Anda di halaman 1dari 17

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN


UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA
Jl. Pawiyatan Luhur IV/1 Bendan Dhuwur Semarang 50234

Usulan Penelitian Skripsi

Nama Mahasiswa : Sindu Dwi Sanjaya


NIM : 16.I1.0052
Judul yang diusulkan : Pengaruh Pemberian Kromanon Deamina melalui Pakan
terhadap Waktu Rigor Mortis dan Perubahan Fisiologis selama
Fase Pre Rigor, Rigor, dan Pasca Rigor setelah Penyembelihan
pada Daging Ayam Broiler Bagian Dada.

ABSTRAK
Kebutuhan protein hewani di Indonesia meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah
penduduk dan meningkatnya kesadaran masyarakat bahwa protein hewani sangatlah
penting dalam memenuhi kebutuhan gizi. Salah satu sumber protein hewani adalah
daging. Sumber daging yang paling banyak dikonsumsi adalah daging ayam. Untuk
memenuhi kebutuhan protein hewani perlu adanya keberadaan peternakan ayam
pedaging, dimana ayam pedaging memiliki waktu pertumbuhan yang relatif cepat dan
masa panen yang singkat. Keberhasilan peternakan untuk memproduksi ayam pedaging
yang berkualitas, dipengaruhi oleh terpenuhinya kebutuhan pakan dan pemeliharaan
yang baik. Pakan yaitu semua bahan yang dapat dimakan, dicerna, diserap, dan
digunakan untuk memenuhi kebutuhan ternak. Salah satu contoh pengaplikasiannya
adalah pemberian senyawa kromanon deamina sebagai bahan tambahan dalam pakan.
Setelah ayam disembelih, daging ayam akan mengalami perubahan fisiologis secara 3
fase yaitu pre rigor, rigor mortis, dan pasca rigor, dimana ketiga fase tersebut
berpengaruh terhadap kualitas daging yang dihasilkan. Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk mengetahui efektivitas kromanon deamina sebagai bahan tambahan dalam pakan
ayam broiler terhadap waktu rigor mortis daging bagian dada ayam broiler setelah
penyembelihan dan perubahan fisiologis selama proses rigor mortis. Dosis kromanon
deamina yang digunakan dalam penelitian ini adalah 0cc/kg (kontrol); 0,025cc/kg;
0,05cc/kg; 0,075cc/kg; 0,1cc/kg dan 0,125cc/kg pada pakan ayam broiler selama
pemeliharaan. Ayam broiler yang memiliki umur 4 minggu dipanen dan diambil daging
bagian dada. Bagian dada tersebut dipisahkan dari tulangnya kemudian dianalisis
perubahan fisiologisnya dengan parameter kadar glikogen, pH, kadar air, aktivitas air
(Aw), daya ikat air (DIA) dan tekstur selama fase prerigor, rigor, dan pasca rigor.

Kata kunci : kromanon, dada, ayam broiler, pre rigor, rigor, pasca rigor
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Saat ini, kebutuhan protein hewani di Indonesia sangat tinggi, hal itu ditandai dengan
bertambahnya jumlah penduduk serta meningkatnya kesadaran masyarakat bahwa
protein hewani sangatlah penting dalam memenuhi kebutuhan gizi. Protein hewani
sangat berguna bagi kesehatan tubuh manusia, hal tersebut dikarenakan protein hewani
mengandung asam-asam amino esensial yang mudah dicerna dan diserap oleh tubuh
manusia untuk menunjang kebutuhan pokoknya (Bahri dkk., 2005). Salah satu sumber
protein hewani yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat adalah daging, hal ini
dikarenakan daging mempunyai kandungan zat gizi yang tinggi. Sumber daging yang
paling banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia adalah ayam. Ayam yang
dagingnya banyak digunakan oleh masyarakat Indonesia ada 3 jenis yaitu ayam
kampung, ayam broiler (ras pedaging), dan ayam ras petelur (Dewayani dkk, 2015).
Kebutuhan daging ayam di Indonesia semakin meningkat dibandingkan daging lain,
dikarenakan daging ayam lebih murah, rendah lemak, kaya protein, mudah diolah
menjadi produk bernilai tinggi, mudah disimpan, dan mempunyai rasa yang dapat
diterima semua kalangan (Nareswari, 2006). Salah satu solusi yang tepat untuk
memenuhi kebutuhan protein hewani bagi masyarakat Indonesia yaitu keberadaan
peternakan ayam pedaging, dimana ayam pedaging memiliki waktu pertumbuhan yang
relatif cepat dan masa panen yang singkat. Keberhasilan peternakan untuk memproduksi
ayam pedaging yang berkualitas, dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu penyediaan bibit
unggul, terpenuhinya kebutuhan pakan dan pemeliharaan yang baik (Ahmad et al.,
2018). Pakan merupakan semua bahan yang dapat dimakan, dicerna, diserap, dan
digunakan untuk memenuhi kebutuhan ternak serta meningkatkan produktivitas secara
optimal. Jumlah konsumsi pakan dan kandungan zat-zat yang ada dalam pakan, harus
diperhatikan dengan baik, karena sangat berpengaruh terhadap kualitas daging yang
dihasilkan.

Kromanon merupakan senyawa siklo-benzena golongan alkaloid yang memiliki sifat


sebagai antioksidan, anti kanker, anti virus, anti bakteri, volatil dan anti depresan
(Widjaya, 2015). Oleh karena itu, kromanon deamina sering diaplikasikan sebagai
bahan tambahan dalam pakan ternak untuk meningkatkan produktivitas dan
menghasilkan ternak yang berkualitas. Adapun beberapa penelitian tentang aplikasi
senyawa kromanon deamina dalam ayam broiler dapat meningkatkan kadar protein
sebesar 1-3%, menurunkan kadar lemak sebesar 0,8-1,2%, menurunkan Feed
Conversion Ratio (FCR) ayam pedaging antara 0,01-0,04 dan menurunkan bau kotoran
(Sunaryanto & Sumardi, 2008). Selain itu dapat menurunkan Total Volatile Nitrogen
(TVN) sehingga bau amis pada ikan bandeng dapat berkurang (Pusparini, 2008 dalam
Widjaya, 2015). Oleh karena itu, penelitian terkait pemberian kromanon deamina dalam
pakan ternak ini dilakukan untuk mengetahui efektivitas kromanon deamina sebagai
bahan tambahan dalam pakan ayam broiler terhadap waktu rigor mortis daging bagian
dada ayam broiler setelah penyembelihan dan perubahan fisiologis seperti kadar
glikogen, pH, kadar air, aktivitas air, daya ikat air dan tekstur selama proses rigor
mortis.

1.2. Tinjauan Pustaka


1.2.1. Ayam Broiler
Ayam pedaging (broiler) merupakan ternak yang paling ekonomis bila dibandingkan
dengan ternak lain, dikarenakan masa pertumbuhan yang relatif cepat dan singkat
sekitar 4-5 minggu dengan bobot ± 1,2-1,9 kg/ekor untuk menghasilkan daging yang
sudah siap untuk dipasarkan ataupun dikonsumsi (Fathoni dkk, 2018). Menurut
Anggitasari dkk. (2016), ayam pedaging merupakan galur ayam hasil rekayasa
teknologi yang memiliki karakteristik ekonomis, pertumbuhan cepat, masa panen
pendek, menghasilkan daging dengan kandungan protein yang tinggi, berserat lunak,
ukuran dada lebih besar, memiliki pergerakan yang lamban dan kulit yang licin.
Sedangkan Nareswari (2006) menyatakan bahwa ayam broiler merupakan ayam
penghasil daging dengan pertumbuhan yang cepat dan umur panen yang relatif singkat
sekitar 35-45 hari. Ayam broiler memiliki pertumbuhan yang cepat sebagai penghasil
daging yang tinggi dikarenakan pola makannya. Ayam pedaging cenderung berhenti
makan setelah kenyang apabila pakan diberikan secara ad libitum, kemudian segera
minum dan istirahat sehingga daging yang terbentuk akan lebih efisien (Hardini, 2004).

Pemotongan ayam merupakan suatu proses mengubah ayam hidup menjadi karkas
ayam. Karkas merupakan bagian daging ayam tanpa darah, bulu, kepala, kaki, dan
jeroan (organ dalam), yang diperoleh dari hasil pemotongan ayam yang dilakukan
dengan baik dan benar. Berat karkas pada ayam memiliki persentase yang bervariasi
yaitu rata-rata antara 65% (jantan) dan 75 % (betina) dari berat hidup. Karkas yang
sehat dan bermutu, diperoleh dari ayam hidup yang sehat. Ayam sehat memiliki
beberapa karakteristik seperti mata waspada dan aktif, bulu halus, serta tulang dada
sempurna dengan daging dada yang montok dan penuh. Proses pemotongan dilakukan
dalam ruangan yang sama, mulai dari tahap penyembelihan hingga tahap pengemasan
atau ayam siap dibawa ke pasar. Menurut Koswara (2009), ada beberapa tahapan proses
pemotongan ayam yang dilakukan untuk memperoleh karkas yaitu dimulai dari tahap
pemeriksaan ayam hidup, penyembelihan, penuntasan darah, perendaman air panas atau
penyeduhan, pencabutan bulu, dan dressing (pemotongan kaki, pengambilan jeroan, dan
pencucian).

1.2.2. Daging Ayam Broiler


Daging ayam mempunyai beberapa karakteristik yaitu berwarna merah pucat atau
keputih-putihan, serat pada daging memiliki bentuk panjang dan halus, serta tidak
terkandung lemak di antara serat daging. Lemak pada daging ayam berwarna kekuning-
kuningan dan terletak di bawah kulit. Jaringan pada daging terbagi menjadi tiga yaitu
jaringan otot (muscle tissue), jaringan lemak (adipose tissue), dan jaringan ikat
(connective tissue). Jaringan otot merupakan komponen terbanyak pada karkas, sekitar
35-65% dari berat karkas atau sekitar 35-40% dari berat hewan hidup. Jaringan ikat
mempunyai fungsi untuk mengikat bagian-bagian daging serta mengaitkannya ke
tulang. Secara umum komposisi daging ayam terdiri dari protein 18,6%, lemak 15,06%,
air 65,95% dan abu 0,79% (Suradi, 2006). Daging tersusun atas serabut-serabut otot
yang sejajar dan terikat oleh jaringan ikat. Otot pada ayam terbagi menjadi 3 tipe yaitu
otot merah yang terikat pada skeleton, otot jantung (strukturnya mirip dengan otot
merah), dan otot putih yang terdapat pada dinding pembuluh darah dan sistem
pencernaan (Anggraeni, 2005). Otot pada ayam tersusun atas serabut-serabut otot yang
dikelompokkan sebagai otot merah, otot putih, serta campuran otot merah dan putih.
Pembagian otot merah maupun otot putih pada daging dibedakan berdasarkan fisiologi
dan biokimia. Daging merah pada ayam terdapat pada bagian paha dan betis, sedangkan
daging putih terdapat pada bagian dada. Menurut Koswara (2009), otot pada bagian
dada ayam memiliki warna yang lebih terang dibandingkan otot pada bagian paha
ayam, hal tersebut dikarenakan ayam lebih banyak berjalan daripada terbang, yang
menyebabkan pigmen mioglobin terdapat lebih banyak pada otot paha sehingga warna
pada otot paha berwarna lebih gelap. Daging merah mempunyai serabut otot yang halus,
banyak mengandung mioglobin, lemak, Fe, Na, Cu, Zn, mitokondria dan enzim
respirasi yang berhubungan dengan aktivitas otot yang tinggi dan kandungan glikogen
yang rendah. Sedangkan daging putih mempunyai serabut otot yang kasar, sedikit
mengandung mioglobin, mitokondria dan enzim respirasi yang berhubungan dengan
aktivitas otot yang singkat dan cepat dengan frekuensi istirahat yang lebih kerap serta
mengandung glikogen, protein terlarut dan jaringan ikat yang tinggi. Perkembangan otot
ayam menjadi otot merah dan otot putih terjadi beberapa waktu setelah penetasan.
Serabut otot pada anak ayam setelah menetas termasuk dalam otot merah, setelah tiga
belas hari, serabut otot merah berubah menjadi otot putih sekitar 60%, dan menjadi 85%
ketika ayam berumur 200 hari (Hermanianto dkk., 2008).

1.2.3. Rigor Mortis


Setelah proses penyembelihan (post-mortem), proses sirkulasi darah akan berhenti,
sehingga fungsi darah sebagai pembawa oksigen terhenti, hal tersebut mengakibatkan
proses oksidasi dan reduksi juga terhenti, sehingga proses biokimia dalam jaringan otot
(glikolisis) yang semula bereaksi secara aerobik berubah menjadi anaerobik. Setelah itu,
akan terjadi perubahan biokimia dan fisiko-kimia seperti perubahan pH, perubahan
struktur jaringan otot, perubahan kelarutan protein dan perubahan daya ikat air. Menurut
Koswara (2009), perubahan-perubahan yang terjadi berlangsung pada 3 fase yaitu pre
rigor, rigor mortis, dan pasca rigor.
a.) Fase Pre Rigor
Fase awal yang terjadi setelah hewan mengalami kematian. Pada fase ini, proses
oksidasi glikogen selama siklus Kreb terhenti, sehingga tidak menghasilkan ATP
atau energi lagi. Glikogen yang tersisa dalam jaringan otot, akan bereaksi secara
anaerobik menjadi asam laktat, sehingga menyebabkan terjadinya penurunan pH
pada jaringan otot. Setelah hewan mati, masih terdapat sisa kompleks ATP-Mg2+
yang berfungsi untuk menjaga agar tidak terjadi persilangan antara filamen aktin
dan miosin sehingga jaringan otot masih halus dan empuk. Oleh karena itu, pada
fase ini kondisi otot masih relaksasi yaitu belum kaku. Proses kimiawi pada fase ini
berlangsung sangat lambat, sehingga fase pre rigor dapat berlangsung selama 8-12
jam setelah kematian.
b.) Fase Rigor Mortis
Setelah fase pre rigor, mulai memasuki fase rigor mortis. Rigor mortis adalah suatu
proses perubahan daging menjadi kaku dan kehilangan fleksibilitasnya. Fase ini,
jaringan otot menjadi keras dan kaku, karena semakin habisnya ATP dari otot.
Apabila cadangan glikogen habis, pembentukan ATP akan terhenti, sementara
pemecahan ATP untuk menghasilkan energi terus berlangsung, akibatnya jumlah
ATP jaringan otot akan menyusut secara bertahap. Dengan tidak adanya ATP,
maka tidak ada lagi energi yang mampu mempertahankan fungsi retikulin
sarkoplasma sebagai pompa kalsium, yaitu menjaga konsentrasi ion Ca disekitar
miofilamen serendah mungkin, akibatnya terjadi pembebasan ion-ion Ca, yang
kemudian akan berikatan dengan protein troponin, sehingga menyebabkan
terjadinya ikatan elektrostatik antara filamen aktin dan myosin (aktomiosin) dan
akhirnya menyebabkan daging menjadi keras dan kaku. Fase ini berlangsung
sekitar 15-20 jam setelah fase pre rigor.
c.) Fase Pasca Rigor
Fase ini terjadi setelah fase rigor mortis. Pada fase ini, daging menjadi empuk
kembali, dikarenakan terjadinya penurunan pH akibat terbentuknya asam laktat
hasil dari proses pemecahan glikogen secara anaerobik yang membuat enzim
katepsin menjadi aktif sehingga struktur molekul protein serat otot (aktin dan
miosin) menjadi longgar, yang menyebabkan daya ikat air oleh otot kembali
meningkat.

1.2.4. Glikogen
Glikogen yaitu sumber polisakarida utama pada sel hewan yang terletak pada semua
jaringan tubuh diantaranya jaringan otot. Banyak sedikitnya jumlah glikogen dalam
berbagai jaringan dipengaruhi oleh ketersediaan glukosa dan kebutuhan energi. Menurut
(Baynes (2005) dalam Fathoni dkk. (2018), kadar glikogen lebih banyak terdapat di hati
(3-5%) daripada di otot (0,5-1%), tetapi jumlah glikogen seluruhnya lebih banyak di
otot karena massa otot lebih banyak. Glikogen merupakan hasil akhir dari proses
pemecahan glukosa dalam tubuh yang tersimpan dalam otot dan hati sebagai cadangan
energi. Glukosa merupakan karbohidrat atau zat pati yang telah melalui rangkaian
proses metabolisme dalam tubuh sampai membentuk glukosa sebagai cadangan pati.
Menurut Arsana (2016) dalam Fathoni dkk. (2018), glukosa adalah biomolekul yang
memiliki peranan penting dalam pembentukan energi untuk sel-sel di seluruh tubuh
secara keseluruhan. Menurut Forrest et. al., 1975 dalam Anggraeni (2005), karbohidrat
dalam daging ayam terdapat dalam bentuk glikogen dan asam laktat. Kadar glikogen
kurang dari 1% sedangkan asam laktat merupakan hasil utama dari proses glikolisis
glikogen pada fase postmortem dan ketika ayam disembelih.

1.2.5. pH
Hewan yang masih hidup memiliki pH daging yang berkisar antara 6,7–7,2. Setelah
pasca mortem, akan terjadi penurunan pH, dikarenakan adanya penimbunan asam laktat
dalam jaringan otot akibat proses glikolisis secara anaerobik. Penurunan pH daging
ayam akan mencapai nilai 5,8-5,9 setelah melewati fase pasca mortem selama 2-4 jam.
Penimbunan asam laktat akan berhenti setelah cadangan glikogen dalam otot habis.
Daging post mortem memiliki pH ultimat normal 5,5 yang sesuai dengan titik
isoelektrik sebagian besar protein daging termasuk protein miofibril. Perubahan pH
setelah hewan disembelih dipengaruhi oleh 2 faktor yaitu faktor intrinsik dan ekstrinsik.
Faktor intrinsik meliputi spesies, tipe otot dan variasi lainnya dari ternak, sedangkan
faktor ekstrinsik meliputi penanganan ternak sebelum dipotong dan suhu penyimpanan
daging. Jika suhu penyimpanan tinggi, maka laju penurunan pH karkas setelah
disembelih akan berlangsung cepat, sedangkan suhu penyimpanan rendah maka laju
penurunan pH berlangsung lambat. Nilai akhir pH pada rentang 5,1-6,1, akan membuat
struktur daging menjadi lebih terbuka, sedangkan nilai akhir pH pada rentang 6,2–7,2
akan menghasilkan struktur daging yang tertutup dan kompak, berwarna merah gelap,
dan memungkinkan terjadinya pertumbuhan mikroba. Jika pH rendah, maka daging
akan berwarna pucat, flavor hambar, dan memiliki daya awet yang baik sehingga tidak
memungkinkan terjadinya pertumbuhan mikroba (Hermanianto, 2008).

1.2.6. Kadar Air


Daging ayam setelah post mortem biasanya masih dalam kondisi segar atau terasa basah
jika disentuh. Hal tersebut dikarenakan adanya kandungan air dalam daging. Air
merupakan komposisi daging yang paling besar. Kadar air pada daging akan mengalami
penurunan seiring terjadinya penurunan pH, sebab kadar air merupakan salah satu faktor
yang menyebabkan tinggi rendahnya pH. Hal ini berkaitan dengan ion hidrogen yang
saling berikatan dalam daging. Atom H akan terlepas apabila proses glikolisis dalam
daging yang berkombinasi dengan oksigen terjadi sehingga akan membentuk air. Selain
itu, kadar air juga dapat dipengaruhi oleh proses osmosis (adanya perbedaan konsentrasi
antara pelarut dengan zat terlarut). Proses osmosis merupakan proses perpindahan air
melalui selaput permeabel dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi yang rendah (Zulfahmi,
2010).

1.2.7. Aktivitas Air (Aw)


Menurut Legowo dan Nurmanto (2004) dalam Wulandari (2013), aktivitas air atau
water activity (Aw) juga sering disebut sebagai air bebas, dikarenakan mampu
membantu aktivitas pertumbuhan mikroba dan aktivitas reaksi-reaksi kimiawi pada
bahan pangan. Bahan pangan yang memiliki nilai Aw tinggi akan cepat mengalami
kerusakan, baik dikarenakan pertumbuhan mikroba maupun reaksi kimia seperti
oksidasi dan reaksi enzimatik. Secara umum, aktivitas air pada bahan pangan sangat
mudah untuk diuapkan maupun dibekukan. Aktivitas air sangat berhubungan dengan
kadar air. Semakin tinggi kadar air, maka nilai Aw juga akan tinggi. Perbedaannya
adalah kadar air dinyatakan dalam persen (%) pada kisaran skala 0-100, sedangkan nilai
Aw dinyatakan dalam angka desimal pada kisaran skala 0-1 yang dapat dinyatakan
sebagai potensi kimia dari air. Pada nilai Aw sama dengan 0 berarti molekul air yang
bersangkutan sama sekali tidak dapat melakukan aktivitas dalam proses kimia.
Sedangkan nilai Aw sama dengan 1 berarti potensi air dalam proses kimia pada kondisi
maksimal.

1.2.8. Daya Ikat Air (Water Holding Capacity)


Daya ikat air (DIA) oleh protein atau water holding capacity adalah kemampuan protein
daging untuk mengikat airnya atau air yang ditambahkan selama ada pengaruh kekuatan
dari luar, misalnya pemotongan daging, pemanasan, penggilingan dan tekanan. Air yang
terikat dalam otot terbagi menjadi 3 lapisan, yaitu air yang terikat secara kimiawi oleh
protein otot sebesar 4-5%, air yang terikat agak lemah, ± sebesar 4%, dan molekul-
molekul air bebas di antara molekul protein, ± sebesar 10%. Jumlah air terikat pada
lapisan pertama dan kedua adalah bebas dari perubahan molekul akibat denaturasi
protein daging, sedangkan jumlah air terikat yang lebih lemah yaitu lapisan air diantara
molekul protein. Daya ikat air dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti proses pelayuan,
pemasakan, umur, jenis kelamin, fungsi otot, spesies, transportasi, suhu, pakan,
kelembaban, pengawetan, kesehatan, penyimpanan, perlakuan sebelum pemotongan dan
lemak intramuskuler. Daya ikat air daging setiap individu ternak pada spesies yang
sama dapat berbeda karena dipengaruhi oleh pH otot, daya ikat air akan meningkat jika
pH meningkat. Pada fase prerigor, daya ikat air daging masih tinggi, namun akan
menurun seiring dengan penurunan nilai pH dan jumlah ATP jaringan otot. Ketika
cadangan ATP setelah penyembelihan habis, maka pada fase rigor mortis terjadi ikatan
kuat antara filamen aktin dan miosin yang membentuk aktomiosin sehingga
menyebabkan ruangan untuk mengikatkan air menjadi menyempit, sehingga daya ikat
air daging pada fase rigor mortis sangat rendah. Setelah melewati rigor mortis, daya ikat
air pada fase pasca rigor meningkat kembali, dikarenakan terjadinya degradasi
aktomiosin oleh enzim proteolitik, sehingga terdapat ruang-ruang untuk masuknya air.
Daya ikat air ini memiliki pengaruh yang besar terhadap sifat fisik daging, seperti
warna, tekstur, keempukan, dan susut masak (Gumilar, 2011).

1.2.9. Tekstur
Tekstur daging merupakan bagian luar daging yang berfungsi untuk mengetahui kasar
atau halusnya suatu daging, tekstur berhubungan dengan keempukan pada daging.
Tekstur daging dapat diketahui dengan 2 cara yaitu menggunakan indera penglihatan
secara langsung dan nilai shear force daging. Apabila nilai shear force daging tinggi
maka daging tersebut alot, sedangkan nilai shear force daging rendah, maka daging
tersebut empuk. Faktor-faktor yang mempengaruhi tekstur daging adalah kandungan
jaringan ikat serta ukuran berkas otot dan keaktifan enzim kalpain yang merupakan
enzim proteolitik yang ada pada daging yang dipengaruhi oleh tingkat keasaman dari
produk pangan (Jengel, 2016). Tekstur daging menjadi faktor penentu terhadap kualitas
daging yang dihasilkan. Menurut Merthayasa (2015), faktor yang mempengaruhi tekstur
daging ada 2 faktor yaitu faktor ante mortem dan faktor post mortem. Faktor yang
berasal dari fase ante mortem meliputi genetik dan termasuk bangsa, spesies dan
fisiologi, faktor umur, jenis kelamin dan stress. Sedangkan faktor post mortem meliputi
metode pelayuan (chilling), refrigerasi dan pembekuan termasuk faktor lama dan
temperatur penyimpanan serta metode pengolahan termasuk metode pemasakan dan
penambahan bahan pengempuk.

Pelayuan merupakan proses penanganan daging segar setelah penyembelihan dengan


cara menyimpan daging selama waktu dan suhu tertentu diatas titik beku daging yang
secara relatif belum mengalami kerusakan oleh mikroorganisme (Soeparno, 2005 dalam
Gumilar, 2011). Adapun beberapa tujuan dilakukannya pelayuan daging antara lain agar
proses glikolisis yang menghasilkan asam laktat berlangsung sempurna sehingga terjadi
penurunan pH daging yang membuat pertumbuhan bakteri terhambat, proses
pengeluaran darah lebih sempurna sehingga darah yang memiliki fungsi sebagai media
untuk pertumbuhan mikroba dapat dihambat, membuat lapisan luar daging menjadi
kering, sehingga kontaminasi mikroba pembusuk dari luar dapat dihambat, memperoleh
daging dengan tingkat keempukan yang maksimal dengan flavor yang khas. Proses
pelayuan dapat merubah daging menjadi empuk, karena saat dilayukan daging
mengalami perubahan-perubahan pada protein intra dan ekstraseluler. Proses pelayuan
terbagi menjadi 2 jenis, yaitu pelayuan pada suhu rendah dengan suhu sekitar 0-5°C,
dan pelayuan pada suhu tinggi dengan suhu sekitar 15-40°C. Pelayuan pada suhu tinggi
maupun rendah berpengaruhi terhadap laju penurunan pH. Pelayuan pada suhu tinggi
dapat mempercepat laju penurunan pH, sedangkan pelayuan pada suhu rendah dapat
memperlambat laju penurunan pH.

1.2.10. Kromanon Deamina


Kromanon merupakan senyawa siklo-benzena golongan alkaloid yang memiliki 2 gugus
senyawa aromatik yang terikat dalam satu ikatan rangkap diantara 2 rantai karbon
sebagai penghubungnya. Kromanon secara alami dapat diperoleh dari buah maja,
dimana pada buah tersebut, kromanon mengikat 3 gugus amina pada rantai ke 2,6, dan
7, maka sering disebut senyawa 2,6,7-kromanon deamina. Kromanon deamina memiliki
sifat sebagai antioksidan, anti kanker, anti virus, anti bakteri, volatil dan anti depresan
(Widjaya, 2015). Hal tersebut juga didukung dengan adanya beberapa penelitian yang
menyebutkan bahwa buah maja memiliki kandungan senyawa 2,6,7-kromanon deamina,
yang berfungsi untuk mengobati peradangan dan stress (Handria, 2015). Oleh karena
itu, kromanon deamina sering digunakan sebagai bahan tambahan dalam pakan untuk
meningkatkan produktivitas dan menghasilkan ternak yang berkualitas baik. Adapun
beberapa penelitian tentang aplikasi senyawa kromanon deamina dalam ayam broiler
dapat meningkatkan kadar protein sebesar 1-3%, menurunkan kadar lemak sebesar 0,8-
1,2%, menurunkan Feed Conversion Ratio (FCR) ayam pedaging antara 0,01-0,04 dan
menurunkan bau kotoran (Sunaryanto & Sumardi, 2008). Selain itu dapat menurunkan
Total Volatile Nitrogen (TVN) sehingga bau amis pada ikan bandeng dapat berkurang
(Pusparini, 2008 dalam Widjaya, 2015).

1.3. Tujuan Penelitian


Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas kromanon deamina sebagai
bahan tambahan dalam pakan ayam broiler terhadap waktu rigor mortis daging bagian
dada ayam broiler setelah penyembelihan dan perubahan fisiologis selama proses rigor
mortis.

2. METODELOGI PENELITIAN

2.1. Tempat Studi


Penelitian ini akan dilakukan di Peternakan Ayam Broiler yang berlokasi di Kecamatan
Bandungan, Kabupaten Semarang, tempat pemotongan hewan yang dekat dengan lokasi
peternakan, dan Laboratorium Ilmu Pangan, Program Studi Teknologi Pangan, Fakultas
Teknologi Pertanian, Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang.

2.2. Alat
Alat yang akan digunakan pada penelitian ini adalah gasolec, tempat pakan, tempat air
minum, lingkar pembatas (chickguard), lampu, tirai penutup, ember, timbangan, koran,
unit pemanas, thermometer, sekam padi, kapur, pisau, talenan, stopwatch, beaker glass,
mortar dan alu, pengaduk, labu takar, corong, gelas arloji, timbangan digital, meat pH
meter, oven, desikator, nampan, waterbath, penjepit kayu, cawan porselin, penjepit
cawan porselin, sentrifuge, tabung sentrifuge, spektrofotometer, vorteks, Aw meter dan
LLOYD texture analyzer.

2.3. Bahan
Bahan yang akan digunakan pada penelitian ini adalah 400 ekor ayam broiler umur dua
hari (day old chick/DOC-2) strain Cobb galur CP 707 yang dari PT. Charoen Pokphand
Indonesia tanpa dilakukan pemisahan antara jantan dan betina, air minum yang berasal
dari sumber air dalam di sekitar lokasi kandang, pakan komersial untuk ayam broiler
dari PT. Charoen Pokphand Indonesia, suplementasi kromanon deamina sesuai tingkat
perlakuan yang dilakukan, daging ayam broiler bagian dada, larutan buffer pH 4 dan 7,
larutan KOH 30%, larutan anthrone 0,2%, asam sulfat 95%, etanol, larutan NaCl jenuh,
dan aquades.

2.4. Metode
2.4.1. Desain Penelitian

Chick in dan pemeliharaan ayam broiler

Suplementasi kromanon deamina pada 6 tingkat perlakuan, yaitu tanpa


perlakuan (kontrol), 0,025, 0,05, 0,075, 0,1, dan 0,125 cc/kg berat badan ayam

Pemeriksaan ayam hidup, penyembelihan, penuntasan darah, perendaman air


panas, pencabutan bulu, dan dressing (pemotongan kaki, pengambilan jeroan,
dan pencucian)

Pemisahan antara tulang dengan daging karkas bagian dada

Dilakukan pengujian kadar glikogen, pH, kadar air, aktivitas air, daya ikat air,
dan tekstur.

Analisa data dengan program statistik SPSS


2.4.2. Pengujian Glikogen
Sebanyak 1 ml KOH 30% (30 g KOH ditambah H2O hingga mencapai volume 100 ml)
ditambahkan pada sampel sebanyak 25 mg dalam tabung reaksi. Kemudian dipanaskan
dalam penangas air selama 20 menit. Setelah itu, ditambahkan dengan etanol. Lalu di
sentrifuge selama 20 menit dengan kecepatan 2500 rpm. Selanjutnya, endapan yang
tersisa dipisahkan dari larutan (supernatan). Kemudian ditambahkan dengan 2,5 ml H2O
dan 3 ml larutan anthrone 0,2% (0,2 g anthrone ditambah asam sulfat 95% hingga
mencapai volume 100 ml). Lalu dihomogenkan dengan vorteks. Setelah itu dibaca
dengan spektrofotometer pada panjang gelombang (λ) 620 nm (Seifter et al., 1950).
Pengukuran glikogen dilakukan terhadap daging ayam bagian dada setelah
penyembelihan setiap 3 jam sekali.

2.4.3. Pengujian pH
Pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan meat pH meter. Sebelum digunakan,
pH meter dikalibrasi terlebih dahulu dengan menggunakan larutan buffer pH 4 dan 7.
Setelah dikalibrasi, meat pH meter kemudian ditusukkan dalam sampel dan dibiarkan
hingga angka yang tertera pada pengukuran digital tidak berubah lagi. Setelah selesai
digunakan, katoda meat pH meter dibilas dengan aquades dan dikeringkan sebelum
digunakan lagi (Hajrawati, 2016). Pengukuran pH dilakukan terhadap daging ayam
bagian dada setelah penyembelihan setiap 3 jam sekali.

2.4.4. Pengujian Kadar Air


Cawan porselin yang akan digunakan, dikeringkan terlebih dahulu dalam oven
menggunakan suhu 105°C selama 30 menit. Kemudian cawan porselin tersebut
didinginkan dalam desikator selama 30 menit, lalu ditimbang. Setelah itu, sampel
sebanyak 5 gram (c) ditimbang dalam cawan porselin hingga diperoleh berat yang
konstan (a). Kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 105°C selama 4 jam.
Selanjutnya, cawan porselin didinginkan dalam desikator selama 30 menit, lalu
ditimbang hingga diperoleh berat yang konstan (b). Perhitungan kadar air dilakukan
dengan rumus :
a−b
Kadar air (%) = x 100%
c
Dimana,
a = berat cawan ditambah sampel awal (g)
b = berat cawan ditambah sampel akhir (g)
c = berat sampel awal (g)
(AOAC, 1984).
Pengukuran kadar air dilakukan sebanyak 1 kali di setiap fase yaitu pre rigor, rigor
mortis, dan pasca rigor.

2.4.5. Pengujian Aktivitas Air (Aw)


Aktivitas air (Aw) diukur dengan menggunakan Aw meter. Alat dikalibrasikan terlebih
dahulu dengan larutan NaCl jenuh sebelum digunakan. Sebanyak 5 gram sampel daging
ayam dihaluskan, kemudian dimasukkan ke dalam chamber sampel. Tombol start
ditekan dan ditunggu hingga nilai Aw terbaca oleh alat (Syarief dan Halid, 1993 dalam
Kosim, 2015). Pengukuran dilakukan pada setiap fase pre rigor, rigor, dan pasca rigor.

2.4.6. Pengujian Daya Ikat Air (Water Holding Capacity)


Pengukuran Daya Ikat Air (DIA) oleh protein daging dilakukan dengan metode
sentrifuge. Pertama-tama, sampel sebanyak 10 gram dicacah halus, lalu dimasukkan
dalam tabung sentrifuge 50 ml. Kemudian ditambahkan aquades sebanyak 10 ml.
Selanjutnya, tabung disentrifuge dengan kecepatan 3.000 rpm selama 20 menit. Setelah
itu, cairan dipisahkan dari campuran, diukur volumenya dan dinyatakan sebagai volume
air yang tidak diserap atau volume sisa. Kemudian perhitungan daya ikat air dilakukan
dengan menggunakan rumus :
Volume air yang ditambahkan (ml)−Volume air sisa(ml)
Daya Ikat Air (%) = x 100%
Berat sampel (g)

(Hamm, 1972 dalam Purnamasari, 2012).


Pengukuran daya ikat air dilakukan terhadap daging ayam bagian dada setelah
penyembelihan setiap 3 jam sekali.
2.4.7. Pengujian Tekstur
Tekstur daging diukur dengan menggunakan LLYOD Texture Analyzer. Daging ayam
utuh bagian dada diletakkan pada tempat uji. Pengukuran tekstur dilakukan
menggunakan ball probe dengan batas kedalaman tekanan (depression limit) sebesar
15mm serta dengan kecepatan uji sampel sebesar 5mm/s. Gaya (force) yang diberikan
sebesar 20gf (Bourne, 2002). Pengukuran tekstur dilakukan terhadap daging ayam
bagian dada setelah penyembelihan setiap 3 jam sekali.

2.4.8. Analisis Data


Data hasil pengukuran parameter kadar glikogen, pH, kadar air, aktivitas air, water
holding capacity, dan tekstur daging ayam bagian dada, diolah dengan menggunakan
program statistik SPSS. Analisa awal dilakukan dengan uji normalitas dan uji
homogenitas data. Kemudian dilanjutkan dengan analisis One-Way Anova.

3. DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, S., Rehana Rehman, Saida Haider, Zehra Batool, Fatima Ahmed, Saad Bilal
Ahmed, Tahira Perveen, Sahar Rafiq, Sadia Sadir, Sidrah Shahzad. (2018).
Quantitative and qualitative assessment of additives present in broiler chicken feed
and meat and their implications for human health. Journal of the Pakistan Medical
Association. Aga Khan University Hospital, Karachi.

Anggitasari, S., Osfar Sjofjan, dan Irfan Hadji Djunaidi. (2016). Pengaruh Beberapa
Jenis Pakan Komersial Terhadap Kinerja Produksi Kuantitatif Dan Kualitatif Ayam
Pedaging. Buletin Peternakan Vol. 40 (3): 187-196, ISSN-0126-4400, E-ISSN-
2407-876X. Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya, Malang.

Anggraeni, Y. (2005). Sifat Fisik Daging Dada Ayam Broiler Pada Berbagai Lama
Postmortem Di Suhu Ruang. Skripsi. Program Studi Teknologi Hasil Ternak,
Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

AOAC. (1984). Official Methods of Analysis. Association of Official. Agricultural


Chemists. Washington DC.

Bahri, S., E. Masbulan, dan A. Kusumaningsih. (2005). Proses Praproduksi Sebagai


Faktor Penting Dalam Menghasilkan Produk Ternak Yang Aman Untuk Manusia.
Jurnal Litbang Pertanian, 24(1). Balai Penelitian Veteriner, Jalan R.E. Martadinata
No. 30, Bogor 16114.

Bourne, M.C. (2002). Food Texture and Viscosity Concept and Measurement Second
Edition. Academic Press. London.
Dewayani, R.E., Halim Natsir dan Osfar Sjofjan. (2015). Pengaruh Penggunaan Onggok
Dan Ampas Tahu Terfermentasi Mix Culture Aspergillus niger dan Rhizopus
oligosporus Sebagai Pengganti Jagung Dalam Pakan Terhadap Kualitas Fisik
Daging Ayam Pedaging. Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Ternak, Hal 9-17,
Vol.10, No.1, ISSN:1978 – 0303.

Fathoni, N., M. Anwar Djaelani dan Sri Isdadiyanto. (2018). Glikogen Otot Rangka
Ayam Broiler (Gallus gallus) setelah Pemberian Teh Kombucha dalam Air Minum.
Departemen Biologi Fakultas Sains dan Matematika, Universitas Diponegoro,
Semarang.

Gumilar, J. (2011). Pengaruh Berbagai Jenis Daging (Ayam, Babi, Dan Sapi) Dan Fase
Postmortem (Pada Daging Babi) Terhadap Kualitas Dan Mikrostruktur Surimi
(Surimi Like Material/SLM). Fakultas Peternakan, Universitas Padjadjaran.

Hajrawati, Fadliah M., Wahyuni, I. I. Arief. (2016). Kualitas Fisik, Mikrobiologis, dan
Organoleptik Daging Ayam Broiler pada Pasar Tradisional di Bogor. Jurnal Ilmu
Produksi dan Teknologi Hasil Peternakan Vol. 04 No. 3. Depaetemen Produksi dan
Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan,IPB.

Handria, F.F. (2015). Pengaruh Pemberian Kromanon Deamina Terhadap Karakteristik


Kimia Daging Ayam Broiler. Skripsi. Program Studi Teknologi Pangan Fakultas
Teknologi Pertanian, Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang.

Hardini, Sri Y.P.K. (2004). Pertumbuhan Awal Ayam Merawang yang Dipelihara
bersama Ayam Broiler. Jurnal Matematika, Sains dan Teknologi, Vol.5 No.1,
Jurusan Biologi FMIPA universitas Terbuka.

Hermanianto, Joko and Nurwahid, Mochamad and Azhar, Elfizar. (2008). Pengetahuan
Bahan Daging dan Unggas. Universitas Terbuka, Jakarta, pp. 1-64. ISBN
9790110111.

Jengel, E.N., E.H.B. Sondakh, F.S. Ratulangi, C.K.M. Palar. (2016). Pengaruh Lama
Perendaman Menggunakan Cuka Saguer Terhadap Peningkatan Kualitas Fisik
Daging Entok (Chairina moschata). Jurnal Zootek (“Zootek” Journal ) Vol. 36 No.
1 : 105 – 112, ISSN 0852 -2626. Fakultas Peternakan, Universitas Sam Ratulangi
Manado.

Kosim, A., T. Suryati, A. Gunawan. (2015). Sifat Fisik dan Aktivitas Antioksidan
Dendeng Daging Sapi dengan Penambahan Stroberi (Fragaria ananassa) sebagai
Bahan Curing. Jurnal Ilmu Produksi dan Teknologi Hasil Peternakan, ISSN 2303-
2227 Vol.3 No.3. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas
Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Koswara, S. (2009). Pengolahan Unggas. Ebookpangan.com.

Merthayasa, J.D., I Ketut Suada, Kadek Karang Agustina. (2015). Daya Ikat Air, pH,
Warna, Bau dan Tekstur Daging Sapi Bali dan Daging Wagyu. Indonesia Medicus
Veterinus 4(1): 16–24, ISSN : 2301-7848. Fakultas Kedokteran Hewan,
Universitas Udayana, Denpasar.

Nareswari, A.R. (2006). Identifikasi dan Karakterisasi Ayam Tiren. Skripsi.


Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Bogor
Institut Pertanian Bogor.

Purnamasari, E., M. Zulfahmi dan I. Mirdhayati. (2012). Sifat Fisik Daging Ayam
Petelur Afkir Yang Direndam Dalam Ekstrak Kulit Nenas (Ananas Comosus L.
Merr) Dengan Konsentrasi Yang Berbeda. Jurnal Peternakan Vol 9 No 1, ISSN
1829 – 8729. Fakultas Pertanian dan Peternakan Universitas Islam Negeri Sultan
Syarif Kasim Riau.

Seifter, S., Dayton S. (1950). The estimation of glycogen with the anthrone reagent.
Arch Biochem. 25(1):191–200.

Sunaryanto, L. T. and Sumardi. (2008). Enhancing Quality of Chicken Broiler Meat By


Inducing Short Chain Hydobenzene of Aegle Marmelos. International Symposium
on Food Technologiests. Faculty of Food Technology. Unika Soegijapranata,
Semarang.

Suradi, K. (2006). Perubahan Sifat Fisik Daging Ayam Broiler Post Mortem Selama
Penyimpanan Temperatur Ruang (Change of Physical Characteristics of Broiler
Chicken Meat Post Mortem During Room Temperature Storage). Jurnal Ilmu
Ternak, Vol.6 No.1, 23–27. Fakultas Peternakan, Universitas Padjadjaran.

Widjaya, S. (2015). Pengaruh Dosis Kromanon Deamina Terhadap Karakteristik


Fisiologi Pasca Panen Dan Perubahan Kualitas Daging Ayam Broiler Selama
Penyimpanan Beku Dan Penggorengan. Skripsi. Program Studi Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang.

Wulandari, A., Sri Waluyo, dan Dwi Dian Novita. (2013). Prediksi Umur Simpan
Kerupuk Kemplang Dalam Kemasan Plastik Polipropilen Beberapa Ketebalan.
Jurnal Teknik Pertanian Lampung Vol. 2, No. 2: 105-114.

Zulfahmi, M. (2010). Daya Ikat Air, Kadar Air, Ph Dan Organoleptik Daging Ayam
Petelur Afkir Yang Direndam Dalam Ekstrak Kulit Nenas (Ananas comosus L.
Merr) Dengan Konsentrasi Yang Berbeda. Skripsi. Program Studi Peternakan,
Fakultas Pertanian Dan Peternakan, Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim
Riau, Pekanbaru.

Anda mungkin juga menyukai