Anda di halaman 1dari 20

KUSUMA DIWYANTO et al.

: Pengkajian Sistem Budidaya Sapi Perah untuk Meningkatkan Produktivitas

PENGKAJIAN SISTEM BUDIDAYA SAPI PERAH


UNTUK MENINGKATKAN PRODUKTIVITAS
KUSUMA DIWYANTO I , ANNEKE ANGGRAENI2, TATIT SUGIARTI2, NURHASANAH2, HADI SETYANT02,
dan LISA PRAHARANI2

'Pusat Penelitian Peternakan


Jalan Raya Pajajaran Kav. E. 59, Bogor 16151, Indonesia

2Balai Penelitian Ternak


P. O. Box 221, Bogor 16002, Indonesia

RINGKASAN

DIWYANTo KUSUMA, ANNEKE ANGGRAENI, TATrr SUGIARTI, NURHASANAH, HADI SETYANTo, dan LISA PRAHARANI. 1999/2000.
Pengkajian sistem budidaya sapi perah untuk meningkatkan produktivitas. Laporan Bagian Proyek Rekayasa Teknologi
Peternakan ARMP-11 :244-263 .

Sejumlah kebijakan secara masif dan terarah telah diterapkan pemerintah pada keseluruhan sektor usaha sapi
perah nasional . Kebijakan tersebut diterapkan mulai dari sektor budidaya, distribusi, pengolahan, dan pemasaran
susu domestik sebagai upaya memberikan iklim yang kondusif bagi berkembangnya industri sapi perah nasional.
Dukungan kebijakan yang diterapkan secara intensif khususnya pada sektor budidaya sapi perah telah mampu
menjadikan lahan pendekatan bagi tidak kurang 98 .000 petemak. Meskipun demikian kebijakan pemerintah untuk
menjamin penyerapan susu segar peternak oleh Industri Pengolahan Susu (IPS), sebagai ditetapkan dengan Instruksi
Presiden No . 2 tahun 1985, telah memberikan dampak negatif pada kurang/tidak beresponnya petemak untuk
menerapkan budidaya dengan berorientasi pada peningkatan efisiensi usaha. Dengan diberlakukannya perdagangan
bebas pada komoditas susu sejak Pebruari 1998 menyebabkan tidak dapat diterapkan lebih jauh sistem rasio susu
oleh pemerintah, sehingga menuntut pengembangan budidaya yang lebih mempertimbangkan pada aspek perbaikan
produktivitas ternak, efisien usaha, kualitas susu segar.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji sejumlah kebijakan, peraturan, aturan, dan teknis operasional
budidaya sapi perah ditinjau dari aspek pakan, tatalaksana, pemuliaan, dan penyakit . Berbagai kendala dan potensi
dari setiap keempat aspek diidentifikasi, diprioritasi, kemudian diformulasikan kedalam penyusunan konsep
kebijakan budidaya sapi perah dengan lebih berlandaskan pada pertimbangan efisiensi usaha. Konsep efisiensi
dilakukan dengan menerapkan dua pendekatan, mencakup
1. Penggunaan input produksi secara maksimal untuk memperoleh output secara maksimal,
2. Penggunaan input produksi secara moderat untuk menghasilkan output produksi secara optimal.
Pengumpulan data dilakukan dengan cara pendekatan konsepsional, teknis empiris, dan perancangan
percobaan mengenai berbagai faktor yang menentukan keempat aspek budidaya (pengadaan pakan, tatalaksana
pemeliharaan, pemuliabiakan, dan pengendalian penyakit) . Adapun target implementasinya dijabarkan pada tiga
tahapan, yakni jangka pendek, menengah, dan panjang. Target implementasi pada jangka pendek adalah
memberikan prioritas perbaikan pada sejumlah faktor teknis yang bersifat mendesak, pada jangka menengah adalah
mengarahkan penggunaan sejumlah alternatif input produksi secara efisien, serta pada jangka panjang adalah
mengembangkan budidaya sapi perah berorientasi spesifik lokasi dengan memanfaatkan keunggulan komparatif
seluas-luasnya .
Atas dasar hasil kajian tersebut, dilakukan penyusunan konsep kebijakan yang diharapkan akan lebih
mampu membangun kemandirian peternak dalam menerapkan budidaya yang berorientasi pada perbaikan
produktivitas ternak, efisiensi usaha, dan kualitas susu segar. Suatu konsep kebijakan budidaya sapi perah
direkomendasikan yakni dalam jangka pendek memberikan prioritas perbaikan teknis yang mendesak pada aspek
pakan, tatalaksana, pemuliabiakan, dan penyakit . Sedangkan dalam jangka menengah dan panjang membangun
budidaya sapi perah secara efisien melalui pendekatan kesesuaian zona agroekosistem yang memerlukan suatu
formulasi kebijakan untuk mendukung penyediaan paket teknologi budidaya secara utuh guna mencapai hasil pada
tingkat kelayakan teknis dan ekonomis lebih baik bagi peternak dan semua pelaku budidaya yang terlibat .
Konsep budidaya yang direkomendasikan menekankan pada dasarnya budidaya sapi perah dapat
dikembangkan pada setiap zona agroekosistem di pulau Jawa. Rekomendasi budidaya sapi perah untuk dataran
tinggi berupa penggunaan sapi perah rumpun murni (Fries Holland atau lainnya) yang perlu didukung oleh
penggunaan input teknologi tinggi sehingga mampu memberikan produksi susu maksimal . Sedangkan rekomendasi
budidaya sapi perah untuk dataran sedang dan rendah berupa penggunaan sapi perah (FH dan PFH) lokal atau

244
Laporan Bagian Proyek Rekayasa Teknologi Peternakun ARMP-11 Th. 199912000

silangan dengan Bos taurus atau Bos indicus (sapi perah dan potong sebagai tipe dwiguna) yang cukup ditunjang
oleh penggunaan input teknologi moderat untuk menghasilkan susu dan daging secant optimal.

SUMMARY

A number of massive and constructive governmental policies has been applied for the whole sectors of the
national dairy cattle husbandry. Those are from dairy farming management, distributing, processing, and marketing
domestic milk to build up a better condition in developing national dairy cattle industry. The intensively supporting
policies have also been applied especially for dairy farming management that can make the field income for no less
than 98 .000 dairy farmers. However the governmental policy in giving a guarantee through absorbing dairy
farmer's fresh milk by Milk Processing Industry (MPI), as strengthened by The Presidential Instruction No . 2 in
year of 1985, have already given negative impact for the unresponsiveness of dairy farmers in improving better
managerial skill based on the orientation of reaching more efficient effort.
This study was done to evaluate a number of regulation, direction, instruction, and technical operation that
have already applied for the national dairy husbandry from the aspects of feeds, breeding, management, and disease
control. Every aspect was analyzed to identify its constraints and potential, Based on these results, so the new
policies will be suggested to further develop the dairy cattle husbandry really considered on production efficiency
orientation .
There are principally two concepts of approach to solve the problems exist
1 . Using maximum input to get maximum output,
2. Using moderate input to get optimum output .
The collecting data were carried out by conception approaches, empirical technique, and experimental
design about the numerous factors determining for the four aspects of dairy farming system including feeding,
management, breeding, and controlling disease. The target implementation will be described in three phases, that is
short, medium, and long phase. Some priorities will be given such for each of the phases regarding to improve
urgent technical aspect at the short phase, to increase the efficient use of input production at the medium phase, and
to increase the widely comparative use of input production based on specific dairy farming system at the long
phase.
So the new concept of this dairy farming policy give some recommendations . For the short term it is
recommended to give attention to the technical aspect of dairy farming management having high priority to be
developed better. While for the medium and long term is to arrange the scenario of dairy farming management
keeping high efficient effort through optimally using of the potency of the existing specific agroecosystem zona
(specific location). Basically dairy farming management can be carried out on at every agroecosystem zona in Java
that can be classified as low, medium and high land . For the'up land it is reommended to use high breed dairy
cattle by supported of using high input to get the main result of high milk production . While for the medium and
lowland it is recommended to raise local Fries Holland or its crossing with Bos taurus or Bos indicus (dairy or meat
cattle as dual purpose) by supported of using local resources to get moderate level of milk production and meat.

PENDAHULUAN

1. Lttar belakang

Kebijakan pemerintah yang memposisikan sapi perah sebagai komoditas andalan untuk mensuplai susu
domestik, telah memberikan kontribusi cukup menggembirakan bagi pembangunan subsektor peternakan nasional .
Dukungan pemerintah yang sudah berlangsung intensif selama kurun waktu dua puluh tahun (sejak tahun 1979)
dengan menerapkan sejumlah kebijakan yang saling terkait dan sambung menyambung pada keseluruhan sektor
usaha sapi perah domestik, mampu menjadi mediator yang cukup efektif dalam membangun iklim yang kondusif
bagi berkembangnya industri persusuan nasional . Sejumlah kebijakan sectra masif dan terarah telah diterapkan
meliputi aspek budidaya sapi perah, distribusi, pengolahan dan pemasaran.susu segar di dalam negeri .
Kebijakan awal dengan memprioritaskan pada pengembangan aspek teknis produksi, meliputi impor sapi
betina, pelayanan IB, penyediaan pakan peningkatart pelayanan- -kesehatan-dan manajemen, kemudian
ditindaklanjuti dengan pemberian kredit untuk memperluas lapangan usaha oleh Departemen Koperasi, secara
bertahap memberi dampak signifikan pada kenaikan kapasitas produksi susu domestik . Masalah yang kemudian
muncul berupa kesulitan yang dialami peternak untuk memasarkan produksi susu segamya, mendapat perhatian dari

24 5
KUSUMA DIWYANTO et al. : Pengkajian Sistem Budidaya Sapi Perah untukMeningktkan Produkttvitas

pemerintah dengan mengeluarkan kebijakan bersifat lintas sektoral hasil mufakat tiga departemen terkait saat itu ~_
(Departemen Koperasi, Pertanian, serta Industri dan Perdagangan) tentang koordinasi persusuan nasional .
Penegasan lebih jauh terhadap aturan tataniaga susu sebagai tertuang dalam INPRES No. 2 thn 1985 dengan
memberlakukan sistem rasio atau BUSEP yang mewajibkan Industri Pengolahan Susu (IPS) menyerap seluruh
susu segar petemak dalam kepentingan mereka memperoleh ijin importasi bahan baku susu yang diperlukan, telah
mendorong tumbuh dan berkembangnya industri sapi perah nasional .
Perkembangan tersebut dapat diamati antara lain dari banyaknya pelaku yang terlibat pada setiap sektor
usaha yang ada. Pada aspek budidaya, usaha petemakan sapi perah mampu meningkatkan kesejahteraan peternak
dan memperluas lapangan pekerjaan di pedesaan. Sebagai ilustrasi, Dit. Jen. Petemakan mencatat (Buku Statistik
Peternakan, 1998), tahun 1973 hanya terdapat sejumlah 31 .438 rumah tangga yang menjadi petemak sapi perah atau
sekitar-0,22 persen dari total rumah tangga pertanian. Sepuluh tahun kemudian (1973 - 1983) jumlah rumah tangga
peternak sapi perah mengalami pertumbuhan sebesar 8,4 persen, sementara jumlahnya menjadi dua kali yakni 0,41
persen dari total rumah tangga pertanian tahun 1973 . Namun pada periode 1983-1993, pada saat jumlah rumah
tangga petani mengalami peningkatan hanya sebesar 26,5 persen, -jumlah peternak sapi perah mengalami
pertumbuhan lebih cepat yakni 42,3 persen . Sampai saat ini tidak kurang dari 98 .000 rumah tangga yang
menjadikan peternakan sapi perah sebagai mata pencaharian pokok ataupun sampingan.
Dengan berkembangnya usaha petemakan sapi perah nasional telah memberikan pula kontribusi pada
kenaikan jumlah populasi dsn produksi susu dari tahun ke tahun. Namun pengamatan selama tahun 1993 - 1998
menunjukkan (BUKU STATISTIK PETERNAKAN, 1998), tingkat pertumbuhan susu segar 1,04 persen per tahun
dirasakan masih jauh lebih rendah dibandingkan laju konsumsi susu dalam negeri yang mencapai 7,93 persen per
tahun, sehingga memberi konsekuensi logis pada terus membengkaknya laju impor bahan baku susu sebesar 14,34
persen per tshun . Dapat dipastikan dengan terus membengkaknya konsumsi susu nasional akan semakin
memperlebar gap antara laju volume susu impor terhadap produksi susu segar domestik. Hal tersebut digambarkan
oleh hasil proyeksi kondisi penawaran clan permintaan susu pada masa lima tahun mendatang. Dengan mendasarkan
pada asumsi tahun 2005 Indonesia akan berpenduduk sekitar 236 juta jiwa, kemudian selaras dengan perbaikan
ekonomi dan kesadaran gizi masyarakat akan dicapai tingkat konsumsi susu per kapita per tahun 7,07 kg, sehingga
membutuhkan konsumsi susu sebesar 1 .669 ribu ton. Dengan kapasitas produksi susu domestik saat ini (tahun
1998) 405,5 ribu ton (laju produksi 1,04 persen per tahun), pada lima tahun kedepan diperkirakan akan diperlukan
impor susu sejumlah 1 .242 ribu ton atsu sekitar tiga kali produksi susu segar dalam negeri . Konsekuensinya adalah
dengan semakin meningkatnya importasi bahan baku susu tersebut akan berakibat pada semakin besamya
ketergantungan Indonesia terhadap susu impor, sehingga akan semakin terkuras devisa negara oleh keperluan ini.
Sementara terpaan krisis moneter yang berakibat pada terpuruknya kondisi ekonomi nasional selama dua
tahun terakhir, memberikan dampak negatif pada semua sektor industri,persusuan nasional . Dalam aspek budidaya,
krisis moneter telah menurunkan populasi clan produktivitas sapi perah lokal, yang . menyebabkan semakin
menurunnya produksi susu segar peternak . Penurunan produktivitas terjadi terutama dikat'enakan ketergantungan
pengadaan sapronak yang sebagian besar masih menggunakan komponen impor, seperti pengadaan bahan baku
ransum konsentrat (misal wheat pollard, tepung ikan, dan bungkil kedelai) dsn obat-obatan, sementara kenaikan
harga jual susu segar akibat berkurang/terhentinya importasi bahan baku oleh IPS dirasakan belum memberikan
insentif yang memadai bagi peternak untuk meningkatkan produktivitas sapi perahnya. Pada sisi lain dengan
melambungnya harga jual sapi perah akibat terbatasnya pasokan sapi daging siap potong, mendorong sebagian
peternak menjual sapi perahnya untuk dipotong . Hasil perkembangan terakhir memperkirakan peternak yang
tergabung dalam wadah koperasi hanya mampu mensuplai sebesar 30 % susu segar dari kebutuhan susu nasional.
Berdasarkan kondisi di atas, kita sadari sebenarnya usaha sapi perah domestik mempunyai peranan semakin
besar untuk terus memacu kemampuan produksi susu segamya, agar secara bertahap dapat mengurangi
ketergantungan pada susu impor. Akan tetapi berbagai perubahan lingkungan yang terjadi secara cepat dalam
kondisi terakhir baik pada skala lokal, nasional, dan global memberikan perubahan besar bagi kondisi persusuan
nasional . Perubahan lingkungan strategis di tingkat global yang memberikan pengaruh berarti pada industri
persusuan nasional adalah menyangkut penandatangan butir-butir kesemkatan antara pemerintah Indonesia dengan
IMF bulan Januari 1998, yang antara lain menetapkan tidak diberlakukan lebih jauh kebijakan yang bersifat
proteksi. Dengan demikian perlindungan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap peternak sapi perah melalui
kebijakan non tarif barrier atau rasio susu sebagai ditetapkan dalam INPRES No . 4 thn 1998 sudah tidak dapat
diberlakukan lagi .
Seperti kita ketahui pemasaran sususegar peternak dalam wadah-koperasi selama-ini sanghit'fergantung pada
IPS karena sekitar 90 persen susu segar tersebut dipasarkan pada IPS. Menurunnya nilai rupiah terhadap dolar saat
ini masih memberi kesempatan bagi petemak untuk menjual susu segar mereka kepada IPS. Dengan tidak
diberlakukan lagi ketentuan rasio susu kepada IPS, maka hargajual produk susu segar peternak sepenuhnya akan

24 6
Laporan Bagian Proyek Rekayasa Teknologi Peternakan ARMP-II Th. 199912000

tergantung kepada mekanisme pasar (global) . Apabila kondisi nilai rupiah semakin membaik, besar kemungkinan
IPS akan melakukan importasi seluruh bahan baku susu yang mereka perlukan, sehingga peternak mengalami
kesulitan untuk memasarkan susu segarnya. Dengan demikian maka produksi susu segar di dalam negeri dituntut
untuk dapat memiliki keunggulan kompetitif terhadap komoditas sejenis dari luar negeri . Untuk mencapai hal
tersebut, maka efisiensi produksi, produktivitas ternak, dan kualitas susu menjadi tiga faktor yang perlu segera
mendapatkan pembenahan dalam pola budidaya sapi perah di dalam negeri. Tidak dapat dipungkiri dengan
perlindungan yang diberikan pemerintah bagi berkembangnya sapi perah nasional selama dua puluh tahun berjalan,
belum cukup merespon peternak (dan koperasi persusuan) untuk dapat mengelola berbagai komponen budidaya
sapi perah secara efisien. Aspek produktivitas sapi perah juga belum disadari merupakan komponen penting yang
perlu mendapat perhatian untuk ditingkatkan agar sapi perah sebagai industri biologis dapat menghasilkan produksi
susu yang terus meningkat.
Oleh karenanya kebijakan pemerintah pada masa mendatang diharapkan lebih dapat memberikan dukungan
kepada terbentuknya peternak sapi perah (serta koperasi persusuan) yang mandiri serta berwawasan agribisnis yang
mampu mempergunakan input produksi secara efisien dengan berbasis pada penggunaan sumberdaya lokal.
Pengembangan pola budidaya sapi perah yang mampu secara simultan meningkatkan efisien keseluruhan
komponen produksinya yang meliputi penanganan aspek pakan, pemuliaan, tatalaksana, dan pengendalian penyakit
pada akhirnya dapat menumbuhkan daya kompetitif usaha sapi perah nasional .

2. Tujusn penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji sejumlah kebijakan/peraturan/ aturan/kebijakan tenis operasional
budidaya sapi perah ditinjau dari aspek pemuliaan, pakan, manajemen, dan pengendalian penyakit dalam upaya
meningkatkan produktivitas sapi perah domestik . Berbagai kendala dan peluang dari setiap aspek budidaya
diidentifikasi dan diberi ptioritasi untuk diformulasikan kedalam penyusunan konsep kebijakan budidaya sapi perah
nasional yang lebih berorientasi pada peningkatan produktivitas temak dsn efisiensi produksi . Dalam jangka
panjang penelitian diharapkan dapat memanfaatkan keuntungan komparatif seluas-luasnya dengan mengarahkan
budidaya sapi perah berorientasi spesifik lokasi melalui pemanfaatan input teknologi (bibit, pakan, obat-obatan, dsn
sapronak lainnya) yang tersedia secara optimal dengan tetap menjaga kelestarian sumberdaya alam dsn lingkungan .

BAHAN DAN METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian dilakukan dengan cara pendekatan konsepsional, teknis empiris, dan perancangan percobaan
tentang berbagai faktor yang menentukan budidaya sapi perah dikaji dari aspek pemuliaan, pakan, manajemen, dan
pengendalian penyakit . Pendekatan dilakukan dengan mengumpulkan data y gdiperoleh dengan cara
1. Penelusuran kepustakaan dsn Laporan berkaitan dengan kebijakan, aturan, program, operasional pelaksanaan
budidaya sapi perah nasional .
2. Melaksanakan workshop dengan pokok bahasan mengidentifikasi berbagai kendala/masalah dan
potensi/peluang dalam upaya meningkatkan produktivitas dan efisiensi usaha sapi perah nasional .
3. Mengumpulkan informasi tentang kebijakan, peraturan/aturan, arah yang telah dan akan ditempuh dalam
budidaya sapi perah dalam skala nasional dan regional dari berbagai institusi terkait (Dit. Jen. Peternakan,
Dinas Petemakan TK I, dan GKSI).
4. Mengumpulkan data primer mengenai sejumlah informasi meliputi
a) Potensi pendukung budidaya sapi perah khususnya dari aspek pemuliaan dari lapisan bawah atau peternak
melalui pengisian kuisioner (meliputi potensi sumber daya alam, SDM, produktivitas sapi perah, perspektif
peternak terhadap bibit dan output produksi yang diinginkan),
b) Uji kualitas semen (straw) pada jalur distribusi dari BPT-HMT Baturraden, KUD, dan inseminator di
kabupaten Banyumas,
c) Uji kualitas susu segar mulai di tingkat peternak, subcollecting unit, collecting unit, dan KUD di ksbupaten
Banyumas .
d) Pemanfaatan limbah pertanian (jerami padi) sebagai salah satu sumber pakan hijauan sapi perah pedet dan
dara.
Pengumpulan data primer faktor pendukung budidaya sapi perah dilakukan menerapkan metoda purposive
sampling secara bertingkat . Dimulai dengan menentukan wilayah (kabupaten) sentra produksi susu di jalur susu
Semarang-Boyolali, dilanjutkan pemilihan daerah padat ternak di dalam suatu wilayah (kabupaten), selanjutnya
dipilih peternak yang sudah cukup lama melakukan budidaya sapi perah.

247
KUSUMA DIWYANTO et al. : Pengkajian Sistem Budidaya Sapi Perah untuk Meningkatkan Produktivitas

Uji kualitas susu segar dilakukan dengan menetapkan lokasi penelitian pada jalur utama pengumpulan susur, -
di Kabupaten Purwokerto. Uji kualitas semen beku dilakukan pada tingkat inseminator di daerah sentra produksi
susu Kecamatan Baturraden, Kabupaten Banyumas (Jawa Tengah) yang dibandingkan dengan hasil pengamatan di
Kecamatan Tanjungsari, Kabupaten Sumedang (Jawa Barat) dengan semen beku bersumber dari BIB Lembang dan
Singosari . Percobaan pemanfaatan jerami padi sebagai pakan hijauan dilakukan pada kondisi stasiun percobaan di
Balitnak Ciawi.

KONDISI INDUSTRI SAPI PERAH NASIONAL

Perkembangan sejumlah aspek teknis, ekonomis, dan kelembagaan, dari industri persusuan nasional sekitar
kurun waktu lima tahun (dari 1993 sampai 1998), menunjukkan kenaikan dengan angka laju yang bervariasi (Tabel
1). Sejumlah parameter teknis seperti kegiatan impor sapi perah dan komponen produksinya jauh lebih besar
dibandingkan laju populasi di dalam negeri, sedangkan kelembagaan koperasi sapi perah memperlihatkan jumlah
yang hampir konstan .

1. Karakteristik Peternak Sapi

Sesuai dengan arah kebijakan pemerintah yang meletakkan azas pemerataan pendapatan dalam usaha
peternakan nasional (Keppres 80/1990), telah mendorong berkembangnya usaha petemakan sapi perah nasional
dengan berbasis pada peternakan rakyat. Tidak kurang dari 98.000 rumah tangga terlibat dalam kegiatan budidaya
sapi perah, baik sebagai mata pencaharian pokok ataupun sampingan . Akan tetapi sampai saat ini kegiatan budidaya
sapi perah tersebut masih terkonsentrasi pada kawasan padat penduduk dan padat ternak dimana hampir seluruh
peternak sapi perah berada di pulau Jawa. Penyebarannya hampir merata pada tiga propinsi di pulau Jawa meliputi
26,53 % peternak di Jawa Barat, 31,63 % peternak di Jawa Tengah, dan 39,80 % peternak di Jawa Timur; serta
dengan jumlah relatif kecil pada propinsi DIY sekitar 1,02 % peternak. Secara kumulatif peternakan sapi perah
rakyat mensuplai sebagian besar (sekitar 93 persen,) dari susu segar domestik, tetapi bila dilihat dari total Konsumsi
susu nasional, proporsinya relatif masih rendah (sekitar 40 persen,).

Tabel 1. Profil industri sapi perah nasional

Performan Tahun Perubahan


1993 1996 1997 1998 per Tahun (%)
Peternak sapi perah (RT) 77.435 84.416 - - +2,92
Koperasi primer persusuan (buah) 200 201 - - +0,17
Populasi sapi perah (ekor) 329 .520 347 .310 353 .199 - +1,75
Nilai sapi perah (milyar rp ) 372,71 435,76 - - +6,44
Produksi susu (000 ton) 387,5 441,2 423,7 405,5 +1,04
Konsumsi susu (000 ton) 785,8 1.125,4 1 .050 1 .034,5 +7,93
Impor susu (000 ton) 446,8 739,4 692,8 692,9 +14,34
Nilai impor susu (000 $) 96.517,0 114 .821,6 94.372,2 - +3,63
Konsumsi susu/kapita/tahun (kg) 4,23 5,72 5,25 5,1 +6,04
Impor sapi bibit (000 ekor) 7,7 3,8 4,4 - +7,94
Nilai impor sapi bibit (000 $) 3.419,4 3.014,4 3.119,2 - +11,31
Harga susu segar farm gate (rp/1) 580 682 702 - +4,92
Harga susu segar (rp/1) 1 .240 1 .695 1 .661 - +9,28

Sumber : Diolah dari BUKU STATISTIK PETERNAKAN (1998)

248
ran Bagian Proyek Rekayasa Teknologi Peternakan ARMP-I1 Th . 199912000

Meskipun peternakan rakyat merupakan mayoritas pelaku budidaya, tetapi karakteristik peternaknya sendiri
tidak mengalami banyak perubahan dibandingkan kondisi tahun-tahun sebelumnya, yang masih dicirikan sebagai
pelaku usaha dengan keterbatasan pengetahuan, modal, dan ketrampilan . Tidak mengherankan apabila sebagian
besar peternak masih menerapkan budidaya secara tradisional pada skala pemeliharaan sapi perah relatif kecil,
sekitar 1-5 ekor per rumah tangga, sedangkan pengelolaan lebih merupakan usaha keluarga. Hanya sebagian kecil
petemak yang memelihara sapi perah dengan skala pemilikan cukup besar, sekitar 6 -12 ekor. Peternak seperti ini
biasanya mempunyai lahan dan modal yang memadai, dengan pengelolaan biasanya memakai tambahan tenaga dari
luar keluarga. Budidaya yang diterapkan relatif lebih maju dibandingkan petemak skala kecil. Untuk meningkatkan
kemampuan produksi sapi yang dipelihara, mereka berusaha mengintroduksi teknologi praktis bagi pengembangan
budidaya sapi perahnya. Disamping peternak rakyat dengan skala pemilikan ternak cukup bervariasi, terdapat
beberapa perusahaan yang relatif besar dengan kepemilikan sapi perah diatas 100 ekor.
Pendapatan usaha terutama bersumber dari produksi susu yang dipasarkan melalui koperasi/GKSI ke IPS .
Pembayaran susu oleh koperasi kepada peternak dilakukan setiap sepuluh had setelah dipotong biaya produksi clan
operasional koperasi. Sumber pendapatan lain dapat diperoleh dari penjualan sapi betina atkir clan pedet (jantan
clan betina) . Sedangkan kotoran ternak oleh sebagian besar peternak belum menjadi produk yang ditingkatkan nilai
jualnya melalui pembuatan kompos .

2. Populasi clan Produktivitas Sapi Perah

Populasi sapi perah sampai tahun 1997 (sebelum krisis moneter) menunjukkan perubahan yang selalu
meningkat . Kenaikan cepat terjadi selama tahun 1979 - 1989 karena importasi dalam jumlah besar sapi perah betina
dari Australia dan New Zealand. Importasi dalam jumlah besar terutama terjadi dalam dua periode, pertama dengan
jumlah sapi betina 56.375 ekor selama tahun 1979 - 1983, dan berikutnya dengan jumlah sapi betina 27.410 ekor
dalam tahun 1987 - 1989 (GKSI, 1996). Oleh karenanya selama kurun waktu yang sama terjadi lonjakan laju
pertumbuhan populasi sapi perah sebesar 12,35 persen per tahun, tetapi setelah tahun 1989 pertumbuhan populasi
sapi perah nasional kembali menurun menjadi 2,61 persen per tahun.
Penurunan kembali pertumbuhan populasi sapi perah nasional setelah terhentinya kegiatan importasi
mengindikasikan tidak berjalannya kesimbangan antara laju pengeluaran temak terhadap penggantiannya. Keadaan
ini antara lain disebabkan oleh karena sapi betina impor sulit beradaptasi pada lingkungan barunya di Indonesia.
Hal tersebut terutama dialami oleh sapi perah impor yang dibudidayakan di daerah dataran rendah yang sulit
mengatasi cekaman panas, pakan tidak memadai, serangan penyakit dan parasit, serta tingkat manajemen yang
belum mendukung . Pada skala individu faktor tersebut menyebabkan penurunan kineda produktivitas temak, yang
direfleksikan oleh penurunan produksi susu, gangguan reproduksi - (kegagalan clan penyakit reproduksi), angka
kematian pedet yang tinggi, clan daya hidup produktif menurun. Pada skala lebih luas akan menurunkan kualitas
populasi yang dicerminkan oleh struktur populasi yang tidak berimbang .

a. Produktivitas

Produktivitas yang dicapai sapi perah lokal masih rendah bila dibandingkan dengan produktivitas sapi perah
iklim sedang. Kemampuan menghasilkan produksi susu secara rataan masih berkisar antara 8 - 10 liter per hari
(2400 - 3000 liter per laktasi), dengan rataan produksi sedikit lebih tinggi untuk sapi perah di daerah sentra
produksi susu seperti Pangalengan dan Lembang di Jawa Barat, Pujon (Malang) Jawa Timur dan perusahaan sapi
perah, dengan rataan berkisar antara 10 - 13 liter per hari (3000 - 3600 liter per laktasi) . Meskipun demikian
kapasitas produksi sapi perah lokal mempunyai variasi yang luas clan masih belum banyak digali potensinya sebagai
upaya untuk menghasilkan kelompok sapi perah dengan Kemampuan produksi susu tinggi.
Sementara itu kinerja reproduksi sapi perah di Indonesia masih rendah yang antara lain diindikasikan oleh
selang beranak masih panjang . Jarak beranak sapi perah domestik (lokal dan eks-impor) umumnya masih melebihi
14 bulan. Selang beranak tersebut masih lebih panjang dari yang direkomendasikan, yakni selama 12 bulan (365
hari) agar sapi betina mampu menampilkan prestasi produksi (produksi susu dan pedet) secara optimal selama masa
produktifnya . Sejumlah masalah yang menjadi penyebab panjangnya selang beranak yang ditemukan berdasarkan
hasil survey di daerah sentra susu di Jawa Tengah meliputi Kabupaten Banyumas, Boyolali, clan Klaten disebabkan
antara lain oleh karena, sapi betina tidak/kurang memperlihatkan tanda-tanda birahi yang jelas, penyakit reproduksi,
kasus keguguran, dan gangguan kesehatan .

249
KUSUMA DIWYANfo et al. : Pengkajian Sistem Budidaya Sapi Perah untuk Aieningkatkan Produktivitas

b. Struktur populasi

Tabel 2. Struktur Populasi Sapi Perah Hasil Sejumlah Pengamatan

Status Fisiologi 1987') 1988 2)


1993') 1999
Anak jantan 5,9 10,4 8,72 8,47
Jantan muda - - 6,40 4,55
Jantan dewasa O' l 0,7 2,76 -
Anak betina 19,9 18,6 12,67 20,65
Betina muda 13,6 8,4 14,03 30,11
Betina dewasa : - - 55,42
a. Laktasi 48,4 48,2 - 24,38
b. Kering 12,0 13,7 - 11,78
a. Produktif - - -
b.Non produktif - - -
Kelahiran - - -
Kematian 4,10
Keterangan : 1) Survey Bench Mark (1987), dan
2) Survey Dit. BUT dan PH (1988) yang dikutip SiMANDJUNTAK (1999)
3) BUKUSTATISTIKPETERNAKAN(1998)
4) Diolah dari laporan SUGIARTI dan SIREGAR (1999) pada pengamatan di Pangalengan,
Kertasari, Lembang, dan Cisarua

Hasil survey dari Bench Mark serta BUT dan PH pada populasi sapi perah domestik tahun 1987 dan 1988
seperti dikutip SIMANDJUNTAK (1999) menunjukkan struktur populasi sapi perah di dalam negeri tidak berada pada
keseimbangan yang direkomendasikan. Pengamatan lainnya yang dilakukan pada tahun dan lokasi berbeda
memberikan gambaran bervariasinya proporsi ternak pada setiap jenis kelamin dan status faali (Tabel 2) . Struktur
populasi ternak pada hakekatnya menggambarkan proporsi status fisiologi atau faali ternak dalam suatu lokasi atau
populasi dan sangat dipengaruhi oleh tingkat pertumbuhan alami (kelahiran - kematian) dan non alami (masuk -
keluar). Secara umum kondisi peternakan sapi perah rakyat masih mempunyai angka kematian dan tingkat mutasi
yang sangat tinggi, sehingga dinamika populasi terus berubah yang akan menggeser struktur populasi dari
keseimbangan ideal . Ketidak seimbangan struktur populasi sapi perah di petemakan dirasakan menjadi salah satu
kendala bagi penyediaan replacement stock sapi perah betina dengan jumlah dan kualitas yang memadai.

3. Kualitas Susu Segar

Susu segar di peternak bila dilihat dari jumlah bakteri yang dikandungnya, umumnya masih memiliki
kualitas yang baik dengan jumlah bakteri per ml susu jarang melebihi satu juta . Meskipun pada frekuensi yang
cukup rendah sejak di peternak (farm gate) jumlah bakteri per cc susu dapat melebihi jumlah tersebut. Fasilitas
pemerahan dan lingkungan kandang yang kurang bersih biasanya sebagai penyebab utama menurunnya kualitas
susu segar di peternak, disamping kejadian mastitis masih terjadi dengan frekuensi cukup tinggi . Penurunan kualitas
susu segar dalam pengertian jumlah bakteri sudah melebihi satu juta per ml susu biasanya mulai terjadi setelah susu
segar didistribusikan. Dit Jen Petemakan (1999) menyatakan bahwa ketika susu segar sampai di pusat
pengumpulan, biasanya kandungan bakterinya sudah sangat meningkat yang dapat melebihi 10 - 20 juta per cc susu
segar. Bila kualitas susu segar ditinjau dari kandungan lemak (fat) dan bahan padatan tanpa lemak (solid non fat)
yang menjadi ketentuan penetapan harga susu oleh IPS, maka persyaratan standar kadar minimal lemak 3,5 % dan
padatan tanpa lemak 7,5 % (total solid 11 %) relatif dapat dipenuhi oleh petemak. Namun pada beberapa kasus
masih terjadi penolakan susu segar petemak oleh IPS karena tidak memenuhi standar yang diinginkan .
Laporan Bagian Proyek Rekayasa Teknologi Peternakan ARMP-Il Th. /999/2000

KONDISI BUDIDAYA SAM PERAH NASIONAL SAAT INI

1. Kegictan Pemuliaan

Indonesia sebenarnya tidak memiliki sapi indigeneous yang berfungsi sebagai penghasil susu. Meskipun
demikian sejak zaman pendudukan Belanda, sudah dilakukan pemasukan sejumlah breed sapi perah diantaranya
sapi Fries Holland (Belanda) dan Shorthorn (Australia) untuk kepentingan konsumsi susu segar keluarga kolonial.
Meskipun pada perkembangan berikutnya, sapi Fries Holland lebih dikembangkan dalam memperbaiki produksi
susu sapi lokal yang ada di dataran tinggi Jawa Tengah dan Jcwa Timur. Oleh karenanya walaupun tidak memiliki
sapi perah indegenious, tetapi dapat dikatakan Indonesia mempunyai sapi perah lokal hasil persilangan secara
grltding up antcra sapi Ongole dan PO dengan breed Fries Holand.

a. Program perbalkan breed sap! perah

Memasuki masa pembangunan orde baru, sapi perah lokal (PO dan PFH) mendapatkan perhatian secara
intensif dari pemerintah untuk lebih ditingkatkan mutu genetiknya dalam menghasilkan susu . Sejumlah upaya
ditempuh dalam meningkatkan mutu genetik produksi susu melalui program pemuliaan, yang pada dasarnya adalah
melakukan perkawinan grading up dengcn sejumlah galur dari breed tunggal Fries Holland . Perkawinan dilakukan
dengan mengimpor sejumlah sapi perah FH pejantan impor (proven dan young bull) berikut semen bekunya dari
beberapa negara antara lain Amerika Serikat, Kanada, Timur Tengah, Inggris, dan Jepang . Semen beku dari
pejantan-pejantan impor tersebut diproduksi oleh BIB Lembcng dan Singoscri untuk disebar luaskan menggunakan
perkawinan IB terhadap populasi sapi perah betina lokal. Teknologi kawin suntik yang sudah diaplikasikan secara
intensif pada temak sapi perah, sangat memudahkan proses penyebar luasan semen pejantan FH impor . Dalam
pemakaian semen beku tersebut, dilakukan secara rotasi dengan target penggunaan setiap pejantan pada setiap
wilayah resipien adalah selama dua tahun.

b. Breed Replacement

Untuk mempercepat jumlah populasi sapi perah FH betina di dalam negeri, dilakukan importasi dengan
jumlah besar sapi perah FH betina (commercial stock) dalam keadaan siap laktasi (bunting tua), terutama dari New
Zealand dan Australia. Dengan meningkatnya jumlah populasi sapi perah FH telah memperluas wilayah budidaya
sapi perah tidak hanya terkonsentrasi di daerah dataran tinggi, tetapi menyebar dalam radius lebih luas sampai
dataran rendah sekitamya . Setelah dikenalkan teknologi transfer embrio dan MOET-di Indonesia, diterapkan pula
perbanyakan materi genetik sapi perah FH betina elit impor menggunakan teknologi transfer embrio, yang
dilakukan dalam skala terbatas seperti di balai bibit pemerintah (BET Cipelang dan BPT-HMT Baturraden),
institusi pemerintah (Balitnak dan perguruan tinggi), dan peternak anggota koperasi .
Berbagai terobosan yang sudah dilakukan memang memberikan hasil cukup nyata dalam mencapai sasaran
kenaikan produksi susu nasional . Namun bila dikaji lebih jauh, sebenarnya program grading up yang sudah
ditempuh, belum sepenuhnya menjawab masalah perbaikan produktivitas sapi perah lokal. Pengamatan terhadap
angka laju pertumbuhan populasi dan produksi susu dari tahun ke tahun (Buku Statistik Petemakan, 1998),
mengindikasikan kenaikan produksi susu nasional secara proporsional diikuti pula dengan kenaikan populasi sapi
perah di dalam negeri . Hal ini memberi makna bahwasanya kenaikan produksi susu nasional lebih merupakan
refleksi dari kenaikan jumlah populasi sapi perah di dalam negeri . Artinya program perbaikan genetik (grading up)
yang sudah diterapkan selama dua dekade melalui aplikasi 113 berikut dispersi program penunjang lainnya seperti
breed replacement dengan memasukkan sapi FH betina commercial stock dan multiplikasi sapi FH betina elit,
masih belum berkontribusi besar pada perbaikan produktivitas . sapi perah domestik. Produksi susu sapi perah FH di
daerah dataran tinggi yang berkisar antara 3 .000 - 3.900 liter' per laktasi masih belum bisa mendekati perform
produksi susu sapi perah daerah iklim sedang yang mencapai lebih dari 6000 liter per laktasi . Akan tetapi sudah
menyamai performan sapi perah Bos taurus yang dipelihara di daerah panas seperti sejumlah negara Amerika latin,
yang berkisar antara 3.500 - 4.500 liter per laktasi .
Sejumlah faktor saling terkait mencakup aspek lingkungan (pakan, manajemen, sanitasi, penyakit, dan-faktor
lainnya) serta aspek genetik berakumulasi secara kompleks yang pada akhimya menjadi sebab rendahnya
produktivitas sapi perah domestik. Dari aspek pemuliaan sejumlah argumentasi diajukan untuk menjawab mengapa
produktivitas tersebut masih rendah . Pada sisi penggunaan pejantan impor (semen beku) antara lain : 1)
diperkirakan terjadi interaksi genotipa dan lingkungan yang mengakibatkan keturunan pejantan impor tidak mampu

251
KusumA DiwYANTo et al. : Pengkajian Sistem Budidaya Sapi Perah untuk Meningkatkan Produktivitas

mengekpresikan pewarisan keunggulan genetik produksi susu secara baik, 2) sejurnlah pejantan perah impor yang
ada di BIB kemungkinan memiliki daya pewarisan produksi susu tidak lebih baik dari sapi-sapi betina resipien
(mengimpor waiting dan young bull), 3) psda sebagian wilayah kemungkinan telah terjadi kasus inbreeding akibat
penggunaan pejantan dalam waktu cukup lama. Sementara pada sisi penggunaan sapi betina impor (elit dan
commercial stock) disebabkan antara lain : 1) kesulitsn sapi-sapi tersebut untuk beradaptasi pada lingkungan
barunya terutama pada pemeliharaan di daerah dataran rendah, dsn 2) sapi betina (commercial stock) yang diimpor
tidak terekomendasi berkemampuan produksi susu tinggi .
Sapi Fries Holland merupakan salah satu rumpun sapi perah yang dikenal mempunyai kemampuan produksi
susu dan reproduksi tinggi di daerah beriklim sedang . Prestasi tersebut dapat dipertahankan apabila pemeliharaan di
daerah tropis Indonesia dilakukan pada daerah pegunungan yang memiliki suhu dan kelembaban udara dalam
kisaran kenyamanannya untuk berproduksi, yakni dengan suhu sekitar 18,3 ssmpai 21,1 C dengan kelembaban
udara diatas 55 persen (Wright dalam Atmadilaga, 1959) . Ekspansi budidaya pada dataran rendah yang memiliki
suhu dsn kelembaban udara jauh melebihi kondisi optimal yang diinginkan, menimbulkan cekaman lingkungan
panas sehingga menunukkan keseluruhan produktivitas sapi FH, termasuk kemampuannya untuk menghasilkan
susu. Cekaman semakin diperbesar dengan rendahnya kualitas ransunf, serangan penyakit, dan parasit yang subur
berkembang di lingkungan daerah tropis.
Produksi susu dan sejumlah sifat bernilai ekonomis lainnya (seperti bobot, laju pertumbuhan dan efisiensi
pakan) pada ternak (sapi perah) merupakan sifat yang dikendalikan oleh banyak gen (kuantitatif), sehingga
ekspresinya merupakan akumulasi dari pengaruh genetik, lingkungan, dan interaksi keduanya . Secara umum sapi
perah rumpun FH membutuhkan persyaratan komponen lingkungan eksternal mendekati kondisi di daerah asal
pengembangannya . Akan tetapi pada skala individual, ditemukan variasi genetik dan daya adaptasi yang luas antara
ternak yang memungkinkan sejumlah sapi perah dapat terus berproduksi susu tinggi dalam kondisi .lingkungan
pemeliharaan di daerah tropis. Pengamatan di daerah sentra produksi susu kabupaten Bandung Jawa Barat oleh BIB
Lembang dan GKSI Jswa Barat tahun 1994/1995 sebagai diinformasikan (PALLAWARUKKA, 1999) menunjukkan
sekitar 32,85 % dari 1.464 ekor sapi laktasi yang dievaluasi di peternakan rakyat mampu mencapai produksi susu di
atas 4500 kg per laktasi . Pengamatan yang dilakukan team Balitnak (SITEPU et al., 1996) di Lembang, Pangalengan,
Baturraden, Ciwidey, Parongpong, dan 94 perusahaan sapi perah di Jswa Barat membuktikan pula luasnya variasi
produksi susu sapi FH, berkisar antara 5 - 30 liter per ekor per hari dan sekitsr 15 - 41 % mempunyai produksi susu
melebihi 15 liter per ekor per hari .
Dengan demikian perbaikan mutu genetik ternak yang dilakukan dengan menerapkan suatu pola perkawinan
yang direncanakan perlu diikuti dengan tindakan seleksi . Seleksi ini bertujuan memilih pejantan dan betina
"unggul" untuk dipakai sebagai sumber materi genetik bagi generasi berikutnya. Pemakaian sapi pejantan dan
betina yang sudah teruji "unggul" untuk berproduksi susu pada lingkungan pemelihaaan tropis di Indonesia akan
lebih menjamin pewarisan superioritas tersebut pada keturunanya dibandingkan sapi impor. Berkaitan dengan hal
ini, BIB Singosari sebagai unit pelaksana teknis pembibitan dengan fungsinya sebagai penghasilR aemen beku
pejantan (perah dan daging) unggul bekerjasama dengan JICA (proyek ATA-233) mulai melaksanakan uji zuriat
sebagai langkah fntisan untuk mengidentifikasi superioritas pejantan sapi perah impor (Jepang) dengan kondisi
pemeliharaan di peternakan rakyat (HEDAH, 1995). Uji zuriat yang telah diselesaikan pada dua tahapan, pertama
tahun 1986 s/d 1993 (menggunakan tiga pejantan) dan kedus tahun 1989 s/d 1995 (menggunakan lima pejantan),
memang membutuhkan dana, tenaga, dan sarana yang besar. Pelaksanaan di lapangan meliputi propinsi Jawa Barat,
Jawa Tengah, dan Jswa Timur, juga menghadapi banyak kendala teknis seperti menunukkan ternak dan peternak
peserta pengujian, masalah pencatatan produksi susu, keterbatasan pakan dan manajemen, gangguan kesehatan
(penyakit), dan tingkat mutasi sapi yang tinggi.
Meskipun demikian langkah awal pengujian ini memberi manfaat berarti pada proses sosialisasi akan arti
pentingnya identifikasi dan penggunaan pejantan bermutu genetik unggul bagi segenap pelaku yang terlibat, pihak
pengguna, dan pengambil kebijakan . Kegiatan lain yang juga menjadi landasan dalam membangun struktur
perbibitan sapi perah domestik adalah usaha menyediakan sapi betina pengganti (replacement stock) dengan
kualitas baik. Balai Pembibitan Temak dan Hijauan Makanan Temak (BPT-HMT) Baturraden, sebagai unit
pelaksana teknis Dit. Jen . Peternakan khususnya di bidang pembibitan sapi perah betina, dalam waktu yang cukup
lama sudah menjadikan evaluasi daya produksi susu (MPPA) sebagai kegiatan rutinitas mereka. Hasil evaluasi
kemudian dikualifikasi kedalam kelompok bibit elit (elite cow), perbanyakan (multiplier cow), dan dan niaga
(commercial cow). Selanjutnya sapi-sapi bibit diberi sertifikasi sehingga memberikan kejelasan prestasinya dalam
menghasilkan susu.

252
Laporan Bagian Proyek Rekayasa Teknologi Peternakan ARMP-11 Th. 199912000

b. Konsolidasi perbalkan genetik

Untuk mempercepat Konsolidasi dan laju perbaikan genetik sapi perah, secara konseptual telah ditetapkan
strategi perbibitan sapi perah nasional melalui pembentukan strata piramida terhadap kelompok populasi dasar sapi
perah di dalam negeri . Berdasarkan total populasi sapi perah yang diperkirakan sekitar 320.000 ekor, ditetapkan 5
atau 16 .000 ekor sapi dengan produksi susu tertinggi sebagai populasi dasar (foundation population). Populasi
dasar tersebut selanjutnya dikualifikasikan masing-masing 10 % (l .600 ekor) terbaik sebagai bibit dasar, 30
(4 .800 ekor) berikutnya sebagai bibit pembiak, sedangkan 60 % terakhir (9 .600 ekor) sebagai bibit niaga. Perbaikan
mutu genetik direncanakan menerapkan program pemuliaan inti terbuka (open nucleus breeding scheme) yang
memungkinkan gen-gen pejantan unggul mengalir dari bibit dasar ke pembiak dan dari pembiak mengalir ke
koMersial, sebaliknya dalam jumlah kecil memungkinkan adanya pemasukkan gen-gen betina unggul pada afran
sebaliknya (DIWYANTO et al ., 1997) . Konsepsi pembentukan kelompok inti ini bertolak dari keinginan untuk
menjaring dan memanfaatkan sapi-sapi betina unggul dalam populasi dasar sebagai penghasil replacement stock
berkualitas di daerah sentra produksi susu . Upaya awal dilakukan dengan mengevaluasi performan sapi-sapi perah
betina di sejumlah sentra produksi yang prospektif untuk dikembangkan sebagai pusat pembibitan pedesaan (vilage
breeding centre) pada tiga propinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur . Evaluasi performan ditempuh
dengan mengumpulkan data produksi susu setiap bulanan dari sapi-sapi laktasi untuk tiga kali periode laktasi pada
peternak dengan skala pemilikan ternak cukup besar di sejumlah daerah padat temak . Pengumpulan data dilakukan
oleh petugas Dinas Peternakan (TK I dan TK II) yang diteruskan ke BPT-HMT Baturraden untuk dievaluasi
performan produksi susunya, diperingkat sesuai dengan kriteria yang ditetapkan, kemudian diberikan sertifikat .
Tahap berikutnya direncanakan akan dilakukan program perkawinan dengan mengikuti konsep program pemuliaan
inti terbuka. Hasil evaluasi sementara menunjukkan masih ditemukan cukup banyak kendala dalam pelaksanaan
kegiatan penilaian performan, baik secara teknis, ekonomis, maupun sosial .

c. Kendala pembibitan sapi perah

Kegiatan pembibitan memang disadari merupakan salah satu input produksi yang penting dari
pengembangan sapi perah nasional . Beberapa kendala dan masalah yang dihadapi dalam usaha pembibitan sapi
perah di dalam negeri antara lain
a. Produktivitas sapi perah domestik masih rendah,
b. Pemeliharaan sapi perah oleh petemak dalam jumlah kecil sehingga mutasi cepat terjadi,
c. Program replacement bibit belum terlaksana dengan baik,
d. Masih belum berkembangnya program rearing calf turunan pejantan unggul,
e. Perangkat pendukung kegiatan seleksi belum operasional (SDIvI '-kelembagaan, asosiasi, dan pencatatan
produksi susu) .
Berdasarkan uraian di atas, kegiatan perbibitan sapi perah di dalam negeri sebenarnya sudah mulai
dilakukan oleh sejumlah pihak terkait, hanya masih perlu diformulasikan secara selaras antara konsepsi pembibitan
(program pemuliaan) dengan kondisi (potensi dan kendala) yang ada di lapangan, agar langkah operasional untuk
menghasilkan sapi perah bibit sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan dapat lebih direalisasikan .

2 . Pengadaan Pakan

Terkonsentrasinya sebagian besar penduduk berikut ekspansi sejumlah aktivitas kehidupannya di pulau
Jawa, merupakan sumber potensial dalam merubah fungsi lahan secara cepat antara lain untuk memperluas area
pemukiman, industri, pabrik, dan fasilitas penunjang Isinnya. Pergeseran fungsi sejumlah lahan yang sebelumnya
merupakan area produktif bagi usaha pertanian, memberi konsekuensi logis berupa penyempitan lahan yang
diperuntukkan bagi pengembangan ternak termasuk area untuk beternak sapi perah beserta berbagai perangkat
pendukungnya. Dengan semakin menyempitnya lahan usaha ini, telah membentuk integrasi yang kuat antara
kegiatan usaha tani dan budidaya sapi perah pada skala peternakan rakyat. Hal ini dapat dimengerti karena lahan
produktif yang tersedia akan mendapatkan prioritas lebih besar bagi tanaman pangan yang mempunyai peranan
strategis, dibandingkan untuk tanaman pakan hijauan (rumput dan leguminosa). Pada kondisi demikian terbentuk
keterkaitan usaha yang saling komplemen antara keduanya seperti - sisa hasil -perbanian diperuntukkan menjadi
sumber pakan ternak, sebaliknya pupuk berperan dalam meningkatkan kesuburan lahan pertanian, yang akan
menjamin keberlanjutan eksistensi keduanya .

25 3
KusumA DIwyANTO et al. : Pengkajian Sistem Budidaya Sapi Perah untuk Meningkatkan Produktivitas

a. Pengadaan Hfjauan

Seperti kita ketahui budidaya sapi perah di pulau Jawa selama ini lebih merupakan usaha yang terintegrasi
dengan pola pertanian tanaman pangan . Yang memberikan makna walaupun sejumlah petemak menjadikan
kegiatan beternak sapi perah sebagai lahan usaha pokok mereka, tetapi proses budidaya yang dijalankan
berinteraksi secsra kuat dengan kegiatan usaha tani. Pada kondisi dengan keterbatasan lahan dan modal, maka
limbah pertanian merupakan salah satu sumber pakan hijauan yang potensial untuk diperoleh peternak, disamping
hasil panen rumput alami. Dengan pemilikan lahan untuk penanaman hijauan (rumput dan leguminosa) yang sangat
sempit, maka pengadaan pakan hijauan petemak sangat bergantung pada pola, jenis, dan musim tanpm dari usaha
tani tanaman pangan. Sejumlah sisa hasil pertanian seperti jerami padi, jerami kacang-kacangan, pohon jagung, dan
daun singkong sering dipakai untuk mencukupi kebutuhan hijauan, terlebih pada kondisi sulitnya mendapatkan
hijuan berkualitas selama musim kemarau .
Pola budidaya yang umumnya masih diterapkan secsra tradisional, terlihat jelas dari masih rendahnya
introduksi teknologi pengadaan pakan yang diadopsi oleh peternak. Mekanisme pengadaan input produksi seperti
penyediaan hijaun pada kondisi demikian, lebih didominasi oleh pengaruh eksternal dari berbagai komponen
agroekosistem yang ada. Dirasa masih belum ada sisipan teknologi pakan yang mampu mengantisipasi fluktuasi
ketersediaan hijauan akibat dari perubahan kondisi eksternal, yang akan menjaminan stabilitas pengadannya tanpa
terikat dimensi ruang dan waktu. Sebagai contoh saat musim hujan dimana ketersediaan pakan hijauan cukup
melimpah, belum bisa dimanfaatkan secara baik oleh petemak untuk melakukan pengawetan hijauan yang
berlebihan dengan membuat silase atau hay untuk mengatasi kesulitan pengadaan pakan selama musim kemarau
berlangsung. Penyuluhan bagi aplikasi teknologi pakan tersebut sudah lama dimunculkan, namun peternak masih
enggan melakukan dengan alasan akan mengkonsumsi modal, waktu, dan tensga yang tidak sedikit. Pada beberapa
lokasi, ditemukan sejumlah cara dilakukan oleh petemak dalam mengatasi kendala penyediaan pakan hijauan
misalnya dengan mendatangkan hijauan dari tempat lain yang diperoleh baik dengan mencari atau membeli atau
dengan menitipkan sebagian sapi untuk dipelihara oleh orang lain selama musim kemarau berlangsung.
Aplikasi teknologi sederhana guna meningkatkan kuantitas hijauan melalui intensifikasi produksi dengan
cam menanam berbagai varietas rumput dan legume unggul pada lahan yang belum dimanfaatkan secara. optimal
seperti pekarangan, lahan kosong, tegalan, pinggir hutan, juga masih belum banyak dikerjakan . Namun pada
sejumlah daerah perkebunan dan kehutanan terlihat mulai ada jalinan diversifikasi usaha dengan sisa limbah
perkebunan dipakai sebagai pakan ternak, sementara terjadi integrasi penanaman hijauan di wilayah perkebunan.

b. Pengadaan Konsentrat.

Salah satu kegiatan koperasi yang menonjol dalam pengadaan sapronak bagi peternak adalah "menyebabkan
pakan konsentrat. Pakan konsentrat yang diperlukan peternak seluruhnya dipenuhi oleh koperasi yang menjadi
wadah pembinaan masing-masing dan hampir semua koperasi di pulau Jswa telah mempunyai pabrik pengolahan
konsentrat dengan kapasitas yang cukup bervariasi . Pada saat ini sebagian besar peternak merasa kesulitan untuk
mendapatkan konsentrat dengan kualitas baik dan murah harganya. Kesulitan pengadaan sebagian bahan baku
impor selama tahun-tahun terakhir seperti pengadaan wheat pollard, tepung ikan, dan bungkil kedele menyebabkan
menurunnya kualitas konsentrat yang diterima peternak dan harganya juga mengalami kenaikan cukup tinggi.
Pengamatan yang baru dilakukan di daerah sekitar Boyolali, Banyumas, dan DI Yogyakarta menunjukkan
kecenderungan penurunan pemberian konsentrat oleh petemak sampai menjadi 3 - 5 kg pada sapi laktasi akibat
harganya yang semakin sulit dijangkau. Sejumlah koperasi mengambil inisiatip untuk meningkatkan penggunaan
bahan baku lokal dalam memproduksi pakan konsentrat seperti penggunaan dedak, bungkil biji kapuk, onggok dan
lainnya. Penggunaan bahan baku lokal sedikit dapat menekan mahalnya harga konsentrat namun mengakibatkan
penurunan nilai nutrisi ransum di bawah kebutuhan sapi perah untuk berproduksi susu dengan baik.

3. Aplikasi Inseminasi Buatan

Teknologi kawin suntik atau IB merupakan teknologi reproduksi yang relatif mudah dan murah untuk
diaplikasikan guna meningkatkan populasi dan produktivitas ternak ruminansia besar. Sebagai dicanangkan dalam
pidato Presiden pada bulan Januari 1997, teknik IB diterapkan menjadi teknologi andalan untuk :meningkatkan
populasi dan produktivitas temak ruminansia besar pada skala nasional, dengan target produksi semen beku
sebanyak 2,5 ribu dosis per tahun . Dengan demikian teknologi ini telah diterapkan pula pada hampir seluruh sapi
perah betina di pulau Jswa. Konsep perkawinan sebagai yang digariskan pemerintah pada sapi perah melalui

254
Laporan Bagian Proyek Rekayasa Teknologi Peternakan ARMP-It Th. 199912000

aplikasi IB adalah melakukan perbaikan mutu genetik ke arah darah FH dan sebagian kecil lainnya untuk
disilangkan dengan sapi perah Bos indicus untuk dikembangkan pada daerah dataran rendah . Akan tetapi dalam
perkembangan selanjutnya, sapi perah silangan dengan Bos indicus ini tidak begitu berkembang, sehingga kegiatan
produksi semen beku lebih terfokus pada sejumlah galur dari breed FH .

a. Struktur Organisasi Pelayanan IB

Teknologi IB dengan menggunakan semen cair mulai dikenalkan pada sapi perah di Jawa Barat sejak tahun
1962, selanjutnya diintroduksi semen beku pada tahun 1972 . Sebagai upaya untuk mendukung keberhasilan
mekanisme pelaksanaannya, teknik IB berkembang menjadi sistem yang besar dengan struktur organisasi yang
lengkap, berikut fasilitas pendukung dan SDM yang terlibat mulai dari BIB sampai di tingkat desa.
Sebagian besar produksi semen beku di dalam negeri bersumber dari pejantan impor yang diperbanyak oleh
BIB Lembsng dan Singosari. Hanya dalam jumlah kecil semen beku diimpor langsung oleh GKSI/KUD seperti
importasi semen beku dari Canada melalui kerjasama Canada Cooperation Agency (CCA) . Penentuan kapasitas
produksi semen beku per tahun ditentukan oleh Direktorat Bina Produksi Temak, Dit. Jen. Petemakan. Sementara
distribusinya bergantung pada kebutuhan dan kemampuan setiap propinsi dalam memberikan pelayanan IB di tahun
sebelumnya. Bersama dengan hasil evaluasi pada kemampuan, fasilitas, dan ketersediaan SDM, kemudian
ditentukan target kebutuhan semen beku tahun untuk berikutnya .

b. Distribusi dan kualitas semen beku

Kualitas semen beku merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan dalam mencapai keberhasilan
angka konsepsi melalui perkawinan IB . - Sedangkan kualitas semen beku akan ditentukan oleh sistem
pendistribusiannya, fasilitas penyimpanan, ketersediaan N2 cair selama penyimpanan, dan penanganan semen.
Distribusi semen beku pada sapi potong (dsn kerbau) relatif lebih kompleks dibandingkan sapi perah
(Gambar 1) . Berbeda dengan sapi potong, mekanisme distribusi semen beku pada sapi perah ditangani secara
intensif oleh koperasi susu . Pendistribusian dimulai dari BIB Lembang dan Singosari ke GKSI di tingkat propinsi,
kemudian dikirim ke KUD di tingkat kabupaten, terakhir dikirim sampai pada inseminator di kecamatan.

Pusat Produksi Semen Beku


BIB

Unit Koleksi I TK . Propinsi


GKSI

Unit Koleksi II . TK. Kabupaten


KUD

Pelayanan IB di Petemak
Inseminator

Gambar 1. Bsgan Distribusi Semen Beku Sapi Perah

25 5
KusumA DtwyANTO et at. : Pengkajian Sistem Budidaya Sapi Perah untuk Meningkatkan Produktivitas

Kualitas semen beku selama proses distribusi ini akan sangat dipengaruhi oleh penyimpanan dan-
penanganan pada tingkat propinsi, kabupaten, kecamatan, sampai desa. Selama penyimpanan dan penanganan akan'
ditentukan oleh ketersediaan NZ cair dan fasilitas pendukung seperti container dan termos penyimpanan straw. Agar
diperoleh angka konsepsi yang tinggi, seharusnya kualitas semen beku pada setiap depo persinggahan dapat terus
dipertahankan dalam kondisi baik, sehingga setelah thawing di tingkat inseminator masih mempunyai motilitas
spermatozoa, konsentrasi semen, dsn jumlah spermatozoa hidup pada taraf efektif untuk menjadikan kebuntingan
sapi resipien . Kualitas semen beku yang disimpan di GKSI diharapkan masih sama dengan kualitasnya di BIB .
Semen beku yang diproduksi oleh BIB biasanya dikemas dalam straw mini dengan kapasitas 0,25 cc berisi sekitar
25 juts sperma. Hasil evaluasi setelah thawing setidaknya memberikan persentase sperma hidup lebih dari 40 %,
denganzcore motilitas individual dari 2+ sampai 3+ (Dit. Jen. Petemakan, 1997), sehingga jumlah sperma hidup
diperoleh sedikitnya 10 juts (40% x 25 juts) per straw, agar dapat dipertahankan kualitas sperma setelah thawing di
lapangan sekitar 5 - 10 juts ekor dengan score motilitas > 2 (SALISBURY dan VAN Demark, 1985) .

e. Kondisi IB di Lapangan

Pengkajian pada beberapa daerah produksi sapi perah menunjukkan masih bervariasinya tingkat kinerja IB
dari lokasi ke lokasi . Apabila dilihat dari sejumlah parameter reproduksi seperti angka tidak kembali bunting
(NRR), angka kebuntingan (CR), dsn kawin per kebuntingan (S/C), teknik IB pada suatu lokasi sudah memberikan
kinerja cukup baik, sebaliknya pada sejumlah lokasi lain masih perlu terus diperbaiki teknis pelaksanaannya agar
diperoleh angka kebuntingan semakin meningkat . Perbaikan tentunya perlu diupayakan secara simultan antara
keempat faktor penentu utama dengan mengidentifikasi sejumlah komponen dari setiap faktor tersebut untuk
diberikan prioritas penanganannya .

4. Tstalaksana Pemeliharaan

Kondisi budidaya sapi perah pada peternakan rakyat umumnya dilakukan pada skala pemilikan ternak dalam
jumlah yang terbatas . Keterbatasan lahan dan modal yang dimiliki oleh sebagian besar peternak menyebabkan
sulitnya peningkatan jumlah pemeliharaan temak. Pada sebagian besar peternak dengan skala pemilikan yang kecil
ini pemeliharaan sapi perah biasanya merupakan suatu usaha sampingan dengan mata pencaharian pokok mereka
adalah sebagai petani tanaman pangan ataupun pekerjaan lainnya . Pemeliharaan temak terutama ditujukan untuk
memanfaatkan limbah hasil pertanian sedangkan kotorannya dipakai sebagai-pupuk untuk menyuburkan lahan
pertanian .
Akan tetapi pada daerah sentra produksi susu umum ditemukan peternak yang menjadikan sapi perah
sebagai mata pencaharian pokok mereka, dengan pemelihaaan ternak dilakukan secara intensif dalam jumlah
cukup besar. Budidaya yang dijalankan lebih berdasarkan pada pertimbangan nilai ekonomis dari hasil usaha .
Peternak yang menjadikan budidaya sapi perah sebagai usaha pokok akan memberikan perhatian penuh dalam
pengelolaan sapi perahnya, seperti memberi pakan dengan kualitas dan kuantitas yang memadai, menjaga
kebersihan kandang, memelihara kesehatan ternak secara teratur, dan menjga kualitas susu yang dihasilkan. Hal ini
dimaksudkan untuk dapat menghasilkan susu segar dalam jumlah dan kuantitas yang akan memberikan nilai
penjualan tertinggi agar diperoleh tingkat kelayakan ekonomis yang baik dari pemeliharaan sapi perah .

LINGKUP PENYUSUNAN KONSEP KEBIJAKAN BUDIDAYA SAPI PERAH NASIONAL

Konsep Efisiensi pada Budidaya Perah

Industri persusuan sapi perah nasional merupakan bentuk rangkaian kegiatan organisasi vertikal dari
sejumlah aspek produksi meliputi pengadaan input produksi, budidaya, pasca panen dan pengolahan, distribusi, dan
pemasaran . Sedangkan erisiensi secara konseptual memberikan makna peningkatan daya guna input produksi
sebesar-besarnya guna mencapai output produksi secara maksimal. Dalam penyusunan konsep budidaya sapi perah
yang menjadi tujuan dari kegiatan ini, efisiensi mempunyai makna lebih luas bila bertolak dari pemikiran
bahwasanya budidaya sapi perah merupakan kegiatan industri biologis dimana pencapaian output produksinya
merupakan hasil resultan dari keseluruhan komponen produksi mencakup potensi agroekosistem, petemak sebagai
pelaku produksi, ternak sebagai mesin biologis, serta sarana pendukung lainnya . Bertolak dari pemikiran ini, maka

256
Laporan Bagian Proyek Rekayasa Teknotogi Peternakan ARMP-lt Th . 199912000

pencapaian efisiensi sebagai yang disusun dalam konsep kebijakan budidaya sapi perah disini akan dilakukan
melalui dua pendekatan berikut
1. Penggunsan input produksi secara maksimal untuk memperoleh output produksi secara maksimal . Disini
budidaya sapi perah lebih diarahkan pada orientasi bisnis, sedangkan aspek penting yang perlu diperhatikan
dalam mencapai efisiensi adalah dengan merekayasa suatu organisasi produksi dan teknologi berskala ekonomi
sehingga struktur biaya benar-benar mencerminkan pengorbanan sumber daya.
2. Penggunsan input produksi pada tingkat moderat (minimal) untuk mendapatkan output produksi secara
optimal. Disini lebih diarahkan pada budidaya kerakyatan artinya produksi susu yang ditargetkan hanya pada
tarafmoderat saja, tetapi dengan alokasi komponen produksi tertanggung oleh petemak.
Selanjutnya taraf efisiensi yang ingin dicapai pada keseluruhan sistim industri persusuan nasional akan
ditentukan oleh kinerja setiap sektor organisasi produksi mulai dari simpul paling hulu atau pengadaan input sampai
pemasaran dari alur vertikal sistem agribisnis sapi perah nasional . Dengan demikian efisiensi yang ingin dicapai
dalam proses budidaya sapi perah tidak terlepas dari tingkat efisiensi yang diperoleh dari sektor praproduksi atau
pengadaan input produksi .

2. Target Penyusunan Konsep Kebijakan Budidaya Sapi Perah

Pengembangan konsep kebijakan budidaya sapi perah akan dimulai dari identifikasi kendala dsn
permasalahan dari berbagai komponen budidaya (pemuliaan, pemberian pakan, tatalaksana pemeliharaan, dan
pengendalian penyakit) dikaji dari berbagai sisi terkait mencakup agroekosistem, SDM pelaku dan yang terlibat,
ternak sapi perah, kelembagaan, dukungan fasilitas/sarana dan jasa . Berbagai faktor penentu yang menjadi kendala
dari setiap aspek budidaya perlu mendapatkan perbaikan yang perlu dijabarkan dalam jangka pendek, menengah,
dan panjang. Dengan demikian target penyusunan konsep kebijakan budidaya pada jangka pendek diprioritas pada
perbaikan teknis yang bersifat mendesak untuk diperbaiki, pada jangka menengah mencari alternatif yang lebih
mengarah kepada penggunaan faktor input produksi untuk meningkatkan efisiensi budidaya, sedangkan dalam
jangka panjang perlu dikembangkan budidaya sapi perah yang mengarah pada kedua pendekatan efisiensi yang
ingin dicapai serta terus meningkatkan keuntungan komparatif seluas-luasnya dari budidaya sapi perah. Oleh
karenanya budidaya sapi perah pada masa mendatang ditargetkan untuk dapat meningkatkan produktivitas,
pendapatan, dan kesejahteraan secara lebih meluas pada segenap komponen budidaya dsn keseluruhan aspek
produksi dari agribisnis sapi perah nasional .

BUDIDAYA SAPI PERAH YANG DIREKOMENDASIKAN PADA MASA MENDATANG

1. Strstegi Pemuliaan

Strategi yang perlu diterapkan bagi kebijakan pemuliaan sapi perah di masa mendatang adalah
mengembangkan sapi perah bibit yang mampu mengekspresikan potensi genetik sesuai dengan agroekosistem
tempat pemeliharaannya atau lebih bersifat spesifik lokasi. Dengan mengembangkan sapi perah bibit yang mampu
mengekspresikan kemampuan produksi susu dan daya adaptasi secara baik pada kondisi agroekosistem
pemeliharaannya, diharapkan akan tercapai tingkat efisiensi produksi secara maksimal, yang pada akhimya dapat
memberikan tingkat kesejahteman secara lebih baik pada petemak (D'Occhio, 1998). Untuk menghasilkan sapi
perah bibit "unggul" pada pengembangan budidaya berorientasi spesifik lokasi tersebut, maka diperlukan sejumlah
altematif perkawinan seperti out crossing, dan cross breeding sebagai upaya untuk menghasilkan perpaduan
komposisi genotipa sifat produksi susu dan adaptabilitas sesuai lingkungan budidaya sapi perah.

a. Program out crossing

Perkawinan out crossing bertujuan untuk terus memperbaiki mutu genetik sapi perah FH . Tujuannya sebagai
sumber sapi perah bibit terutama di daerah sentra produksi susu pada dataran tinggi di pulau Jawa. Untuk mencapai
perbaikan mutu , genetik sapi perah FH secara berkesinambungan, diperlukan dukungan program pembibitan
mencakup serangkaian aktivitas terpadu mulai dari penjaringan pedet jantan dan betina keturunan pejantan unggul
sampai pada pemanfaatan sapi perah yang telah teridentifikasi unggul melalui penerapan program perkawinan
secara terarah. Peternakan sapi perah rakyat pada masa mendatang nampaknya akan tetap menjadi basis produksi

25 7
KUSUMA DIWYANTO et at. : Pengkajian Sistem Budidaya Sapi Perah untuk Meningkatkan Produktivitas

bibit sapi perah FH domestik, sedangkan dalam jumlah lebih kecil akan dihasilkan pula oleh perusahaan sapi perch.,.,
Dengan demikian struktur pembibitan sapi perah memerlukan langkah-langkah terpadu, terfokus, dan terarah yang
mampu mengakomodir segenap potensi SDM, fasilitas, kelembagaan, sarana dan prasarana pendukung yang ada
untuk mengoperasionalkan program perbibitan sapi perah FH lokal pada jumlah dan kualitas yang baik di dalam
negeri .
Operasionalisasi dari kegiatan pembibitan dimulai dengan upaya membangun populasi dasar sapi perah FH
pada berbagai daerah sentra petemakan sapi perah. Pembentukan populasi dasar perlu menekankan sasaran pada
peternak dengan pernilikan sapi dalam jumlah besar, dengan manajemen baik, dan merupakan usaha pokok.
Pertimbangan tersebut diperlukan dalam menjamin kelangsungan usahanya, sehingga dapat mendukung kelancaran
pelaksanaan program pembibitan . Pada tahap awal ditargetkan mencapai sasaran terbentuknya strata piramida
dengan -kualifikasi bibit dasar, induk, dan komersial berdasarkan tampilan kemampuan produksi susu yang jelas.
Untuk dapat membangun populasi dasar tersebut, diperlukan adanya koordinasi yang efektif dan mantap dari setiap
kelembagaan pembibitan sapi perah mulai dari tingkat daerah sampai skala nasional yang akan membentuk jalinan
kerja secara sinergis sesuai dengan peran dan fungsi setiap kelembagaan dalam menggali segenap potensi bagi
pengembangan pembibitan peternakan rakyat .
Langkah-langkah operasional yang diperlukan meliputi beberapa tahapan sebagai berikut

Pembentukan kelompok bibit dasar


" Pemilihan lokasi yang menjadi daerah pengembangan pembibitan . Pertimbangannya mendasarkan kepada
adanya dukungan agroekosistem yang sesuai, terletak pada dataran tinggi, populasi ternak cukup padat,
kelembagaan (koperasi/KUD) baik, sarana dan prasarana mendukung.
" Kegiatan pemuliabiakan dalam kelompok bibit dasar (foundation stock) mencakup pencatatan (silsilah,
reproduksi, dan produksi susu), evaluasi (uji performans dan uji zuriat), seleksi, dan sertifikasi bibit. Pada
kelompok ternak bibit dasar ini dapat diintroduksi sejurnlah teknologi pemuliaan mutakhir, sehingga
memberikan respon seleksi lebih cepat dibandingkan metoda konvensional . Demikian pula dapat diterapkan
teknologi reproduksi canggih, sehingga dapat meningkatkan jumlah ternak unggul dalam jumlah besar (masal)
dalam waktu singkat.
" Pengadaan kelompok bibit dasar pada saat ini masih dapat dibantu dengan importasi pejantan FH unggul atau
semen bekunya (outcrossing) dan embrio sapi betina FH elit seperti yang sudah dilakukan selama ini.
" Pengembangan unit pembesaran sapi (rearing unit) melalui UPT Dit. Jen . Peternakan (BET, BIB dan BPT-
HMT) dan swasta (KUD/GKSI) untuk menampung pedet jantan dan betina sebagai calon bibit.
" Pembentukan jaringan recording sapi perah, yang merupakan kerjasama antara berbagai institusi terkait (BET,
BIB,_Badan Litbang Pertanian, Asosiasi, Perguruan Tinggi, koperasi/KUD/GKSI) .
" Pelayanan reproduksi dan kesehatan, seperti misalnya penerapan Dairy Herd Improvement Program yang
sudah dilakukan dalam kerjasama antara BIB Singosari dan Jepang (JICA-ATA 300) untuk mendukung
keberhasilan program uji zuriat .
" Perbanyakan (multiplikasi) bibit unggul yang selanjutnya dipergunakan sebagai materi perbaikan genetik bagi
kelompok bibit induk dcn komersial.

Pembentukan kelompok bibit induk dan komersial

Pengembangan kelompok bibit induk dan bibit komersial mempunyai tahapan proses yang sama dengan
kelompok bibit dasar, hanya terdapat penyederhanaan proses dalam kegiatan pemuliabiakan. Kegiatan pemuliaan
dan reproduksi pada kedua kelompok bibit dilakukan lebih sederhana, yang cenderung lebih banyak
mengaplikasikan teknologi konvensional . Hal ini berkaitan dengan fungsi dari kedua kelompok bibit (induk dan
komersial) sebagai lapisan bawah yang memerlukan perbaikan produktivitas secara terus-menerus dari keunggulan
genetik lapisan teratas (elit) . Meskipun demikian dengan jumlah bibit induk dan komersial yang jauh lebih besar
dibandingkan bibit elit, maka keduanya turut mempunyai andil yang besar dalam menyumbang produksi susu
nasional . Peranan kedua lapisan bibit semakin menonjol pada wilayah perkotaan di dataran rendah yang dekat
dengan jalur distribusi dan pemasaran susu segar.

25 8
Laporan Bagian Proyek Rekayasa Teknologi Peternakan ARMP-11 Th. 199912000

b. Persilangan (Crossbreeding)

Pada daerah pengembangan produksi yang umumnya berada di wilayah dataran sedang dan rendah pulau
Jawa, dapat dilakukan program perkawinan silang untuk menghasilkan sapi perah yang mempunyai daya adaptasi
prima terhadap kondisi pemeliharaan yang terbatas, cekaman panas dan infestasi parasit, tetapi mampu berprestasi
pada taraf moderat melalui penggunaan input produksi yang tersedia secara optimal. Program pangadaan sapi perah
bibit melalui perkawinan persilangan ini akan menjadi alternatif dalam mengatasi kesulitan penyediaan input
teknologi fnggi bagi pemeliharaan sapi FH murni di daerah dataran rendah.
Sapi persilangan dengan komposisi genotipa yang diinginkan diperoleh antara lain dengan menyilangkan
sapi perah lokal (PFH) dengan satu atau lebih pejantan perah eksotik daerah tropis (Bos indicus) sampai diperoleh
prnporsi darah yang sesuai, tergantung kepada kepentingan efek heterosis yang dikehendaki dari hasil persilangan
(Syrstad, 1989 ; dan Rutledge, 1995).

2. Pengadaan Pakan

Diperlukan pemecahan bersifat mendesak untuk menggantikan hilangnya sebagian sumber nutrisi (protein)
dari pakan konsentrat akibat sulitnya mendapatkan bahan baku impor dengan nilai nutrisi tinggi (seperti wheat
pollard, tepung ikan, bungkil kedele dan lainnya) . Sebagai pengganti dari kekurangan sumber nutrisi dari pakan
konsentrat, diperlukan ransum sapi perah yang dapat dipenuhi oleh sumber pakan lokal, tidak berkompetisi dengan
penggunaan lain dan dapat terjamin pengadannya. Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah dengan melakukan
penanaman hijauan leguminosa di lahan marginal (kritis), tanah kosong, galangan ataupun pada tepian lahan
pertanian. Jenis leguminosa yang dapat ditanam karena mempunyai kualitas cukup baik untuk dipakai sebagai
pakan ternak antara lain gliricidia, lamtoro, turi, kaliandra dan angsana. Pengadaan bahan baku konsentrat dari
sumber lokal dapat pula diupayakan antara lain melalui pemanfaataan teknologi pengkayaan gizi seperti Urea
Mineral Mollases Block (UMMB), cassapro dan probiotik seperti bioplus.
Untuk mencukupi kebutuhan pakan hijauan (rumput dan leguminosa) dapat dilakukan penanaman pakan
hijauan pada lahan perkebunan dan kehutanan menerapkan pola tanam tumpang sari . Dengan demikian perlu
diciptakan suatu pertanian yang terintegrasi antara subsektor/sektor dan harus dikelola dalam suatu manajemen
yang terpadu menuju prinsip "zero waste" . Pertanian modem dimasa mendatang menuntut keterpaduan pelaksanaan
kepentingan antara departemen misal integrasi antara kegiatan hutan tanaman industri, perkebunan, pertanian
tanaman semusim, petemakan, maupun perikanan dalam suatu lokasi produksi tanpa menimbulkan suatu masalah
kepentingan yang saling bertumpang tindih. Pada wilayah agroindustri dan perkebunan dengan hasil sampingan
limbah industri dan perkebunan yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber pakan ternak serta tidak bersaing
pemanfaatannya, dapat dilakukan prosesing lanjutan untuk menghasilkan pakan komplit seperti dalam bentuk
pellet, cubes ataupun wafer.

Strategi penyediaan ransum yang efisien

Pakan hampir selalu memberikan kontribusi paling besar pada biaya produksi, sehingga tingkat efisiensi
usaha akan sangat dipengaruhi oleh jumlah biaya yang dikeluarkan untuk keperluan pakan sapi perah. Didalam
kondisi usaha peternakan rakyat, tindakan efisiensi ini perlu ditempuh dengan cara menekan biaya pakan serendah
mungkin tetapi masih mencukupi kebutuhan nutrisi sapi laktasi sehingga tidak mengakibatkan penurunan produksi
susu sapi perah. Hal tersebut dapat diupayakan dengan cam memberikan pakan dalam jumlah yang sesuai dengan
kebutuhan sapi laktasi (sesuai dengan potensi genetik, kondisi fisiologis, dan tingkat produksi) serta menggunakan
pakan dengan kandungan nutrisi yang mencukupi (tinggi) tetapi dengan harga yang relatifmurah .
Aplikasi pemberian pakan secara efisien pada budidaya sapi perah yang berorientasi spesifik lokasi perlu
mempertimbangkan potensi dan kendala dari agroekosistem, dalam menyediakan pakan hijauan. Sejumlah faktor
yang dapat menjadi sumber . potensial untuk dipergunakan sebagai pakan hijauan antara lain ketersediaan lahan
untuk menanam rumput dan leguminosa, pola dan jenis tanaman pangan dalam menghasilkan limbah pertanian,
lahan perkebunan dan kehutanan sebagai penghasil limbah perkebunan/kehutanan serta kemungkinan integrasinya
dengan tanaman pakan temak. Selain itu perlu memperhatikan pula nilai nutrisi dan faktor pembatas (zat antinutrisi)
dari pakan hijauan serta aplikasi teknologi yang dapat meningkatkan nilai gizi dari pakan hijauan lersebut. Sejumlah
teknologi pakan yang sudah dapat diaplikasikan dalam meningkatkan nilai gizi hijauan dengan kualitas rendah
antara lain amoniasi, biofermentasi, blok mineral urea-molases, silase, dan hay.

259
KUsUMA DIWYANTO et al. : Pengkajian Sistem Budidaya Sapi Perah untukMeningkatkan Produktivitas

Apabila sudah diketahui potensi (sekaligus kendala) dari wilayah budidaya dalam menyediakan pakan
hijauan, dapat diformulasikan kebutuhan pakan konsentrat standar untuk setiap wilayah spesifik atau agroekosistem
tertentu. Diperiukan kajian bersama antara koperasi susu/GKSI dengan lembaga penelitian atau institusi terkait
untuk menentukan batas wilayah atau agroekosistem yang berbeda antara satu dengan lainnya. Penyusunan pakan
konsentrat diterapkan dengan lebih banyak menggunakan sumberdaya lokal yang tidak bersaing dalam
penggunaannya, mudah dan murah didapat, serta terjamin kontinyuitas pengadaannya . Aplikasi teknologi pakan
yang dapat meningkatkan nilai nutrisi bahan baku pakan lokal akan sangat membantu dalam menyediakan pakan
konsentrat dengan tingkat nutrisi yang baik dan murah harganya. Koperasi susu sebagai pemasok pakan konsentrat
dari sapi perah di peternakan rakyat dituntut untuk terus mencari berbagai alternatif bahan baku penyusun ransum
konsentrat bersumber dari lingkungan yang ada disekitar wilayah kerjanya ataupun dengan mendatangkan dari luar
wilayah apabila dapat diperoleh dengan harga relatif murah. Pada masa mendatang koperasi dituntut untuk dapat
menyediakan pakan konsentrat dengan kandungan nutrisi yang baik tetapi dengan harga beli terjangkau oleh
peternak . Penekanan biaya produksi melalui pemberian pakan konsentrat dengan harga relatif murah akan
memberikan kontribusi secara signifikan dalam meningkatkan efisiensi usaha yang pada gilirannya dapat menjadi
insentip bagi petemak untuk terus meningkatkan produktivitas sapi perahnya.

3. Teknologi Reproduksi

a. Inseminasi buatan

Suatu evaluasi telah dilakukan untuk mengetahui kelayakan kualitas straw (semen setelah thawing) untuk
menginseminasi sapi-sapi resipien di wilayah kerja inseminator pada kecamatan BPT-HMT Baturraden, Kabupaten
Banyumas . Hasil menunjukkan tingkat konsentrasi sperma dalam straw cukup tinggi masing-masing 55,8 juta/cc
dari BIB Singosari dan 63,9 juta per cc dari BIB Lembang, namun rataan persentase hidup dan motilitas semen
diperoleh cukup rendah, yakni 42,0 % dan 37 % untuk BIB Singosari dan 36,0 % dan 28,0 % untuk BIB Lembang.
Akan tetapi pengamatan terhadap jalur distribusi semen beku di propinsi Jawa Barat melalui GKSI ke KUD dan ke
inseminator, nampaknya memberikan hasil lebih baik. Hal ini diperlihatkan dari hasil uji kelayakan kualitas straw
pada tingkat inseminator di Kecamatan Tanjungsari, Kabupaten Sumedang, yang menunjukkan tingkat konsentrasi
sperma, persentase hidup dan motilititas tinggi, berurutan dengan konsentrasi sperma 74,6 juta per cc, persentase
hidup 65 % dan motilitas 53,3 %.
Masih rendahnya kualitas straw di daerah kerja inseminator Kecamatan BPT-HMT Baturraden, Kabupaten
Banyumas dikarenakan masih hadapi hambatan teknis dalam penyediaan NZ cair dan fasilitas penyimpanan semen
beku . Ketersediaan fasilitas/sarana dan penanganan semen beku selama proses distribusi akan sangat berperan
dalam mempengaruhi tingkat efektivitas kinerja IB (seperti SX, NRR, dan CR) pada sapi resipien di lapangan .
Dengan demikian agar dicapai tingkat kinerja IB yang semakin baik, antara lain diperlukan penjaminan
kualitas semen beku selama proses distribusi, penanganan secara baik rantai transportasi dingin (N Z cair) di setiap
depo, pengecekan rutin tanggal kadaluarsa straw di lapangan yang disertai uji petik straw. Kendala yang sering
ditemukan selama proses distribusi sampai ke tingkat inseminator di lapangan antara lain masih kurangnya fasilitas
IB (seperti kurangnya container dan NZ cair) dan belum cukup baiknya penanganan selama penyimpanan dan
thawing semen beku . Disamping itu sejumlah faktor lainnya perlu pula mendapatkan perhatian agar angka
kebuntingan yang diperoleh melalui aplikasi IB dapat terus ditingkatkan, antara lain IB dilakukan tepat waktu,
penentuan radius kerja efektif dari inseminator, serta pemeliharaan kesehatan reproduksi dan tubuh sapi akseptor.

b. Transfer embrio (ET)IMOET

Untuk mempercepat kemajuan genetik pada ternak ruminasia besar khususnya sapi perah, maka sejumlah
teknologi reproduksi yang mampu memberikan terobosan hasil lebih cepat, perlu mendapatkan perhatian baik dari
aspek penelitian, pengkajian maupun penggunaannya. Beberapa teknologi reproduksi sudah mulai diterapkan untuk
mendukung perbanyakan produksi sapi perah betina elit di Indonesia seperti transfer embrio (TE) dan yang
dilengkapi dengan teknik ovulasi ganda (MOET) perlu terus diberikan priotitas dalam pengkajian dan aplikasinya
agar dapat dikembangkan prosedur baku dengan kelayakan teknis dan ekonomis semakin baik.
Aplikasi MOET akan sangat membantu perbanyakan, kelompok sapi perah kelompok elit . Selain itu
multiplikasi dalam jumlah besar pada kisaran waktu relatif bersamaan dari sapi betina (FH) elit akan membentuk
kelompok inti elit yang memungkinkan dilakukan evaluasi mutu genetik produksi susu sapi perah pejantan
berdasarkan penampilan saudara-saudara betinanya (halb- dan fullsibs). Evaluasi pejantan berdasarkan pada

260
Laporan Bagian Proyek Rekayasa Teknologi Peternakan ARMP-II Th. 199912000

informasi saudaranya ini dapat dijadikan sebagai alternatif dalam mengatasi sulitnya melakukan evaluasi pejantan
berdasarkan uji zuriat atau atas dasar performan produksi susu anak-anak betinanya.

c. Fertilisasi In r1tro (FIV) .

Kemajuan pesat dalam bidang IPTEK di negara maju membuka peluang dipergunakan bioteknologi
reproduksi mutakhir sebagai alat guna memproduksi ternak superior yang mampu memenuhi selera pasar
(konsumen). Salah satu contoh dari temuan bioteknologi mutakhir yang secara atraktif dan potensial dapat
dimanfaatkan bagi perbaikan mutu genetik ternak secara cepat dan memperbanyak jumlahnya dalam waktu relatif
singkat adalah teknik pembuahan yang dikenal sebagai fertilisasi in vitro (FIV). Fertilisasi in vitro merupakan suatu
iangkaian kegiatan reproduksi mencakup proses maturasi, fertilisasi dan pembiakan oosit atau sel telur yang terjadi
di luar tubuh. Teknologi FIV dapat dipakai untuk menghasilkan sapi perah kelompok elit secara lebih murah dan
massal dibandingkan teknologi MOET. Penggunaannya teknik perkawinan FIV dapat mengatasi keterbatasan alami
kineda reproduksi ternak ruminansia besar sebagai temak monokotus dengan selang generasi panjang, sehingga
memberi kesempatan untuk memproduksi ternak superior secara lebih cepat.

4. Tatalaksana pemeliharaan

Program manajemen budidaya sapi perah perlu menerapkan prinsip-prinsip ekonomis yang mulai
memperhitungkan tingkat kelayakan dari nilai ekonomi yang diperoleh dari hasil penjualan output usaha atas dasar
alokasi input produksi. Efisiensi usaha dapat dicapai dengan meningkatkan skala usaha sampai batas pemelihaman
ternak yang memberikan keuntungan ekonomi secara layak dari hasil penjulaan susu segar dan sejumlah produk
lainnya (pedetjantan, sapi afkir, dan kotoran) . Kelayakan ekonomi yang dicapai dengan peningkatan skala usaha
dikarenakan peternak memperoleh keuntungan yang lebih besar dari pengadaan input produksi yang menjadi lebih
murah. Meskipun demikian batas skala usaha minimal yang dianggap layak memberikan nilai ekonomis bagi
peternak tersebut tidak dapat ditetapkan secara merata pada setiap lokasi usaha, karena akan tergantung pada biaya
input produksi, tingkat produksi susu yang dihasilkan, dan harga jual output produksi yang cukup bervariasi antara
satu lokasi dengan lokasi budidaya lainnya . Sebagai contoh, berdasarkan pengamatan SIREGAR (1996) di sekitar
Bogor menunjukkan usaha pemeliharaan sapi perah baru akan efisien dan ekonomis apabila memiliki sapi induk
minimal delapan ekor dengan proporsi sapi laktasi dipertahankan sebanyak enam ekor. Namun skala usaha
minimal yang perlu diupayakan agar budidaya sapi perah mampu memberikan tingkat efisiensi dan nilai ekonomis
adalah cukup bervariasi bagi sejumlah lokasi pengamatan.
Kebijakan pemerintah untuk memberikan prioritas pengembangan budidaya sapi perah bagi pemerataan
usaha dan pendapatan masyarakat banyak khususnya di lingkungan pedesaan. Hal ini memberikan makna
bahwasanya budidaya sapi perah perlu diarahkan tidak hanya berorientasi pada perbaikan efisiensi tetapi juga
mencakup pula tujuan memberikan kesejahteman bagi peternak dan masyanakat luas secara adil dan merata. Oleh
karenanya perlu diketahui penentuan skala usaha minimal yang layak untuk ditetapkan dalam budidaya peternakan
sapi perah dengan berorientasi padat karya (di peternak) dan padat teknologi (di perusahaan) . Dengan demikian
pembunaan dapat terus dilakukan untuk mencapai tingkat efisiensi teknis dan ekonomis semakin baik bagi
keseluruhan budidaya sapi perah nasional .

a. Spesialisasi usaha

Berdasarkan kondisi di lapangan, untuk mengatasi kendala pengadaan komponen input produksi (terutama
pakan), ditemukan adanya fenomena spesialisasi usaha pemeliharaan oleh peternak. Didapatkan dalam jumlah
cukup besar peternak yang hanya memelihara sapi perah produktif (laktasi dan kering) untuk menekan biaya
produksi per satuan ternak yang dipelihara, sehingga mereka dapat mengoperasionalkan usahanya secara lebih
efisien. Sementara pengadaan sapi bibit untuk menggantikan sapi betina yang sudah tidak produktif (replacement
stock) biasanya dilakukan dengan membeli sapi betina dara dari pihak produsen yang juga menerapkan usaha
khusus untuk membesarkan sapi (pedet betina dan dara) di daerah lain. Pada kondisi demikian, dapat dilakukan
rekayasa kegiatan organisasi produksi dengan lebih mengarah kepada spesialisasi usaha, sesuai dengan
pengembangan yang terjadi . ' Artinya untuk mencapai efisiensi usaha pada kondisi input produksi terbatas
khususnya bagi peternakan sapi perah rakyat dengan skala pemilikan ternak yang kecil, maka koperasi/GKSI dapat
mengambil alih kegiatan pengadaan sapi pengganti (replacement stock) yang dibutuhkan petemak melalui
spesialisasi usaha produksi pedet (starter), pembesaran, dan sapi dara siap berproduksi.

26 1
KUSUMA DIWYANTO et al. : Pengkajian Sistem Budidaya Sapi Perah untuk Meningktkan Produktivitas

Penanganan kualitas susu segar

Untuk mengetahui kualitas susu segar yang ada mulai di tingkat peternak, pengumpul (subcollecting unit),
dan pusat pengumpulan (collecting center), telah dilakukan pengujian kualitas susu segar pada jalur pengumpulan
susu di Kabupaten Banyumas (Tabel 3).

Tabel 3. Hasil Uji Kualitas Susu Sapi FH pada Jalur Distribusi di Kabupaten Banyumas

Mutu Susu Mutu Susu BPT Standar Mutu


No . Mutu Susu Dataran Tinggi Dataran Rendah Batumaden
Petemak Pengumpul Peternak Pengumpul KUD Kandang Unit
Pending in
I. Kebersihan B B B B B B B B
2. Tes alkohol - - - - - - - -
3. Berat jenis 1,0247 1,0254 1,0280 1,0269 1,0266 1,0260 1,0264 1,0260-1,0280
4. Kadarlemak 3,55 3,50 3,98 3,10 3,25 4,32 4,41 Minimal 3,0
5. Kadarprotein 3,33 3,55 3,99 3,30 3,17 3,58 3,53 Minimal 2,7
6. Derajat asam SH 6,06 6,41 7,71 7,23 7,34 7,43 7,84 Minimal 8,0
7. BKTL 7,36 7,52 8,25 7,81 7,52 7,87 8,17 Minimal 8,0
8. Jumlah bakteri 416 .721 489 .867 378 .799 434 .660 579 .546 289 .922 392 .264 3 .000.000

Kabupaten Banyumas sebagai salah satu daerah sentra produksi susu di Jawa Tengah dapat menghasilkan
susu segar dengan kualitas yang baik. Berdasarkan kandungan komponen protein susu, lemak, dan bahan kering
tanpa lemak susu (BKTL), baik pada tingkat peternak, pengumpul, KUD dan BPT-HMT Baturraden dapat
memenuhi persyaratan dari Standar Industri Indonesia (SII). Meskipun pada tingkat peternak, pengumpul, dan KUD
masih ditemukan pula kadar lemak dan BKTL sedikit rendah dari yang dipersyaratkan oleh SII.
Kualitas susu segar apabila dilihat dari kandungan bakteri yang ditemukan tidak menunjukkan peningkatan
jumlah pada batas yang mengkhawatirkan . Jumlah bakteri yang dikandung oleh susu segar sejak dari peternak,
pengumpul, KUD, dan BPT-HMT Baturraden berkisar antara 289.922 - 579 .546 ribu per cc Susu segar. Masih
relatifjauh dari batas maksimal yang ditolerir oleh SII yakni dengan jumlah bakteri harus kurang dari 3.000 .0000
per cc susu segar. Dengan demikian secara umum dapat dinyatakan kualitas susu segar di jaltir susu Kabupaten
Banyumas sudah dapat memenuhi persyaratan yang ditetapkan . Kualitas susu segar akan semakin berperan penting
dalam memenuhi tuntutan pasar di masa mendatang yang menghendaki persyaratan secara ketat baik dari segi
komponen susu dan kebersihannya .

PENUTUP

Kebijakan Budidaya Sapi Perah Nasional sebagaimana yang direkomendasikan diharapkan dapat merupakan
salah satu sumber yang dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan oleh pemerintah di dalam menetapkan arah
pengembangan budidaya sapi perah nasional . Konsep kebijakan sapi perah nasional ini telah menekankan
pengembangan budidaya sapi perah yang lebih berorientasi pada peningkatan produktivitas ternak, efisiensi usaha,
dan perbaikan kualitas susu segar. Dengan tercapainya perbaikan pada ketiga aspek diharapkan akan dapat
diterapkan budidaya sapi perah yang mampu menghasilkan output produksi dengan tingkat kelayakan teknis dan
ekonomis secara lebih baik, sehingga pada gilirannya akan mampu meningkatkan kesejahteraan pada peternak
sebagai pelaku utama proses budidaya dan pihak lainnya yang terkait .
Akan tetapi tingkat efisiensi yang dingin dicapai dari sektor budidaya tidak hanya ditentukan melalui
perbaikan kinerja keempat aspek: pemberian pakan, pemuliabiakan, tatalaksana pemeliharaan, dan pengendalian
penyakit . Budidaya sapi perah nasional pada hakekatnya merupakan suatu simpul yang tidak terpisahkan dari alur
vertikal sistem Industri Persusuan Nasional . Dengan demikian untuk memperoleh tingkat efisiensi budidaya sapi
perah nasional secara lebih baik, akan ditentukan pula oleh tingkat efisiensi dari sektor sebelumnya terutama
menyangkut proses penyediaan input produksi (pakan, obata-obatan, bibit, sapronak, dan sarana pendukung
lainnya) . Hal ini tentunya membeukan suatu kebijakan secara komprehensif dari pemerintah dalam upaya
memberikan tingkat kinerja secara efisien dari semua sektor Industri Persusuan Nasional mencakup proses
._.pengadaan input, budidaya, produksi, pasca panen, sampai pemasaran susu segar. Dengan dukungan :efisiensi usaha -
dari setiap sektor yang ada diharapkan akan dapat terciptanya usaha yang kompetitif dari Industri Persusuan
Nasional menghadapi pasar bebas.

262
Laporan Baglan Proyek Rekayasa Teknologi Peternakan ARMP-H Th. 199912000

DAFTAR PUSTAKA

ATMADILAGA, D., 1959 . Cattle Breeding in Indonesia with Special Reference to Heat Tolerance. Disertasi. Fakultas Kedokteran
Hewan, Universitas Indonesia. Bogor.
BUKU STATISTIK PETERNAKAN, 1998 . Dit. Jen. Peternakan, Departemen Pertanian . Jakarta .
DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN, 1997 . Evaluasi Kinerja Pelaksanaan Inseminasi Buatan . PT Galih Karsa Utama, Jakarta
Selatan.
1999 . Strategi kebijakan pemasaran susu produksi dalam negeri menghadapi pasar bebas.
DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN,
Paper disampaikan pada diskusi tentang Pemberdayaan dan Pemantapan Pemasaran Susu Olahan . Direktorat Perikanan
dan
. , Peternakan. Dit. Jen. Bina Koperasi, Departemen Koperasi, Pengusaha Kecil dan Mennegah . Agustus 1999.
DIWYANTO, K., A. ANGGRAENI, dan A. DJAJANEGARA, 1997 . Practical experiences in dairy recording in Indonesia. Paper
presented to the Workshop of International Committee on Animal Recording (ICAR) and FAO, Ananad, India. October
20-23, 1997.
GABUNGAN KOPERASI SUSU INDONESIA, 1996 . Strategi GKSI dalam meningkatkan fungsi koperasi persusuan menghadapi pasar
yang kompetitif. Paper disampaikan pada lokakarya Kebijakan Persusuan di Indonesia. Puslitbang Sosial Ekonomi
Pertanian, Litbang Pertanian bekerjasama dengan Australian Centre for International Agricultural Research . 18 Desember
1996 .
HEDAH, D., 1995 . Progeny testing sapi perah di Indonesia. Prosiding Pertemuan Teknis (Workshop) Evaluasi Uji
Zuriat Sapi Perah di Indonesia. Balai Inseminasi Buatan Singosari Malang . Dit. Jen . Petemakan, Departemen
Pertanian. 1995 .
PALLAWARUKKA, 1999 . Perbaikan mutu genetik sapi perah di Indonesia. Paper disampaikan pada kegiatan
workshop Penelitian Kebijakan Pengembangan Produktivitas Sapi Perah dan Sistem Produksi Susu Nasional .
Puslitbang Peternakan . Bogor. 12 Agustur1999 .
SALISBURY G.W ., and N.L. VAN DENMARK, 1985 . Physiologi of Reproduction and Artifial Insemination . W.H . Freeman and
Company, San Fransisco.
SIMANDJUNTAK, D.S ., 1999. Strategi kebijakan pengembangan bibit sapi perah di Indonesia. Direktorat Jenderal
Petemakan. Paper disampaikan pada kegiatan workshop Penelitian Kebijakan Pengembangan Produktivitas
Sapi Perah dan Sistem Produksi Susu Nasional . Puslitbang Petemakan. Bogor. 12 Agustur1999 .
SITEPU, P., 1996 . Pengembangan produksi ternak dan strategi penyediaan bibit : sapi perah. Temu Ilmiah Hasil-hasil Penelitian
Peternakan . Puslitbang peternakan, Bogor.
SUGIARTI, T., dan S.B . SIREGAR, 1999 . Dampak pelaksanaan inseminasi buatan (113) terhadap peningkatan pendapatan petemak
sapi perah di daerah Jawa Barat. Jurnal Ilmu Peternakan dan Veteriner, Vol. 4, No. 1. Puslitbang Peternakan, Badan
Litbang Pertanian, Dep. Pertanian.
SUHARYA, E., 1999 . Peranan koperasi dalam pengembangan sapi perah nasional . Gabungan Koperasi Susu
Indonesia. Paper disampaikan pada kegiatan workshop Penelitian Kebijakan Pengembangan Produktivitas
Sapi Perah dan Sistem Produksi Susu Nasional . Puslitbang Petemakan. Bogor. 12 Agustus 2000 .

Anda mungkin juga menyukai