam waktu 3 minggu
setelah dilahirkan.
h. Pengobatan
Mebedazole, Fenbendazole, Pyrantel atau Nitroscanate
i. Pencegahan
Dilakukan pemberian Anthelmintik secara berkala dan didukung dengan
peningkatan sanitasi lingkungan serta perkandangannya.
20. Tanqua tiara

Filum : Nematheminthes
Kelas : Nematoda
Ordo : Spirurida
Famili : Gnasthomatoidae
Genus : Tanqua
Spesies : Tanqua tiara

Gambar 20. cacing Tanqua tiara dokumetasi pribadi, 2019.

46
Gambar 21. cacing Tanqua tiara tampak anterior (kiri) dan posterior (kanan)
(dokumetasi pribadi, 2019.)
a. Predileksi
Lambung
b. Inang Defenitif
Varanus salvator, Varanus magna.
c. Inang Perantara
Udang, ikan, burung, katak, belut, dan ikan
d. Morfologi
Cacing jantan memiliki panjang badan 9,4-32 mm dan lebar 0,26-1,77 mm.
Ukuran diameter kepala bulbus 0,17-0,32 mm, panjang kepala 0,23-0,33 mm,
panjang ekor 0,13-0,42 mm, serta panjang spikula 0,3-1,1. Cacing betina memiliki
panjang badan 6,8-22 mm dan lebar 0,14-2,33 mm. Ukuran diameter kepala bulbus
0,15-0,34 dengan panjang kepala 0,1-0,28 mm, panjang ekor 0,12-0,28, serta besar
ukuran telur 0,04-0,052 x 0,03-0,049 mm.
e. Siklus hidup
belum diketahui secara pasti, namun penularan dapat melalui air yang
tercemar oleh telur T.tiara atau melalui inang perantara yaitu hewan-hewan air,
diantaranya adalah ikan, udang, belur, katak.
f. Patogenesa
Belum ada laporan mengenai cacing ini menjadi parasit yang zoonosis,
namun diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai potensi cacing ini menjadi

47
zoonosis karena semakin tingginya penggunaan biawak sebagai bahan pakan,
maupun pengobatan tradisional untuk manusia.
21. Kalicephalus sp

a. Klasifikasi

Famili : Nematoda
Kelas : Secernentea
Ordo : Strongylida
Famili : Diaphanocephalidae
Genus : Kalicephalus
Spesies : Kalicephalus sp

Gambar 21. Telur Kalicephalus sp (dokumetasi pribadi, 2019.)


b. Predileksi
Usus halus dan lambung
c. Inang Definitif
Ular, kadal dan reptile lainnya

d. Morfologi
 Cacing berbentuk silindris dan memanjang
 Memiliki bukal kapsul yang besar dan dalam
 Memiliki oesophagus yang pendek, tebal dan bagian ujung dari oesophagus
berbetuk bulb.
 Telur memiliki ujung yang tumpul dan berdinding tipis. Berukuran 40-60 ×
20-25 μm, sudah mengandung larva yang telah berkembang sewaktu
dikeluarkan bersama feses inang.

48
e. Gejala Klinis
Hewan yang terinfeksi Kalicephalus ini akan memperlihatkan tanda-tanda
lemah, kekurusan, nafsu makan menurun, Disamping itu juga terlihat adanya
anemia, diare yang kadang-kadang disertai perdarahan.
f. Patogenesa
Parasit dewasa dapat ditemukan di lambung dan usus halus dalam jumlah besar
dapat menyebabkan peradangan dengan edema dan erosi epitel. Pada enteritis
catarrhal dengan gangguan pencernaan dan penyerapan.
g. Pengobatan
Penggunaan Anthelmintik berupa Benzimidazole, Pyrantel tartrat secara oral.
h. Pengendalian
 Memusnahkan jumlah larva yang hidup bebas dengan membersihkan secara
berkala pada feses yang dihasilkan.
 Menghindari padang gembala yang basah sehingga tertelannya larva infektif
yang menempel di daun dapat diminimalisir.

49
KELAS TREMATODA

1. Fasciola gigantica

h. Klasifikasi

Kelas : Trematoda

Ordo : Echinostomatida

Famili : Fasciolidae

Genus : Fasciola

Spesies : Fasciola gigantica

Operculum
Lenght : 70,4
μm

Lenght : 139,3
μm

Gambar 1. Telur Fasciola gigantica (dokumetasi pribadi, 2019.)

i. Predileksi

Hepar

j. Inang Definitif

Sapi, kambing, domba dan ruminansia lain, babi, kuda, kelinci, anjing, kucing,

kanguru, gajah dan manusia.

k. Inang Perantara

Lymnaeid (Galba, Lymnea, Radix dan Stagnicola).

50
l. Morfologi

 Berukuran lebih besar dibandingkan F. hepatica bisa mencapai 75 × 1.5 cm,

tubuh lebih transparan. Bentuk sangat menyerupai daun dengan bagian anterior

berbentuk konikal yang pendek dengan bagian bahu nyaris tidak terlihat.

 Telur berukuran besar 197 × 104 µm.

m. Gejala Klinis

Terjadi perbesaran pada hepar, lunak, berdarah dengan bentuk menyerupai

sarang lebah yang penuh dengan larva migrasi. Dalam bentuk kronis, hati

memiliki garis yang tidak teratur dan pucat dan kencang, lobus ventral paling

terpengaruh dan berkurang ukurannya. Terjadi fibrosis dan hyperplasia

kolangitis.

n. Patogenesa

Pada dasarnya terdapat dua tahap patogenesa dari cacing F. hepatica. Fase

pertama terjadi selama migrasi di parenkim hepar dan dikaitkan dengan

kerusakan hepar disertai perdarahan. Fase kedua terjadi ketika parasite berada

pada saluran empedu dengan manifestasi dari aktivitas hematofagi cacing

dewasa menyebabkan kerusakan pada mukosa empedu akibat kutikula mereka.

Patogenesisnya mirip dengan pada domba tetapi turut disertai kalsifikasi saluran

dan pembesaran kandung empedu. Saluran empedu yang terkalsifikasi sering

menonjol dari permukaan hati, sehingga menimbulkan istilah ”pipa-batang

hati”. Migrasi cacing yang menyimpang lebih sering terjadi pada sapi dan

parasit yang terbungkus sering terlihat di paru paru. Pada infeksi ulang sapi

dewasa, migrasi ke janin mengakibatkan infeksi prenatal.

o. Kerugian

51
Terjadi penurunan produksi dan kualitas air susu.

p. Pengobatan

Triclabendazol, Nitroxynil dan Closantel.

q. Pengendalian

 Mengurangi populasi inang siput atau dengan menggunakan obat cacing

 Sapi perah dapat dirawat pada saat masa kering tetapi perhatian khusus perlu

diberikan pada kontra indikasi yang berkaitan dengan tahap kehamilan dan

menyusui.

2. Paramphistomum cervi

a. Klasifikasi

Kelas : Trematoda

Ordo : Echinostomatida

Famili : Paramphistomatidae

Genus : Paramphistomum

Spesies : Paramphistomum cervi

Gambar 2. Cacing Paramphistomum cervi (dokumetasi pribadi, 2019.)

b. Predileksi

Rumen dan Retikulum

52
c. Inang Definitif

Sapi kambing domba dan ruminansia lain

d. Inang Perantara

Siput air Lymnea sp.

e. Morfologi

 Memiliki bentuk yang sama dengan Paramphistomum cervi, namun pada

genital pore dikelilingi oleh genital sucker. Cacing dewasa berukuran 6–13 ×

3–5 mm. salah satu penghisap berada pada ujung tubuh bagian anterior dan

salah satunya ada pada bagian dasar tubuh.

 Tegument tidak memiliki duri atau spina. Testis terletak di sisi anterior dari

ovary.

 Telur berukuran 114-176 × 73-100 μm.

3. Eurytrema pancreaticum

a Klasifikasi
Kelas : Trematoda
Ordo : Digenea
Famili : Dicrocoelidae
Genus : Eurytrema
Spesies : Eurytrema pancreaticum

53
Gambar 3. Cacing dewasa Eurytrema pancreaticum (dokumetasi pribadi, 2019.)

b Predileksi
Saluran pankreas, kadang pada saluran empedu dan duodenum.

c Inang definit
Sapi, kerbau, rusa, babi, domba, kambing.

d Morfologi
 Ukuran cacing dewasa 8-16mm x 5-8.5mm
 Tubuhnya tebal dan berduri
 Sucker besar : oral sucker lebih besar daripada ventral sucker
 Pharyng kecil dan opesophagusnya pendek
 Testes terletak horizontal
 Genital pore dekat pertanghan tubuh dibelakang testes
 Ovari terletak pertengahan tubuh dibelakang testes
 Uterus memenuhi bagian posterior tubuh
 Ukuran telur : 40-50 x 23-34 um
e Gejala Klinis
Hewan tampak sangat lemah.
f Patogenesa
Pada infeksi ringan tidak terlau terlihat perubahan, hanya saja secara patologis
anatomis menunjukkan adanya inflamasi catharalis dengan kerusakan epitel
empedu. Telura yang penetrasi ke dalam dinding saluran menyebabkan foci-foci

54
inflammatory dan granulomata yang banyak mengandung sel plasma dan
eosinophil. Kadang terjadi fibrosis sehingga menyebabkan atropi pankreas.

Pada infeksi yang hebat, hewan kelihatan sangat lemah tetapi gejala klinis lain
tidak tampak walaupun parasit sudah ditemukan dan biasanya dapat terasa
adanya penyerasan pankreas atau organ menjadi besar dan melunak saat
dilakukan palpasi. Untuk pengobatan masih belum diketahui.
h Pencegahan
 Menghindari terjadinya kelembaban padang rumput sebagai tempat hidupnya
siput.
 Penyemprotan molluscida.
4. Gastrodiscus aegyptiacus

5. Schistosoma sp.

a. Klasifikasi
Filum : Platyhelminthes
Kelas : Trematoda
Ordo : Strigeidida
Famili : Schistosomatidae
Genus : Schistosoma
Spesies : Schistosoma spp.

Gambar 5. telur Schistosoma sp.

55
a. Predileksi

Vena mesenterica, vena porta, vena urogenital, dan vena mukosa nasal.

b. Inang Defenitif

Sapi, kambing, domba, kerbau, kuda, antelope, babi, unta, rusa, dan beberapa
jenis anjing.

c. Inang Perantara
Lymnaea spp.
d. Morfologi

Telur berukuran panjang 340 μm dan lebar 60 μm. Cacing jantan berukuran
9,5-20 mm lebih lebar dan pipih dibanding betina 12-26 mm, postur tubuh
cenderung melengkung. Penghisap terletak berdekatan di dekat ujung tubuh sisi
anterior. Kutikula pada penghisap dan saluran gynaecophoric berduri.

e. Siklus Hidup

Dalam perkembangan diluar tubuh inang definitif, miracidium aktif mencari


inang perantara yang cocok dan berkembang menjadi sporokista I dan II.
Sporokista II membentuk banyak serkaria berekor cabang yang keluar dari tubuh
siput dan berenang di dalam air. Infeksi pada inang definitif terjadi karena adanya
kontak dengan air yang terkontaminasi oleh serkaria dan serkaria dapat
mengadakan penetrasi melalui kulit. Kemudian mencapai pembuluh darah dan
mencapai organ yang disukai (habitat).

f. Gejala Klinis

Terjadi diare dengan atau tanpa disertai darah dan mengandung mucus,
anoreksia, kehausan, anemia, dan kekurusan. Pada sapi keberadaan cacing di
vesikel vena dapat menyebabkan haematuria

g. Patogenesa

Penetrasi serkaria melalui kulit menyebabkan dermatitis yang terbukti sekitar


24 jam setelah infeksi. Dapat menyebabkan radang paru-paru pada infeksi berat

56
dan organ perut seperti hati dapat tersumbat pada tahap awal penyakit karena
kedatangan cacing imatur di portal darah portal intrahepatik. Kerusakan paling
serius disebabkan oleh parasit dewasa pada tahap bertelur untuk iritasi yang
disebabkan oleh telur yang bersarang di jaringan, yang terpaksa menemukan jalan
mereka melalui venula kecil ke epitel dan lumen usus.
Massa telur menjadi dikelilingi oleh daerah yang meradang dan infiltrasi leukosit,
khususnya eosinofil, menimbulkan jenis abses yang agak khas. Abses di dinding
usus biasanya pecah, mengeluarkan isinya ke dalam lumen usus dan akhirnya
menyembuhkan bekas luka tisu. Di hati abses menjadi terbungkus dan akhirnya
menjadi kalsifikasi, sejumlah besar fokus tersebut mengarah ke hati pembesaran,
sirosis dan asites. Penyakit akut, ditandai dengan diare dan anoreksia, terjadi 7-8
minggu setelah infeksi berat dan seluruhnya disebabkan oleh respons inflamasi dan
granulomatosa terhadap pengendapan telur di vena mesenterika dan infiltrasi
berikutnya pada mukosa usus. Setelah infeksi besar, kematian dapat terjadi dengan
cepat.

h. Pengobatan

Perawatan harus dilakukan dalam mengobati kasus-kasus klinis schistosomosis


yang menyebabkan tersumbatnya pembuluh darah porta dan mesenterica yang
berakibat fatal. Obat-obat yang digunakan antara lain antimonial emetik tartar,
antimosan dan stibophen, niridazole dan trichlorphon diberikan dalama beberapa
hari. Praziquental merupakan obat pilihan untuk penyakit ini pada manusia, namun
juga efektif untuk ruminansia. Kemoterapi tidak dianjurkan untuk kontrol
schistosomosis kecuali selama wabah klinis parah.

i. Pengendalian
Prevalensi populasi siput bervariasi berdasarkan suhu, upaya pengendalian
populasi siput harus dilakukan dan strategi perpindahan ternak harus diatur agar
tidak berkontak dengan air yang terkontaminasi cacing ini. Upaya pembersihan bak
air secara teratur agar tidak tercemar oleh siput.

57
KELAS CESTODA

1. Moniezia sp

a Klasifikasi
Kelas : Cestoda
Ordo : Anoplocephalidea
Famili : Anoplocephalidae
Genus : Moniezia
Spesies : Moniezia sp.

Hexacanth Embryo

Lenght : 69,3 μm

Gambar 1. telur Moniezia sp.. (dokumetasi pribadi, 2019.)

b Predileksi
Usus halus
c Inang definitif
Domba, kambing, sapi, dan ruminansia lainnya
d Morfologi
 Panjang cacing dewasa mencapai 600 cm dan lebarnya 1.6 cm.
 Lebar skolek : 0.36-0.8mm dengan sucker yang prominen/menonjol.
 Ovarium dan vittelin gland berbentuk cincin pada kedua sisi

58
 Testes tersebar di bagian sentral atau berkumpul di bagian kedua sisi.
 Tepi posterior tiap-tiap proglotid terdapat satu deret interproglotidal glands
tersusun seperti cincin-cincin kecil
 Telur berbntuk segitiga mengandung pyritorm apparatus yang tumbuh baik
dan berukuran 56-67 mikron diameternya.
e Siklus Hidup
Sistiserkoid berkembang di dalma oribated mites. Telur cacing dikeluarkan
bersama tinja hospes satu persatu atau berkelompok dalam segmen yang terlihat
seperti butiran beras. Bila segmen dimakan oleh familia Oribatidae, maka dinding
segmen akan sobek dan seluruh telur termakan oleh mites, selanjutnya onkosfer
akan tumbuh membesar dan dalam waktu 15 minggu menjadi bentuk sistiserkoid.
Suhu dan kondisi lingkungan sangat mempengaruhi proses perkembangan telur.
Kambing , domba, dan sapi akan terinfeksi bila memakan mites ynag mengandung
sistisekoid yang infektif, biasanya bersama dengan rumput.
f Gejala Klinis
Pada bentuk akut dapat terjadi intoksikasi akubar dari racun yang dihasilkan
oleh cacing dewasa. Pada infeksi ringan menyebabkan gangguan pencernaan dan
pertumbuhan lambat. Gejala klinis pada umumnya tidak bisa menimbulkan anemia,
diare profus, pertumbuhan lambat, kekurusan, kelemahan, dan bisa bersifat fatal
terutama sering terjadi pada anak sapi.
g Patogenesa
Umumnya, anak kambing, domba, dan sapi dibawah umur 6 bulanpaling
rentan terinfeksi. Infeksi hebat pada kambing dan domba berhubungan erat dengan
jumlah oribated mites yang ada di padang rumput. Cacing muda maupun dewasa
dapat menimbulkan iritasi pada usus sehingga menyebabkan gangguan pencernaan
usus.
h Pengobatan
Antelmintika : Dichlorophene 300-600 mg /kg bb dan Yomesan 75mg/kg bb.
i Pengendalian
Kontrol terhadap mites, yang bersifat fototropisme negatif

59
2. Raillietina tetragona

a) Klasifikasi
Kelas : Cestoda
Ordo : Cylophyllidea
Famili : Davaineidae
Genus : Raillietina

Gambar 2. Cacing dewasa Raillietina tetragona (kiri) dan telur Raillietina sp

(Kanan). (dokumetasi pribadi, 2019.)

b. Predileksi
Usus Halus

c. Inang Definitif

Gallus sp.

d. Inang Perantara

Musca domestica dan Pheidole sp., Tetramorium sp. dan Onthophagus sp.

e. Morfologi
 Telur Raillietina sp. berukuran 20-50 μm yang berbentuk oval. Telur memiliki
kapsul dan tiap kapsul mengandung 1 telur yang mempunyai diameter 75-88
mikron.
 Raillietina sp. adalah cacing pita yang bentuk tubuhnya panjang, pipih seperti

60
pita, bersegmen dan berwarna putih kekuning-kuningan. Raillietina sp. pada
skolek terdapat bantalan rostellum, dikelilingi 4 penghisap berbentuk bulat,
proglotid dewasa berbentuk pipih secara keseluruhan serta jumlah telur hanya
terdapat satu telur per kapsul.
Panjang cacing 4-13 cm x 3 mm, cacing mudah dibedakan dengan spesies

lain karena tidak mempunyai leher dan scolexnya besar yang dilengkapi

dengan rostellum yang lebar dan terdapat 400-500 kait.

f. Gejala Klinis

Cacing pita (cestoda) tidak menyerang secara frontal, namun perlahan akan terjadi

penurunan produksi secara drastis walaupun gejala klinis tidak terlihat nyata. Jika

terjadi infeksi cestoda pada ternak, tanda-tanda pada feses akan terlihat dengan

kasat mata yaitu dengan ditemukannya segmen atau proglotid cacing pada feses.

g. Kerugian

Cacing pita memiliki predileksi di usus halus, maka secara umum akibat
yang ditimbulkan oleh cacing tersebut adalah kerusakan pada mukosa saluran
pencernaan, sehingga terjadi peradangan dan penebalan selaput lendir usus
h. Pengobatan

Di-N-butyl Tin Dilarurat dicampur dengan makanan dosis 250 mg/kg pakan

selama 48 jam, Di-N-butyl Tin Oxide dengan dosis 300 mg/kg pakan.

i. Pengendalian

Membasmi kumbang, semut, belalang disekitar kandang dengan insektisida,

pemeliharaan ungags sebaiknya dikandangkan, memberantas siput dengan

molluscida, higene kandang, pemberian pakan dan minum supaya diletakkan

ditempat bersih.

3. Dipylidium caninum

a. Klasifikasi

61
Filum : Platyhelminthes
Kelas : Cestoda
Ordo : Cyclophyllidea
Famili : Dipylidiidae
Genus : Dipylidium
Spesies : Dipylidium caninum

Gambar 3. Telur Dipylidium caninum (dokumetasi pribadi, 2019.)

b. Predileksi
Usus Halus
c. Inang Definitif
Canis lupus, Felis catus
d. Morfologi
- Cacing dewasa berukuran panjang 15-40 cm dan lebar 2-3 mm
- Pada scolex terdapat acetabulum, rostelum yang dapat ditonjolkan,
ditarik ke dalam dan kait-kait
- Proglotid membesar dan ditengahnya berbentuk seperti biji timun,
pada strobili dijumpai 10-175 proglotid
- Memiliki 2 set alat kelamin masing-masing dengan atrium genitalis
yang bermuara pada porus genitalis
- Pada proglotid gravid berisi kantong-kantong telur sebanyak 300-400
yang masing-masing berisi 8-15 telur
e. Siklus Hidup
Proglotid gravid keluar bersama tinja hospes definitive kemudian
melepaskan telur secara kelompok. Telur yang berembrio tertelan hospes
intermediet pada stadium larva, kemudian onkosfer menetas, menembus

62
dinding lumen usus dan berkembang menjadi cycticercoid kemudian
berkembang menjadi cacing dewasa dalam waktu 1 bulan.
f. Gejala Klinis
Sebagian besar infeksi Dipylidium caninum tidak menunjukan gejala,
namun hewan peliharaan seringkali menujukan perilaku menggesek daerah
dubur dengan tanah atau rumput. Gangguan gastrointestinal ringan dapat
terjadi. Pada saat anjing/kucig menggosokkan duburnya ke tanah, seringkali
ditemukan proglotid dibagian perianal, tinja, dan tidak jarang di lantai atau
kursi. Proglotid bersifat motil saat baru dikeluarkan dan sering
disalahkirakan sebagai belatung.
g. Pengobatan
Praziquantel, Niklosamid
h. Pencegahan
- Bersihkan hewan peliharaan dari kutu (ctenocephalides canis dan felis)
- Selalu bersihkan lingkungan tempat anjing dan kucing bermain
- Segera ke dokter hewan apabila hewan peliharaan teridentifikasi
mengalami infeksi cacing
4. Echinococcus sp.

a. Klasifikasi
Filum : Platyhelminthes
Kelas : Cestoda
Ordo : Cyclophyllidea
Famili : Taeniidae
Genus : Echinococcus
Spesies : Echinococcus granulosus

63
Gambar 3. Telur Echinococcus granulosus (dokumetasi pribadi, 2019.)
b. Predileksi
Usus halus
c. Inang Definitif
Canis lupus, Felis catus
d. Morfologi
- Cacing dewasa berukuran 2.5 – 9 mm
- Memiliki scolex berbentuk bulat dengan rostelum yang menonjol, dua baris
kait yang terdiri dari 30-60 kait dan memiliki 4 batil isap
- Proglotid terdiri dari 3 buah antara lain: proglotid imature dimana organ genital
belum matang, proglotid mature dengan organ genital yang sudah lengkap dan
ukurannya lebih panjang daripada proglotid imature, dan proglotid gravid
dengan uterus ditengah dengan 12 – 15 cabang yang melebar terdiri atas ± 500
telur.
e. Siklus Hidup
Cacing dewasa hidup didalam lumen usus halus anjing lalu telur
dikeluarkan bersama dengan feses kemudian tertelan oleh hospes perantara atau
manusia, telur menetas di usus halus dan melepaskan onkosfer kemudian
menembus dinding usus dan migrasi ke peredaran darah lalu kee berbagai organ
utamanya hepar dan pulmo kemudian berkembang menjadi kista, lalu
membesar bertahap dan menempel pada mukosa usus dan berkembang menjadi
cacing dewasa 32-80 hari.
f. Gejala Klinis
Echinococcosis sering kali tanpa gejala sampai kista hidatid yang
mengandung parasit larva tumbuh menjadi besar yang menyebabkan
ketidaknyamanan, rasa sakit, mual, dan muntah. Kista terutama ditemukan di
hati dan paru-paru tetapi juga dapat muncul di limpa, ginjal, jantung, tulang,
dan sistem saraf pusat, termasuk otak dan mata. Pecahnya kista paling sering
disebabkan oleh trauma dan dapat menyebabkan reaksi anafilaksis ringan
hingga berat, bahkan kematian, sebagai akibat dari pelepasan cairan kistik.
g. Diagnosa
- Penyakit hydatidosis

64
- Diagnosa klinis berdasarkan adanya tumor berupa kista di hati. Pemeriksaan
laboratorium yang bisa dijalankan adalah tes castoni atau tes serologi lainnya.
Diagnosa dapat juga ditegakkan dengan pemeriksaan histologis dari hasil
pembedahan.
h. Pengobatan
Pembedahan merupakan pengobatan yang paling efektif untuk
menghilangkan kista pada hepar dan dapat menyebabkan kesembuhan total.
Cara lain adalah Kemoterapi, tusukan kista dan PAIR (Percutaneous
Aspiration, Injection of chemicals and Reaspiration). Namun dari berbagai
cara, pembedahan lebih diutamakan.
i. Pencegahan
- Jauhkan anjing dari tempat pemotongan hewan dan tidak boleh memakan
makanan sisa atau sampah hasil pemotongan hewan
- Pemberian obat cacing pada anjing 1-2 kali dalam setaun
- Mengontrol populasi anjing liar di lingkungan
5. Hymenolepis diminuta

a. Klasifikasi
Kelas : Cestoda
Ordo : Cyclophyllidea
Famili : Hymenolepididae
Genus : Hymenolepsis
Spesies : Hymenolepsis diminuta

Gambar 5. Telur Hymenolepsis diminuta .


b. Predileksi

65
Usus Halus
c. Inang Definitif
Rattus norvegicus dan Manusia
d. Inang Perantara
Pinjal dari spesies Nosopsyllus fasciatus, Pulex irritans dan Xenopsylla cheopis,
kutu beras (Sitophylus orizae), dan kumbang tepung (Tribolium sp) (Urquhart
et al, 1987).
e. Morfologi
 Cacing pita berwarna gading yang sangat panjang, panjangnya sekitar
10– 15 m, dengan beberapa ratus proglottid. Skoleks tidak dipersenjatai
dengan dua alur seperti celah longitudinal berotot atau bothria sebagai
organ perlekatan.
 Segmen dewasa dan gravid berbentuk persegi panjang dengan pori
genital sentral, menjadi lebih luas daripada panjangnya. Organ
reproduksi terletak di tengah-tengah segmen.
 Telur cacing Telur berwarna coklat kekuningan, berbentuk oval atau
globuler, berukuran 66 – 70 × 45 – 50 µm. Dinding terdiri dari 2 lapis,
outer layer (lapisan luar) lebih tipis dibandingkan dengan inner layer
(lapisan dalam) terdapat penebalan pada ujungnya, masing-masing
mempunyai 4-8 filamen. Di dalam telur terdapat hexacanth embryo.
f. Siklus Hidup
Telur cacing yang termakan makan inang perantara akan masuk ke usus
halus, di sana oncosphere akan pecah dan segera berkembang menjadi
cysticercoid larva dan hidup di hemocele serangga tersebut. Manusia terinfeksi
cacing ini bila tidak sengaja menelan serangga atau tepung yang mengandung
cysticercoids (Annida et al, 2012).
6. Duthiersia expansa

a. Klasifikasi
Filum : Platyhelminthes
Kelas : Cestoda
Ordo : Pseudophyllidea
Famili : Diphyllobotriidae
Genus : Duthiersia
Spesies : Duthiersia expansa

66
Gambar 6. Cacing dewasa Duthiersia expansa .

a. Predileksi
Usus halus
b. Inang Defenitif

Varanus salvator, Varanus bengalensis, Varanus exanthemicus, Varanus niloticus,


Varanus albigularis, dan kadal.

c. Morfologi

Telur berukuran panjang 340 μm dan lebar 60 μm. Telur memiliki operculum.
Cacing memiliki panjang kurang dari 200 mm, lebar skoleks, margin kedua tulang
rusuk atau crenulated, tidak ada lubang kedua posterior, sfingter vagina ada,
vagina terbuka di belakang cirrus sac, dan uterus berbentuk tubular, melingkar
lateral dan seperti roset. Pada bagian anterior terdapat skoleks, masing-masing
bothium berkembang dengan baik, dorsoventral, dan seperti corong dengan margin
frill. Scolex memiliki 2 celah isap di tengah segmen yang disebut sucking grove.
Porus uterinus berada pada tengah segmen, uterus berbentuk spiral. Onchosphere
bersilia, larva procercoid dan plerocercoid.

67
4.2 Protozoa

1. Eimeria sp.

a. Klasifikasi
Filum : Apicomplexa
Kelas : Conoidasida
Ordo : Eucoccidiorida
Famili : Eimeriidae
Genus : Eimeria
Spesies : Eimeria sp.

Gambar 1. Ookista Eimeria sp pada kelinci (kiri) dan unggas (kanan) .


b. Inang Definitif
Mammal, Ruminant, Gallus sp.

c. Morfologi
Eimeria memiliki empat sporokista, dan tiap sporokista mengandung dua
sporozoit. Bentuk umum stadium ookista berbentu bulat, subsperikal, ovoid, atau
ellipsoid dengan ukuran yang beragam sesuai dengan spesiesnya. Dinding kista
terdiri dari dua lapis yang berbatas jelas. Beberapa spesies memiliki mikrofil yang
tertutup oleh microphile cup.
d. Gejala Klinis dan Patogenesa
Pada infeksi ringan ditandai oleh adanya diare ringan, berlangsung sekitar 5-7
hari. Ternak akan depresi, nafsu makan menurun sampai hilang, berat badan turun,

68
dan dehidrasi. Koksidiosis yang parah ditandai dengan diare yang hebat, tinja cair
bercampur mikus dan darah yang berwarna merah sampai kehitaman beserta
reruntuhan sel sel epitel. Diare ini sering mengotori daerah sekitar perianal, kaki
belakang dan pangkal ekor. Kondisi diare menyebabkan hewan terus merejan dan
dapat mengakibatkan prolapsus rectum. Infeksi terjadi setelah hewan tertelan
ookista infektif. Sejauh ini hanya ookista yang bersporulasi saja yang infektif. Satu
ookista bersporulasi terdapat empat sporokista. Satu sporokista menghasilkan dua
sporozoit yang mampu merusak dinding mukosa usus halus sehingga mengalami
perlukaan dan gejala klinis.
e. Pencegahan dan Pengobatan
- Mengubah dan mengatur wilayah penggembalaan secara berkala dapat
membantu sapi terhindar dari kontaminasi.
- Mengisolasi hewan yang sakit merupakan salah satu cara yang dapat dilakuan
untuk mencegah penularan lebih lanjut serta mencegah invasi terhadap sel dan
perbaikan sel
- Pengobatan dapat dilakukan dengan anti koksidial seperti amprolium dengan
dosis pencegahan 5 mg/kgbb/hari selama 28 hari. Monensin dengan dosis
pencegahan 1 mg/kg bb/hari untuk 10-30/ton pakan.
2. Isospora sp.

a. Klasifikasi
Filum : Apicomplexa
Kelas : Sporozoasida
Ordo : Eucoccidiorida
Famili : Eieriidae
Genus : Isospora
Spesies : Isospora sp.

69
Gambar 2. Ookista Isospora sp pada anjing .
b. Predileksi
Vili Usus Halus
c. Inang Definitif
Mammals
d. Morfologi
- Berbentuk oval
- Ookista Isospora. Belli berukuran 25-33 mikron
- Dinding lapis dua, rata & tidak berwarna, sitoplasma bergranula &
mempunyai satu inti.
- Ookista menjadi matang dalam wkt 1-5 hr. Sporokista menghasilkan 4
sporozoit yang bentuknya memanjang & mempunyai satu inti
- Infeksi terjadi bila tertelan ookista / sporokista matang
e. Siklus Hidup
- Ookista yang belum matang keluar bersama tinja orang yang terinfeksi, yang
mengandung sporoblas
- Kemudian dalam pematangan lebih lanjut setelah ekskresi, sporoblast membagi
dalam dua (ookista sekarang berisi dua sporoblasts).
- Sporoblasts mensekresikan dinding kista, sehingga menjadi sporocysts; dan
sporocysts membagi dua kali untuk menghasilkan empat sporozoit. Yang mana
fase ini, ookista atau sporokista sudah matang.
- Infeksi terjadi jika Ookista atau sporokista yang sudah matang tertelan.

70
- Kemudian sporokista masuk ke dalam usus, khususnya di bagian vili usus
manusia dan setelah itu sporokista melepaskan spozoit.
f. Gejala Klinis dan Patogenesa
Koksidiosis adalah penyakit yang sangat penting khususnya pada peternakan
ayam dan pada mamalia penyakit ini tidak sehebat unggas. Gejala klinis yang
tampak pada ayam yang terserang koksidiosis adalah diare berdarah, sayap
menggantung ke bawah, anemia, pendarahan hebat dan bisa mati hari ke 5-7. Ayam
yang telah dewasa dapat diserang tetapi biasanya penyakit bersifat kronik. Penyakit
ini juga jarang menyerang kucing dan anjing dewasa, gejala klinis yang terlihat
pada hewan mamalia yang terinfeksi isospora adalah diare atau bahkan
menyebabkan kematian. Frekuensi diare bervariasi dan terkadang ada lendir dan
bercak darah pada feses.
g. Pengobatan & Pencegahan
Kebersihan lingkungan merupakan salah satu faktor dalam mewujudkan
lingkungan yang bersih dan sehat, serta dapat mengurangi terjadinya berbagi
pencemaran. Pencegahan berupa sanitasi pakan dan minum serta sanitasi
lingkungan. Pengobatan berupa Sulphadimidine.
3. Haemogregarina sp.

a. Klasifikasi

Filum : Apicomplexa
Kelas : Conoidasida
Subkelas : Coccidia
Ordo : Eucoccidiorida
Subordo : Adeleorina
Famili : Haemogregarinidae
Genus : Haemogregarina
Spesies : Haemogregarina sp.

71
Gambar 3. Haemogregarina pada eritrosit biawak .
b. Predileksi
Eritrosit
c. Inang Defenitif
Biawak, buaya
d. Inang Perantara
Lalat, kecoa
e. Morfologi

Mirip seperti haemoproteus dimana tropozoit dari Haemogregarina sp.


Menekan inti sel eritrosit host kepinggir dengan sitoplasma yang relatif transparan.

f. Gejala Klinis

Patogenitas rendah, sehingga jarang ditemukan gejala klinis, pada infeksi


akut dapat menyebabkan lethargia. Pada infeksi berat, kematian dapat terjadi
dengan tanda hepatomegali dan limfomegali dengan warna gelap.

g. Pengobatan

Pencegahan dapat dilakukan dengan kontrol vector yaitu lalat dan menjaga
sanitasi kandang.
4. Plasmodium sp.
a. Klasifikasi
Filum : Apicomplexa
Kelas : Sporozoasida

72
Subkelas : Coccidiasina
Ordo : Eucoccidiorida
Subordo : Haemospororina
Famili : Plasmodiidae
Genus : Plasmodium
Spesies : Plasmodium sp.

Gambar 4. Plasmodium sp. pada eritrosit merpati


b. Predileksi
Eritrosit
c. Inang Definitif
Unggas (khususnya ayam dan merpati)
d. Inang Perantara
Nyamuk genus Aedes, Culex, Anopheles, Culiceta, Mansonia
e. Morfologi
 Pada tubuh vektor, P.gallinaceum mengalami pembentukan stadium
infektif menjadi sporozoit. Sporozoit parasit ini berbentuk seperti pisang
berukuran panjang 15 μm, pada bagian tengahnya terdapat sebuah inti.
Tropozoit berdiameter sangat kecil berukuran 1 μm.
 Stadium ini selanjutnya akan berkembang menjadi skizon. Skizon
berbentuk bulat, berukuran 8 x 15 μm, skizon yang telah masak ini berisi
banyak merozoit yang sudah siap dilepaskan ke dalam darah.
 Makrogametosit (gametosit betina) intinya kecil, kompak berwarna merah
muda dan berukuran 20-26 μm, sedang mikrogamet (gametosit jantan)

73
intinya berwarna biru bersifat menyebar dan berukuran 20-25 μm. Ookista
berbentuk oval dan mempunyai diameter 50-60 μm.
f. Siklus Hidup
Protozoa Plasmodium sp. mengalami fertilisasi dan membentuk zigot pada
tubuh nyamuk, kemudian zigot bergerak menembus usus dan berkembang menjadi
ookista yang mengandung sporozoit. Saat ookista pecah, sporozoit bergerak menuju
glandula saliva dan menginfeksi inang definitive melalui gigitan vector tersebut.
Dalam tubuh unggas sporozoit mengalami skizogoni di sistem retikuloendotelial
dan skizon tersebut mengandung merozoit dalam jumlah besar. Saat skizon pecah,
merozoit menuju eritrosit untuk proses gametogoni, sebagian mengadakan
skizogoni pada sistem retikuloendotelial dan eritrosit. Makrogamet dan
mikrogamet melanjutkan proses seksual dalam tubuh nyamuk saat nyamuk
menghisap darah unggas penderita, menyebarkan protozoa darah pada inang
definitive baru.
g. Gambaran umum penyakit
Malaria unggas adalah penyakit protozoa darah disebabkan oleh Plasmodium
sp. dan sudah tersebar di seluruh Indonesia, dikenal telah menyebabkan kerugian
besar di bidang peternakan akibat tingkat morbiditas dan mortalitas tinggi. Penyakit
ditularkan oleh vector nyamuk. Diagnosis utama dengan pemeriksaan ulas darah
tepi
h. Gejala klinis dan patogenesa
Plasmodium sp. memproduksi toksin malaria saat proses skizogoni,
menyebabkan hemolysis intravaskuler, splenomegaly, glomerulonephritis, dan
hipoglikemia. Gejala klinis pada fase akut adalah demam dan diare berwarna
kehijauan, anoreksia, bulu kusut, depresi, letargi, penurunan produksi telur, sesak
nafas diikuti kematian 2 hari setelah gejala pertama nampak. Fase kronis ditandai
dengan pial dan jengger pucat dan diare kehijauan, dapat diikuti dengan
kelumpuhan akibat tersumbatnya kapiler otak.
i. Pengendalian
Pengendalian vector dengan pencegahan adanya genangan air disekitar
kandang, penyemprotan kandang dengan DDT atau Lindane, pemasangan selambu

74
pada dinding kandang. Pengobatan penyakit dapat menggunakan Chloroquine,
Pyrimethamine, Sulfadiazine.

5. Haemoproteus sp.
a. Klasifikasi
Filum : Apicomplexa
Kelas : Sporozoasida
Subkelas : Coccidiasina
Ordo : Eucoccidiorida
Sub ordo : Haemospororina
Famili : Plasmodiidae
Genus : Haemoproteus
Spesies : Haemoproteus columbae

Gambar 5. Haemoproteus pada merpati .


b. Predileksi
Eritrosit dan sel endotel pembuluh darah
c. Inang Definitif
Unggas dan reptil
d. Inang Perantara
Lalat Hippobosca, Pseudolynchia canariensis, Ornithomiya oviculari
e. Morfologi
Pada eritrosit hanya ada fase gamet, yaitu berbentuk halter berisi granula
berpigmen, tampak mengelilingi inti sel eritrosit tanpa mendorong inti ke tepi
seperti pada Plasmodium sp. Fase gamet.

75
f. Gambaran umum penyakit
Haemoproteus sp. kurang patogen. Umumnya tidak muncul gejala klinis pada
ayam dewasa.
g. Gejala klinis dan patogenesa
Gejala yang mungkin tampak adalah anoreksia dan anemia. Pada infeksi akut,
ayam cenderung suka tidur dan pada infeksi yang berat bisa menimbulkan
kematian. Kelainan pasca mati adalah perbesaran limfa dan hati serta berwarna
gelap.
h. Pengendalian
Menghilangkan vektor, kontrol terhadap lalat, sanitasi kandang, bersihkan feses
agar tidak ditumbuhi lalat. Pengobatan bisa menggunakan golongan sulfa, tapi
sangat jarang karena kurang patogen.
6. Leucocytozoon sp.

a. Klasifikasi
Filum : Apicomplexa
Kelas : Sporozoasida
Subkelas : Coccidiasina
Ordo : Eucoccidiorida
Sub ordo : Haemospororina
Famili : Plasmodiidae
Genus : Leucocytozoon
Spesies : Leucocytozoon sp

76
Gambar 6. Leucocytozoon sp. pada ayam
b. Predileksi
Pada Leukosit dan Eritrosit
c. Inang Definitif
Burung, kalkun, angsa dan bebek
d. Inang Perantara
Lalat Simulium sp. dan Culicoides sp.
e. Morfologi
 Bentuk gamet berada dalam eritrosit dan leukosit tergantung dari
spesiesnya.
 Makrogamet dan mikrogamet berada dalam leukosit, sedangkan beberapa
spesies berada dalam eritrosit.
 Pada pemeriksaan hapusan darah dengan pewarnaan giemsa, gametosit
bulat Leucocytozoon sp. mempunyai diameter 10–14 μm dan gemetosit
panjang mempunyai diameter 13–20 μm di dalam sitoplasma sel darah.
f. Gambaran umum penyakit
Leucocytozoonosis adalah penyakit pada unggas yang disebabkan oleh
protozoa darah genus leucocytozoon. Kasus leucocytozoonosis telah menyerang
Indonesia sejak tahun 1912 pada ayam di Sumatera. Kerugian ekonomi yang

77
diakibatkan yaitu kematian dan terhambatnya pertumbuhan ayam muda serta
penurunan produksi telur pada ayam dewasa.
g. Gejala klinis dan patogenesa
Gejala klinis yang dapat diamati pada kejadian akut antara lain: lesu, dungu,
kehilangan keseimbangan, pernafasan cepat, anemia, berak berwarna hijau, depresi,
nafsu makan hilang, batuk darah, paralisa, jengger dan pial pucat dan kematian
ayam. Kematian terjadi seminggu setelah parasit terlihat dalam darah. Kematian
karena anemia hebat, kerusakan hati dan otak atau kegagalan pernapasan. Pada
kejadian kronis ayam terganggu pertumbuhannya dan terjadi penurunan produksi
telur
h. Pengendalian
Menghilangkan vektor, kontrol terhadap lalat, sanitasi kandang, membersihkan
genangan air secara rutin, serta menggunakan perangkap cahaya atau zat kimia
(larvasida, atraktan dan repelen). Pengobatan dengan memberikan pyrimethamine
(1 ppm) dan sulfadimethoxine (dosis 10 ppm).
7. Balantidium coli

a. Klasifikasi

Filum : Ciliaphora
Kelas : Kinetofragminophorasida
Ordo : Trichostomatorida
Famili : Balantidiidae
Genus : Balantidium
Spesies : Balantidium coli

Gambar 7. Balantidium coli pada sapi

78
b. Predileksi
Usus besar
c. Inang Defenitif
Babi, kera,
d. Inang Perantara
Lalat, kecoa
e. Morfologi
Mempunyai 2 stadium perkembangan yaitu tropozoit dan kista.
Bentuk tropozoit oval sampai elips dan di seluruh permukaan tubuh tertutup
siliata seperti deretan longitudinal. Mempunyai 2 inti yaitu makronukleus yang
berbentuk halter dan mikronukleus berbentuk bulat, bertanggung jawab terhadap
proses reproduksi. Stadium tropozoitr berukuran panjang 150 µm. sitoplasma
berisi beberapa vacuola makanan dan 2 vacuola kontaktil. Stadium kista
berbentuk ovoid sampai spirikal berukuran 40-60 µm. masih terlihat
makrobukleus dan mikronukleus serta vakuola. Silia tidak terlihat karena tertutup
dinding kista. Dinding kista terdiri dari 2 membran.

f. Siklus Hidup
Dimulai dari proses infeksi dari kista yang ada di dalam air
atau makanan yang sudah terkontaminasi. Kista akan masuk melalui mulut
sehingga akan melewati sistem pencernaan inang. Setelah kista mencapai usus
halus tropozoit akan diproduksi. Tropozit akan menyebar didinding usus besar,
sebagian tropozoit akan menginfeksi dinding usus besardengan enzim tertentu,
pembelahan biner, dan bisa kembali lagi ke lumen. Tropozoit akan menjadi kista
lagi disebut dengan encystapion yang dipengaruhi oleh dehidrasi pada usus dan
terjadi di usus besar distal. Bila keadaan kista sudah matang akan dilepaskan
kembali ke lingkungan sehingga akan memulai infeksi ke dalam inang baru.

g. Gejala Klinis
Gejala klinis yang ditunjukkan jika terinfeksi parasit ini dalam jumlah banyak
maka akan berinvasi ke mukosa membentuk ulcer yang sering disebut enteritis yang
menyebabkan rusaknya inti dan epitel. Pada kasus berat dapat menyebabkan
disentri dan pendarahan. Penyakit dapat menjadi menahun dengan diare yang di

79
sertai
konstipasi, sakit perut, tidak nafsu makan, muntah, dan kakeksia (cachexia).

h. Patogenesa
Balantidiasis adalah penyakit yang menyerang saluran pencernaan khususnya
sekum dan kolon. Hewan yang peka adalah babi, kera dan manusia, cara
penularannya melalui pakan yang terkontaminasi feses yang mengandung kista
Balantidium coli dan vektor mekaniknya adalah lalat dan kecoa.

i. Pengobatan
Pencegahan ditujukan pada kebersihan lingkungan termasuk vektor mekanik
pembawa seperti lalat, kecoa, dan lain sebagainya.

j. Pengendalian
Pengobatan dilakukan dengan pemberian carbazone 250 mg/hari selama 10 hari
atau metronidazole, tetracycline, dan iodoquinol.

8. Blastocystis
a. Klasifikasi
Kelas : Blastocystae
Ordo : Blastocystida
Famili : Blastocystidae
Genus : Blastocystis

Spesies : Blastocystis sp

Gambar 8. Blastocystis sp. pada sapi

80
b. Predileksi
Saluran pencernaan (usus halus)
c. Inang Definitif
Manusia
d. Inang Perantara
Babi, tikus, ayam, ruminansia
e. Morfologi
 Berbentuk Kista, berukuran 10-15 μm.
 Blastocystis berbentuk bulat berdinding tebal, terdiri dari banyak vakuola
serta memiliki 1-2 inti.
 Sel tersebut mengandung badan besar di tengah, atau vakuola dengan
sitoplasma yang sedikit di bagian perifernya.
 Terkadang bisa ditemukan granula pada sitoplasmanya dan sel tampat
seperti lingkaran bermanik-manik.
f. Gejala Klinis
Terdapat diare yang ringan, kelelahan, anoreksia, terjadi ruam kulit, gatal, dan
perdarahan rectum. Diare disertai air telah banyak dilaporkan dalam kasus akut.
Terkadang juga bisa terjadi demam dan nyeri sendi.

g. Patogenesa

Infeksi Blastocystis ditransmisikan melalui jalur fecal-oral. Infeksi ini sering


didapatkan pada lingkungan dengan sanitasi yang buruk, kebersihan kendang yang
kurang baik.

h. Pengobatan
Metronidazole, Co-Trimoxazole (memiliki efek yang bagus untuk kesembuhan
tanpa menimbulkan efek samping).

9. Pengendalian
Menjaga kebersihan kendang, mencegah kontaminasi feses dalam makanan dan
air, selalu membersihkan feses hewan

10. Trypanosoma evansi

a. Klasifikasi

81
Filum : Euglenozoa
Kelas : Kinetoplastida
Ordo : Trypanosomatida
Famili : Trypanosomatidae
Genus : Trypanosoma
Spesies : Trypanosoma evansi

Gambar 9. Trypanosoma evansi pada kelinci .


b. Predileksi
Plasma darah
c. Inang Definitif
Mammals,
d. Morfologi
Morfologi Trypanosoma dalam darah tampak sebagai flagelata yang pipih
panjang(kira-kira 15-20 mikron), berujung runcing di bagian posterior,
mempunyai flagel kurang dari sepertiga panjang tubuh, mempunyai sitoplasma
dengan granula inti di tengah yang berwarna tua, serta terdapat kinetoplast.
Morfologi yang seperti ini dapat membuat Trypanosoma bergerak aktif secara
berombak dan memutar disebabkan oleh flagel kontraktilnya.
e. Gejala Klinis
Gejala klinis yang tampak pada hewan bervariasi tergantung pada
keganasan/virulensi agen Trypanosoma, jenis hewan (host) yang terinfeksi dan
faktor lain yang dapat menimbulkan stress. Lama waktu antara awal infeksi dan

82
munculnya gejala klinis (masa inkubasi) bervariasi, rata – rata 5 sampai 60 hari
pada infeksi akut. Akan tetapi penyakit Surra umumnya berlangsung kronis
(chronic infection) dengan angka kematian yang rendah sehingga pernah dilaporkan
masa inkubasi yang lebih lama yaitu 3 bulan. Setelah masa inkubasi, dalam waktu
kurang dari 14 hari akan ditemukan parasit yang beredar dalam sirkulasi darah
(parasitemia).
Gejala lain diantaranya penurunan berat badan, pembengkakan limfonodus
prescapularis kiri dan kanan, kelemahan otot tubuh, oedema pada anggota tubuh
bagian bawah seperti kaki dan abdomen, urtikaria pada kulit, perdarahan titik
(petechial haemorrhages) pada membran serous kelopak mata, hidung dan anus,
keguguran (abortus), dan gangguan syaraf. Penurunan imunitas tubuh
(imunosupresi) juga ditemui sehingga hewan inang menjadi rentan terhadap infeksi
sekunder.
f. Pengobatan
Suramin, Diminazene, Isomedium, Quinapyramine dan Cymelarsan
10. Trichomonas gallinae
a. Klasifikasi

Filum : Sarcomastigophora
Subfilum : Mastigophora
Kelas : Zoomastigophorasida
Ordo : Trichomonadorida
Famili : Trichomonadidae
Genus : Trichomonas
Spesies : Trichomonas gallinae

Gambar 9. Trichomonas gallinae pada Merpati

83
b. Predileksi

Saluran pencernaan atas dan hepae

c. Inang definitif

Unggas (terutama anak ayam, merpati, kalkun)

d. Morfologi

Protozoa Trichomonas gallinae memiliki bentuk menyerupai buah pir dengan

empat flagella anterior dan satu flagella posterior berbentuk membran undulata,

yang memiliki panjang hingga dua pertiga ukuran tubuh. Selain itu, protozoa ini

memiliki axostile yang membentang hingga bagian posterior.

e. Siklus hidup

Perkembangbiakan Trichomonas gallinae secara pembelahan ganda, sehingga

tidak ada perkembangan seksual ataupun kista.

f. Gambaran umum penyakit

Trichomoniasis sering dijumpai pada ayam, merpati, burung dara, kalkun.

Kepentingan penyakit pada hewan muda, dengan morbiditas tinggi. Setelah

menginfeksi inang definitive, protozoa mengadakan perkembangbiakan

longitudinal binary fission.

g. Gejala klinis dan patogenesa

Dapat ditemukan sekresi saliva kental pada mulut, terdapat bunyi respirasi

abnormal (ngorok), bau nafas yang khas, foci nekrotik sirkuler disertai pus

(berwarna kuning) pada mukosa cavum oral khususnya pada merpati.

84
h. Pengendalian

Manajemen pakan yang baik, pakan dicampur dengan Cooper Sulphate selama 3-5

85
4.3 Entomologi

ORDO DIPTERA

1. Tabanus rubidus

a. Klasifikasi

Kelas : Arachnida
Ordo : Diptera
Sub Ordo : Brachycera
Famili : Tabanidae
Genus : Tabanus
Spesies : Tabanus rubidus
Inang : Kuda, Sapi, Kerbau

Predileksi : Kaki belakang, kaki depan, daerah leher, bahu dan abdomen.

Callus berbentuk garis


bergelombang

mata dioptik

probosis pendek

Gambar 1. Tabanus rubidus .

b. Morfologi

 Memiliki badan yang besar, pola garis longitudinal pada bagian tengah

abdomen dengan dua garis lateral yang lebih pendek dan sayap yang

transparan.

86
 Mata menjorok ke arah lateral torak. Pada lalat jantan memiliki tipe mata

holoptik (letak mata berlekatan), sedangkan lalat betina betipe dioptik (letak

mata berjauhan).

 Pada lalat betina, terdapat pola garis terbalik di antara mata dioptik (callus)

yang dapat digunakan sebagai pembeda antar spesiesnya. Tabanus rubidus

memiliki tipe kalus berupa garis lurus, sedangkan pada Tabanus megalops

memiliki tipe kalus menyerupai keris terbalik.

d. Kepentingan

Vektor mekanis penyakit Surra, Anaplasmosis dan Anthrax.

e. Pengendalian

 Tempat pakan dan sekitar kandang hewan peliharaan dikeringkan guna

mencegah lalat Tabanus yang memiliki kebiasaan mencelupkan badan pada

bagian atas air.

 Melakukan penyemprotan dengan Lindane, Dieldrin atau Pyrethrum

2. Pseudolynchia canariensis

a. Klasifikasi
Kelas : Arachnida
Ordo : Diptera
Sub Ordo : Brachycera
Famili : Hippoboscidae
Genus : Pseudolynchia
Spesies : Pseudolynchia canariensis

87
Gambar 2. Pseudolynchia canariensis

b. Predileksi
Kaki belakang, kaki depan, daerah leher, bahu dan abdomen.
c. Inang Definitif
Merpati dan burung liar
d. Morfologi
 Memiliki panjang tubuh 10 mm berwarna kecokelatan pucat dengan bintik
kuning pada bagian abdomen yang tidak tersegmentasi dan sepasang sayap
dengan pola venasi mengarah ke anterior.
 Pada kaki terdapat sepasang taji (spoor) dan badan lalat membentuk angka 8
dengan bagian abdomen yang bulat

f. Kepentingan

Pseudolyncia canariensis adalah inang definitif untuk protozoa


Haemoproteus columbae. Parasit ini dapat berakibat fatal bagi merpati muda atau
burung karena menjadi ektoparasit. Kerugian yang ditimbulkan oleh sangat
besar, mulai dari penurunan berat badan burung, penurunan produksi, kerontokan
bulu, trauma, iritasi, anemia, bahkan kematian.
g. Pengendalian dan Pengobatan
 Melakukan pembersihan kandang secara berkala guna mencegah lalat bertelur
 Menjaga kondisi kandang/sangkar dari kelembaban yang tinggi karena
ektoparasit dapat beradaptasi pada lingkungan dengan kondisi tersebut.

88
3. Chrysomia bezziana

a. Klasifikasi
Kelas : Insecta
Ordo : Diptera
Sub Ordo : Cyclorrapha
Famili : Calliphoridae
Genus : Chrysomya
Spesies : Chrysomya bezziana

Gambar 3. Chrysomya bezziana


b. Predileksi
Permukaan luka
c. Inang Definitif
Domba dan manusia
d. Morfologi
Memiliki bentuk tubuh yang besar 8 -10 mm dengan corak tubuh berwarna
biru kehijauan metalik dengan empat pola garis longitudinal berwarna hitam pada
preskutum dan mata berwarna orange kecokelatan dengan permukaan wajah pucat.
Kaki berwarna hitam dan bagian thorax berwarna putih. Spirakel anterior berwarna
orange gelap atau hitam kecokelatan.

e. Siklus Hidup
Siklus hidup lalat Chrysomya terbagi menjadi 4 tahapan berbeda, yaitu telur,
larva, pupa dan lalat dewasa. Perkembangan larva instar 1 – 3 memerlukan waktu
6 – 7 hari, lalu larva instar 3 akan membentuk pupa dalam waktu 7 – 8 hari dan
berubah menjadi lalat dewasa setelah 6 – 7 hari. Setiap lalat betina mampu
menghasilkan beberapa kumpulan telur selama hidupnya dengan durasi 9 hari.

89
Telur menetas dalam 10 – 20 jam dan larva tahap pertama masuk pada luka terbuka
atau jaringan lembab dan mampu menembus jauh ke dalam jaringan inang. Lalat
betina meletakkan kumpulan telurnya pada sore hari atau menjelang petang.

f. Kepentingan

Agen penyebab myasis

g. Pengendalian
 Melakukan pembuangan kulit yang melipat-lipat dan apabila terdapat luka
terbuka pada permukaan kulit, dianjurkan untuk dilakukan penutupan guna
mencegah datangnya lalat Chrysomya untuk bertelur pada area sekitar
luka.
 Membunuh lalat menggunakan insektisida, serta meniadakan larva.
4. Musca domestica
a. Klasifikasi
Kelas : Insecta
Ordo : Diptera
Sub Ordo : Cyclorrapha
Famili : Muscidae
Genus : Musca
Spesies : Musca domestica
Inang : Manusia dan hewan ternak
Predileksi : Kulit dan permukaan kulit

Gambar 4. Musca domestica


b. Morfologi
 Lalat betina berukuran 6 – 8 mm, sedangkan jantan 5 – 6 mm, pada bagian

90
thorax berwarna keabuan dengan pola 4 garis longitudinal dan abdomen
berwarna kuning kecokelatan dengan garis hitam longitudinal di sisi medial.

 Mata berwarna kemerahan dengan jarak antar mata pada lalat betina jauh
lebih lebar dibandingkan lalat jantan. 

 Memiliki pola venasi sayap tertutup dengan 3 ruas antena. 

c. Siklus Hidup

Lalat betina mempu memproduksi lebih dari 150 butir telur berwarna putih yang
berukuran 1 mm dan berbentuk menyerupai pisang. Telur ini diletakkan pada
permukaan feses yang basah atau material organik. Telur menetas pada hari ketiga
sampai keempat dengan bentuk larva berupa silindris, berwarna putih, bersegmen
dengan sepasang mulut anterior yang kecil. Larva tahap ketiga memakan bangkai
organik yang membusuk dan mampu mencapai fase dewasa dalam 3 – 7 hari dengan
ukuran tubuh 10 – 15 mm dan lalat dewasa muncul setelah 3 – 26 hari.
d. Kepentingan
 Inang perantara cacing pita ayam (Choanataema infundibulum) dan cacing
lambung kuda (Habronema muscae dan Habronema magastoma) 

 Merupakan agen water-borne disease dan food-borne disease. 

e. Pengendalian 

 Pemberian zat kimia di atas permukaan timbunan feses (1 kg borax
powder + 1 m3 DDT, Dieldrin, Lindane, Diazenon dan Malation. 

 Metode kultural dan sanitasi guna menjaga lingkungan tetap bersih dan
kering.
 Metode non-kimiawi berupa kertas perekat lalat dan penangkap lalat.

5. Hippobosca maculata
a. Klasifikasi
Kelas : Insecta
Ordo : Diptera
Subordo : Brachycera
Famili : Hippoboscidae
Genus : Hippobosca
Spesies : Hippobosca maculata
Inang : Sapi dan Kuda
Predileksi : di antara kedua kaki belakang dan daerah pubis

91
Gambar 6. Hippobosca maculata
b. Morfologi
 Berukuran 1 cm dan berwarna merah kecokelatan.
 Pola venasi pada kedua sayap mengarah pada batas anterior.
 Memiliki mulut tipe penusuk yang berguna untuk menghisap darah dan
bentuk kaki menyerupai cakar yang memungkinkan lalat ini dapat melekat
pada rambut atau bulu.
c. Siklus Hidup
Lalat ini termasuk pada kelompk pupipara (telur menetas menjadi larva dan
berkembang menjadi pupa di dalam saluran reproduksi betina untuk kemudia
dilahirkan, pupa yang telah dilahirkan lalu diletakkan pada batang atau pelepah
pohon) dengan lama periode pupa dipengaruhi oleh suhu. Baik lalat jantan dan
betina, keduanya menghisap darah dan aktif pada siang hari.
d. Kepentingan
Vektor mekanis Trypanosoma, Theileria dan Haemoproteus.
e. Pengendalian
Lalat ditangkap menggunakan insect nets dan dilakukan dipping pada lalat dewasa.

6. Culex sp.
Filum : Arthropoda
Kelas : Insecta
Ordo : Diptera
Famili : Culicidae
Genus : Culex
Spesies : Culex sp.

92
Gambar 6. Culex sp.
a. Predileksi
Tempat kotor/rawa-rawa
b. Inang Defenitif
Manusia dan mamalia lainnya
c. Kepentingan
Menyebarkan malaria pada unggas, Wuchereria bancrofti pada manusia,
Dirofilaria immitis pada anjing, Japanese B. Encephalitis pada manusia.
d. Pengendalian
Pengendalian secara kimiawi biasanya digunakan insektisida dari golongan
orghanochlorine,organophosphor, carbamate dan pyrethoid.

7. Sarcophaga haemorrhoidalis
a. Klasifikasi
Kelas : Insecta
Ordo : Diptera
Sub Ordo : Brachycera
Famili : Sarcophagidae
Genus : Sarcophaga
Spesies : Sarcophaga haemorrhaedalis
Inang : Manusia, Unta dan Sapi
Predileksi : Kulit, permukaan luka dan daging.

93
Gambar 7. Sarcophaga haemorrhaedalis
b. Morfologi
Lalat dewasa memiliki warna hitam keabuan, non-metalik dan berukuran
medium hingga besar dengan pola garis pada bagian thorax dan motif menyerupai
papan catur pada abdomen.
c. Siklus Hidup
Lalat ini bersifat ovoviviparous, meletakkan belatung pada bangkai kotoran,
bahan membusuk atau luka terbuka mamalia. Lalat betina dari famili sarcophagidae
bersifat larvipara dengan menetaskan telurnya di dalam oviduk dan telur akan
segera menetas saat akan diletakkan atau sudah diletakkan ke host dalam bentuk
larva instar pertama.
d. Kepentingan
Dapat menyebabkan myasis sehingga luka akan menjadi bertambah parah
akibat infestasi larva Sarcophaga memakan jaringan-jaringan luka tersebut.

e. Pengendalian
Larva harus diangkat dan diidentifikasi serta luka dibersihkan dan
didesinfeksi dengan seksama. Insektisida organofosfat dan piretroid efektif
terhadap larva yang baru menetas, nimfa, dan lalat dewasa. Larva di dalam luka
harus diobati dengan larvisida yang sesuai. Menyemprot atau mencelupkan hewan
dengan insektisida yang aman dan mengobati luka dengan pemberian antilalat
untuk melindungi terhadap serangan baru selama 7-10 hari. Menggunakan jaring
atau selambu, biological control, dan menutupi luka agar tidak terjadi manifestasi
dari larva lalat ini. Selain itu pengendalian dapat dilakukan dengan menangkap lalat
tersebut atau dengan menggunakan insektisida, Back rubbers yang berisi 5%

94
metoxychlor, 2% malathion, dan 1 % ronnel dalam oli, Dust bag yang berisi 2%
metoxychlor dan diletakkan di dekat tempat pakan, Ear tag berisi fenvalerate dan
memperhatikan sanitasi kandang.

8.Stomoxys calcitrans
a. Klasifikasi
Kelas : Insecta
Ordo : Diptera
Sub Ordo : Brachycera
Famili : Muscidae
Genus : Stomoxys
Spesies : Stomoxys calcitrans
Inang : Manusia dan hewan ternak
Predileksi : Kulit dan permukaan luka

Gambar 8. Stomoxys calcitrans

b. Morfologi
 Memiliki 4 garis longitudinal gelap pada bagian thorax dengan bagian
lateral tidak mencapai skutum, sedangkan pada abdomen yang berukuran
pendek dan lebar terdapat 3 bintik hitam pada segmen kedua dan ketiga.
 Thorax berwarna abu-abu, venasi sayap M1+2 melengkung halus ke depan
dan R5 terbuka.
c. Siklus Hidup
Lalat betina mampu menghasilkan 25 – 50 telur, berwarna putih
kekuningan, berukuran 1 mm, memiliki alur longitudinal pada salah satu sisinya
dan diletakkan pada manure (kotoran hewan atau bahan pakan ternak yang

95
terkontaminasi urin). Telur menetas setelah 1 – 4 hari atau dapat lebih lama karena
cuaca dingin dan berkembang menjadi larva pada 6 – 30 hari setelahnya. Pupa
terbentuk selama 6 – 9 hari, berwarna kecokelatan dan berukuran 6 mm. Satu siklus
hidup lalat Stomoxys membutuhkan waktu 12 – 60 hari bergantung pada suhu.
d. Kepentingan
Vektor mekanis Trypanosoma, Fowl Pox dan Anthrax, serta sebagai ntermediete
host dari Habronema majus.
e. Pengendalian
Melakukan penyemprotan pada kotoran menggunakan BHC, Methoxy
Chlor Diazinon dan Chlordane. Serta dilakukan penghancuran pada tempat-tempat
berbiaknya atau membakar kotoran dan jerami yang telah membusuk

96
KUTU (PTHTIRAPTERA)
1. Damalinia ovis
a. Klasifikasi
Kelas : Insecta
Ordo : Phthiraptera
Sub Ordo : Ischnocera
Famili : Philopteridae
Genus : Damalinia
Spesies : Damalinia ovis
Inang : Domba
Predileks : Kulit, bulu

Antena yang
berbentuk
seperti kunciran

Gambar 1. Damalinia ovis .


b. Morfologi
 Berukuran 18 mm dengan kepala luas dan lebar berwarna kemerahan, serta
abdomen yang berwarna keputihan.
 Badan membulat, antenna berbentuk seperti kunciran
 Segmen abdomen ke-1 dan ke-2 serta ke-9 dan ke-10 mengalami fusi.
c. Siklus Hidup
Kutu mengalami metamorphosis tidak sempurna dengan fase telur – nimfa
– instar pertama – instar ketiga – dewasa yang keseluruhannya berlangsung di tubuh
inang. Telur berukuran 1 – 2 mm, oval, berwarna putih dan menempel pada tubuh

97
domba. Telur menetas menjadi nimfa setelah 5 – 18 hari. Nimfa akan berganti kulit
dengan interfal 5 – 9 hari.
d. Kepentingan
Menyebabkan gatal, penurunan kualitas kesehatan dan wool dari inang.
e. Pengendalian
Melakukan dipping menggunakan senyawa arsen dan penyemprotan
2. Columbicola columbae
a. Klasifikasi
Kelas : Insecta
Ordo : Phthiraptera
Sub Ordo : Ischnocera
Famili : Philopteridae
Genus : Columbicola
Spesies : Columbicola columbae

Gambar 2. Columbicola columbae .


b. Predileksi
Bulu sayap, Badan atau ekor
c. Inang definitif
Burung Merpati dan Unggas

98
d. Morfologi
 Memiliki kepala yang lonjong dan lebih runcing, ukuran tubuh panjang dan
tidak terlihat mata, tidak memiliki palpus maxillaris.
 Berwarna kuning pucat, berukuran ramping dengan panjang tubuh 2 – 3
mm.
 Kepala pada kutu jantan memiliki sepasang seta pada posterior medial
melampaui batas posterior tubuh.
e. Siklus hidup
Kutu betina bertelur di tengah alur di antara cabang-cabang bulu pada sayap,
serta pada cabang bulu lainnya. Hal ini dilakukan untuk menjamin agar telur tidak
rusak ketika unggas mematuk bulu dengan paruh. Kutu betina bertelur rata-rata 1
butir per hari dan membutuhkan waktu 4 hari untuk menetas. Larva mulai
memasuki fase seksual setelah mengalami pergantian kulit 3 kali dan memakan
waktu 21 hari.
f. Kepentingan
Menyebabkan iritasi kulit dan kerontokan kulit.
g. Pengendalian
Sanitasi kandang dan melakukan penyemprotan menggunakan insektisida.

3. Haematopinus eurysternus
a. Klasifikasi
Filum : Arthropoda
Kelas : Insecta
Ordo : Phtireaptera
Sub Ordo : Anoplura
Family : Haematopinidae
Genus : Haematopinus
Spesies : Haematopinus eurysternus

99
Gambar 3. Haematopinus eurysternus
b. Predileksi
Bergerombol di daerah puncah leher, pangkal tanduk dan sekitar mata dan hidung
c. Inang definitif
Sapi, dan ruminansia liar
d. Morfologi
 Kutu ini merupakan kutu penghisap pada sapi, berhidung/bermoncong
pendek, panjang ± 3,5-4,8 mm dan relatif lebar. Kedua jenis kelamin
mempunyai kepala yang berujung tumpul dan berwarna kecokelatan dan
perut berwarna biru tua.
 Pada bagian abdomen terdapat spina disetiap segmen nya serta adanya
paratergal plate.
e. Siklus hidup
Siklus hidup dimulai dari telur, nimfa, dewasa. Telur menetas dalam waktu 9-
19 hari, kutu menjadi dewasa dalam waktu kurang lebih 16 hari. Siklus hidup dari
telur sampai ke telur lagi berlangsung selama 41 hari (rata-rata 28 hari).
f. Kepentingan
Menyebabkan gatal, menggaruk- garuk terus, kelemahan, anemia dan kematian
g. Pengendalian
Insektisida, Carbamette, Organochlorine

100
4. Hoplopleura janzeni
a. Klasifikasi
Filum : Arthropoda
Kelas : Insecta
Ordo : Phiteraptera
Famili : Hoplopleuridae
Genus : Hoplopleura
Spesies : Hoplopleura janzeni

Gambar 4. Kutu Hoplopleura janzeni tampak posterior (kiri) dan anterior


(kanan)
b. Predileksi
Kulit
c. Inang Defenitif
Tikus
d. Morfologi

Kutu jantan memiliki panjang sekitar 1,02 mm, kepala memanjang, thorax lebih
panjang, serta abdomen lebih lebar dari pada thorax. Kutu betinan memiliki panjang
sekitar 1,23 mm, kepala memanjang, thorax hampir sama dengan kutu jantan tapi
pada bagian puncak anteriornya lebar membulat, abdomen lebih lebar daripada
thorax.

101
5. Haematomyzus elephantis
a. Klasifikasi
Filum : Arthropoda
Kelas : Insecta
Ordo : Phithiraptera
Subordo : Rhynchopthirina
Famili : Haematomyzidae
Genus : Haematomyzus
Spesies : Haematomyzus elephantis

Gambar 5. Kutu Haematomyzus elephantis


b. Predileksi
Lipatan kulit yang tipis, axilla, telinga, leher, basis dari ekor
c. Inang Defenitif
Gajah
d. Morfologi

Kepala memanjang kedepan membentuk rosth proboscis, dibagian ujung


terletak mandibula diantaranya sebagai peralihan antara anoplura dan mallophaga.

102
PINJAL (SIPHONAPTERA)
1. Ctenocephalides felis
a. Klasifikasi
Filum : Arthropoda
Kelas : Insecta
Ordo : Siphonaptera
Famili : Pulicidae
Genus : Ctenocephalides
Spesies : Ctenocephalides felis

Gambar 1. Ctenocephalides felis


b. Inang Definitif
Felis catus
c. Morfologi
- Pinjal kucing berwarna cokelat gelap hingga kehitaman dan terkompresi
kearah lateral. Mata berwarna gelap, antenna berukuran kecil dan
tersembunyi.
- Pinjal betina memiliki panjang tubuh sebesar 2.5 mm, sedangkan pinjal
jantan berukuran 1 mm lebih kecil disbanding betina.
- Ukuran kepala pinjal betina dua kali lebih panjang dengan panjang sama
besar dengan panjang tubuh, sedangkan pada pinjal jantan, lebar kepala

103
sama besar dengan lebar tubuh. Baik pada jantan dan betina, keduanya
memiliki kepala yang mengarah ke depan.
- Kaki ketiga berukuran lebih panjang dibanding kaki lainnya, hal ini
berguna untuk melompat dari satu bagian tubuh ke bagian lainnya.
d. Siklus Hidup
Pinjal jantan dan betina keduanya memiliki kebiasaan menghisap darah inang
dan hanya pinjal dewasa yang bersifat parasitic. 24 – 48 jam setelah menghisap
darah yang pertama, pinjal betina mulai melakukan ovipost dengan bentuk telur
berupa ovois, dan berukuran 0.5 mm, memiliki permukaan yang halus. Pinjal betina
dari C. felis mampu menghasilkan telur sebanyak 50 butir per hari dan mampu
hidup selama 50 – 100 hari. Namun pinjal pada kucing hanya mampu bertahan
hidup kurang dari 1 minggu.
e. Kepentingan
Inang perantara dari Dipylidium caninum dan dapat menyebabkan kerusakan kulit.
f. Pencegahan
Melakukan penyemprotan dengan insektisida seperti Potassa Sulphurata, Ether
soap dan Benzil Benzoat pada sumber yang dimungkinkan mengalami reinfestasi

104
CAPLAK (ARACHNIDA)
1. Rhipicephalus sanguienus
a. Klasifikasi
Filum : Arthropoda
Kelas : Arachnida
Ordo : Acarina
Famili : Ixodidae
Genus : Rhipicephalus
Spesies : Rhipicephalus sanguineus

Gambar 1. Rhipicephalus sanguienus


b. Predileksi
Kepala, leher, telinga, dan telapak kaki anjing
c. Inang Definitif
Canis lupus, Felis catus
d. Morfologi
Rhipicephalus sanguineus memiliki telur sangat kecil, bulat, dan coklat
tua. Larva memiliki panjang 0.54 mm dan lebar 0.39 mm, serta hanya memiliki
tiga kaki. Nimfa memiliki empat pasang kaki dan sama seperti caplak dewasa.
Nimfa memiliki ukuran panjang, 1.14-1.3 mm dan lebar 0.57-0.66 mm. Caplak
dewasa memiliki ukuran yang lebih besar dan matang secara seksual. Caplak
jantan lebih pipih dari caplak betina dengan ukuran panjang 2.28-3.18 mm dan

105
lebar 1.1-1.8 mm. Sebelum menghisap darah caplak betina memiliki ukuran yang
hampir sama dengan caplak jantan yaitu panjang 2.4-2.7 mm dan lebar 1.44-
1.68 mm. Setelah menghisap darah ukuran caplak betina dapat bertambah besar dan
menjadi panjang 11.5 mm serta lebar 7.5 mm lebar.

e. Patogenesis
R. sanguineus merupakan parasit utama pada anjing dan bertanggung jawab
dalam penyebaran Babesia canis dan Ehrlichia canis yang menyebabkan tick
paralysis pada anjing. Selain itu, Theileria equi dan B. caballi pada
kuda, Anaplasma marginale di Amerika Utara, Hepatozoon canis pada
anjing, Coxiella burnetti, Rickettsia conorii, R. rickettsii, Pasteurella tularensis,
Borrelia hispanica, dan virus yang menyebabkan penyakit Nairobi pada domba
dpat ditularkan oleh Rhipicephalus sanguineus. R. sanguineus juga merupakan
vektor penyakit east coast fever (Theileria parva) pada sapi, Babesia
perroncitoi dan Babesia trautmanni pada babi.
f. Gejala Klinis
Anjing yang terinfeksi caplak Rhipicephalus sanguineus akan terlihat
kerusakan mekanis pada kulit inang (integumen), dermatosis (kerusakan kulit),
inflamasi (kemerahan kulit), gatal, kebengkakan dan ulserasi akibat infeksi
sekunder. Caplak melekat pada inang dengan hipostom yang terbenam di dalam
kulit, sehingga gigitan atau bekas gigitan caplak akan mengiritasi dan dapat
menyebabkan peradangan pada kulit serta menimbulkan rasa gatal. Bila bagian
yang gatal digaruk, digigit atau dijilat, dapat menyebabkan kulit lecet, luka dan
kadang-kadang bernanah akibat infeksi sekunder oleh bakteri. Infestasi caplak dan
iritasi kulit, merusak tubuh yang dapat menurunkan keindahan rambut anjing.
Gejala yang dapat diamati antara lain peningkatan suhu tubuh, kesulitan
bernafas, jantung berdetak cepat dan keras sebagai kompensasi memompa darah
keseluruh tubuh dan kadang-kadang kematian akibat paralisis pernafasan atau
jantung. Bila dibiarkan lama (kondisi kronis) maka hewan akan mengalami
kekurusan (kaheksia) akibat dari kurangnya suplai nutrisi ke seluruh tubuh.
Seekor R. sanguineus betina dapat menghisap 1 sampai 3 ml darah dalam
melengkapi siklus hidup selama berada pada inang. Bila infestasi caplak dalam
jumlah banyak, maka akan membuat hewan yang dihinggapi dengan cepat

106
kehilangan banyak darah dan hewan akan lemah, dengan selaput lendir yang sangat
pucat. Anemia hemolitik pada infestasi caplak merupakan anemia yang cukup
parah. Caplak merupakan vektor (pembawa) protozoa Babesia sp. yang merusak
eritrosit hewan sehingga memperparah anemia. Kerusakan sistemik dapat
menimbulkan paralisis (kejang) akibat caplak (tick paralysis).
g. Pengobatan
Fipronil (spray dan spot-on), Amitraz (tick collar), Permethrin
(spray dan shampoo), Deltamethrin (shampoo), dan Cypermethrin
(spray dan shampoo) yang diketahui efektif dalam mengendalikan infestasi caplak.
Pour-on (tabur) atau spot-on (tetes) merupakan aplikasi yang mudah untuk
menerapkan dan bersifat long-acting.
2. Ambylomma gervaisi
a. Klasifikasi
Kelas : Arachnida
Ordo : Ixodida
Famili : Ixodidae
Genus : Amblyomma
Spesies : Amblyomma gervaisi
Inang : Ular
Predileksi : Kaki belakang, kaki depan, daerah leher, bahu dan abdomen.

Gambar 2. Amblyomma gervaisi .


b. Morfologi

107
 Amblyomma gervaisi jantan dapat diidentifikasi pada fitur karakteristiknya
seperti lima creamy yellow spot, sedangkan pada betina skutumnya
berbentuk hati dengan tiga creamy yellow spot.
 Memiliki palpus yang Panjang, terdapat hypostomal teeth.
 Bertubuh besar agak bulat dan lebar
 Didapatkan mata dan dijumpai adanya feston
c. Siklus Hidup
Caplak betina bertelur di rumput, kemudian telur menetas menjadi larva. Larva
infektif mencari dan menyerang/menempel pada host (ular) dan setelah dua kali
perkembangan akan menjadi caplak dewasa.
d. Kepentingan
Mentransmisikan penyakit Anaplasmosis, Rickettsiosis dan Ehrlichiosis.
Sebagai vector dari Aeromonas hydrophilia dan pneumonia pada ular.
e. Pengendalian
Mencegah penyebaran caplak, dan penyakit yang ditularkannya.
Kontrolnya dengan penghancuran setiap stadia parasite baik dengan insektisida
ataupun pengambilan dengan tangan.

108
TUNGAU
1. Sarcoptes scabiei
a. Klasifikasi
Filum : Arthropoda
Kelas : Arachnida
Ordo : Sarcoptiformes
Famili : Sarcoptidae
Genus : Sarcoptes
Spesies : Sarcoptes scabiei

Gambar 1. Sarcoptes scabiei pada kelinci


b. Predileksi
Subcutan
c. Inang Definitif
Canis lupus, Felis catus
d. Morfologi
Secara morfologi tungau ini berbentuk oval dan gepeng, berwarna putih kotor,
transulen dengan bagian punggung lebih lonjong dibandingkan perut, tidak
berwarna, yang betina berukuran 300-350 mikron, sedangkan yang jantan
berukuran 150-200 mikron. Stadium dewasa mempunyai 4 pasang kaki, 2 pasang
merupakan kaki depan dan 2 pasang lainnya kaki belakang. Siklus hidup dari telur
sampai menjadi dewasa berlangsung satu bulan. Sarcoptes scabiei betina terdapat

109
cambuk pada pasangan kaki ke-3 dan ke-4. Sedangkan pada yang jantan bulu
cambuk tersebut hanya dijumpai pada pasangan kaki ke-3 saja
e. Siklus Hidup
Siklus hidup S. scabiei dimulai saat tungau dewasa masuk ke dalam kulit host
(manusia) dan tungau betina bertelur. Larva menetas dari telur dan akhirnya
berkembang menjadi tungau dewasa, dan siklus berulang. Lesi kulit pada skabies
disebabkan oleh liang atau terowongan tungau dan respons inflamasi yang lebih
luas di kulit, yang disebabkan oleh reaksi hipersensitif terhadap tungau dan
produknya.
f. Diagnosis
Terdapat beberapa metode untuk mendiagnosis skabies diantaranya dengan
Kalium Hidroksida (KOH) dengan cara digores (scrapping) dari liang atau
terowongan, dermoskopi, pembesaran fotografi digital, biopsi kulit, dan presentasi
klinik, termasuk papula merah yang gatal dan ruam.
Tujuan dari diagnosis ini adalah visualisasi secara langsung tungau atau telur
penyebab skabies. Visualisasi langsung dapat dilakukan dengan preparasi KOH
atau dengan biopsi terowongan yang menunjukkan adanya tungau. Test KOH ini
cukup spesifik namun kurang sensitif. Biopsi hanya menunjukkan inflamasi sel
dengan adanya sejumlah eosinofil, edema, dan spongiosis epidermal
g. Pengobatan
Pengobatan skabies dapat dilakukan secara oral maupun topikal. Pengobatan
topikal diantaranya permetrin, lindane, benzyl benzoate, crotamiton dan sulfur yang
diendapkan. Obat skabies topikal memiliki efek neurotoksik pada tungau dan larva.
Obat skabies oral diantaranya ivermektin yang bekerja dengan cara mengganggu
neurotransmisi asam gamma-aminobutyric yang disebabkan oleh banyak parasit
(termasuk tungau)

2. Otodectes sp.
h. Klasifikasi
Filum : Arthropoda
Kelas : Arachnida
Ordo : Sarcoptiformes
Famili : Psoroptidae

110
Genus : Otodectes
Spesies : Otodectes cynotis

Gambar 2. Otodectes sp
i. Predileksi
Telinga
c. Inang Definitif
Canis lupus, Felis catus
d. Morfologi
Memiliki ukuran panjang 0.4 mm. Tungau betina relative lebih besar, bulat,
jernih putih kecoklatan. Idiosoma keras dan memiliki perisai anterodosal persegi
panjang yang kecil, sepasang satae di lateral dan dua pasang setae di terminal dan
bagian tubuh lain relative pendek.
e. Siklus Hidup
Tungau betina meletakkan telurnya, setelah melewati masa inkubasi selama
empat hari, telur menetas menjadi larva dengan 3 pasang kaki. Larva ini aktif
selama 3-10 hari, kemudian istirahat 10-30 jam dan menjadi protonimfa yang
mempunyai 4 pasang kaki. Kemudian berubah menjadi deutonimfa. Deutonimfa
kemudian berubah mejadi dewasa yang memiliki 8 kaki dan hidup selama 2 bulan.
f. Gejala Klinis
Hewan terlihat mengalami gatal pada bagian telinga, menggeleng-geleng
kepalanya yang kadang disertai dengan cairan nanah dan hematoma. Seringkali
pula memperlihatkan gejala tortikolis dan konvulsi, timbul bau yang tidak
menyenangkan, cairan telinga yang berwarna hitam.
g. Pengobatan
Phythrin, Milbemycin, Ivermectin, Fipronil, Flumetrin, Otomax.
h. Pencegahan

111
Menjaga kebersihan telinga hewan peliharaan dengan membersihkan telinga
setidaknya seminggu sekali menggunakan cotton bud dan menjaga kebersihan
lingkungan sekitar.

112
PENYU

Gambar 1. Dugaan Rhytidodes gelatinosus, belum mendapat konfirmasi

Gambar 2. Dugaan Tonodia / Kathaladia sp, belum mendapat konfirmasi

113
Gambar 3. Telur Laeredius learedi pada Penyu RSH
a Klasifikasi
Kelas : Trematoda
Ordo : Diplostomida
Famili : Spirorhiidae
Genus : Learedius
Spesies : Learedius learedi
b Predileksi
Pembuluh darah dari setiap organ
c Inang definitif
Gastropod

d Morfologi
 Telurnya terlihat stuktur keratin coklat kehijauan. Terdapat 2 polar prolongations, satu
dengan kait pada akhirnya dan yang ujung yang sayu dengan suckerlike.

114

Anda mungkin juga menyukai