Anda di halaman 1dari 6

SISTEM PERTANIAN TERPADU

NURHALIZA
60700119034

ILMU PETERNAKAN - A
Agroekosistem Lahan Kering

• Penggunaan istilah lahan kering di Indonesia belum tersepakati secara aklamasi. Beberapa pihak menggunakan
untuk padanan istilah Inggris: upland, dryland, atau non irrigated land (Notohadiprawiro, 1989). Sementara menurut
Minardi (2009), lahan kering umumnya selalu dikaitkan dengan pengertian bentuk-bentuk usahatani bukan sawah
yang dilakukan oleh masyarakat di bagian hulu suatu Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai lahan atas (upland) atau
lahan yang terdapat di wilayah kering (kekurangan air) yang tergantung pada air hujan sebagai sumber air. Definisi
lahan kering menurut Direktorat perluasan areal (2009) adalah hamparan lahan yang tidak pernah tergenang atau
digenangi air pada sebagian kecil waktu dalam setahun, yang terdiri dari lahan kering dataran rendah, dan lahan
kering dataran tinggi.

• Menurut Bamualim (2004), secara teoritis lahan kering di Indonesia dibedakan menjadi 2 kategori, yaitu (1)
lahan kering beriklim kering, yang banyak dijumpai diwilayah Kawasan Timur Indonesia (KTI), dan (2) lahan kering
beriklim basah, yang banyak terdapat di kawasan barat Indonesia. Wilayah pengembangan lahan kering yang dominan
di Indonesia berdasarkan dua kategori tersebut diklasifikasikan berdasarkan potensi dan dominasi vegetasinya.
Pemanfaatan Potensi Lahan Kering
• Prospek agroekosistem lahan kering untuk pengembangan peternakan cukup baik (Bamualim, 2004). Peluang pasarnya masih sangat terbuka. Kemampuan pasar domestik
untuk menyerap produksi yang dihasilkan dari usaha peternakan sapi pedaging, sapi perah, kambing, domba, babi, unggas masih akan terus meningkat seiring dengan
peningkatan jumlah penduduk dan pendapatan per kapita. Bahkan dalam rangka mengurangi ketergantungan impor, perlu ada program dan aksi nyata yang revolusioner.

• Ternak ruminasia dapat dikembangkan dengan sistem landbase dan non- landbase. Pengembangan dengan sistem landbase mengandalkan pakan ternak dari lahan
penggembalaan dan kebun rumput, sedangkan non-landbase lebih pada menggunakan butir-butiran, limbah pertanian dan limbah industri pertanian. Disamping itu ada juga
pengembangan pola mix-farming, kombinasi antara usahatani ternak dengan tanaman karet (rubber ruminat), usaha ternak dibawah pohon kelapa (coco-beaf), usaha ternak
dibawah kebun kelapa sawit (palm-oil- beef), dan kombinasi tanamn pangan dengan ternak (Crops Livestock System- CLS). Usaha ternak ruminansia dengan sistem landbase
dilakukan pada padang penggembalaan yang merupakan lahan kelas III dan IV yang banyak terdapat di KTI. Daerah itu umumnya merupakan daerah lahan kering seperti NTB,
NTT dan Sulawesi. Sejak lama daerah itu merupakan sentra produksi ternak sapi dan kerbau yang berbasis lahan penggembalaan.

• Usaha peternakan sapi yang merupakan bagian integral dalam sistem usahatani lahan kering di NTT berperan penting sebagai sumber pendapatan bagi petani, terutama jika
tanaman pangan mengalami kegagalan (Ratnawaty et al., 2004). Menurut Arsana et al., (2004) dengan rata-rata kepemilikan lahan 50 are pendapatan rumah tangga petani di
NTT yang mengusahakan diversifikasi usahatani di lahan kering mencapai Rp 3.24 juta. Kontribusi pendapatan dari usahatani tumpangsari kacang tanah dan ubi kayu pada MK
II 31.4%, ternak sapi 25.5 %, kelapa dan kopi 19.9%, usahatani tumpangsari jagung ubi jalar dan undis pada MK 17% dan usahatani padi pada MK 6.2%. Terlihat bahwa peran
sapi cukup tinggi.

• Selain pendapatan dari penjualan ternak, pengembangan peternakan ruminasia dilahan kering dapat meningkatkan kualitas lahan. Kualitas lahan dapat ditingkatkan dengan
adanya kotoran ternak. Seekor sapi dewasa dapat menghasilkan kotoran padat segar (feces) rata-rata 7.5 ton per tahun yang mengandung sekitar 15 kg N, 15 kh P2O5 dan 20kg
K2O (Hasnudi dan Saleh, 2004). Selain meningkatkan kandungan hara, kotoran ternak mampu memperbaiki sifat fisik dan biologi tanah. Pengembangan peternakan dilahan
kering membutuhkan hijauan pakan. Tanaman pakan ternak ada yang berupa rerumputan (gramineae dan leguminosa) dan ada pepohonan. Tanaman rerumputan dapat ditanam di
lahan-lahan berkemiringan sebagai pencegah erosi dan menyuburkan tanah melalui rhizobium yang terdapat pada bintil akar.
Pengembangan Konsep Integrasi Ternak dan Tanaman (ITT)

•Pengembangan pertanian berwawasan lingkungan di pedesaan mempunyai sasaran untuk meningkatkan pendapatan
dan kesejahteraan masyarakat, pemberdayaan, kapasitas, kemandirian dan akses masyarakat pertanian dalam
pembangunan berkelanjutan. Langkah-langkah yang diperlukan adalah melalui peningkatan kualitas dan kuantitas
produksi, efisiensi pemanfaatan input serta pengembangan potensi sumberdaya lokal. Indikator tercapainya sasaran
pengembangan pertanian berkelanjutan yang ramah lingkungan antara lain dicirikan oleh:

1. Petani mampu akses langsung dengan teknologi spesifik lokasi yang

diintroduksikan oleh berbagai pihak, baik peneliti maupun instansi lainnya.

2. Tumbuh dan berkembangnya kelompok-kelompok tani mandiri yang selalu

menyuarakan konsep ramah lingkungan.

3. Aktivitas para petani/kelompok tani berkelanjutan walaupun dengan binaan yang sangat minimal.
4. Para petani mengerti dan menyadari untuk berproduksi sehat dan berkualitas

dengan standard yang telah ditetapkan untuk menjamin daya saing yang akan

berhadapan dengan perdagangan bebas.

5. Para petani mampu meningkatkan efisiensi pemanfaatan input dan peningkatan

produktivitas yang ramah lingkungan melalui kreativitas kelompok tani.

6. Meningkatnya produktivitas lahan serta menurunnya intensitas serangan OPT

dan penyakit.
Meningkatkan Produktivitas Ternak (Sapi)

• Dalam meningkatkan produktivitas ternak sapi maka pemilihan bibit sapi menjadi prioritas terutama untuk sapi penggemukan perlu memilih bibit
yang sudah besar dengan berat awal rata-rata 250 s/d 300 kg. Bibit sapi yang besar akan lebih cepat peningkatan bobotnya bila dibandingkan dengan
sapi yang lebih kecil. Beberapa hasil pengkajian introduksi teknologi bioplus (bio-cas 5 cc/ekor/hari, HMT 10% dari bobot sapi serta pakan penguat
dedak 2 kg/ekor/hari) menunjukkan bahwa rata-rata PBB sapi yang berat awalnya 300 kg mampu meningkat mencapai rata-rata 0.640 kg/ekor/hari
pada sapi Bali (Kariada, et. al., 2004), sementara pada sapi Ongole sebesar 0,90 kg/hari/ekor (Herry, et al.; 1996).

• Beberapa hasil penelitian lain juga menunjukkan bahwa dengan pemberian pakan penguat pada sapi ternyata mampu menghasilkan peningkatan
bobot secara nyata. Parwati et al. (1999), menyatakan hal ini disebabkan karena pakan penguat atau konsentrat lebih banyak mengandung karbohidrat
sederhana dan lebih sedikit kandungan serat kasarnya sehingga penambahan konsentrat akan meningkatkan nilai cerna keseluruhan pakan (Blakely
and Bade, 1998). Meningkatnya PBB sapi pada pemberian probiotik disebabkan karena Biocas mengandung mikroba- mikroba yang dapat membantu
memecahkan karbohidrat kompleks menjadi senyawa–senyawa yang lebih sederhana sehingga mudah dicerna oleh saluran pencernaan sapi (Guntoro
et al., 2001). Probiotik merupakan kumpulan mikroorganisme yang mampu menguraikan bahan-bahan organik komplek pada pakan menjadi bahan
organik sederhana sehingga mempermudah diserap oleh saluran pencernaan kedalam tubuh sebagai bahan sari-sari makanan untuk membangun tubuh
dengan sempurna. Selain memperhatikan kondisi pakan ternak (HMT segar, HMT olahan, pakan penguat dan probiotik), maka faktor kesehatan
ternak juga memegang peranan yang sangat penting dalam peningkatan bobot sapi. Pada umumnya pemeliharaan ternak secara tradisional belum
memperhatikan tentang kesehatan hewan. Kesehatan hewan baru mendapatkan perhatian saat hewan tersebut sudah sakit, dan hal ini biasanya
terlambat untuk mendapatkan penanganan, dan hal ini akan berakibat fatal bagi peternak.

Anda mungkin juga menyukai