Anda di halaman 1dari 13

DEPARTEMEN PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA

BALAI PENGKAJIAN TEKNOLOGI PERTANIAN (BPTP) SULAWESI SELATAN


Jl Perintis Kemerdekaan Km. 17,5 Sudiang, Makassar 90242, Sulawesi Selatan - Indonesia
Tlp. 0411-556449, FAX 0411-554522
WebSite : http://www.sulsel.litbang.deptan.go.id
e-mail: bptp-sulsel@litbang.deptan.go.id / wmbptpsulsel@yahoo.com

PEMANFAATAN LIMBAH TERNAK DAN TANAMANSEBAGAI BAHAN ORGANIK DALAM MENDUKUNG


PERTANIAN BERKELANJUTAN

PENDAHULUAN

Dalam proses pembangunan berwawasan lingkungan faktor kesuburan dan kesehatan tanah
dalam meningkatkan produktivitas lahan merupakan sasaran utama yang perlu diprioritaskan. Hal ini
disebabkan tingkat kesuburan dan kesehatan tanah sangat menentukan kemampuan tanah dalam
memberikan fasilitas kehidupan terhadap biota yang ada di dalam dan di atasnya.
Tanah selain merupakan sumberdaya alam yang sangat berarti bagi kehidupan manusia, juga
merupakan media tumbuh tanaman, sumber kehidupan manusia dan hewan. Oleh karena itu tanah
perlu dimanfaatkan sebaik-baiknya, dipelihara dan dijaga jangan sampai rusak maupun mengurangi
fungsinya, sehingga mengganggu tanaman yang tumbuh di atasnya, mengakibatkan penurunan hasil dan
lebih jauh akan menimbulkan malapetaka dan penderitaan pada manusia (Peter et al., 2005).
Kesuburan dan kesehatan tanah merupakan faktor yang sangat menentukan produktivitas lahan
pertanian. Penurunan produktivitas lahan dapat terjadi dengan cepat akibat aktivitas manusia yang tidak
mempertimbangkan keseimbangan lingkungan seperti penggunaan sarana produksi dan teknologi baru
di sektor pertanian yang lebih menekankan pengunaan pestisida dan bahan kimia lainnya serta aktivitas
buangan limbah rumah tangga dan industri.
Salah satu senyawa penting penyusun tanah adalah bahan organik (Tisdale et al., 1985). Bahan
organik adalah sisa-sisa tanaman atau binatang terutama yang telah mengalami proses pelapukan
seperti pupuk kandang, pupuk hijau, kompos dan sisa – sisa limbah yang berupa sampah.
Dari beberapa pupuk organik yang ada, sisa-sisa (limbah) yang berasal dari sampah rumah tangga,
limbah tanaman, limbah ternak dan limbah buangan industri dapat mejadi alternatif yang cukup
prospektif untuk dimanfaatkan pada areal pertanian.
Beberapa limbah organik yang didaur ulang dapat digunakan secara efektif untuk pemupukan
pada tanaman. Pemanfaatan limbah organik sebagai pupuk tidak hanya bermanfaat bagi proses
pendaurulangan dan menghemat energi, tetapi juga bermanfaat bagi industri, menolong pemecahan
sejumlah masalah polusi, dan menghmat sumberdaya alam dan energi (Parr dan Wilson, 1980). Namun
demikian karena keragaman jenis limbah organik yang digunakan cukup luas, keefektifan bahan baku
dalam mengatasi kesuburan tanah yang rendah dan suplai hara limbah organik dalam budidaya
seringkali belum optimal karena tingkat pelepasan unsur hara berjalan lambat. Menurut Kang et al.,
(1986) menyatakan bahwa daun segar Leucaena sp. Yang diaplikasikan sebagai pupuk hijau/mulsa dapat
terdekomposisi 60 % setelah hari di lapangan.
Beberapa hasil penelitian diantaranya Hilman dan Rosliani (2002) menunjukkan bahwa teknologi
yang dapat memperbaiki keefektifan bahan organik melalui percepatan proses dekomposisi bahan atau
limbah organik dan ketersediaan hara bagi tanaman sayuran dapat ditempuh dengan pemberian limbah
atau kotoran bekas cacing tanah (kascing). Lebih jauh dikatakan bahwa limbah daun lamtoro, jerami,
dan daun kedelai menghasilkan kascing atau vermikompos kaya akan unsur hara N, P dan K tersedia.
Cacing tanah merombak limbah atau bahan organik seperti pupuk kandang, dan limbah
pertanian baik bahan hijauan, rumput-rumputan, jerami maupun sisa-sisa tanaman. Bahkan menurut
Tomati et al., (1988) menyatakan bahwa kascing adalah kotoran cacing yang kaya akan unsur hara dan
kualitasnya lebih baik dari pada pupuk organik biasa karena mengandung hormon tumbuh auksin yang
dapat meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman. Parkin dan Berry (1994) mengemukakan
pemanfaatan cacing tanah dan bahan organik yang merupakan limbah hayati dapat menghasilkan pupuk
organik bermutu tinggi dan sekaligus mencegah atau mengurangi terjadinya pencemaran lingkungan
akibat bertumpuknya limbah.

PENGELOLAAN LIMBAH TERNAK


SEBAGAI BAHAN ORGANIK

Bahan organik (Tabel 1) berfungsi sebagai penyimpanan unsur hara yang secara perlahan akan
dilepaskan ke dalam larutan air tanah dan disediakan bagi tanaman. Bahan organik di dalam atau di atas
tanah juga melindungi dan membantu mengatur suhu dan kelembaban tanah. Seringkali pemanfaatan
bahan organik digabungkan dengan teknik-teknik lain dengan fungsi yang saling melengkapi, misalnya
pemanfaatan pupuk buatan, pengolahan tanah, pengumpulan air, penaungan, dan pembuatan
pematang. Pengelolaan bahan organik berbeda sesuai dengan situasi dan tanamannya. Pengelolaan
yang tidak memadai dapat menyebabkan pemanfaatan unsur hara yang tidak efisien, hilangnya unsur
hara, pengikatan unsur hara atau pengasaman (Rodale, 1998; Stossel, 2000).

Tabel 1. Kandungan NPK pada Berbagai Macam Limbah Ternak

Pupuk Kandang Nitrogen (%) Phosfat Kalium (%)


(%)
Sapi 0.57 0.23 0.62
Kerbau 0.73 0.48 0.55
Kuda 0.70 0.25 0.77
Itik 0.49 0.34 0.47
Kambing 1.44 0.50 1.21
Kelinci 2.40 1.40 0.60
Ayam 1.00 0.80 0.39
Sumber: Kuepper, 2000.

Ada lima cara dasar penanganan bahan organik sebagai berikut: 1) memberikan langsung ke
tanah, baik itu sebagai mulsa pada permukaan tanah maupun dipendam dalam tanah, 2) membakar
(mengakibatkan mineralisasi), 3) membuat kompos 4) menjadikannya sebagai pakan ternak, atau 5)
memfermentasikannya dalam instalasi biogas.
Limbah ternak adalah sisa buangan dari suatu kegiatan usaha peternakan seperti usaha
pemeliharaan ternak, rumah potong hewan, pengolahan produk ternak, dll. Limbah tersebut meliputi
limbah padat dan limbah cair seperti feses, urine, sisa makanan, embrio, kulit telur, lemak, darah, bulu,
kuku, tulang, tanduk, isi rumen, dll (Sihombing, 2000). Semakin berkembangnya usaha peternakan,
limbah yang dihasilkan semakin meningkat.
Total limbah yang dihasilkan peternakan tergantung dari species ternak, besar usaha, tipe usaha
dan lantai kandang. Manure yang terdiri dari feces dan urine merupakan limbah ternak yang terbanyak
dihasilkan dan sebagian besar manure dihasilkan oleh ternak ruminansia seperti sapi, kerbau kambing,
dan domba. Umumnya setiap kilogram susu yang dihasilkan ternak perah menghasilkan 2 kg limbah
padat (feses), dan setiap kilogram daging sapi menghasilkan 25 kg feses (Sihombing, 2000).
Selain menghasilkan feses dan urine, dari proses pencernaan ternak ruminansia menghasilkan gas
metan (CH4) yang cukup tinggi. Gas metan ini adalah salah satu gas yang bertanggung jawab terhadap
pemanasan global dan perusakan ozon, dengan laju 1 % per tahun dan terus meningkat (Suryahadi dkk.,
2002). Pada peternakan di Amerika Serikat, limbah dalam bentuk feses yang dihasilkan tidak kurang dari
1.7 milyar ton per tahun, atau 100 juta ton feces dihasilkan dari 25 juta ekor sapi yang digemukkan per
tahun dan seekor sapi dengan berat 454 kg menghasilkan kurang lebih 30 kg feses dan urine per hari
(Dyer, 1986). Sedangkan menurut Crutzen (1986), kontribusi emisi metan dari peternakan mencapai 20
– 35 % dari total emisi yang dilepaskan ke atmosfir. Di Indonesia, emisi metan per unit pakan atau laju
konversi metan lebih besar karena kualitas hijauan pakan yang diberikan rendah. Semakin tinggi jumlah
pemberian pakan kualitas rendah, semakin tinggi produksi metan (Suryahadi dkk., 2002).
Limbah ternak masih mengandung nutrisi atau zat padat yang potensial untuk mendorong
kehidupan jasad renik yang dapat menimbulkan pencemaran. Suatu studi mengenai pencemaran air
oleh limbah peternakan melaporkan bahwa total sapi dengan

P e te r n a k a n S a p i

L im b a h ( f e c e s , U r in e , d l l)

L im b a h P a d a t L i m b a h C a ir

P e n gg un aa n D ik e r in g k a n P e n im b u n a n T a ng ki
la n g s u n g u tk d iju a l M a n ure Penam p ungan

Pu p u k T an a m an
D it im b u n d i S a lu r a n A ir
A r e a p e m u k im a n

P o lu s i

Gambar 1. Dampak Umum dan Manajemen Limbah Ternak

berat badannya 5000 kg selama satu hari, produksi manurenya dapat mencemari 9.084 x 10 7 m3 air.
Selain melalui air, limbah peternakan sering mencemari lingkungan secara biologis yaitu sebagai media
untuk berkembang biaknya lalat. Kandungan air manure antara 27-86 % merupakan media yang paling
baik untuk pertumbuhan dan perkembangan larva lalat, sementara kandungan air manure 65-85 %
merupakan media yang optimal untuk bertelur lalat (Dyer, 1986).
Limbah ternak dalam keadaan keringpun dapat menimbulkan pencemaran dengan menimbulkan
debu. Pencemaran udara di lingkungan penggemukan sapi yang paling hebat ialah sekitar pukul 18.00,
kandungan debu pada saat itu lebih dari 6000 mg/m3, jadi sudah melewati ambang batas untuk
kesegaran udara di lingkungan (3000 mg/m3) (Lingaiah dan Rajasekaran, 1986).
Salah satu akibat dari pencemaran air oleh limbah ternak ruminansia ialah meningkatnya kadar
nitrogen. Senyawa nitrogen sebagai polutan mempunyai efek polusi yang spesifik, dimana kehadirannya
dapat menimbulkan konsekuensi penurunan kualitas perairan sebagai akibat terjadinya proses
eutrofikasi, penurunan konsentrasi oksigen terlarut sebagai hasil proses nitrifikasi yang terjadi di dalam
air yang dapat mengakibatkan terganggunya kehidupan biota air (Farida, 1978).
Hasil penelitian Wibowomoekti (1997) dari limbah cair Rumah Pemotongan Hewan Cakung,
Jakarta yang dialirkan ke sungai Buaran mengakibatkan kualitas air menurun, karena kandungan sulfida
dan amoniak bebas di atas kadar maksimum kriteria kualitas air. Selain itu adanya Salmonella spp. yang
membahayakan kesehatan manusia.
Tinja dan urine hewan yang tertular dapat menjadi sarana penularan, mis. penyakit anthrax
melalui kulit manusia yang terluka atau tergores. Spora anthrax tersebar melalui darah atau daging
yang belum dimasak dan mengandung spora. Kasus anthrax sporadik terjadi di Bogor tahun 2001, di
Sumba Timur tahun 1980 dan burung unta di Purwakarta tahun 2000 (Soeharsono, 2002). Gambaran
pengelolaan limbah dan akibat yang ditimbulkannya secara umum (Chantalakhana dan Skunmun, 2002).

Penanganan Limbah Ternak

Penanganan limbah ternak akan spesifik pada jenis/spesies, jumlah ternak, tatalaksana
pemeliharaan, areal tanah yang tersedia untuk penanganan limbah dan target penggunaan limbah.
Penanganan limbah padat dapat diolah menjadi kompos, yaitu dengan menyimpan atau
menumpuknya, kemudian diaduk-aduk atau dibalik-balik. Perlakuan pembalikan ini akan mempercepat
proses pematangan serta dapat meningkatkan kualitas kompos yang dihasilkan. Setelah itu dilakukan
pengeringan untuk beberapa waktu sampai kira-kira terlihat kering.
Penanganan limbah cair dapat diolah secara fisik, kimia dan biologi. Pengolahan secara fisik
disebut juga pengolahan primer (primer treatment). Proses ini merupakan proses termurah dan
termudah, karena tidak memerlukan biaya operasi yang tinggi. Metode ini hanya digunakan untuk
memisahkan partikel-partikel padat di dalam limbah. Beberapa kegiatan yang termasuk dalam
pengolahan secara fisik antara lain : floatasi, sedimentasi, dan filtrasi.
Pengolahan secara kimia disebut juga pengolahan sekunder (secondary treatment) yang bisanya
relatif lebih mahal dibandingkan dengan proses pengolahan secara fisik. Metode ini umumnya
digunakan untuk mengendapkan bahan-bahan berbahaya yang terlarut dalam limbah cair menjadi
padat. Pengolahan dengan cara ini meliputi proses-proses netralisasi, flokulasi, koagulasi, dan ekstrasi.
Pengolahan secara biologi merupakan tahap akhir dari pengolahan sekunder bahan-bahan
organik yang terkandung di dalam limbah cair. Limbah yang hanya mengandung bahan organik saja
dan tidak mengandung bahan kimia yang berbahaya, dapat langsung digunakan atau didahului denghan
pengolahan secara fisik (Sugiharto, 1987).
Beberapa cara penanganan limbah ternak sudah diterapkan (Chung, 1988) di antaranya :
• Solid Liquid Separator. Pada cara ini penurunan BOD dan SS masing-masing sebesar 15-30% dan 40-
60%. Limbah padat setelah separasi masih memiliki kandungan air 70-80%. Normalnya, kompos
mempunyai kandungan uap air yang kurang dari 65%, sehingga jerami atau sekam padi dapat
ditambahkan. Setelah 40-60 hari, kompos telah terfermentasi dan lebih stabil.
• Red Mud Plastic Separator (RMP). RMP adalah PVC yang diisi dengan limbah lumpur merah (Red
Mud) dari industri aluminium. RMP tahan pada erosi oleh asam, alkalis atau larutan garam. Satu
laporan mengklaim bahwa material RMP dengan tebal 1,2 mm dapat digunakan sekitar 20 tahun.
Bila limbah hog dipisahkan dengan menggunakan separator liquid, bagian cair akan mengalir ke
dalam digester anaerobik pada kantong RMP. Pada suatu seri percobaan di Lembaga Penelitian
Ternak Taiwan, didapatkan bahwa ukuran optimum kantong dihitung dengan mengalikan jumlah
hogs dengan 0,5 m3. Pada suhu ambien di Taiwan, jika waktu penyimpanan hidrolik selama 12 hari,
BOD biasanya turun menjadi 70-85% dan kandungan SS menjadi 80-90%.
• Aerobic Treatment. Perlakuan limbah hog pada separator liquid-solid dan RMP bag digestor
biasanya cukup untuk menemukan standart sanitasi. Jika tidak, aliran (effluent) selanjutnya
dilakukan secara aerobik. Perlakuan aerobik meliputi aktivasi sludge, parit oksidasi, dan kolam
aerobik. Rata-rata BOD dan SS dari effluent setelah perlakuan adalah sekitar 200-800 ppm. Setelah
perlakuan aerobik, BOD dan SS akan turun pada level standar yang memenuhi standart dari
kumpulan air limbah oleh aturan pencegahan polusi air. BOD maksimum air limbah dari suatu
peternakan besar dengan lebih dari 1000 ekor babi adalah 200 ppm, sedangkan untuk peternakan
kecil BOD yang diijinkan 400 ppm.

Pemanfaatan Limbah Ternak


Pelbagai manfaat dapat dipetik dari limbah ternak, apalagi limbah tersebut dapat diperbaharui
(renewable) selama ada ternak. Limbah ternak masih mengandung nutrisi atau zat padat yang
potensial untuk dimanfaatkan. Limbah ternak kaya akan nutrient (zat makanan) seperti protein, lemak,
bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN), vitamin, mineral, mikroba atau biota, dan zat-zat yang lain
(unidentified subtances). Limbah ternak dapat dimanfaatkan untuk bahan makanan ternak, pupuk
organik, energi dan media pelbagai tujuan (Sihombing, 2002).
Limbah Ternak SebagaiBahan Pakan dan Media Tumbuh

Sebagai pakan ternak, limbah ternak kaya akan nutrien seperti protein, lemak BETN, vitamin,
mineral, mikroba dan zat lainnya. Ternak membutuhkan sekitar 46 zat makanan esensial agar dapat
hidup sehat. Limbah feses mengandung 77 zat atau senyawa, namun didalamnya terdapat senyawa
toksik untuk ternak. Untuk itu pemanfaatan limbah ternak sebagai makanan ternak memerlukan
pengolahan lebih lanjut. Tinja ruminansia juga telah banyak diteliti sebagai bahan pakan termasuk
penelitian limbah ternak yang difermentasi secara anaerob (Prior et al., 1986).
Penggunaan feses sapi untuk media hidup cacing tanah, telah diteliti menghasilkan biomassa
tertinggi dibandingkan campuran feces yang ditambah bahan organik lain, seperti feses 50% + jerami
padi 50%, feses 50% + limbah organik pasar 50%, maupun feses 50% + isi rumen 50% (Farida, 2000).

Limbah Ternak Sebagai Penghasil Gasbio


Permasalahan limbah ternak, khususnya manure dapat diatasi dengan memanfaatkan menjadi
bahan yang memiliki nilai yang lebih tinggi. Salah satu bentuk pengolahan yang dapat dilakukan adalah
menggunakan limbah tersebut sebagai bahan masukan untuk menghasilkan bahan bakar gasbio.
Kotoran ternak ruminansia sangat baik untuk digunakan sebagai bahan dasar pembuatan biogas. Ternak
ruminansia mempunyai sistem pencernaan khusus yang menggunakan mikroorganisme dalam sistem
pencernaannya yang berfungsi untuk mencerna selulosa dan lignin dari rumput atau hijauan berserat
tinggi. Oleh karena itu pada tinja ternak ruminansia, khususnya sapi mempunyai kandungan selulosa
yang cukup tinggi. Berdasarkan hasil analisis diperoleh bahwa tinja sapi mengandung 22.59% sellulosa,
18.32% hemi-sellulosa, 10.20% lignin, 34.72% total karbon organik, 1.26% total nitrogen, 27.56:1 ratio
C:N, 0.73% P, dan 0.68% K (Lingaiah dan Rajasekaran, 1986).
Gasbio adalah campuran beberapa gas, tergolong bahan bakar gas yang merupakan hasil
fermentasi dari bahan organik dalam kondisi anaerob, dan gas yang dominan adalah gas metan (CH4)
dan gas karbondioksida (CO2) (Simamora, 1989). Gasbio memiliki nilai kalor yang cukup tinggi, yaitu
kisaran 4800-6700 kkal/m3, untuk gas metan murni (100 %) mempunyai nilai kalor 8900 kkal/m3.
Menurut Maramba (1978) produksi gasbio sebanyak 1275-4318 I dapat digunakan untuk memasak,
penerangan, menyeterika dan mejalankan lemari es untuk keluarga yang berjumlah lima orang per hari.
Bahan gasbio dapat diperoleh dari limbah pertanian yang basah, kotoran hewan (manure),
kotoran manusia dan campurannya. Kotoran hewan seperti kerbau, sapi, babi dan ayam telah diteliti
untuk diproses dalam alat penghasil gasbio dan hasil yang diperoleh memuaskan (Harahap et al., 1980).
Perbandingan kisaran komposisi gas dalam gasbio antara kotoran sapi dan campuran kotoran ternak
dengan sisa pertanian dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2.Komposisi gas dalam gasbio (%) antara kotoran sapi dan campuran kotoran ternak dengan
sisa pertanian.

Jenis gas Kotoran Campuran


sapi kotoran
ternak &
sisa
pertanian
Metan (CH4) 65.7 54-70
Karbondioksida 27.0 45-27
(CO2) 2.3 0.5-3.0
Nitrogen (N2) 0.0 0.1
Karbonmonoksida 0.1 6.0
(CO) 0.7 -
Oksigen (O2) Tdk sedikit
Propen (C3H8) terukur sekali
Hidrogen sulfida 6513 4800-
(H2S) 6700
Nilai kalor
(kkal/m3)
Sumber : Harahap et al. (1978).

Pembentukan gasbio dilakukan oleh mikroba pada situasi anaerob, yang meliputi tiga tahap,
yaitu tahap hidrolisis, tahap pengasaman, dan tahap metanogenik. Pada tahap hidrolisis terjadi
pelarutan bahan-bahan organik mudah larut dan pencernaan bahan organik yang komplek menjadi
sederhana, perubahan struktur bentuk primer menjadi bentuk monomer. Pada tahap pengasaman
komponen monomer (gula sederhana) yang terbentuk pada tahap hidrolisis akan menjadi bahan
makanan bagi bakteri pembentuk asam. Produk akhir dari gula-gula sederhana pada tahap ini akan
dihasilkan asam asetat, propionat, format, laktat, alkohol, dan sedikit butirat, gas karbondioksida,
hidrogen dan amoniak. Sedangkan pada tahap metanogenik adalah proses pembentukan gas metan.
Sebagai ilustrasi dapat dilihat salah satu contoh bagan perombakan serat kasar (selulosa) hingga
terbentuk gasbio (Gambar 2).
Sedangkan bakteri-bakteri anaerob yang berperan dalam ketiga fase di atas terdiri dari :
1. Bakteri pembentuk asam (Acidogenic bacteria) yang merombak senyawa organik menjadi senyawa
yang lebih sederhana, yaitu berupa asam organik, CO2, H2, H2S.
2. Bakteri pembentuk asetat (Acetogenic bacteria) yang merubah asam organik, dan senyawa netral
yang lebih besar dari metanol menjadi asetat dan hidrogen. Bakteri penghasil metan
(metanogens), yang berperan dalam merubah asam-asam lemak dan alkohol menjadi metan dan
karbondioksida. Bakteri pembentuk metan antara lain Methanococcus, Methanobacterium, dan
Methanosarcina.
Limbah Ternak Sebagai Pupuk Organik

Di negara China tidak jarang dapat dilihat pembuangan limbah peternakan disatukan
penampungannya dengan limbah manusia, untuk kemudian dijadikan pupuk organik tanaman
hortikultura. Selain itu ada juga yang mencampurnya dengan lumpur selokan, untuk kemudian
digunakan sebagai pupuk. Sebanyak 8-10 kg tinja yang dihasilkan oleh seekor sapi per hari dapat
menghasilkan pupuk organik atau kompos 4-5 kg per hari (Haryanto, 2000 dalam
www.bangnak.ditjennak.go.id).
Farida (2000) mengungkapkan bahwa produksi kokon tertinggi diperoleh dari pemanfaatan 50 %
limbah feces sapi yang dicampur dengan 50% limbah organik rumah tangga, yang bermanfaat untuk
dijadikan pupuk organik.

Manfaat Limbah Ternak Lainnya

Di India dengan adanya tinja sapi sebanyak 5 kg perekor dan kerbau 15 kg perekor, oleh
pemerintah India disarankan untuk dihasilkannya dung cake (briket) secara massal sebagai sumber
energi (Jha, 2002). Dilaporkan dari percobaan Basak and Lee (2001) bahwa tinja sapi yang segar pada
perbandingan 1:2 mampu mengendalikan (100%) patogen cendawan akar mentimun (Cucumis sativus
L.) dari serangan root rot oleh Fusarium solani f.sp. cucurbitae Synder and Hansen, dan layu oleh
Fusarium oxysporum f.sp. cucumerinum Owen. Tinja sapi kemungkinan memiliki mekanisme
pertahanan dan memberikan perlindungan pada bagian leher tanaman.

PEMANFAATAN LIMBAH TANAMAN SEBAGAI PUPUK DAN MULSA ORGANIK

Pupuk Organik

Hasil penelitian Tandisau, et al., (2005) melaporkan bahwa aplikasi pupuk organik dari Tempat
Pembuangan Akhir (TPA) sampah kota Makassar Sulawesi Selatan yang dikombinasi dengan pupuk
anorganik sangat memberikan dampak positif terhadap perbaikan pertumbuhan dan hasil cabai (Tabel
3).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa jenis limbah kacang-kacangan yang dibenamkan ke
dalam tanah menimbulkan perbedaan hasil padi dengan nyata dibandingkan dengan tanpa pembenahan
limbah (Tabel 4).
Ketersediaan bahan organik yang mencukupi merupakan hal yang kritis. Jika unsur hara digantikan
terutama oleh bahan-bahan kimia dan petani tidak lagi menganggap pemberian pupuk kandang penting,
maka tanah akan menjadi miskin bahan organik dan unsur hara penyangga. Selain itu, tanah akan
menjadi rentan terhadap kekeringan dan serangan hama. Dengan kata lain, produktivitas dan kestabilan
sistem pertanian akan menurun. Dalam hal ini, investasi unsur hara dan tenaga kerja pada saat awal
sangat diperlukan bagi peningkatan produksi biomassa untuk kemudian dimanfaatkan sebagai pupuk.
Dengan cara ini, modal kerja petani semakin meningkat dalam bentuk bahan organik tanah (U.S.
Departemen of Agriculture, 2000).
Tabel 3.Komponen pertumbuhan dan produksi cabai pada berbagai aplikasi pupuk anorganik, organik
dan kombinasinya, Bajeng, kabupaten Gowa. 2000.

Perlakuan Saat Tinggi Lebar Jumlah Bobot Hasil


berbunga tanaman kanopi buah per 10 buah buah
(HST) (cm) (cm) pohon (g) segar
(kg/ha)
Tanpa pupuk 62 53,3 a 45,2 b 16,6 e 95,3 b 4608 d
150 kg Urea + 55 60,4 ab 55,9 a 31,0 ab 100,3 a 118762 b
150 kg SP-36 +
150 kg KCl/Ha
(rekomendasi)
150 kg Urea +
100 kg SP-36 +
100 kg KCl/Ha + 6
t Pupuk Organik 57 60,8 ab 54,3 a 32,3 ab 107,6 ab 9616 bc
TPA/Ha
10 t PO TPA/ha 57 58,3 abc 53,2 a 28,0 bcd 101,4 ab 9616 bc
8 t PO TPA/ha 57 58,3 abc 51,3 ab 24,8 cde 101,0 ab 8091 c
6 t PO TPA/ha 60 56,2 bc 49,7 ab 23,0 cde 101,2 ab 7899 cd
4 t PO TPA/ha 60 56,3 bc 48,3 ab 22,4 de 98,3 ab 7642 cd
2 t PO TPA/ha 61 54,2 c 48,2 ab 20,5 de 96,2 ab 6702 cd
2 t PO TPA + 50 57 56,8 bc 54,2a 20,8 de 100,7 ab 7618cd
kg Urea/ha
Keterangan: angka yang bernotasi sama pada kolom yang sama berarti berbeda nyata menurut Uji
Duncan (DMRT)
pada P= 0,05 ; HST = Hari Setelah Tanam

Beberapa perkiraan kasar mengenai tingkat input bahan organik yang dibutuhkan dalam kondisi
agroekologis yang berbeda dapat diambil dari Yong (1990). Dijelaskan bahwa diperlukan 8,5 ton/ha
residu di atas permukaan tanah per hektar untuk daerah lembab, 4 ton/hektar untuk daerah sublembab
dan 2 ton/hektar untuk daerah semi kering. Jumlah itu diperlukan guna mempertahankan target tingkat
karbon tanah berturut-turut 2,0, 1,0 dan 0,5. oleh karena residu di atas permukaan dari tanaman tinggal
biasanya kurang dari 3 ton/hektar, jelas bahwa di daerah tropis yang lembab, dibutuhkan sumber

biomassa ekstra (misalnya pohon-pohon, tanaman naungan) untuk memenuhi target itu.
Pupuk organik sebagai bahan sumber karbon yang dapat menyumbang pembentukan gas metan
dinilai mendukung upaya peningkatan produktivitas tanah. Gas metan lepas ke atmosfer melalui
degradasi anaerobik bahan organik (biogenik) dan non biogenik (Cicerone and Oremland, 1988). Proses
dekomposisi bahan organik secara anaerobik menghasilkan gas N2, H2, CH4, C2H6, propona dan
sebagainya. Ketersediaan gas CO2, CH4 dan N2 lebih besar dalam tanah yang tergenang (Neue and
Scharpenseel, 1990).

Tabel 4. Pengaruh pembenaman limbah kacang-kacangan terhadap produksi padi di Desa Karangbenda,
Cilacap
MH 1995/96-MK 1996.
Perlakuan Hasil gabah kering giling (t/ha)
MH 1995/1996 MK 1996
Jenis limbah dari
Kacang tunggak 6,9 4,6
Kacang hijau 6,9 5,0
Sesbania rostata 6,7 5,1
Pengelolaan limbah
Dimulsakan 6,4 b 4,6 b
dibenamkan 7,1 a 5,1 a
Sumber: Sudaryat et., (1996)

Selain memperbaiki struktur tanah, pupuk organik juga berperan sebagai sumber unsur hara
esensial bagi tanaman. Pada Tabel 5. Terlihat bahwa pemberian bahan organik berpengaruh terhadap
hasil padi walik jerami pada MK 1997. Peningkatan hasil akibat pemberian bahan organik retalif kecil
dibanding dengan tanpa bahan organik (kontrol), kecuali dalam bentuk jerami.
Sedangkan hasil penelitian Arbiwati (2000) melaporkan bahwa pemberian beberapa macam
kompos gulma air dapat meningkatkan kandungan komponen humus tanah Inseptisol kasar dan
Vertisol, meliputi C organik, N total, asam humat dan asam fulvat. Kompos azolla dan kompos kayu apu
masing-masing menghasilkan N total dan asam humat tertinggi sehingga dapat meningkatkan berat
kering trubus tertinggi. Kompos kayu apu dan enceng gondok menghasilkan asam humat tertinggi
sehingg dapat meningkatkan berat kering akar tertinggi.

Tabel 5. Hasil dan komponen hasil padi tanpa dan dengan bahan organik dan efek residunya dilahan
sawah tadah
hujan Jakenan, 1997-1998.

Perlakuan Hasil (t/ha) Gabah total Gabah isi Berat 1000 Panjang
gabah Jerami per mlai per malai butir (g) malai
(cm)
MK 1997
Kontrol 2,14a 7,39 a 83,1 ab 79,4 ab 24,4 a 22,4 a
P. kandang, 5 t/ha 2,35ab 7,56 a 82,7 ab 80,5 b 25,5 a 22,3 a
P.kandang, 10 t/ha 2,16a 7,45 a 79,5 a 78,5 ab 25,0 a 22,1 a
Jerami kering, 5 t/ha 2,61bc 7,27 a 88,9 ab 78,3 ab 24,1 a 22,5 a
Jerami kering, 10 t/ha 2,86c 8,08 a 92,9 b 71,5 a 24,0 a 22,7 a
Daun turi, 5 t/ha 2,25ab 7,10 a 85,2 ab 79,0 b 23,7 a 22,1 a
Daun turi, 10 t/ha 2,58bc 8,10 a 93,0 b 80,0 b 24,5 a 22,8 a
MH 1997/98 (efek residu MK 1997)
Kontrol 5,58 a 10,26 a 89,4 a 85,8 a 29,0 a 23,7 a
P. kandang, 5 t/ha 6,14 a 12,16 a 91,9 a 87,2 a 28,2 a 24,1 a
P. kandang, 10 t/ha 5,87 a 11,72 a 93,9 a 83,7 a 28,7 a 23,8 a
Jerami kering, 5 t/ha 6,16 a 11,59 a 91,6 a 88,6 a 28,4 a 24,0 a
Jerami kering, 10 t/ha 6,25 a 12,22 a 93,8 a 88,6 a 29,3 a 24,3 a
Daun turi, 5 t/ha 6,07 a 11,51 a 98,0 a 86,3 a 29,2 a 24,5 a
Daun turi, 10 t/ha 5,96 a 11,99 a 92,7 a 79,3 a 29,2 a 24,3 a
Angka selajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 DMRT
Sumber: Wihardjaka et al., (1999)
Mulsa Organik

Salah satu penyebab degradasi lahan adalah erosi. Oleh karena itu, pemanfaatan mulsa organik
dalam rangka untuk mempertahankan bahan organik tanah dan mengurangi laju erosi, serta
meningkatkan produktivitas tanah dan pendapatan petani, menjadi prioritas penting dalam pengelolaan
tanah berkelanjutan di lahan terdegradasi (Arbiwati dan Alif, 2001).
Mulsa organik merupakan mulsa yang menggunakan bahan yang mengandung C-organik, yang
kemudian mengalami dekomposisi sebagai bahan organik tanah (Stratton dan Recheigl, 1998). Bahan
yang digunakan untuk mulsa organik antara lain: sisa panen, seperti: jerami padi, batang jagung, batang
kacang tanah dan batang kedele, dan lain-lain. Sedang tanaman pupuk hijau, seperti, Flemingia
congesta, Gliricideae sp., Leucaena glauca, Crotalaria juncea, dan lain-lain, ataupun limbah hasil kegiatan
pertanian, seperti: serbuk gergaji, serpihan kayu, bonggol jagung, kulit kacang tanah, sekam, limbah
sagu (Purwowidodo, 1983; Bintoro, et al., 2006). Selain itu menurut Stratton dan Recheigl (1998) dapat
digunakan gambut maupun rumput sebagai bahan mulsa.

Pemanfaatan Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit pada Perkebunan Kelapa Sawit

Limbah cair pabrik kelapa sawit dapat digunakan sebagai pupuk. Aplikasi limbah cair memiliki
keuntungan antara lain dapat mengurangi biaya pengolahan limbah cair dan sekaligus
berfungsi sebagai sumber hara bagi tanaman kelapa sawit.

Kualifikasi limbah cair yang digunakan mempunyai kandungan BOD 3.500–5.000 mg/l yang
berasal dari kolam anaerobik primer.

Metode aplikasi limbah cair yang umum digunakan adalah sistem flatbed, yaitu dengan
mengalirkan limbah melalui pipa ke bak-bak distribusi dan selanjutnya ke parit primer dan
sekunder (flatbed). Ukuran flatbed adalah 2,5 m x 1,5 m x 0,25 m. Dosis pengaliran limbah cair
adalah 12,6 mm ekuivalen curah hujan (ECH)/ha/bulan atau 126 m3/ha/bulan.

Kandungan hara pada 1m3 limbah cair setara dengan 1,5 kg urea, 0,3 kg SP-36, 3,0 kg MOP,
dan 1,2 kg kieserit. Pabrik kelapa sawit dengan kapasitas 30 ton/jam akan menghasilkan sekitar
480 m3 limbah cair per hari, sehingga areal yang dapat diaplikasi sekitar 100-120 ha.

Pembangunan instalasi aplikasi limbah cair membutuhkan biaya yang relatif mahal. Namun
investasi ini diikuti dengan peningkatan produksi TBS dan penghematan biaya pupuk sehingga
penerimaan juga meningkat. Aplikasi limbah cair 12,6 mm ECH/ha/bulan dapat menghemat
biaya pemupukan hingga 46%/ha. Di samping itu, aplikasi limbah cair juga akan mengurangi
biaya pengolahan limbah.

Limbah cair pabrik kelapa sawit telah banyak digunakan di perkebunan kelapa sawit.
Penggunaan limbah cair mampu meningkatkan produksi TBS 16-60%. Limbah cair tidak
menimbulkan pengaruh yang buruk terhadap kualitas air tanah di sekitar areal aplikasinya.
Kolam anaerobik primer

Pengaliran limbah cair PKS dengan sistem flatbed

Parit sekunder pada aplikasi limbah cair sistem flatbed


KESIMPULAN
• Ekskreta ternak ruminansia berpeluang mencemari lingkungan jika tidak dimanfaatkan. Namun
memperhatikan komposisinya, ekskreta masih dapat dimanfaatkan lagi sebagai bahan pakan, pupuk
organik, gas bio, dan briket energi.
• Pemanfaatan limbah ternak akan mengurangi tingkat pencemaran lingkungan (air, tanah, udara).
• Pupuk organik sebagai bahan sumber karbon dapat menyumbang pembentukan gas metan untuk
mendukung peningkatan produktivitas tanah. Gas metan lepas ke atmosfer melalui degradasi anaerobik
bahan organik (biogenik) dan non biogenik.
• Pupuk organik selain memperbaiki struktur tanah, juga berperan sebagai sumber unsur hara esensial bagi
tanaman.
• Mulsa organik merupakan mulsa yang mengandung C-organik, yang kemudian mengalami dekomposisi
sebagai bahan organik tanah.

DAFTAR PUSTAKA

Arbiwati, D., 2000. Peranan Beberapa Kompos Gulma Air Terhadap Komponen Humus dan Pertumbuhan
Tanaman Jagung pada Inseptisol Kasar dan Vertisol. Dalam Prosiding Seminar Nasional Pertanian
Organik. Yogyakarta. Halm 206-212.
Arbiwati, D., dan A. Waluyo, 2001. Aplikasi Mulsa Organik Tanpa Olah Tanah (TOT) untuk Pengelolaan Tanah
Berkelanjutan di Lahan Terdegradasi. Dalam Prosiding Seminar Nasional Olah Tanah Konservasi,
Yogyakarta. Halm 163-172.
Badan Litbang Pertanian, 2007. Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian.
http://www.Deptan go.id. diakses Tgl 25 Mei 2007.
Basak A B and Lee M W. Efficacy of cow dung in controlling root rot and Fusarium wilt diseases of cucumber
plants.
http://plantpath.snu.ac.kr/ic2001/abstract.html (dikunjungi 6 Maret 2003).
Bintoro, M.H., H. Yani, A.T. Maryani, M. Syakir, Nurhastuti, M. Alam, R. Widhiastuti, Zaitun, dan Muzirman,
2006. Peranan Pupuk Organik dalam Peningkatan Produksi Tanaman Pangan. Dalam Prsiding Seminar
Nasional Sumberdaya Lahan Pertanian. Balai Besar dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian.
Balitbang Pertanian. Departemen Pertanian. Bogor, 14 – 15 september 2006. Halm. 175-198.
Chantalakhana Ch and Skunmun P. 2002. Sustainable Smallholder Animal System in the Tropics. Kasetsart
University Press, Bangkok.
Crutzen P J, Aselman I and Seiler W. 1986. Methane production by domestic animals, wild ruminant, other
herbivorous fauna, and humans. Tellus 38B:271-284.
CAST. 1999. Gulf of Mexico hypoxic zone is largest in Western Hemisphere. Council for Agricultural Science and
Technology, Ames, IA. June 18.
Dyer L A. 1986. Beef Cattle. In Cole and Brander Ed.: Ecosystem of the world 21-Bioindustrial Ecosystem.
Elsevier, New York.
Eghball, Bahman and Gary W. Lesoing. 2000. Viability of weed seeds following manure windrow composting.
Compost Science & Utilization. Winter. p. 46–53.
FAO, 1977. Organic materials and soil productivity. Soils Bulletin 35. Rome: FAO.
FAO. 1978. China: Azolla Propagation and Small-Scale Biogas Technology. Roma, Italy.
Farida E. 2000. Pengaruh Penggunaan Feses Sapi dan Campuran Limbah Organik Lain Sebagai Pakan atau
Media Produksi Kokon dan Biomassa Cacing Tanah Eisenia foetida savigry. Skripsi Jurusan Ilmu Nutrisi
dan Makanan Ternak. IPB, Bogor.
Harahap F M, Apandi dan Ginting S. 1978. Teknologi Gasbio. Pusat Teknologi Pembangunan Institut Teknologi
Bandung, Bandung.
Hardjoutomo S. 1999. Tuberkulosis sapi dan peranannya bagi peternakan sapi di Indonesia dalam Journal
Penelitian dan Pengembangan Pertanian 18 (2) http://pustaka.bogor.net/publ/jp3/html/jp182994.htm
http://www.bangnak. ditjennak.go.id/bang-swt.htm.Pengembangan Usaha Kompos / Pupuk Organik.
Hilman, Y. Dan R. Rosliana. 2002. Pemanfaatan cacing tanah (Lumbricus rubellus) untuk meningkatkan kualitas
hara limbah organik dan hasil tanaman mentimun. J. Hort. 12(3): 148 – 157.
Huhnke, Raymond L. 1982. Land Application of Livestock Manure. OSU Extension Facts No. 1710. Oklahoma
State University, Stillwater, OK. 4 p.
Haapala, JJ. 1997. Risks of chicken manure as fertilizer. In Good Tilth. June. p. 10, 12.
IFOAM, 2005. http://www.ifoam.org.
Jha, L.K. 2002. Cowdung polluting Yamuna in The Hindu, 21 February 2002
http://www.hinduonnet.com/2002/02/21/stories/2002022105000300.htm Lingaiah V. and
Rajasekaran P. 1986. Biodigestion of cowdung and organic wastes mixed with oil cake in relation to
energy in Agricultural Wastes 17(1986): 161-173.
Kang, B.T., Wilson, and T.L. Lawson. 1986. Alley Cropping a Stable Alternating to Shifting Cultivation IITA.
Ibadan. Nigeria.
Kinsey, Neal. 1994. Manure: The good, the bad, the ugly & how it works with your soil. Acres USA. October. p. 8,
10, 11, 13.
Kuepper, G., 2003. Examining manure myths and misconceptions. Wisconsin Agriculturist. September. p. 10–12.
Lal, R. 1987. Tropical ecology and physical edaphology. Chichester: Wiley and Sons.
Maramba F D. 1978. Biogas and Waste Recycling. Maya Farm. Manila, Philippines.
Meegan M E, Conroy R M, Lengeny S O, Renhault K, Nyangole J. 2001. Effect on neonatal tetanus mortality
after a culturally-based health promotion programme in Lancet (2001) 358:640-641
(http://www.elsevier. com/locate/lancet Prior R L, Hashimoto A G, Crouse J D, and Dikeman M E.
1986. Nutritional value of anerobically fermented beef cattle wastes as a feed ingredient for livestock:
growth and carcass traits of beef cattle and sheep fed fermentor biomass in Agricultural Wastes
17(1986): 23-27.
Parkin, T.B and C.E. Berry. 1994. Nitrogen transformations associated with earthworm cast. Soil. Biol. Biochem.
29 (9): 1233-1238.
Parr, J.F. and G.B. Wilson. 1980. Recycling organic wastes to improal soil productivity. Hort. Sci. 15(3): 162-166.
Sihombing D T H. 2000. Teknik Pengelolaan Limbah Kegiatan/Usaha Peternakan. Pusat Penelitian Lingkungan
Hidup Lembaga Penelitian, Institut Pertanian Bogor.
Simamora S. 1989. Pengelolaan Limbah Peternakan (Animal Waste Management). Teknologi Energi Gasbio.
Fakultas Politeknik Pertanian IPB. Bekerjasama dengan Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan.
Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen P dan K.
Soeharsono, 2002. Anthrax sporadik, tak perlu panik. Dalam kompas, 12 September 2002,
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0209/12/ iptek/anth29.htm
Suryahadi, Nugraha A R, Bey A, dan Boer R. 2000. Laju konversimetan dan faktor emisi metan pada kerbau
yang diberi ragi tape lokal yang berbeda kadarnya yang mengandung Saccharomyces cerevisiae.
Ringkasan Seminar Program Pascasarjana IPB.
Tomati, U., A. Grapelli and E. Galli. 1988. The hormonelike effect of earthworm cast on plant growth. Biol Fertil.
Soils. 5: 288-294.
Wibowomoekti P S. 1997. Kandungan Salmonella spp. dari limbah cair Rumah Pemotongan Hewan (Studi
Kasus RPH Cakung, Jakarta). Tesis Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Anda mungkin juga menyukai