Anda di halaman 1dari 9

I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Usaha ternak Ruminansia khususnya ternak sapi menghadapi tantangan


penyusutan lahan, dimana lahan adalah unsur utama bionomik ternak. Sejalan dengan
susutnya lahan, berkurang pula peluang produksi hijauan dan persediaan hasil samping
pertanian yang dapat dijadikan pakan ternak sapi. Sementara itu usaha ternak sapi dituntut
untuk memacu produksi untuk memenuhi permintaan pasar dalam negeri yang terus
berkembang. Namun, memacu produksi ternak sapi melalui pemberian konsentrat
tidaklah ekonomis; karena harganya terlalu mahal dan cenderung terus
membumbung.Untuk menghadapi tantangan tersebut, pengembangan usaha ternak sapi
ke depan dapat bertumpu pada pemanfaatan hasil samping perkebunan, yang tidak lagi
dianggap sebagai limbah, namun sebagai sumber daya (Suharto, 2003).
Kondisi populasi dan produktivitas sapi di Indonesia masih rendah belum dapat
memenuhi kebutuhan permintaan daging dan saat ini masih harus diimpor daging dan
sapi bakalan sekitar 30% dari total konsumsi nasional (Diwyanto,2006). Data impor sapi
mencapai 380 ribu ekor sapi bakalan dan daging/jeroan sebanyak 50 ribu ton pertahun
(Boediyana, 2007 dan Quierke, D. at. al, 2003). Kondisi Provinsi Sumatera utara
konsumsi daging sapi baru mencapai 0,58 kg/kapita/tahun (Statistik Peternakan Sumatera
Utara, 2007). Menurut Dinas Peternakan Provinsi Sumatera Utara, untuk memenuhi
kebutuhan tersebut masih harus mengimpor sapi dari Australia sekitar 7790 ekor setiap
tahunnya.
Kabupaten Dharmasraya merupakan salah satu wilayah pemekaran yang saat ini
mengalami perkembangan yang cukup pesat di berbagai sektor pembangunan.
Perekonomian Kabupaten ini termasuk cukup pesat pertumbuhannya, dimana sektor
pertanian secara umum menjadi andalan bagi perekonomian masyarakat. Penggunaan
lahan terbesar di Kabupaten Dharmasraya sebagian besar adalah lahan perkebunan yang
menjadikan Kabupaten ini sebagai salah satu sentral perkebunan di Sumatera Barat yang
terutama dimotori oleh perkebunan kelapa sawit dan perkebunan karet. Subsektor
tanaman perkebunan sendiri pada tahun 2012 ini memberikan kontribusinya sebesar
20,03 persen. Sumbangan subsektor peternakan mengalami sedikit kenaikan dari tahun
sebelumnya, dimana pada tahun 2011 kontribusi subsektor ini tercatat sebesar 3,24 persen
sedangkan tahun 2012 mampu menyumbang sebesar 3,34 persen.Saat ini peternakan sapi
dan kebun sawit menjadi prioritas utama untuk dikembangkan di Kabupaten
Dharmasraya, karena didukung juga dengan populasi ternak sapi merupakan populasi
terbanyak dibandingkan ternak besar lainnya yaitu 31.449 ekor (Badan Pusat Statistik
Kabupaten Dharmasraya, 2014).
Salah satu upaya untuk dapat meningkatkan produktifitas sapi potong tersebut
adalah dengan menerapkan pola integrasi sapi potong dengan kelapa sawit. Sumber daya
alam yang belum dimanfaatkan secara optimal dan tersedia sepanjang tahun adalah
sumber pakan alternatif asal perkebunan kelapa sawit.
Tersedianya lahan untuk perkebunan dapat memberikan kontribusi yang positif
untuk pengembangan ternak sapi secara sistem integrasi antara sektor perkebunan dan
peternakan. Nilai manfaat yang diperoleh untuk sektor perkebunan diantaranya
menyediakan pupuk organik yang berasal dari kotoran sapi, mengurangi biaya tenaga
kerja untuk pembersihan gulma, mengurangi penggunaan herbisida berarti akan
mendukung keselamatan lingkungan (Survey, 2005).
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sistem Integrasi

Sistem Integrasi Sapi-Sawit merupakan perpaduan antara


manajemen perkebunan kelapa sawit dengan ternak sapi. Perkebunan kelapa sawit
dikelola agar hasil samping tanaman terutama pelepah dapat tersedia sepanjang hari
untuk pakan sapi yang dimanfaatkan sebagai pengendali rumput/gulma sekitar kebun
pengangkut buah sawit dan penghasil kotoran sebagai sumber pupuk organik dan biogas.
Beberapa hasil areal kebun, limbah kebun dan limbah industri pabriknya yang dapat
dimanfaatkan oleh ternak ruminansia adalah:

a. Hasil dan limbah kebun kelapa sawit


 Hasil dan limbah kebun kelapa sawit
 Pelepah dan daun kelapa sawit
b. Limbah pabrik minyak kelapa sawit
 Serat buah (Serabut/fibre)
 Lumpur sawit
 Bungkil inti sawit
 Limbah padat (solid)
 Tandan buah kosong kelapa sawit

Sistem pemeliharaan yang dijalankan oleh peternak dengan pola integrasi sapi-
sawit adalah sistem semi intensif dimana pada siang hari sapi ternak dilepas atau
digembalakan di lahan kebun sawit dan pada sore hari ternak akan digiring berpidah
tempat untuk ternak beristirahat, ada yang dikandangkan dan ada pula yang ditempatkan
di area yang sekelilingnya dipagar. Menurut Yulianto dan Saparinto (2010) pemeliharaan
semi intensif merupakan perpaduan pengembangan ekstensif dan
intensif, dimana pada pola ini sapi-sapi pada siang hari ditambatkan atau digembalakan
di ladang, kebun, atau pekarangan yang rumputnya tumbuh subur, dan sore harinya sapi
dimasukkan kedalam kandang sederhana.
Dalam sistem integrasi ini akan terjadi simbiosis mutualisme dimana masing-
masing pihak baik ternak sapi maupun perkebunan kelapa sawit sama-sama mendapat
manfaat dengan adanya sistem integrasi ini. Dalam sistem tersebut dapat memberi
manfaat sebagai berikut:
1. Menjadi tenaga ternak bagi petani
2. Menghasilkan daging ( Untuk sapi potong )
3. Menghasilkan anak sapi ( Dari sapi induk )
4. Menghasilkan susu ( Dari sapi perah )
5. Menghasilkan pupuk kandang ( Kotoran ternak ).

2.1 Kelapa Sawit


Kelapa sawit adalah tanaman perkebunan/industri berupa pohon batang lurus dari
family Palmae. Tanaman tropis ini dikenal sebagai penghasil minyak sayur yang berasal
dari Amerika. Brazil dipercaya sebagai tempat dimana pertama kali kelapa sawit tumbuh.
Dari tempat asalny, tanaman ini menyebar ke Afrika, Amerika Equatorial, Asia
Tenggara, dan Pasifik Selatan. Benih kelapa sawit pertama kali yang ditanam di
Indonesia pada tahun 1984 berasaldari Mauritius, Afrika. Perkebunan kelapa sawit
pertama dibangun di Tanahitam, Hulu Sumatera Utara oleh Schadt (Jerman) pada tahun
1911.

Potensi hasil ikutan sawit sebagai sumber pakan sapi potong meliputi 1,07 juta
ton pelepah sawit yang menyediakan pakan bagi 595.000 ekor sapi. Solid tersedia
sebanyak 45.000 ton yang berpotensi sebagai sumber pakan bagi sekitar 63.000 ekor sapi.
Bungkil inti sawit juga tersedia untuk 25.000 ekor sapi di Sumatera Barat (Buharman,
2011), tetapi hasil survei (Bamualim et al. 2012) di tiga kabupaten memperlihatkan
bahwa hampir 70% petani belum memanfaatkan hasil ikutan sawit sebagai sumber pakan
ternak sapi. Mayoritas peternak sapi cenderung mencari rumput segar sebagai pakan
utama. Ini satu ironi, petani belum memanfaatkan sumber daya yang ada untuk
pemeliharaan sapi.
Padahal hasil penelitian mempelihatkan bahwa sapi yang memakan produk atau
hasil sampingan kelapa sawit memberikan respon pertumbuhan harian (ADG) sejumlah
0,338 kg (Mathius et al., 2004). Selanjutnya, pemberian pakan dengan komposisi pelepah
sawit 55%, rumput lapangan 30% dan lumpur sawit/solid merupakan pakan alternatif
cukup baik untuk penggemukan. Pertambahan berat badan yang dihasilkan 0,23 kg/hari
dan jumlah konsumsi pakan sebesar 8,85 kg/ekor/hari (Azmi dan Gunawan, 2005).

Pengkajian BPTP Sumbar tahun 2011 di Kabupaten Pasaman Barat (Wirdahayati


et al., 2011) dan Dharmasraya (Bamualim et al., 2011) menunjukkan hasil yang cukup
memuaskan dengan pemberian BIS sebagai pakan tambahan. Hasil yang dicapai adalah
pertambahan bobot badan yang signifikan, dan kenaikan tingkat reproduksi pada sapi
induk. Kajian ini menghasilkan teknologi pakan sapi potong lokal melalui pemanfaatan
hasil ikutan tanaman sawit yang mendukung pertumbuhan sapi potong di Sumatera Barat.

Di lain pihak, pemeliharaan ternak sapi merupakan potensi bagi pemilik kebun
sawit untuk memanfaatkan pupuk organik dari kotoran sapi. Akibatnya produksi sawit
meningkat dan mengurangi penggunaan pupuk anorganik yang kian naik harganya.
Sesuai dengan paparan diatas, dilakukan kajian inovasi teknologi pemanfaatan hasil
ikutan tanaman sawit. Kajian kolaborasi dan sinergis ini memperkuat kerjasama antara
BPTP dengan Pemerintah Daerah dan Stakeholder lain untuk mempercepat proses adopsi
inovasi integrasi tanaman-ternak di perkebunan sawit dan upaya meningkatkan produksi
sapi potong Sumatera Barat.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Elisabeth et al. (2003) telah menyimpulkan bahwa penggunaan pelepah, solid dan
bungkil inti sawit sebagai bahan pakan ternak sapi meningkatkan kenaikan barat badan.
Penelitian memakai dua perlakuan yaitu (i) Pemberian pakan terdiri dari pelepah 60%,
solid dan bungkil inti sawit masing-masing 18% dan dedak 4%, dan (ii) Pemberian pakan
terdiri dari pelepah 30%, solid 40%, bungkil 26% dan dedak 4%. Dari kedua perlakuan,
ternyata pakan perlakuan pertama lebih ekonomis ketimbang perlakuan kedua dengan
kenaikan berat badan sapi lokal 0,5 kg/ekor/hari, konsumsi 8,6 kg BK/hari dan konversi
pakan adalah 13,9 (pemeliharaan 6 minggu).

Kegiatan pengkajian teknologi pakan terdiri dari pemberian pelepah sawit, solid
dan bungkil inti sawit (BIS) pada sapi potong. Pakan berbasis tanaman sawit diberikan
pada sapi pembiakan dan penggemukan. Ternak dipelihara dalam sistem yang intensif
yakni sapi tetap berada di kandang. Pada tiap lokasi digunakan minimal sebanyak >20
ekor sapi, terdiri dari campuran sapi betina dan jantan dengan dua perlakuan, yakni:
a. Perlakuan kontrol dimana ternak sapi diberikan pakan hijauan rumput dan
leguminosa (gamal)
b. Perlakuan pakan berbasis hasil ikutan tanaman sawit.

Formulasi pakan berbasis hasil ikutan tanaman sawit disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi Pakan Berbasis Hasil Ikutan Tanaman Sawit (Bamualim et al., 2015)
Presentasi Bahan Kering Pakan (%)
No. Komposisi Pakan
Kontrol Berbasis Sawit
(Pola Petani) Kab. Pas. Barat Kab. Dharmasraya
1. Silase Pelepah Sawit - 60 60
2. Hijauan Rumput 80-90 - -
3. Hijauan Legum 10-20 - -
4. Bungkil Inti Sawit (BIS) - 25 25
5. Solid - 5 0
6. Molases - 5 10
7. Dedak Padi - 5 5
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Bamualim et al., (2015) bahwa
penimbangan berat badan ternak telah dilakukan sebanyak tiga kali di Kelompok Ternak
Tanjung Keramat dan dua kali di Kelompok Ternak Sri Langgeng. Data berat badan sapi
dan pertambahan berat badan harian (PBBH) disajikan dalam Tabel 5. Terlihat bahwa
rata-rata berat badan ternak di Tanjung Keramat lebih tinggi dari pada kelompok Sri
Langgeng.
Terlihat adanya fluktuasi perubahan berat badan ternak selama kegiatan
berlangsung. Hal ini diduga disebabkan oleh pengaruh musim kemarau dan kesulitan
memperoleh pakan hijauan yang cukup. Disamping itu, beberapa induk sapi melahirkan
sehingga terjadi penurunan berat badan yang cukup drastis setelah kelahiran.
Namun demikian, secara umum ternak yang memperoleh suplemen hasil ikutan tanaman
sawit mengalami kenaikan berat badan. Sedangkan ternak kontrol mengalami penurunan
berat badan. Tabel 2 memperlihatkan bahwa ada pengaruh pemberian pakan berbasis sawit
terhadap pertumbuhan ternak, dimana terjadi pertumbuhan secara kumulatif masing-masing
sebesar 0,14 kg/ekor/hari dan 0,09 kg/ekor/hari. Sebaliknya perlakuan kontrol seperti yang biasa
dilaksanakan petani terjadi penurunan berat badan harian secara kumulatif masing-masing
sebesar -0,17 kg/ekor/hari dan -0,11 kg/ekor/hari.
Tabel 2. Komposisi nilai gizi (Bamualim et al., 2015)
Porsi BK BK PK SK TDN Abu
Komposisi Pakan (%) (%) (%) (%) (%) (%)
Dedak padi 2 90,0 6,7 23,9 58,4 12,5
Daun + pelepah 15 50,0 3,1 36,7 47,2 2,4
Bungkil inti sawit 2 94,9 14,5 15,3 87,2 3,2
Molases 1 77,0 5,4 10,0 54,0 10,4
Rumput segar 80 20,0 10,7 28,4 53,7 13,7
Rataan pakan/kg segar - 28,0 8,8 28,6 57,6 9,5
Kebutuhan ternak - - 8,0 22,0 58,0 < 10
Harga pakan silase/kg - - - - - -
Harga rumput segar/hari - - - - - -
IV. PENUTUP

Kesimpulan

Terlihat bahwa ada pengaruh pemberian pakan berbasis sawit terhadap

pertumbuhan ternak, dimana terjadi pertumbuhan secara kumulatif masing-masing

sebesar 0,45 kg/ekor/hari dan 0,26 kg/ekor/hari. Sebaliknya perlakuan kontrol seperti

yang biasa dilaksanakan petani terjadi penurunan berat badan harian secara kumulatif

masing-masing sebesar - 0,51 kg/ekor/hari dan -0,31 kg/ekor/hari.


DAFTAR PUSTAKA

Azmi dan Gunawan. 2005. Pemanfaatan pelepah kelapa sawit dan solid untuk pakan sapi
potong. Prosiding Teknologi Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan, Bogor.

Badan Pusat Statistik, 2014. Dharmasraya dalam angka 2014. Badan Pusat Statistik
Provinsi Sumatera Barat.

Bamualim, A., Wirdahayati, A.D. Ratna, Jefrey M. Muis, dan R. Wahyuni. 2012. Kajian
percepatan pengembangan teknologi pakan sapi potong melalui pemanfaatan
hasil ikutan tanaman sawit mendukung program gerakan pensejahteraan petani
(GPP) di Sumatera Barat. Seminar Nasional Membangun Center of Excellent
untuk Pengembangan Industri Peternakan Menuju Swasembada Daging
Nasional. Kementerian Riset dan Teknologi. Mataram, 11 Desember 2012.

Buharman, B. 2011. Pemanfaatan teknologi pakan berbahan baku lokal mendukung


pengembangan sapi potong di Provinsi Sumatera Barat. Wartazoa Vol 21, No.3:
133-144.

Chaniago, T. 2009. Perspektif pengembangan ternak sapi di kawasan perkebunan sawit.


Prosiding Workshop Nasional Dinamika dan Keragaan Sistem Integrasi Ternak
– Tanaman: Padi, Sawit, Kakao. (In Press). Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan. Bogor.

Elisabeth, J dan Simon P. Ginting. 2003. Pemanfaatan hasil samping industry kelapa
sawit sebagai bahan pakan ternak sapi potong. Lokakarya Sistem Integrasi
Kelapa Sawit-Sapi.

Handaka, A. Hendriadi, dan T. Alamsyah. 2009. Perspektif pengembangan mekanisasi


pertanian dalam sistem integrase ternak – tanaman berbasis sawit, padi, dan
kakao. Prosiding Workshop Nasional Dinamika dan Keragaan Sistem Integrasi
Ternak – Tanaman: Padi, Sawit, Kakao. (In Press). Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan. Bogor

Suharto. 2003. Pengalaman pengembangan usaha sistem integrasi sapi – kelapa sawit di
Riau. Prosiding Lokakarya Nasional Kelapa Sawit – Sapi. Badan
Litbang Pertanian. Bogor. Pp. 57-63.

Yulianto, P dan C. Saparinto. 2010. Pembesaran Sapi Potong Secara Intensif.


Penebar Swadaya. Jakarta

Anda mungkin juga menyukai