Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PRAKTIKUM PENGETAHUAN BAHAN

DAGING, KARKAS, DAN IKAN

Oleh:
KELOMPOK A-3
Martha Tita (6103018003)
Steffi Elizabeth (6103018061)
Caroline Claudia (6103018071)
Kevin Kurniawan (6103018110)
Alysianawati (6103018113)
Ignatius Pratama (6103018159)

Tanggal Praktikum: 29 Agustus 2019


Asisten: Laurensia Maria Yulian, S.Pt., M. Biotech.

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN


FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDALA SURABAYA
SURABAYA
2019
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Tujuan Praktikum


1.1.1. Tujuan Instruksional Umum
Memahami sifat-sifat fisik dan kimiawi daging,karkas dan ikan
1.1.2. Sasaran Belajar
 Menentukan persentase jaringan-jaringan penyusun daging, karkas unggas
dan ikan.
 Menentukan tingkat kualitas kesegaran ikan.
 Menentukan karakteristik daging, karkas dan ikan: warna, pH, juiceness,
keempukan.

1.2. Dasar Teori

Daging adalah urat daging (otot) yang melekat pada kerangka tubuh.
Sedangkan karkas adalah potongan daging yang masih melekat pada tulangnya
tetapi sudah tidak memiliki kepala, jeroan dan kulit. Daging terdiri dari jaringan
otot. Jaringan otot terdapat tiga macam, yaitu jaringan otot rangka, jaringan otot
jantung, dan jaringan otot halus. Jaringan otot rangka adalah jaringan otot yang
menempel secara langsung atau tidak langsung pada tulang, yang menimbulkan
gerakan dan membentuk bentuk tubuh. Pada daging sapi komposisi kimiawi
terbesar adalah air dengan jumlah 65-80%(Burhan,2003). Banyak perlakuan yang
dapat mempengaruhi kandungan air dalam daging seperti pemanasan,
penggaraman, pembekuan, penggilingan. Selain air daging sapi juga mempunyai
kandungan protein yang cukup tinggi yaitu 16-22%. Protein dalam daging sapi
dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu stroma, miofibril dan sarkoplasma. Pada daging
sapi protein sangat berperan pada pengikatan air atau WHC karena daging sapi
dapat mengikat air. Pengikatan air ini sangat dipengaruhi oelh beberapa faktor
seperti pH yang turun, pH yang turun akan membuat pH daging menjadi dekat
dengan titik isoelektris. Titik isoelektris adalah titik dimana muatan dari suatu
molekul saling menetralkan dan titik isoelektris daging adalah 5,3-
5,9(Soeparno,2011). Jika daging berada dititik akan terjadi denaturasi protein
sarkoplasmik dan habisnya ATP dan karena terbentuknya kompleks aktin miosin.
Otot akan berkontraksi dan akan menghasilkan daging dengan panjang sarkomer
yang pendek, lebih banyak mengandung kompleks aktin miosin atau ikatan antar
filamen sehingga daging menjadi kurang empuk dan mempunyai WHC yang
rendah. Pada pemotongan daging sapi, setengah bagian sapi akan dipotong menjadi
lima bagian yaitu fore quarter atas yang terdapat chuck dan rib, fore quarter bawah
yang terdiri dari brisket dan short plat, hind quarter bagian pinggang yaitu short loin
dan sirloin, hind quarter bagian perut ada flank, dan yang terakhir ada hind bagian
paha yaitu round.

Gambar 1.2.1. Bagian-bagian daging sapi

Pada pengolahan daging terdapat istilah dressing. Dressing adalah


pemisahan bagian berdasarkan morfologi dan histologi yaitu kepala, kulit dan
jeroan dari tubuh ternak sehingga diperoleh karkas. Pada tahapan dressing ayam
secara umum mirip dengan dressing sapi hanya saja ada penambahan tahap yaitu
penyeduhan dan pencabutan bulu. Ikan adalah salah satu bahan yang sering
dikonsumsi. Kesegaran ikan merupakan hal yang perlu diperhatikan agar dari segi
rasa maupun zat-zat yang terkandung didalamnya baik. Pada ikan penentuan
kesegaran ikan dapat diidentifikasi dari kejernihan mata, warna insang, kulit ikan,
kekuatan sisik ikan yang menempel pada daging, aroma, tektur. Menurut
(Bahar,2006) Pada ikan segar harus diperoleh mata yang menonjol, selaput kornea
jernih,pupil hitam mengkilat. Lalu pada Insang berwarna merah cemerlang pada
kulit ikan ada lendir tipis homogen pada aroma harus beraroma khas seperti aroma
laut, tekstur ikan harus padat dan kenyal. Sedangkan pada ikan yang sudah
mengalami pembusukan maka matanya akan berwarna hitam dan tenggelam,
Insang berwarna coklat hingga kelabu, lendir dikuit ikan berwarna kuning,tekstur
lunak, dan baunya busuk. Selain itu kebusukan ikan dapat membahayakan oran
gyang mengonsumsinya karena saat ikan mulai membusuk maka akan
menghasilkan molekul-molekul amina dan zat-zat lain yang dapat membahayakan
kesehatan. Sehingga harus dilakukan pengendalian mutu agar ikan tersebut tidak
gampang mengalami kebusukan. Pengendalian mutu tersebut seperti penggunaan
suhu rendah, penggunaan suhu tinggi dan mengurangi kadar air. Dressing pada ikan
meliputi pemisahan sisik, organ dalam ikan, sirip.

sirip dada Sirip


atas

Mata

Ekor
BAB II
METODE

2.1. Alat dan Bahan


2.1.1. Alat
1. Neraca 6. pH meter
2. Telenan dan Pisau 7. Vortex
3. Tabung Sentrifus 8. Gelas Piala
4. Penetrometer 9. Freezer
5. Sentrifuse

2.2.2. Bahan
1. Daging Sapi segar dan frozen
2. Karkas Ayam
3. Ikan

2.2. Skema Kerja


2.2.1 Sifat Fisik dan Biologis Karkas
Gambar hasil pemotongan karkas ayam dan ikan

Pengamatan

Pengklasifikasian

Karkas

Pemisahan

Jaringan otot, lemak, kulit, pengikat

A
A

Penimbangan

Pembandingan Presentase

2.2.2 Water Holding Capacity (WHC)


Sampel daging

Penghalusan Tabung
sentrifugasi

Daging halus 5 gram Penimbangan

akuades 5 ml Pemasukan ke tabung diket.


berat tabung sentrifugasi

Pengocokan / vortex

Penutupan

Penginkubasian (10 °C, 1jam)

Pemisahan

Supernatan

Pengukuran volume

Perhitungan KA
VOLUME AIR TERSERAP
WHC (%) = × 100%
BERAT DAGING (g)

2.2.3 Keempukan Daging dan pH Daging dan Ikan


Daging rebus dan segar

Pemisahan

2 × 2 × 2 cm3 Pemotongan

Pengukuran penetrometer 10 detik

Pengukuran pH

2.2.4 Pengukuran Sifat Fisik dan Kimia Ikan


Hasil perikanan

Pengamatan

Penggambaran

Pengamatan Kesegaran

Dressing

Bagian tubuh ikan

Penimbangan

Pembandingan
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Dressing Ikan


Tabel 3.1. Persentase Penyusun Daging dan Karkas Ikan Gurame
Jaringan Ikan I Ikan II
Berat Persentase Berat Persentase
(g) (%) (g) (%)
Berat utuh 378 - 402,93 -
Duri 46 12,17 43,6 10,82
Daging 177 46,83 192,04 47,66
Kepala 88 23,28 82,65 20,51
Ekor 2 0,53 9,82 2,44
Sirip 7 1,85 1,36 0,34
Sisik 20 5,29 23,14 5,74
Organ dalam 25 6,61 41,69 10,35
(Pencernaan +
Insang)
Total 96,56 Total 97,86

Gambar 3.1. Morfologi Ikan Gurame

Percobaan dressing ikan yang dilakukan menggunakan dua ekor ikan


gurame. Dressing ini bertujuan untuk memisahkan bagian-bagian dari ikan. Ikan
memiliki tiga bagian utama, yaitu kepala, badan dan ekor. Setelah mendapatkan
tiga bagian tersebut, dilanjutkan dengan pemisahan lebih lanjut. Pemisahan tersebut
menghasilkan beberapa bagian ikan, yaitu duri, daging, kepala, ekor, sirip, sisik,
dan organ dalam (terdiri dari organ pencernaan dan insang). Bagian-bagian ikan
secara lebih detail dapat dilihat dari (Gambar 3.1.). Kemudian, setiap bagian ikan
dilakukan penimbangan Hasil dari berat dan persentase percobaan dressing kedua
ikan dapat dilihat pada (Tabel 3.1.).

Tabel tersebut (Tabel 3.1.) menunjukkan bahwa hasil dari penimbangan


berat utuh ikan I dan II secara berturut-turut, yaitu 378 dan 402,93 gram. Kemudian
untuk berat bagian yang paling dominan adalah daging ikan, yaitu sebesar 177 dan
192,04 gram. Kedua hal tersebut dapat diketahui bahwa ikan I memiliki bobot yang
lebih besar dibandingkan ikan II. Berat bagian ikan I lebih kecil dibandingkan ikan
II, hal ini dapat dilihat juga dari ukuran dari masing-masing ikan tersebut. Salah
satu faktor yang menyebabkan besar tubuh ikan I dan II berbeda yaitu pertumbuhan
sirip. Hasil persentase berat sirip ikan I lebih unggul 1,51% dari ikan II. Hal ini
dapat dihubungkan dengan usaha memacu pertumbuhan dan perkembangan gonad
secara aman dan murah, yaitu melalui teknologi pemotongan sirip ekor.
Pemotongan sirip ekor bertujuan untuk mengurangi aktivitas gerak ikan (berenang)
sehingga energi yang tersedia dapat digunakan untuk aktivitas kehidupan lainnya,
diantaranya adalah memacu pertumbuhan dan proses pematangan gonad. Oleh
karena itu bila energi yang digunakan untuk aktivitas (berenang) dikurangi dengan
cara memotong sirip ekor maka energi hasil penguraian makanan akan digunakan
untuk pertumbuhan yang ditunjukkan oleh peningkatan panjang dan berat badan
ikan (Solang dan Djuna, 2009). Dengan begitu, jika diamati untuk percobaan ini
dilihat dari pertumbuhan sirip ikan (tanpa pemotongan sirip) yang lebih besar (ikan
I) menyebabkan pertumbuhan ikan menjadi lebih lambat.

Total persentase penimbangan bagian-bagian ikan I dan II yang dilakukan


menunjukkan kurang dari 100%. Hal ini menunjukkan bahwa adanya selisih antara
berat ikan utuh dengan berat masing-masing bagian ikan setelah dipisahkan. Selisih
hasil penimbangan ini dapat disebabkan oleh adanya air yang dilepaskan oleh
jaringan-jaringan ikan. Hal ini dapat dilihat dari kadar air yang dimiliki oleh ikan
gurame, yaitu sebesar 72,96-75,48% (Nurjanah dkk., 2011).
3.2 Dressing Karkas Ayam
Karkas ayam adalah bobot tubuh ayam setelah dipotong dikurangi kepala, kaki,
darah, bulu, serta organ dalam. Kualitas karkas dan daging dipengaruhi oleh
faktor sebelum pemotongan antara lain genetik, spesies, bangsa, tipe ternak,
jenis kelamin, umur dan pakan serta proses setelah pemotongan (Abubakar,
2003). Daging ayam yang digunakan dalam praktikum memiliki berat awal
sebesar 1761,94 gram. Kondisi awal ayam seperti pada gambar 3.2.

Gambar 3.2 Ayam utuh


Setelah itu dilakukan dressing dimana karkas ayam tersebut dipisah-pisahkan
Tabel 3.2 Berat Komponen Ayam per Bagian

Komponen Berat (g) % berat


Berat karkas utuh 1761,94
Jaringan otot 930 62,78
Jaringan ikat 62 3,52
Jaringan lemak 74 4,20
Tulang 380 2,57
Kulit 145 8,23
Lain-lain 31 1,76
Total 92,06%
berdasarkan komponennya yakni daging sayap, daging paha, daging dada, kulit
ayam, lemak ayam dan tulang ayam. Pada percobaan dilakukan penimbangan
terhadap setiap bagian. Dan memperoleh hasil seperti pada tabel 3.2.
Ada perbedaan berat antara ayam utuh dan jumlah per bagiannya. Hal ini
dikarenakan pada proses pemotonggan terdapat daging yang melekat pada tangan,
pisau, piring dan telenan. Selain itu penurunan jumlah berat dikarenakan adanya air
yang keluar selama proses pemisahan. Air yang terperangkap dalam daging dapat
keluar akibat tekanan dari luar seperti pemotongan, pemanasan, penggilingan
maupun pengepresan. (Suradi,2006)
Ketika diamati secara visual, warna daging ayam bagian dada lebih putih
dari pada bagian paha yang sedikit kemerahan. Hal ini dikarenakan pada bagian
dada mengandung mioglobin yang lebih banyak.

3.3. Sifat Fisikokimia


3.3.1. Kesegaran Ikan
Tabel 3.3. Kriteria Sifat Fisik Ikan Gurame
Kriteria Ikan I Ikan II
Bau Netral Segar (khas)
Kulit Sedikit berlendir Sedikit berlendir
Kekuatan Fisik Melekat kuat Melekat kuat
Kekenyalan Daging Kenyal Kenyal
Warna Insang Merah Merah
Kejernihan Mata Warna Gelap Jernih, cembung
Mutu 2 1

Gambar 3.3.1 Ikan Gurame I


Gambar 3.3.2. Ikan Gurame II

Parameter kesegaran ikan yang dilakukan dalam percobaan sudah sesuai


dengan pendapat Jaya dan Dewi (2006) ada tujuh parameter fisik yang menandakan
kesegaran ikan, yaitu penampakan luar, kelenturan daging ikan, keadaan mata,
keadaan daging ikan, keadaan insang dan sisik, keadaan ruas badan. Hasil
pengamatan pada (Tabel 3.3) menunjukkan adanya perbedaan antara bau dan
kejernihan mata. Hal ini menyebabkan mutu ikan I tergolong mutu 2 dan ikan II
tergolong mutu 1. Ikan I yang masih segar mempunyai kenampakan mata yang
cerah, bola mata menonjol (cembung), dan kornea berwarna putih. Keadaan
tersebut dikarenakan belum banyak perubahan biokimia yang terjadi, sehingga
metabolisme dalam tubuh ikan masih berjalan sempurna (Widiastuti, 2007).
Berbeda halnya dengan ikan II, tingkat kesegarannya menurun jika dilihat dari bau
dan kejernihan mata. Hal ini dapat diakibatkan dari metabolisme ikan yang juga
mulai menurun sehingga berdampak pada sifat fisik ikan.

3.3.2. Tekstur
Pada percobaan ini, sampel yang akan diuji adalah daging sapi, daging ayam
dan ikan gurami. Data hasil pengamatan dapat dilihat pada tabel 3.4.

Tabel 3.4. Hasil Pengamatan Tekstur Daging dan Ikan


TEKSTUR (mm/5s) RATA-RATA
BAHAN ULANG- MENTAH REBUS MENTAH REBUS
AN
I 0,20 0,09
DAGING SEGAR II 0,35 0,05 0,29 0,06
III 0,32 0,05
I 0,44 0,15
DAGING BEKU II 0,56 0,17 0,44 0,16
III 0,31 0,16
I 0,19
DADA AYAM II 0,46 0,30
III 0,25
I 0,18
PAHA AYAM II 0,17 0,23
III 0,33
I 0,54
IKAN 1(MEJA 2) II 0,45 0,45
III 0,37
I 0,48
IKAN 2 (MEJA 3) II 0,43 0,45
III 0,43

Pada saat praktikum, alat yang digunakan untuk mengukur


keempukan/tekstur adalah penetrometer. Penetrometer umumnya digunakan
untuk menentukan nilai kekerasan atau kekenyalan suatu bahan. Prinsip kerja dari
penetrometer adalah mengukur kedalaman tusukan dari jarum penetrometer
per bobot beban tertentu dalam waktu tertentu(mm/g/s) (Permata, 2015). Semakin
besar angka yang ditunjukkan oleh penetrometer, maka bahan tersebut memiliki
tekstur yang semakin empuk.

Keempukan daging dipengaruhi oleh spesies, umur, jenis kelamin,


pelayuan, pembekuan, lama dan suhu penyimpanan, dan macam otot (Dewi,
2012).Dari data diatas, dapat dilihat bahwa daging segar memiliki tekstur yang
lebih keras daripada daging beku. Hal ini dapat terjadi karena daging telah disimpan
dalam freezer dalam waktu yang lama (±4hari) dan telah berada pada suhu ruang
dalam waktu yang lama sehingga terjadi peristiwa thawing yaitu penyegaran
kembali. Saat proses pembekuan,akan terbentukkristal es disekitar serat yang akan
menyebabkan kerusakan fisik pada daging sehingga air dalam daging membeku dan
kristal es akan mendorong air keluar dari ruang intraseluler. Adanya cairan yang
keluar inilah yang menyebabkan tekstur daging beku lebih empuk dibandingkan
daging segar karena kadar air juga mempengaruhi keempukan.Dari data yang
didapat, tekstur pada daging yang masih mentah lebih empuk daripada yang sudah
direbus. Hal ini disebabkan oleh adanyatekanan dan lama perebusan yang
mengakibatkan terjadinya kerusakan dan perubahan struktur protein otot terutama
pada aktin dan miosin (Lapase dkk., 2016), sehingga daging yang sudah di rebus
akan memiliki tekstur yang lebih alot/keras.

Kami juga menguji tekstur dari daging ayam bagian paha dan dada.Menurut
U.S. Department of Agriculture (2006), komposisi protein pada ayam bagian dada
sebesar 27,25 g/ 118g, sedangkan pada bagian paha 13,56 g/ 69 g.Pada daging
ayam, protein yang berperan memberikan keempukan adalah protein
kolagen.Kadar kolagen sebagai penyususun jaringan ikat otot mempengaruhi
kealotan atau keempukan daging(Purbowati dkk.,2006). Keempukan otot dada
lebih tinggi daripada otot paha karena otot dada merupakan otot pasif, mengandung
jaringan konektif lebih sedikit dan lebih berlemak. Otot paha yang lebihbanyak
gerak pada waktu masih hidup akanmengandung lebih banyak jaringan konektif
danmempunyai struktur miofibrilar yang lebih besar sehingga otot paha lebih alot
daripada otot dada. Keempukan daging juga ditentukan olehperlemakannya.
Selama pertumbuhan, deposisilemak terjadi diantara otot (intermuskular),
lapisanbawah kulit dan diantara serabut otot. Akumulasilemak dapat melarutkan
kolagen sehingga dagingmenjadi lebih lunak(Winarso, 2003). Dalam hal ini, dapat
disimpulkan bahwa data yang diperoleh sudah sejalan dengan teori yang ada yaitu
tekstur pada ayam bagian dada lebih empuk daripada bagian dada.

Hasil pengukuran keempukan daging ikan menggunakan penetrometer


menunjukkan bahwa ikan memiliki angka keempukan tertinggi dari pada daging
ayam maupun daging sapi. Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap keempukan
daging ikan ini adalah daya ikat air atau WHC. Semakin tinggi WHC, maka
semakin banyak pula air yang diikat oleh jaringan otot daging ikan. Banyaknya air
yang terikat ini berpengaruh terhadap tekstur daging ikan, yaitu menjadi lebih
empuk.
3.3.3. WHC
a. Daging
Pada percobaan, daging yang telah halus didinginkan selama 1 jam pada suhu 0oC.
Pemberian waktu ini agar memberikan kesempatan bahan pangan untuk
memperangkap air. Setelah dimasukkan freezer campuran daging di masukkan ke
sentrifus dengan kecepatan 3000 rpm selama 20 menit. Setelah itu, kita bisa
memperoleh data daya yang terserap dan tidak. Pengukuran Water holding
capacitypada daging beku dan segar diperoleh hasil berturut-turut 42% dan 22%.
Hal ini menunjukan bahwa kemampuan memperangkap air pada daging beku lebih
tinggi dari pada daging segar. Seharusnya kemampuan mengikat air daging segar
lebih besar dari pada daging beku. Hal ini dikarenakan protein yang berada di dalam
daging mengalami denaturasi, akibatnya protein tidak dapat mengikat air secara
maksimal. Namun dalam percobaan daging segar memiliki WHC yang lebih rendah
dari pada daging beku. Faktor-faktor yang mempengaruhi perbedaan hasil adalah
daging beku mengalami Freeze Burn. Freeze burn adalah kondisi dimana
permukaan daging mengalami pengeringan akibat penyimpanan pada Freezer yang
terlalu lama dan tidak dikemas dengan baik. Daging yang digunakan pada saat
praktikum sudah disimpan selama 5 hari. Hal inilah yang mengakibatkan perbedaan
hasil percobaan dengan daftar pustaka.
b. Ayam
Pengukuran Water holding capacity pada daging dada ayam dan paha menunjukan
bahwa paha ayam memiliki nilai WHC yang lebih tinggi yakni 12% dibanding dada
ayam yang hanya sebesar 4%. Hal ini dikarenakan perbedaan protein yang
terkandung di dalam keduanya. Paha sendirimemiliki kandungan lemak yang lebih
kecil daripada protein, sehingga lebih banyak air yang terperangkap di dalam
protein paha (Muchtadi, 2011). Otot paha lebih banyak aktif bergerak ketika masih
hidup menyebabkan kandungan jaringan konektif dan struktur miofibrilar yang
lebih besar. Pada bagian dada ayam memiliki kadar glikogen yang tinggi, ketika
glikogen tersebut terpecah menjadi asam laktat akan mengakibatkan protein
miofibril dalam dada ayam terdenaturasi. Akibat proses denaturasi tersebut maka
kemampuan daging untuk mengikat air juga akan berkurang. Sedangkan pada
bagian paha ayam memiliki kadar glikogen rendah, sehingga pemecahan glikogen
menjadi asam laktat juga rendah. Sehingga tidak ada perubahan signifikan WHC
setelah kematian hewan.

c. Ikan
Pengukuran Water holding capacitypada daging ikan menunjukan kadar WHC
yang tinggi yakni 51,5-54%. Dari percobaan kita dapat melihat, dari ketiga bahan
ikan memiliki kadar WHC paling tinggi. Hal ini dikarenakan lingkungan hidup ikan
itu sendiri yang berada di lingkungan berair. Selain itu di dalam ikan terdapat
protein yang jumlahnya cukup besar untuk memperangkap air tersebut. Kondisi
ikan pada saat penyembelihan berada pada fase rigor mortis dimana protein yang
terdiri atas aktin dan miosin, membentuk ikatan silang yang membuat daging
menjadi lebih mampu mengikat air dengan maksimal.

3.3.4. pH
Pengujian pH dilakukan pada semua sampel dengan menggunakan alat pH
meter.
Tabel 3.5. Nilai pH pada Daging dan Ikan
Ph RATA – RATA
BAHAN ULANG-
AN MENTAH REBUS MENTAH REBUS
I 6,16 5,95
DAGING SEGAR II 5,67 6,28 5,99 6,18
III 6,15 6,30
I 5,73 6,14
DAGING BEKU II 5,68 6,10 5,68 6,15
III 5,63 6,23
I 5,80
DADA AYAM II 5,87 5,86
III 5,92
I 5,79
PAHA AYAM II 5,88 5,84
III 5,84
I 6,5
IKAN 1(MEJA 2) II 6,7 6,5
III 6,31
I 5,68
IKAN 2 (MEJA 3) II 5,71 5,7
III 5,79
I 6,19
IKAN MEJA 1 II 6,03 6,66
III 6,76

Setelah hewan dipotong, penyediaan oksigen otot terhenti, dengan demikian


persediaan oksigen tidak lagi di otot dan sisa metabolisme tidak dapat dikeluarkan
lagi dari otot, sehingga daging akan mengalami penurunan pH. Akumulasi asam
laktat pada proses glikolisis setelah hewan dipotong berpengaruh pada nilai pH.
Semakin lama waktu postmortem akan terjadi penurunan pH yang semakin rendah
akibat proses konversi otot menjadi daging pada jarak waktu postmortem tertentu.
Terbentuknya asam laktat menyebabkan penurunan pH daging dan menyebabkan
kerusakan struktur protein otot (Komariah, 2009).
Sampel daging sapi segar mentah memiliki pH yang lebih tinggi daripada
sampel daging sapi beku mentah. Hal ini sesuai dengan literatur yang kami dapat
karena daging beku telah memasuki masa post rigor dimana pada fase ini nilai pH
akan terus meningkat disebabkan oleh proses autolisis pada daging yaitu terjadi
penguraian enzim menjadi senyawa-senyawa sederhana yang bersifat basa (Gustini
dkk., 2014). Sedangkan pada fase pre rigor (daging segar) nilai pH akan lebih asam
karena adanya asam laktat hasil dari glikolisis glikogen. Setelah melalui proses
perebusan, nilai pH kedua daging mengalami kenaikan karena adanya perusakan
protein yang menghasilkan senyawa bersifat basa (Sari dkk., 2017).
Kami juga menguji nilai pH pada ayam bagian paha dan dada. Otot dada
mengandung kadar protein yang lebih tinggi dibandingkan otot paha. Otot paha
mengandung glikogen lebih rendah sehingga pemecahan glikogen juga rendah
sehingga pembentukan asam laktat lebih sedikit dibandingkan otot dada (Winarso,
2003). Hasil percobaan menunjukkan nilai pH dada ayam lebih rendah daripada
paha ayam yang berarti sudah sesuai dengan literatur yang ada.
Nilai pH untuk daging ikan yang kami dapat adalah 6,5; 6,7; dan 6,31.
Menurut Tatangindatu dkk. (2014), pHyang ideal bagi kehidupan biota air tawar
adalah antara 6,8-8,5 tergantung kedalamannya. Oleh karena itu, dapat disimpulkan
bahwa ikan yang kami amati sudah mengalami penurunan pH dan akan segera
memasuki fase rigor mortis. Hal ini juga dapat dibuktikan dari pengamatan mutu
ikan yang kami lakukan yang menunjukkan ikan kami adalah ikan mutu 2.
BAB IV
KESIMPULAN

1. Hasil dressing karkas ayam menghasilkan total presentaseberat sebesar


92,06%
2. Hasil dressing ikan menghasilkan total presentase berat sebesar 96,56%
3. WHC dada ayam 4%, paha ayam 12%
4. WHC Ikan 51,48%
5. WHC daging beku 42%, daging segar 22%
6. pH daging beku mentah 5,67, daging beku rebus 6,28.
7. pH daging segar mentah 5,68, daging segar rebus 6,10.
8. Tekstur daging beku mentah 0,35 mm/5dtk, daging beku rebus 0,05
mm/5dtk.
9. Tekstur daging segar mentah 0,56 mm/5dtk, daging segar rebus 0,17
mm/5dtk.
DAFTAR PUSTAKA

Abubakar, 2003. Mutu karkas ayam hasil pemotongan tradisional dan penerapan
sistem hazzard analysis critical control point. Jurnal Litbang Pertanian, 22
vol. (1). Hlm: 34-35 Balai Penelitian Ternak. Bogor.
Bahar, Burhan. 2003. Panduan Praktis Memilih Produk Daging Sapi. Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama.

__________ 2006. Panduan Praktis Memilih dan Menangani Produk Perikanan.


Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Data Laboratory. USDA National Nutrient Database for Standard Reference,


Release 19. https://www.ars.usda.gov/nutrientdata (3 September 2019).
Department of Agriculture, Agricultural Research Service. 2006. USDA Nutrient
Dewi, S. H. C. 2012.Populasi Mikroba dan Sifat Fisik Daging Sapi Beku Selama
Penyimpanan, Jurnal AgriSains, 3(4): 1-12.
Ferranti, P., E. Berry, dan A. Jock. 2018. Encyclopedia of Food Security and
Sustainability. USA: Elsevier.

Gustini, S. Khotimah, dan A. H. Yanti. 2014. Kualitas Ikan Kembung (Rastrelliger


kanagurta) Setelah Perendaman dalam Kitosan ditinjau dari Aspek
Mikrobiologi dan Organoleptik, Protobiont, 3(2): 100-105.
Jaya, Indra dan Dewi Kartika Ramadhan. 2006. Aplikasi Metode Akustik untuk Uji
Kesegaran Ikan, Buletin Teknologi Hasil Perikanan. 1 (02): 2-3.
Komariah, S. Rahayu, dan Sarjito. 2009. Sifat Fisik Daging Sapi, Kerbau, dan
Domba pada Lama Postmortem yang Berbeda, Buletin Peternakan, 33(3):
183-189.
Lapase, O. A., J. Gumilar, dan W. Tanwiriah. 2016. Kualitias Fisik (Daya Ikat Air,
Susut Masak, dan Keempukan) Daging Paha Ayam Sentul Akibat Lama
Perebusan, Student e-Journal, 5(4): 1-7.
Lestari, Novia ,Yuwana dan Zulman Efendi. 2015. Identifikasi Tingkat Kesegaran
dan Kerusakan Fisik Ikan di Pasar Minggu Kota Bengkulu, Jurnal
Argoindustri. 5 (1): 49.
Muchtadi,dkk. 2011. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Bandung: Penerbit
Alfabeta.
Nurjanah, Tati Nurhayati dan Rijan Zakaria. 2011. Kemunduran Mutu Ikan Gurami
(Osphronemus Gouramy) Pasca Kematian pada Penyimpanan Suhu
Chilling, Jurnal Sumberdaya Perairan. 5 (2): 1
Permata, R. G., L. H. Afrianti, dan E. T. Sutrisno. 2015. Kajian Perbandingan Bahan
Baku dan Bahan Pengisi dengan Perbandingan Sukrosa dan Glukosa
terhadap Karakteristik Soft CandySalak Bongkok (Salacca edulis. Reinw
cv. Bongkok), Pasundan Food Technology Journal: 1-18.
Purbowati, E., C. I. Sutrisno, E. Baliarti, S. P. S. Budhi, dan W. Lestariana. 2006.
Karakteristik Fisik Otot Longissimus dorsi dan Biceps femorisDomba
Lokal Jantan yang Dipelihara di Pedesaan pada Bobot Potong yang
Berbeda, Jurnal Protein, 13(2): 147-153.
Purwadi, dkk. 2017. Penanganan Hasil Ternak. Malang: UB Press

Sari, S. H., Septinova, D., dan Santosa, P. E. 2017. Pengaruh Lama Perendaman
dengan Larutan Daun Salam (Syzygium polyanthum) sebagai Pengawet
terhadap Sifat Fisik Daging Broiler, Jurnal Riset dan Inovasi Peternakan,
1(3): 10-15.
Soeparno, dkk. 2011. Dasar Teknologi Hasil Ternak. Yogyakarta: Gadjah Mada
Universitas Press.

Solang, Margaretha dan Djuna Lamondo. 2009. Peningkatan Pertumbuhan dan


Indeks Kematangan Gonad Ikan Nila (Oreochromis niloticus L.) Melalui
Pemotongan Sirip Ekor, Jurnal Ilmu Kelautan dan Perikanan. 19 (3): 143.
Suradi, Kusmajadi. 2006. Perubahan Sifat Fisik Daging Ayam Broiler Post Mortem
Selama Penyimpanan Temperatur Ruang. Jurnal Ilmu Ternak, 6(1):23-27.
Tatangindatu, F, O. Kalesaran, R. Rompas. 2013. Studi Parameter Fisika Kimia Air
pada Areal Budidaya Ikan di Danau Tondano, Desa Paleloan, Kabupaten
Minahasa, Budidaya Perairan, 1(2): 8-19.
Winarso, D. 2003. Perubahan Karakteristik Fisik Akibat Perbedaan Umur, Macam
Otot, Waktu dan Temperatur Perebusan Pada Daging Ayam Kampung,
J.Indon.Trop.Anim.Agric, 28(3): 119-132.
LAMPIRAN

DAGING BEKU JARINGAN IKAT


TULANG AYAM KULIT AYAM
ORGAN DDALAM LEMAK

Anda mungkin juga menyukai