Anda di halaman 1dari 11

NARROS LESTAR!

Pertanian terpadu pada hakekatnya adalah memanfaatkan seluruh potensi energi sehingga dapat dipanen secara
seimbang. Pertanian melibatkan makhluk hidup dalam satu atau beberapa tahapnya dan memerlukan ruang untuk
kegiatan itu serta jangka waktu tertentu dalam proses produksi. Dengan pertanian terpadu ada pengikatan bahan
organik di dalam tanah dan penyerapan karbon lebih rendah dibanding pertanian konvensional yang pakai pupuk
nitrogen dan sebagainya. Agar proses pemanfaatan tersebut dapat terjadi secara efektif dan efisien, maka sebaiknya
produksi pertanian terpadu berada dalam suatu kawasan. Pada kawasan tersebut sebaiknya terdapat sektor produksi
tanaman, peternakan maupun perikanan. Keberadaan sektorsektor ini akan mengakibatkan kawasan tersebut memiliki
ekosistem yang lengkap dan seluruh komponen produksi tidak akan menjadi limbah karena pasti akan dimanfaatkan
oleh komponen lainnya. Disamping akan terjadi peningkatan hasil produksi dan penekanan biaya produksi sehingga
efektivitas dan efisiensi produksi akan tercapai. Selain hemat energi, keunggulan lain dari pertanian terpadu adalah
petani akan memiiki beragam sumber penghasilan. Sistem Pertanian terpadu memperhatikan diversifikasi tanaman dan
polikultur. Seorang petani bisa menanam padi dan bisa juga beternak kambing atau ayam dan menanam sayuran.
Kotoran yang dihasilkan oleh ternak dapat digunakan sebagai pupuk sehingga petani tidak perlu membeli pupuk lagi.
]ika panen gagal, petani masih bisa mengandalkan daging atau telur ayam, atau bahkan menjual kambing untuk
mendapatkan penghasilan.

Pertanian terpadu merupakan konsep pemanfaatan lahan yang tersedia semaksimal mungkin untuk menghasilkan
produk pertanian yang beraneka ragam dengan kualitas tinggi. Hasil yang beragam dari tiap komoditas pertanian
tersebut diolah kembali untuk sumber masukan energi dalam melakukan aktivitas pertanian lainnya. Pemanfaatan
komponenkomponen pertanian yang saling terkait antara satu dengan yang lainnya akan meningkatkan efektifitas dan
efisiensi produksi yaitu berupa peningkatan hasil produksi yang bersifat ramah lingkungan. Konsep pertanian terpadu
ini juga merupakan upaya petani dalam memperbaiki sifat tanah dengan penambahan input bahan organik dari dalam
sistem pertanian itu sendiri.

Bahan organik tanah adalah semua jenis senyawa organik yang terdapat di alam tanah, termasuk serasah, fraksi bahan
organik ringan, biomassa mikroorganisme, bahan organik terlarut di dalam air, dan bahan organik yang stabil atau
humus. Bahan organik yang dihasilkan dalam sistem pertanian terpadu ini memiliki peran penting dalam menentukan
kemampuan tanah untuk mendukung tanaman,

sehingga jika kadar bahan organik tanah menurun, kemampuan tanah dalam mendukung produktivitas tanaman juga
menurun.
Bahan organik secara langsung merupakan sumber hara N, P, S, unsur mikro maupun unsur hara esensial lainnya.
Secara tidak langsung bahan organik membantu menyediakan unsur hara N melalui fiksasi N2 dengan cara
menyediakan energi bagi bakteri penambat N2, membebaskan fosfat yang difiksasi secara kimiawi maupun biologi dan
menyebabkan pengkhelatan unsur mikro sehingga tidak mudah hilang dari zona perakaran. Nembentuk agregat tanah
yang lebih baik dan memantapkan agregat yang telah terbentuk sehingga aerasi, permeabilitas dan infiltrasi menjadi
lebih baik. Akibatnya adalah daya tahan tanah terhadap erosi akan meningkat. Neningkatkan retensi air yang
dibutuhkan bagi pertumbuhan tanaman. Neningkatkan retensi unsur hara melalui peningkatan muatan di dalam tanah.
Nengimmobilisasi senyawa antropogenik maupun logam berat yang masuk ke dalam tanah. Neningkatkan kapasitas
sangga tanah

Usaha yang dipakai dalam menerapkan pertanian terpadu adalah dengan menggabungkan dua subsistem utama yaitu
peternakan dan pertanian.

Ternak dapat dipelihara sebagai bagaian yang integral dalam system pertanian tersebut.

Analisis input pada peternakan ini adalah kebutuhan pakan sapi sebanyak S0 kilogram per hari. Pakan yang diberikan
pada sapi peternakan tersebut adalah jerami dan shorgum. Terkadang untuk menambah nutrisi pakan jerami biasanya
ditambah dengan pakan konsentrat berupa campuran jagung giling dan katul. ]agung giling dapat di ganti dengan ubi
kayu.
Pemberian konsentrat tersebut sebanyak 1 dari berat bobot pakan. Karena kebutuhan pakan yang cukup banyak,
terkadang input dari dalam belum mampu memenuhi sehingga sebagian kebutuhan mendatangkan pakan dari luar.
Sedangkan air tidak terlalu diperhitungkan karena sapi biasanya mendapatkan air dari campuran pakan yang telah
diberikan.
Analisis output dari peternakan berupa pupuk kandang berupa urin dan feces yang dihasilkan oleh sapi. Dalam satu
tahun sapi dapat menghasilkan pupuk kandang sekitar S,4 ton dengan rincian tiap hari menghasilkan 1S kilogram
kotoran. Dikaitkan dengan kebutuhan lahan, informasi yang didapat bahwa sejumlah lima ekor sapi mampu mencukupi
kebutuhan pupuk organik selama satu tahun. Agar kotoran dapat menjadi pupuk kandang biasanya diakukan
dekomposisi selama 4 bulan agar pupuk kandang dapat langsung digunakan pada lahan pertanian. Selain output dari
hasil pupuk kandang, peternakan tersebut juga mendapatkan output dari hasil penjualan ternak.
Pemilihan sapi sebagai subsistem utama pertanian terpadu tersebut sangat tepat. Sapi dapat digunakan sebagai
sumber pemenuh kebutuhan hara bagi pertanian lain. Sebagai pertimbangan bahwa pada tahun pertama pertanian
tersebut memiliki S ekor sapi, kemudian pada tahun kedua dan ketiga berturutturut sebanyak 10 dan 1S ekor.
Neningkat di tahun ke 4 berjumlah 17 ekor. Dari ke 17 ekor sapi itu terdiri dari jenis Simental, Limousin dan Berangus.
Dari jumlah tersebut sapi dapat dijual sebagian untuk membantu pemasukan petani. Sisanya berjumlah 8 ekor sapi
tetap dipertahankan untuk pemenuhan kebutuhan hara dan investasi petani ke depan. Keunggulan lainnya adalah sapi
dapat berkembang biak dalam waktu yang singkat.
Pemeliharaan sapi dengan penggemukan hanya dengan waktu pemeliharaan 812 bulan. Hasil pupuk kandang dari
peternakan yaitu dalam satu hektar lahan pertanian tersebut dapat dicukupi kebtutuhan haranya oleh lima ekor sapi.
Satu ekor sapi dapat memproduksi 1S kilogram kotoran tiap hari sehingga dalam setahun dapat mencapai S, 4 ton
kotoran yang dimanfaatkan sebagai pupuk.

Sistem pertanian dalam sistem pertanian terpadu berupa penanaman secara multiple cropping. ]enis pertanian yang
diusahakan adalah penanaman tanaman musiman jagung, ketela pohon, cabai, kacang tanah dan sawi serta tanaman
keras berupa jati dan sengon.


Sistem tumpangsari tumbuhan dan ternak pada umumnya banyak dipraktekkan dengan tanaman perkebunan. Tujuan
sistem ini adalah untuk pemanfaatan lahan secara optimal, namun belum banyak mendapat perhatian. Di dalam sistem
tumpangsari ini tanaman perkebunan sebagai komponen utama dan tanaman rumput dan ternak yang merumput
diatasnya merupakan komponen kedua. Dari berbagai penelitian dilaporkan bahwa integrasi antara tanaman
perkebunan dan peternakan dapat meningkatkan kualitas tanah, produksi kelapa, produksi kopra, hasil buah sawit
segar dan keuntungan ekonomis serta meningkatkan hasil ternak, menurunkan biaya penyiangan dan mempermudah
pengumpulan buah kelapa.
Keuntungankeuntungan dari sistem ini antara lain : (1) tersedianya tanaman peneduh bagi ternak sehingga dapat
mengurangi stress karena panas, (2) meningkatkan kesuburan tanah melalui proses kembaliya air seni dan feces ke
dalam tanah, (3) meningkatkan kualitas pakan ternak, membatasi pertumbuhan gulma, (4) mengurangi penggunaan
herbisida, (S) meningkatkan hasil tanaman perkebunan dan (6) meningkatkan keuntungan ekonomis termasuk hasil
ternaknya.

!nput yang diberikan pada pertanian ini adalah bahan organik yang berasal dari seresah daun, jerami, atau hasil
sampingan peternakan sapi yang telah terdekomposisi. Pengolahan feses dan urin sapi masih dengan bantuan petani,
biasanya dilakukan penambahan NARROS BioActiva yang berfungsi sebagai akselerator pematangan feses dan urin
agar dapat dijadikan pupuk bagi tanaman.

]erami juga dapat dikomposkan menjadi pupuk kompos bagi tanaman. Neskipun jerami tersebut tidak diberi
biodekomposer, tetapi telah ada biodekomposer alami (pelaku/aktor yang merombak bahan organik secara alami).
Bedanya dengan biodekomposer yang ditambahkan, kemampuannya sudah lebih terseleksi akan lebih cepat terurai.
Pada prinsipnya proses pelapukan adalah suatu proses alamiah dlm rangka mikroba(dekomposer) memanfaatkan
jerami sebagai sumber energinya, untuk membangun biomassa. Untuk pertumbuhan dan perkembangan butuh rasio C,
N, P.
!nput lain yaitu berkaitan dengan pengendalian hama dan penyakit digunakan taktik pengendalian hayati. Pengendalian
ini dengan menggunakan senyawa atraktan, berupa metyl eugenol. Taktik ini berfungsi untuk menarik serangga lalat
buah jantan melalui aromanya. Sehingga lalat akan terkecoh dan masuk dalam perangkap.

Output yang dihasilkan adalah hasil pertanian utama seperti untuk tanaman jagung dapat menghasilkan kira-kira 4S
ton selama 3 tahun, dengan harga jual Rp 2000/kilogram. Ketela pohon dapat menghasilkan lebih dari 3 kg/ batang.
Cabe merah dapat menghasilkan kg satu tanaman dengan harga Rp 2000/kg. Sawi dapat menghasilkan 3 kg / m3
dengan luas lahan 8000 m3 dan harga jual Rp 1000/ kg. Selain itu terdapat hasil sampingan berupa seresah daun,
rumput, dan brangkasan yang berguna untuk pakan sapi pada peternakan disana, atau dimanfaatkan untuk cadangan
pupuk musim tanam berikutnya.
RINGKASAN
Permintaan protein hewani cenderung meningkat sejalan dengan pertambahan jumlah
penduduk , perkembangan ekonomi, kesadaran akan kebutuhan gizi, serta perbaikan tingkat
pendidikan. Sapi potong merupakan penyumbang daging terbesar dari kelompok ruminansia
terhadap produksi daging nasional sehingga usaha ternak ini berpotensi untuk
dikembangkan sebagai usaha yang menguntungkan. Berkurangnya lahan mengakibatkan
ketersediaan sumber pakan untuk ternak berkurang. Lahan pertanian yang makin berkurang akibat
beralih fungsi menjadi pemukiman, menyebabkan petani-peternak harus mempunyai alternatif usaha
untuk mencapai pendapatan, antara lain dengan mengatur pola tanam secara bergantian maupun
campuran. Alternatif lain adalah mencapai usaha ternak sapi melalui integrasi sapi-tanaman pangan
atau tanaman perkebunan.
Pola integrasi sangat memungkinkan untuk dikembangkan secara luas karena tersedia
hijauan, hasil samping dan limbah yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Dengan upaya
tersebut diharapkan keterbatasan hijauan pakan dapat diatasi dengan memanfaatkan limbah
pertanian atau perkebunan, sehingga produktivitas tanaman dan ternak menjadi lebih baik. Sistem
integrasi (Penggabungan) antara dua komoditi pertanian selama ini diyakini mampu memberi untung
berlipat. Begitu juga dengan integrasi antara tanaman kelapa sawit dengan ternak sapi telah
direalisasikan di beberapa daerah dan terbukti mampu mengangkat kesejahteraan petani.
Di sisi lain, permintaan daging sapi yang tinggi merupakan peluang bagi usaha
pengembangan sapi potong lokal sehingga upaya untuk mencapai produktivitasnya perlu terus
dilakukan. Konsumsi daging sapi penduduk ndonesia tahun 2020 diperkirakan akan meningkat
sekitar 2-3 kali lipat dari rata-rata konsumsi saat ini kurang dari 2 kg/kapita/tahun. Populasi sapi
potong yang ada sekarang di ndonesia menurut data statistik Ditjen Peternakan sekitar 10,5 juta
ekor.
Pemeliharaan ternak sapi potong di areal perkebunan kelapa sawit dilakukan dengan cara
memasukkan ternak ke dalam areal perkebunan, dengan demikian diharapkan ternak mampu
mengkonsumsi hijauan yang ada disekitar kelapa sawit. Selain itu ternak juga diharapkan mampu
memanfaatkan limbah yang dihasilkan oleh pabrik pengolahan kelapa sawit. Jumlah ternak
disesuaikan dengan daya tampung lahan sehingga tidak menimbulkan efek negatif bagi perkebunan
kelapa sawit.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa limbah perkebunan sawit dan ikutannya seperti pelepah,
solid, bungkil inti sawit, minyak sawit sangat potensial sebagai pakan ternak sapi potong. PKC telah
secara umum dipergunakan untuk pengembangan ternak sapi feedlot terutama di Malaysia. Bahkan
penggunaan PKC sampai dengan l00 % dengan suplementasi Ca dan vitamin C tidak menimbulkan
efek samping terhadap ternak sapi itu sendiri. Dengan demikian limbah pabrik kelapa sawit yang
selama ini menjadi masalah bagi lingkungan hidup karena menjadi limbah yang dapat mencemari
lingkungan, dapat teratasi sehingga pencemaran lingkungan menjadi berkurang. ntegrasi sapi-
tanaman dapat memberi manfaat yang besar bagi ternak dan tanaman, keuntungan yang didapat
dipastikan berasal dari dua komoditi tersebut. Sapi bisa digunakan sebagai alat transportasi hasil
sawit dan sapi ini tentunya bisa juga untuk dijual langsung setelah populasinya bertambah.
Sedangkan dari sawit, keuntungannya sudah pasti berasal dari produksi buah dan tercapai
penghematan biaya transportasi dan pupuk sehingga diharapkan dapat mampu mencapai
pendapatan petani, mencapai populasi ternak sapi sehingga swasembada daging dapat tercapai,
keuntungan dapat diperoleh dari hasil penjualan sapi dan hasil tanaman, selain itu keuntungan yang
tanpa disadari oleh peternak adalah membaiknya kualitas tanah akibat pemberian pupuk kandang.
Dengan bertambahnya populasi sapi tersebut diharapkan mampu memberikan kontribusi dalam
menyediakan pasokan daging dalam negeri sehingga impor daging sapi dapat teratasi.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dengan adanya integrasi ternak sapi dengan
perkebunan kelapa sawit diharapkan dapat mencapai pendapatan petani, mencapai populasi ternak
sapi sehingga swasembada daging dapat tercapai. Namun demikian diperlukan political will untuk
mengembangkan sistem integrasi sait ternak pada skala besar.

BAB . PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Berkurangnya lahan mengakibatkan ketersediaan sumber pakan untuk ternak berkurang.
ntegrasi ternak pada perkebunan menjadi trend masa kini (Dwatmadji et al., 2004). Sampai saat ini
ndonesia adalah produsen sawit terbesar di dunia dengan areal 6,78 juta hektare dan produksi 17,37
juta ton/tahun. Ternak sapi merupakan salah satu komoditas ternak penghasil daging terbanyak dan
tergolong dalam jenis ruminansia yang mampu mengkonsumsikan pakan berserat tinggi seperti
hijauan dan konsentrat dalam jumlah banyak.
Konsumsi daging sapi di ndonesia terus mengalami peningkatan, namun peningkatan tersebut
belum diimbangi dengan penambahan produksi yang memadai. Produksi daging sapi dalam negeri
yang belum mampu memenuhi permintaan tersebut terkait dengan adanya berbagai permasalahan
dalam pengembangan sapi potong. Beberapa permasalahan tersebut adalah:
1) Usaha bakalan atau calf-cow operation kurang diminati oleh pemilik modal karena secara ekonomis
kurang menguntungkan dan dibutuhkan waktu pemeliharaan yang lama
2) Adanya keterbatasan pejantan unggul pada usaha pembibitan dan peternak
3) Ketersediaan pakan tidak kontinyu dan kualitasnya rendah terutama pada musim kemarau
4) Pemanfaatan limbah pertanian dan agroindustri pertanian sebagai bahan pakan belum optimal
5) Efisiensi reproduksi ternak rendah dengan jarak beranak (calving interval) yang panjang (Maryono et
al., 2006)
6) Terbatasnya sumber bahan pakan yang dapat mencapai produktivitas ternak dan masalah
potensi genetik belum dapat diatasi secara optimal (Kariyasa 2005; Santi 2008)
7) Gangguan wabah penyakit (sbandi., 2004). Djajanegara dalam Syamsu et al., (2003) menyatakan,
perubahan fungsi lahan dari wilayah sumber hijauan pakan menjadi areal tanaman pangan
atau kawasan permukiman dan industri juga mengganggu penyediaan hijauan pakan ternak.

Sistem integrasi sawit ternak (SSNAK) mulai di introduksikan di Bengkulu tahun 2004. Peran
ternak di perkebunan sawit dapat digunakan sebagai pengangkut TBS dan sekaligus sumber pupuk
(Dwatmadji et al., 2005). Sistem ntegrasi sapi-sawit adalah suatu kegiatan yang memadukan 2 (dua)
atau lebih usaha dengan tujuan untuk mencapai keuntungan. Dengan peningkatan efisiensi satu
usaha atau kedua usaha yang dipadukan disamping menghasilkan produk utamanya juga
menghasilkan produk yang digunakan sebagai input usaha yang kedua atau juga terjadi hal yang
sebaliknya, maka diperolehlah keuntungan/pendapatan ganda. Pada kebun kelapa sawit
menghasilkan (pelepah, hijauan daun dan gulma) sedangkan pada ternak sapi dapat menghasilkan
(kotoran/pupuk organik) yang dapat dimanfaatkan untuk kesuburan tanah dalam kebun kelapa sawit,
dimana kondisi ini saling sinergi dan bermanfaat. Pembinaan masyarakat petani kelapa sawit
bertujuan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat melalui sistem integrasi sapi-sawit untuk
meningkatkan pendapatan. Sedangkan keuntungan yang didapat dipastikan berasal dari dua
komoditi tersebut. Beberapa keuntungan dari sistem integrasi ini antara lain menurunkan
ketergantungan herbisida untuk mengatasi gulma, sapi bisa digunakan sebagai ternak kerja untuk
mengangkut TBS, dari lahan ke tempat pengumpulan hasil atau pabrik sawit (Dwatmadji et al.,2004)
dan sapi ini tentunya bisa juga untuk dijual langsung setelah populasinya bertambah. Sedangkan dari
sawit, keuntungannya sudah pasti berasal dari produksi buah dan tercapai penghematan biaya
transportasi dan pupuk.
Prinsip integrasi perkebunan kelapa sawit dengan sapi adalah untuk memanfaatkan limbah
kelapa sawit sebagai pakan ternak, kemudian memanfaatkan kotoran ternak untuk pupuk organik
kelapa sawit, sehingga akan tercipta sistem pertanian yang bebas limbah. Pola integrasi ini dapat
menggunakan pendekatan konsep LESA (Low External Input System Agriculture) yaitu
ketergantungan antara tanaman perkebunan dan ternak dapat memberi keuntungan pada kedua
usaha tani. Berdasarkan konsep LESA tersebut, dikembangkan Sistem ntegrasi sapi di perkebunan
kelapa sawit atau populer disebut SSKA.
Direktorat Jenderal Perkebunan sangat mendorong terciptanya integrasi sawit-sapi ini, karena
penggabungan ini bertujuan untuk mencapai produktivitas usaha tani berbasis kelapa sawit,
mendorong tumbuhnya kegiatan integratif antara ternak dan sawit (biogas, gerobak, pupuk),
mendorong penyebaran sentra pengembangan ternak sapi, mendukung peningkatan populasi sapi
(swasembada daging dan ekspor), mendukung kebijakan ketahanan pangan, serta mendukung
pengembangan wilayah.
Pola integrasi ini sangat memungkinkan untuk dikembangkan secara luas karena tersedia
hijauan, hasil samping & limbah yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak, bentuk
pengusahaannya hamparan, kelembagaan ekonomi petani memadai, paket teknologi pemanfaatan
hijauan, hasil samping & limbah sudah berkembang, serta infrastruktur memadai.
Pakan merupakan komponen biaya produksi tertinggi dalam usaha peternakan, dengan
kisaran65-75% untuk sapi potong. Tingkat produksi dan reproduksi sapi potong di ndonesia lebih
rendah dibandingkan dengan di daerah temperate. Hal tersebut disebabkan ketersediaan dan
pemberian pakan tidak mencukupi kebutuhan ternak, baik untuk hidup pokok maupun produksi.
1.2.%::an
Penulisan karya tulis ini bertujuan untuk mengkaji perlunya sistem integrasi perkebunan kelapa
sawit sebagai pusat pengembangan ternak sapi potong dalam rangka mencapai swasembada
daging.
BAB II. TELAAH PUSTAKA
Kebutuhan daging penduduk indonesia sampai saat ini terus meningkat, seiring dengan
peningkatan kesejahteraan dan pemahaman tentang gizi pada masyarakat ndonesia. Sayangnya
peningkatan kebutuhan daging nasional ini kurang dibarengi dengan peningkatan supply daging
nasional, karena perkembangan sapi potong di ndonesia masih sangat rendah. Sebagai akibatnya,
kebutuhan daging dalam negeri terpaksa harus bergantung pada daging impor. Tingkat konsumsi
protein hewani yang berupa daging dipercaya sangat berpengaruh pada kualitas hidup manusia
(Soekirman, 2002). Data menunjukkan bahwa konsumsi daging pada masyarakat dinegara-negara
berkembang, termasuk ndonesia, masih sangat rendah. Saat ini konsumsi daging penduduk Amerika
sudah mencapai 120 kg (kapita/tahun), sedangkan penduduk di negara-negara ASEAN
mengkonsumsi sebanyak 18 kg(kapita/tahun), pada saat yang sama konsumai penduduk ndonesia
masih berkisar 7,34 kg (Delgano et al., 1999). Peningkatan konsumsi daging penduduk ndonesia
akan semakin sulit dicapai melihat kenyataan bahwa sampai saat ini ndonesia masih mengimpor
daging sebanyak 67.000 ton/tahun daging dari luar (Anonimous, 2011).
Sampai saat ini ndonesia adalah produsen sawit terbesar di dunia dengan luas areal 7,8 juta
hektare dan produksi 19,84 juta ton/tahun. Perkembangan lahan sawit yang begitu pesat terjadi baik
secara nasional maupun di daerah. Khusus di Bengkulu ada sekitar 84.904 ha lahan sawit berpotensi
untuk pengembangan Sistem ntegrasi Sawit Ternak (SSNAK), maka diperkirakan dapat
menampung 212.260 ternak sapi lokal, dengan perbandingan 1 ha dapat menampung 2-3 ekor.
Neraca daging sapi nasional pada tahun 2008 hanya memenuhi 64,9 % dari proyeksi kebutuhan
konsumsi sepanjang 2008 dengan kata lain ndonesia masih kekurangan 135.110 ton (35,1%) dari
total kebutuhan daging. Diasumsikan seekor sapi lokal menghasilkan daging 123,91 kg dan sapi
impor 198,85 kg, jumlah itu setara 581.695 ekor sapi impor, sehingga total impor pada 2010
diestimasi mencapai 931.695 ekor. Apabila upaya untuk mencapai populasi sapi potong tidak
optimum maka ketergantungan sapi impor semakin tinggi. Pada tahun 2015 penduduk ndonesia
akan berkisar 253 juta jiwa, oleh sebab itu diperkirakan defisit daging sapi dapat mencapai 334.000
ton. Sapi potong merupakan penyumbang daging terbesar dari kelompok ruminansia terhadap
produksi daging nasional sehingga usaha ternak ini berpotensi untuk dikembangkan sebagai usaha
yang menguntungkan. Sistem integrasi (Penggabungan) antara dua komoditi pertanian selama ini
diyakini mampu memberi untung berlipat. Begitu juga dengan integrasi antara tanaman kelapa sawit
dengan ternak sapi telah direalisasikan di beberapa daerah dan terbukti mampu mengangkat
kesejahteraan petani. Pengembangan ternak dengan sistem low-input ini ternyata mampu
memberikan pertambahan berat badan sekitar 0,5-0,6 kg/hari. Pemeliharaan sapi potong dengan
pola seperti ini diharapkan pula dapat mencapai produksi daging sapi nasional yang hingga kini
belum mampu memenuhi kebutuhan masyarakat yang terus meningkat. Di sisi lain, permintaan
daging sapi yang tinggi merupakan peluang bagi usaha pengembangan sapi potong lokal sehingga
upaya untuk mencapai produktivitasnya perlu terus dilakukan. Konsumsi daging sapi penduduk
ndonesia tahun 2020 diperkirakan akan meningkat sekitar 2-3 kali lipat dari rata-rata konsumsi saat
ini kurang dari 2 kg/kapita/tahun. Populasi sapi potong yang ada sekarang di ndonesia menurut data
statistik Ditjen Peternakan sekitar 10,5 juta ekor.

BAB III. METODE PENULISAN
.1. Metode Pengambilan Data
Metode yang digunakan dalam pengambilan data adalah melalui studi pustaka atau telaah
pustaka. Studi pustaka adalah tinjauan, sintesis atau ringkasan kepustakaan tentang masalah dalam
penulisan. Kegiatan ini mencakup mencari, mengidentifikasi, menganalisis, dan mengevaluasi
literatur yang relevan dengan masalah dalam karya tulis ini. Literatur dapat berupa jurnal ilmiah, hasil
penelitian, skripsi, thesis, makalah seminar, internet, dan buku yang mempunyai kaitan dengan
masalah dalam tulisan ini (Rodot, 1996 dalam Suhendra, 2004)
.2. Rancangan Pembahasan
Rancangan pembahasan dalam karya tulis ini bersifat deskriptif, yaitu menelaah permasalahan
yang ada disekitar dengan mengemukakan beberapa sumber pustaka dengan data-data yang
mendukung. Metode ini bertujuan untuk mendeskripsikan, mencatat, menganalisis dan
menginterpretasikan kondisi-kondisi atau keadaan yang ada, dari data tersebut kemudian dilakukan
analisis, dengan kata lain, metode deskriptif bertujuan untuk memperoleh informasi mengenai
keadaan yang ada dan melihat serta menghubungkan kaitan antara variabel-variabel yang ada.
.. Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan cara mengumpulkan atau menggabungkan data-data yang
diperoleh dari telaah pustaka yang selanjutnya dianalisis dengan metode deskriptif. Kesimpulan
diambil berdasarkan data yang diolah dalam pembahasan dengan membuat intisari dari keseluruhan
dan pembahasan yang telah diuraikan.

BAB IV. ANALISIS DAN SINTESIS
1.1.Pengembangan Usaha %ernak Sapi Melal:i Integrasi %ernak Sapi - Sawit
Produk samping industri kelapa sawit yang belum dimanfaatkan secara optimal adalah
pelepah, daun, tandan kosong, serat perasan, lumpur sawit, dan bungkil kelapa sawit. Salah satu
cara pemecahannya adalah dengan memanfaatkannya untuk pakan ternak. Sapi dapat
memanfaatkan produk samping tersebut sebagai pakan dan sekaligus menghasilkan pupuk organik
untuk tanaman. Pola integrasi ataupun diversifikasi tanaman dan ternak diharapkan dapat menjadi
bagian integral dalam usaha perkebunan. Dengan perkataan lain, pemanfaatan produk samping
industri kelapa sawit pada wilayah perkebunan dapat menjadi basis pengembangan sapi potong.
Hasil penelitian di Bengkulu menunjukkan bahwa limbah perkebunan sawit dan ikutannya seperti
pelepah, solid, bungkil inti sawit, minyak sawit sangat potensial sebagai pakan ternak (Hidayat et
al.,2006, 2007, dan 2009, Akbarillah, 2007). Kehadiran sapi potong di perkebunan kelapa sawit
diharapkan dapat memberikan nilai tambah, baik secara langsung maupun tidak langsung, selain
dampaknya terhadap kebersihan lingkungan.
Pada dasarnya upaya optimalisasi produksi daging bisa dilakukan dengan beberapa alternatif
seperti:
i.ntensifikasi dan ekstensifikasi lahan tidur
ii.Optimalisasi pemanfaatan sumber pakan alternati
iii.ntegrasi ternak dengan tanaman perkebunan/industri kelapa sawit, ntegrasi ternak dengan
perkebunan dikembangkan berdasarkan konsep LEISA (Low External Input Sustainable Agriculture)
dengan cara:
1. Limbah perkebunan dalam hal ini kebun sawit seperti solid, pelepah, dan bungkil sawit dimanfaatkan
sebagai pakan,
2. Kotoran ternak dan limbah sawit non pakan didekomposisi menjadi kompos untuk memperbaiki sifat
fisik, kimia, dan biologi tanah,
3. Penggembalaan ternak diarahkan untuk memakan tanaman liar/gulma
Sumber pakan berupa hijauan diperoleh dari area perkebunan dan juga dari produk sampingan
olahan sawit seperti pelepah, solid, dan bungkil sawit. Produk sampingan tersebut sangat bermanfaat
karena tersedia sepanjang tahun tidak seperti hijauan yang menjadi sangat terbatas pada saat musim
kemarau.
Kandungan nutrien produk samping tanaman dan hasil ikutan industri Pengembangan sapi
potong berbasis industri kelapa sawit 213 olahan kelapa sawit telah dilaporkan oleh peneliti Malaysia
(Jalaludin et al., 1991) dan ndonesia (Aritonang 1984; Mathius et al., 2004
a
). Kandungan dan kualitas
nutrien produk samping tanaman kelapa sawit cukup rendah akibat tingginya kandungan serat kasar,
namun kandungan karbohidrat dalam bentuk gula mudah larut cukup tinggi.
Di lain pihak, ketersediaan padang penggembalaan menurun hingga 30%. Mersyah (2005)
mengemukakan, ada dua faktor yang menyebabkan lambannya perkembangan sapi potong di
ndonesia. Pertama, sentra utama produksi sapi potong di Pulau Jawa yang menyumbang 45%
terhadap produksi daging sapi nasional sulit untuk dikembangkan karena:
a) Ternak dipelihara menyebar menurut rumah tangga peternakan (RTP) di pedesaan
b) Ternakdiberpakan hijauan pekarangan dan limbah pertanian
c) Teknologi budi daya rendah
d) Tujuan pemeliharaan ternak sebagai sumber tenaga kerja, perbibitan (reproduksi) dan
penggemukan (Roessali et al., 2005)
e) Budi daya sapi potong dengan tujuan untuk menghasilkan daging dan berorientasi pasarmasih
rendah.
Kedua, pada sentra produksi sapi di kawasan timur ndonesia dengan porsi 16% dari populasi
nasional, serta memiliki padang penggembalaan yang luas, pada musim kemarau panjang sapi
menjadi kurus, tingkat mortalitas tinggi, dan angka kelahiran rendah. Kendala lainnya adalah
berkurangnya areal penggembalaan, kualitas sumber daya rendah, akses ke lembaga
permodalansulit, dan penggunaan teknologi rendah (Syamsu et al., 2003; sbandi 2004;Ayuni 2005;
Rosida 2006).
Faktor pendorong pengembangan sapi potong adalah permintaan pasar terhadap daging sapi
makin meningkat, ketersediaan tenaga kerja besar, adanya kebijakan pemerintah yang mendukung
upaya pengembangan sapi potong, hijauan pakan dan limbah pertanian tersedia sepanjang tahun,
dan usaha peternakan sapi lokal tidak terpengaruh oleh krisis ekonomi global (Kariyasa 2005;
Gordeyase et al., 2006; Rosida 2006; Nurfitri 2008). Berkaitan dengan berbagai
permasalahantersebut maka pemanfaatan bahan pakan lokal perlu dioptimalkan sehingga dapat
menekan biaya pakan tanpa mengganggu produktivitas ternak. Salah satuupaya yang dapat
ditempuh adalah memelihara ternak secara terintegrasi dengan tanaman pangan atau perkebunan.
Dengan upaya tersebut diharapkan keterbatasan hijauan pakan dapat diatasi dengan
memanfaatkan limbah pertanian atau perkebunan, sehingga produktivitas tanaman dan ternak
menjadi lebih baik (Kariyasa 2005; Gordeyase et al., 2006; Utomo dan Widjaja 2006; Suryana
2007
a
). ntegrasi ternak dan tanaman dapat dilakukan melalui pola kemitraan antara pihakperusahaan
dan petani-ternak atau pemerintah daerah (Suharto 2004; Utomo dan Widjaja 2004).Masalah lain
yang perlu mendapat perhatian adalah tingginya angka pemotongan sapi betina produktif
meskipun Undang-undang Peternakan dan Veteriner dengan tegas melarang pemotongan
sapi betina produktif. Jika pemotongan sapi betina produktif terus berlangsung tanpa pengawasan
yang ketat dan sanksi yang berat maka sumber penghasil sapi bakalan akan menjadi berkurang yang
selanjutnya akan menurunkan populasi sapi potong di ndonesia.
1.2.Potensi Integrasi %ernak Sapi - Sawit
Sumber daya peternakan, khususnya sapi potong merupakan salah satu sumber daya
alamyang dapat diperbaharui (#enewable) dan berpotensi untuk dikembangkan guna mencapai
dinamikaekonomi. Menurut Saragih dalam Mersyah (2005), ada
beberapa perlunya mengembangkan usaha ternak sapi potong, yaitu:
1. Budi daya sapi potong relatif tidak bergantung pada ketersediaan lahan dan tenaga
kerja yang berkualitas tinggi
2. Memiliki kelenturan bisnis dan teknologi yang luas dan luwes
3. Produk sapi potong memiliki nilai elastisitas terhadap perubahan pendapatan yang
tinggi
4. Dapat membuka lapangan pekerjaan.
Daging sapi merupakan salah satu sumber protein hewani yang banyak dibutuhkan konsumen,
dan sampai saat ini ndonesia belum mampu memenuhi kebutuhan sehingga sebagian masih
harusdiimpor. Kondisi tersebut mengisyaratkan suatu peluang untuk pengembangan usaha budi daya
ternak, terutama sapi potong.
Menurut Priyanti (2007), usaha ternak sapi-tanaman dapat memberikan dampak budi daya,
sosial, dan ekonomi yang positif. Potensi ketersediaan pakan dari limbah tanaman cukup besar
sepanjang tahun sehingga dapat mengurangi ketergantungan terhadap pakan dari luar dan menjamin
keberlanjutan usaha ternak (Priyanti, 2007).
Sistem integrasi merupakan penerapan usaha tani terpadu melalui pendekatan low external
input antara ternak sapi dan tanaman (Priyanti, 2007). Sistem ini sangat menguntungkan karena
ternak dapat memanfaatkan rumput dan hijauan pakan yang tumbuh liar, jerami atau limbah
pertanian sebagai pakan, selain menghasilkan kotoran sebagai pupuk organik untuk mencapai
kesuburan tanah. Sistem integrasi juga dapat menambah pendapatan rumah tangga dengan
mengolah kotoran sapi menjadi kompos. Pupuk kompos selanjutnya dapat dijual kepada petani lain
atau masyarakat yang membutuhkannya.
Usaha tani integrasi menerapkan pendekatan sistem dalam satu kesatuan daur produksi
(Priyanti, 2007). Dalam penelitiannya, Suwandi (2005) dan Priyanti (2007) mengkaji sistem integrasi
tanaman-ternak sapi potong. Beberapa hasil penelitian menunjukkan sistem integrasi ternak
sapitanaman dapat mencapai pendapatan petani (Sariubang et al., 2003; Suwandi 2005; Dinas
Peternakan Provinsi Sumatera Barat 2007; Priyanti 2007).
Lahan pertanian yang makin berkurang akibat beralih fungsi menjadi pemukiman, misalnya,
menyebabkan petani-peternak harus mempunyai alternatif usaha untuk mencapai pendapatan,
antara lain dengan mengatur pola tanam secara bergantian maupun campuran. Alternatif lain adalah
mencapai usaha ternak sapi melalui integrasi sapi-tanaman pangan atau tanaman perkebunan
(kelapa). mam (2003) menyatakan, pengembangan peternakan dapat melalui diversifikasi ternak
sapi dengan lahan persawahan, perkebunan, dan tambak. Suwandi (2005) yang meneliti penerapan
pola usaha tani padi sawahsapi potong melaporkan sistem ini dapat mencapai produksi dan
keuntungan petani berlahan sempit.
Selain sebagai sumber daging, ternak sapi berfungsi sebagai penghasil pupuk atau kompos
untuk mencapai produksi tanaman pangan. Kotoran ternak dapat pula digunakan sebagai sumber
biogas (Hasnudi, 1991). Hal ini mengindikasikan, integrasi sapi-tanaman dapat memberi manfaat
yang besar bagi ternak dan tanaman. Menurut Bamualim et al., (2004), keuntungan langsung
integrasi ternak sapi-tanaman adalah meningkatnya pendapatan petani-peternak dari hasil penjualan
sapi dan hasil tanaman. Keuntungan tidak langsung adalah membaiknya kualitas tanah akibat
pemberian pupuk kandang.
Menurut Kariyasa dan Kasryno (2004), usaha ternak sapi akan efisien jika manajemen
pemeliharaan diintegrasikan dengan tanaman sebagai sumber pakan bagi ternak itu sendiri. Ternak
sapi menghasilkan pupuk untuk mencapai produksi tanaman, sedangkan tanaman dapat
menyediakan pakan hijauan bagi ternak.
1..Pola Integrasi %ernak Sapi - Sawit
Pembangunan peternakan sebagai bagian integral dari pembangunan pertanian sebagaimana
yang tercantum dalam arah dan kebijakan pembangunan nasional yang pada hakekatnya bertujuan
untuk mencapai produksi, memperluas lapangan kerja, menunjang sektor industri dan ekspor,
mencapai pendapatan dan gizi masyarakat yang pada akhirnya secara keseluruhan dapat diharapkan
mencapai kesejahteraan masyarakat.
Program keterpaduan antara kelapa sawit dan ternak ruminansia harus didukung dengan
penerapan teknologi yang tepat/sesuai, sehingga produksi yang dihasilkan dapat lebih efisien,
berdaya saing dan berkelanjutan. Pada dasarnya sistem keterpaduan ini menjadi daur ulang
sumberdaya yang tersedia secara optimal (Wijono et al.,2003).
Pola integrasi sapi dan kelapa sawit dapat berkembang dengan baik dan efisien karena adanya
aliran sumberdaya yang tidak terputus yang bersumber dari limbah sawit sebagai pakan ternak dan
kompos setelah di daur ulang, sehingga terjalin mata rantai kebersihan dan kelestarian lingkungan.
Ternyata pendekatan cara ini sangat dianjurkan oleh para ahli ekonomi, lingkungan, pertanian dan
peternakan karena akan diperoleh produk yang lebih murah, berkualitas dan terjamin
keberlanjutannya.
Semakin meningkatnya konsumsi daging oleh masyarakat harus diimbangi dengan
ketersedian daging dengan harga yang terjangkau. Masalah yang dihadapi saat ini adalah
ketersediaan daging sedikit sehingga harga melambung tinggi, dengan demikian tidak semua
konsumen mampu membeli. Tingginya harga disebabkan karena ketersediaan daging yang sedikit
serta daging tersebut masih diimpor. Jika daging disuplai dari dalam negeri maka harga daging
tersebut akan lebih murah sehingga seluruh lapisan masyarakat mampu membelinya. Masalah
tersebut dapat diatasi dengan meningkatkan populasi ternak dalam negeri sehingga mampu
memasok kebutuhan akan daging oleh masyarakat.

BAB V. SIMPULAN DAN REKOMENDASI
5.1. KesimpuIan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dengan adanya integrasi antara ternak sapi
dengan perkebunan kelapa sawit diharapkan dapat mencapai pendapatan petani,
meningkatkan populasi ternak sapi sehingga swasembada daging dapat tercapai.
5.2. Saran
Dari penulisan diatas, maka penulis menyarankan:
Memanfaatkan kelebihan dan kekurangan yang Tuhan berikan kepada kita merupakan wujud
dari rasa syukur kita kepada-Nya, sehingga tidak ada sesuatu yang tuhan ciptakan itu hanya sia-sia
saja. Hal ini telah dibuktikan dengan adanya potensi yang sangat besar berupa hamparan rumput
diantara tanaman kelapa sawit yang merupakan sebagian produk tumbuhan yang dapat
dimanfaatkan oleh ternak sebagai pakan yang mampu memberikan dampak positif bagi ternak
sehingga kebutuhan akan protein hewani dapat terpenuhi. Namun peran pemerintah harus tetap ada
sebagai jembatan penghubung antara petani peternak dengan lembaga perusahaan yang ada.

DAFTAR PUSTAKA
Anonimous. 2010. Pemanfaatan Limbah Sawit Sebagai Pakan Ternak Sapi. Kampung Adat Paser.Kalimantan
Timur.

Bamualim, A., R.B. Wirdahayati, dan M. Boer. 2004. Status dan peranan sapi lokal pesisir di Sumatera Barat.
Prosiding Seminar Sistem Kelembagaan Usaha Tani Tanaman-Ternak. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, Jakarta.

Elly.F.H. at al,. 2008. Pengembangan Usaha Ternak Sapi Rakyat Melalui ntegrasi Sapi-Tanaman Di sulawesi
utara. Jurnal Litbang Pertanian, 27(2). Manado

mam, H.M.S. 2003. Strategi usaha pengembangan peternakan berkesinambungan. Prosiding Seminar
Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan,
Bogor.

Maryono, E. Romjali, D.B. Wijono, dan Hartatik. 2006. Paket rakitan teknologi hasil-hasil penelitianpeternakan
untuk mendukung upaya Kalimantan Selatan mencapai swasembada sapi potong. Makalah
disampaikan pada Diseminasi Teknologi Peternakan, Banjarbaru, 17 Juli 2006. Dinas
Peternakan Provinsi Kalimantan Selatan bekerja sama dengan Loka Penelitian Sapi Potong,
Grati. hlm. 15.

Mersyah, R. 2005. Desain sistem budi daya sapi potong berkelanjutan untuk mendukung
pelaksanaan otonomi daerah di Kabupaten Bengkulu Selatan. Disertasi,
SekolahPascasarjana, nstitut Pertanian Bogor.

Priyanti, A. 2007. Dampak Program Sistem ntegrasi Tanaman Ternak terhadap Alokasi Waktu Kerja,
Pendapatan dan Pengeluaran Rumah Tangga Petani. Disertasi. Sekolah Pascasarjana nstitut
Pertanian Bogor, Bogor

Roessali, W., B.T. Eddy, dan A. Murthado. 2005. Upaya pengembangan usaha sapi potong melalui entinitas
agribisnis "corporate farming di Kabupaten Grobogan. Jurnal Sosial Ekonomi Peternakan 1(1):
25~30.

Rosida, . 2006. Analisis Potensi Sumber Daya Peternakan Kabupaten Tasikmalaya sebagai Wilayah
Pengembangan Sapi Potong. Skripsi. Fakultas Peternakan nstitut Pertanian Bogor.

Suharto. 2004. Pengalaman pengembangan usaha sistem integrasi sapi-kelapa sawit di Riau. hlm. 57~63
Prosiding Lokakarya Nasional Sistem ntegrasi Kelapa Sawit-Sapi, Bengkulu, 9~10 September 2003.
Departemen Pertanian bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi Bengkulu dan PT Agricinal.

Suryana. 2009. Pengembangan Usaha Ternak Sapi Potong Berorientasi Agribisnis Dengan
PolaKemitraan. Jurnal Litbang Pertanian, 28(1). Kalimantan Selatan

Suryana. 2007
a
. Pengembangan integrasi ternak ruminansia pada perkebunan kelapa sawit. Jurnal Penelitian
dan Pengembangan Pertanian 26(1): 35~40.

Suryana, A. 2007
b
. Arah kebijakan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian dalampemasyarakatan
inovasi teknologi pertanian. hlm. 5~12. Prosiding Seminar Nasional dan Ekspose Percepatan novasi
Teknologi Spesifik Lokasi Mendukung Kemandirian Masyarakat Kampung di Papua, Jayapura, 5~6
Juni 2007. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian bekerja sama dengan
Pemerintah Provinsi Papua,

Suwandi. 2005. Keberlanjutan Usaha Tani Terpadu Pola Padi Sawah-Sapi Potong Terpadu di Kabupaten
Sragen: Pendekatan RAP-CLS. Disertasi. Program Pascasarjana nstitut Pertanian Bogor, Bogor.

Hidayat. Akbarillah.T., Soetrisno edi. 2006, 2007. Produksi Ternak Sapi Berbasis Hasil kutan Kebun Sawit
Melalui Peningkatan Kualitas Pakan, Manipulasi Ekosistem Mikrobia Rumendan Protein By Pass.
Laporan Hibah Bersaing Dikti.

Akbarillah.T., Hidayat. 2007. Pengaruh Pemanasan Bungkil nti Sawit Dalam Pakan Berbasis Hasil kutan
Kebun Sawit Dan Pabrik Pengolahan Kelapa Sawit. Laporan Penelitian ndifood Riset Nugraha.

Hidayat. Akbarillah.T., Jarmuji. 2009. Pengaruh Penggunaan Pelepah Sawit, Bungkil nti Sawit Dan Lumpur
Minyak Sawit Dalam Pakan (iet) Terhadap Kecernaan Dan Pertambahan Berat Badan Sapi.
Laporan Penelitian HPSN Dikti.

Dwatmadji., Suteky.T., Dan E. Soetrisno (2005) Multi Peran Sapi Bali Pada Sistem Agro Farming Kelapa
Sawit (Elaeis guineensis). Laporan Hasil Penelitianh Hibah Bersaing, ahun 2

Anda mungkin juga menyukai