Anda di halaman 1dari 4

A.

Pengertian Limbah
Limbah ternak adalah sisa buangan dari suatu kegiatan usaha peternakan seperti usaha
pemeliharaan ternak, rumah potong hewan, pengolahan produk ternak, dan sebagainya.

Limbah tersebut meliputi limbah padat dan limbah cair seperti feses, urine, sisa makanan,
embrio, kulit telur, lemak, darah, bulu, kuku, tulang, tanduk, isi rumen, dan lain-lain
(Sihombing, 2000). Semakin berkembangnya usaha peternakan, limbah yang dihasilkan
semakin meningkat. Total limbah yang dihasilkan peternakan tergantung dari species ternak,
besar usaha,tipe usaha dan lantai kandang. Kotoran sapi yang terdiri dari feces dan urine
merupakan limbah ternak yang terbanyak dihasilkan dan sebagian besar manure dihasilkan
oleh ternak ruminansia itik.

Limbah peternakan meliputi semua kotoran yang dihasilkan dari suatu kegiatan usaha
peternakan baik berupa limbah padat dan cairan, gas, maupun sisa pakan.

Limbah padat Merupakan semua limbah yang berbentuk padatan atau dalam fase padat
(kotoran ternak, ternak yang mati, atau isi perut dari pemotongan ternak). Limbah cair adalah
semua limbah yang berbentuk cairan atau dalam fase cairan (air seni atau urine, air dari
pencucian alat-alat). Sedangkan limbah gas adalah semua limbah berbentuk gas ataudalam
fase gas.Pencemaran karena gas metan menyebabkan bau yang tidak enak bagi
lingkungansekitar. Gas metan (CH4) berasal dari proses pencernaan ternak ruminansia. Gas
metan ini adalah salah satu gas yang bertanggung jawab terhadap pemanasan global dan
perusakan ozon, dengan laju 1 % per tahun dan terus meningkat. Apalagi di Indonesia, emisi
metan per unit pakan atau laju konversi metan lebih besar karena kualitas hijauan pakan yang
diberikan rendah. Semakin tinggi jumlah pemberian pakan kualitas rendah, semakin tinggi
produksi metan (Suryahadi dkk., 2002). Secara umum yang disebut limbah adalah bahan
sisa yang dihasilkan dari suatu kegiatan dan proses produksi, baik pada skala rumah tangga,
industri, pertambangan, dan sebagainya. Bentuk limbah tersebut dapat berupa gas, debu,cair,
dan padat. Di antara berbagai jenis limbah ini ada yang bersifat beracun atau berbahaya dan
dikenal sebagai limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Limbah B3)

B. Karakteristik Limbah Feses Itik Petelur


Untuk tumbuh secara optimal ternak memerlukan pakan tambahan yang mengandung
nutrien dan bernilai ekonomis yang tinggi seperti bungkil kedelai, tepung ikan, jagung,
produk samping gandum/ polar dan beberapa pakan tambahan seperti mineral dan vitamin.
Sebagian besar bahan-bahan tersebut masih diimpor dengan harga yang cukup mahal. Oleh
karena itu, perlu diupayakan alternatif penyediaan dan penggunaan bahan pakan lokal atau
upaya pemanfaatan berbagai macam produk samping pertanian dan agroindustri secara
optimal.
Dalam pemeliharaan itik petelur (unggas) akan ngenghasilkan limbah yang
mempunyai nilai nutrisi yang cukup tinggi. Jumlah kotoran itik /limbah yang dikeluarkan
setiap harinya banyak, rata-rata per ekor itik 0, 15 kg (Charles dan Hariono, 1991). Rata-rata
produksi buangan segar ternak itik petelur adalah 0,06 kg/hari/ekor, dan kandungan bahan
kering sebanyak 26%.
Kotoran itik terdiri dari sisa pakan dan serat selulosa yang tidak dicerna. Kotoran itik
mengandung protein, karbohidrat, lemak dan senyawa organik lainnya. Protein pada. kotoran
itik merupakan sumber nitrogen selain ada pula bentuk nitrogen inorganik lainnya.
Pakan yang diberikan pada itik petelur biasanya dengan kandungan kualitas atau
kandungan zat gizi pakan terdiri dari protein 28-24%, lemak 2,5%, serat kasar 4%, Kalsium
(Ca) 1%, Phospor (P) 0,7-0,9%, ME 2800-3500 Kcal. Dengan melihat pakan yang demikian
bagus maka kita dapat menyimpulkan limbah / ekskreta yang dihasilkan masih mempuyai
nilai nutrisi yang masih tinggi, apa lagi sisitem pencernaan unggas lambung tunggal dan
proses peyerapan berjalan sangat cepat sehingga tidak sempurna masih banyak kandungan
nutrisi yang belum terserap dan di buang bersama dengan feses. Dalam pemeliharan itik kita
juga masih banyak melihat pakan yang tercecer jatuh kedalam feses sekitar 5-15% dari pakan
yang di berikan, atau pun telur yang pecah dalam kandang hal ini akan meningkatkan nilai
nutrisi yang ada dalam feses. Kandungan unsur hara pada feses ayam baik padat maupun cair
sebagai berikut Nitrogen 1.00%, Fosfor 0.80,% Kalium 0.40% dan kadar air 55 %.

C. Dampak Limbah Ternak Unggas Petelur


Banyaknya usaha peternakan itik yang berada di lingkungan masyarakat dirasakan mulai
mengganggu warga, terutama peternakan itik yang lokasinya dekat dengan pemukiman
penduduk. Masyarakat banyak mengeluhkan dampak buruk dari kegiatan usaha peternakan
itik karena masih banyak peternak yang mengabaikan penanganan limbah dari usahanya.
Limbah peternakan itik berupa feses, sisa pakan, air dari pembersihan ternak menimbulkan
pencemaran lingkungan masyarakat di sekitar lokasi peternakan tersebut.
Seperti disebutkan sebelumnya, dampak dari usaha peternakan unggas terhadap lingkungan
sekitar terutama adalah berupa bau yang dikeluarkan selama proses dekomposisi kotoran
unggas. Bau tersebut berasal dari kandungan gas amonia yang tinggi dan gas hidrogen sulfida
(H2S), dimetil sulfida, karbon disulfida, dan merkaptan. Senyawa yang menimbulkan bau ini
dapat mudah terbentuk dalam kondisi anaerob seperti tumpukan kotoran yang masih basah.
Senyawa tersebut dapat tercium dengan mudah walau dalam konsentrasi yang sangat kecil.
Untuk H2S, kadar 0,47 mg/l atau dalam konsentrasi part per million (ppm) di udara
merupakan batas konsentrasi yang masih dapat tercium bau, sedangkan untuk dimetil sulfida
konsentrasi 1,0 ppm di udara mulai tercium bau busuk. Untuk amonia, kadar terendah yang
dapat terdeteksi baunya adalah 5 ppm. Akan tetapi, kepekaan seseorang terhadap bau ini
sangat tidak mutlak, terlebih lagi bau yang disebabkan oleh campuran gas. Pada konsentrasi
amonia yang lebih tinggi di udara dapat menyebabkan iritasi mata dan gangguan saluran
pernapasan pada manusia dan hewan itu sendiri (Praja 2006).
Selain berdampak negatif terhadap kesehatan manusia yang tinggal di lingkungan
sekitar peternakan, bau kotoran juga berpengaruh terhadap ternak dan dapat menyebabkan
produktivitas ternak menurun. Pengelolaan lingkungan peternakan yang kurang baik dapat
menyebabkan kerugian ekonomi bagi peternak itu sendiri, karena gas-gas tersebut dapat
menyebabkan produktivitas ayam menurun, sedangkan biaya kesehatan akan semakin
meningkat, yang menyebabkan keuntungan peternak menipis. Biaya kesehatan meningkat
karena itik – itik tersebut menurun imunitasnya terhadap penyakit-penyakit yang sering
timbul akibat polusi udara oleh amonia, seperti penyakit cronic respiratory disease (CRD),
yaitu penyakit saluran pernapasan menahun, dan ayam lebih peka terhadap virus Newcastle
disease (ND) yang menyebabkan itik mudah terkena penyakit ND (Rachmawati 2000).
Walaupun dampak yang ditimbulkan akibat dari cemaran bau busuk belum dirasakan
dalam jangka waktu pendek, namun dalam jangka panjang dapat menyebabkan munculnya
berbagai penyakit sehingga berakibat menurunnya produktivitas masyarakat. Banyaknya lalat
di lingkungan sekitar peternakan juga merupakan dampak negatif lain dari keberadaan usaha
peternakan itik. Kebiasaan lalat yang suka mencari tempat-tempat yang berbau busuk
menyebabkan kandang itik banyak dihinggapi lalat untuk berkembang biak. Lalat sendiri
diketahui merupakan vektor dari berbagai penyakit, sehingga dapat menjadi satu ancaman
yang perlu diperhatikan secara serius.
D. Penanganan Limbah ternak unggas petelur menjadi kompos
Kompos merupakan hasil pelapukan bahan-bahan berupa kotoran ternak/feses, sisa pertanian,
sisa pakan dan sebagainya. Proses pelapukan dipercepat dengan merangsang perkembangan
bakteri untuk menghancurkan menguraikan bahan-bahan yang dikomposkan. Penguraian
dibantu dengan suhu 600C. Proses penguraian mengubah unsur hara yang terikat dalam
senyawa organik sukarlarut menjadi senyawa organik larut yang berguna bagi tanaman
(Ginting, 2007).
Kompos merupakan zat akhir suatu proses fermentasi, tumpukan sampah/ seresah tanaman
dan ada kalanya pula termasuk bingkai binatang. Sesuai dengan humifikasi fermentas suatu
pemupukan, dirincikan oleh hasil bagi C/N yang menurun. Perkembangan mikrobia
memerlukan waktu agar tercapai suatu keadaan fermentasi yang optimal. Pada kegiatan
mempercepat proses dipakai aktifator, baik dalam jumlah sedikit ataupun banyak, yaitu
bahan dengan perkembangan mikrobia dengan fermentasi maksimum. Aktifator misalnya:
kotoran hewan. Akhir fermentasi untuk C/N kompos 15 – 17 (Sutedjo, 2002).
Proses pengomposan dapat terjadi secara aerobik (menggunakan oksigen) atau anaerobik
(tidak ada oksigen). Proses yang dijelaskan sebelumnya adalah proses aerobik, dimana
mikroba menggunakan oksigen dalam proses dekomposisi bahan organik. Proses
dekomposisi dapat juga terjadi tanpa menggunakan oksigen yang disebut proses anaerobik.
Namun, proses ini tidak diinginkan, karena selama proses pengomposan akan dihasilkan bau
yang tidak sedap. Proses anaerobik akan menghasilkan senyawa-senyawa yang berbau tidak
sedap, senyawa tersebut seperti: asam-asam organik (asam asetat, asam butirat, asam valerat,
puttrecine), amonia, dan H2S (Crawford, 2003).
Kecepatan pengomposan dipengaruhi oleh banyak-sedikitnya jumlah mikroorganisme yang
membantu pemecahan atau penghancuran bahan organik yang dikomposkan. Dari sekian
banyak mikroorganisme, diantaranya adalah bakteri asam laktat yang berperan dalam
menguraikan bahan organik, bakteri fotosintesis yang dapat memfiksasi nitrogen, dan
Actinomycetes yang dapat mengendalikan mikroorganisme patogen sehingga menciptakan
kondisi yang baik bagi perkembangan mikroorganisme lainnya (Isroi, 2008).

Karakteristik umum yang dimiliki kompos antara lain : mengandung unsur hara dalam jenis
dan jumlah yang bervariasi tergantung bahan asal, menyediakan unsur secara lambat (slow
release) dan dalam jumlah terbatas dan mempunyai fungsi utama memperbaiki kesuburan dan
kesehatan tanah. Kehadiran kompos pada tanah menjadi daya tarik bagi mikroorganisme
untuk melakukan aktivitas pada tanah dan, meningkatkan meningkatkan kapasitas tukar
kation. Hal yang terpenting adalah kompos justru memperbaiki sifat tanah dan lingkungan
(Dipoyuwono, 2007).
E. Penanganan Limbah ternak unggas petelur menjadi biogas
Biogas adalah suatu jenis gas yang bisa dibakar, yang diproduksi melalui proses fermentasi
anaerobic bahan organic seperti kotoran ternak dan manusia, biomassa limbah pertanian atau
campuran keduanya, di dalam suatu ruang pencerna (digester). Komposisi biogas yang
dihasilkan dari fermentasi tersesbut terbesar adalah gas methan (CH4) sekitar 54-70% serta
gas karbondioksida (CO2) sekitar 27-45%.
Gas methan (CH4) yang merupakan komponen utama biogas merupakan bahan bakar yang
berguna karena mempunyai nilai kalor yang cukup tinggi, yaitu sekitar 4800 sampai 6700
kkal/m³, sedangkan gas metana murni mengandung energi 8900 Kkal/m³. Karena nilai kalor
yang cukup tinggi itulah biogas dapat dipergunakan untuk keperluan penerangan, memasak,
menggerakkan mesin dan sebagainya. Sistim produksi biogas juga mempunyai beberapa
keuntungan seperti (a) mengurangi pengaruh gas rumah kaca, (b) mengurangi polusi bau
yang tidak sedap (Nurhasanah, 2005).
Biogas atau gas bio merupakan gas yang ditimbulkan jika bahan-bahan organik, seperti
kotoran hewan, kotoran mausia, atau sampah, direndam didalam air dan disimpan di dalam
tempat tertutup atau anaerob. Proses dari terjadinya biogas adalah fermentasi secara anaerob
bahan organik yang dilakukan oleh mikroorganisme sehingga menghasilkan gas yang mudah
terbakar. Secara kimia, reaksi yang terjadi pada pembuatan biogas cukup panjang dan rumit,
meliputi tahap hidrolisis, tahap pengasaman, dan tahap metanogenik (Willyan, 2008).

Umumnya biogas terdiri dari gas metana, hidrogen dan gas lainnya. Persentasinya adalah
(CH4) 50-70%, gas karbon dioksida (CO2) 30-40%, hidrogen (H2) 5-10% dan gas-gas
lainnya dalam jumlah sedikit. Biogas kira-kira memiliki berat 20 % lebih ringan
dibandingkan dengan udara dan memiliki suhu pembakaran antara 6500 sampai 750° C.
Biogas tidak berbau dan berwama, yang apabila dibakar akan menghasilkan nyala api biru
cerah seperti gas LPG. Nilai kalor gas metana adatah 20 MJ/m3 dengan efisiensi pembakaran
60% pada konvensional kompor gas (Teguh dan Asori, 2009).
Proses dapat terjadi secara aerobik (menggunakan oksigen) atau
anaerobik (tidak ada oksigen). Proses yang dijelaskan sebelumnya adalah proses aerobik,
dimana mikroba menggunakan oksigen dalam proses dekomposisi bahan organik. Proses
dekomposisi dapat juga terjadi tanpa menggunakan oksigen yang disebut proses anaerobik.
Namun, proses ini tidak diinginkan, karena selama proses pengomposan akan dihasilkan bau
yang tidak sedap seperti: asam-asam organik (asam asetat, asam butirat, asam valerat,
puttrecine), amonia, dan H2S (Crawford, 2003).
Pembuatan biogas ada beberapa syarat yang harus dipenuhi. Pertama, ada bahan pengisi yang
berupa bahan organik, terutamqa limbah pertanian dan peternakan. Kedua, ada intalasi biogas
yang memenuhi beberapa persyaratan seperti, lubang pemasukan dan pengeluaran, tempat
penampungan gas, dan penampungan sludge (sisa Pembuangan). Ketiga, terpenuhinya faktor
pendukung yakni faktor dalam (dari digester) yang meliputi imbangan C/n, pH, dan struktur
bahan isian (kehomogenan) dan faktor luar yang meliputi fluktasi suhu (Simamora et al.,
2006)

Anda mungkin juga menyukai