Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH GENETIKA

“Pengaruh Komposisi Genetik Hasil Persilangan Puyuh Terhadap


Peformans Produksi Telur”

Oleh:

Kelompok 6

Kelas E

Rosmilah 200110180006

Muhammad Ramdhani Nugraha 200110180199

Orlanda Mahari Putra 200110180205

Oktavianus Benardi 200110180218

Nabila Pia Benedicta 200110180276

FAKULTAS PETERNAKAN

UNIVERSITAS PADJADJARAN

JATINANGOR

2019
Kata Pengantar
Segala puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas

rahmat dan kuasa-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini. Topik yang akan

dibahas dalam makalah ini adalah mengenai pengaruh komposisi genetik hasil

persilangan puyuh (Coturnix-coturnix japonica) tiga daerah asal terhadap

peformans produksi telur.

Dalam kesempatan ini, tak kami lupakan ucapan terima kasih dari kami

kepada dosen mata kuliah genetika atas bimbingannya, kami dapat menyelesaikan

makalah ini. Kami menyadari bahwa makalah kami jauh dari kata sempurna,

masih banyak kesalahan serta kekurangan yang terdapat di dalamnya. Oleh karena

itu, kami selaku penyusun menerima kritik dan saran terhadap tulisan yang kami

buat ini.

Jatinangor, 17 November 2019

Tim Penyusun

ii
Daftar Isi

Kata Pengantar........................................................................................................ii
Daftar Isi.................................................................................................................iii
BAB I.......................................................................................................................4
PENDAHULUAN...................................................................................................4
1.1. Latar Belakang..........................................................................................4
1.2. Rumusan Masalah.....................................................................................4
1.3. Maksud dan Tujuan...................................................................................4
BAB III....................................................................................................................6
TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................................6
III..............................................................................................................................8
PEMBAHASAN......................................................................................................8
3.1. Konversi Ransum........................................................................................8
3.2. Materi dan Metode......................................................................................8
3.3. Umur Dewasa Kelamin...............................................................................9
3.4. Lama Masa Produksi...................................................................................9
3.5. Konsumsi Ransum.......................................................................................9
3.6. Berat per Butir Telur.................................................................................10
3.7. Jumlah Telur..............................................................................................10
3.8. Berat Total Telur.......................................................................................10
IV...........................................................................................................................12
KESIMPULAN......................................................................................................12
4.1. Kesimpulan................................................................................................12
Daftar Pustaka........................................................................................................13

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Puyuh adalah spesies atau subspesies yang berasal dari genus Coturnix yang
tersebar di seluruh daratan. Burung puyuh merupakan jenis burung yang tidak
dapat terbang tinggi, ukuran tubuhnya relatif kecil dan berkaki pendek. Berbeda
dengan ayam ras, ketersediaan bibit puyuh di pasar kurang mendapat perhatian.
Hal ini membuat peternak puyuh melakukan peremajaan dengan menggunakan
bibit puyuh yang mereka miliki. Pada umumnya pembibitan yang dilakukan oleh
peternak puyuh ini tidak dilandasi oleh teori dan penanganan yang tepat sehingga
bibit yang dihasilkan tidak terjamin kualitasnya.

Maka dari itu perlu dilakukan evaluasi potensi genetik puyuh-puyuh


persilangan tersebut yaitu dengan cara mengawinkan puyuh BY (persilangan
puyuh Bengkulu dengan Yogyakarta), puyuh PB (persilangan puyuh Padang
dengan puyuh Bengkulu), dan puyuh PY (persilangan puyuh Padang dengan
puyuh Yogyakarta) untuk mengetahui performans produksi telur keturunan
mereka sejak dewasa kelamin hingga afkir.

1.2. Rumusan Masalah


1) Kapan umur dewasa kelamin pada puyuh hasil persilangan?
2) Berapa lama masa produksi pada puyuh hasil persilangan?
3) Bagaimana konsumsi ransum pada puyuh hasil persilangan?
4) Berapa berat perbutir telur yang dihasilkan oleh puyuh hasil
persilangan?
5) Berapa jumlah telur yang dihasilkan oleh puyuh hasil persilangan?
6) Berapa berat total telur yang dihasilkan oleh puyuh hasil persilangan?
7) Bagaimana konversi ransum pada puyuh hasil persilangan?
8) Bagaimana metode yang digunakan?

1.3. Maksud dan Tujuan


1) Mengetahui umur dewasa kelamin pada puyuh hasil persilangan.

iv
2) Mengetahui lama masa produksi pada puyuh hasil persilangan.
3) Mengetahui konsumsi ransum pada puyuh hasil persilangan.
4) Mengetahui berat perbutir telur yang dihasilkan oleh puyuh hasil
persilangan.
5) Mengetahui jumlah telur yang dihasilkan oleh puyuh hasil persilangan.
6) Mengetahui berat total telur yang dihasilkan oleh puyuh hasil
persilangan.
7) Mengetahui konversi ransum pada puyuh hasil persilangan.
8) Mengetahui metode yang digunakan.

v
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

Pada umumnya pembibitan yang dilakukan oleh peternak puyuh ini tidak
dlandasi oleh teori dan penangananer yang tepat sehingga bibit yang dihasilkan
tidak terjamin kualitasnya. Hal ini terbukti dengan munculnya cacat kaki pengkor,
fertilitas dan daya tetas yang rendah. Menurut Pramono (2004) menyatakan
bahwa kejadian cacat kaki pengkorpada peternakan puyuh rakyat dikota Bengkulu
mencapai 20 % dengan rataan fertilitas dan daya tetes relative rendah, masing –
masing 61 % dan 67,2 %. Adapun jeleknya hasil penetasan ini disinyalir telah
terjadi perkawinan antara puyuh sekerabat (inbreeding) , di karenakan peternak
puyuh pada umumnya tidak pernah mendatangkan puyuh dari luar.

Menurut Astuti et al (1985) kaki pengkor adalah salah satu indikator


akibat dari tekanan silang dalam (inbreeding depression). Pengaruh buruk
terhadap inbriding itu adalah akibat adanya penggabungan gen – gen resesif yang
homozigot disebabkan karena terjadi perkawinan sekerabat pada kelompok ternak
yang dipakai untuk bibit. (Noor, 1996 dan Warwick et al., 1990). Pada Ayam
yang mengalami inhibring dapat menyebabakan turunnya fertilitas, meningkatnya
mortilitas dan menimbukan terjadinya abnormalitas kaki lemah , criper, dan jari –
jari mencengkeram ( crooked) sehingga ayam sulit bertengger dan tidak adapt
berjalan secara normal (Rokimoto, 2002)

Persilangan merupakan suatu alternative untuk membentuk keturunan


yang diharapkan akan memunculkan efek komplementar (pengaruh saling
melngkapi). Selain efek komplementer, persilangan akan membentuk efek
heterosis untuk meningkatkan produktivitas ( Falconer, 1981) Adapun Kaharudin
dan kasusiyah (2005) telah melakukan persilangan resipokal ( persilangan jantan
bolak balik) antar puyuh dari dua daerah asal : merupakan antara puyuh asal
Bengkulu dengan padang ( BP), Bengkulu dengan Yogyakarta (BY), dan padang
dengan yogyakarta (PY) dan menunjukan semua keturunan hasil persilangan itu
tidak ditemukan kaki pengkor dan pertumbuhan hasil resiprokal nyata lebih
baikdiabndingkan dengan puyuh asli dari masing –masing daerah (puyuh asal

vi
Bengkulu (BB), Puyuh asal padang (PP), dan Puyuh asal Yogyakarta (YY). Maka
demikian juga produksi telur hasil persilangan puyuh dari dua daerah asal nyata
lebih tinggi (P< 0,05) dari produksi telur puyuh asal asal daerah Bengkulu (BB),
Padang (PP) dan Yogyakarta (YY) (Kaharuddin dan Kususiyah, 2006). Mereka
juga mengatakan bahwa fertilitas (86,33 %) dan daya tetes telur (81,36 %) puyuh
persilangan lebih baik dari puyuh asli masing –masing daerah dengan rataan
fertilitas (97,87 %) dan daya tetes (75,71 %) (Kaharuddin dan Kususiyah, 2006)

vii
III

PEMBAHASAN

3.1. Konversi Ransum


Konversi ramsum tidak berpengaruh secra nyata oleh komposisi
genetik. Namun demikian rataan konversi ransum puyuh G3 adalah yang
paling rendah dan hal ini menunjukkan bahwa G3 adalah relatif lebih efisien
dalam menggunakan ransum dibanding perlakuan lain.

3.2. Materi dan Metode


Parent stock (tetua) pada penelitian ini digunakan 90 ekor puyuh
penjantan yang terdiri dari puyuh asal Bengkulu (BB), puyuh asal Padang
(PP), dan puyuh asal Yogyakarta (YY), masing-masing 30 ekor dan 270
ekor puyuh betina terdiri dari puyuh hasil persilangan dari 2 daerah yaitu
PY, BY, PB, dan puyuh BB, PP, dan YY masing-masing 45 ekor.
Menggunakan rancangan acak lengkap dengan enam perlakuan dan
tujuh ulangan, masing-masing ulangan terdiri dari 4 ekor. Komposisi
genetik keturunan dijadikan perlakuan, sehingga didapat 6 macam
komposisi genetik sebagai berikut: (G1) 50%B 25%P 25%Y; (G2) 25%B
50%P 25%Y; (G3) 25%B 25%P 50%Y; (G4) 100%B; (G5) 100%P; dan (G6)
100%Y. Variabel yang diukur adalah umur dewasa kelamin, lama masa
produksi, berat telur per butir, jumlah telur, total berat telur, konsumsi
ransum, dan konversi ransum. Data yang diperoleh dianalisis
keragamannya. Bila perlakuan berpengaruh nyata, dilakukan uji Duncans
Multiple Range Test pada taraf 0,05.
Umur dewasa kelamin adalah hari dimana puyuh dalam satu petak
kandang telah ada yang bertelur. Sedangkan lama produksi adala lamanya
puyuh berproduksi dihitung sejak puyuh pertama kali bertelur hingga afkir
(produksi telur sudah turun hingga dibawah 45% selama 2 minggu berturut-
turut).

viii
3.3. Umur Dewasa Kelamin
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa komposisi genetik tidak
berpengaruh nyata terhadap umur dewasa kelamin. Hal ini menunjukkan
bahwa umur dewasa kelamin tidak dipengaruhi komposisi genetik. Secara
umum dewasa kelamin berkisar antara 42,29-43,43 hari adalah tidak jauh
berbeda dnegan pernyataan Listiyowati dan Roospitasari (2001) bahwa
dewasa kelamin puyuh adalah umur 6 minggu. Berbagai informasi
menunjukkan bahwa, pada umumnya bila puyuh telah mulai bertelur,
persentase produksi akan meningkat terus sampai mencapai pundcak
produksi, setelah mencapai puncak produksi, presentase produksi akan turun
secra perlahan hingga memasuki masa afkir.

3.4. Lama Masa Produksi


Lama masa produksi dihitung sejak puyuh dewasa kelamin sampai
masa afkir. Pada penelitian ini, puyuh diafkir bila persentase produksi setiap
perlakuan telah menurun hingga produksi telah menjadi di bawah 45%
selama 2 minggu berturut-turut. Bahwa lama masa produksi puyuh
persilangan lebih lama dibanding puyuh murni. Lebih lamanya masa
produksi puyuh persilangan dibanding puyuh murni ini mengindikasikan
adanya perbaikan mutu genetik dengan meningkatnya heterozigositias dan
mengurangi gen homozigot yang telah menguntungkan.
Puyuh G1 dengan komposisi genetik 50% Bengkulu 25% Padang 25%
Yogyakarta adalah yang paling lama masa produksinya (73 minggu),
sedangkan yang paling singkat lama masa produsksinya adlah puyuh
Bengkulu murni (G4) 57 minggu dan puyuh Padang murni (G5) 57 minggu.
Diantara puyuh murni, lama masa produksi puyuh murni Yogyakarta (G 6)
71 minggu adalah jauh lebih baik, namun masa lebih rendah dibanding
puyuh persilangan (G1, G2, G3).

3.5. Konsumsi Ransum


Konsumsi ransum dihitung mulai puyuh umur 6 minggu sampai afkir.
Komposisi genetik berpengaruh nyata terhadap konsumsi ransum.
Perbedaan konsumsi ransum ini disebabkan oleh perbedaan lama masa
produksi. Konsumsi ransum G1 nyata lebih tinggi dibandingkan puyuh G2,

ix
tetapi tidak berbeda nyata dibandingkan puyuh G3. Selanjutnya konsumsi
ransum puuyuh G4 dan G5 merupakan yang terendah karena lama masa
produksinya yang paling singkat. Secara umum bila dilihat konsumsi
ransum persilangan (G1 23,40 gram/ ekor hari, G2 23,1 gram/ ekor hari, dan
G3 23,30 gram/ ekor hari) relatif lebih rendah dibandingkan puyuh murni (G 4
23,52 gram/ekor hari, G5 23,96 gram/ekor hari, dan G6 23,42 gram/ ekor
hari).

3.6. Berat per Butir Telur


Berat per butir telur diukur untuk mengetahui ukuran telur. Hasil analisis
ragam menunjukan bahwa komposisi genetik berpengaruh nyata terhadap
ukuran telur. Ukuran telur puyuh G3 (11,49 g/butir) dengan komposisi
genetik 25%B 25%P 50%Y nyata lebih besar dibanding komposisi genetik
G1 (11,09 g/butir), G3 (11,10 g/butir) maupun puyuh murni G4 (11,21 g/hari),
G5 (11,45 g/hari), G6 (11,17 g/hari).

3.7. Jumlah Telur


Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa komposisi genetik
berpengaruh nyata terhadap jumlah telur yang dihasilkan. Secara umum
jumlah telur puyuh persilangan (G1 407,64 butir, G2 400,69 butir dan G3
349,27 butir) lebih banyak dibanding puyuh murni (G 4 316,56 butir, G5
315,92 butir, G6 377,82 butir). Lebih banyak jumlah telur yang dihasilkan
puyuh persilangan disebabkan puyuh persilangan memiliki masas produksi
lebih lama dibanding puyuh murni. Jumlah telur puyuh Bengkulu murni dan
puyuh Padang murni relatif lebih rendah dibandingkan puyuh Yogyakarta
murni.

3.8. Berat Total Telur


Komposisi genetik berpengaruh nyata terhadap berat total telur.
Sebagaimana jumlah telur yang dihasilkan, maka bertat total telur puyuh
persilangan juga lebih tinggi dibanding puyuh murni. Selanjutnya, meskipun
tidak berbeda nyata diantara puyuh persilangan, berat total telur puyuh G 3
(4531 g) meskipun lama masa produksinya lebih singkat dibanding G1 (4519

x
g) dan G2 (4447 g) adalah yang paling tinggi. Hal ini disebabkan oleh
ukuran telur yang dihasilkan paling besar. Selanjutnya berat total telur
puyuh murni Bengkulu dan telur puyuh murni Padang adalah yang paling
rendah, dan telur puyuh murni Yogyakarta paling tinggi karena jumlah telur
yang dihasilkan lebih banyak sebagai akibat lebih lamanya masa produksi.

xi
IV

KESIMPULAN

4.1. Kesimpulan

Puyuh hasil persilangan memasuki dewasa kelamin pada saat umur 42,29 -
43,43 hari atau kurang lebih selama 6 minggu. Puyuh ini memiliki masa produksi
lebih lama dari puyuh murni yang mengindikasikan adanya perbaikan mutu
genetik. Setelah memasuki dewasa kelamin, puyuh persilangan mulai dihitung
konsumsi ransumnya hingga afkir yang menunjukan konsumsi puyuh hasil
persilangan lebih rendah dibandingkan dengan puyuh murni. Konversi ransum
pun menunjukkan bahwa puyuh hasil persilangan memilki konversi ransum
relative lebih efisien.

Produksi telur yang dihasilkan oleh puyuh hasil persilangan lebih tinggi
dibandingkan puyuh murni. Berat telur puyuh hasil persilangan lebih berat dari
puyuh murni yaitu sebesar 11,49 g/butir. Junlah telur yang dihasilkan puyuh hasil
persilangan pun lebih tinggi dibandingkan puyuh murni dikarenakan puyuh
persilangan memiliki masa produksi lebih lama sehingga berat total telur puyuh
hasil persilangan lebih tinggi dibandingkan puyuh murni

Metode yang digunakan dalam penelitan ini menggunakan Parent stock


(tetua) 90 ekor puyuh penjantan yang terdiri dari puyuh asal Bengkulu (BB),
puyuh asal Padang (PP), dan puyuh asal Yogyakarta (YY), masing-masing 30
ekor dan 270 ekor puyuh betina terdiri dari puyuh hasil persilangan dari 2 daerah
yaitu PY, BY, PB, dan puyuh BB, PP, dan YY masing-masing 45 ekor. Variabel
yang diukur adalah umur dewasa kelamin, lama masa produksi, berat telur per

xii
butir, jumlah telur, total berat telur, konsumsi ransum, dan konversi ransum. Data
yang diperoleh dianalisis keragamannya. Bila perlakuan berpengaruh nyata,
dilakukan uji Duncans Multiple Range Test pada taraf 0,05

Daftar Pustaka

Desia Kaharuddin dan Kususiyah. 2011. Pengaruh Komposisi Genetik Hasil


Persilangan Puyuh (Coturnix – Coturnix Japonica) Tiga Daerah Asal
Terhadap Performans Produksi Telur. Jurnal Sains Peternakan Indonesia.
Vol 6. No. 1.

xiii

Anda mungkin juga menyukai