Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN PRAKTIKUM

MANAJEMEN PRODUKSI TERNAK RUMINANSIA


TERNAK PERAH

Kelompok N 1 :

1. Ramadhan Ali Jauhari Syafaq 175050107111112


2. Ahmad Dzikrullah 185050100111004
3. Mamik Indriyani 185050100111007
4. Ervin Setiawan 185050100111014
5. Fitriarisa Landa 185050100111015
6. M. Ridwan Anshari 185050100111016
7. Alma Reza Salsabillah 185050100111017
8. Riananda Naufal Amanullah 185050100111021
9. Kevin Doikumi 185050100111028
10. Nur Syifa Khafsoh 185050100111032

FAKULTAS PETERNAKAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2020
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sapi perah merupakan salah satu ternak penghasil protein hewani yang dalam
pemeliharaannya selalu diarahkan pada produksi susu. Pemeliharaan sapi perah beberapa
tahun terakhir ini menunjukkan perkembangan yang cukup pesat. Perkembangan ini terus
didorong oleh pemerintah agar swasembada susu tercapai secepatnya. Tingkat konsumsi
susu di Indonesia masih belum dapat diimbangi oleh produksi susu nasional, yaitu
produksi susu nasional pada tahun 2016 hanya mencapai 852,95 ribu ton, sedangkan
permintaan untuk konsumsi sudah mencapai 11,8 liter/kapita/tahun (Pusat Data dan
Sistem Informasi Pertanian Sekretariat Jendral-Kementrian Pertanian 2016), sehingga
menyebabkan pemerintah harus melakukan impor untuk memenuhinya.
Pemerintah perlu melakukan upaya peningkatan produksi susu dalam negeri guna
menekan angka impor susu agar secara bertahap dapat mengurangi ketergantungan
terhadap susu impor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Peningkatan produksi
susu dapat dilakukan dengan peningkatan populasi dan produktivitas sapi perah, atau
melakukan seleksi terhadap sapi -sapi dengan produksi dan kualitas susu yang tinggi.
Salah satu jenis ternak penghasil susu yang banyak tersebar di Indonesia adalah sapi
Friesian Holstein (FH). Sapi FH banyak dipelihara karena produksi susu yang tinggi serta
mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan. Iklim tropis di Indonesia menyebabkan
berkurang dan menurunnya produksi susu sapi FH dibandingkan di negara yang beriklim
sub tropis yang merupakan asal daerahnya.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana manajemen pedet yang baik dalam tata laksana pemeliharaan sapi perah?
2. Bagaimana manajemen sapi dara yang baik dalam tata laksana pemeliharaan sapi perah?
3. Bagaimana manajemen sapi bunting yang baik dalam tata laksana pemeliharaan sapi
perah?
4. Bagaimana manajemen sapi laktasi yang baik dalam tata laksana pemeliharaan sapi perah?
5. Bagaimana manajemen rekording yang baik dalam tata laksana pemeliharaan sapi perah?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui manajemen pedet yang baik dalam tata laksana pemeliharaan sapi perah.
2. Mengetahui manajemen sapi dara yang baik dalam tata laksana pemeliharaan sapi perah.
3. Mengetahui manajemen sapi bunting yang baik dalam tata laksana pemeliharaan sapi
perah.
BAB II
TATA LAKSANA PEMELIHARAAN

2.1 Manajemen Pedet


Pedet yang baru lahir harus mendapatkan kolostrum dari indukannya agar kelangsungan
hidup dari pedet itu sendiri. Hal ini sebanding dengan Rahayu (2014) yang menjelaskan
bahwa pemberian kolostrum segera, sejam setelah pedet lahir, tersedia kandang yang
nyaman, bersih, hangat, terlindung dari angin dan cuaca dingin, pedet dikandangkan secara
terpisah dari sapi dewasa, manajemen dan pemberian pakan yang baik, perubahan pemberian
pakan dilakukan secara bertahap, baik jenis maupun volumenya.
Pedet dapat dikatakan bagus jika memiliki bobot badan yang ideal yang dapat menunjang
hidup nya agar mengalami pertumbuhan yang optimal. Dimana semakin besar umur pedet
maka pertambahan bobot badan juga meningkat. Hal ini sesuai dengan Untari (2020) yang
menjelaskan bahwa performa pedet dapat diukur dari hasil penimbangan bobot badan,
semakin bertambahnya umur pedet maka pertambahan bobot badan juga mengalami
peningkatan. Untuk mengetahui perkiraan bobot badan pedet dilakukan pengukuran lingkar
dada menggunakan pita ukur. Pengambilan data lingkar dada pedet dilakukan selama 4
minggu.
2.2 Manajemen Sapi Dara
Manajemen sapi dara perah dilakukan untuk memanajemen sapi dara menuju sapi perah,
tujuannya adalah dapat menghasilkan susu dalam jumlah yang besar sehingga produksi susu
meningkat. Hal ini sesuai dengan Syarif (2011) yang menyatakan bahwa pemeliharaan sapi
dara merupakan sapi perah dewasa kelamin tetapi belum untuk berproduksi susu. Sapi dara
dapat dikawinkan pertama kali pada umur 14 bulan.
Pakan untuk sapi dara harus bernutrisi tinggi agar dapat menghasilkan susu dengan cepat
sehingga dapat perah susu sapi dara tersebut. Hal ini sesuai dengan Akins (2016) yang
menjelaskan bahwa penerapan program pembatasan pemberian makan memerlukan
manajemen pemberian makan yang tepat memastikan bahwa hewan diberi makan dengan
jumlah pakan yang benar dan untuk menghindari makan berlebih atau kurang makan sapi
dara. Penggunaan gerobak mixer dengan timbangan diperlukan dan analisis rutin kandungan
bahan kering dari pakan basah (setidaknya setiap minggu dan kapan pun pakan berubah)
diperlukan untuk menyesuaikan rasio bahan yang diberi makan dalam makanan karena
perubahan kecil pada kering kandungan materi mengubah jumlah nutrisi yang diberikan.
Bekerja dengan ahli gizi adalah diperlukan untuk menyeimbangkan diet batas makan sesuai
dengan kebutuhan sapi dan menyesuaikan asupan jumlah saat sapi dara meningkatkan asupan
saat ukurannya bertambah. Setelah pemberian pakan dibatasi makan pola makan, hewan
memiliki perilaku makan yang agresif, dengan sebagian besar makanan dikonsumsi dalam 1
sampai 2 jam. Pemberian pakan push-up harus dilakukan dalam waktu 1 jam, bukan sapi dara
meraih makan, yang dapat menyebabkan peningkatan lecet bahu dan kuku bagian dalam
keausan pada kuku depan yang disebabkan oleh mendorong ke depan untuk mencapai pakan.
2.3 Manajemen Sapi Bunting
Penyebab lama kebuntingan sapi dapat dipengaruhi oleh jenis kelamin, bangsa sapi,
umur serta kondisi geografis. Hal ini setara dengan Pohontu, dkk (2018) yang menyatakan
bahwa penyebab lama kebuntingan ternak dipengaruhi oleh bangsa sapi, jenis kelamin dan
jumlah anak yang dikandung, umur induk, musim, dan letak geografis.
Pakan yang dikonsumsi oleh induk yang sedang bunting akan mempengaruhi
pertumbuhan janin yang ada dikandungan serta manajemen kebuntingan yang kurang baik
akan menghasilkan janin yang malnutrisi atau cacat. Hal ini sebanding dengan Zago, et.al
(2020) yang menyatakan bahwa janin menyesuaikan perkembangannya sesuai dengan gizi
yang diberikan pada saat kebuntingan. Adaptasi ini terjadi pada hormon tertentu atau melalui
perubahan ekresi gen yang bertanggung jawab atas komposisi tubuh yang keduanya
mempengaruhi bobot hidup dan karakteristik karkas. Pemberian pakan berlebih pada sapi
bunting dapat meningkatkan ketebalan lemak, tingkat finishing dan hasil karkas. Namun
kelebihan energi juga dapat merusak perkembangan janin berat badan lahir rendah.
Sebaliknya, malnutrisi pada induk bunting dilaporkan dapat memperkecil janin antara lain
daerah mata, pinggang dan berat betis pada usia 105 hari.

Pada sapi bunting menjelang melahirkan dapat diberikan pakan konsentrat yang
berlebih agar membantunya dalam proses melahirkan serta dapat dilepas dan dibebaskan
untuk merumput selama beberapa jam pada pagi hari. Hal ini setara dengan Akoso (2012)
yang menyatakan bahwa sebagai persiapan kondisi fisik dan fisiologis sapi maka beberapa
bulan menjelang melahirkan pemberian pakan konsentrat ditingkatkan agar kebuntinga terjag
dengan baik sampai melahirkan. Sapi juga perlu dilepas di padang rumput dalam beberapa
jam dengan tujuan memberikan kesempatan untuk bergerak dan merumput, terutama di
waktu pagi hari.
2.4 Manajemen Sapi Laktasi
Kandang sapi laktasi dapat dibuat setengah terbuka dan dibuat gang ditengah karna
luas dan mudah diawasi serta pemberian pakan dan konsentrat pada sapi laktasi dilakukan
pada saat sebelum pemerahan. Hal ini sebanding dengan Resla, dkk (2019) yang menyatakan
bahwa kandang dengan sistem gang ditengah akan memberikan ketenangan ternak yang
tinggal di dalamnya, tidak mudah terganggu oleh ternak yang lain atau oleh petugas yang
sedang melakukan pekerjaan. Kandang sapi memiliki palung pakan sehingga memudahkan
sapi mengambil pakannya dan memberikan kemudahan pekerja dalam membersihkannya.
Serta konsentrat diberikan sebelum pemerahan dilakukan, tujuannya agar sapi menjadi tenang
sewaktu dilakukan pemerahan. Pemberian konsentrat dilakukan sebelum hijauan diberikan
dengan tujuan untuk merangsang kerja mikroba dalam rumen.
Pemeliharaan sapi laktasi dapat dilakukan dengan galactopoeisis yang dapat
meningkatkan produksi susu. Hal ini setara dengan Akoso (2012) yang menyatakan bahwa
galactopoeisis adalah pemeliharaan laktasi setelah laktasi ditetapkan. Dua komponen kunci
yang saling terkait berkontribusi pada pemeliharaan laktasi, hormon galactopoeisis dan
penghapusan akumulasi susu. Karena pentingnya hormon galactopoietic produksi susu, kadag
galactopoiesis juga digunakan untuk peningkatan laktasi, terutama pada ternak perah

2.5 Manajemen Pemerahan

Pada pemerahan susu biasanya akan dilakukan sebanyak 2 kali dalam sehari yaitu
pagi dan sore hari. Interval waktu yang sama antara pemerahan pagi dan sore hari akan
memberikan perubahan komposisi susu yang relative sedikit, sedangkan interval waktu
pemerahan yang berbeda akan menghasilkan komposisi susu yang berbeda juga. Hal ini
sesuai dengan pendapat Nugraha (2016) yang menyatakan bahwa Kualitas susu pada
pemerahan sore hari lebih tinggi, namun jumlah produksi susunya lebih sedikit yang
diakibatkan meningkatnya suhu pada siang hari sehingga mempengaruhi kondisi fisiologis
sapi. Begitu juga sebaliknya, pada pemerahan pagi hari kualitas lebih rendah dengan produksi
susu lebih tinggi disebabkan oleh kondisi fisiologi sapi yang pada malam hari cenderung
istirahat, waktu pemerahan pagi hari pukul 05.30 WIB dan pemerahan sore hari pukul 16.30.
hal ini dikarenakan peternaka menyesuaikan dengan waktu pengambilan susu oleh koperasi.

Lingkungan klimatologis diduga mempengaruhi kualitas dan produksi susu. Kualitas


susu pada pemerahan sore hari lebih tinggi, namun jumlah produksi susunya lebih sedikit
yang diakibatkan meningkatnya suhu pada siang hari sehingga mempengaruhi kondisi
fisiologis sapi. Begitu juga sebaliknya, pada pemerahan pagi hari kualitas lebih rendah
dengan produksi susu lebih tinggi disebabkan oleh kondisi fisiologi sapi yang pada malam
hari cenderung istirahat. Kadar lemak susu dapat dipengaruhi oleh interval pemerahan.
Interval pemerahan yang lebih lama dapat menurunkan kadar lemaj pada pemerahan
selanjutnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Pasaribu (2015) yang menyatakan bahwa interval
pemerahan berpengaruh nyata terhadap produksi susu sapi perah. Pengaruh interval
pemerahan terhadap produksi susu adalah signifikan. Artinya peningkatan interval pemerahan
akan menyebabkan peningkatan produksi susu atau sebaliknya, penurunan interval
pemerahan akan menyebabkan penurunan produksi susu.

Perlakuan pada pencelupan puting kedalam larutan antiseptic selama 5-10 detik. Hal
ini sesuai dengan pendapat Pisestyani (2017) yang menyatakan bahwa pencelupan puting
dilakukan setelah pemerahan oleh peternak di kandang masing-masing dengan cara
mencelupkan putting kedalam teat dipper yang berisi larutan antiseptic selama 5-10 detik
untuk setiap putting. Perlakuan celup putting diberikan selama 3 bulan pengamatan, yaitu
pada saat sapi perlakuan masih berada dalam rentang masa laktasi normal, sehingga
mencegah terjadinya kesalahan pembacaan hasil uji mastitis subklinis.
2.6 Manajemen Recording
Recording pada bisnis sapi perah adalah pencatatan yang dikerjakan oleh peternak untuk
mengetahui gagal atau berhasilnya suatu usaha peternakan. Recording bisa berupa catatan keuangan
dan catatan lain, yang nantinya digunakan untuk mempermudah membuat keputusan yang tepat untuk
program selanjutnya. Salah satunya dengan melakukan recording atau pencatatan ternak. Recording
juga dapat diartikan suatu kegiatan yang meliputi identifikasi, pencatatan produksi dan reproduksi,
pencatatan manajemen pemeliharaan dan kesehatan ternak dalam populasi terpilih. Hasil dari kegiatan
recording berupa kartu ternak. Hal ini sesuai dengan pendapat Purwantiningsih (2018) yang
menyatakan bahwa selain kalung identifikasi dan papan identifikasi, kartu ternak perlu dibuat untuk
keperluan recording pada ternak. Kartu recording dibuat untuk pedet, sapi laktasi, pejantan dan
produksi susu. Recording ternak menjadi sangat penting karena merupakan alat digunakan untuk
memberi pengingat waktu kepada peternak ataupun pekerja kandang waktu pelaksanaan perkawinan
kembali, waktu pemeriksaan kebuntingan ataupun waktu ternak melahirkan. Selain itu recording
ternak akan bermanfaat untuk seleksi pejantan dan betina. Hal ini dikarenakan dengan adanya
recording ternak kita akan mengetahui produktivitas ternak baik pejantan maupun induk.

Tujuan utama menyediakan recording pada usaha ternak perah adalah untuk
menyediakan informasi yang lengkap dan terperinci tentang ternak sapi secara baik individu
maupun secara kelompok (herd), yang diperlukan dalam rangka pengambilan keputusan
sehari-hari. Misalnya pada jumlah pemberian konsentrat bagi setiap sapi. Hal ini sesuai
dengan pendapat Murdani (2017) yang menyatakan bahwa data sekunder dari pencatatan
recording di BPT-SP dan HMT Cikole dari tahun 2011 sampai dengan 2017 dengan total 42
sapi FH impor yang beranak pertama kali. Data yang dicatat terdiri dari tanggal lahir, tanggal
kawin, tanggal beranak, selang beranak, tanggal kering. Jumlah pemberian pakan hijauan,
silase dan konsentrat mengikuti prosedur pemeliharaan.
2.7 Manajemen Pakan
Faktor terpenting dalam kesehatan, produksi dan kualitas susu pada sapi perah adalah
pakan, pemberian pakan harus sesuai dengan berat badan sapi, kadar lemak susu dan
produksi susunya. Hal ini sesuai dengan Londa, P. K, dkk (2013) menyatakan bahwa pakan
sapi perah menjadi faktor utama yang dapat mempengaruhi produksi dan kualitas susu. Selain
itu, pakan dapat mempengaruhi kesehatan sapi, baik kesehatan tubuhnya maupun Kesehatan
reproduksinya. Secara umum, pakan sapi perah terdiri dari 60 % hijauan dan 40 %
konsentrat. Pakan berupa rumput bagi sapi dewasa umumnya diberikan sebanyak 10% dari
bobot badan dan pakan tambahan sebanyak 1-2% dari bobot badan. Sapi yang sedang
menyusui (laktasi) memerlukan makanan tambahan sebesar 25% hijauan dan konsentrat
dalam ransumnya.
Pemberian pakan pada sapi perah umumnya diberikan pada pagi dan sore hari dengan
pemberian minum secara ad libitum. Hal ini sebanding dengan Santosa, S. I, dkk (2013)
menyatakan bahwa sistem pemberian pakan pada umumnya dilakukan sebanyak dua kali
yaitu pagi dan sore hari. Hijauan segar diberikan sebanyak 25-30 kg setiap hari. Pemberian
pakan dilakukan setelah pemerahan. Pemberian konsentrat jadi sebanyak 4-5 kg dan
diberikan 2 kali sehari. Air minum tidak diberikan secara ad libitum sebab peternak hanya
memberikan air minum pada saat memberikan komboran.
Menurut Sutarto, T. N dan Sutarto (2005) menyatakan bahwa pada umumnya sapi
perah biasa diberi hijauan, seperti rumput gajah, rumput benggala, rumput setaria, daun turi
dan daun lamtoro. Hal ini sebanding dengan hasil praktikum bahwa hijauan pakan ternak,
seperti rumput gajah, rumput benggala, daun turi dan daun lamtoro memiliki kadar serat
kasar yang tinggi dan protein yang tinggi sehingga dapat meningkatkan produksi susu.
Dalam masa transisi menuju masa laktasi biasanya sapi perah akan diberikan pakan
hijauan dan memberikan tambahan konsentrat hal ini bertujuan untuk penambahan energi
pada sapi perah. Hal ini sesuai dengan Hristov, A. N, et al (2015) yang menyatakan bahwa
sapi perah sering dialihkan ke diet yang mengandung proporsi konsentrat disekitar awal
laktasi untuk meningkatkan energi yang tersedia bagi produksi susu.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN

 Pedet yang baru lahir harus mendapatkan kolostrum dari indukannya agar
kelangsungan hidup dari pedet
 Semakin besar umur pedet maka pertambahan bobot badan juga meningkat
 Sapi dara dapat dikawinkan pertama kali pada umur 14 bulan
 Hewan diberi makan dengan jumlah pakan yang benar dan untuk menghindari makan
berlebih atau kurang makan sapi dara
 Penyebab lama kebuntingan ternak dipengaruhi oleh bangsa sapi, jenis kelamin dan
jumlah anak yang dikandung, umur induk, musim, dan letak geografis
 Janin menyesuaikan perkembangannya sesuai dengan gizi yang diberikan pada saat
kebuntingan
 Beberapa bulan menjelang melahirkan pemberian pakan konsentrat ditingkatkan agar
kebuntinga terjag dengan baik sampai melahirkan
 Kandang dengan sistem gang ditengah akan memberikan ketenangan ternak yang
tinggal di dalamnya, tidak mudah terganggu oleh ternak
 Pemeliharaan sapi laktasi dapat dilakukan dengan galactopoeisis yang dapat
meningkatkan produksi susu
 Pakan menjadi faktor terpenting dalam kesehatan, produksi dan kualitas susu pada
sapi perah, pemberian pakan harus sesuai dengan berat badan sapi, kadar lemak susu
dan produksi susunya
 Pemberian pakan pada sapi perah diberikan pada pagi dan sore hari dengan pemberian
minum secara ad libitum
 hijauan pakan ternak, seperti rumput gajah, rumput benggala, daun turi dan daun
lamtoro memiliki kadar serat kasar yang tinggi dan protein yang tinggi sehingga dapat
meningkatkan produksi susu.
 sapi perah sering dialihkan ke diet yang mengandung proporsi konsentrat disekitar
awal laktasi untuk meningkatkan energi yang tersedia bagi produksi susu.
 Pemerahan pagi hari kualitas lebih rendah dengan produksi susu lebih tinggi yang disebabkan
oleh kondisi fisiologi sapi yang pada malam hari cenderung istirahat, waktu pemerahan pagi
hari pukul 05.30 WIB dan pemerahan sore hari pukul 16.30. hal ini dikarenakan peternak
menyesuaikan dengan waktu pengambilan susu oleh koperasi.
 Lingkungan klimatologis dapat mempengaruhi kualitas dan produksi susu. Interval
pemerahan berpengaruh nyata terhadap produksi susu sapi perah. Pengaruh interval
pemerahan terhadap produksi susu adalah signifikan. Artinya peningkatan interval pemerahan
akan menyebabkan peningkatan produksi susu atau sebaliknya, penurunan interval pemerahan
akan menyebabkan penurunan produksi susu.
 Pencelupan puting dilakukan setelah pemerahan oleh peternak di kandang masing-masing
dengan cara mencelupkan putting kedalam teat dipper yang berisi larutan antiseptic selama 5-
10 detik untuk setiap puting.
 Metode pemerahan yang menggunakan tangan umumnya lebih disukai oleh peternak. Namun
20% peternakan sapi perah yang memiliki kapasitas ternak besar memilih untuk
menggunakan metode pemerahan menggunakan mesin yang dinilai sangat efektif untuk
memerah sapi dengan jumlah besar pada satu waktu yang sama.
 Recording ternak menjadi sangat penting karena merupakan alat digunakan untuk memberi
pengingat waktu kepada peternak ataupun pekerja kandang waktu pelaksanaan perkawinan
kembali, waktu pemeriksaan kebuntingan ataupun waktu ternak melahirkan. Selain itu
recording ternak akan bermanfaat untuk seleksi pejantan dan betina.
 Tujuan utama menyediakan recording pada usaha ternak perah adalah untuk
menyediakan informasi yang lengkap dan terperinci tentang ternak sapi secara baik
individu maupun secara kelompok (herd). Data yang dicatat terdiri dari tanggal lahir,
tanggal kawin, tanggal beranak, selang beranak, tanggal kering. Jumlah pemberian
pakan hijauan, silase dan konsentrat mengikuti prosedur pemeliharaan
DAFTAR PUSTAKA
Akins, M. S. (2016). Dairy Heifer Development and Nutrition Management. Veteriner Clin
Food Animal, 32(1), 303-317.
Akoso,B,T. (2012). Budidaya Sapi Perah. Surabaya: Airlangga University Press.
Gadhavi, D.N., L.M. Sorathiya and A.L. Rathva. 2020. Study of Comparative Aspects Pertaining to
Milking Management and Marketing Practices in Specialized Dairy Farms of North and South
Gujarat Regions. International Journal of Current Microbiology and Applied Sciences. Vol
9(4) : 1694-1700.

Hristov, A. N., Oh, J., Giallongo, F., Frederick, T. W., Harper, M. T., Weeks, H. L., ... &
Kindermann, M. (2015). An inhibitor persistently decreased enteric methane emission
from dairy cows with no negative effect on milk production. Proceedings of the
National Academy of Sciences, 112(34), 10663-10668.
Londa, P. K., Waleleng, P. O., Legrans-A, R. A., & Elly, F. H. (2017). Analisis Break Even
Point (Bep) Usaha Ternak Sapi Perah “Tarekat Msc” di Kelurahan Pinaras Kota
Tomohon. ZOOTEC, 32(5).

Murdani, K., B.P. Purwanto dan A. Atabany. 2017. Umur Beanak Pertama Terhadap Produktivitas
Sapi Perah Periode Laktasi Pertama dan Selang Beranak Pertama. Jurnal Ilmu Produksi dan
Teknologi Hasil Peternakan. Vol 5(3) : 122-126.
Nugraha, B.K., Lia, B.S. dan Elvia, H. 2016. Kajian Kadar Lemak, Protein dan Bahan Kering Tanpa
Lemak Susu Sapi Perah Fries Holland Pada Pemerahan Pagi dan Sore Di KPSBU Lembang.
Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan. 1-15.
Pasaribu, A., Firmansyah dan Nahri, I. 2015. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi
Susu Sapi Perah Di Kabupaten Karo Provinsi Sumatera Utara. Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan.
Vol 18(1) : 28-35.
Pisestyani, H., Etih, S., Rachmi, R., Abdul, Z.I., Ardilasunu, W., Chaerul, B., Arifin, B.N.
dan Mirnawati, B.S. 2017. Perlakuan Celup Puting setelah Pemerahan terhadap
Keberadaan Bakteri Patogen, Staphylococcus aureus, Streptococcus agalactiae, dan E.
coli pada Sapi Perah Penderita Mastitis Subklinis di Peternakan KUNAK Bogor.
Jurnal Sain Veterniner (JSV). Vol 35(1) : 63-70.
Purwantiningsih, T.I. dan Kristoforus, W.K. 2018. Identifikasi Dan Recording Sapi Perah di
Peternakan Biara Novisiat Claretian Benlutu, Timor Tengah Selatan. Jurnal
Pengabdian Masyarakat Peternakan. Vol 3(1) : 42-56.
Pohontu,A., Lomboan, A., Paath, J. F., & Rimbing, S. C. (2017). Penampilan Reproduksi
Ternak Sapi Potong Di Kecamatan Bintauna Kabupaten Bolaang Mongondow Utara.
Zootec, 38(1), 102-113
Rahayu, I. D. (2014). Identifikasi Penyakit Pada Pedet Perah Pra-Sapih Di Peternakan Rakyat
dan Perusahaan Peternakan. Jurnal Gamma, 9(2), 40-49.
Resla, M. S., & Miwada, I. N. Manajemen Pemeliharaan Sapi Perah Friesian Holstein Di
Balai Besar Pelatihan Peternakan (Bbpp) Batu. Jurnal Peternakan Tropika, 7(1),
222-230
Syarif, E. K., & Harianto, B. (2011). Beternak & Bisnis Sapi Perah. Jakarta: Agromedia.
Santosa, S. I., Setiadi, A., & Wulandari, R. (2013). Analisis potensi pengembangan usaha
peternakan sapi perah dengan menggunakan paradigma agribisnis di kecamatan musuk
Kabupaten Boyolali. Buletin Peternakan, 37(2), 125-135.

Sutarto, T. N dan Sutarto. 2005. Beternak Sapi Perah. PT. Musi Perkasa Utama: Jakarta
Untari, T. W. (2020). Manajemen Pemeliharaan Pedet Sapi Perah di CV Mawar Mekar
Karanganyar Jawa Tengah. Bogor: IPB University.

Zago, D., Canozzi, M. E. A., & Barcellos, J. O. J. (2020). Pregnant Beef Cow’s Nutrition
And Its Effects On Postnatal Weight And Carcass Quality Of Their Progeny. Plos One,
15(8): 1-20

Anda mungkin juga menyukai