Anda di halaman 1dari 28

1

I. PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Budidaya hewan ternak di pedesaan merupakan subsektor yang memiliki


potensi untuk meningkatkan ekonomi masyarakat, salah satunya adalah ternak sapi
perah. Fokus utama dari kegiatan ini adalah untuk meningkatkan daya hasil produksi.
Di Indonesia, usaha budidaya ternak sapi perah umumnya beroperasi dalam skala
usaha yang kecil hingga menengah. Pengembangan usaha ini memiliki prospek yang
sangat menjanjikan, karena tidak hanya menyediakan produk utama dengan
kandungan gizi yang tinggi, tetapi juga menghasilkan produk sampingan yang dapat
membantu meningkatkan pendapatan peternak.
Menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Banyumas, luas
wilayah Kabupaten Banyumas mencapai 1.335 kilometer persegi. Kabupaten ini masuk
dalam bagian dari Provinsi Jawa Tengah yang menjadi salah satu pusat produksi susu
sapi, dengan populasi ternak sebanyak 2.570 ekor sapi perah berdasarkan data yang
dikumpulkan oleh BPS Kabupaten Banyumas pada tahun 2018. Tempat yang terletak di
lereng gunung memiliki suhu rata-rata yang cenderung rendah, yang sangat sesuai
untuk beternak sapi perah. Selain itu, ketersediaan pakan hijauan sangat melimpah di
kawasan tersebut, sehingga peternak dapat dengan relatif mudah memperolehnya
karena sebagian besar wilayah tersebut adalah hutan yang dimiliki oleh pemerintah.
Kesuksesan peternakan sapi perah secara keseluruhan nampak dari jumlah
produksi susu yang dihasilkan. Faktor-faktor produksi seperti pakan hijauan, pakan
konsentrat, keadaan peternak, kondisi ternak, dan kondisi lingkungan turut
memengaruhi produksi susu pada ternak. Produksi susu akan mencapai level yang
maksimal jika pemanfaatan hal-hal produksi tersebut dioptimalkan.

1.2. Rumusan Masalah


Jumlah produksi susu sapi perah di Kabupaten Banyumas masih berada pada
tingkat yang rendah, sejalan dengan pengamatan yang dilakukan oleh Hidayat (2018)
yang menyatakan bahwa produktivitas peternakan sapi perah di Indonesia masih
2

belum optimal, meskipun setiap rumah tangga peternak hanya memiliki 3-4 ekor sapi
yang sedang menyusui. Peningkatan produksi dapat dicapai dengan memaksimalkan
penggunaan faktor-faktor produksi yang lebih optimal. Keuntungan peternak dapat
ditingkatkan melalui penerapan yang efisien dari faktor produksi. Penelitian yang
berhubungan dengan faktor-faktor produksi digunakan untuk memahami kondisi
peternak di Kecamatan Pekuncen dalam mengoptimalkan faktor tersebut.
Untuk mengatasi situasi ini, secara teratur dilakukan penelitian yang akan
mengeksplorasi isu-isu berikut:
1. Apa skala penggunaan faktor produksi dalam produksi susu pada ternak sapi perah
di Kecamatan Pekuncen, Kabupaten Banyumas?
2. Bagaimana dampak faktor-faktor produksi terhadap produktivitas usaha sapi perah
di Kecamatan Pekuncen, Kabupaten Banyumas?

1. 3. Hipotesis
H0 : Tidak ada pengaruh signifikan antara variabel bebas, seperti pakan hijauan, pakan
konsentrat, lama beternak, periode laktasi, dan perkandangan, terhadap variabel
terikat (dependent), yaitu produksi susu.
H1 : Variabel bebas (independent) seperti jenis pakan yang diberikan, proporsi pakan
hijauan dan konsentrat, durasi beternak, periode laktasi, dan jenis perkandangan
memiliki dampak signifikan terhadap tingkat produksi susu.

1. 4. Tujuan Penelitian
1. Memperoleh informasi mengenai jumlah penggunaan faktor produksi yang
diterapkan di Kecamatan Pekuncen, Kabupaten Banyumas.
2. Menelaah dampak faktor-faktor produksi terhadap produksi sapi perah di
Kecamatan Pekuncen, Kabupaten Banyumas.
1. 5. Manfaat Penelitian
1. Informasi dari penelitian ini berperan penting dalam mendukung pembuatan
kebijakan oleh instansi pemerintah dalam upaya meningkatkan produksi susu dalam
sektor peternakan sapi.
2. Temuan dari penelitian ini dapat memberikan panduan yang konstruktif bagi
peternak dalam mengambil keputusan untuk meningkatkan produksi susu.
3

II. KAJIAN PUSTAKA

2.1. Sapi Perah


Sapi perah adalah hewan ternak yang memiliki kemampuan memproduksi susu
sebagai produk utama. Rata-rata produksi susu dalam satu periode laktasi (selama 10
bulan) adalah sekitar 3.050 liter atau sekitar 10 liter per ekor per hari. Pada tahun
2015, produksi susu sapi di Indonesia mencapai 495,65 ribu ton, meningkat dari 647
ton pada tahun 2000, sebagaimana laporan oleh Barokah (2009).
Data dari BPS (2018) menunjukkan bahwa populasi sapi perah di Kabupaten
Banyumas terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Pada tahun 2015, tercatat
bahwa jumlah sapi perah mencapai 2.570 ekor. Kenaikan populasi ini berpotensi
memberikan dampak positif terhadap peningkatan produksi susu, yang pada gilirannya
dapat menarik minat investor untuk berinvestasi dalam sektor peternakan sapi perah.
Selaras dengan itu, peningkatan produksi yang disertai dengan efisiensi dan efektivitas
dalam pengelolaan bisnis akan berkontribusi pada peningkatan pendapatan peternak
hingga mencapai titik maksimum.
Di Indonesia, sapi perah yang banyak dipelihara adalah Peranakan Fries Holland
(PFH), menurut penelitian Gumelar dan Aryanto (2011). Salah satu cara untuk
mengoptimalkan potensi sapi perah PFH adalah dengan meningkatkan kualitas bibit
melalui identifikasi kuantitas dan kualitas, sehingga dapat memperoleh anakan sapi
perah yang pastinya berkualitas.
2.2. Usaha Sapi Perah
Susu segar merupakan produk utama dari sapi perah yang memiliki manfaat
strategis dalam pengembangannya. Usaha peternakan sapi perah ini berkontribusi
signifikan terhadap kehidupan masyarakat, terutama dalam hal perekonomian
keluarga. Untuk meningkatkan keuntungan dari usaha ini, perlu adanya peningkatan
aktivitas dan kinerja dengan fokus pada peningkatan produksi susu (Mukson et al.,
2009).
Pada umumnya ternak sapi perah di Indonesia dilakukan pada skala kecil di
pedesaan, sedangkan untuk ternak skala besar pada umumnya masih berkembang dan
sangat terbatas jumlahnya. Awal mula perkembangan usaha susu di Indonesia memiliki
4

beberapa karakteristik yang masih konsisten hingga saat ini, salah satunya adalah
adanya usaha sapi perah oleh peternakan rakyat yang didasarkan pada keluarga
sebagai unit utama usaha (1-4 ekor sapi per peternak).
Penggunaan teknologi dianggap sebagai suatu jalan untuk meningkatkan
produktivitas dalam suatu usaha. Dalam konteksnya, usaha terkait peternakan sapi
perah memiliki sifat yang cerdas dan cermat dalam mengadopsi teknologi baru guna
meningkatkan produksi. Namun, dalam praktiknya, peternak tidak sepenuhnya
memahami cara yang tepat untuk menggunakan teknologi tersebut (Bustanul, 2004).
2.3. Fungsi Produksi
Fungsi produksi dapat didefinisikan sebagai keterkaitan antara faktor dan tingkat
produksi susu yang dihasilkan ternak. Dilihat dari teori ekonomi, dalam menganalisis
produksi susu terdapat tiga faktor produksi yang memiliki jumlah tetap yaitu tanah,
modal, dan keahlian usaha, sementara faktor produksi tenaga kerja dianggap
bervariasi dalam jumlahnya. Fungsi produksi sangat penting bagi seorang peternak
dalam mencapai hasil optimal dalam usaha peternakannya. Dalam peternakan,
terdapat input atau faktor produksi yang dibutuhkan untuk menghasilkan output atau
produksi. Menurut Soekartawi (2003).
Proses produksi merupakan serangkaian kegiatan yang memiliki tujuan untuk
menghasilkan suatu keluaran yang spesifik. Hasil produksi ini sangat tergantung pada
bahan masukan yang digunakan. Setiap proses produksi memiliki dasar teknis yang
disebut sebagai fungsi produksi. Fungsi produksi ini adalah hubungan fisik antara
variabel yang dijelaskan, yaitu keluaran (Y), dengan variabel yang menjelaskan, yaitu
masukan (X) (Soekartawi, 2003).
Variabel yang dijelaskan biasanya berupa jumlah produksi maksimum yang
dapat diproduksi. Menurut Arsyad (2008), salah satu kegunaan penting dari fungsi
produksi Cobb-Douglas adalah kemampuannya untuk dilinierkan secara logaritmik,
yang dapat mempermudah analisis dan penggunaan regresi linier. Oleh karena itu,
persamaan umum fungsi produksi dapat diubah menjadi Y = log a + b log X.

2.4. Pakan Hijauan


Porsi terbesar dari biaya produksi peternakan adalah pakan, mencapai 70%
(Zalizar, dkk, 2012). Produksi susu meningkat karena pemberian pakan hijauan yang
5

sesuai dengan kebutuhan sapi perah. Pengaruh jumlah pakan terhadap produksi susu
bersifat positif (Pasaribu, dkk, 2015).
Produksi susu sapi dapat dipengaruhi baik secara kualitatif maupun kuantitatif
oleh pakan yang diberikan. Karena itu, penting untuk mengatur pemberian pakan
dengan takaran yang tepat dan melakukan pengolahan pakan yang sesuai agar
menghasilkan hasil yang maksimal. Menurut Nurhayu dkk, (2017), pemberian pakan
memiliki peran yang penting, terutama pada induk sapi perah, karena pakan berperan
dalam meningkatkan produksi susu dan kadar lemak susunya.
Sapi yang sedang menyusui akan diberikan hijauan hingga 3 kali sehari pada
malam hari. Penting untuk memberikan hijauan dengan frekuensi yang sering dan
memulainya sekitar 1,5-2 jam setelah memberikan konsentrat. Penggunaan hijauan
harus dilakukan secara bertahap dan menggunakan jumlah yang kecil terlebih dahulu.
2.5. Pakan Konsentrat
Pengaruh pakan pada kualitas dan jumlah produksi susu sangat signifikan.
Peternak sapi perah dapat memilih pemberian pakan konsentrat sebagai salah satu
opsi untuk meningkatkan hasil produksi susu. Pakan konsentrat diberikan dengan
kandungan nutrisi yang lebih tinggi daripada pakan hijauan memiliki potensi untuk
meningkatkan pertumbuhan dan produksi susu. Faktor penentu yang memiliki tingkat
kepentingan terendah dalam hal ini adalah jumlah konsentrat. Pemberian konsentrat
sebagai suplemen pakan memainkan peran penting dalam meningkatkan produktivitas
susu sapi. Salah satu penyebab produksi susu yang rendah (sekitar 3 liter per ekor per
hari) adalah pemberian konsentrat yang tidak sesuai dengan kebutuhan ternak.
Menurut Simamora, dkk, 2015, diperkirakan bahwa pemberian konsentrat tanpa
tambahan mineral dapat menyebabkan banyak sapi mengalami lumpuh akibat
kekurangan mineral.
Dalam memberikan pakan konsentrat pastikan memiliki kualitas yang tinggi demi
mencapai kemampuan tinggi dalam berproduksi susu. Suplementasi dengan
konsentrat yang memiliki kandungan protein dan energi (2,00-2,50 kg/ekor/hari) lebih
tinggi dapat meningkatkan produksi susu sebanyak 2,70-3,00 liter. Terlebih lagi,
pemberian konsentrat perlu disesuaikan dengan ketersediaan pakan lokal di area
6

tersebut, termasuk onggok singkong, ampas tahu, ampas bir (Rusdiana dan Sejati,
2009).
2.6. Lama Beternak
Menurut Waris, dkk, (2015), biasanya pengalaman beternak akan membentuk
suatu rutinitas yang akan memengaruhi peternak dalam hal cara merawat ternak.
Kebiasaan yang telah diwariskan secara turun-temurun masih tetap dipertahankan
oleh peternak, meskipun mereka sebenarnya sudah mengetahui prinsip-prinsip yang
seharusnya diikuti. Sementara itu, ada beberapa faktor yang dapat menghambat
perkembangan peternakan di suatu daerah, antara lain berasal dari faktor-faktor
topografi, iklim, keadaan sosial, serta ketersediaan bahan makanan rerumputan,
disamping itu faktor pengalaman yang dimiliki peternak juga menentukan
perkembangan peternakan di daerah itu.
Keberhasilan meningkatkan pendapatan peternak tidak hanya ditentukan oleh
lamanya berternak, karena peternak biasanya menggunakan pengetahuan dan
ketrampilan yang sama dalam mengelola ternaknya. Menurut penelitian yang
dilakukan oleh Muatip, dkk, (2008), lamanya berternak tidak memiliki keterkaitan
dengan kompetensi kewirausahaan peternak. Semakin lama berternak, peternak akan
mendapatkan pengalaman yang lebih banyak, sehingga pengelolaan usaha peternakan
dapat menjadi lebih baik (Riadi, dkk, 2014).
Mastuti dan Hidayat, (2008) menyatakan bahwa Seiring bertambahnya
pengalaman dalam berternak, diharapkan pengetahuan juga semakin bertambah
sehingga keterampilan dalam mengelola usaha peternakan semakin meningkat. Lama
berternak tidak berdampak pada pendapatan, ini terjadi jika peternakan masih
menggunakan metode tradisional sehingga tidak ada perbedaan dalam pengelolaan
ternak antara peternak yang berpengalaman dan yang belum berpengalaman.

2.7. Periode Laktasi Sapi Perah


Peternak memiliki tujuan untuk memaksimalkan reproduksi sapi perah dengan
hasil kelahiran yang terjadi sekali dalam setahun. Menurut penelitian yang dilakukan
oleh Awan, dkk, (2016), sapi perah biasanya mengalami kehamilan pertama pada usia
33-35 bulan. Proses ini akan mengakibatkan hilangnya 9 bulan awal produksi susu dan
juga mengakibatkan lamanya usia sapi perah mencapai 36-38 bulan untuk melahirkan
7

Jumlah susu yang diproduksi oleh ternak pada periode laktasi akan meningkat
seiring dengan berjalannya waktu hingga mencapai bulan keempat, setelah itu akan
terjadi penurunan laktasi pada ternak sampai masa kering (dry period) selama 2 bulan
sebelum melahirkan anak kembali. Selama periode laktasi, kandungan protein dalam
susu akan meningkat, sedangkan kandungan lemak awalnya akan menurun hingga
bulan ketiga, namun akan meningkat kembali setelahnya. Perubahan dalam komposisi
air susu dapat diamati sepanjang periode laktasi, dengan perubahan paling signifikan
terjadi pada awal dan akhir periode ini (Laryska dan Nurhajati, 2013).
Produksi susu mengacu pada total volume susu yang dihasilkan per hari setelah
mengalami fase kolostrum selama satu siklus laktasi. Nampaknya, variasi produksi susu
sapi perah tidak bergantung pada musim atau fase laktasi karena terdapat tumpang
tindih antara usia hewan dan periode laktasi. Hal ini dikarenakan adanya hubungan
positif yang signifikan antara usia hewan dan periode laktasi (Santosa, dkk, 2014).

2.8. Perkandangan
Perkandangan serta peralatan merupakan elemen yang tidak dapat dipisahkan
pada usaha budidaya ternak sapi perah. Kenyamanan kandang merupakan salah satu
hal yang penting paa ternak sapi perah karena berhubungan langsung dengan efisiensi
produksi susu sapi tersebut. Kondisi kandang, lokasi makan dan minum, pengaturan
ventilasi, serta peralatan kandang harus disesuaikan dengan kebutuhan dan
kenyamanan sapi perah guna mencapai hasil yang optimal (Wijayanti, 2018).
Kandang ternak umumnya terdiri dari struktur yang bersifat semi permanen,
mulai dari yang sederhana hingga menggunakan konstruksi beton. Konstruksi kandang
ini dirancang dengan kekuatan yang tinggi agar dapat menahan beban, benturan, serta
dorongan dari ternak. Penjagaan kebersihan kandang menjadi hal yang penting dalam
upaya pencegahan penyakit, salah satu caranya adalah melalui sanitasi kandang,
lingkungan, ternak, dan peralatan (Santosa, dkk, 2013).
Santoso, (1997) menyatakan bahwa terdapat dua jenis kandang sapi perah
dewasa yang umum digunakan, yaitu kandang tipe barak dan kandang tunggal.
Kandang tipe barak memiliki luas minimal 2 m per ekor, sedangkan kandang tunggal
memiliki ukuran 175 cm x 120 cm. Selain itu, kandang tunggal juga dilengkapi dengan
tempat pakan dan tempat minum berukuran 80 cm x 50 cm x 40 cm.
8
9

III. METODE PENELITIAN

3.1. Metode Penelitian


3.1.1. Sasaran Penelitian
Sasaran penelitian adalah sapi perah laktasi yang terletak di Kecamatan
Pekuncen Kabupaten Banyumas.

3.1.2. Lokasi Penelitian


Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Pekuncen, Kabupaten Banyumas, Jawa
Tengah.

3.1.3. Sumber Data


Sumber informasi yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer
dan data sekunder. Data primer didapatkan melalui observasi dan wawancara dengan
para peternak menggunakan beberapa pertanyaan yang telah disusun. Sedangkan
untuk data sekunder akan didapatkan dari berbagai instansi terkait seperti Dinas
Peternakan, Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Banyumas, serta melalui studi
pustaka yang dilakukan penulis.

3.1.4. Variabel Penelitian


1. Variabel terikat (dependent) adalah susu yang dihasilkan.
2. Variabel bebas (independent) aalah pakan hijauan, pakan konsentrat, lama beternak,
periode laktasi dan perkandangan.

3.1.5. Metode Penetapan Sampel


Penelitian ini menggunakan pendekatan survei sebagai metode utama. Untuk
menentukan sampel wilayah, digunakan metode Purposive Sampling dengan memilih
Kecamatan Pekuncen sebagai daerah fokus. Hal ini dikarenakan Kecamatan Pekuncen
merupakan pusat peternakan sapi perah dan produsen susu sapi untuk Kabupaten
Banyumas dan sekitarnya. Untuk pengambilan sampel, dilakukan dengan
menggunakan metode sensus terhadap total 55 ekor sapi perah dalam periode laktasi.
10

3.1.6. Kerangka Pemikiran

Gambar 1.. Kerangka Pikir

Efektivitas pada usaha sapi perah secara optimal dapat terlihat pada tingkat
keberhasilan produksi susu. Untuk mengetahui pengaruh faktor produksi terhadap
tingkat produksi susu, dapat dilakukan analisis munggunakan fungsi produksi Cobb
Douglas. Dengan menggunakan hasil analisis ini, akan dapat diketahui faktor-faktor
yang berperan penting dalam usaha peningkatan produksi susu sapi perah.

3.2. Metode Analisis


3.2.1. Definisi Operasional
a. Fungsi produksi merupakan rumusan matematis yang menggambarkan penggunaan
input dalam proses produksi dan hubungannya dengan output yang akan dihasilkan.
b. Produksi merupakan aktivitas yang bertujuan untuk meningkatkan nilai atau daya
suatu barang guna memenuhi kebutuhan manusia.
c. Faktor produksi merujuk kepada semua sumber daya yang digunakan pada proses
produksi barang atau jasa.
d. Produksi susu merujuk pada kuantitas susu yang diproduksi oleh binatang ternak
jenis sapi perah yang dijaga oleh peternak di wilayah Pekuncen, diukur dalam
satuan liter per ekor per hari.
e. Pakan hijauan mengacu pada jumlah hijauan yang diberikan kepada ternak sapi
perah, dinyatakan dalam satuan kilogram per ekor per hari.
11

f. Pakan konsentrat merujuk pada jumlah konsentrat pakan yang diberikan kepada
hewan ternak sapi perah, diukur dalam satuan kilogram per ekor per hari.
g. Lama beternak adalah jumlah waktu yang diperlukan oleh peternak untuk
memelihara sapi perah dalam periode satu tahun.
h. Periode Laktasi merujuk pada kemampuan sapi perah untuk menghasilkan susu
selama periode laktasi yang berbeda.
i. Perkandangan merujuk pada besarnya kandang pemeliharaan sapi (m 2)

3.2.2. Analisis Data


3.2.2.1.. Besarnya Faktor Produksi
Analisis dilakukan secara deskriptif terhadap besarnya faktor produksi
menggunakan statistik sederhana seperti nilai, jumlah, dan rata-rata.

3.2.2.2.. Analisis Fungsi Produksi


Produksi susu pada sapi perah dipengaruhi beberapa faktor produksi. Hal
tersebut dianalisis melalui fungsi produksi Cobb-Douglas sebagai berikut:
Y = a X1b1, X2b2, .… Xibi…. , Xnbn eµ
(Soekartawi, 2003)
keterangan : Y : variabel untuk diterangkan
X : variabel untuk memberi keterangan
a,b : nominal terduga
µ : kesalahan (disturb term)
e : logaritma natural (e = 2,718)
i : variabel ke-i

Guna mempermudah estimasi persamaan tersebut, diubah dalam format linear


berganda dengan cara mengambil logaritma serta diekspresikan sebagai berikut:
log Y = log. a + b1 log. X1 + b2 log. X2+ b3 log. X3 + b4 log. X4+ b5 log. X5
Keterangan :
Y : Produksi susu yang dihasilkan.
X1, X2, X3, .… X5 : Komponen input dalam produksi seperti pakan hijauan, pakan
konsentrat, lamanya periode beternak, periode laktasi, dan
kondisi perkandangan.
12

b1, b2, b3, …. b5 : Faktor-faktor yang dianggap berperan dalam produksi susu
seperti jenis dan kualitas pakan hijauan, pakan konsentrat,
lamanya periode beternak, periode laktasi, dan kondisi
perkandangan.
a : Faktor yang berperan sebagai nilai awal atau batas dalam
perhitungan (parameter).

Koefisien Determinasi (R2)


Koefisien determinasi digunakan sebagai indikator untuk mengukur sejauh
mana variasi variabel dependen dapat dijelaskan oleh variabel independen. Rumus
yang digunakan untuk menghitung koefisien determinasi, seperti yang dijelaskan oleh
Sudjana (2002) :
JK (Reg )
R2 =
Σy 2
Keterangan:
R2 : Koefisien determinasi
JK(Reg) : Jumlah kuadrat regresi
Σy2 : Jumlah kuadrat total dikoreksi

Uji F
Penggunaan Uji F guna mengevaluasi efek bersama-sama dari vaariabel
independen terhadap variabel dependen. Cara untuk mendapatkan nilai Uji F, seperti
yang telah dijelaskan oleh Sudjana (2002), sebagai berikut :

R2 /k
F hitung =
(1 - R 2 )/( n-k-1)

Keterangan:

k : Jumlah Variabel
n : Jumlah Sampel
R2 : Koefisien Determinasi
Kriteria Pengujian:
13

1. Jika nilai statistik F yang dihitung lebih besar atau sama dengan nilai kritis F dari
table (Fhitung ≥ FTabel), maka hipotesis nol (H0) ditolak dan hipotesis alternatif (H 1)
diterima. Ini menunjukkan adanya dampak yang signifikan secara keseluruhan atau
sebagian dari variabel independen terhadap variabel dependen pada produksi susu.
2. Jika nilai statistik F yang dihitung lebih kecil atau sama dengan nilai kritis F dari tabel
(Fhitung ≤ FTabel), maka hipotesis nol (H0) diterima dan hipotesis alternatif (H1) ditolak.
Hal ini mengindikasikan tidak adanya dampak yang signifikan dari variabel
independen terhadap variabel dependen pada produksi susu.

Uji t parsial
Sudjana (2002) menyatakan bahwa penggunaan uji t parsial adalah untuk
memeriksa secara terpisah pengaruh dari variabel depenen (X) terhadap variabel
independen (Y). Rumus yang digunakan adalah :
bi
t hitung=
Sbi
Keterangan :
t : distribusi t dengan derajat kebebasan tertentu (df)
bi : Koefisien regresi untuk setiap variabel dalam model yang diterapkan
Sbi : Kesalahan standar untuk setiap variabel dalam model yang diterapkan
Kriteria pengujian:
1. Jika nilai statistik t yang dihitung lebih besar atau sama dengan nilai kritis t dari table
(thitung ≥ tTabel), maka hipotesis nol (H0) ditolak dan hipotesis alternatif (H1) diterima. Ini
menunjukkan adanya dampak yang signifikan secara keseluruhan atau sebagian dari
variabel independen terhadap variabel dependen pada produksi susu.
2. Jika nilai statistik t yang dihitung lebih kecil atau sama dengan nilai kritis t dari tabel
(thitung ≤ tTabel), maka hipotesis nol (H0) diterima dan hipotesis alternatif (H1) ditolak.
Hal ini mengindikasikan tidak adanya dampak yang signifikan dari variabel
independen terhadap variabel dependen pada produksi susu.
14

3.3. Tata Urutan kerja


3.3.1. Tahap Persiapan
Langkah awal dalam proses persiapan adalah melakukan survei lokasi
penelitian. Survei ini bertujuan untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam
tentang kondisi lapangan serta para peternak yang akan menjadi responden penelitian.
Setelah itu, peneliti akan menyusun usulan penelitian dalam bentuk proposal yang
akan dipresentasikan pada ujian seminar proposal penelitian.

3.3.2. Tahap Pengumpulan Data


Langkah selanjutnya adalah mengumpulkan data hasil penelitian.

Data yang diperoleh akan dikategorikan menjadi data primer dan data
sekunder. Pengumpulan data primer akan dilakukan melalui wawancara menggunakan
kuesioner yang telah disusun dan mendapatkan persetujuan dari pembimbing
akademik, serta melalui pengamatan langsung terhadap peternak. Sebaliknya, data
sekunder akan diperoleh melalui pengambilan data dari Dinas Peternakan dan
Perikanan Kabupaten Banyumas. Seluruh proses pengumpulan data ini akan
berlangsung selama kurun waktu tiga minggu.

3.3.3. Tahap Analisis Data


Setelah selesai pada pengumpulan data maka selanjutnya adalah tahap analisis
data. Data yang dikumpulkan kemudian dianalisis menggunakan metode statistik untuk
mendapatkan tabulasi data. Durasi dari analisis data adalah selama dua minggu.

3.3.4. Tahap Penyusunan Laporan


Setelah tahap sebelumnya selesai dan tabulasi data sudah diperoleh, tahap
berikutnya adalah pemaparan dari hasil penelitian yang akan terdokumentasikan
dalam bentuk laporan penelitian (skripsi) dengan bimbingan dari dosen pembimbing.
Tahap ini membutuhkan waktu empat bulan.

3.3.5. Waktu dan Tempat Penelitian


Dalam rangka menjalankan penelitian, pelaksanaannya dimulai pada tanggal 14
September hingga 31 September 2020 setelah proposal penelitian disetujui. Penelitian
dilakukan di Kecamatan Pekuncen, Kabupaten Banyumas.
15

Table 1. Jadwal Kegiatan Penelitian


16

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Tinjauan Umum

Kabupaten Banyumas, sebuah wilayah di pulau Jawa, memiliki luas sebesar


132.759,56 hektar yang terdiri dari daratan dan pegunungan. Secara iklim, Kabupaten
Banyumas termasuk dalam kategori tropis basah karena terletak di lereng
pegunungan. Dalam Kabupaten Banyumas, terdapat 27 Kecamatan yang kemudian
dibagi menjadi 301 desa dengan populasi penduduk mencapai sekitar 1.795.844 jiwa.
Salah satu contohnya adalah Kecamatan Pekuncen (BPS, 2019).
Kecamatan Pekuncen termasuk kedalam wilayah Kabupaten Banyumas yang
terletak di wilayah utara dan berbatasan langsung dengan Kabupaten Brebes. Luas
wilayah Pekuncen mencapai 92,7 kilometer persegi yang didominasi oleh relief
pegunungan dan merupakan daerah yang subur dengan curah hujan yang cukup tinggi
sehingga dapat menjadi sentra pengembangan ternak sapi perah yang ada di
Kabupaten Banyumas. Kecamatan pekuncen terdiri atas 16 desa salah satunya yaitu
desa Tumiyang yang dijadikan sebagai lokasi penelitian.
Desa Tumiyang memiliki tiga dusun yaitu Dusun l Grumbul Tumiyang Desa,
Jurangmangu dan Tumiyang Udik, Dusun ll meliputi Grumbul Karangmiri, Dukuh Anyar
dan Kutiyang dan Dusun lll yaitu Grumbul Tumiyang Dukuh, Dukuh Mingklik, Kebon
Cikal dan Pelumbungan. Sebagian besar mata pencaharian masyarakat Desa Tumiyang
yakni buruh tani yang dilakukan secara konvensional (BPS, 2019).

4.2. Tinjauan Khusus


4.2.1. Keadaan Peternakan Sapi Perah
Keberagaman penduduk di wilayah Kabupaten Banyumas mengakibatkan
adanya perbedaan dalam mata pencaharian para penduduknya. Tidak sedikit
masyarakat yang bekerja sebagai peternak yang dijadikan sebagai pekerjaan utama
maupun pekerjaan sampingan disamping usaha pokok lainnya. Jumlah peternak sapi
perah di wilayah Kabupaten Banyumas cukup banyak yang tersebar di beberapa
kecamatan.
17

Kabupaten Banyumas memiliki jumlah sapi perah sebanyak 2.287 ekor yang
tersebar di beberapa wilayah. Populasi sapi perah yang terdapat di wilayah Banyumas
antara lain terdapat di Kecamatan Wangon dengan populasi 20 ekor, Kecamatan
Pekuncen dengan populasi 369 ekor, Kecamatan Cilongok 233 ekor, Kecamatan
Karanglewas 61 ekor, Kecamatan Baturraden 1.454 ekor dan Kecamatan Sumbang 113
ekor (BPS, 2019).
Kecamatan Pekuncen menjadi daerah sentra pengembangan ternak sapi perah
yang masih dilakukan secara tradisoinal dengan skala kepemilikan yang kecil. Daerah
tersebut merupakan perbukitan dan daratan sehingga sangat cocok untuk ternak sapi
perah. Sebagian peternak yang ada di wilayah ini tergabung ke dalam kelompok
ternak. Beberapa kelompok ternak yang ada di Kecamatan Pekuncen antara lain yaitu
Lestari 1, Lestari 2, Puan Abadi dan Maju Rukun. Jumlah peternak sapi perah yang ada
di wilayah Pekuncen berkisar 62 orang.
Jumlah sapi perah yang terdapat di wilayah Kecamatan Pekuncen cukup banyak
dan juga didukung dengan lahan pakan hijauan yang luas. Lahan yang terdapat di
wilayah tersebut banyak ditanami rumput gajah maupun padi. Hal tersebut dapat
mendorong perkembangan sapi perah yang ada di Kecamatan Pekuncen.
Kecamatan Pekuncen memiliki populasi sapi perah yang cukup banyak
dibandingkan dengan kecamatan lain yang ada di Kabupaten Banyumas. Hal ini
menjadikan wilayah tersebut menjadi sentra pengembangan ternak sapi perah.
Populasi peternak sapii perah di kecamatan ini bertambah dengan seiringnya waktu
meskipun sangat perlahan dalam peningkatan jumlahnya.

4.2.2. Pakan Hijauan


Penyediaan makanan bagi ternak memiliki tujuan dalam pemenuhan keperluan
biologis ternak, baik itu pada kebutuhan dasar ataupun tujuan produksi. Pemberian
hijauan ini dilakukan karena memiliki serat kasar yang tinggi di dalamnya yang mana
dapat menstimulus kerja rumen dan juga berperan dalam mengatur kadar lemak
dalam susu yang dihasilkan. Hijauan memiliki peran penting dalam perkembangan
ternak, itulah mengapa penting untuk memberikan hijauan dengan kualitas yang baik
sehingga mudah dicerna oleh ternak (Novianti, dkk,2014).
18

Penambahan hijauan dilakukan dengan menggunakan rumput gajah yang


didapat tidak jauh dari kandang dan lokasi penelitian. Terkadang, ketersediaan hijauan
yang ada tidak dapat untuk memenuhi keperluan makan ternak. Oleh karena itu,
peternak didorong mencari tambahan hijauan dari lingkungan sekitarnya seperti
perkebunan rakyat atau tepi jalan, atau membelinya dari buruh tani. Rumput gajah
diberikan secara utuh tanpa melalui proses pemotongan. Studi yang dilakukan oleh
Noviati dan rekan-rekan (2014) menunjukkan bahwa ukuran potongan rumput tidak
memengaruhi konsumsi dan pencernaan beberapa nutrien. Meskipun ternak
mengkonsumsi lebih banyak saat ukuran potongan rumput lebih kecil, namun hal ini
tidak berdampak pada kualitas susu. Dalam Kelompok Ternak Lestari 1, jumlah
pemberian pakan hijauan per ekor sapi per hari adalah sebagai berikut:

Table 3. Jumlah Pakan Hijauan Yang Diberikan Per Ekor Per Hari

Sumber: Data Primer Terolah, 2020

Dalam Tabel 3 diperlihatkan bahwa rata-rata jumlah pakan hijauan yang


diberikan adalah 34,6 kg per ekor setiap harinya. Angka tersebut menunjukkan bahwa
pemberian pakan hijauan berada pada tingkat yang tinggi. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Siregar et al. (1994), pengukuran pemberian pakan hijauan didasarkan
pada berat badan sapi dan jumlah susu yang dihasilkan. Jika mengacu pada
pengukuran lingkar dada pada sapiperah, bobot badan sapi berkisar antara 300-350 kg.
Umumnya, hijauan diberikan sebanyak 10% dari bobot badan sapi dewasa. Pemberian
hijauan yang tinggi pada sapi perah seringkali dikaitkan dengan keyakinan para
peternak bahwa pemberian yang tinggi akan berdampak positif terhadap produksi
susu.
19

4.2.3. Pakan Konsentrat


Konsentrat digunakan sebagai salah satu sumber energi bagi hewan ternak,
contohnya pada sapi perah yang memerlukan tingkat energi yang tinggi untuk
menghasilkan susu. Pakan konsentrat merupakan serat-serat kasar yang dapat dengan
mudah diserap oleh ternak. Kandungan protein kasar dalam konsentrat harus minimal
18%, sedangkan Total Digestiblle Nutrient (TDN) tidak boleh kurang dari 75%.
Peternak di daerah Pekuncen ini memanfaatkan konsentrat sebagai makanan
tambahan untuk anak-anak sapi perah. Menurut penjelasan Eniza (2004), fungsi utama
dari konsentrat ini ialah untuk mencukupi keperluan gizi yang tidak didapatkan dari
pakan hijauan.
Konsentrat yang diberikan pada sapi perah diperoleh dari Koperasi Unit Desa
yang menggunakan bahan dasar limbah pertanian dan agroindustri. Menurut Laryska
dan Nurhajati (2013), konsentrat dapat digunakan dalam bentuk kering atau basah,
dan dapat disimpan dalam waktu yang cukup lama. Penggunaan konsentrat ini
memiliki efek positif pada ternak dan menjadi alternatif yang dipilih oleh peternak sapi
perah karena ketersediaannya yang mudah atau dapat diproduksi sendiri, serta bisa
disimpan dalam bentuk basah. Berikut ini adalah jumlah pemberian pakan konsentrat
di Kelompok Ternak Lestari 1.
Table 4. Jumlah Pakan Konsentrat Yang Diberikan Per Ekor Per Hari

Sumber: Data Primer Terolah, 2020

Berdasarkan data pada Tabel 4, dapat disimpulkan bahwa ratarata pemberian


pakan konsentrat yang dilakukan oleh 16 peternak yang menjadi responden adalah
sebesar 6,50 kg/ekor/hari. Sesuai yang dikemukakan oleh Siregar et al. (1994), sapi
20

perah laktasi sebaiknya diberikan pakan tambahan sebanyak 1-2% dari bobot
badannya. Pemberian konsentrat pakan dua kali sehari diharapkan dapat
meningkatkan produksi susu pada sapi perah. Namun, penggunaan pakan yang
berlebihan tidak akan memberikan peningkatan produksi susu yang lebih tinggi dari
kapasitas sapi. Sebaliknya, jika pakan tidak mencukupi, produksi susu akan mengalami
penurunan yang signifikan (Wijayanti, 2018).

4.2.4. Lama Beternak


Lamanya waktu beternak merupakan durasi yang diinvestasikan oleh seorang
peternak untuk mempraktikkan kegiatan usaha ternaknya. Terdapat korelasi yang
sangat jelas antara pengalaman beternak dan kemampuan peternak dalam mengelola
ternak sapinya. Pengalaman beternak diperoleh sejak peternak mulai terlibat secara
aktif dalam kegiatan usaha ternaknya. Berikut merupakan data lamanya waktu
beternak pada Kelompok Ternak Lestari 1.

Tabel 5. Lama Beternak

Sumber: Data Primer Terolah, 2020

Berdasarkan hasil analisis pada Tabel 5, dapat disimpulkan bahwa sebanyak


32,5% dari populasi peternak memiliki pengalaman beternak kurang dari 10 tahun.
Meskipun demikian, terdapat beberapa peternak yang belum memiliki pengalaman
dalam mengelola usaha ternak sapi, namun tetap mampu menjalankan usaha sapi
perah dengan tingkat keterampilan yang memadai. Baik peternak yang sudah lama
maupun yang baru mempunyai kemampuan yang hampir serupa dalam mengelola
usaha ternak mereka, hal ini sejalan dengan penjelasan Mastuti dan Hidayat (2008)
21

yang menjelaskan bahwa perbedaan pengalaman dalam beternak tidak memberikan


pengaruh terhadap kemampuan peternak dalam mengelola ternak mereka dengan
menggunakan metode tradisional, sehingga tidak terdapat perbedaan antara
responden yang telah berpengalaman maupun yang belum berpengalaman dalam
mengelola ternaknya.

4.2.5. Periode Laktasi


Laktasi merupakan interval penyusuan yang mencakup periode mulai setelah
partus sampai induk sapi dieliminasi dalam satu tahun. Durasi optimal laktasi adalah
sekitar 305 hari atau sekitar 10 bulan. Studi yang dilakukan oleh Rahman dan rekan-
rekan (2015) menunjukkan bahwa pada laktasi kedua, sapi memiliki periode laktasi
yang lebih panjang jika dibandingkan dengan laktasi pertama, hal tersebut dikarenakan
laktasi kedua erat hubunganya dengan performa reproduksi sapi perah. Tabel 6
menunjukkan periode laktasi terpanjang pada Kelompok Ternak Lestari 1.

Table 6. Periode Laktasi Ternak

Sumber: Data Primer Terolah, 2020


Berdasarkan tabel 6, dapat ditarik kesimpulan bahwa pada laktasi kedua, rata-
rata periode laktasi mencapai puncaknya dengan produksi susu sebanyak 10,81 liter
per ekor per hari. Pemerahan dilakukan dua kali dalam sehari, yaitu pada pagi dan
sore. Hasil penelitian oleh Hadisutanto dkk (2013) juga mendukung temuan ini, dimana
mereka menemukan bahwa puncak laktasi juga terjadi pada periode kedua dan ketiga.
Pada periode laktasi pertama, produksi susu rata-rata cenderung lebih rendah
dibandingkan periode kedua dan ketiga. Produksi susu dapat bervariasi karena
22

perbedaan dalam kebutuhan induk sapi perah yang pertama kali melahirkan
(primipara) dan induk sapi perah yang telah melahirkan lebih dari satu kali (pluripara).
Peningkatan usia sapi menyebabkan produksi susu menurun secara bertahap.
Produksi susu pada laktasi pertama mencapai 70%, laktasi kedua sebesar 80%, laktasi
ketiga mencapai 90%, dan laktasi keempat mencapai 95% dari total produksi susu saat
mencapai usia dewasa dengan periode melahirkan setiap 12 bulan dan melahirkan
anak pertama pada usia 2 tahun.

4.2.6. Perkandangan
Kandang ideal untuk beternak sapi perah adalah kandang yang memenuhi
persyaratan kenyamanan serta dapat menjaga kesehatan sapi perah. Pandangan ini
sama dengan Abidin (2006) yang menyatakan bahwa kandang memiliki fungsi untuk
memberikan perlindungan pada sapi perah dari cuaca yang buruk, menjadi rumah
yang nyaman untuk sapi beristirahat, menjadi tempat untuk pengumpulan kotoran
sapi, menjaga sapi dari gangguan hewan lain, dan memudahkan peternak dalam
pemeliharaan sapi. Di Kelompok Ternak Lestari 1, ternak ditempatkan di dalam
kandang dan tidak digembalakan.
Bangunan kandang umumnya dibangun menggunakan bahan permanen yang
sederhana. Salah satu jenis kandang yang sering digunakan adalah tipe konvensional
dengan dua baris. Pada tipe kandang ini, ditempatkan sekat yang terbuat dari papan
kayu untuk memisahkan sapi perah dalam satu barisan. Sekat ini dimulai dari tempat
pakan dan berakhir tepat di sepanjang papan yang menjulang tinggi. Sapi ditempatkan
dalam dua baris kandang yang berseberangan (tail to tail) untuk memudahkan proses
pembersihan kandang. Untuk mempermudah pengelolaan, dibuatkan selokan pada
lantai kandang guna dijadikan saluran pembuangan untuk kotoran ternak. Di bawah ini
adalah informasi tentang luas kandang ternak yang ada di Kelompok Ternak Lestari 1.
23

Table 7. Luas Kandang Ternak

Sumber: Data Primer Terolah, 2020

Kandang sapi perah laktasi memiliki variasi luas dan jumlah ternak dalam satu
bangunan. Rata-rata luas kandang di Kelompok ternak Lestari 1 adalah 53,44 m2,
sesuai dengan penelitian oleh Sudono, dkk (2003). Penelitian ini menunjukkan bahwa
sapi perah memerlukan luas minimal 2,8 m2 agar ternak dapat berproduksi dengan
maksimal.
4.3. Analisis Fungsi Produksi
Dalam usaha ternak sapi perah, tujuan utamanya adalah memperoleh
keuntungan dari hasil produksi susu. Untuk meningkatkan produksi sapi perah,
peternak perlu memahami faktor-faktor yang mempengaruhinya. Beberapa faktor
produksi yang memiliki pengaruh signifikan terhadap produksi susu pada sapi perah
diantaranya adalah pakan hijauan (X1), pakan konsentrat (X2), lamanya beternak (X3),
periode laktasi (X4), dan perkandangan (X5). Analisis terhadap faktor-faktor ini dapat
menentukan seberapa besar pengaruhnya terhadap produksi susu sapi perah.
Penelitian menunjukkan bahwa pengamatan parameter fungsi produksi model
Cobb-Douglass dilakukan dengan melakukan transformasi logaritma terlebih dahulu.
Hasil analisis data kemudian dapat menunjukkan bagaimana model Cobb-Douglass
berlaku dalam hal ini. Informasi lebih detail dapat dilihat dalam Tabel 8.
24

Table 8. Hasil Pendugaan Fungsi Produksi di Desa Tumiyang

Coefficients Standard Error t Stat P-value


Intercept 1.098412582 0.33022413 3.3242576 0.001685
PakanHijauan (X1) -0.037772789 0.17179556 -0.21122 0.833618
Pakan Konsentrat (X2) 0.007579**
0.443519871 0.15825525 2.7849865 *
Lama Beternak (X3) 0.0475756487 0.038910205 1.233667 0.2232018
Periode Laktasi (X4) -0.099578685 0.118099235 -0.84419 0.4027212
Perkandangan (X5) -
0.2386454288 0.067499106 -3.53953 0.00089***

0.304032133
R Square
4.28121 **Tingkat kepercayaan 95%
F
0.00261393**
Significance F * ***Tingkat kepercayaan 99%
Sumber: Data Primer Terolah, 2020

Berdasarkan analisis data, ditemukan model fungsi produksi Cobb-Douglas yang


dapat digambarkan sebagai berikut:
Log Y = log 1,1 - 0,04 log x1 + 0,44 log x2+ 0,05 log x3 - 0,1 log x4 – 0,24 log x5

Angka koefisien determinasi (R2) sebesar 0.304032143 memperlihatkan bahwa


30,4% perbedaan dalam variabel dependen dapat dijelaskan oleh variabel independen
yang digunakan dalam model ini. Selanjutnya 69,6% dari tingkat produksi susu
dipengaruhi oleh variabel-variabel lain yang tidak dimasukkan ke dalam model ini.
Beberapa faktor tambahan yang diduga berpengaruh terhadap produksi susu
mencakup suhu, kondisi lingkungan, efek iklim dan cuaca, infeksi penyakit, serta
administrasi obat dan suplemen nutrisi.
Hasil dari analisis regresi yang terdapat pada tabel 8 menunjukkan bahwa nilai
signifikansi F sebesar 0.002613983. Dari hasil ini dapat disimpulkan bahwa variabel
25

independen berpengaruh secara signifikan terhadap variabel dependen, yaitu produksi


susu, dengan tingkat kepercayaan 99% (P<0,01).4.4. Pengaruh Variabel (X) Terhadap
Produksi Susu (Y)

4.4.1. Variabel Pakan Hijauan (X1)


Terlihat pada analisis Cobb Douglas Tabel 8, memperlihatkan tidak adanya
signifikan (P> 0,10) terhadap produksi susu. Hal ini dapat disimpulkan bahwa pengaruh
pakan hijauan terhadap produksi susu tidak nyata. Penyebab dari ketidaknyataan ini
adalah kurangnya perhatian peternak dalam pemenuhan pakan hijauan. Menurut studi
yang dilakukan oleh Saking dan Qomariyah (2017), ditemukan bahwa adanya pakan
hijauan yang kurang berkualitas, sehingga perlu ditambah dengan pakan tambahan
yang berfungsi sebagai penguat nutrisi. Rata-rata jumlah pakan hijauan yang diberikan
kepada hewan ternak sebesar 34,54 kg per ekor per hari.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Zammani (2012), hijauan memiliki
dampak yang signifikan terhadap efisiensi pakan. Hijauan memegang peran yang paling
dominan dalam menentukan efisiensi pakan karena hijauan memiliki kemampuan
untuk membuat komponen pakan menjadi sulit dicerna, sehingga menyebabkan
penurunan kecernaan pakan. Ketika kecernaan pakan rendah, maka akan berdampak
negatif terhadap produksi susu.

4.4.2. Variabel Pakan Konsentrat (X2)


Tabel 8 menunjukan bahwa pemberian pakan konsentrat memiliki pengaruh
signifikan terhadap produksi susu dengan tingkat kepercayaan 99% (P <0,01). Koefisien
regresi pakan konsentrat adalah 0,44, yang berarti setiap peningkatan input pakan
konsentrat sebesar 1% akan meningkatkan produksi susu sebesar 0,44%. Hasil analisis
menunjukkan bahwa produksi susu masih dapat ditingkatkan dengan menambah
jumlah pakan konsentrat.
Dalam penelitian tersebut, disimpulkan bahwa pemberian pakan konsentrat
dengan jumlah rata-rata 6,60 kg per ekor per hari pada sapi perah sudah memadai
untuk meningkatkan produktivitas dan pertumbuhan tubuh. Menurut penelitian
Siregar pada tahun 1994, pemberian konsentrat sebesar 1-2% dari bobot sapi perah
yang sedang menyusui adalah sangat dianjurkan. Sapi perah yang diteliti memiliki
26

bobot badan antara 300-350 kg, sehingga pemberian pakan konsentrat secara
kuantitatif sudah memadai, namun masih dapat ditingkatkan secara kualitatif.
4.4.3. Variabel Lama Beternak (X3)
Berdasarkan analisis Cobb Douglas pada Tabel 9, dapat disimpulkan bahwa
variabel lama beternak tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap produksi susu,
dengan nilai t hitung menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara
responden yang memiliki pengalaman beternak di atas 10 tahun dengan mereka yang
memiliki pengalaman beternak di bawah 10 tahun dalam hal produksi susu. Meskipun
pengalaman beternak sangat penting dalam menangani berbagai masalah dalam usaha
peternakan, seperti pencegahan penyakit, pemberian pakan untuk sapi perah, dan
peningkatan produksi susu.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata lama beternak adalah 15 tahun.
Usaha peternakan yang telah berlangsung lama biasanya masih terpengaruh oleh
penggunaan metode tradisional dalam beternak dan teknologi yang masih sederhana.
Namun, pandangan Mastuti dan Hidayat (2008) menyatakan bahwa semakin lama
dalam beternak, pengetahuan dan keterampilan dalam menjalankan usaha peternakan
akan semakin meningkat.

4.4.4. Variabel Periode Laktasi (X4)


Berdasarkan pada Tabel 9, ditemukan bahwa tidak ada pengaruh signifikan dari
variabel periode laktasi terhadap produksi susu, dengan nilai t hitung > 0,1. Pengaruh
yang tidak signifikan ini bisa disebabkan oleh faktor-faktor seperti tidak adanya variasi
bulan laktasi, catatan operasional peternakan yang kurang lengkap (seperti catatan
kelahiran sapi, waktu birahi, biaya obat, dan inseminasi buatan), serta faktor
lingkungan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Rahuman dan rekan-rekannya
pada tahun 2015, perbedaan lingkungan antara Indonesia dan Australia memiliki
potensi untuk memengaruhi produksi susu sapi perah FH dan juga dapat memengaruhi
kondisi sapi perah FH. Kondisi produksi sapi perah dapat diukur berdasarkan produksi
susu yang dihasilkan, lama laktasi, puncak produksi, dan frekuensi kelahiran.
Berdasarkan temuan dari penelitian yang telah dilaksanakan, hasilnya
menunjukkan bahwa rata-rata produksi susu pada masa laktasi dan masa kedua
mencapai jumlah 10,8 liter per ekor per hari. Menurut penelitian yang dilakukan oleh
27

Makin dan Dwi pada tahun 2012, puncak produksi susu terjadi pada masa kedua dan
kemudian mengalami penurunan hingga laktasi kelima. Penurunan produksi susu
mungkin disebabkan oleh faktor genetik yang menurun, yang dapat dipengaruhi oleh
sistem reproduksi dan manajemen pakan yang kurang optimal, terutama dalam hal
variasi dan mutasi pakan.
4.4.5. Variabel Perkandangan (X5)
Menurut hasil analisis fungsi produksi pada Tabel 8, dapat disimpulkan bahwa
variabel perkandangan memiliki pengaruh signifikan terhadap produksi susu dengan
tingkat kepercayaan 90% (P<0,1). Nilai koefisien regresi untuk variabel perkandangan
terhadap produksi susu adalah 0,264, yang mana mengindikasikan bahwa setiap
kenaikan 1% dalam luas kandang akan menghasilkan kenaikan produksi susu sebesar
2,64%.
Menurut Pasaribu, dkk, (2015), penyelenggaraan kandang adalah faktor krusial
dalam menjaga efisiensi produksi ternak. Di Kecamatan Pekuncen, pemeliharaan sapi
perah dilakukan dengan pendekatan semi intensif yang melibatkan penempatan dalam
kandang. Hal ini dilakukan untuk memastikan kontrol mutu yang baik terhadap aspek
makanan, minuman, dan kandang, guna mempertahankan tingkat kekebalan tubuh
sapi perah dan mencapai hasil produksi yang maksimal.
28

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian fungsi produksi yang telah dilakukan oleh penulis,
dapat ditarik kesimpulan bahwa:
1. Pemberian pakan hijauan pada usaha sapi perah di Kecamatan Pekuncen,
Kabupaten Banyumas adalah rata-rata 34,54 kg, sedangkan pakan konsentrat
yang diberikan adalah 6,60 kg. Sebagian besar beternak selama 15 tahun
dengan lama waktu laktasi rata-rata 3. Selain itu, luas kandang adalah rata-
rata 48,76 m2.
2. Pemberian pakan konsentrat pada ternak serta kondisi kandang memiliki
pengaruh tinggi terhadap produksi susu pada usaha sapi perah di Kecamatan
Pekuncen, Kabupaten Banyumas.

5.2. Saran
Untuk memperoleh hasil produksi susu yang tinggi di kecamatan Pekuncen,
kabupaten Banyumas, dapat dilakukan dengan cara meningkatkan tingkat konsumsi
pakan yang kaya nutrisi dan memaksimalkan pengelolaan serta pengaturan lingkungan
kandang, manajemen pemeliharaan yang baik, dan pemberian pakan yang optimal
pada sapi perah.

Anda mungkin juga menyukai