Anda di halaman 1dari 14

KUALITAS DAGING AYAM BROILER YANG DIRENDAM

DALAM KITOSAN

Oleh :
Nadya Muwaffaqoh Luthfiyah
19/446053/PT/08307

Diajukan sebagai syarat ujian


mata kuliah metodologi penelitian

FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2021
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Industri perunggasan memiliki peran sangat penting dalam
perekonomian Indonesia.Hal ini dimungkinkan karena industri
perunggasan mampu menghasilkan swasembada daging unggas maupun
telur serta berperan dalam meningkatkan kesehatan dan kecerdasan
masyarakat.Saat ini, 65% daging yang dikonsumsi masyarakat berasal
dari daging ayam terutama daging ayam broiler (Anonimous, 2015).
Produksi ayam broiler di Indonesia mengalami peningkatan pesat setiap
tahunnya, pada tahun 2015 sebesar 1.528.329 ekor kemudian mengalami
peningkatan sebesar 4,21% pada tahun 2016 yaitu 1.592.669 ekor
(Anonimous, 2016). Hal ini mengindikasikan bahwa produksi ayam broiler
di Indonesia terus meningkat setiap tahunnya secara signifikan.Indonesia
telah berhasil melakukan swasembada daging unggas terutama daging
ayam broiler.Produksi daging ayam broiler dua (2) tahun terakhir secara
berturut-turut adalah 1.628,31 ton pada tahun 2015, dan 1.689,58 ton
pada tahun 2016 (Anonimous, 2016).
Kasih et al. (2012) menyatakan bahwa saat ini masyarakat
Indonesia lebih banyak mengenal daging broiler sebagai daging ayam
potong yang biasa dikonsumsi, karena kelebihan yang dimiliki seperti
kandunganatau nilai gizi yang tinggi sehinggamampu memenuhi
kebutuhan nutrisi dalam tubuh. Kelebihan ayam broiler adalah
pertambahan bobot badan sangat cepat, dagingnya empuk, ukuran badan
besar, bentuk dada lebar, padat dan berisi, efisiensi terhadap pakan relatif
tinggi, hampir sebagian besar dari pakan mampu diubah menjadi daging
mudah di peroleh, dagingnya yang lebih tebal, dan mudah didapatkan di
pasaran maupun supermarket dengan harga yang terjangkau.
Kitosan merupakan byopolymer alam yang melimpah berbentuk
polisakarida linier, diperoleh melalui proses deasetilasi senyawa kitin pada
limbah cangkang crustaceae seperti rajungan, udang, dan kepiting
(Mardliyati et al., 2012). Kitosan memiliki sifat non toksik, antibakteri
karena memiliki gugus aktif bermuatan positif (polikationik) yang dapat
menghambat pertumbuhan bakteri patogen dan mikroorganisme
pembusuk (Wahyuni dan Siswanto, 2016), polimer alami tidak memiliki
efek samping dan mudah diuraikan oleh enzim.Kitosan dapat
dimanfaatkan sebagai pengawet bahan pangan (Karmana, 2008) seperti
daging ayam broiler. Adanya muatan positif dari gugus NH 3 + pada kitosan
dapat berinteraksi dengan muatan negatif pada permukaan sel bakteri
(Helander et al., 2001) sehingga menghambat pertumbuhan
mikroorganisme terutama bakteri pada daging. Berdasarkan latar
belakang diatas maka perlu dilakukan penelitian ilmiah untuk mengkaji
dan mengatasi persoalan tersebut dengan menguji kualitas daging ayam
broiler yang diberi kitosan sebagai bahan pengawet alternatif alami yang
aman.
Rumusan Masalah
Rumusan Masalah Dari uraian diatas, permasalahan yang harus
diteliti, yaitu:
1. Bagaimana pengaruh perendaman daging ayam dalam campuran
kitosan glukosa terhadap karakteristik fisik ayam broiler?
2. Bagaimana pengaruh perendaman daging ayam dalam campuran
kitosan glukosa terhadap karakteristik kimia ayam broiler?
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh kitosan
terhadap kualitas daging ayam broiler dan untuk mengetahui level atau
kadar kitosan yang optimum dalam proses perendaman sehingga dapat
digunakan sebagai bahan pengawet yang aman secara luas.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi
seluruh stake holder agribisnis ayam broiler yaitu peternak atau produsen
ayam, pemerintah, Rumah Potong Ayam (RPA), Tempat Pemotongan
Ayam (TPA), pedagang daging, produsen sarana dan prasarana (industri
kitosan), peneliti,dalam mengelola dan memanfaatkan limbah kitin berupa
kitosan sebagai bahan pengawet daging ayam broiler yang ASUH.
TINJAUAN PUSTAKA
Kitosan
Kitosan merupakan biopolymer alam, berbentuk polisakarida linier
yang tersusun atas β-(1-4-linked D-glucosamine dan N-acetyl-D
glucosamine). Kitosan diproduksi melalui proses deasetilasi senyawa kitin,
yakni komponen utama pada cangkang crustaceae seperti rajungan dan
udang (Mardliyati et al., 2012). Kitosan dihasilkan dari kitin dan
mempunyai struktur kimia yang sama dengan kitin terdiri dari rantai
molekul yang panjang dan berat molekul yang tinggi. Perbedaan antara
kitin dan kitosan adalah pada setiap cincin molekul kitin terdapat gugus
asetil (CH3-CO) pada atom karbon yang kedua, sedangkan pada kitosan
terdapat gugus amina (NH). Kitosan dihasilkan dari kitin dengan cara
deasetilasi yaitu dengan cara direaksikan menggunakan alkali konsentrasi
tinggi dengan waktu yang relatif lama dan suhu tinggi. Kitosan dapat
dihasilkan dari kitin dengan cara menghilangkan gugus asetil (CH 3-CO)
sehingga molekul dapat larut dalam larutan asam. Proses ini disebut
deasetilasi yaitu melepaskan gugus asetil agar kitosan memiliki
karakteristik sebagai kation. Tiga dari empat gugus asetil dalam senyawa
kitin dapat dihilangkan dengan menggunakan larutan Natrium Hidroksida
yang pekat dan panas dapat menghasilkan deasetilasi yang hampir
sempurna. Waktu yang lama dan suhu yang lebih tinggi akan menaikan
persentase deasetilasi dan menurunkan ukuran molekul (Madliyati et al.,
2012)
Kitosan bermanfaat sebagai serat yang dapat dikonsumsi, sebagai
pengawet dan pengaya rasa, untuk perbaikan tekstur, sebagai bahan
pengemulsi, dan sebagai bahan penjernih, (2) di bidang biomedis, kitosan
bermanfaat sebagai obat luka, kontak lensa, membran dialisis darah,
antitumor, antikolesterol, dan pelangsing tubuh, (3) di bidang perawatan
kulit dan rambut, kitosan bermanfaar sebagai lotion dan krim pelembab,
dan produk-produk perawatan rambut, (4) di bidang pertanian dan
lingkungan, kitosan dimanfaatkan sebagai fungisida, pemupukan dan
pengolahan limbah, dan (5) lain-lain, kitosan juga dimanfaatkan dalam
industri kertas, sebagai penyerap warna, baterai padat, aditif pakan, dan
kromatografi (Karmana, 2008).
Daging Broiler
Daging ayam broiler adalah bahan pangan yang mengandung nilai
nutrisi tinggi dengan aroma dan rasa yang enak, tekstur daging lunak dan
harga yang relatif murah, sehingga disukai hampir semua orang.
Komposisi kimia daging ayam terdiri dari air 65,95%, protein 18,6%, lemak
15,06%, dan abu 0,79% (Stadelman et al., 1988). Daging ayam
merupakan sumber protein yang baik, karena mengandung asam amino
essensial yang lengkap dan dalam perbandingan jumlah yang baik
(Winedar et al., 2006).
Daging broiler bewarna putih keabuan dan cerah. Kulit ayam broiler
berwarna putih kekuningan dan bersih.Jika disentuh daging terasa lembab
tidak lengket. Serat daging broiler halus, mudah dikunyah, mudah dicerna,
berflavor lembut, aroma tidak menyengat, dan tidak berbau amis. Daging
ayam broiler mengandung protein 21% dan lemak total 25% (Soeparno,
2009). Ditinjau dari segi mutu, daging broiler memiliki nilai gizi yang lebih
tinggi dibandingkan hewan ternak lainnya. Daging broiler mempunyai
kandungan protein yang lebih tinggi, komposisi protein ini sangat baik
karena mengandung semua asam amino esensial yang mudah dicerna
dan diserap oleh tubuh. Kandungan gizi yang dimiliki jenis daging broiler
dalam 100 gram adalah kadar protein 23,6%, lemak 7%, kolesterol 62 mg,
dan kalori 135 Kkal (Anggorodi, 1995). Daging broiler, mempunyai
kelemahan, kandungan gizinya yang cukup tinggi menjadi tempat yang
baik untuk perkembangan mikroorganisme pembusuk yang akan
menurunkan kualitas daging sehingga berdampak pada daging menjadi
mudah rusak (Soeparno, 2005).
Pengawetan Daging
Daging broiler memiliki kandungan gizi seperti protein dan air yang
cukup tinggi menyebabkan daging broiler mudah busuk setelah
disembelih, sehingga perlu dilakukan suatu usaha peningkatan daya
simpan dan daya awet produk meliputi proses pengawetan maupun
pengolahan (Soeparno, 2009). Kandungan lemak pada daging ayam
sekitar 25%. Tingginya kandungan lemak pada daging ini sangat mudah
mengalami kerusakan oleh mikroorganisme atau oksidasi lemak sehingga
masa simpannya menjadi rendah. Pengawetan daging dilakukan dengan
tujuan untuk memperpanjang masa simpannya sampai sebelum
dikonsumsi. Berdasarkan metode, pengawetan daging dapat dilakukan
dengan tiga (3) metode yaitu pengawetan secara fisik, biologi, dan kimia.
Pengawetan secara fisik meliputi proses pelayuan (penirisan darah
selama 12-24 jam setelah ternak disembelih), pemanasan (proses
pengolahan
Pengawetan secara kimia dibedakan menjadi pengawetan
menggunakan bahan kimia dari bahan aktif alamiah dan bahan kimia
(sintesis). Pengawetan menggunakan bahan aktif alamiah antara lain
menggunakan rempah-rempah (bawang putih, kunyit, lengkuas, jahe),
metabolit sekunder bakteri (bakteriosin), dan lain-lain yang dilaporkan
memiliki daya anti bakteri, anti mikroba, dan bakterisidal. Pengawetan
menggunakan bahan kimia seperti garam dapur, STPP, sodium nitrit,
sodium laktat, sodium asetat, sendawa (kalium nitrat), gula pasir, dan
kitosan. Penggunaan dalam jumlah yang tepat, pengawetan dengan
bahan kimia sangat praktis karena dapat menghambat
berkembangbiaknya mikroba, jamur, kapang/khamir, dan bakteri patogen.
Pengawetan daging dapat dilakukan dengan penambahan bahan kimia
pengawet yang termasuk dalam bahan tambahan pangan (BTP) dalam
produk olahan daging, namun penggunaan bahan tambahan pangan ini
menimbulkan polemik di masyarakat yang takut efek negatif yang
ditimbulkan bila konsumsi daging dengan penambahan BTP. Bahan
tambahan pangan adalah bahan aditif yang mengandung senyawa kimia
yang telah diijinkan penggunaannya (Anonimous, 2014).
Total Plate Count (TPC)
Prinsip dari metode hitungan cawan adalah bila sel mikroba yang
masih hidup ditumbuhkan pada medium, maka mikroba tersebut akan
berkembang biak dan membentuk koloni yang dapat dilihat langsung, dan
kemudian dihitung tanpa menggunakan mikroskop. Metode ini merupakan
cara paling sensitif untuk menentukan jumlah jasad renik, dengan alasan:
(a) Hanya sel mikroba yang hidup yang dapat dihitung. (b) Beberapa jasad
renik dapat dihitung sekaligus. (c) Dapat digunakan untuk isolasi, dan
identifikasi mikroba karena koloni yang terbentuk mungkin berasal dari
mikroba yang mempunyai penampang spesifik (Dwidjoseputro, 2005).
Metode hitungan cawan juga mempunyai kelemahan sebagai
berikut: (a) Hasil perhitungan tidak menunjukkan jumlah sel yang
sebenarnya, karena beberapa sel yang berdekatan mungkin membentuk
koloni. (b) Medium dan kondisi inkubasi yang berbeda mungkin
menghasilkan jumlah yang berbeda pula. (c) Mikroba yang ditumbuhkan
harus dapat tumbuh pada medium padat dan membentuk koloni yang
kompak, jelas dan tidak menyebar. (d) Memerlukan persiapan dan waktu
inkubasi relatif lama sehingga pertumbuhan koloni dapat dihitung
(Dwidjoseputro, 2005).
Metode hitungan cawan dibedakan atas dua cara, yakni metode
tuang (pour plate), dan metode permukaan (surface / spread plate). Pada
metode tuang, sejumlah sampel (1ml atau 0,1ml) dari pengenceran yang
dikehendaki dimasukkan kecawan petri, kemudian ditambah agar-agar
cair steril yang didinginkan (47-50˚C) sebanyak 15-20 ml dan digoyangkan
supaya sampelnya menyebar. Pada pemupukan dengan metode
permukaan, terlebih dahulu dibuat agar cawan kemudian sebanyak 0,1 ml
sampel yang telah diencerkan dipipet pada permukaan agar-agar
tersebur, kemudian diratakan dengan batang gelas melengkung yang
steril. Jumlah koloni dalam sampel dapat dihitung sebagai berikut: Koloni
per ml = jumlah koloni per cawan x (1: faktor pengenceran). Perhitungan
jumlah bakteri secara keseluruhan yaitu (a) Menghitung langsung secara
mikroskopik, yaitu dihitung jumlah bakteri dalam satuan isi yang sangat
kecil untuk itu digunakan kaca objek khusus yang bergaris. (b)
Menghitung dengan cara kekeruhan. Cara ini menggunakan
spektropometer atau nefelometer. Dasar teknik ini adalah banyaknya
cahaya yang diabsorpsi sebanding dengan banyaknya sel bakteri pada
batas-batas tertentu.
Water Holding Capasity (WHC)
Water Holding Capacity (WHC), didefinisikan sebagai kemampuan
daging untuk menahan airnya atau air yang ditambahkan selama ada
pengaruh kekuatan, misalnya pemotongan daging, pemanasan,
penggilingan, dan tekanan. Daging juga mempunyai kemampuan untuk
menyerap air secara spontan dari lingkungan yang mengandung cairan
(water absorption). Daya ikat air oleh protein daging dalam bahasa asing
disebut sebagai Water Holding Capacity (WHC), didefinisikan sebagai
kemampuan daging untuk menahan airnya atau air yang ditambahkan
selama ada pengaruh kekuatan, misalnya pemotongan daging,
pemanasan, penggilingan, dan tekanan. Daging juga mempunyai
kemampuan untuk menyerap air secara spontan dari lingkungan yang
mengandung cairan (water absorption).
     Ada tiga bentuk ikatan air di dalam otot yakni air yang terikat secara
kimiawi oleh protein otot sebesar 4 sampai 5% sebagai lapisan
monomolekuler pertama, kedua air terikat agak lemah sebagai lapisan
kedua dari molekul air terhadap grup hidrofilik, sebesar kira-kira 4%,
dimana lapisan kedua ini akan terikat oleh protein bila tekanan uap air
meningkat. Ketiga dalah adalah lapisan molekul-molekul air bebas
diantara molekul protein, besarnya kira-kira 10%.
Denaturasi protein tidak akan mempengaruhi perubahan molekul
pada air terikat (lapisan pertama dan kedua), sedang air bebas yang
berada diantara molekul akan menurun pada saat protein daging
mengalami denaturasi.  Penurunan DIA dapat diketahui dengan adanya
eksudasi cairan yang disebut weep pada daging mentah yang belum
dibekukan atau drip pada daging mentah beku yang disegarkan kembali
atau kerut pada daging masak. Dimana eksudasi tersebut berasal dari
cairan dan lemak daging (Soeparno, 2005).
LANDASAN TEORI DAN HIPOTESIS
Landasan Teori
Kandungan nutrisi yang lengkap dalam daging ayam
mengakibatkan daging sangat disukai oleh bakteri. Daging ayam broiler
akan mengalami kebusukan lima jam setelah pemotongan tanpa
pengawetan. Aktivitas mikroorganisme dapat menurunkan kualitas daging
yang ditunjukkan dengan perubahan warna, rasa, aroma bahkan
pembusukan. Upaya yang dilakukan untuk menambah lama simpan
daging broiler yaitu melalui proses pengawetan. Salah satu proses
pengawetan yang dapat dilakukan adalah pengawetan secara kimia.
Pengawetan secara kimia menggunakan bahan seperti kitosan
sangat praktis karena dapat menghambat berkembang biaknya mikroba,
jamur, kapang/khamir, dan bakteri patogen. Kitosan sangat bermanfaat
sebagai antibakteri dengan ukuran partikel tertentu yang lebih efektif yaitu
ukuran nanopartikel dan mampu merusak membran sel bakteri. Kitosan
juga bermanfaat sebagai serat yang dapat dikonsumsi, sebagai pengawet
dan pengaya rasa, untuk perbaikan tekstur, sebagai bahan pengemulsi,
dan sebagai bahan penjernih.
Prinsip dari metode hitungan cawan adalah bila sel mikroba yang
masih hidup ditumbuhkan pada medium, maka mikroba tersebut akan
berkembang biak dan membentuk koloni yang dapat dilihat langsung, dan
kemudian dihitung tanpa menggunakan mikroskop. Metode ini merupakan
cara paling sensitif untuk menentukan jumlah jasad renik, dengan alasan:
(a) Hanya sel mikroba yang hidup yang dapat dihitung. (b) Beberapa jasad
renik dapat dihitung sekaligus. (c) Dapat digunakan untuk isolasi, dan
identifikasi mikroba karena koloni yang terbentuk mungkin berasal dari
mikroba yang mempunyai penampang spesifik.
Water Holding Capacity (WHC), didefinisikan sebagai kemampuan
daging untuk menahan airnya atau air yang ditambahkan selama ada
pengaruh kekuatan, misalnya pemotongan daging, pemanasan,
penggilingan, dan tekanan. Daging juga mempunyai kemampuan untuk
menyerap air secara spontan dari lingkungan yang mengandung cairan
(water absorption). Daya ikat air oleh protein daging dalam bahasa asing
disebut sebagai Water Holding Capacity (WHC), didefinisikan sebagai
kemampuan daging untuk menahan airnya atau air yang ditambahkan
selama ada pengaruh kekuatan.
Hipotesis
Pemberian kitosan pada daging ayam broiler mampu
mempertahankan kualitas daging dan semakin tinggi kadar kitosan yang
diberikan pada proses perendaman, semakin efektif kerja kitosan
mempertahankan kualitas daging ayam broiler tersebut.
MATERI DAN METODE
Materi
Materi yang digunakan pada penelitian ini adalah ayam broiler yang
dipilih berdasarkan bobot badan sebesar 1,5 sampai 1,7 kg. Peralatan
analisis TPC yang meliputi cawan petri, tabung reaksi, pipet ukur,
autoclave, dan vortex. Selain itu dibutuhkan juga peralatan analisis pH (pH
meter), peralatan analisis tekstur dan peralatan analisis WHC yang
meliputi timbangan digital, kertas saring, kaca, pemberat dan, kertas
grafik.
Metode
Metode yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah percobaan
factorial (3x3) dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK)
dengan 2 faktor dan 3 kali ulangan. Faktor perlakuan pertama adalah
perendaman daging ayam broiler pada larutan kitosan dengan presentase
0% (P0), 3% (P1), 6% (P2), dari volume air yang digunakan. Faktor
perlakuan yang kedua adalah lama waktu perendaman (T) yaitu 0 menit
(T0), 30 menit (T1) dan 60 menit (T2).
Teknik Pengumpulan Data
Data yang diamati adalah TPC, pH, WHC, dan tekstur. Data yang
diperoleh kemudian dianalisis dengan menggunakan analisis ragam dan
apabila menunjukan adanya perbedaan baik yang nyata maupun sangat
nyata maka dilanjutkan dengan uji beda nyata jujur.
Variabel Penelitian
Variabel dependen yang diamati meliputi aspek kimia (kadar air,
kadar abu, kadar protein, kadar lemak, kadar karbohidrat), mikrobiologi
(analisa TPC) dan organoleptik (Rasa, Penampakan, Tekstur, Aroma &
Warna) setelah daging ayam selesai diolah sesuai perlakuan dan
tenggang waktu selama penyimpanan suhu dingin. Sedangkan variabel
independennya (sebagai perlakuan) adalah konsentrasi larutan kitosan
dan lama penyimpanan pada suhu dingin.
DAFTAR PUSTAKA

Anggorodi, R. 1995. Ilmu Makanan Ternak Unggas Kemajuan Mutakhir.


Fakultas Peternakan IPB. Bogor.
Anonimous, 2015. FGD: Menata Industri Perunggasan Nasional.
http://www.pb.ispi.org/2015/05/ diakses 7 Maret 2017, 10:17 WIB.
Anonimous, 2016. Populasi dan Produksi Peternakan di Indonesia.
Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Indonesia.
Jakarta.
Dwidjoseputro, D. 2005. Dasar-dasar Mikrobiologi. Penerbit Djambatan.
Jakarta.
Helander, E.L., Nurmiaho-Lassila, Ahvenainen, R., Rhoades J. and Roller,
S., 2001. Chitosan disrupts the barrier properties of the outer
membrane of gram-N negative bacteria. International Journal of Food
Microbiology. 71 (2001): 235–244.
Karmana, O. 2008. Biologi untuk kelas XI semester 1. Sekolah Menengah
Atas. Penerbit Grafindo Media Pratama. Bandung.
Kasih, N.S., A. Jaelani dan N. Firahmi. 2012. Pengaruh lama
penyimpanan daging ayam segar dalam refrigerator terhadap pH,
susut masak dan organoleptik. Media Sains. 4(2): 154-159.
Mardliyati, E., E.M. Sjaikhurria, dan R.S.Damai. 2012. Sintesis
nanopartikel kitosan trypolyphosphate dengan metode gelasi ionik.
Pengaruh Terhadap Karakteristik Partikel. Prosiding Pertemuan
Ilmiah Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Bahan. 1(1): 90-93.
Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Gajah Mada University
Press, Yogyakarta.
Soeparno, 2009. Ilmu dan Teknologi Daging. Cetakan kelima. Gadjah
Mada University Press. Yogyakarta.
Stadelman, V.M. Olson, G.A. and S. S. Pasch. 1988. Egg and Poultry
Meat Processing, Ellis Haewood Ltd.
Wahyuni, S dan Siswanto. 2016. Kitosan hasil pengolahan limbah
krustasea yang bernilai tambah tinggi. Artikel Peternakan UNDIP.
4(1): 26-29.
Winedar, Hanifiasti. 2006. Daya cerna protein pakan, kandungan protein
daging, dan pertambahan berat badan ayam broiler setelah
pemberian pakan yang difermentasi dengan effective
microorganisms-4 (EM-4). Bioteknologi 3 (1): 14-19

Anda mungkin juga menyukai