Anda di halaman 1dari 13

Isu Kegiatan Peternakan sebagai Penyumbang Terbesar Pemanasan

Global – Dilema Antara Usaha Peningkatan Produktivitas Bahan Pangan


Hewani dan Gerakan Cinta Lingkungan

Manusia membutuhkan berbagai asupan nutrien sebagai penghasil energi untuk melakukan
kegiatan sehari-hari dan mempertahankan kehidupannya. Asupan nutrien tersebut bisa
didapatkan melalui makanan, baik yang berasal dari makanan nabati maupun makanan hewani.
Makanan nabati adalah makanan yang berasal dari produk-produk yang berasal dari tumbuhan
seperti sayur, buah, minyak nabati, biji-bijian dan umbi-umbian. Makanan hewani adalah
makanan yang diperoleh dari poduk-produk yang dihasilkan oleh hewan, seperti daging, susu,
telur dan ikan.

Salah satu nutrien yang sangat dibutuhkan oleh manusia yaitu protein dan asam amino. Protein
dan asam amino mutlak dibutuhkan oleh tubuh manusia sebagai bahan penyusun sel. Sel
manusia memang dapat mensintesis asam amino sendiri, namun ada beberapa asam amino yang
tidak dapat disintesis oleh tubuh. Asam amino tersebut disebut sebagai asam amino esensial.
Asam amino esensial hanya dapat diperoleh manusia dari asupan makanan yang mereka makan.
Asam amino esensial ini nanti akan sangat dibutuhkan dalam proses sintesis protein, dimana
protein-protein tersebut akan sangat dibutuhkan untuk pembentukan berbagai enzim dan hormon
dalam tubuh sehingga jika asam amino esensial tubuh tidak terpenuhi maka produksi enzim dan
hormon akan teganggu dan proses metabolisme juga akan terganggu.

Produk makanan hewani mengandung protein hewani yang memiliki asam amino esensial yang
lengkap. Protein hewani juga memiliki kandungan vitamin B12 yang tidak ditemui dalam protein
nabati, dimana vitamin B12 ini sangat berguna dalam proses pembentukan sel darah merah,
memperlancar sistem metabolisme dan menjaga sistem saraf (Nestle t.thn.). Asupan protein
hewani juga penting bagi perkembangan otak anak, baik saat masih di dalam kandungan maupun
saat masa kanak-kanak, sehingga untuk membentuk generasi yang cerdas diperlukan asupan
protein hewani yang mencukupi. Untuk mencukupi kebutuhan protein hewani masyarakat,
diperlukan adanya peternakan yang memproduksi komoditas hasil peternakan. Namun, ada isu
yang berkembang belakangan ini bahwa sektor peternakan merupakan sektor yang banyak
berkontribusi dalam pelepasan gas rumah kaca yang menyebabkan pemanasan global.

Sapi merupakan hewan ruminansia dengan sistem pencernaan poligastrik. Sapi memiliki rumen,
dimana di dalamnya terdapat mikroorganisme yang memecah selulosa pada dinding sel
tumbuhan sehingga nutrien dalam tumbuhan tersebut dapat dimanfaatkan untuk proses
metabolisme sapi. Dalam proses pemecahan selulosa, di dalam rumen terjadi fermentasi yang
menghasilkan gas metana. Gas metana yang dihasilkan di dalam rumen sapi kemudian
dikeluarkan dalam bentuk gas buangan (kentut dan sendawa) serta dalam feses sapi. Gas metana
inilah yang disebut-sebut sebagai salah satu penyebab pemanasan global.

Gas metana sendiri adalah gas yang dampaknya terhadap pemanasan global lebih besar
dibanding gas karobondioksida (). Human Society International (2014) menyatakan bahwa
dalam jangka waktu 20 tahun, metana memiliki angka GWP (Global Warming Potential)
setidaknya 25 kali lipat dibanding karbondioksida. Artinya, gas metana yang dihasilkan oleh
kegiatan hasil peternakan memiliki dampak yang lebih signifikan dibanding gas karbondioksida
yang dihasilkan dari proses pembakaran bahan bakar fosil. Sektor peternakan sendiri
berkontribusi sebanyak 35%-40% dari total keseluruhan gas metana secara global. Diperkirakan
setiap tahun ada 86 juta ton metana yang dilepaskan ke atmosfer sebagai hasil dari pencernaan
hewan ternak. Gas metana ini tidak hanya dihasilkan oleh peternakan sapi, namun juga
dihasilkan oleh peternakan kambing dan domba yang juga merupakan hewan poligastrik yang
memiliki rumen dan mengalami fermentasi di dalam rumennya dan menghasilkan gas metana.

Selain gas metana, kegiatan di sektor peternakan secara tidak langsung juga bertanggung jawab
terhadap emisi gas karbondioksida. Kegiatan distribusi pakan, ternak hidup, daging, susu, telur
dan produk-produk olahan hasil peternakan membutuhkan bahan bakar fosil yang akan melepas
gas karbondioksida ke atmosfer. Pembuatan pakan ternak juga membutuhkan berbagai
komoditas pertanian seperti jagung dan kedelai. Produksi jagung dan kedelai sebagai bahan baku
pembuatan pakan membutuhkan lahan yang tidak sedikit. Akibatnya terjadilah deforestasi yang
menambah buruk pemanasan global karena hutan sebagai penghasil oksigen dan paru-paru dunia
ditebangi dan diganti dengan komoditas pertanian sehingga menyebabkan penipisan lapisan ozon
di atmosfer. Selain itu, perkebunan jagung dan kedelai yang memerlukan pupuk sehingga
memunculkan munculnya pabrik-pabrik pupuk kimia. Adanya pabrik pupuk juga menghasilkan
gas rumah kaca yang dilepas ke atmosfer. Pembakaran bahan bakar fosil alam distribusi pakan
dan komoditas hasil peternakan, deforestasi dan emisi dari pabrik-pabrik pupuk tersebut secara
tidak langsung merupakan dampak dari industri peternakan.

Dampak-dampak yang disebabkan pleh adanya industri peternakan tidak bisa sepenuhnya
dihindari. Yang bisa dilakukan untuk saat ini adalah meminimalisir adanya dampak dampak
merugikan tersebut. Secara garis besar, masalah pada sektor peternakan dan lingkungan dapat
dibagi menjadi empat yaitu adanya metana sebagai hasil pencernaan secara biologis pada rumen
ternak poligastrik, emisi gas karbondioksida pada proses distribisi pakan dan komoditas hasil
peternakan, deforestasi akibat pembukaan lahan untuk ditanami komoditas bahan baku pakan
ternak, dan emisi gas rumah kaca oleh pabrik pupuk.

Gas metana yang dihasilkan oleh ternak sebenarnya dapat diminimalisir dampak negatifnya
dengan cara pemanfaatan feses ternak menjadi biogas. Instalasi pembuatan biogas memiliki
desain yang sederhana dan mudah untuk dibuat. Cara ini efektif untuk mengurangi gas metana
yang terdapat pada feses ternak. Selain nitu, pemanfaatan feses sebagai biogas juga merupakan
salah satu bentuk dari pemanfaatan energi alternatif yang bersifat renewable. Pemanfaatan feses
menjadi biogas juga dapat mengurangi biaya operasional peternakan karena biogas tersebut
dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi listrik untuk kegiatan operasional peternakan. Namun,
pemanfaatan feses sebagai biogas hanya mampu mengatasi masalah emisi gas metana yangada
pada feses, sedangkan gas metana juga terdapat pada kentut dan sendawa hewan ruminansia. Gas
metana merupakan gas yang mutlak dihasilkanoleh hewan ruminansia, karena hal tersebut
merupakan bagian dari aktivitas metabolismenya. Hal yang dapat dilakukan untuk meminimalisir
dampak buruk dari masalah tersebut adalah dengan cara pemberian pakan dengan formulasi
sedemikian rupa sehingga gas hasil fermentasi berupa metana yang dihasilkan oleh mikrobia
dalam rumen dapat diminimalisir jumlahnya.

Sapi yang diternakkan, terutama di perusahaan-perusahaan feedlot pada umumnya akan diberi


pakan dengan formulasi tertentu untuk mengoptimalkan pertumbuhannya. Pakan tersebut terdiri
dari hijauan dan ransum. Puspitasari dkk (2015) menyatakan bahwa feses sapi Friesian
Holstein (FH) laktasi yang diberi pakan ransum dan rumput gajah menghasilkan gas metana
dengan jumlah yang lebih rendah dibandingkan sapi yang diberi pakan ransum dan jerami padi
atau ransum dan campuran jerami padi dan rumput gajah. Artinya, pakan memiliki pengaruh
terhadap produksi gas metana hewan ternak. Namun, sebagai sebuah industri, sektor peternakan
juga memerhatikan efisiensi produksi. Tujuan dari industri peternakan sendiri adalah bagaimana
caranya menghasilkan produk peternakan dengan waktu secepat mungkin supaya terjadi
efisiensi. Untuk itu sudah banyak sekali penelitian tentang formulasi pakan dalam rangka
meningkatkan produktivitas ternak. Pemberian pakan yang menghasilkan lebih sedikit gas
metana menjadi sebuah dilema tersendiri karena pakan merupakan inti dari industri peternakan
dimana 70% biaya produksi terletak pada pakan sehingga kenaikan biaya untuk pembuatan
pakan dengan emisi metana rendah akan menyebabkan peningkatan biaya produksi yang cukup
signifikan. Untuk itu, masih diperlukan penelitian bagaimana formulasi pakan yang dapat
meminimalisir gas metana yang dihasilkan pada rumen sapi, namun tetap memberikan tingkat
efisiensi yang tinggi terhadap usaha penggemukan ternak.

Emisi gas karbondioksida karena kegiatan distribusi ternak atau komoditas hasil ternak dapat
diminimalisir dengan cara pembagian kuota wilayah ekspor dan impor ternak dan komoditas
hasil ternak, sehingga negara eksportir hanya dapat mengekspor komoditasnya di negara yang
letaknya tidak terlalu berjauhan. Selain itu, pengurangan kuota impor atau jual beli antar daerah
ternak hidup juga dapat dikurangi dan diganti dengan impor daging beku yang lebih efisien
tempat sehingga kegiatan distribusi juga menjadi lebih efisien. Pemerataan daerah sentra
peternakan juga perlu dilakukan supaya kegiatan distribusi yang terjadi pada jarak yang terlalu
jauh. Selain itu penggunaan bahan baku lokal sebagai bahan baku pakan juga dapat mengurangi
banyaknya kegiatan distribusi.

Deforestasi yang disebabkan oleh penanaman jagung dan kedelai sebagai bahan baku pakan dan
emisi yang diakibatkan oleh pabrik pupuk kimia dapat diminimalisir dengan cara
penerapan integrated farming system (IFS). Lahan kosong di sekitar peternakan dapat ditanami
komoditas bahan pakan sehingga mengurangi deforestasi. Selain itu, sludge atau lumpur feses
yang gasnya sudah dijadikan biogas dapat dimanfaatkan sebagai pupuk bagi tanaman bahan
pakan yang ditanam di sekitar peternakan sehingga mengurangi penggunaan pupuk kimia.

Daftar Pustaka
International, Humane Society. An HSI report : the impact of animal agriculture on global
warming and climate change. Humane Society International, 2014.

Nestle, Sahabat. Keunggulan dan kekurangan protein nabati dan


hewani. https://www.sahabatnestle.co.id/content/view/keunggulan-dan-kekurangan-protein-
nabati-hewani-html (diakses April 14, 2017).

R. Puspitasari, Muladno, A. Atabany, Salundik. “Produksi gas metana (CH3) dari feses sapi FH
laktasi dengan pakan rumput gajah dan jerami padi.” Jurnal Ilmu Produksi dan Teknologi Hasil
Peternakan, 2015: 40-45.
Hubungan Produksi dan Konsumsi Daging
Terhadap Pemanasan Global
Produksi daging menyebabkan 80% pemanasan global. Angka tersebut sungguh membuat kita
tercengang-cengang dan tak habis pikir. Apa kaitannya sehingga produksi daging berperan besar
terhadap pemanasan global? Benarkah mengurangi jumlah industri peternakan dengan
mengurangi konsumsi daging adalah cara yang paling efektif untuk memangkas emisi gas rumah
kaca?Tentunya kedua pertanyaan ini menjadi kontroversi.

Pemanasan global merupakan sesuatu yang sedang ramai dibicarakan dan mungkin sudah tak
asing lagi di telinga kita karena kita sudah sangat sering mendengarnya di berbagai media baik
itu dari media elektronik maupun media cetak. Tapi menghubungkannya dengan produksi dan
konsumsi daging, mungkin saja banyak masyarakat yang tak pernah menduganya.Pada dasarnya
angkutan dan industri sering dituding bertanggungjawab terhadap efek pemanasan global. Selain
oleh penyebab lain, efek pemanasan global disebabkan oleh tiga gas yaitu methana, karbon
dioksida dan nitrogen oksida. Ketiganya berasal dari peternakan besar.

Dua belas persen emisi gas methana dihasilkan hanya oleh milyaran ternak yang dipelihara di
seluruh dunia. Hal ini jauh lebih berbahaya, jika kita tahu bahwa satu molekul methana
menyumbang efek pemanasan global 25 kali lebih besar daripada satu molekul karbon
dioksida.Menurut laporan Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO), sektor peternakan sapi,
kerbau, domba, kambing, babi, dan unggas menghasilkan emisi gas rumah kaca yang setara
dengan 18 persen CO2.Seekor sapi rata-rata menghasilkan Nitrogen dua kali lipat dibandingkan
mobil dengan katalisator yaitu sekitar 36 kilogram per tahun. Jumlah ini lebih banyak dari
gabungan seluruh transportasi di seluruh dunia sehingga dengan mudah kita dapat menjadikan
peternakan sebagai sebuah solusi utama dalam memerangi pemanasan global.

Sektor peternakan menghasilkan 65 persen dinitrogen oksida yang berpotensi terhadap


pemanasan global yang lebih besar daripada CO2 yang sebagian besar berasal dari kotoran
ternak. Sektor itu juga menghasilkan 37 persen dari semua metana yang dihasilkan oleh manusia,
metana mempunyai efek pemanasan 23 kali lebih kuat dari CO2, yang sebagian besar dihasilkan
oleh sistem pencernaan hewan pemamah biak. Metana memiliki dampak sekitar 25 kali CO2.
Tetapi sungguh, ketika metana sudah berada di atas sana, di atmosfer dan bereaksi, ia akan
mempunyai dampak 72 kali lebih besar dari CO2 dan itu mempunyai pengaruh yang sangat
besar.

Selain itu peternakan juga menghasilkan 64 persen amonia yang secara signifikan menghasilkan
hujan asam, Emisi amonia dari peternakan mencapai angka 90% dari seluruh tinja cair. Amonia
ditemukan di area tertentu, seperti di peternakan dan juga tempat penyimpanan dan produksi
pupuk organik. Amonia dan Nitrogen yang dihasilkan dapat diturunkan dengan cara mengurangi
jumlah ternak, mengubah makanan ternak, dan mengurangi produksi tinja cair. Hal ini akan
menguntungkan tak hanya secara ekologis tapi juga secara ekonomis.

Peternakan sekarang menggunakan 30 persen dari tanah di seluruh permukaan bumi yang pada
umumnya berupa padang rumput permanen tetapi juga menempati 33 persen dari lahan subur di
seluruh dunia yang digunakan untuk menghasilkan makanan ternak. Pada saat hutan dibabat
untuk membuat padang rumput baru, peternakan menjadi penyebab utama penggundulan hutan.
Seluruh data ini membuat kebanyakan orang memutuskan untuk tidak memakan daging alias
vegetarian.Tapi apakah menjadi vegetarian menjadi langkah yang tepat untuk mengatasi masalah
pemanasan global tersebut jika dikaitkan dengan produksi dan konsumsi daging? Kita perlu
mengkaji masalah tersebut secara kritis dalam berbagai disiplin ilmu.

Tak dapat dipungkiri, masalah ini berkaitan dengan ilmu Peternakan. Dalam ilmu Peternakan,
terdapat hubungan timbal balik antara pemanasan global dengan produksi dan konsumsi daging.
Dampak pemanasan global itu sendiri bagi peternakan salah satunya adalah nafsu makan ternak
menjadi menurun.Metana yang berasal dari pembuangan angin pada ternak memang dapat
berpotensi pemanasan global. Hal ini dapat diatasi dengan pemberian kapsul khusus ternak agar
tak mengeluarkan kentut yang mengandung metana.Selain dilihat dari disiplin ilmu Peternakan,
tentu saja ilmu Gizi memegang peran penting dalam hal ini. Dalam ilmu Gizi, protein tertinggi
terdapat dalam bahan makanan hewani, baik itu berupa daging, susu maupun telurnya. Dengan
kata lain, protein hewani merupakan zat penyumbang gizi terbaik.

Di Indonesia, masih banyak masyarakat yang bertubuh pendek. Dalam ilmu Gizi, orang bertubuh
pendek dianggap kurang produktif. Oleh karena itulah protein hewani sangat dibutuhkan untuk
mencetak generasi yang berkualitas dan produktif. Jika mengkonsumsi daging dikurangi atau
bahkan dihentikan, mungkin harapan bangsa Indonesia untuk menjadi generasi yang berkualitas
akan jauh panggang dari apinya.

Menurut data, di Indonesia kelebihan konsumsi beras dari rata-rata yang diharuskan. Tapi di sisi
lain, masyarakat kita masih kurang mengkonsumsi produk hewani (daging, susu dan telur). Hal
ini disebabkan karena adanya kemiskinan yang masih tinggi di Indonesia serta budaya
masyarakat di mana hanya mengkonsumsi daging pada saat-saat tertentu, misalnya di
pernikahan, lebaran, pesta, akikah dan lain-lain. Oleh karena itu, dalam ilmu gizi, untuk
mengembangkan potensi sumber daya manusia kita perlu meningkatkan konsumsi daging dan
produk hewani lainnya.

Lain lagi dalam pandangan disiplin ilmu Fisika. Dalam data Fisika, diketahui bahwa CO2 dan
kenaikan suhu saling independent atau tidak saling mempengaruhi dan terikat satu sama lainnya.
Siklus matahari dan suhu justru lebih berhubungan.Dalam Ilmu Biologi dan Kimia, CO2
bukanlah polutan. Terbukti dengan dikeluarkannya CO2 pada tumbuhan. Selain itu, masyarakat
juga sangat memerlukan kendaraan bermotor untuk menempuh perjalanan jauh dalam waktu
singkat.Dalam ilmu Ekonomi, mungkin saja isu ini dimanfaatkan oleh pihak yang berbisnis
bahan makanan nabati, di mana bisnisnya ini kalah dengan bisnis bahan pangan hewani sehingga
menyuruh masyarakat menjadi seorang vegetarian atau mengurangi mengkonsumsi daging.

Kita dapat melihatnya dari sudut ilmu Agama Islam juga. Tuhan telah menciptakan hewan untuk
kita manfaatkan. Hewan ternak diciptakan agar kita dapat mengkonsumsi daging, susu dan
telurnya serta memanfaatkan tulang, kulit dan bulunya. Kita tentu saja tak boleh menyia-nyiakan
rezeki dari Tuhan.Hal ini masih kontroversi karena data-data yang ada masih berupa perkiraan
yang sewaktu-waktu dapat berubah kapan saja. Kita perlu menyikapi masalah ini dengan berpikir
kritis dan bijak terhadap isu pemanasan global.Bagaimana pun juga, pemanasan global
merupakan suatu hal yang alami terjadi mengingat bumi yang kita tempati ini sudah sangat tua
dan akan menemui akhirnya. Tapi kita tak boleh menyikapinya dengan berlebihan, misalnya saja
dalam hal ini, berhenti mengkonsumsi daging dan menjadi vegetarian.

Pemanasan global memang memiliki dampak buruk bagi lingkungan hidup di sekeliling kita,
seperti cuaca, tinggi muka laut, pertanian, hewan dan tumbuhan serta kesehatan manusia. Kita
memang harus peduli untuk mencegah kerusakan lingkungan yang lebih serius lagi. Usaha-usaha
yang dapat kita lakukan adalah menanam pohon sebanyak-banyaknya dan mengadakan
penghijauan hutan.Bersikap berlebihan dalam menghadapi pemanasan global dengan tak
mengkonsumsi daging, sama saja bersikap overprotective menjalani hidup. Mencegah memang
lebih baik, tapi tidak dengan menyingkirkan unsur-unsur yang baik bagi kehidupan. Kita
seharusnya mencegah dengan sesuatu yang lebih wajar dan bisa diterima serta diterapkan banyak
orang pada umumnya.

Lagipula keberadaan hewan ternak memang diciptakan untuk dimakan. Hal ini diibaratkan
seperti hukum alam, yang terdapat dalam rantai makanan. Bayangkan jika kita menghentikan
pengkonsumsian daging, artinya keseimbangan ekosistem akan rancu. Bumi kita mungkin tak
akan berwarna hijau lagi karena habis dikonsumsi oleh hewan pemamah biak. Hal ini
dikarenakan gerakan pengendali populasi hewan ternak terhambat karena sudah dilarang makan
daging.Sebagai pecinta binatang, yang sebagian besarnya membawa-bawa dan menyebarluaskan
isu mengenai pemanasan global yang disebabkan oleh produksi dan konsumsi hewan ternak,
menyarankan agar masyarakat menjadi vegetarian. Jika memang hewan ternak dilarang untuk
dikonsumsi, maka apalah arti keberadaan hewan ternak tersebut di muka bumi ini. Entah ke
mana arah pikiran mereka. Jika memang mengaku sebagai pecinta binatang, artinya hewan
ternak harus dimusnahkan, karena produksi hewan ternak turut ambil andil dalam pemanasan
global.
Peranan Pangan Hewani Pembangunan bidang pangan gizi dan kesehatan di Indonesia perlu terus
dikembangkan. Berdasarkan data Riskesdas 2007, 2010 dan 2013, terungkap bahwa permasalahan
kurang gizi pada balita masih sangat memperihatinkan. Pada tahun 2013, angka kurang gizi pada balita
ini mencapai 19,6 persen, terdiri dari gizi buruk 5,7 persen dan gizi kurang 13,9 persen. Akibat kondisi
gizi demikian, kondisi balita kita sungguh sangat memperihatinkan. Pada tahun 2013, angka balita
pendek (stunting) tercatat mencapai 37.2 persen Pembangunan bidang pangan gizi dan kesehatan di
Indonesia perlu terus dikembangkan. Kecenderungan prevalensi balita gizi kurang, pendek, kurus dan
gemuk di Indonesia, tahun 2007, 2010 dan 2013 (Kodyat, 2014) (terdiri dari dari 18% sangat pendek, dan
19,2% pendek). Permasalahan gizi balita -yang merupakan SDM masa depan harapan bangsa – yang
sungguh masih sangat memperihatinkan bisa dilihat lebih lengkap pada. Kondisi ini jelas akan
berdampak pada kualitas SDM bangsa ke depan. Berbagai upaya (bahkan perlu upaya luar biasa) harus
dilakukan untuk memungkinkan Indonesia mempunyai SDM yang berdaya saing, dalam waktu 15 tahun
ke depan. Kondisi kurang gizi ini tidak sekedar permasalahan kurang kalori, tetapi justru menunjukkan
adanya kekurangan berbagai zat gizi mikro, yang dampaknya terhada kualitas SDM bisa sangat luas,
mulai dari penurunan dan/atau gangguan (i) kognitif, (ii) sistem kekebalan tubuh dan akibatnya pada (iii)
penurunan produktivitas SDM. Kondisi ini mempunyai implikasi langsung terhadap ekonomi Indonesia.
Pangan sumber gizi, terutama protein, bisa berasal dari bahan pangan (i) hewani maupun (ii) nabati.
Untuk keperluan Peranan Pangan Hewani Pembangunan bidang pangan gizi dan (terdiri dari dari 18%
sangat pendek, dan 19,2% pendek). Permasalahan gizi balita permasalahan kurang kalori, tetapi justru
menunjukkan adanya kekurangan dalam Pembangunan SDM Bangsa. Penduduk Indonesia yang
mengonsumsi protein < 80% angka kecukupan gizi) masih cukup banyak, yaitu sebanyak 37%

• Zat besi merupakan mineral penting, yang salah satunya berperan dalam penyusunan hemoglobin,
yakni protein yang membawa darah kedan dari seluruh tubuh. Mineral ini juga menyusun myoglobin
(protein di dalam otot), serta menjadi kofaktor beberapa jenis enzim. Defi siensi zat besi dapat
menimbulkan masalah serius bagi kesehatan, seperti anemia, penurunan fungsi kognitif, dan lainnya.
Karena itu, kondisi anemia zat besi ini biasanya berkaitan erat dengan produktivitas SDM, Data Riset
Kesehatan Dasar (Kemenkes, 2013) menunjukkan prevalensi anemia besi di Indonesia masing sangat
memperihatinkan karenanya perlu Umur Laki-laki Perempuan Perkotaan Perdesaan 12-59 bulan 29,7
26,5 30,3 25,8 5-12 tahun 29,4 29,4 27,5 31,0 13-18 tahun 12,4 22,7 17,3 18,5 ≥15 tahun 16,6 - 14,5 18,5
15-49 tahun - 22,7 22,4 23,0 Ibu Hamil - 37,1 36,4 37,8,. Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS)
menyarankan untuk mengonsumsi pangan sumber protein –baik hewani maupun nabati, setidaknya 2-4
porsi dalam sehari. Pada tulisan kali ini, akan dikupas mengenai peranan pangan hewani sebagai sumber
protein dan berbagai zat gizi penting untuk mendukung kesehatan tubuh. Bahan pangan hewani ini
antara lain adalah daging ruminansia (daging sapi, daging kambing, daging rusa dll), daging unggas
(daging ayamTingkat konsumsi protein hewani di Indonesia masih di bawah Brunei Darussalam,
Malaysia, Filipina, dan Thailand (FAO, 2005) ada upaya ekstra untuk memmerangi anemia ini.

• Seng adalah mineral yang memiliki fungsi signifi kan dalam ekspresi gen, tumbuhkembang
(pembelahan dan diferensiasi dan metabolisme) sel, sintesis DNA/RNA, serta sebagai kofaktor beberapa
jenis enzim. Karena itu, defi siensi seng -terutama pada saat kehamilandapat membatasi pertumbuhan
bayi dan anak yang dilahirkan, dan menimbulkan berbagai masalah penting bagi kesehatan
(menurunnya imunitas), sehingga berpotensi menurunkan daya saing SDM bangsa.

• Vitamin B12 merupakan vitamin larut air yang mendukung pertumbuhan sel, termasuk sel darah
merah. Karena itu; kekurangan vitamin B12 selain bisa menekan pertumbuhan juga bisa menyebabkan
terjadinya anemia. Senyawa ini juga berpartisipasi dalam sintesis komponen DNA/RNA serta
penyusunan protein dari asam amino, serta berperan pada perkembangan fungsi neurologis. Karena itu,
vitamin B12 ini juga penting untuk perkembangan daya kognitif, suatu kriteri penting untuk SDM
berkulaitas. Sumber utama Vitamin B12 adalah bahan pangan hetulah maka wani . Satu-satunya bahan
pangan nabati yang mengandung vitamin B12 adalah tempe. Pola konsumsi pangan hewani
Sebagaimana diilustrasikan pada Gambar 2 (Riskesdas; 2010) bahwa pangan yang dikonsumsi oleh
sekitar 37% penduduk Indonesia mempunyai kandungan protein yang rendah, masih dibawah 80% dari
AKG. Artinya; konsumsi protein masih perlu ditingkatkan. Data lain menunjukkan bahwa tingkat
konsumsi protein hewani di Indonesia juga tergolong rendah, masih di bawah Thailand, Filipina,
Malaysia, dan Brunei Darussalam . Melihat data tersebut, perlu upaya untuk masyarakat Indonesia
meningkatkan konsumsi proteinnya; khususnya protein hewani, sesuai dengan anjuran pangan gizi
seimbang. Ap alagi selain alasan zat gizi, bahan pangan hewani juga menawarkan kelezatan yang penting
untuk meningkatkan selera makan. Dengan selera makan yang baik, maka asupan gizi masyarakat dapat
terpenuhi lebih baik.
Referensi

[FAO]. Food and Agriculture Organization. 2005. Dietary Animal Protein Consumption (g/person/ day) of
Selected ASEAN Countries. Diunduh di http://www.fao.org/ economic/ess/ess-fs/fs-data/essfadata/en/
[Kemenkes]. Kementerian Kesehatan RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar. 2013.

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. [Kemenkes]. Kementerian
Kesehatan RI. 2010. Riset Kesehatan Dasar. 2010. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Kementerian Kesehatan RI. Kodyat, B. A. 2014.

Pedoman Gizi Seimbang 2014. Permenkes RI No. 41 Tahun 2014 Diunduh di http:// fi
le.persagi.org/share/8%20 Benny%20Kodyat%20-%20PGS%20 2014.

Anda mungkin juga menyukai