Anda di halaman 1dari 16

MAKA

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Industri peternakan itu merupakan salah satu industri penyumbang limbah


yang cukup besar dan juga dapat memberikan dampak yang buruk jika
limbah tersebut tidak dikelola dengan baik. Tapi, seiring dengan
berkembangnya teknologi dan ilmu pengetahuan, industri peternakan pun
bisa menggunakan konsep Zero waste atau dalam bahasa Indonesia
berarti bebas sampah merupakan suatu konsep dan upaya yang
dilakukan guna meminimalisir produksi sampah dari suatu kegiatan.
Konsep utama dari zero waste adalah metode 5R,
yaitu Refuse (menolak), Reduce (mengurangi), Reuse (menggunakan
kembali), Recycle (mendaur ulang) dan Rot (membusukan). Pada intinya,
gaya hidup zero waste akan menuntut kita untuk bijaksana dalam
menggunakan produk yang dapat menghasilkan limbah. Gaya hidup ini
sudah semakin banyak digunakan dalam kehidupan modern sehari-hari kita,
begitupun dengan peternakan.

Suatu peternakan penggemukan akan menghasilkan dua macam limbah,


yaitu limbah peternakan dan limbah ternak. Limbah peternakan merupakan
suatu produk buangan dari kegiatan produksi pada suatu peternakan,
misalnya hijauan sisa pemberian pakan, botol obat-obatan, karung-karung
konsentrat, kaca bohlam, dan lain-lain. Sedangkan limbah ternak
merupakan produk buangan yang dihasilkan oleh ternak itu sendiri,
seperti feses, urine, air flushing, darah, dan lain-lain.  Sapi potong sendiri
berpotensi menghasilkan feses yang berkisar antara 10-30 kg/ekor/hari
(Muladno dan Suryahadi, 1999).
Konsep zero waste yang diterapkan pada suatu peternakan dapat
mengkaji perubahan pola pikir para peternak yang pada awalnya
memandang limbah ternak sebagai masalah polusi menjadi limbah ternak
sebagai potensi yang memiliki nilai ekonomis (Rupa, Jemseng, dan
Antonius, 2019). Limbah ternak seperti feses dan urine menyimpan
potensi sebagai bahan baku utama biogas, karena keduanya merupakan
bahan organik yang mempunyai kandungan Nitrogen (N) tinggi,
disamping unsur Karbon (C), Hidrogen (H) dan Oksigen (O). Peluang
pasar yang ditawarkan oleh produk dari limbah ini pun sangatlah besar.

Konsep ini mengutamakan pemanfaatan kembali dari seluruh limbah


ternak maupun sisa pakan dalam suatu siklus produksi (Reza, Abubakar, dan
Alex, 2004). Beberapa produk yang dapat dihasilkan dari pemanfaatan
limbah ternak adalah jenis kompos curah, blok, granula, dan bhokasi.
Selain dapat menghasilkan produk-produk diatas, limbah ternak juga
berpotensi sebagai bahan baku pembuatan biogas. Biogas tergolong
bahan bakar hasil fermentasi dari bahan organic dalam kondisi anaerob. Gas
yang mendominasi kandungan dari biogas adalah metana (CH4) dan
karbondioksida (CO2). Untuk limbah lainnya seperti sisa hijauan pakan
ternak pun dapat diolah kembali menjadi kompos. Penggunaan kompos
jerami padi dalam jangka panjang akan dapat menaikan kandungan
bahan organic tanah dan mengembalikan kesuburan tanah di sawah (Nurul,
Agus, dan Khafid, 2018).

1.2Rumusan Masalah
1.3 Tujuan
BAB ll

TINJAUAN PUSTAKA
BAB lll
PEMBAHASAN
1) Tepung Darah

Limbah pemotongan hewan yang jarang mendapat perhatian adalah darah.


Tepung darah sangat tinggi kandungan proteinnya, yaitu 80%. Namun,
daya serap unggas terhadap protein darah tersebut sangat rendah, sehingga
penggunaannya dalam ransum dibatasi maksimum 2%. Selain kaya akan
protein, tepung darah juga kaya akan asam amino lysin, arginin, metionin,
sistin, dan leusin. Akan tetapi, kandungan asam amino isoleusin dan
argininnya rendah serta nilai biologis dari protein tepung darah rendah. Ini
berarti bahwa walaupun kandungan protein tepung darah tinggi, yang dapat
dimanfaatkan oleh tubuh atau yang dapat dicerna rendah. Darah yang akan
dijadikan tepung darah dapat diambil dari RPA (rumah potong ayam)
setempat dengan cara yang higienis, kemudian direbus dalam wajan
tertutup dengan tekanan yang tinggi. Selanjutnya, bahan ditiriskan, diiris
tipis, dan dikeringkan. Setelah kering, irisan darah selanjutnya digiling
untuk dijadikan tepung.
2) Kotoran Ayam
Kegiatan peternakan ayam menyebabkan terjadinya peningkatan
produksi kotoran ayam yang disebabkan oleh tingginya jumlah populasi
ayam. Di lain pihak, keuntungan yang diperoleh peternak kurang memadai
sebagai akibat mahalnya harga bahan pakan konvensional.
Kedua permasalahan tersebut dapat dipecahkan dengan cara
menggunakan kotoran ayam tersebut sebagai bahan pakan. Kotoran ayam
masih mempunyai nilai gizi yang berasal dari bahan pakan yang tidak
dicerna, mikroorganisme, pakan yang terbuang, dan bahan organik sisa
lainnya. Namun, kotoran yang tidak diproses dapat mengganggu kesehatan
ternak (Laconi, 1992). Untuk itu, kotoran perlu proses untuk meningkatkan
nilai gizinya dan untuk menghilangkan sesuatu yang berpengaruh negatif
seperti mikroorgnisme patogen, residu obat, logam berat, dan lain-lain.
Kotoran ayam sebelum digunakan terlebih dahulu dibersihkan dari
berbagai unsur yang membahayakan, selanjutnya dikeringkan, dan digiling
halus. Faktor pembatas penggunaannya adalah nilai cerna proteinnya yang
rendah dan kandungan serat kasarnya yang tinggi (14,9 – 18,60%).
Bau kotoran ayam sebagai bahan pakan dalam penyusunan ransum
unggas menyebabkan konsumsi akan menurun. Oleh karena itu, sebelum
diberikan terlebih dahulu dikeringkan dan didiamkan beberapa hari.
Tujuan pengeringan, disamping untuk menghilangkan bau juga untuk
menghilangkan bakteri salmonela. Ransum yang menggunakan kotoran
ayam sebaiknya disajikan dalam bentuk crumble atau pellet.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Muller (l980) menunjukkan
bahwa penggunaan kotoran ayam ras petelur pada tingkat 12,5 % dalam
ransum ternyata dapat meningkatkan produksi telur dan efisiensi
penggunaan ransum (Tabel 5.1).
Tabel 5.1. Pengaruh penggunaan kotoran ayam ras petelur dalam
ransum terhadap produksi telur dan efisiensi penggunaan ransum pada
ayam Lohmann Brown fase peneluran pertama

Variabel Kotoran Ayam Dalam


Ransum
0% 12,5 % 25,0 %
Hen-day Production (%) 64,40 67,80 65,00
Konsumsi Ransum (gr/ekor/hari) 96,40 95,10 107,80
Feed Conversion Ratio (ransum/berat telur) 2,41 2,22 3,00
Sumber : Muller (l980)
Apabila dalam proses pengolahan kotoran ayam baik, dan di dalam
penyusunan ransum dikombinasikan dengan bahan lain yang cukup baik
kandungan nutrisinya, maka penggunaan kotoran ayam dalam ransum unggas
dapat mencapai 30% dari total ransum.
Hasil penelitian yang dilakukan Santoso et al. (2004) melaporkan bahwa
peningkatan energi dan BETN kotoran ayam disebabkan karena pembentukan
gula yang berasal dari pemecahan serat kasar. Selain itu, penurunan kadar protein
dalam kotoran mungkin juga menyediakan sejumlah substrat untuk mensintesis
karbohidrat. Ini merupakan hasil yang mengejutkan, sebab biasanya proses
fermentasi menurunkan kadar energi bahan pakan (Hanafiah, 1995; Susanawati,
1998).
Tabel 5.2, menyajikan kandungan nutrisi dari kotoran ayam yang berasal dari
lantai “cage” dan kotoran ayam yang berasal dari lantai “litter”.
Tabel 5.2. Kandungan zat makanan pada kotoran ayam ras
Nutrisi Tinja Ayam
Cage Litter
Protein kasar % 28,70 25,30
Lemak kasar % 1,70 2,30
Serat Kasar % 14,90 18,60
Ca % 2,70 2,50
P total % 2,20 1,60
Metionin % 0,12 0,13
Lysin % 0,39 0,49
Triptofan % 0,53 -
Leusin % 0,80 0,70
Arginin % 0,38 0,43
Fenilalanin % 0,35 0,49
Sumber : Rasyaf (2002)
Komponen nitrogen dalam kotoran ayam terutama dalam bentuk asam urat
dan amoniak (Santoso et al., 1999). Untuk meningkatkan nilai senyawa nitrogen
dalam kotoran, maka senyawa tersebut harus diubah menjadi asam amino atau
protein mikroba.
Penurunan kadar protein menunjukkan bahwa EM 4 (yang terutama
mengandung Lactobacillus sp.) kurang efektif untuk mensintesis protein mikroba
dari senyawa nitrogen dalam kotoran. Fakta ini menunjukkan bahwa terdapat
pelepasan nitrogen selama fermentasi. Telah diketahui bahwa fermentasi oleh
bakteri asam laktat menurunkan kadar protein bahan pakan (Ohshima et al.,1997).
Untuk memperbaiki kadar protein kotoran, EM 4 sebaiknya dikombinasikan
dengan mikroorganisme efektif lainnya. Handayani (1997) menemukan bahwa
fermentasi kotoran ayam pedaging dengan ragi tape meningkatkan kadar protein
kotoran.
EM4 sangat efektif untuk memecah serat kasar dalam kotoran ayam. EM 4
diduga menghasilkan sejumlah besar enzim yang mampu memecah serat kasar
terutama selulase. Keuntungan penggunaan Lactobacillus untuk memecah serat
kasar adalah bahwa bakteri tidak menghasilkan serat kasar dalam aktivitasnya,
sehingga mereka lebih efektif dalam menurunkan kadar serat kasar bahan pakan
jika dibandingkan dengan ragi atau kapang (Hanifah, 1995; Pasaribu et al.,
1998).
Kadar lemak yang lebih tinggi diduga disebabkan oleh meningkatnya
sintesis asam lemak. Penurunan serat kasar dan protein diduga meningkatkan
ketersediaan substrat untuk merangsang sintesis asam lemak. Peningkatan sintesis
asam lemak merupakan faktor utama peningkatan kadar lemak suatu bahan
(Scorve et al.,1993).
Pada Gambar 12, tersaji sistem pemeliharaan ayam dengan lantai “cage”
sehingga kotoran ayam yang terkumpul di bawahnya lebih mudah digunakan
sebagai pakan ayam. Berbeda halnya dengan kotoran ayam yang berasal dari
lantai “litter”; kotoran ayam bercampur dengan bahan penyusun “litter’ itu sendiri
yang umumnya bersumber dari sekam padi.
Teknologi pengolahan limbah merupakan salah satu alternatif dalam
penyediaan pakan dan bermanfaat pula dalam mengurangi pencemaran
lingkungan. Peningkatan mutu pakan dengan menggunakan kotoran ayam dapat
dilakukan dengan metode “wastelage”, yaitu proses pembuatan silase dengan
memfermentasikan limbah pertanian (“by-product”) yang ditambahi limbah
ternak. Sutrisno et al. (2006) menyatakan bahwa cara pengeringan ternyata
menurunkan daya hidup mikroba kotoran ayam (pengeringan dengan oven lebih
baik daripada matahari).
3) Bulu Ayam
Bulu ayam merupakan hasil ikutan usaha pemotongan ayam.
Tepung bulu komersial diolah dengan proses hidrolisis dengan pemanasan
dan tekanan uap dan merupakan sumber protein yang baik dengan
kuantitas protein dan energi relatif tinggi. Bulu ayam tersedia cukup
banyak, yang bersumber dari rumah potong ayam. Namun, penggunaannya
secara penuh belum begitu banyak.
Tepung bulu ayam mudah didapat, tersedia dalam jumlah yang
cukup banyak, berkesinambungan, dan sebagai bahan pakan ternak
harganya relatif murah, tetapi penggunaannya sebagai bahan pakan
penyusun pakan ternak belum banyak dimanfaatkan. Padahal, kandungan
protein bulu ayam sangat tinggi, yaitu 85,60% (Ochetim, 1993). Hal
tersebut disebabkan karena rendahnya kecernaan protein pada bulu ayam
yang disebabkan oleh adanya proses keratinisasi dan daya cernanya rendah
(Han dan Parson, 1991). Kandungan keratinnya sebanyak 8,8% dari 74
kandungan proteinnya (Scott et al., 1982) dan kandungan asam amino
lysin, metionin, histidin, dan triptofannya rendah (William et al., 1982).
Komposisi zat makanan pada bulu ayam menurut Ochetim (l993)
adalah 85,60% protein kasar, dengan komposisi asam amino glisin 4,20%;
leusin 5,43%; sistin 6,40%; histidin 0,53%; lisin 2,26%; arginin 4,40%;
isoleusin 3,00%; metionin 0,32%; fenilalanin 3,18%; prolin 6,81%; serin
5,72%; treonin 2,47%; tirosin 1,79%; valin 4,13%; asam aspartat 3,42%;
dan asam glutamat 6,90%.
Menurut Fenita (2002) yang dikutip oleh Chaniago (2002), tepung
bulu ayam mengandung 64,10% protein kasar; 1,31% lemak kasar; 1,09%
serat kasar; 0,21% Ca; 0,20% P. Kandungan asam aminonya secara
berturutan adalah 4,73% arginin; 2,03% isoleusin; 5,47% leusin; 1,46%
lysin; 0,37% metionin; 3,30% penilalanin; 3,63% treonin; 4,27% valin; dan
2,21% sistein. Kelemahan utama tepung bulu ayam sebagai pakan (Gambar
5.1), yaitu rendahnya kandungan metionin sehingga perlu adanya
suplementasi metionin sintetis. Kelemahan lain tepung bulu ayam adalah
ketidakseimbangan asam aminonya (Moran et al., 1966 dalam Ochetim,
1993). Menurut Sutradi (1979), ketidakseimbangan beberapa asam amino
akan mengubah pola konsentrasi asam amino dalam tubuh. Apabila
konsentrasi asam amino berubah, maka selera makan menurun. Akibatnya,
konsumsi pakan menurun.
Nuraini et al. (2002) melaporkan bahwa tepung bulu ayam
mengandung bahan kering 92,34%, protein kasar 80,42%, lemak kasar
7,79%, serat kasar 0,88%, dan abu 2,63%. Agar kandungan zat-zat
makanan pada tepung bulu ayam menyamai tepung ikan, maka harus
ditambahkan dengan 25% minyak kelapa (75 : 25). Dilaporkan juga bahwa
penggunaan tepung bulu ayam (75% tepung bulu ayam + 25% minyak
kelapa) pada level 2,5%, 5%, dan 7,5% sebagai pengganti penggunaan
tepung ikan dalam ransum secara nyata dapat menurunkan konsumsi
ransum, pertambahan berat badan, efisiensi penggunaan ransum,
persentase karkas, dan persentase lemak abdominal ayam. Akan tetapi,
penambahan enzim papain dalam ransum (0,03 – 0,06%) ternyata dapat
memberikan hasil yang sama dengan kontrol. Ada kecendrungan terjadi
peningkatan efisiensi penggunaan ransum dan penurunan jumlah lemak
abdominal bila dibandingkan dengan kontrol Lin et al. (2001) melaporkan
bahwa mikroorganisme Streptomyces fradiae ternyata dapat menghidrolisis
bulu ayam sehingga lebih mudah dicerna oleh enzim pencernaan. Beberapa
peneliti melaporkan bahwa keratinisasi pada bulu ayam dapat diatasi
dengan teknologi fermentasi. Menurut Koh et al. (l963), enzim
keratinolitik ternyata dapat diproduksi oleh strain Aspergillus. Dilaporkan
juga oleh Shih dan Lee (l993) dalam Lin et al. (2001) bahwa tepung bulu
ayam terfermentasi dengan Bacillus licheniformis ternyata dapat
meningkatkan kecernaan tepung bulu ayam sehingga dapat digunakan
dalam ransum sebagai pengganti bungkil kedelai.
Tingginya kandungan asam amino sistin pada bulu ayam dapat
menutupi kekurangan asam amino metionin. Menurut Sugahara dan Kubo
(l992), ransum yang mengandung asam amino arginin dan asam amino
yang mengandung sulfur tinggi ternyata dapat menurunkan retensi energi
sebagai lemak, sehingga karkas yang dihasilkan akan mengandung lemak
rendah. Wessel (l992) melaporkan bahwa pengukusan bulu ayam yang
terlalu lama ternyata dapat menurunkan kandungan asam amino metionin,
histidin, lisin, dan triptofan.
Nuraini at al. (2002) menyatakan bahwa salah satu cara untuk
meningkatkan penggunaan tepung bulu ayam adalah penggunaan enzim
dalam pakan yang bertujuan antara lain untuk meningkatkan nilai gizi dari
pakan tersebut. Penggunaan enzim papain sebagai enzim proteolitik
diketahui mampu memutuskan rantai peptida kompleks menjadi asam-
asam amino yang lebih sederhana pada kondisi yang sesuai dengan
fisiologi ayam.
Penggunaan enzim papain diharapkan dapat meningkatkan daya
cerna protein pakan dan mengoptimalkan kerja sistem pencernaan serta
absorpsi zat makanan dalam saluran pencernaan ayam. Dilaporkan bahwa
penambahan 0,03% dan 0,06% enzim papain dalam ransum secara nyata
dapat meningkatkan konsumsi ransum, persentase karkas, pertambahan
berat badan, dan efisiensi penggunaan ransum ayam. Persentase lemak
abdominal ayam meningkat secara tidak nyata dengan semakin meningkat
kandungan enzim papain dalam ransum.
Papain sebagai enzim protease akan dapat mengkatalisis molekul
protein menjadi fragmen yang lebih kecil, di mana peptidase
menghidrolisis fragmen polipeptida menjadi asam-asam amino sehingga
dalam tubuh ayam akan lebih mudah dicerna.
4) Isi Rumen
Salah satu limbah yang dihasilkan dari rumah potong hewan (RPH) adalah
isi rumen. Sebagai hasil buangan, volume isi rumen mencapai 10 – 12 %
dari berat hidup ternak. Pada prinsipnya, isi rumen adalah bahan pakan
yang tercerna dan tidak tercerna yang belum sempat diserap oleh usus serta
masih tercampur dengan getah lambung, enzim-enzim pencernaan, dan
mikroba rumen.
Cairan rumen yang diperoleh dari rumah potong hewan kaya akan
kandungan enzim pendegradasi serat dan vitamin. Cairan rumen
mengandung enzim -amilase, galaktosidase, hemiselulase, selulase, dan
xilanase (Williams dan Withers, 1992).
Rumen diakui sebagai sumber enzim pendegradasi polisakarida.
Polisakarida dihidrolisis dalam rumen disebabkan karena pengaruh sinergis
dan interaksi dari kompleks mikroorganisme, terutama selulase dan
xilanase ( Trinci et al., 1994). Isi rumen yang merupakan limbah rumah
potong hewan apabila tidak ditangani dengan baik dapat mencemari
lingkungan. Sebaliknya, isi rumen berpotensi sebagai feed additive. Cairan
rumen telah digunakan sebagai sumber inokulan dalam pengelolaan silase
jerami padi. Lebih lanjut, cairan rumen pada onggok sebagai bahan baku
penyusun ransum komplit dapat meningkatkan kandungan VFA (volatile
fatty acids) (Hardiyanto, 2001).
Hasil penelitian Nitis (l987) menunjukkan bahwa penggunaan
campuran isi rumen dengan tepung limbah ikan dengan perbandingan
37% : 63% sebagai sumber protein konsentrat pada ransum ayam petelur
pada level 15-35% ternyata menurunkan produksi telur. Hal ini duduga
karena tingginya kandungan serat kasar dan zat makanan yang tidak
tercerna. Kandungan zat makanan pada isi rumen dari
ternak sapi, kerbau, dan domba tersaji pada Tabel 5.3.
isi rumen kaya akan zat makanan berupa asam-asam amino, vitamin
B- kompleks, serta mineral yang sangat bermanfaat bagi ternak. Selain itu,
isi rumen mengandung serat kasar yang tinggi, lignin, silika, dan energi
termetabolisnya rendah. Kadang-kadang ditemukan juga senyawa
antinutrisi. Oleh karena itu, pemakaian isi rumen sebagai pakan ternak
sangat terbatas. Salah satu bakteri yang terkandung dalam cairan rumen
adalah bakteri selulolitik. Isolasi bakteri selulolitik dari cairan rumen dapat
dilakukan dengan cara sebagai berikut (Purnomohadi, 2006).
 Untuk mendapatkan bakteri selulolitik, dilakukan pemurnian
bahan dari cairan rumen dari ternak yang baru disembelih.
 Bakteri yang dominan terpilih dari proses ini adalah enam macam
isolat dari genus bakteri selulolitik yang bersifat fakultatif (anaerob), yaitu
79
Cellulomonas, Cytophaga, Bacillus, Lactobacillus, Acidothermus, dan
Cellvibrio.
 Keenam genus bakteri tersebut kemudian dikembangkan untuk
digunakan
sebagai inokulum.
 Cara pembuatan inokulum adalah stok bakteri pada media miring
ditambahi aquadest steril 5 ml, divorteks selama 1 menit untuk membuat
suspensi bakteri dari media miring tabung untuk selanjutnya dituang pada
45 ml media cair Czapek Modification.
 Inkubasi dengan suhu kamar pada sacker selama 2 hari.
 Suspensi bakteri 50 ml pada media cair Czapek Modification
dimasukkan ke dalam 450 ml cairan carboxil metil cellulose (CMC) yang
telah ditambah malt ekstrak.
 Inkubasi dengan suhu kamar selama 2 hari.
 Suspensi siap diinokulasikan pada bahan pakan (jerami padi)

5.6 Limbah Ternak Lainnya

Bahan lain yang berpotensi untuk digunakan sebagai pakan


ternak adalah limbah rumah pemotongan ternak berupa campuran tulang
dan sisa daging yang masih melekat (meat and bone meal). Untuk produk
luar negeri, kandungan protein kasar bahan pakan ini dapat mencapai 55 –
60%. Bahan pakan ini sangat bagus untuk sumber mineral kalsium dan
fosfor. Penggunaannya dalam ransum unggas umumnya berkisar antara 2,5
– 10%.
Dalam suatu usaha breeding penetasan yang kapasitas setiap minggunya
dapat mencapai 10.000 butir telur, akan banyak sekali limbah penetasan
yang dihasilkan. Limbah penetasan ini dapat berupa telur yang tidak ada
tunasnya (setelah tiga hari seleksi), telur dengan tunas tetapi gagal menetas,
dan kulit telur itu sendiri. Umumnya limbah penetasan telur ini dijadikan
tepung dan sangat bagus sebagai bahan pakan sumber mineral kalsium dan
fosfor.
BAB 1V

PENUTUP

6.1. Lmbah Pakan Ternak Alternatif

Seiring dengan makin menyempitnya lahan untuk menanam hijauan, maka


pemanfaatan limbah untuk pakan akan terus meningkat. Nilai pakan limbah
sangat tergantung pada jenis limbah, kandungan nutrisi limbah, dan ada tidaknya
senyawa antinutrisi pada limbah tersebut. Faktor pembatas pemanfaatan limbah
sebagai pakan ternak umumnya kandungan nutrisinya rendah dan kurang disukai
oleh ternak. Atas dasar pertimbangan itu, perlu ditemukan upaya meningkatkan
pendayagunaan limbah untuk pakan ternak secara berkelanjutan.
Onggok yang difermentasi oleh Aspergillus niger menghasilkan produk
dengan kecernaan bahan kering dan protein yang lebih tinggi. Produk yang
dihasilkan memiliki kandungan protein kasar berkisar antara 35 – 40%. Karena
itu, ubi kayu yang semula sebagai sumber energi berubah menjadi sumber protein
bagi unggas.

6.2 Pertimbangan Teknis dan Ekonomis

Sebelum digunakan sebagai pakan ternak, sebaiknya perlu dilakukan analisis


teknis dan ekonomis terhadap pakan limbah tersebut. Pakan limbah yang akan
digunakan harus tersedia dalam waktu yang cukup lama atau ketersediaannya
harus kontinyu. Bahan pakan yang sudah tersedia pada suatu saat, kemudian
hilang (tidak tersedia) harus dihindarkan penggunaannya. Padi yang diproduksi
secara masal dan nasional menyebabkan ketersediaan dedak padi dan bekatul
untuk ternak juga akan berlimpah. Lain halnya dengan bahan pakan yang
diproduksi secara terbatas akan menghasilkan bahan pakan yang terbatas pula
ketersediaannya.
Produksi pertanian yang besar tentu akan menghasilkan banyak bahan pakan
untuk ternak. Indonesia yang mengutamakan produksi padi akan banyak
menghasilkan dedak dan bekatul. Karena itu, dedak padi selalu digunakan dalam
penyusunan ransum ternak. Selanjutnya, buah kelapa dan kelapa sawit banyak
dijadikan sebagai bahan dasar pembuatan minyak goreng, maka hasil samping
pembuatan minyak goreng itu dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak, seperti
bungkil kelapa dan bungkil sawit.
Pertimbangan lainnya, yaitu bahan pakan untuk ternak tidak boleh bersaing
dengan manusia. Apabila manusia lebih banyak membutuhkannya, maka bahan
pakan tersebut tidak boleh diberikan pada ternak, misalnya kacang kedelai.
Namun demikian, bungkil kacang kedelai dapat diberikan pada ternak.
Pertimbangan selanjutnya, yaitu harga bahan pakan itu sendiri. Walaupun
dapat digunakan sebagai bahan pakan, apabila harganya mahal, maka penggunaan
bahan atau peran bahan pakan itu sebagai bahan pakan ternak akan tersisihkan.
Murah ataupun mahalnya suatu bahan pakan harus dinilai dari manfaat bahan
pakan itu sendiri, yang merupakan cermin dari kualitasnya dan hasil yang
diperoleh. Tepung ikan misalnya, harganya memang mahal, tetapi bila
dibandingkan dengan kandungan proteinnya yang tinggi dan kelengkapan asam
aminonya serta manfaat yang diperoleh, maka penggunaan tepung ikan sebagai
bahan pakan sumber protein menjadi murah.
Kelengkapan asam amino, vitamin, mineral, dan energi yang terkandung di
dalam pakan limbah memegang peranan penting untuk menentukan apakah bahan
pakan tersebut berperan atau tidak. Bahan pakan limbah yang mudah membentuk
racun atau mudah cemar juga tidak dapat digunakan sebagai bahan pakan.
Bungkil kelapa misalnya, meskipun masih tetap digunakan, karena kandungan
minyaknya masih tinggi, maka ransum yang mengandung bungkil kelapa dalam
proporsi tinggi akan mudah tengik. Karena itu, beberapa pabrik makanan ternak
mulai meninggalkan penggunaan bungkil kelapa dalam penyusunan ransum.
Pengolahan pakan limbah sebagai pakan ternak pada prinsipnya ditujukan
untuk memecah selulosa, hemiselulosa, dan lignin, sehingga dapat dihasilkan
pakan yang lebih mudah dicerna serta meningkatkan kandungan nutrisinya.
Pemanfaatan limbah (jerami) yang difermentasi akan dapat memberikan beberapa
keuntungan antara lain: (i) mengurangi biaya pakan, khususnya dalam
penyediaan hijauan sebagai pakan utama ternak ruminansia, (ii) meningkatkan
daya dukung lahan pertanian, karena pemeliharaan ternak ruminansia tidak harus
menyediakan lahan sebagai tempat tanaman hijauan makanan ternak, dan (iii)
dapat memberikan nilai tambah bagi petani, apabila suatu saat nanti petani telah
dapat melihat peluang tersebut, yang artinya jerami tidak lagi sebagai limbah
yang mengganggu proses produksi, melainkan sebagai produk yang
menguntungkan.
Aplikasi bioteknologi pada ternak monogastrik adalah melalui
pemanfaatan mikroorganisme tertentu untuk memperbaiki efisiensi penggunaan
pakan, pemanfaatan enzim yang diproduksi oleh mikroorganisme, penciptaan
bahan kimia seperti zat gizi, antibiotik, dan pemacu pertumbuhan yang
ditambahkan ke dalam pakan monogastrik, baik bahan tersebut dari hasil
fermentasi ataupun lainnya. Misalnya, cairan rumen yang diperoleh dari rumah
potong hewan kaya akan kandungan enzim pendegradasi serat dan vitamin.
Cairan rumen mengandung enzim -amilase, galaktosidase, hemiselulase,
selulase, dan xilanase (Williams dan Withers, 1992)
Pemberian enzim phitase pada ransum unggas dapat mengatasi problema
yang disebabkan oleh senyawa fitat, yaitu senyawa yang dapat mengikat fosfor.
Dengan adanya phytase, ternyata fosfor dapat dimanfaatkan lebih banyak.
Penambahan Aspergillus niger ke dalam ransum ternyata dapat meningkatkan
kecernaan fosfor, dan pada sorghum ternyata dapat menurunkan kandungan
tanninnya.
6.3 Aplikasi Produk Bioteknologi

Di Negara yang sudah maju, usaha peningkatan kualitas ternak terus


dilakukan. Beberapa penelitian terakhir memperlihatkan bahwa suplemen enzim
dalam pakan ternak untuk hewan monogastrik, berpotensi meningkatkan nilai
nutrisi pakan limbah (Graham et al., 1988; Annison, 1992; Wenk et al., 1993).
Dalam saluran pencernaan ternak monogastrik, proses pencernaan terjadi
secara enzimatis. Oleh karena itu, beberapa peneliti telah mencoba menambahkan
enzim dalam pakan untuk melihat pengaruhnya terhadap pertumbuhan. Menurut
Sterling et al. (1998), pemberian enzim dapat menurunkan kekenyalan
(viskositas) isi usus hingga 20 % dibandingkan dengan makanan standarnya (biji-
bijian tanpa enzim). Dengan demikian, proses pencernaan makanan di usus
menjadi lebih mudah. Penambahan enzim protease ke dalam pakan dapat
berperan dalam pemecahan protein menjadi asam amino. Asam amino
selanjutnya diserap ke dalam tubuh dan selanjutnya diubah menjadi protein tubuh
(Wahju, 1992).
Penambahan enzim dapat menguraikan komponen dinding sel tanaman yang
terdiri atas selulosa, hemiselulosa, xylanosa, dan pektin. Enzim akan mengurangi
kandungan serat detergen netral (NDF) dan “acid detergent fibre” (ADF)
sehingga akan meningkatkan kecernaan pakan. Juga akan meningkatkan
pelepasan bagian karbohidrat yang terlarut yang dapat dimanfaatkan oleh bakteri
penghasil asam laktat untuk menurunkan pH.
Guna mendapatkan enzim protease yang berpotensi dalam meningkatkan
nilai nutrisi pakan, maka enzim tersebut harus memiliki aktivitas biologis saat
mencapai saluran pencernaan (Spring et al., 1995). Saluran pencernaan ternak
unggas mempunyai pH asam (4 - 5). Oleh karena itu, seleksi mikroorganisme
yang akan digunakan harus diisolasi dari mikroorganisme yang hidup di dalam
saluran pencernaan ternak unggas dengan menggunakan medium yang bersifat
asam.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Batshan, H. A. and E. O. S. Hussein. l999. Performance and Carcass


Composition of Broiler under Heat Stress : 1. The Effects of Dietary Energy and
Protein. Asian-Aus. J. Anim. Sci. 12 (6) : 914 – 922
Andajani, R. l997. Peran Probiotik dalam Meningkatkan Produksi Unggas.
Poultry Indonesia nomor 26/April l997 Hal : 19-20
Anggorodi, R. l979. Ilmu Makanan Ternak Umum. PT. Gramedia, Jakarta
Anggorodi, R. l985. Kemajuan Mutakhir dalam Ilmu Makanan Ternak Unggas.
Universitas Indonesia Press., Jakarta.
Annison, G. 1992. Commercial Enzyme Supplementation of Wheat-based diets
Raises Ileal Glycanase Activities and Improves Apparent Metabolisable
Energy, Starch and Pentosan Digestible in Broiler Chickens. Anim. Feed Sci.
Technol. 38:105-212
Anonymous. 1990. Potensi Zeolit Dalam Agroindustri. Makalah seminar Zeo
Agroindustri 90. Kerjsama PPSKI - HKTI - UNPA, Bandung.
Anonymous. 2002. Amoniasi, Jerami Pakan Bermutu. http://A/Harian Umum
Suara Merdeka, 30 September 2002
Anonymus. 2004. Pelatihan Integrated Farming Sistem. Lembah Hijau
Multifarm.Solo. Indonesia.
Anonymous. 2005. The Use of Fibrous Residues in South East Asia

Anda mungkin juga menyukai