Anda di halaman 1dari 74

1

2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13

I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Protein hewani yang berasal dari susu sangat di perlukan untuk kesehatan

masyarakat dan pertumbuhan tulang terutama bagi anak-anak yang sedang berada

dalam masa pertumbuhan. Semakin meningkat taraf hidup masyarakat maka

kebutuhan protein asal hewani juga semakin meningkat. Susu merupakan salah satu

bahan pangan yang memiliki nilai gizi yang sempurna, mudah dicerna dan diserap

oleh darah (Rizqan dkk., 2019).

Susu merupakan bahan pangan dengan nilai gizi tinggi yang mengandung

protein, asam lemak esensial, vitamin, dan mineral (Claeys et al., 2014). Susu juga

memiliki nilai biologis yang tinggi karena mengandung asam amino esensial yang

dibutuhkan oleh manusia dan tingkat kecernaan yang tinggi (Marangoni et al.,

2014).

Kambing etawa merupakan ternak lokal Indonesia dan juga ternak

pengahasil susu yang kemampuan adaptasinya yang tinggi terhadap berbagai

kondisi agro-ekosistem di Indonesia, sehingga mempermudah penyebarannya.

Ternak ini juga tidak mengalami hambatan sosial dalam perkembangannya, dalam

artian ternak ini dapat diterima oleh semua golongan. Mengembangkan ternak ini

secara luas akan dapat membantu meningkatkan kualitas konsumsi gizi masyarakat

khususnya mereka yang tinggal di pedesaan melalui konsumsi susu kambing

produksi petani sendiri (Sutama, 2011). Saat ini kambing etawa telah banyak

dipelihara oleh masyarakat Indonesia karena kambing etawa dapat beradaptasi


14

dengan iklim di Indonesia serta biaya pemeliharaan yang cukup terjangkau (Hijriah,

2016).

Susu kambing dapat dikonsumsi dalam keadaan segar. Susu dalam keadaan

segar ini kemungkinan mengandung bakteri. Susu kambing termasuk bahan pangan

alami yang mengandung nilai gizi tinggi, namun cepat mengalami

kerusakan/kebusukan bila tidak ditangani dengan tepat dan cepat. Kerusakan susu

dapat disebabkan oleh berkembangnya jumlah bakteri dan metode penyimpanan

yang tidak tepat (Toto, dkk., 2013). Karena minimnya sarana penanganan susu

seperti tempat penyimpanan susu, maka susu yang mengandung zat yang bernilai

gizi tinggi, sering disimpan pada suhu ruang. Keadaan ini menyebabkan bakteri

yang terdapat di dalamnya akan memperoleh media yang baik untuk berkembang

biak sehingga akan merusak keadaan susu. Selain susu sebagai bahan makanan

sangat penting artinya bagi manusia dan ternak, susu juga merupakan media yang

dapat menyebarkan penyakit zoonosis, yaitu penyakit yang dapat menular dari

manusia ke hewan atau sebaliknya (milk borne disease) (Emi, 2012).

Banyak persoalan yang dihadapi dalam pengolahan, penyimpanan dan

penggunaan susu karena stabilitasnya mudah terganggu. Susu yang dihasilkan

harus segera ditangani dengan cepat dan benar. Hal ini disebabkan sifat susu yang

sangat mudah rusak dan mudah terkontaminasi. Salah satu cara supaya susu tidak

cepat rusak yaitu dengan pembekuan. Susu yang dibekukan biasanya dilakukan

untuk menjaga kualitas dan kandungan gizi susu. Thawing (mencairkan) susu pada

suhu kamar tidak boleh lebih dari 2 jam karena bakteri akan mudah berkembang

(Hamidah, dkk. 2013).


15

Cemaran bakteri pada susu banyak terjadi dalam kegiatan distribusi susu

terutama dari tingkat peternak, kemudian pengumpul hingga koperasi. Pada tingkat

peternak, syarat-syarat yang harus diperhatikan pada proses pemerahan agar

mendapatkan susu yang bersih dan sehat adalah kesehatan petugas, kebersihan

tempat dan peralatan yang dipakai, kebersihan sapi, kebersihan kamar susu,

pemerahan yang dilakukan dalam waktu tertentu. Membersihkan kandang dan

bagian tubuh ternak serta mencuci tangan bagi petugas yang akan melakukan

pemerahan perlu diperhatikan sebelum melakukan proses pemerahan supaya

terhindar dari kontaminasi bakteri saat pemerahan (Yusuf, 2011). Beberapa jenis

bakteri yang kerap kali mencemari susu antara lain Staphylococcus aureus,

Escherichia coli, Salmonella sp, dan Listeria monocytogenes.

Untuk mengurangi pertumbuhan mikroorganisme maka susu perlu disimpan

dalam suhu rendah. Penyimpanan dalam suhu rendah yaitu pada suhu 5-10oC dan

suhu – 20oC. Penyimpanan pada suhu sapi beku tidak pernah dilakukan. Susu sapi

beku akan mengalami perubahan secara fisik jika di thawing. Susu sapi beku akan

terlihat tidak homogen, karena lemak sapi akan berada di atas dan padatan bukan

lemak akan turun ke bawah. Berbeda dengan susu kambing maka penyimpanan

beku tidak mengalami perbedaan secara fisik.

Penanganan susu pasca pemerahan ditingkat peternak juga perlu

diperhatikan seperti pengadaan kamar susu untuk mengumpulkan susu yang sudah

diperah dan ditampung dalam milkcan supaya menghindari kontaminasi serta bau-

bau yang berasal dari lingkungan peternakan, serta tersedianya alat pendingin pada

kamar susu supaya mencegah terjadinya perkembangbiakan atau multiplikasi


16

bakteri pembusuk yang ada di dalam susu. Menurut Saleh, (2004) dalam Arjadi, L

dkk. (2017), umumnya tidak semua peternak memiliki alat pendingin ataupun

lemari es untuk mendinginkan susu setelah ditampung di milkcan, dianjurkan bagi

peternak yang tidak memiliki lemari es khususnya peternak rakyat untuk membuat

bak pendingin sehingga susu yang sudah ditampung dalam milkcan dapat rendah

suhunya karena milkcan tersebut berinteraksi langsung dengan bak pendingin

tersebut. Pengumpul susu yang bertugas menyalurkan susu dari peternak ke

koperasi maupun industri pengolahan susu juga harus memperhatikan kondisi susu.

Susu yang akan diangkut sebaiknya dilakukan pendinginan dengan suhu 4oC yang

bertujuan untuk menahan bakteri susu agar tidak berkembang sehingga susu tidak

mampu bertahan dengan jangka waktu yang lumayan lama dengan cara dimasukkan

ke dalam cooling unit, lemari es maupun freezer (Yusuf, 2011).

Pemerintah telah menetapkan standar khusus untuk suatu produk pangan

asal hewan, namun standar khusus untuk kualitas susu kambing saat ini belum

tersedia, tetapi untuk persyaratan susu segar dapat mengacu pada Standar Nasional

Indonesia (SNI) No.7388- 2009 yang saat ini diperbarui pada SNI No. 01 – 3141 –

2011 (Zain, 2013; Hijriah, 2016).

Menurut Badan Standardisasi Nasional (2011) batas jumlah total bakteri

yang diperbolehkan dalam susu sebanyak 1 × 106 cfu/ml. Jika susu yang dihasilkan

memiliki total cemaran bakteri yang tinggi melebihi batas yang ditentukan oleh

Industri Pengolahan Susu (IPS), maka susu tersebut akan ditolak. Tingkat cemaran

bakteri pada susu dapat diketahui melalui beberapa uji yang dapat dilakukan, antara

lain: uji alkohol, uji reduktase, dan uji total bakteri. Penelitian ini bertujuan untuk
17

mengetahui cemaran bakteri susu segar beku post-thawing di Peternakan Valenta

Surabaya yang dilakukan dengan uji alkohol, uji reduktase, dan uji total bakteri

kemudian membandingkan dengan beberapa pustaka khususnya Standar Nasional

Indonesia.

1.2 Rumusan masalah

Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas, maka perumusan

masalah yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah : Bagaimana kualitas susu

kambing etawa post-thawing di Peternakan Valenta dengan uji alkohol, reduktase

dan total plate count ?

1.3 Tujuan penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah diuraikan

diatas, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui uji alkohol, uji reduktase

dan total plate count terhadap susu kambing etawa post-thawing di Peternakan

Valenta kemudian membandingkan dengan beberapa pustaka khususnya Standar

Nasional Indonesia.

1.4 Manfaat penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi ilmiah dan dapat

dijadikan sebagai sumber informasi mengenai uji alkohol, uji reduktase dan total

plate count susu kambing etawa post-thawing di Peternakan Valenta.


18

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kambing Peranakan Etawa (PE)

Gambar 2.1 Kambing Etawa Peternakan Valenta Surabaya

(Dokumentas Pribadi, 2021)

Menurut Pione (2016), taksonomi kambing Etawa yaitu, Kerajaan :

Animalia, Filum : Chordata, Kelas : Mammalia Ordo : Artiodactyla, Famili :

Bovidae, Sub family : Caprinae, Genus : Capra Spesies : C. Aegagrus.

Kambing merupakan bagian penting dari sistem usaha tani bagi sebagian

petani di Indonesia, bahkan di beberapa negara Asia, dan tersebar luas menelusuk

masuk ke dalam berbagai kondisi agroekosistem, dari daerah dataran rendah di

pinggir pantai sampai dataran tinggi di pegunungan. Demikian pula tidak jarang

ditemui pemeliharaan ternak kambing di pinggiran kota dan bahkan di tengah-

tengah kota. Hal ini didukung oleh karena ternak kambing adaptif dengan berbagai

kondisi agrosistem dan tidak mempunyai hambatan sosial, artinya dapat diterima

oleh semua golongan masyarakat. Menurut produk yang dihasilkan, ternak kambing
19

dikelompokkan menjadi 4 yaitu penghasil daging (tipe pedaging), penghasil susu

(tipe perah), penghasil bulu (tipe bulu/ mohair/cashmere), dan penghasil daging dan

susu (tipe dwi guna).

Kambing Peranakan Etawah (PE) adalah termasuk dalam kelompok

kambing dwiguna. Kambing ini merupakan hasil persilangan antara kambing

Etawah dari India dengan kambing Kacang (lokal) di masa lalu (zaman kolonial

Belanda). Kambing PE telah beradaptasi baik dengan kondisi tropis basah di

Indonesia. Sistem perkawinan yang tak terkontrol dan tanpa diikuti seleksi yang

terarah menyebabkan besarnya variasi penotipe (penampakan luar) dan genotipe

(genetik) dari kambing PE ini. Beberapa karakter penting dari kambing PE yaitu:

bentuk muka cembung, telinga relatif panjang (18-30 cm) dan terkulai. Jantan dan

betina bertanduk pendek. Warna bulu bervariasi dari kream sampai hitam. Bulu

pada bagian paha belakang, leher dan pundak lebih tebal dan lebih panjang daripada

bagian lainnya. Warna putih dengan belang hitam atau belang coklat cukup

dominan. Tinggi badan untuk jantan 70-100 cm, dengan berat badan dewasa

mencapai 40-80 kg untuk jantan dan 30-50 kg untuk betina (Badan Litbang

Pertanian, 2011).

Menurut Noor dan Rony R (2007) dalam Pione (2016), kambing Etawa

didatangkan dari India yang disebut kambing Jamnapari. Badannya besar, tinggi

gumba yang jantan 90 cm hingga 127 cm dan yang betina hanya mencapai 92 cm.

Bobot yang jantan bisa mencapai 91 kg, sedangkan betina hanya mencapai 63 kg.

Telinganya panjang dan terkulai ke bawah. Dahi dan hidungnya cembung. Baik
20

jantan maupun betina bertanduk pendek. Kambing jenis ini mampu menghasilkan

susu hingga tiga liter per hari).

Kambing PE mempunyai ciri bulu berwarna belang hitam, putih, merah,

cokelat, dan kadang putih. Telinganya lebar, panjang, dan menggantung (Gambar

2.2). Badannya cukup besar sebagaimana kambing etawa. Kambing PE jantan

dewasa dengan umur 1,5-2,5 tahun memiliki bobot badan antara 70-91 kg. Secara

kualitatif, fenotipe kambing PE adalah warna tubuh dominan, pola warna tubuh,

penyebaran belang, warna dan bentuk kepala, serta sebagai penghasil susu

(Muryanto dan Pramono 2012).

Gambar 2.2 Kambing PE-Balitnak (Balitnak 2012).

Kambing PE betina memiliki panjang badan sekitar 79 cm, lebardada19cm,

kedalamandada31cmt,inggibadan 53 cm, dan lingkar dada 90 cm. Sementara itu,

kambing PE jantan memiliki panjang badan sekitar 55 cm, lebar dada 23 cm,

kedalaman dada 17 cm, tinggi badan 57 cm, dan lingkar dada 67 cm. Kambing PE

dara siap dikawinkan pada umur 10 bulan. Lama kebuntingan 147-160 hari dan
21

siklus berahi 23 hari. Dalam dua tahun, kambing PE dapat beranak tiga kali dengan

jumlah anak sekelahiran rata-rata dua ekor.

Masa produksi susu (laktasi) mencapai delapan kali atau berumur tujuh

tahun (Andiyanto 2013). Kambing PE memiliki masa laktasi dan kering antara 5-6

bulan Dengan pengelolaan yang baik, rata-rata produksi susu kambing PE di

Indonesia berkisar antara 2-3 liter/ ekor/hari. Induk kambing PE mampu

berproduksi hingga 200 hari dalam satu tahun sehingga kambing jenis ini berpotensi

untuk dikembangkan). Namun, Sutama et al., (2011) mengemukakan produksi susu

kambing PE bervariasi antara 0,5-1,5 liter/ ekor/hari.

Keturunan silangan kambing Etawa dengan kambing lokal dikenal sebagai

sebagai kambing “Peranakan Etawa” atau “PE”. Kambing PE berukuran hampir

sama dengan ka namun lebih adaptif terhadap lingkungan lokal Indonesia. Kambing

PE merupakan hasil persilangan antara kambing kacang betina dengan Kambing

Etawa jantan. Secara fisik kambing PE memiliki ciri yang hampir sama dengan

kambing Etawa, yaitu bertelinga panjang dan menggantung, profil muka cembung,

bertanduk pendek dan memiliki warna bulu putih, merah coklat atau hitam.

Kambing PE digolongkan sebagai kambing tipe dwiguna yaitu sebagai penghasil

daging dan susu. Produksi susu kambing PE berkisar antara 0,5–0,7 liter/ekor/hari

(Pione, 2016).

2.2 Susu

2.2.1 Pengertian Susu

Susu merupakan cairan hasil sekresi dari ambing yang diperoleh dengan

cara yang benar dan belum mendapat perlakuan apapun serta kandungannya tidak
22

dikurangi dan ditambah apapun dan belum mendapat perlakukan apapun kecuali

proses pendinginan (SNI, 2011).

Susu merupakan bahan makanan yang istimewa bagi manusia dengan

kelezatan dan komposisinya yang ideal karena susu mengandung semua zat yang

dibutuhkan oleh tubuh, bahan makanan yang mudah dicerna, bernilai gizi tinggi,

dan sangat dibutuhkan oleh manusia dari berbagai umur (Zakaria dkk., 2011). Air

susu mengandung tiga komponen karakteristik yaitu, laktosa, kasein dan lemak

susu. Didalam kehidupan sehari-hari, sebagian kecil orang meminum susu segar.

Hal ini disebabkan karena tidak terbiasa mencium aroma susu segar (mentah). Pada

waktu susu berada di dalam ambing ternak yang sehat atau beberapa saat setelah

keluar, susu merupakan suatu bahan murni, higienis, bernilai gizi tinggi,

mengandung sedikit bakteri yang berasal dari ambing, bau, rasa tidak berubah dan

tidak berbahaya untuk diminum (Sanam, dkk., 2014).

Kandungan gizi susu yang lengkap tersebut menempatkan susu menjadi

pangan yang bernilai gizi tinggi. Kandungan gizi yang tinggi tersebut menjadi salah

satu media bagi mikroorganisme dalam berkembangbiak dan dapat menimbulkan

penyakit pada manusia. Untuk dapat diolah dan dikonsumsi dengan aman, susu

segar harus memenuhi syarat mutu susu segar. Syarat mutu susu segar dapat dilihat

pada tabel 2.2.1

Tabel 2.2.1. Syarat Mutu Susu Segar

Karakteristik Satuan Syarat


Berat Jenis min pada susu 27,5˚c g/ ml 1,0270
Kadar Lemak minimum % 3,0
Kadar BK tanpa lemak % 7,8
minimum
23

Kadar protein minimum % 2,8


Warna, bau, rasa, kekentalan - Tidak ada
perubahan
Derajat asam *SH 6,0-7,5
pH - 6,3-6,8
Uji Alkohol (705) v/v - Negatif
Cemaran mikroba, maksimum
1. Total Plate Count CFU/ 1x106
2. Staphylococcus aureus ml 1x102
3. Enterobateriaceae CFU/ 1x103
ml
CFU/
ml
Jumlah sel somatic maksimum Sel/ ml 4x105
Residu antibiotik (Gol. Penisilin, - Negatif
Tetrasiklin, Aminoglikosida,
Makrolida)
Titik beku ˚C -0,520 s.d
– 0,560
Uji peroxsidase - Positif
Cemaran logam berat,
maksimum : µg/ ml 0,02
1. Timbale (Pb) µg/ ml 0,03
2. Merkuri (Hg) µg/ ml 0,1
3. Arsen (As)

Sumber: SNI 3141.1: 2011

Penanganan susu dengan cara yang baik dan benar akan memberikan

dampak berupa kualitas susu yang baik. Sebaliknya, kualitas susu yang rendah

dapat disebabkan dari cara penanganan susu selama proses pemerahan berlangsung,

ataupun pada saat proses transportasi susu. Terjadinya kontaminasi pada susu dapat

berasal dari sumber terdekat yaitu, pada ambing, puting dan rambut yang secara

alamiah pada susu tersebut sudah mengandung bakteri. Transportasi dan peralatan

kandang yang berhubungan dengan proses pemerahan susu harus diperhatikan,

sebab mikroorganisme lain dapat masuk kedalam susu selama proses pemerahan

(Herdiati, 2018).
24

2.2.2 Susu Kambing

Susu kambing merupakan cairan putih berasal dari binatang ternak

ruminansia berjenis kambing perah yang diproduksi oleh kelenjar susu dari hewan

mamalia betina. Susu diproduksi oleh kambing betina setelah beranak atau disebut

masa laktasi (Fitriyanto, dkk., 2013).

Salah satu kelebihan susu kambing adalah kandungan gizinya relatif lebih

lengkap dan seimbang. Susu kambing merupakan protein terbaik setelah telur dan

hampir setara dengan ASI ( Air Susu Ibu) (Yusdar,dkk., 2011). Selain itu susu

kambing juga memiliki kandungan vitamin A dan vitamin B (terutama riboflavin

dan niasin) yang lebih banyak dari susu sapi (Jaman dkk., 2013; Arum dan

Purwidiani, 2014). Susu kambing juga mengandung asam lemak rantai pendek,

zinc, besi, dan magnesium (Paz et al., 2014).

2.2.3 Kandungan dan Komposisi Susu Kambing

Susu secara umum adalah sumber gizi yang paling sempurna/ lengkap.

Masyarakat Indonesia khususnya yang di pedesaan belum terbiasa minum susu

segar, bukan hanya karena tidak mampu membeli, tapi juga susu segar sulit

diperoleh. Susu kambing mempunyai beberapa kelebihan di antaranya butir-butir

lemaknya lebih kecil dari butir-butir lemak susu sapi dan oleh karena itu susu

kambing mudah dicerna. Susu kambing dengan kandungan gizi yang seimbang,

sangat baik untuk bayi dan bagi penderita sakit maag. Susu kambing dapat

membantu penyembuhan penyakit pernafasan (ashma, bronchitis, TBC). Satu atau

dua ekor kambing sudah cukup memberikan susu untuk konsumsi satu keluarga

dalam sehari, dan hal ini tidak harus tersedia referigerator untuk menyimpannya.
25

Kambing PE bila dipelihara dengan baik diberi pakan hijauan yang cukup banyak

(secara bebas) maka kambing tersebut akan dapat menghasilkan susu 0.5 – 1 liter

per hari selama 3-5 bulan masa laktasi. Kambing tersebut juga akan menghasilkan

anak 1-2 ekor setiap kelahiran. Di samping untuk konsumsi sendiri, susu dan anak

kambing dapat dijual. Jadi kambing perah dapat sebagai sumber penghasilan rutin

petani. Harga susu kambing di pasaran relatif tinggi (Rp. 15.000 – Rp. 20.000/liter),

namun konsumennya masih terbatas dan di perkotaan (Badan Litbang Pertanian

2011).

Tabel 2.2.2 Kandungan Gizi Susu Kambing

Sumber : Badan Litbang Pertanian 2011

2.3 Uji Alkohol

Uji alkohol pada umumnya dilakukan di tingkat peternak dan koperasi

untuk menguji kesegaran susu sebelum dibawa ke industri pengolahan susu.

Pemeriksaan terhadap kesegaran susu bertujuan untuk mencegah dan mengurangi

kerusakan susu, memperbaiki daya simpan susu, mempertahankan warna,

konsentrasi, dan cita rasa susu segar agar menghasilkan produk berkualitas baik.
26

Uji alkohol dilakukan dengan cara memasukkan susu segar ke dalam tabung reaksi

selanjutnya ditambahkan alkohol 70% pada susu dengan perbandingan antara susu

dan alkohol 1:1. Tabung berisi susu dan alkohol tersebut dikocok perlahan-lahan

selanjutnya diamati dengan cara memiringkan tabung reaksi. Susu yang masih

berkualitas baik tidak mengalami penggumpalan dan sebaliknya apabila susu

tersebut menggumpal berarti sudah mengalami kerusakan (Infovet, 2009). Menurut

Standar Nasional Indonesia atau SNI (2011), susu segar tidak pecah apabila

dilakukan uji alkohol dan susu dinyatakan negatif pada hasil uji alkohol apabila

tidak terdapat gumpalan susu yang melekat pada dinding tabung reaksi.

Alkohol memiliki daya dehidrasi yang mampu menarik gugus H+ dari

ikatan mantel air protein akibatnya protein melekat satu dengan yang lain. Hal

tersebut mengakibatkan pecahnya kestabilan protein yang terdapat dalam susu

(Sudarwanto, 2005). Uji alkohol merupakan uji yang cepat dan sederhana dalam

menguji kestabilan protein pada saat jumlah asam dalam susu meningkat. Uji

tersebut bertujuan untuk memeriksa tingkat keasaman susu dengan cepat. Susu

yang mengandung keasaman 0,21% akan mengalami koagulasi apabila ditambah

alkohol 70%. Susu yang dinyatakan positif dalam uji alkohol berarti sudah tidak

bisa dikonsumsi lagi (Sudarwanto, 2005).

2.4 Uji Reduktase

Prinsip uji reduktase menggunakan methylene blue berdasarkan SNI bahwa

terjadinya reduksi pada zat warna indikator menjadi larutan tidak berwarna (putih)

akibat dari enzim reduktase yang dihasilkan oleh bakteri yang terdapat di dalam

susu segar. Penggunaan methylene blue berperan sebagai aseptor hidrogen yang
27

akan menyebabkan warna dari susu menjadi cairan berwarna biru, kemudian akan

berubah menjadi putih. Perubahan warna tersebut menjadi dasar dalam menentukan

perkiraan jumlah mikroba dalam susu.

Daya reduksi yang terjadi disebabkan reaksi oleh aktivitas enzim reduktase

yang dihasilkan oleh mikroba dalam susu. Mikroba susu yang tumbuh

menghasilkan oksigen, apabila oksigen tersebut habis maka akan terjadi reaksi

oksidasi reduksi yang akan dapat menjaga kelangsungan hidup dari mikroba yang

bertumbuh dalam susu (Hayati, Rahardjo, Kenjtonowati, 2015). Dalam menentukan

jumlah keberadaan mikroorganisme di dalam susu, dapat digunakan uji reduktase.

Pada uji reduktase menggunakan methylene blue sebagai zat pewarna yang

akan direduksi oleh enzim-enzim reduktase yang dihasilkan oleh mikroorganisme

di dalam susu. Terjadinya perubahan warna yang cepat dari zat warna biru yang

dihasilkan methylene blue menjadi putih tidak berwarna menunjukkan adanya

mikroba dalam jumlah yang tidak sedikit di dalam susu (Sari, Swacita dan

Agustina, 2013).

Berikut faktor yang berpengaruh terhadap pertumbuhan bakteri tersebut

adalah faktor lingkungan yaitu, kelembaban, suhu, oksigen, dan pH. Waktu yang

diperlukan sel bakteri untuk pembelahan berkisar antara 10 sampai 60 menit,

sehingga waktu sangat berpengaruh terhadap kualitas susu dan terjadinya

peningkatan jumlah bakteri di dalam susu. Sudono et al., (2013) yang dikutip oleh

Yudonegoro, Nurwantoro dan Harjanti (2014) menyatakan bahwa lingkungan

sekitar kandang dapat berpengaruh terhadap kualitas susu. Kondisi kandang yang

kotor karena feses, urin dan kotoran lain disekitar kandang serta tempat
28

penampungan kotoran yang berdekatan dengan proses pemerahan dapat

mengkontaminasi susu yang dihasilkan. Selain itu, kebersihan sebelum pemerahan

dan sanitasi pada peralatan yang digunakan untuk pemerahan juga dapat menjadi

faktor kontaminasi.

Singh, Soni and Chandek. (2015), menyatakan bahwa susu segar

berpeluang terkontaminasi bakteri dalam jumlah lebih tinggi yang disebabkan

karena ternak itu sendiri. Bakteri yang mengkontaminasi berasal dari feses, urin,

lantai, saluran kotoran pada kandang dan air yang digunakan untuk ternak serta

peralatan yang berhubungan dan kontak langsung dengan susu. Tingkat kejadian

kontaminasi pada susu berasal dari manajemen pemerahan, dimana pada puting

yang menderita radang dapat disebabkan karena kurangnya kebersihan selama

pemerahan. Mikroba yang ditularkan ke dalam puting ternak sehat melalui

pencemaran dari tangan pemerah, baju pemerah, lap, mesin, kulit, bulu pada sapi,

ember dan peralatan pemerahan lain, serta lantai kandang (Sutarti, Budiharta dan

Sumiarto, 2003).

Metyhlene Blue Dye Reduction Test (MBRT) dikenal sebagai metode cepat

untuk penilaian mutu susu secara mikrobiologi. Berikut kelompok kualitas yang

dapat disajikan dari hasil MBRT dapat dilihat pada Tabel 2.4.

Tabel 2.4. Penilaian Bakteri Melalui MBRT

No. Kualitas Waktu Reduktase (Jam)

1. Excellent >8

2. Good 6–8
29

3. Fair 2–6

4. Poor ½-2

5. Very Poor ½

Sumber: Khan, Aziz, Misbahullah, Haider, Din, Anwar et al. (2017)

Umar dkk. (2014) menyatakan bahwa lamanya waktu perubahan warna dari

biru menjadi putih sebagai dasar penentuan perkiraan jumlah bakteri pada susu.

Pada uji reduktase mutu susu segar yang dapat diterima apabila lama waktu

perubahan warna dari biru menjadi putih lebih dari 2 jam dan kurang dari 6 jam dan

diperkirakan jumlah bakteri per ml adalah 4.000.000 hingga 20.000.000. Anindita

dan Soyi (2017), menyatakan bahwa rataan MBRT sebesar 2,90±0,06 jam

menunjukkan perkiraan jumlah mikroba yang terkandung pada susu dalam jumlah

satuan ribuan dan tidak mencapai hitungan jutaan. Pengujian kualitas susu dengan

menggunakan uji reduktase dapat digunakan untuk menentukan grade susu

berdasarkan waktu reduksi. Untuk mengetahui grade susu berdasarkan waktu

reduksi dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 2.4.1 Grade Berdasarkan Waktu Reduktase dan Perkiraan Jumlah Bakteri.

Grade Waktu Perkiraan jumlah bakteri

1 >5 jam 500.000 sel/ml

2 >2-5 jam 500.000 – 4.000.000 sel/ml

3 <2 jam 4.000.000 – 20.000.000 sel/ml

Sumber: Utami, Radiati dan Surjowardojo (2014)

Faraz, Lateef, Mustafa, Akhtar, Yaqoop and Rehman (2013) menyatakan

bahwa hasil penelitian yang telah dilakukan diperoleh waktu perubahan methylene
30

blue menjadi putih pada 6 jam sampai 8 jam dikategorikan pada kualitas susu yang

baik dan mendekati sempurna. Waktu reduktase menjadi indikator dalam

menentukan higienitas susu yang beredar di wilayah Faisalabad, Pakistan. Suhartati

dan Aryani (2014), menyatakan bahwa terdapat dua kategori yang dapat digunakan

untuk mengklasifikasikan hasil dari pengujian kualitas susu berdasarkan uji

reduktase yaitu, kategori dapat diterima dan kategori sedang hingga baik. Kategori

dapat diterima apabila waktu reduktase menunjukkan hasil >5 jam dan kategori

sedang hingga baik apabila waktu reduktase 4 jam.

2.5 Total Plate Count (TPC)

Total mikroba atau total plate count merupakan suatu cara perhitungan total

mikroba yang terdapat dalam suatu produk yang tumbuh pada media agar pada suhu

dan waktu inkubasi yang ditetapkan (SNI, 2011). Menurut Swadaya et al., (2012),

Total Plate Count adalah suatu metode uji cemaran mikroba yang bertujuan untuk

menghitung total koloni mikroba dalam contoh padat maupun cair dengan metode

cawan tuang dan pengenceran serial. Metode penetapan Total Plate Count disebut

juga sebagai :

a) penentuan angka kuman

b) penentuan lempeng total (PLT)

c) angka lempeng total (ALT)

d) uji cemaran mikroba

TPC merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk menghitung

jumlah mikroba dalam bahan pangan. Metode hitungan cawan (TPC) merupakan

metode yang paling banyak digunakan dalam analisa, karena koloni dapat dilihat
31

langsung dengan mata tanpa menggunakan mikroskop. Untuk menghitung total

bakteri dengan metode cawan digunakan Nutrient Agar (NA).

Ditambahkan kembali oleh Swadaya et al., (2012), tahap–tahap utama

dalam analisa TPC meliputi pembuatan media, pengenceran dan penanaman

bakteri. Dalam pembuatan media ini, media biakan diperlukan untuk tumbuhnya

bakteri yang ditanam. Sehingga media biakan yang baik harus dapat menyediakan

nutrisi, tempat inkubasi, dan terpenuhinya kebutuhan oksigen yang diperlukan oleh

mikroba. Ahmed et al., (2014) menambahkan bahwa pemeriksaan TPC dilakukan

untuk mengetahui kualitas susu dapat dilakukan menggunakan media Nutrient Agar

(NA) yang diinkubasi pada suhu 37oC selama 24-48 jam.

Susu 10-1 10-2 10-3 10-4 10-5

1 ml 1 ml 1 ml 1 ml 1 ml

9 ml Aquades 9 ml Aquades 9 ml Aquades 9 ml Aquades. 9 ml Aquades


1 ml 1 ml 1 ml

cawan petri

15-20 ml agar PCA


dituangkan sesudahlarutan sample
dimasukkan kedalam cawan petri

Gambar 2.5 Skema Metode Hitungan Cawan (TPC)


32

III. METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari sampai Maret 2021 yang

diawali dengan tahap prasurvei kemudian melakukan pengujian terhadap sampel

susu yang dilaksanakan di Laboratorium Kesmavet Fakultas Kedokteran Hewan

Universitas Wijaya Kusuma Surabaya.

3.2 Materi Penelitian

3.2.1 Peralatan Penelitian

Cooler box atau kotak pendingin untuk menyimpan botol yang berisi sampel

yang sudah diambil dari peternak, ice gel atau es batu sebagai media pendingin susu

yang disimpan didalam cooler box, tabung reaksi sebagai wadah saat uji alkohol

dan uji reduktase, pipet untuk mengambil sampel susu serta materi cair yang akan

digunakan untuk pengujian susu, inkubator sebagai alat perkembangbiakan

mikroba, waterbath sebagai alat perendaman saat uji reduktase, gelas ukur untuk

mengukur media cair yang diambil melalui pipet, stopwatch untuk mengukur waktu

saat uji reduktase, spuit untuk melakukan pengenceran, cawan petri dan penutupnya

sebagai wadah media agar dalam perhitungan TPC, serta alat tulis untuk mencatat

data analisis yang didapatkan.

3.2.2 Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah susu segar kambing PE

dalam keadaan beku sejumlah 15 sampel yang diperoleh dari Peternakan Valenta

Surabaya, Jawa Timur. Bahan untuk uji kualitas susu di laboratorium antara lain,

alkohol 70% yang digunakan untuk uji alkohol, cairan methylen blue (MB) yang
33

digunakan untuk uji reduktase, media agar natrium agar (NA) yang digunakan

sebagai media untuk pertumbuhan bakteri susu pada uji total plate count (TPC,)

aquades steril untuk melakukan pengenceran pada uji total plate count (TPC).

3.3 Metode Penelitian

3.3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian observasional yang dianalisis secara

deskriptif yang bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan suatu fenomena

atau peristiwa yang terjadi.

Penelitian ini dilakukan dengan melakukan uji kualitas susu di laboratorium

yang meliputi uji alkohol, reduktase, dan total plate count . Penelitian ini dilakukan

dalam dua tahap, tahap pertama yaitu proses thawing sampel susu beku. Cara

melakukan thawing yaitu susu disimpan dalam suhu ruangan sampai susunya

mencair dengan sendirinya dan pastikan dibotol yang berisi susu tidak ada susu

yang masih membeku, selanjutnya tahap kedua dilakukan di laboratorium untuk

pengujian terhadap kualitas susu meliputi uji alkohol, uji reduktase, dan uji total

bakteri.

3.3.2 Peubah Yang Diamati

Peubah yang diamati pada penelitian ini meliputi kualitas susu melalui uji

alkohol, waktu reduktase dan perhitungan total plate count (TPC).

3.3.3 Prosedur Pengambilan Sampel

Penentuan sampel dilakukan menggunakan teknik purposive sampling.

Sugiono (2011), teknik purposive sampling adalah teknik penentuan sampel dengan

pertimbangan kriteria sampel yang diambil. Pengambilan sampel di Peternakan


34

Valenta Surabaya. Sampel susu diambil dari kambing yang sudah laktasi produktif,

sehat, dan tidak cacat. Jumlah kambing yang digunakan untuk penelitian ini 15 ekor

dengan waktu pemerahan pagi hari. Susu diambil sebanyak 500 ml yang

ditempatkan dalam botol kemudain dibekukan. Sampel susu diambil dalam keadaan

beku.

3.4. Prosedur Penelitian

3.4.1 Pengujian Alkohol

Uji alkohol pada susu kambing PE dilakukan dengan cara menambahkan

alkohol 70% ke dalam susu dengan perbandingan 1:1. Asam kuat akan mengambil

muatan listrik sehingga molekul tidak lagi saling menolak dan Ca di dalam molekul

kasein akan ditarik sehingga terjadi penggumpalan dan susu dinyatakan dalam

keadaan pecah. Uji alkohol dilakukan dengan menyiapkan tabung reaksi dan

selanjutnya sampel susu dimasukkan dalam tabung reaksi sebanyak 3 ml kemudian

ditambahkan 3 ml alkohol 70%. Tabung reaksi yang sudah berisi susu dengan

alkohol tersebut kemudian dikocok perlahan untuk diamati perubahan yang terjadi.

Bila terjadi gumpalan maka uji alkohol tersebut dapat dinyatakan positif atau susu

tersebut dikatakan pecah.

3.4.2 Pengujian Reduktase

Uji reduktase dilakukan dengan menyiapkan tabung reaksi kemudian

memasukkan sampel susu sebanyak 20 ml dan menambahkan larutan methylene

blue (MB) sebanyak 0,5 ml ( larutan methylene blue yang dibuat dari 5ml methylene

blue (MB) pekat yang dilarutkan dalam alcohol absolut sampai 200ml ) ke dalam
35

sampel kemudian tabung ditutup dengan tutup plastic ulir, kemudian

dihomogenkan. Melakukan inkubasi pada suhu 370C dan selama inkubasi

dilakukan pengamatan setiap 30 menit untuk mengamati perubahan warna yang

terjadi sampai warna biru lenyap seluruhnya. Uji methylen blue didasarkan pada

kemampuan bakteri di dalam susu untuk tumbuh dan menggunakan oksigen yang

terlarut, sehingga menyebabkan penurunan kekuatan oksidasi-reduksi dari

campuran tersebut, akibatnya methylen blue yang ditambahkan akan tereduksi

menjadi methylen white. Waktu reduksi yaitu perubahan warna biru menjadi warna

putih dianggap selesai jika kira-kira empat perlima bagian dari contoh susu yang

terdapat di dalam tabung.

3.4.3 Perhitungan Total Plate Count (TPC)

Prosedur pengujian total bakteri dimulai dengan melakukan pengenceran

susu. Pengenceran susu tersebut dilakukan sebanyak 5 kali sebagaimana telah

ditentukan dari kegiatan pra-penelitian. Menyiapkan 5 buah tabung reaksi yang

telah diisi dengan aquades steril sebanyak 9 ml dengan jumlah yang disesuaikan

dengan sampel, kemudian memasukkan sampel susu sebanyak 1 ml ke dalam

tabung reaksi pertama yang telah berisi aquades steril tersebut, kemudian sampel

susu tersebut dihomogenkan. Setelah homogen susu yang telah tercampur dengan

aquades tersebut diambil sebanyak 1 ml kemudian dimasukkan pada tabung reaksi

kedua. Mengulangi pengujian tersebut hingga tabung reaksi kelima. Arti dari

tabung pengenceran adalah tabung 1 menandakan pengenceran 10-1, tabung 2

menandakan pengenceran 10-2, dan seterusnya hingga pengenceran 10-3, 10-4, dan
36

10-5. Sampel dengan pengenceran 10-3, 10-4 dan 10-5 selanjutnya masing-masing

1ml. Pengenceran dimasukkan ke dalam cawan petri steril dan selanjutnya medium

NA dengan suhu berkisar antara 40-50oC dituangkan ke dalam cawan petri steril

tersebut sebanyak 12-15 ml. Campuran tersebut dihomogenkan dengan cara cawan

petri digerakkan membentuk angka delapan. Cawan petri diinkubasi setelah agar

mengeras dengan posisi terbalik pada suhu 37oC selama 24 jam. Jumlah bakteri

ditentukan dengan metode hitungan cawan dan untuk melaporkan hasil analisis

digunakan Standard Plate Count (SPC). Lakukan pemilihan cawan petri yang

memiliki jumlah angka koloninya antara 30-300, kemudian menghitung rata-rata

yang merupakan jumlah kuman per 1 gram (cfu/gram), lakukan perhitungan pada

cawan yang mengandung 30-300 koloni.

Tabel. 3.4.3 Tabel Data Pelaporan SPC

Data yang dilaporkan sebagai SPC harus mengikuti peraturan-peraturan sebagai

berikut:

1. Hasil yang dilaporkan hanya terdiri dari dua angka, yaitu angka pertama di
depan komadan angka kedua di belakang koma. Jika angka yang ketiga sama
dengan atau lebih besar dari 5, berlaku pembulatan ke atas sebanyak satu
angka.

Jumlah koloni per


Standard Plate Count Keterangan
pengenceran
10-2 10-3 10-4
234 28 1 2,3 x 104 28 dan 1<30
700 125 10 1,3 x 105 700>300;
10<30
tbud tbud 197 2,0 x 106 Tbud>300
37

2. Jika semua pengenceran yang dibuat untuk pemupukan menghasilkan angka


kurang dari 30 koloni pada cawan petri, hanya jumlah koloni pada
pengenceran terendah yangdihitung. Hasilnya dilaporkan sebagai kurang dari
30 dikalikan dengan besarnya pengenceran, tetapi jumlah yang sebenarnya
harus dicantumkan dalam tanda kurung.

Jumlah koloni per


Standard Plate Count Keterangan
pengenceran
10-2 10-3 10-4
<3,0 x 103
16 1 0 Hitung pengenceran 10-2
(1,6 x 103)

3. Jika semua pengenceran yang dibuat untuk pemupukan menghasilkan lebih


dari 300 koloni pada cawan petri, hanya jumlah koloni pada pengenceran
yang tertinggi yang dihitung, misalnya dengan cara menghitung jumlahnya
pada ¼ bagian cawan petri, kemudian hasilnya dikalikan 4. Hasilnya
dilaporkan sebagai lebih dari 300 dikalikan dengan besarnya pengenceran,
tetapi jumlah yang sebenarnya harus dicantumkandalam tanda kurung.

Jumlah koloni per


Standard Plate Count Keterangan
pengenceran
10-2 10-3 10-4
>3,0 x 106
tbud tbud 355 (3,6 x 106) Hitung pengenceran 10-4

>3,0 x 105
tbud 325 20 Hitung pengenceran 10-3
(3,3 x 105)

4. Jika cawan dari dua tingkat pengenceran menghasilkan koloni dengan jumlah
antara 30-300 dan perbandingan atara hasil tertinggi dan terendah dari dua
pengenceran tersebut 2 , jumlah kuman adalah rata-rata hasil dari dua
38

pengenceran. Jika
perbandingan hasil tertinggi dan terendah dari dua pengenceran >2, yang dilaporkan
hanya hasil terkecil.

Jumlah koloni per


Standard Plate Count Keterangan
pengenceran
10-2 10-3 10-4
Hitung rata2nya,
293 41 4 3,5 x 104
karena41000/29300 =
1,4 (<2)
Hitung pengenceran
140 32 2 1,4 x 104 10-2karena
32000/14000 = 2,3 (>2)

5. Jika digunakan 2 cawan petri (duplo) per pengenceran, data yang diambil
harus bdari kedua cawan tersebut, tidak boleh diambil salah satu, meskipun
salah satu dari cawan duplo tersebut tidak memenuhi syarat di antara 30-300.

Jumlah koloni per


Standard Plate Count Keterangan
pengenceran
10-2 10-3 10-4
175 16 1 Rata2 dari
1,9 x pengencera
208 17 0
104 n10-2
Rata2 dari pengenceran
138 42 2 10-2, karena
1,5 x perbandingan
168 43 4
104 antara pengenceran 10-2
dan10-3 = 2,8
Rata2 dari pengenceran
290 36 4 10-2dan 10-3, karena
3,1 x
280 32 1 perbandungan antara
104 keduapengenceran adalah
1,2
39

Rata2 dari pengenceran


291 25 3
3,0 x 10-2meskipun 305>300
305 27 0 (angka
104
yg lain <30)
40

3.5 Kerangka Operasional Penelitian

Sampel Susu Kambing PE Beku diambil dari


Peternakan Valenta Surabaya

Ditempatkan pada Freezer

Dilakukan Proses Thawing

Pengujian susu meliputi Uji Alkohol, Uji Reduktase,


dan Total Plate Count

Analisis data

Gambar 3.5 Skema Kerangka Oprasional


41

3.6 Analisis Data

Analisa yang diperoleh dibuat dalam bentuk tabulasi sederhana dan

dianalisis secara deskriptif serta dibandingkan dengan beberapa pustaka khususnya

Standar Nasional Indonesia.


42

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

Tabel 4.1. Hasil Pengujian Kualitas Susu

Perlakuand Reduktase Total Bakteri


an Alkohol (Jam) (cfu/ml)
Sampel

1 + 5 1,69 x 105
2 - 8,5 3,1 x 104
3 - 8,5 3,1 x 104
4 - 7,5 5,2 x 104
5 - 8 4,9 x 104

6 - 7,5 6,1 x 104

7 - 8,5 3,3 x 104


8 - 8 4,2 x 104

9 - 7 6,7 x 104

10 + 4 3,3 x 105

11 + 4,5 2,5 x 105

12 + 5,5 1,3 x 105

13 + 6,5 1,1 x 105

14 + 5,5 1,2 x 105

15 + 4 3,2 x 105

Rata-Rata (-)53% ; (+)47% 6,56 ± 1,67 Jam 1,2 ± 1,04 x 105 cfu/ml

Keterangan :

P : Perlakuan ; S : Sampel
43

Berdasarkan hasil Uji alkohol 70% pada sampel susu yang diambil mulai

dari peternaak menunjukkan bahwa hasil positif lumayan banyak yaitu 7 sampel

sedangkan hasil negatif berjumlah 8 sampel pada uji alkohol 70%,. Prinsip dasar

pada uji alkohol merupakan kestabilan sifat koloidal protein susu tergantung pada

selubung atau mantel air yang menyelimuti butir-butir protein terutama kasein.

Uji reduktase merupakan uji untuk mengetahui lamanya waktu potensi

redoks dari bakteri didalam memanfaatkan oksigen untuk pertumbuhannya

(Aritonang, 2010). Dari Tabel terlihat hasil uji Reduktase/MBRT menunjukkan

rerata 6,56 ± 1,67 Jam. Berdasarkan hasil uji reduktase pada sampel susu segar di

peternak menunjukkan hasil yang baik dan sesuai dengan yang ditetapkan oleh

Standar Nasional Indonesia (SNI) yaitu diatas 5 jam. Lama atau tidaknya waktu

perubahan warna methylen blue yang ada didalam susu dipengaruhi oleh banyak

atau tidaknya jumlah bakteri didalam susu (Sari et al., 2013).

Hasil pengujian reduktase/MBRT mempunyai korelasi dengan jumlah

bakteri. Hal tersebut terbukti pada Tabel dimana waktu reduktase yang cepat

menunjukkan jumlah bakteri 120.000. Berdasarkan hasil uji TPC sampel susu

didapatkan rataan 1,2 ± 1,04 x 105 cfu/ml. Hasil yang diperoleh ini masih berada

diatas standar yang sudah ditetapkan oleh SNI (2011) yaitu sebesar 1.000.000

CFU/ml atau 1 x 106. Menurut Nandi dan Venkatesh (2010), dalam uji reduktase

semakin cepat waktu yang diperlukan untuk menetralkan warna biru methylen,

semakin buruk kualitas mikrobiologi susu segar.


44

4.2. Pembahasan

4.2.1 Evaluasi Cemaran Bakteri dengan Alkohol 70%

Penanganan susu yang terlalu lama dalam suhu ruangan merupakan

penyebab umum terjadinya susu menjadi asam. Hal tersebut sesuai yang dijelaskan

oleh Dwitania dan Swacita (2013) bahwa ketika dilakukan pengujian dengan

alkohol 70% pada susu yang asam, sifat alkohol yang mengikat dan menarik air

akan menyebabkan protein mengalami penggumpalan atau koagulasi. Bahkan oleh

Sutrisna et al., (2014) dinyatakan bahwa rendahnya kualitas susu segar adalah

disebabkan pecahnya susu yang mengakibatkan kadar asam dalam susu segar tinggi

sehingga tidak layak untuk dikonsumsi.

Reaksi positif pada uji alkohol 70% kemungkinan juga disebabkan adanya

peradangan pada bagian ambing ternak yang dikenal dengan penyakit Mastitis

Subklinis. Hal ini sesuai pendapat Fajrin et al., (2013) bahwa pada kondisi ternak

sapi yang menderita mastitis, bakteri yang terkandung didalam susu dapat

menyebabkan gangguan kestabilan protein susu. Selanjutnya menurut Misgiyarta

et al., (2008) dan Putri et al., (2013) dinyatakan bahwa higiene dan sanitasi

kandang, peralatan pemerahan yang digunakan, ternak sapi dan pemerahnya serta

tatacara pemerahan susu sangat berpengaruh terhadap tingkat kejadian mastitis.

Pada uji Alkohol susu yang dicampur dengan alkohol yang memiliki daya

dehidratasi, maka protein akan berkoagulasi. Semakin tinggi derajat asam susu,

semakin berkurang jumlah alkohol dengan kepekatan yang sama dibutuhkan untuk
45

memecahkan susu yang sama banyaknya. Asam yang terbentuk sebagian besar

karena hasil perombakan laktosa menjadi asam akibat kerja mikroorganisme,

kasein dalam susu dapat dikoagulasi oleh asam yang terbentuk dalam susu sebagai

aktivitas dari mikroorganisme. Kasein yang telah mengalami koagulasi bila

diendapkan oleh asam lemah akan membebaskan kalsium (Ca) dan bila diendapkan

oleh alkohol akan menghasilkan kalsium kaseinat, dalam keadaan seperti ini susu

dikatakan pecah.

Tabel 4.1 Hasil Uji Alkohol 70% dari Sampel Susu

Sampel Hasil Uji (%)


(n) Jumlah Positif(%) Jumlah Negatif(%)
15 7 (47%) 8 (53%)

Bakteri yang banyak terdapat dalam susu adalah bakteri asam laktat yang

mana aktivitas bakteri tersebut adalah mengubah gula yang ada didalam susu yaitu

laktosa menjadi asam laktat yang mengakibatkan susu menjadi asam. Bakteri yang

termasuk dalam golongan asam laktat adalah lactobacillus dan streptococcus

Hal ini disebabkan pada tingkat peternak, kebersihan lingkungan, ternak,

alat pemerahan hingga pemerah sendiri kurang diperhatikan sehingga susu yang

dihasilkan pada tingkat peternak cepat mengalami pembentukan asam pada susu.

Pembentukan asam pada susu terjadi karena adanya aktivitas bakteri yang

mengeluarkan enzim tertentu sehingga membentuk asam pada susu tersebut. Hal

ini sesuai dengan pendapat Yatimin et al., (2013) yang menyatakan bahwa
46

pembentukan asam oleh bakteri terjadi karena asam laktat yang difermentasi oleh

bakteri sehingga pH pada susu menurun menjadi asam.

Menurut Jaman et al., (2013) dalam keadaan segar susu memiliki uji alkohol

negatif. Susu dikatakan menyimpang apabila dari hasil uji alkohol dinyatakan

positif. Uji positif ditandai dengan adanya butiran susu yang melekat pada dinding

tabung reaksi, hal demikian terjadi karena kestabilan koloidal protein susu yang

tergantung pada selubung atau mantel air yang menyelimuti butir-butir protein

terutama kasein akibat berkembangnya bakteri asam laktat sehingga terjadi

fermentasi laktosa menjadi asam laktat yang menyebabkan susu menjadi asam.

Dalam keadaan asam ikatan mantel casein akan berkurang. Berkurangnya ikatan

mantel casein menyebabkan pada saat dilakukan pencampuran susu dengan alkohol

70% menggunakan volume yang sama menyebabkan munculnya butiran-butiran

pada dinding tabung yang berarti hasil uji alkohol positif.

Menurut Winiati dan Nurwiri, (2012). Dekomposisi protein dapat terjadi

akibat aktivitas enzim protease yang dihasilkan oleh bakteri proteolitik,seperti

Proteus, Alcaligenes, Bacillus, Flavobacterium, Clostridium, Micrococcus,

Pseudomonas, dan Achromobacter. Kerusakan mikrobiologis pada susu dapat

menimbulkan off-flavour atau bau dan rasa susu yang tidak diinginkan. Flovor susu

yang tidak diinginkan dapat berupa asam, atau timbulnya rasa pahit/flavor karamel.

Flavor asam pada susu diakibatkan karena bakteri penghasil asam seperti S. Lactis,

Leuconostoc, dan Clostridium. Menurut Sudarmadji (2010) bahwa pembentukan

asam dalam susu diistilahkan sebagai “masam” dan rasa masam susu disebabkan

karena adanya asam laktat.


47

Pengasaman susu ini disebabkan karena aktivitas bakteri yang memecah

laktosa membentuk asam laktat. Persentase asam dalam susu dapat digunakan

sebagai indikator umur dan penanganan susu. Prangdimurti (2001) dalam

Rinawidiastuti et al., (2016) menyatakan bahwa perubahan laktosa menjadi asam

laktat ini karena adanya aktivitas enzim yang dihasilkan oleh bakteri asam laktat

serta senyawa-senyawa yang terkandung dalam susu seperti albumin, kasein sitrat,

dan fosfat. Bakteri yang berperan di dalam perubahan laktosa menjadi asam laktat

disebut bakteri asam laktat. Menurut Rinawidiastuti et al., (2016) sependat bahwa

perbedaan tingkat keasaman susu disebabkan oleh perbedaan jumlah dan jenis

bakteri yang merubah laktosa menjadi asam laktat di dalam susu. Semakin tinggi

jumlah bakteri dalam susu semakin tinggi tingkat keasaman susu yang menunjukan

semakin banyak perubahan laktosa menjadi asam laktat.

Bakteri asam laktat di alam sangat bergantung pada ketersediaan nutrisi

terutama laktosa, karena kelompok bakteri ini membutuhkan nutrisi yang sangat

banyak untuk melangsungkan hidupnya. Secara alami bakteri asam laktat dapat

dijumpai pada susu dan tempat-tempat dimana susu itu diproses. Asam laktat yang

dihasilkan dengan cara tersebut akan menurunkan nilai pH dari lingkungan

pertumbuhannya dan menimbulkan rasa asam. Ini juga yang menghambat

pertumbuhan dari beberapa jenis mikroorganisme lainnya (Rinawidiastuti et al.,

2016).

4.2.2 Cemaran Bakteri Dilihat dengan Uji Reduktase dan Uji TPC
48

Uji reduktase merupakan salah satu cara untuk mengetahui secara kasar

jumlah bakteri dalam susu, uji ini didasarkan pada kemampuan dari semua bakteri

didalam susu yang dapat mengubah warna biru menjadi warna putih. Bakteri yang

tumbuh dan berkembang akan menghasilkan enzim reduktase yang sanggup

mengoksidasi dengan pemindahan hydrogen, dalam hal ini methylene blue

bertindak sebagai hydrogen aceptor yang akan menerima hidrogen sehingga bakteri

direduksi dan kekuatan oksidasi reduksi akan menjadi rendah sampai negatif.

Semakin cepat warna biru berubah menjadi putih maka semakin banyak bakteri

yang ada didalam susu, karena ini berarti semakin cepat oksidasi habis dikonsumsi

oleh bakteri, oleh karena itu uji reduktase dapat digunakan sebagai salah satu

prosedur untuk menentukan upah peternak dan salah satu untuk mengetahui

kualitas susu segar.

Faktor-faktor yang mempengaruhi angka reduktase ini antara lain adalah

jenis ternak (hereditas), tingkat laktasi, umur ternak, kesehatan pada ambing, nutrisi

pada ternak, sanitasi puting dan ambing, sanitasi tempat pemerahan, sanitasi

pemerahan, sanitasi milkcan dan penyimpanan milkcan. Pada saat sanitasi puting

dan ambing peternak sebaiknya menggunakan air biasa bukan air hangat, padahal

air hangat membantu untuk merangsang memancarnya air susu yang memudahkan

pemerahan. Peternak sebelum memerah, mereka melakukan pembersihan kandang

terlebih dahulu, setelah pemerahan selesai milkcan yang digunakan dicuci

menggunakan deterjan dan milkcan diletakan dilantai secara terbalik dimana lubang

milkcan berada dibawah. Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
49

Saragih, Suada dan Sampurna (2013), bakteri yang ditemukan dalam kotoran tanah

dan air dapat masuk ke dalam susu karena peralatan pemerahan serta kontak dengan

susu. Hasil uji reduktase dan uji TPC dari sampel susu segar dapat dilihat pada

Tabel 4.2.

Tabel 4.2 Hasil Uji Reduktase dan uji TPC

Parameter Peternak

Waktu Reduktase (Jam) 6,56 ± 1,67 Jam


Uji TPC (Cfu/ml) 1,2 ± 1,04 x 105 cfu/ml

Berdasarkan hasil pengamatan persiapan dalam proses pemerahan kurang

memperhatikan sanitasi termasuk higiene pemerah, kandang, ternak sapi, peralatan

penampung susu yang tidak dilanjutkan dengan proses pendinginan atau terjadi

pembiaran dalam waktu yang lama dan tidak ditutup. Sementara proses setelahnya

telah dipersiapkan rangkaian proses pendinginan untuk mengurangi atau

menurunkan pertumbuhan mikroba sampai mencapai kondisi dorman.

Hal tersebut sesuai dengan pendapat Gustiani (2009) dalam Satrial et al.,

(2019) bahwa mikroba yang berasal dari ambing sapi segera mencemari susu yang

baru keluar dari kelenjar susu. Selanjutnya Lukman et al,. (2009) dan Mulya et al.,

(2011) dalam Satrial et al., (2019) menambahkan bahwa jumlah bakteri dalam susu

segar dapat bertambah karena beberapa faktor antara lain seperti tidak higienenya

tangan pemerah, baju pemerah, alat pemerah, ember penampung susu dan
50

lingkungan sekitar kandang seperti tumpukan feses dan urine ternak sapi yang

belum dibersihkan sehingga mengundang lalat.

Hal ini sesuai dengan pendapat Cahyono et al (2013) yang menyatakan

bahwa susu dapat terkontaminasi dari berbagai sumber yaitu kontaminasi udara

yang dapat membawa bakteri ataupun materi dari lingkungan sekitar yang kurang

terjaga kebersihannya serta kontaminasi dari peralatan pemerahan yang tidak

dibersihkan menggunakan sabun dan peralatan yang terbuat dari bahan plastik

seperti ember yang memudahkan partikel yang terbawa udara menempel di

peralatan tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Prihutomo et al., (2015) yang

menyatakan bahwa ember plastik tidak memiliki standar SNI sebagai wadah tempat

susu, penggunaan wadah yang baik sesuai standar SNI adalah dengan menggunakan

wadah yang terbuat dari stainless steel. Tinggi rendahnya nilai TPC pada sampel

dipengaruji oleh manajemen pemerahan yang cukup baik, sehhingga dapat

meminimalisir pertumbuhan mikroba pada susu. TPC memberikan gambaran

umum tentang kondisi mikrobiologis secara menyeluruh dari mikroorganisme yang

terkandung dalam susu ( Zain,2013).


51

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Sampel susu segar sesuai dengan tentang susu segar ditinjau dari aspek

komposisi, kesegaran, dan pemalsuan. Hasil uji alkohol kurang baik 7 dari 15

sampel mengalami penggumpalan artinya susu sudah mulai pecah dan kualitasnya

menurun. Uji reduktase memeliki hasil yang bagus diatas 5 jam yaitu rerata 6,56 ±

1,67 Jam dan total plate count menunjukkan hasil yang baik 1,2 ± 1,04 x 105 cfu/ml

tidak melebih ketentuan dari SNI.

5.2 Saran

Saran yang dapat diberikan yaitu sebaiknya peternak rutin melakukan

pengawasan terhadap manajemen peternakan, perlu diperhatikan untuk segera

melakukan penyimpanan susu setelah pemerahan sehingga dapat dilakukan

pencegahan kerusakan susu lebih awal, kemudian perlu perbaikan sanitasi serta

melakukan pengujian susu segar secara rutin untuk menjaga dan meningkatkan

kualitas susu agar tetap aman dikonsumsi.


52

DAFTAR PUSTAKA

Ahmed, A. M., N. S. Rabii, A. M. Garbaj and S. K. Abolghait. 2014. Antibacterial


effect of olive (Olea europea L.) leaves extract in raw peeled undeveined
shrimp (Penaeus semisulcatus). International Journal of Veterinary
Science an Medicine, 1(2): 53-56
Andiyanto, D.L. 2013. Sifat kualitatif dan kuantitaf pada berbagai bangsa ternak
kambing. Jurnal Peternakan.
Anindita, N.S. dan D.S. Soyi. 2017. Studi Kasus: Pengawasan Kualitas Pangan
Hewani melalui Pengujian Kualitas Susu Sapi yang Beredar di Kota
Yogyakarta. J. Peternakan Indonesia. 9 (2): 99.
Arjadi, Lamin, Nurwanto Harjanti, dan Dian Wahyu. 2017. Evaluasi Cemaran
Bakteri Susu yang Ditinjau Melalui Rantai Distribusi Susu dari
Peternakan Hingga KUD di Kabupaten Boyolali. Mediagro: Jurnal Ilmu-
Ilmu Pertanian Vol 13, No 1
Arum, H. P dan Purwidiani, N. 2014. Pengaruh Jumlah Ekstrak Jahe Dan Susu
Skim Terhadap Sifat Organoleptik Yoghurt Susu Kambing Etawa. E-
Journal Boga Vol. 03 No. 3. Hal. 116-124
Badan Litbang Pertanian . 2014. Kambing Peranakan Etawah Sumberdaya Ternak
Penuh Berkah. Sinartani Agroinovasi. No.3427 Tahun XLII
Cahyono, D., M. C. Padaga dan M. E. Sawitri. 2013. Kajian Kualitas Mikrobiologis
(Total Plate Count (TPC), Enterobacteriaceae dan Staphylococcus
aureus) Susu Sapi Segar di Kecamatan Krucil Kabupaten Probolinggo.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Ternak 8 (1): 1-8.
Claeys WL, Verraes C, Cardoen S, De Block J, Huyghebaert A, Raes K, Dewettinck
K, Herman L. 2014. Consumption of raw or heated milk from different
species: An evaluation of the nutritional and potential health benefits.
Food Cont. 42: 188- 201.
Dwitania, D.C., dan I.B.N. Swacita. 2013. Uji didih, alkohol dan derajat asam susu
sapi kemasan yang dijual dipasar tradisional Kota Denpasar. J.Veteriner
2(4):437- 444.
Emi H., Sukada, IM., dan Swacita, IBN. 2012. Kualitas Susu Kambing Peranakan
Etawa Post Thawing pada Penyimpanan Suhu Kamar. Indonesia Medicus
Veterinus 2012 1 (3) : 361-369.
Fajrin R, Sarwiyono, dan Surjowardojo P. 2013. Hubungan Level Mastitis
Terhadap Produksi Dan Kualitas Susu Sapi Perah. Fakultas Peternakan,
Universitas Brawijaya.Malang.
Faraz, A., M. Lateef, M.I. Mustafa, P. Akhtar, M. Yaqoob and S. Rehman. 2013.
Detection of Adulteration, Chemical Composition and Hygienic Status of
53

Milk Supplied to Various Canteens of Educational Institutes and Public


Place in Faislabad. J. Animal Science and Plant Science. 23 (1): 121.
Fitriyanto., Astuti, TY., dan Utami, S. 2013. Kajian Viskositas dan Berat Jenis Susu
Kambing Peranakan Etawa pada Awal, Puncak, dan Akhir Laktasi. Jurnal
Ilmiah Peternakan 1(1) : 299-306, April 2013.
Hamidah, E., Sukada, I., dan Swacita, I. 2012. Kualitas Susu Kambing Peranakan
Etawah Post-Thawing Pada Penyimpanan Suhu Kamar. Indonesia
Medicus Veterinus, 1(3).
Gustiani, E. 2009. Pengendalian cemaran mikroba pada bahan pangan asal ternak
(daging dan susu) mulai dari peternakan sampai dihidangkan. Jurnal
Litbang Pertanian 28 (3): 96-100.
Hayati, T.E., L. Rahardjo dan I. Kentjonowaty. 2015. Kualitas Susu Kambing Post
Thawing pada Berbagai Lama Simpan di Suhu Kamar. Dinamika
Rekasatwa. 8 (5): 15.
Hijriah, P. F. 2016. Status Mikrobiologi Susu Kambing Peranakan Etawa (PE) di
Desa Sungai Langka Kecamatan Gedong Tataan Kabupaten Pesawaran.
Skripsi. Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Lampung.
Bandar Lampung.
Jaman, M. F. V., Suada, I. K. dan Sampurna, I. P. (2013). Kualitas Susu Kambing
Peranakan Etawa Selama Penyimpanan Suhu Ruang Ditinjau dari Rasa,
pH dan Uji Alkohol. Indonesia Medicus Veterinus 2013 2(5) : 469-478
ISSN : 2301-7848
Khan, H., I. Aziz, Misbahullah, J. Haider, I.U. Din, K. Anwar, I.U. Din,
Habibunabi, H. Rehman and A. Din. 2017. Analysis of Milk Collected
From Milk Points for Composition, Adulterants and Microbial Quality in
Districy Swat. J. Engineering, Technology and Science (RJETS). 36 (1):
98.
Marangoni F, Pellegrino L, Verduci E, Ghiselli A, Bernabei R, Calvani R, Cetin I,
Giampietro M, Perticone F, Piretta L, Giacco R, La Vecchia C, Brandi ML,
Ballardini D, Banderali G, Bellentani S, Canzone G, Cricelli C, Faggiano
P, Poli A. 2018. Cow’s milk consumption and health: a health
professional’s guide. J Am Coll Nutr.
Misgiyarta, A. Budiyanto, dan R. Sunarlim. 2008. Pengaruh Lama Waktu
Transportasi Susu Segar Terhadap Tingkat Kontaminan Mikrob (Studi
Kasus Di Wilayah KUD Sarwamukti, Lembang, Jawa Barat). Seminar
Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Pasca Panen Pertanian. Bogor.
Mulya S. Handayani, dan I. Nurlaila. 2011. Analisis Pemasaran Susu Segar di
Kabupaten Klaten. Jurnal Sains Peternakan 9 (1):41-52
54

Muryanto dan D. Pramono. 2012. Potensi sumber daya genetik kambing kaligesing
sebagai galur ternak lokal. Prosiding Seminar Nasional Kemandirian
Pangan, Universitas Padjadjaran bekerja sama dengan Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian Jawa Barat, Bandung, Juli 2012. Buku I, hlm. 99-113.
Nandy, S. K. and K. V. Venkatesh. 2010. Application of methylene blue dye
reduction test (MBRT) to determine growth and death rates of
microorganisms. African Journal of Microbiology Research 4(1): 061-070
Noor, R., dan R. Rony. 2007. Pemuliaan dan Genetika Ternak. Fakultas Peternakan
IPB. Bogor
Paz, N. F., De Oliveira, E. G., De Kairuz, M. S. N., And Ramón, A. N. 2014.
Characterization Of Goat Milk And Potentially Symbiotic Non-Fat Yogurt.
Food Science And Technology 34(3): 629-635. ISSN 0101-2061
Putri,Y. Yuanita, Sarwiyono, dan P.Surjowardojo. 2013. Pengaruh Prosedur
Sebelum Pemerahan Terhadap Kualitas Susu Bedasarkan Uji Reduktase
Dan California Mastitis Test. Fakultas Peternakan. Universitas
Brawijaya.Malang
Pramesti, N.E. 2017. Analisis Higiene Sanitasi Susu Segar terhadap Peningkatan
Jumlah Escherichia coli pada Susu Segar Hasil Peternakan X di Surabaya
Timur. Skripsi Kesehatan Lingkungan. Universitas Airlangga Surabaya.
Prihutomo, S., B. E. Setiani dan D. W. Harjanti. 2015. Screening Jumlah Cemaran
Bakteri Pada Kegiatan Pemerahan Susu Di Peternakan Rakyat Kabupaten
Semarang. Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan 25 (1): 66-71.
Rizqan, R., Arief, A., dan Roza, E. 2019. Uji Didih, Uji Alkohol dan Total Plate
Count Susu Kambing Peranakan Etawa (PE) di Peternakan Ranting Mas.
Jurnal Peternakan Indonesia (Indonesian Journal of Animal Science),
21(2), 122.
Saleh, E. 2004. Teknologi Pengolahan Susu dan Hasil Ikutan Ternak. Program
Studi Produksi Ternak Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.
USU Digital Library.
Sanam AB, Swacita IBN, Agustina KK. 2014. Ketahanan Susu Kambing
Peranakan Ettawah Post-Thawing pada Penyimpanan Lemari Es Ditinjau
dari Uji Didih dan Alkohol. J Veteriner 3(1) : 1-8.
Sari, M., I, Bagus N. S. Dan K. K. Agustina. 2013. Kualitas Susu Kambing
Peranakan Etawa Post-Thawing Ditinjau Dari Waktu Reduktase Dan
Angka Katalase. Indonesia Medicus Veterinus 2 (2) : 202-207
Singh, S., V. Chandek, P. Soni. 2015. Quality Analysis of Milk and Milk Products
Collected from Jalandhar, Pujab, India. J. Food Safety. 17: 22-23.
55

Sutrisna, D. Y., I. K. Suada dan I. P Sampurna. 2014. Kualitas Susu Kambing


Selama Penyimpanan pada Suhu Ruang Berdasarkan Berat Jenis, Uji
Didih, dan Kekentalan. J Veteriner 3(1): 60-67.
SNI 01-6366-2000. 2011. Badan Standardisasi Nasional. Batas Maksimum
Cemaran Bakteri dan Batas Maksimum Residu dalam Bahan Makanan
Asal Hewan. Jakarta.
SNI Standar Nasional Indonesia. 2011. Susu Segar. Badan Standarisasi Nasional
(BSN), Jakarta.
SNI 3141.1:2011.2011. Susu Segar-Bagian 1: Sapi. ICS 67.100.01 BSN. Jakarta.
Swadaya, A., P. Sambodho, dan C. Budiarti. 2012. Total bakteri dan pH susu akibat
lama waktu dipping puting kambing Peranakan Etawa laktasi. Animal
Agricultural Journal. 1(1): 12 – 21
Sudarwanto, M. 2005. Bahan Kuliah Hygiene Makanan. Bahan ajar. Bagian
Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas
Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Suhartati, R., dan Aryani D I.2014. Kategori Kualitas Susu Sapi Segar Secara
Mikrobiologi di Peternakan “X” Cisurupan Garut. Jurnal Kesehatan Bakti
Tunas Husada Volume 12 No.1.
Sutama, I.K,. 2011. Kambing Peranakan Etawah Sumberdaya Ternak Penuh
Berkah. Badan Peneitian Ternak Ciawi Bogor. Badan Litbang Pertanian.
Agroinovasi. Sinartani. 19-45. 3427.
Toto, I., Utami, S., dan Suratim, A. 2013. Pengaruh Lama Penyimpanan Dalam
Refrigerator Terhadap Berat Jenis dan Viskositas Susu Kambing
Pasteurisasi. Jurnal Ilmiah Peternakan 1 (1) : 69-78, April 2013.
Umar, R. dan A. Novita. 2014. Derajat Keasaman dan Angka Reduktase Susu Sapi
Pateurisasi Dengan Lama Penyimpanan Yang Berbeda. J. Medika
Veterinaria. 8 (1): 44-45.
Widiyastuti, Any, Dian Wahyu, dan Bhakti Etza Setiani. 2019. Evaluasi Cemaran
Bakteri Pada Susu Di Tingkat Peternak, Loper, Dan KUD Di Kecamatan
Getasan Kabupatens. Mediagro: Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Vol 14, No 2
Yatimin, T., Setyawardani dan Sunarto. 2013. Kajian Total Mikroba Dan Asam
Tertitrasi Susu Kambing Peranakan Etawa Selama Satu Periode Laktasi.
Jurnal Ilmiah Peternakan 1 (1) : 260-266
Yudonegoro, R.J., Nurwantoro dan D.W. Harjanti. 2014. Kajian Kualitas Susu
Segar dari Tingkat Peternak Sapi Perah, Tempat Pengumpulan Susu dan
Koperasi Unit Desa Jatinom di Kabupaten Klaten. J. Animal Agriculture.
3 (2): 326.
56

Yusuf, A. 2011. Tingkat Kontaminasi Escherichia Coli Pada Susu Segar di


Kawasan Gunung Perak Kabupaten Sinjai. Progam Studi Produksi Ternak
Jurusan Produksi Ternak Fakultas Peternakan Universitas Hasanudin.
Makassar. (Skripsi).
Yuzdar, Z., Helmy, MY., dan Yuda, S. 2011. Kualitas Susu Kambing Peranakan
Etawa yang Disterilkan pada Suhu dan Waktu yang Berbeda. Agripet Vol
11, No 1 April 2011.
Zain, W. N. H. 2013. Kualitas Susu Kambing Segar Di Peternakan Umban Sari
Dan Alam Raya Kota Pekanbaru. Jurnal Peternakan Vol. 10 No.1 Februari
2013 (24-30) ISSN 1829– 8729
57

LAMPIRAN
Lampiran 1. Tabel (data asli) Uji Alkohol dan Rekap Tulis

Sampel Negatif Positif


1 Ö
2 Ö

3 Ö
4 Ö
5 Ö

6 Ö
7 Ö
8 Ö

9 Ö
10 Ö
11 Ö

12 Ö

13 Ö
14 Ö

15 Ö
Rata-rata 53% 47%
58

Rekap Tulis Uji Alkohol


59

Lampiran 2. Tabel (data asli) Uji Reduktase dan Rekap Tulis


T/S 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
30

60
90
120

150
180
210

240
270 . .
300 . .

330
360 . .
390 .
420 .

450 . .
480 . .
510 . . .

540
570

600

*T = Time ( Waktu /30 menit )


*S = Sample ( Sampel )
Rata-rata = (Total Waktu : Sampel) : 60 menit
= (5910 : 15)
= 98,5 Jam : 60 Menit = 6,56 Jam
60

Rekap Tulis Uji Reduktase


61

Lampiran 3. Tabel ( data asli ) TPC menggunakan SPC dan Rekap Tulis

Jumlah koloni
per Standar Plate Count Keterangan
S
pengenceran
10-3 10-4 10-5
1 169 24 17 1,69 x 105 24 dan 17 < 30

2 31 22 15 3,1 x 104 22 dan 15 <30

3 31 15 12 3,1 x 104 15 dan 12 <30

4 52 35 22 5,2 x 104 Hitung Pengenceran 103


karena 350000/52000 =
6,7 >2
5 44 32 22 4,9 x 104 Hitung Pengenceran 103
Karena 320000/49000 =
6,5 >2
6 61 27 21 6,1 x 104 27 dan 21 <30

7 33 19 13 3,3 x 104 19 dan 13 <30

8 42 24 20 4,2 x 104 24 dan 20 <30

9 67 36 24 6,7 x 104 Hitung Pengenceran 103


karena 360000/67000 =
5,3 >2
10 322 33 24 3,3 x 105 Hitung Pengenceran 104
karena 2400000/3300000
= 7,3 >2
11 203 32 28 2,6 x 105 Hitung Rata-ratanya
karena 320000/203000 =
1,6 <2
12 128 32 26 1,3 105 Hitung Pengenceran 103
karena 320000/128000 =
2,5 >2
13 105 13 8 1,05 x 105 13 dan 8 <30

14 119 96 20 1,2 x 105 Hitung Pengenceran 103


karena 960000/119000 =
8,1 >2
62

15 264 38 11 3,2 x 105 Hitung Rata-ratanya


karena 380000/264000 =
1,4 <2
*S = Sample ( Sampel )
Rata-rata = Total SPC : Sampel
= 1.800.000 : 15
= 120.000 / 1,2 x 104 CFU/ml
63

Rekap Tulis total plate count (TPC) dan standar plate count (SPC).
64

Lampiran 4. Surat Keterangan Menyelesaikan Penelitian


65

Lampiran 5. Dokumentasi Penelitian

Proses Pemerahan Susu Kambing Etawa

Penyimpanan dan Pendistribusian Susu


66

Alat dan Bahan


67

Pengujian Alkohol
68
69
70

Pengujian Reduktase
71
72
73

Perhitungan Mikroba – total plate count


74

Sterilisasi Alat Sebelum dan Sesudah Penelitian

Anda mungkin juga menyukai