Anda di halaman 1dari 10

ANALISIS SIFAT FISIK DAGING

Muhammad Amirul Fakhri D1B015012

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Daging adalah bahan pangan yang bernilai gizi tinggi karena kaya akan protein, lemak,
mineral serta zat lainnya yang sangat dibutuhkan tubuh. Daging juga merupakan bahan
pangan yang sangat baik bagi pertumbuhan dan perkembangbiakan mikroorganisme sehingga
dapat menurunkan kualitas daging. Daging mudah sekali mengalami kerusakan mikrobiologi
karena kandungan gizi dan kadar airnya yang tinggi. Kerusakan pada daging ditandai dengan
perubahan bau dan timbulnya lendir yang terjadi pada daging tersebut. Oleh sebab itu
diperlukan uji fisik sebelum daging dikonsumsi.
Pengujian secara fisik dapat dilakukan dengan cara melihat nilai pH, susut masak, Daya
Mengikat Air, serta keempukan. Pengujian secara fisik ini dilakukan untuk melihat kualitas
daging secara keseluruhan. Dengan mengetahui pH kita dapat memastikan bahwa daging itu
berkualitas baik ataupun tidak. Oleh karena itu, pengujian sifat fisik daging sangat
diperlukan.
Tujuan
Tujuan praktikum ini adalah untuk menilai kualitas daging secara uji fisik dengan mengamati
nilai pH, Daya Mengikat Air (DMA), susut masak dan keempukan.

TINJAUAN PUSTAKA
Daging
Menurut Soeparno (2005), daging adalah semua jaringan hewan dan semua produk
hasil pengolahan jaringan-jaringan tersebut dapat dimakan serta tidak menimbulkan
gangguan kesehatan bagi yang mengkonsumsinya. Lawrie (1998) mendefinisikan daging
dalam arti khusus sebagai bagian dari hewan yang digunakan sebagi makanan. Menurut SNI
3932-2008 definisi daging segar adalah daging yang belum diolah atau tidak ditambahkan
dengan bahan apapun. Daging beku adalah daging segar yang sudah mengalami proses
pembekuan di dalam blast freezer dengan temperature internal minimal -18C.
Susut Masak
Pendapat Soeparno (1994), bahwa pada umumnya nilai susut masak daging sapi bervariasi
antara 1,554,5% dengan kisaran 1540%. Daging bersusut masak rendah mempunyai
kualitas yang relatif baik dibandingkan dengan daging bersusut masak besar, karena resiko
kehilangan nutrisi selama pemasakan akan lebih sedikit. Susut masak merupakan indikator
nilai nutrisi daging yang berhubungan dengan kadar air daging, yaitu banyaknya air yang
terikat didalam dan di antara otot. Daya ikat air (WHC) yang rendah akan mengakibatkan
nilai susut masak yang tinggi. WHC sangat dipengaruhi oleh nilai pH daging.
Menurut Soeparno (1994) apabila nilai pH lebih tinggi atau lebih rendah dari titik isoelektrik
daging (5,05,1) maka nilai susut masak daging tersebut akan rendah.
pH
Menurut Forest et al. (1975), pH daging pada ternak hidup berkisar antara 6,8-7,2, sedangkan
menurut Buckle et al. (1987) pH daging pada ternak hidup berkisar antara 7,2-7,4. Pada
beberapa ternak, penurunan pH terjadi satu jam setelah ternak dipotong dan pada saat
tercapainya rigormortis. Pada saat itu nilai pH daging ada yang tetap tinggi yaitu sekitar 6,56,8, namun ada juga yang mengalami penurunan dengan sangat cepat yaitu mencapai 5,4-5,6.
Peningkatan pH dapat terjadi akibat partumbuhan mikroorganisme Nilai pH daging sapi
setelah perubahan glikolisis menjadi asam laktat berhenti berkisar antara 5,1-6,2 (Buckle et
al.,1987).
Nilai pH otot pascamerat akan menurun pada saat pembentukan asam laktat akan
menurunkan DIA dan akan banyak air yang berasosiasi dengan protein otot yang bebas
meninggalkan searbut otot. Pada titik isolektrik protein myofibril, filamen myosin dan
filamen aktin akan saling mendekat, sehingga ruang diantara filamen-filamen menjadi kecil.
Daya mengikat air akan menurun pada saat pemecahan dan habisnya ATP serta pada saat
terbentuknya rigormortis.
Bouton et al. (1971) dan Wismer-Pedersen (1971) menyatakan bahwa daya ikat air oleh
protein daging dipengaruhi oleh pH. Daya mengikat air menurun dari pH tinggi sekitar 7 10
sampai pada pH titik isoelektrik protein-protein daging antara 5,0 5,1. Pada pH isoelektrik
ini protein daging tidak bermuatan (jumlah muatan positif sama dengan jumlah muatan
negatif) dan solubilitasnya minimal.

Pada pH yang lebih tinggi dari pH isolektrik protein daging, sejumlah muatan positif
dibebaskan dan terdapat surplus muatan negative yang mengakibatkan penolakan dari
miofilamen dan member lebih banyak ruang untuk molekul air. Pada saat pH lebih rendah
dari titik isoelektrik protein-protein daging akan terjadi kelebihan muatan positif yang
mengakibatkan penolakan miofilamen dan akan memberi ruang yang lebih banyak bagi
molekul-molekul air. Dengan demikian pada saat pH daging diatas atau dibawah titik
isolektrik protein-protein daging maka DMA akan meningkat.
Daya mengikat Air
Daya ikat air oleh protein daging atau disebut dengan Water Holding Capacity (WHC),
didefinisikan sebagai kemampuan daging untuk menahan airnya atau air yang ditambahkan
selama ada pengaruh kekuatan, misalnya pemotongan daging, pemanasan, penggilingan, dan
tekanan. Daging juga mempunyai kemampuan untuk menyerap air secara spontan dari
lingkungan yang mengandung cairan (water absorption).
Ada tiga bentuk ikatan air di dalam otot yakni air yang terikat secara kimiawi oleh protein
otot sebesar 4 5% sebagai lapisan monomolekuler pertama, kedua air terikat agak lemah
sebagai lapisan kedua dari molekul air terhadap grup hidrofilik, sebesar kira-kira 4%, dimana
lapisan kedua ini akan terikat oleh protein bila tekanan uap air meningkat. Ketiga adalah
adalah lapisan molekul-molekul air bebas diantara molekul protein, besarnya kira-kira 10%.
Denaturasi protein tidak akan mempengaruhi perubahan molekul pada air terikat (lapisan
pertama dan kedua), sedang air bebas yang berada diantara molekul akan menurun pada saat
protein daging mengalami denaturasi (Wismer-Pedersen, 1971).
Otot-otot dengan proporsi ekstrem tinggi dalam mengikat air adalah firm (keras), mempunyai
struktur ketat, dan mempunyai tekstur kering atau lengket. Sebaliknya jaringan dengan
kemampuan mengikat air yang rendah adalah lunak (soft) mempunyai struktur yang terbuka
(renggang), dan teksturnya basah atau berbiji/berurat. Pemerataan air intraseluler pada kasus
yang pertama dan air ekstraseluler pada kasus yang terakhir menjelaskan perbedaanperbedaan ini yang berhubungan dengan kemampuan mengikat air.
Faktor-Faktor Penyebab Variasi Daya Ikat Air Oleh Protein Daging
Ada beberapa faktor yang bisa menyebabkan terjadinya variasi pada daya ikat air oleh daging
diantaranya: faktor pH, faktor perlakuan maturasi, pemasakan atau pemanasan, faktor
biologik seperti jenis otot, jenis ternak, jenis kelamin dan umur ternak. Demikian pula faktor
pakan, transportasi, suhu, kelembaban, penyimpanan dan preservasi, kesehatan, perlakuan
sebelum pemotongan dan lemak intramuskuler. Penurunan daya mengikat air dapat diketahui
dengan adanya eksudasi cairan yang disebut weep pada daging mentah yang belum
dibekukan atau drip pada daging mentah beku yang disegarkan kembali atau kerut pada
daging masak. Dimana eksudasi tersebut berasal dari cairan dan lemak daging (Soeparno,
2005).
Keempukan Daging
Menurut Lawrie (1995), penyebab utama kealotan daging adalah karena terjadinya
pemendekan otot pada saat proses rigormortis sebagai akibat dari ternak yang terlalu banyak
bergerak pada saat pemotongan. Otot yang memendek menjelang rigormortis akan
menghasilkan daging dengan panjang sarkomer yang pendek, dan lebih banyak mengandung
kompleks aktomiosin atau ikatan antarfilamen, sehingga daging menjadi alot (Soeparno,

1994). Menurut Soeparno (1994) menjelaskan bahwa peregangan otot atau pencegahan
terhadap pengerutan otot akan meningkatkan keempukan daging, karena panjang sarkomer
miofibril meningkat. Penggantungan karkas dapat meningkatkan panjang sejumlah otot
sehingga daging menjadi empuk. Keempukan daging juga dapat disebabkan oleh tekstur
daging. Semakin halus teksturnya, maka daging menjadi empuk (Soeparno,2005).
Nilai daya putus Warner-Bratzler menunjukkan tingkat keempukan daging. Proses pelayuan
akan menurunkan daya putus Warner-Bratzler, sehingga dapat meningkatkan keempukan
daging. Pengaruh pelayuan dan peregangan otot terhadap daya putus Warner-Bratzler
menjadi lebih besar setelah pemasakan (Bouton and Harris, 1972).

MATERI DAN METODE


METODE
Materi
Praktikum uji analisis fisik ini meliputi beberapa indikator, diantaranya adalah pengukuran
pH, keempukan, susut masak dan daya mengikat air (DMA). Alat dan bahan yang digunakan
dalam uji pH adalah daging, pH meter, larutan Buffer 4 da 7, tissue dan aquadest. Pengujian
keempukan alat yang digunakan adalah kompor, panci, air, termometer bimetal, correr, dan
warner blatzer. Pada pengujian susut masak alat yang digunakan adalah timbangan digital,
kompor, panci, air, termometer bimetal, sedangkan pengujian pengujian daya mengikat air
(DMA) alat yang digunakan adalah pisau, talenan, timbangan analitik, kertas saring,
corperpress, dan planimeter.
Prosedur
Pemgukuran pH Daging
Alat pH meter daging (meat pH meter Hanna) dikalibrasi terlebih dahulu pada buffer pH 7
dan 4, lalu tusukan pH meter pada sampel daging sebanyak tiga titik tusukan membentuk
segitiga. Besarnya pH daging akan muncul secara digital di layar pH meter Hanna.
Keempukan Daging
Pengujian keempukan daging, dimulai dengan Sampel direbus sampai suhu dalamnya
mencapai 81C, Ditusukkan termometer bimetal pada sampel daging untuk mengukur suhu
internal daging, kemudian daging didinginkan. Dibuat 2-3 core daging. Uji setiap core
dengan menggunakan warner bratzler. Anak panah berwarna merah pada warner blatzer
diamati saat memotong daging, nilai yang tertera merupakan nilai dari keempukan daging.
Susut Masak Daging
Sampel daging yang tersedia ditimbang (berat awal) pada timbangan digital sebelum direbus
dalam air yang mendidih. Daging direbus hingga suhu dalam daging mencapai 81C. Setelah
mencapai suhu tersebut dinginkan daging dan timbang kembali pada timbang digital (berat
akhir). Susut masak daging didapatkan dari hasil hitung :
% Susut masak = Berat sebelum pemasakan Berat setelah pemasakan x 100
Berat sebelum pemasakan
Daya Mengikat Air (DMA)
Pengujian daya mengikat air daging dilakukan dengan dipotongnya sampel kecil hingga
beratnya mencapai 0,3 gram, agar mendapatkan hasil yang akurat timbang potongan daging
pada timbangan analaitik. Daging 0,3 gram tersebut ditaruh di antar dua kertas saring jenis

whatman, lalu di press di alat corperpess hingga tekanan 35 kg/m2 selama 5 menit. Setelah
daging dalam tumpukan kertas saring sudah menjadi cetakan seperti lempengan ukur luasan
daging tersebut menggunakan planimeter. Ukur luas area basah daging dengan cara :
Luas Area Basah = LL LD
100
Setelah mendapatkan luas area basah, ukur mgH2O yang terkandung :
mg H2O = Luas area basah (cm2) 8,0
0,0948
Persen air bebas yang ada menunjukan daya mengikat air (DMA) dalam daging, menghitung
persen air bebas :
% air bebas = mgH2O X 100%
300

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil
Tabel 1, Data Hasil Pengamatan Uji Fisik Kualitas Daging Segar Thowing (Knuckle)
Jenis Pengujian Kelompok
1 dan 2 3 dan 4 5 dan 6
pH 5,6 5,46 5,61
%Susut Masak 40,3 40,21 42,6
Keempukan 8,83 8,7 7,5
% DMA 42,01 34,53 28,86
Keterangan keempukan :
0 3 = empuk
3 6 = sedang
> 6 = alot (keras)
Pembahasan
Hasil pengamatan pada paktikum pengujian fisik kualitas daging segar thowing knuckle pada
tiap kelompok menunjukkan nilai yang berbeda. Rata- rata nilai pH daging1,daging2 dan
daging3 adalah 5,55. Forest et al., 1975 mengatakan bahwa pada beberapa ternak, penurunan
pH terjadi satu jam setelah ternak dipotong dan pada saat tercapainya rigormortis, ada saat itu
nilai pH daging ada yang tetap tinggi yaitu sekitar 6,5-6,8, namun ada juga yang mengalami
penurunan dengan sangat cepat yaitu mencapai 5,4-5,8. Hal ini tidak menunjukkan hasil yang
jauh berbeda dengan pengamatan praktikum. Adanya perbedaan ini disebabkan karena
berbedanya kandungan glikogen yang ada di setiap otot. Berbedanya kandungan glikogen
ketiga sampel daging ini karena bagian knuckle terletak di paha belakang atau depan yang
digunakan untuk beraktivitas sehari-hari sehingga perlu energy lebih banyak. Pengaruh lain
yang mengakibatkan peningkatan pH adalah umur dari sapi yang sudah tua dan juga dapat
terjadi akibat pertumbuhan mikroorganisme nilai pH daging sapi setelah perubahan glikolisis
menjadi asam laktat berhenti berkisar antara 5,1-6,2 (Buckle et al.,1987).
Daya mengikat air atau water holding capacity (WHC) merupakan kemampuan daging untuk
mengikat airnya. Hasil pengamatan pada uji daya mengikat air pada tiap daging, meninjukkan
hasil yang bebeda. Daya mengikat air pada daging1 (42,01%), daging2 (34,53%), daging3
(28,86%). Rata-rata daya mengikat air dari tiap daging adalah 35,16%. Perbedaan DMA ini

antara lain disebabkan oleh perbedaan jumlah asam laktat yang dihasilkan, sehingga pH di
antara dan di dalam otot berbeda. Fungsi atau gerakan otot yang berbeda juga ikut
mempengaruhi perbedaan DMA karena perbedaan jumlah glikogen yang menentukan
besarnya pembentukan asam laktat dan penurunan pH bervariasi. Laju penurunan pH otot
yang cepat akan mengakibatkan DMA menjadi rendah (Soeparno, 2005). Oleh karena itu
semakin rendah persentase DMA dari sampel daging maka semakin tinggi kandungan H2O
dari daging tersebut.
Susut masak merupakan perbedaan (selisih) bobot awal dengan bobot akhir setelah dimasak.
Susut masak pada daging yang diamati adalah 40,31%, 40,21%, dan 42,6%. Soeparno (1994),
menyatakan bahwa pada umumnya nilai susut masak daging sapi bervariasi antara 1,554,5%
dengan kisaran 1540%. Hasil pengamatan ini menunjukkan bahwa susut masak dari daging
petama dan daging kedua, tidak memunjukkan hasil yang jauh berbeda karena berasal dari
ternak yang sama. Rata- rata susut masak dari ketiga daging adalah 41,03%, ini tidak jauh
menyimpang dari standar susut masak daging pada umumnya. Perbedaan antara susut masak
daging1, daging2, dan daging 3 disebabkan oleh panjang serabut otot dari tiap daging yang
berbeda. Soeparno, 1994 mengatakan bahwa susut masak dipengaruhi panjang serabut otot.
Semakin panjang serabut otot suatu daging, maka susut masak semakin rendah, demikian
sebaliknya, semakin pendek serabut otot suatu daging, maka susut masak semakin besar.
Susut masak juga dipengaruhi oleh umur dan bangsa ternak.
Keempukan merupakan penentu yang paling penting pada kualitas daging. Keempukan pada
uji kualitas fisik daging yang dilakukan pada daging1 (8,83GMS), daging2 (8,7GMS),
daging3(7,5GMS). Berdasarkan nilai keempukan dari tiga sampel daging knuckle tersebut
maka dapat diketahui jika ketiga sampel daging tersebut termasuk alot terbukti dari nilai
keempukan sekitar 8,343, berdasarkan kisaran keempukan daging menurut Pearson (1963).
Menurut Lawrie (1995), penyebab utama kealotan daging adalah karena terjadinya
pemendekan otot pada saat proses rigormortis sebagai akibat dari ternak yang terlalu banyak
bergerak pada saat pemotongan. Otot yang memendek menjelang rigormortis akan
menghasilkan daging dengan panjang sarkomer yang pendek, dan lebih banyak mengandung
kompleks aktomiosin atau ikatan antarfilamen, sehingga daging menjadi alot , pH juga
berpengaruh terhadap keempukkan. pH yang tinggi akan mengakibatkan keempukkan
meningkat dan jus meningkat pula (Soeparno, 1994), selain itu Bate-Smith, 1948 menyatakan
bahwa keempukan daging menurun dengan meningkatnya umur ternak.
Berdasarkan hasil pengamatan, daging dari sumber yang sama, memiliki pH, DMA, susut
masak, dan keempukan yang berbeda. Daging1, dengan pH 5,6 dan DMA 42,01 memiliki
susut masak 40,3% dan keempukan 8,83. Daging2 memiliki pH 5,46, DMA 34,53%, susut
masak 40,21% dengan keempukan 8,7. Daging3 memiliki pH 5,61 DMA 28,86%, susut
masak 42,6% keempukan 7,5. Hasil pengamatan yang dilakukan pada tiga sampel daging
menunjukkan jika pada daging kelompok 5 dan 6 (daging3) yang memiliki nilai pH tertinggi
memiliki nilai keempukan yang paling rendah artinya daging yang dimiliki lebih empuk
dibandingkan kelompok lain. Hal tersebut sesuai dengan teori namun daging pada 1kelompok
1 dan 2 yang memiliki nilai pH sedang yaitu 5,6 memilliki nilai keempukan yang ditunjukan
alat Warner Blatzler paling tinggi yaitu8,83 yang menunjukkan daging tersebut paling alot
dibandingkan kedua sampel lainnya. Hal tersebut tidak sesuai dengan teori karena daging2
dari kelompok 3 dan 4 yang memiliki nilai pH paling rendahlah yang seharusnya memiliki
nilai keempukan paling rendah (nilai yang ditunjukkan alat Warner Blatzler paling tinggi).

Persentase DMA yang rendah mengindikasikan jika banyaknya kandungan H2O dalam
daging akan akan meninggikan nilai persentase susut masak daging. Hasil yag didapatkan
menunjukkan jika data kelompok 5 dan 6 yang memiliki nilai DMA paling rendah memiliki
susut masak yang paling tinggi dibandingkan dengan kedua sampel daging lainnya. Daging1
dari kelompok 1 dan 2 serta daging2 dari kelompok 3 dan 4 penyimpangan dari teori.
Persentase DMA yang paling tinggi yakni pada daging1( kelompok 1 dan 2) seharusnya
memiliki nilai susut masak yang paling tinggi pula, akan tetapi hasil menunjukkan jika susut
masak yang tertinggi terdapat pada daging2( kelompok 3 dan 4 )yang memiliki nilai DMA
yang lebih rendah dari daging1 (1 dan 2). Hal tersebut terjadi karena adanya perbedaan
jumlah glikogen yang berakibat pada perbedaan jumlah asam laktat untuk mengikat air dari
sampel daging tersebut

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pengamatan, dapat disimpulkan bahwa uji kualitas daging dapat dilihat dari
nilai pH, Daya Mengikat Air, susut masak dan keempukan. Semakin tinggi pH suatu daging,
maka daya mengikat airnya semakin tinggi, dan pH yang tinggi, akan mempengaruhi nilai
keempukan yang semakin tinggi (alot) dan susut masak yang rendah. Hubungan Daya
Mengikat Air dengan susut masak adalah berdanding terbalik. Bedasarkan teori nilai dari tiap
indicator, pada Daging1 dari kelompok 1 dan 2 serta daging2 dari kelompok 3 dan 4 tidak
menunjukkan pebandingan yang baik dan sesuai.

DAFTAR PUSTAKA
Bouton PE, Harris PV, Shorthose WR. 1972. The effects of cooking temperature and time on
some mechanical properties of meat. J. Food Sci. 97: 140-144.

Buckle, K.A., R.A. Edwards,G.H. Fleet, dan M. Wootton. 1987. Ilmu Pangan. Terjemahan:
Hari Purnomo Adiono. UI Press: Jakarta.
Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pengelolaan Pangan. Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi.
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Forrest, J.C., E.D. Aberle, H.B. Hendrick, M.D. Judge, and R.A Merkel. 1975. Principles of
Meat Science. Freeman, London.
Lawrie, R.A. 1998. Lawries Meat Science. 6th Edition. Woodhead Publishing Ltd.,
Cambridge.
Soeparno. 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Cetakan keempat. Gajah Mada University
Press, Yogyakarta.
Wismer-Pedersen, J. 1971. Pada The Science of Meat and Meat Products. 2nd Ed. J.F. Price
and B.S. Schweigert, W.H. Frreeman and Co., San Fransisco.

Anda mungkin juga menyukai