Anda di halaman 1dari 11

PERMASALAHAN KOPERASI SUSU DI INDONESIA

OLEH

NOVITA INDRIYANI
D1E014264

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2017
I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Negara Indonesia ialah negar yang memiliki laju pertumbuhan ekonomi

dan laju pertumbuhan yang pesat. Pertumbuhan serta peningkatan jumlah penduduk

Negara Indonesia sangat mmemberikan dampak yang besar terhadap permintaan

produk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Selain peningkatan jumlah

permintaan masyarakat terhadap kebutuhan juga diiringi dengan peningkatan

pengetahuan masyarakat Indonesia tentaang pentingnya nilai gizi pangan. Susu

merupakan salah satu produk pangan asal hewan yang terus mengalami peningkatan

jumlah permintaan setiap tahunnya. Hal ini terjadi karena susu mengandung nilai

gizi yang tinggi dan bermanfaat dalam proses tumbuh kembang serta meningkatkan

kesehatan masyarakat.

Konsumsi susu masyarakat Indonesia masih sangat rendah dibandingkan

dengan konsumsi susu Negara berkembang lainnya. . Pada periode tahun 2007

jumlah produksi susu segar nasional adalah 574.683 ton/tahun. Padahal tingkat

konsumsi susu per kapita pada tahun yang sama adalah 3,13 kg per tahun (Ditjennak.

2009). Konsumsi susu yang rendah tersebut disebabkan oleh harga jual produk susu

yang masih tinggi. Harga jual yang masih tinggi tersebut disebabkan karena impor

produk susu yang masih tinggi pula. Sedangkan tingkat produksi susu dalam negeri

hanya dapat memenuhi sebesar 30% dari kebutuhan nasional masyarakat Indonesia

akan susu.
Tingkat produksi susu dari dalam negeri yang masih memberikan

kontribusi yang kecil merupakan suatu titik asal berdirinya koperasi-koperasi

Indonesia. Koperasi Peternak Susu Indonesia ini memiliki tujuan untuk

meningkatkan kuantitas produksi susu serta meningkatkan kualitas produk susu

yang dihasilkan dari dalam negeri. Ketergantungan masyarakat, peternak serta

perusahaan pengolahan susu akan penerimaan produk susu dari IPS mengakibatkan

pengembangan agribisnis sapi perah negNegaradonesia berkembang sangat lamban.

Keterkaitan antara koperasi susu dengan agribisnis sapi perah bukan hanya sebatas

pada implementasi kebijakan pemerintah dalam pengembangan agribisnis, tetapi

juga mengelola sarana dan prasarana pengelolaan produk. Oleh karena itu

pengembangan koperasi susu di Indonesia sangat penting sebagai upaya mencukupi

kebutuhan susu nasional.

1.2. Rumusan Masalah

1. Rendahahnya perkembangan agribisnis sapi perah

2. Rendahnya kualitas konsentrat

3. Investasi koperasi yang cukup tinggi


II. PEMBAHASAN

2.1. Rendahnya Perkembangan Agribisnis Sapi Perah

Pengembangan agribisnis sapi perah dapat dilakukan dengan

meningkatkan pendapatan peternak yang secara tidak langsung akan berdampak

pula terhadap peningkatan produksi susu nasional. Peningkatan pendapatan

peternak sebagaimana telah diuraikan sebelumnya dapat dilakukan apabila

didukung oleh penyediaan bibit sapi perah betina, penyediaan pakan yang

berkualitas dan pembinaan peternak secara berkelanjutan. Kesemuanya ini

merupakan salah satu peran dan tanggungjawab koperasi susu, yang tidak hanya

sebatas pada penampungan dan pemasaran susu produksi peternak, tetapi juga

memberdayakan peternak agar mampu memperoleh pendapatan yang memadai.

Pembinaan peternak oleh koperasi susu selama ini telah berjalan, namun masih perlu

untuk diintensifkan.

Indikator keberhasilan KPS untuk mensejahterakan anggota antara lain

berkembangnya bisnis koperasi sehingga akan meningkatkan aset anggota.

Keberhasilan bisnis KPS dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal.

Faktor internal antara lain upaya KPS untuk meningkatkan produktivitas ternak dan

jumlah produksi masing-masing anggota dan penanganan pasca panen produk.

Sedang faktor eksternal antara lain negosiasi dengan IPS, pengembangan pasar baru.

Beberapa upaya pemberdayaan yang dapat dilakukan koperasi untuk meningkatkan

produksi dan produktivitas usaha ternak antara lain dengan penyediaan bibit sapi

perah betina, penyediaan pakan konsentrat dan bisnis KPS.


2.3. Rendahnya Kualitas Konsentrat

Sebagian besar KPS yang tersebar di daerah konsentrasi agribisnis sapi

perah sudah mampu memproduksi konsentrat yang dibutuhkan oleh para

anggotanya. Namun konsentrat yang diproduksi KPS pada umumnya masih

berkualitas rendah yang belum mencukupi kebutuhan produksi sapisapi perah yang

berkemampuan tinggi dalam berproduksi susu. Penelitian yang dilakukan

Winugroho et al. (2005) pada KPS-KPS di daerah Jawa Barat mendapatkan bahwa

konsentrat yang diproduksi berkualitas rendah dengan kandungan protein kasar

hanya sekitar 10,6 persen dan energi TDN (total digestic nutrien) di bawah 65

persen. Sedangkan untuk sapi-sapi perah yang berkemampuan tinggi dalam

berproduksi susu memerlukan konsentrat yang mengandung protein kasar minimal

18 persen dan energi TDN 75 persen dari bahan kering. Pemberian konsentrat yang

berkualitas rendah bukan saja berakibat kepada kemampuan berproduksi susu yang

rendah, tetapi juga umur ekonomis sapi perah akan menurun.

Pada umumnya dengan pemberian konsentrat yang berkualitas baik, sapi

perah induk masih ekonomis untuk dipelihara sampai 10-11 periode laktasi. Namun

dengan pemberian konsentrat yang berkualitas rendah sapi perah induk tidak

ekonomis lagi dipelihara pada laktasi ke 7. Rendahnya kualitas konsentrat produksi

koperasi susu dikarenakan rendahnya daya beli para peternak. Apabila hal tersebut

dibiarkan berlanjut akan merugikan peternak, yang berakibat juga kerugian pada

koperasi susu. Oleh karena itu koperasi susu harus memproduksi konsentrat yang

berkualitas sesuai dengan kualitas yang dibutuhkan oleh sapi perah yang

berkemampuan tinggi dalam berproduksi susu. Kuantitas dan kualitas konsentrat


yang sesuai dengan kemampuan produksi, bukan saja mampu meningkatkan rataan

produksi harian, tetapi juga memberikan dampak ekonomis. Kembali pada kualitas

pakan (terutama konsentrat), tentunya terkait dengan harga konsentrat yang dapat

dijangkau peternak. Artinya, perlu adanya kerja sama dengan lembaga penelitian

terkait dengan peternakan untuk menyusun ransum konsentrat dengan komposisi

bahan baku yang murah. Dengan demikian dapat dihasilkan konsentrat dengan harga

ekonomis sesuai dengan produk (susu) yang dihasilkan.

Meningkatnya kemampuan produksi susu akan menyebabkan semakin

banyaknya jumlah susu diproduksi. Pemberdayaan koperasi susu sangat diperlukan

agar mampu mengadakan sumber bibit sapi perah betina yang berkemampuan tinggi

dalam berproduksi susu dan memproduksi pakan konsentrat yang berkualitas baik.

Penyediaan sumber bibit sapi perah betina dan pakan konsentrat yang berkualitas

baik akan memberi peluang kepada para peternak untuk meningkatkan skala

usahanya dan dapat meningkatkan pendapatan, sehingga mampu untuk

mengembangkan agribisnis sapi perah petani ternak yang berdampak terhadap

peningkatan produksi susu nasional.

Kasus pengembangan sapi perah di Jepang menarik untuk dipelajari.

Selama 20 tahun, sejak tahun 1960-1980, Jepang melakukan program peningkatan

skala usaha agribisnis sapi perah dengan menetapkan jumlah minimal sapi perah

induk yang harus dipelihara setiap agribisnis sapi perah. Program peningkatan skala

usaha yang dilakukan koperasi susu telah mampu meningkatkan skala usaha dari

sekitar 1-2 ekor sebelum tahun 1960 menjadi rata-rata 26,8 ekor tahun 1980.

Peningkatan skala usaha tersebut telah meningkatkan pendapatan para peternak


sampai sekitar delapan kali lipat, sehingga para peternak di Jepang mempunyai

kemampuan untuk mengembangkan agribisnis sapi perahnya. Akhirnya upaya

tersebut berdampak terhadap peningkatan produksi susu nasional Jepang yang

sangat signifikan (Jica, 2002).

2.4. Investasi Koperasi yang Cukup Tinggi

Koperasi disarankan malakukan reorganisasi secara keseluruhan, mulai

dari system pengangkatan pengurus dan tim pengawas serta karyawan.

Restrukturisasi harus diarahkan pada undang-undang koperasi. Salah satu kegiatan

restrukturiasi adalah menetapkan kembali tujuan koperasi untuk menyejahterakan

anggota bukan sebaliknya. Konsekuensi dari ini adalah koperasi tidak perlu menjadi

suatu lebaga bisnis yang mencari profit sendirian, tetapi harus bersama-sama dengan

para anggota peternak. Ini berarti azas mendapatkan keuntungan maksimum berlaku

untuk semua pemilik usaha termasuk koperasi. Koperasi lebih baik mengubah sikap

terhadap anggota. Jika kedua pihak memeksakan untuk memaksimumkan

keuntungan maka akan menjadi penindasan terhadap yang lemah, yang dalam hal

ini adalah usaha rakyat. Yusdja dan Sajuti (2002), melaporkan bahwa skala usaha

koperasi yang diukur dari besar investasi yang ditanam dan kekayaan asset ternyata

tidak efisien. Jika demikian peternak mngalami pembinaan oleh koperasi yang

sebenarnya mempunyai kondisi operasional yang parah.

Koperasi sebaiknya menghentikan peningkatan investasi dan melakukan

restrukturisasi semua unit usaha dan reorganisasi sumberdaya menusia yang

digunakan. Koperasi harus segera menghentikan pengeluaran semua biaya-biaya

untuk pos-pos yang tidak produktif. Restrukturiasi usaha dapat berbentuk


menghentikan usaha semua unit usaha yang tidak menguntungkan dan membangun

industry pengolahan dan unit-unit yang terkait dengan peningkatan pelayanan pada

peternak. Koperasi disarankan pula melakukan reorganisasi penggunaan faktor

produksi terutama membenahi kembali system pengupahan karyawan, system

pendanaan penurus dan arah penggunaan yang keseluruhannya harus lebih

berorientasi dan dikaitkan dengan efisiensi usaha. Khusunya dalam hal ini adalah

menejemen atau pengurus koperasi haus mengeluarkan biaya-biaya tetap dan

peubah secara lebih rasional. Dalam hal ini lebih banyak pos-pos pengeluaran yang

harus dihentikan seperti biaya-biaya yang tidak ada kaitannya dengan peningkatan

produksi air susu dan pendapat serta keuntungan koperasi. Selain itu perlu dilakukan

penghematan pada semua pos.

Beberapa perusahaan koperasi dalam 20 tahun terakhir ini telah berhasil

mengumpulkan modal yang relative besar dalam bentuk tanah, bangunan,

kendaraan, dan kekayaan dalam bentuk mesin-mesin dan peralatan. Dengan

kekayaan yang sudah ada tersebut makan koperasi seharusnya sudah mempu

mandiri melepaskan diri dai IPS, dan mmebangun sendiri sebuah IPS. Apalagi

dengan kemampuan dan mdal yang sudah ada koperasi tidak akan mendapat

kesulitan kredit dengan bank untuk tujuan tersebut. Perlu juga diperhatikan bahwa

nilai tukar rupiah terhadap dolar US yang diramalkan akan membaik pada masa

mendatang akan membuat daya saing susu segar dalam negeri menurun dan

kemungkinan IPS tidak lagi mengambil air susu dalam negeri (Ilhan dan Swastika,

2000).
III. PENUTUP

3.1. Kesimpulan

1. Agribisnis sapi perah sudah saatnya untuk dipacu perkembangannya, agar

produksi susu dapat memenuhi kebutuhan susu nasional. Ketidakmampuan

produksi dalam memenuhi kebutuhan susu nasional, akibat rendahnya

pendapatan para peternak, sehingga petani ternak tidak mampu untuk

mengembangkan agribisnis sapi perahnya.

2. Rendahnya kualitas konsentrat produksi koperasi susu dikarenakan

rendahnya daya beli para peternak. Oleh karena itu koperasi susu harus

memproduksi konsentrat yang berkualitas sesuai dengan kualitas yang

dibutuhkan oleh sapi perah .

3. Menghadapi era persaingan, koperasi persusuan harus berbenah diri

memperbaiki kualitas susu. Pembenahan ini dapat dilakukan dari hulu

(peternak) sampai hilir (diterima IPS).

3.2. Saran

1. Koperasi disarankan melakukan reorganisasi secara keseluruhan, mulai dari

system pengangkatan pengurus dan tim pengawas serta karyawan.

Restrukturisasi harus diarahkan pada undang-undang koperasi.


DAFTAR PUSTAKA

Direktorat Jenderal Peternakan. 2009. Statistik Peternakan 2008. Direktorat


Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian, Jakarta.
Winugroho dan Siregar S.B. 2005. Pakan Dan Kemampuan Berproduksi Susu Sapi
Perah Laktasi Pada Peternak Yang Dalam Kasus/ Kud Di Daerah Jawa
Barat. Seminar Nasional Program Pembangunan Usaha Peternakan
Berdaya Saing Di Lahan Kering. U.G.M. Yogyakarta.
Jica. 2002. Bimbingan Peningkatan Usapi Perah. Dinas Peternakan Provinsi Jawa
Barat Dan Japan International Comparation Agency. Bandung.
Ilham, N. dan D.K.S. Swastika. 2000. Analisis Daya Saing Susu Segar Dalam
Negeri Pasca Krisis Ekonomi Dan Dmpak Kebijakan Pemerintah Terhadap
Usaha Peternakan Sapi Perah Di Indonesia. Laporan Hasil Penelitian.
Yusda, Y. dan Sajuti. 2002. Skala Usaha Koperasi Susu Dan Implikasinya Bagi
Pengembangan Usaha Sapi Perah Rakyat. Jurnal Agro Ekonomi (Jae).
Volume 20. Nomor 1. Mei. P48-63. Pusat Penelitian Dan Pengembangan
Social Ekonomi Pertanian. Bogor.

Anda mungkin juga menyukai