OLEH
NOVITA INDRIYANI
D1E014264
dan laju pertumbuhan yang pesat. Pertumbuhan serta peningkatan jumlah penduduk
merupakan salah satu produk pangan asal hewan yang terus mengalami peningkatan
jumlah permintaan setiap tahunnya. Hal ini terjadi karena susu mengandung nilai
gizi yang tinggi dan bermanfaat dalam proses tumbuh kembang serta meningkatkan
kesehatan masyarakat.
dengan konsumsi susu Negara berkembang lainnya. . Pada periode tahun 2007
jumlah produksi susu segar nasional adalah 574.683 ton/tahun. Padahal tingkat
konsumsi susu per kapita pada tahun yang sama adalah 3,13 kg per tahun (Ditjennak.
2009). Konsumsi susu yang rendah tersebut disebabkan oleh harga jual produk susu
yang masih tinggi. Harga jual yang masih tinggi tersebut disebabkan karena impor
produk susu yang masih tinggi pula. Sedangkan tingkat produksi susu dalam negeri
hanya dapat memenuhi sebesar 30% dari kebutuhan nasional masyarakat Indonesia
akan susu.
Tingkat produksi susu dari dalam negeri yang masih memberikan
perusahaan pengolahan susu akan penerimaan produk susu dari IPS mengakibatkan
Keterkaitan antara koperasi susu dengan agribisnis sapi perah bukan hanya sebatas
juga mengelola sarana dan prasarana pengelolaan produk. Oleh karena itu
didukung oleh penyediaan bibit sapi perah betina, penyediaan pakan yang
merupakan salah satu peran dan tanggungjawab koperasi susu, yang tidak hanya
sebatas pada penampungan dan pemasaran susu produksi peternak, tetapi juga
Pembinaan peternak oleh koperasi susu selama ini telah berjalan, namun masih perlu
untuk diintensifkan.
Keberhasilan bisnis KPS dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor internal antara lain upaya KPS untuk meningkatkan produktivitas ternak dan
Sedang faktor eksternal antara lain negosiasi dengan IPS, pengembangan pasar baru.
produksi dan produktivitas usaha ternak antara lain dengan penyediaan bibit sapi
berkualitas rendah yang belum mencukupi kebutuhan produksi sapisapi perah yang
Winugroho et al. (2005) pada KPS-KPS di daerah Jawa Barat mendapatkan bahwa
hanya sekitar 10,6 persen dan energi TDN (total digestic nutrien) di bawah 65
18 persen dan energi TDN 75 persen dari bahan kering. Pemberian konsentrat yang
berkualitas rendah bukan saja berakibat kepada kemampuan berproduksi susu yang
perah induk masih ekonomis untuk dipelihara sampai 10-11 periode laktasi. Namun
dengan pemberian konsentrat yang berkualitas rendah sapi perah induk tidak
koperasi susu dikarenakan rendahnya daya beli para peternak. Apabila hal tersebut
dibiarkan berlanjut akan merugikan peternak, yang berakibat juga kerugian pada
koperasi susu. Oleh karena itu koperasi susu harus memproduksi konsentrat yang
berkualitas sesuai dengan kualitas yang dibutuhkan oleh sapi perah yang
produksi harian, tetapi juga memberikan dampak ekonomis. Kembali pada kualitas
pakan (terutama konsentrat), tentunya terkait dengan harga konsentrat yang dapat
dijangkau peternak. Artinya, perlu adanya kerja sama dengan lembaga penelitian
bahan baku yang murah. Dengan demikian dapat dihasilkan konsentrat dengan harga
agar mampu mengadakan sumber bibit sapi perah betina yang berkemampuan tinggi
dalam berproduksi susu dan memproduksi pakan konsentrat yang berkualitas baik.
Penyediaan sumber bibit sapi perah betina dan pakan konsentrat yang berkualitas
baik akan memberi peluang kepada para peternak untuk meningkatkan skala
skala usaha agribisnis sapi perah dengan menetapkan jumlah minimal sapi perah
induk yang harus dipelihara setiap agribisnis sapi perah. Program peningkatan skala
usaha yang dilakukan koperasi susu telah mampu meningkatkan skala usaha dari
sekitar 1-2 ekor sebelum tahun 1960 menjadi rata-rata 26,8 ekor tahun 1980.
anggota bukan sebaliknya. Konsekuensi dari ini adalah koperasi tidak perlu menjadi
suatu lebaga bisnis yang mencari profit sendirian, tetapi harus bersama-sama dengan
para anggota peternak. Ini berarti azas mendapatkan keuntungan maksimum berlaku
untuk semua pemilik usaha termasuk koperasi. Koperasi lebih baik mengubah sikap
keuntungan maka akan menjadi penindasan terhadap yang lemah, yang dalam hal
ini adalah usaha rakyat. Yusdja dan Sajuti (2002), melaporkan bahwa skala usaha
koperasi yang diukur dari besar investasi yang ditanam dan kekayaan asset ternyata
tidak efisien. Jika demikian peternak mngalami pembinaan oleh koperasi yang
industry pengolahan dan unit-unit yang terkait dengan peningkatan pelayanan pada
berorientasi dan dikaitkan dengan efisiensi usaha. Khusunya dalam hal ini adalah
peubah secara lebih rasional. Dalam hal ini lebih banyak pos-pos pengeluaran yang
harus dihentikan seperti biaya-biaya yang tidak ada kaitannya dengan peningkatan
produksi air susu dan pendapat serta keuntungan koperasi. Selain itu perlu dilakukan
kekayaan yang sudah ada tersebut makan koperasi seharusnya sudah mempu
mandiri melepaskan diri dai IPS, dan mmebangun sendiri sebuah IPS. Apalagi
dengan kemampuan dan mdal yang sudah ada koperasi tidak akan mendapat
kesulitan kredit dengan bank untuk tujuan tersebut. Perlu juga diperhatikan bahwa
nilai tukar rupiah terhadap dolar US yang diramalkan akan membaik pada masa
mendatang akan membuat daya saing susu segar dalam negeri menurun dan
kemungkinan IPS tidak lagi mengambil air susu dalam negeri (Ilhan dan Swastika,
2000).
III. PENUTUP
3.1. Kesimpulan
rendahnya daya beli para peternak. Oleh karena itu koperasi susu harus
3.2. Saran