Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN PRAKTIKUM TEKNOLOGI ENZIM

“SIFAT FISIK DAGING AYAM PETELUR AFKIR YANG DIRENDAM


DALAM EKSTRAK NANAS (Ananas comosus L. Merr) DENGAN
KONSENTRASI YANG BERBEDA”

Disusun Oleh :
1. JAVIA CAPRIOLLA (J1A115004)
2. MILA KURNIATI (J1A115016)
3. FIRDAUS MATANARI (J1A115028)
4. SITI KHODIJAH (J1A115037)
5. MAWARLY R.K. SILALAHI (J1A115072)
6. FAISAL RAMADHAN HRP (J1A115077)
7. LAMASIH DINIATY SIMAMORA (J1A116048)

THP VII/R-001 (KELOMPOK 4)

Dosen Pengampu :
1. Dr. Ir. Lavlinesia, M. Si.
2. Ulyarti, S. TP. MSc.
3. Mursyid, S. Gz., M.Si.

JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN


FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS JAMBI
2018
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kebutuhan protein hewani masyarakat dari tahun ke tahun terus meningkat
sebanding dengan meningkatnya jumlah penduduk dan kesadaran akan pentingnya
kebutuhan gizi. Kebutuhan protein hewani dapat dipenuhi dengan mengkonsumsi
komoditas peternakan seperti daging, telur, dan susu. Daging unggas merupakan
salah satu hewan ternak yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber protein hewani,
karena ternak tersebut mampu menghasilkan pangan dalam waktu yang singkat dan
harganya relatif murah. Unggas yang popular di masyarakat adalah ayam.
Daging ternak yang masih muda pada umumnya lebih mudah dicerna
dibandingkan dengan daging ternak yang sudah tua, salah satunya daging ayam
petelur afkir. Menurut Khairuddin (2008), daging ayam petelur afkir mempunyai
kualitas yang rendah karena pemotongan dilakukan pada umur yang relatif tua
sehingga keempukan dagingnya lebih rendah dan kurang disukai oleh masyarakat.
Oleh karena itu, untuk meningkatkan penerimaan masyarakat terhadap daging
ayam petelur afkir perlu dilakukan perlakuan yang dapat memperbaiki keempukan
daging tersebut. Salah satu cara untuk mengempukkan daging ayam petelur afkir
adalah dengan menggunakan bahan pengempuk daging.
Menurut penelitian yang telah dilakukan oleh Silaban (2009) dengan judul
Studi Pemanfaatan Enzim Papain Getah Buah Pepaya untuk Melunakkan Daging
menyatakan bahwa pelunakan daging secara kimia dapat dilakukan melalui dua
cara yakni secara enzimatis dan non enzimatis, secara enzimatis dapat
menggunakan enzim protease (proteolitik) sedangkan secara non enzimatis dapat
mengguanakan asam. Pelunakan menggunakan asam ini sering dilakukan, baik
dirumah maupun di restoran, hanya saja dapat mengurangi nilai gizinya karena
sebagian protein dapat terdenaturasi atau rusak oleh asam. Enzim proteolitik
merupakan enzim yang dapat memeceh protein sehingga dapat melunakkan daging.
Enzim proteolitik akan menghidrolisis daging sehingga daging akan mengendur
dan akan menjadi lebih empuk. Salah satu sumber enzim proteolitik secara alami
dapat dijumpai pada buah nanas.
Solusi untuk mengempukan daging yaitu sebelum dilakukan pemanasan
terlebih dahulu dilakukan proses perendaman dalam larutan enzim proteolitik.
Selama proses perendaman daging terjadi proses hidrolisis protein serat otot,
tenunan pengikat, dan terjadi perubahan-perubahan yang meliputi menipisnya serta
hancurnya sarkolema, terlarutnya nukleus dari serabut otot dan jaringan ikat serta
lepasnya keterikatan serabut otot sehingga dihasilkan jaringan lunak.
Salah satu enzim protease tersebut adalah bromelin yang berasal dari buah
nanas, hampir dalam seluruh bagian tanaman terdapat enzim bromelin dengan
jumlah yang berbeda-beda pada setiap bagiannya. Menurut Winarno (1993)
bromelin adalah enzim protease yang dapat menghirolisis protein. Enzim ini mudah
diperoleh karena tanamannya dapat berbuah sepanjang tahun tanpa tergantung oleh
musim. Menurut Hero (2008) selama 5 tahun terakhir tahun 2000 sampai 2005
perkembangan produksi nanas Indonesia rata-rata sebesar 6.145.382 ton.
Penelitian Utami dkk (2011) menunjukkan bahwa penambahan bromelin yang
didapatkan dari sari buah nanas dapat meningkatkan keempukan (daya tarik dan
daya putus), ph, daya ikat air dan menurunkan susut masak daging itik afkir.
Dengan demikian pemberian sari nanas pada daging itik afkir dapat meningkatkan
kualitas dari daging itik afkir.
Berdasarkan hal itu, maka penulis tertarik melakukan praktikum dengan judul
“Sifat Fisik Daging Ayam Petelur Afkir yang Direndam dalam Ekstrak Nanas
(Ananas comosus L. Merr) dengan Konsentrasi yang Berbeda”

1.2 Tujuan Praktikum


Adapun tujuan praktikum ini yaitu
1. Mengetahui pengaruh penambahan ekstrak buah nanas terhadap
keempukan, pH, daya ikat air, dan hasil organoleptik daging ayam petelur
afkir.
2. Mengetahui konsentrasi ekstrak buah nanas terbaik dalam mengempukkan
daging ayam petelur afkir.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Daging Ayam Afkir
Definisi daging secara umum adalah bagian dari tubuh hewan yang disembelih
yang aman dan layak dikonsumsi manusia. Termasuk dalam definisi tersebut adalah
daging atau otot skeletal dan organ-organ yang dapat dikonsumsi (edible offals)
(Lukman, 2008).
Ayam petelur afkir adalah ayam petelur yang sudah tidak produktif pada akhir
masa produksi telur, yaitu pada usia 72 hingga 80 minggu (Murtidjo, 2003).
Menurut Khairuddin (2008), daging ayam petelur afkir mempunyai kualitas yang
rendah karena pemotongan dilakukan pada umur yang relatif tua sehingga
keempukan dagingnya lebih rendah dan kurang disukai oleh masyarakat.
Daging ayam petelur afkir terdiri atas otot merah dan otot putih dengan
persentase 51,61% dan 48,39% (Kala et al., 2007). Yang termasuk dalam otot
merah pada daging ayam adalah daging paha, sedangkan otot putih adalah daging
dada (Rose dalam Anggraeni, 2005). Daging dada dipilih menjadi bahan baku,
dengan pertimbangan bahwa daging dada ayam ras afkir tinggi akan protein, asam
lemak omega-3 serta rendah kolesterol (Chueachuaychoo et al., 2011). Sifat fisik
dari daging dada ayam adalah warna lebih terang serta tekstur lebih lunak dari
bagian paha. Daging ayam petelur afkir bersifat liat, karena tingginya kandungan
kolagen dan jumlah ikatan silang intermolekuler antar benang-benang kolagen.
Jumlah ikatan silang meningkat seiring bertambahnya usia ayam, sehingga
komposisi protein otot ayam petelur afkir berbeda dengan ayam yang relatif muda.
Ayam petelur yang tak produktif lagi (dikenal sebagai layer afkir) akan dijual
untuk dimanfaatkan dagingnya. Biasanya ayam jenis ini disembelih setelah berusia
90 minggu dan memiliki berat sekitar 1,8 kg. Ayam afkir sebenarnya ayam yang
bukan tipe pedaging tetapi dijual sebagai ayam potong karena pertimbangan
efisiensi dan ekonomis. Umumnya jenis ayam ini berasal dari ayam petelur betina
yang karena produksi telurnya sudah berkurang atau sudah berhenti lalu dipotong
untuk diambil dagingnya. Ciri umum ayam afkir adalah tulang pinggul tebal,
tumpul dan kaku, dagingnya liat/keras, bentuk badannya segitiga dengan bagian
perut besar dan penuh lemak. Dagingnya tidak terlalu empuk dibanding ayam
pedaging, kulit dan kakinya juga berwarna kuning. Karena harganya relatif lebih
murah daripada ayam broiler ayam afkir sering dipilih pedagang soto ayam, ayam
bakar atau ayam goreng (Rahmadianti, 2014).
Daging ayam petelur afkir memiliki tekstur yang kasar, alot dan juicy. Tekstur
merupakan ukuran ikatan-ikatan serabut otot yang dibatasi oleh septum-septum
perimiseal jaringan ikat yang membagi otot secara longitudinal. Tekstur otot dibagi
menjadi dua kategori yang tekstur kasar dengan ikatan-ikatan serabut yang besar
dan tekstur halus. Tingkat kekasaran tekstur meningkat seiring bertambahnya umur
(Soeparno, 2005). Ayam petelur afkir mengandung air 56%, protein 25,4% sampai
31,5% dan lemak 1,3 sampai 7,3%. Kandungan nutrisi daging petelur afkir tidak
jauh berbeda dengan daging broiler, namun demikian ayam petelur afkir memiliki
kelemahan yaitu dagingnya keras dan liat dikarenakan umur yang tua (Mountney
dan Parkhurst, 1995).
Tingkat kealotan daging dipengaruhi oleh kolagen yang merupakan protein
struktural pokok dalam jaringan ikat. Jumlah dan kekuatan kolagen dapat
meningkat sesuai dengan umur, oleh karena itu ternak yang lebih tua akan
menghasilkan daging yang cenderung lebih alot daripada ternak yang lebih muda
pada bagian karkas ayam yang sama (Soeparno, 2005). Karkas adalah bagian tubuh
unggas yang telah disembelih tanpa darah, bulu, kepala, kaki, dan organ dalam
(Tien R. Muchtadi, dkk., 2011). Menurut Forrest, dkk., (1975) daging yang
dihasilkan oleh ayam petelur afkir pada dasarnya memiliki tingkat kealotan yang
tinggi. Hal tersebut diakibatkan oleh ikatan silang kolagen pada ayam yang berumur
tua akan bersifat lebih stabil pada saat pemasakan bila dibandingkan dengan ayam-
ayam yang berumur muda, sehingga daging ayam petelur afkir yang dihasilkan akan
alot.

2.2 Nanas (Ananas comosus (L) Merr)


Menurut Aulia (2010), nanas, nenas, atau ananas (Ananas comosus (L) Merr)
adalah sejenis tumbuhan tropis yang berasal dari Brazil, Bolivia, dan Paraguay.
Tumbuhan ini termasuk dalam Famili Bromeliaceae. Perawakan (habitus)
tumbuhannya rendah, herba menahun dengan 30 atau lebih daun yang panjang,
berujung tajam, tersusun dalam bentuk roset mengelilingi batang yang tebal.
Soedaryo (2009), secara umum nanas memiliki kandungan gizi dan vitamin,
diantaranya kalori, protein, lemak, karbohidrat, kalsium, vitamin A, vitamin C, dan
sedikit vitamin B. Daging buah berwarna kuning pucat dengan bau yang harum,
rasanya manis dan mengandung banyak jus.
Menurut Soedaryo (2009) tanaman nanas mempunyai nama botani Ananas
comosus. Tanaman nanas, jika diklasifikasikan termasuk tanaman berbunga.
Klasifikasi dari tanaman nanas adalah sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Subdivisio : Angiospermae (berbiji tertutup)
Class : Dicotyledonae (biji berkeping dua)
Ordo : Bromeliales
Familia : Bromeliaceae
Genus : Ananas
Species : Ananas comosus (L) Merr.
Nanas mengandung Bromelin yang dapat diperoleh dari tangkai, kulit, daun,
buah, maupun batang dalam jumlah yang berbeda. Dilaporkan bahwa kandungan
enzim bromelin lebih banyak terdapat pada batang yang selama ini kurang
dimanfaatkan. Distribusi bromelin pada batang nanas tidak merata dan tergantung
pada umur tanaman. Kandungan bromelin pada jaringan yang umurnya belum tua
terutama yang bergetah sangat sedikit sekali bahkan kadang-kadang tidak ada sama
sekali. Sedangkan bagian tengah batang mengandung bromelin lebih banyak
dibandingkan dengan bagian tepinya (Hartadi, 1980). Kandungan bromelin dalam
tanaman nanas dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Kandungan Bromelin Dalam Tanaman Nanas
No. Bagian buah Satuan (%)
1 Buah utuh masak 0,060-0,080
2 Daging Buah Masak 0,080-0,125
3 Kulit Buah 0,050-0,075
4 Tangkai 0,040-0,060
5 Batang 0,100-0,600
6 Buah Utuh Mentah 0,040-0,060
2.3 Enzim
Enzim adalah satu atau beberapa gugus polipeptida (protein) yang berfungsi
sebagai katalis dan mampu mempercepat terjadinya proses reaksi tanpa habis
bereaksi dalam suatu reaksi kimia. Senyawa ini merupakan biokatalisator organik
yang dihasilkan oleh sel (Lehninger, 2008).
Enzim merupakan biokatalisator yang mampu meningkatkan kecepatan reaksi
spesifik tanpa ikut bereaksi dan tidak menghasilkan produk samping, bersifat jauh
lebih efisien dibandingkan katalis lain, disebabkan molekul enzim memiliki
spesifitas yang tinggi terhadap substratnya. Ukuran molekul enzim jauh lebih besar
dari ukuran substratnya karena enzim terdiri dari ratusan bahkan lebih dari seribu
asam amino. Ikatan enzim dengan substrat biasa terjadi di sekitar active site, selain
itu enzim memiliki sisi regulator yang berfungsi sebagai pengatur untuk
meningkatkan ataupun menurunkan aktivitas kerja enzim. Sisi regulator ini akan
mengikat molekul kecil atau substrat secara langsung ataupun tidak langsung yang
berfungsi untuk enzim-substrat yang bersifat sementara dan akan kembali
membentuk enzim bebas dan produk (Lehninger, 1982).
Kecepatan reaksi enzimatik pada umumnya tergantung pada konsentrasi
substrat, semakin tinggi konsentrasi substrat, reaksi enzimatis semakin cepat
sampai pada suatu saat menjadi kosntan. Pada saat itu kecepatan reaksi mencapai
maksimum. Hal ini juga dipengaruhi oleh pH, suhu, jenis enzim, konsentrasi
substrat, konsentrasi enzim, dan adanya aktifitor dan inhibitor (Winarno, 1992).
Menurut Palmer (1995), reaksi antara enzim dengan substrat dapat terjadi
menurut dua hipotesis berikut:
a. Hipotesis Lock and Key
Spesifitas enzim termasuk adanya struktur komplementer antara enzim dengan
substrat terjadi apabila substrat mempunyai kesesuaian bentuk ruang dengan
enzim pada struktur sisi aktif enzim.
b. Hipotesis Induce Fit
Substrat tidak mempunyai kesesuaian ruang dengan sisi aktif enzim pada
kompleks enzim-substrat, tetapi dalam proses pengikatan substrat, enzim
mengalami perubahan konformasi sehingga sesuai dengan substrat.
2.4 Enzim Protease
Enzim proteolitik adalah enzim yang dapat memecah molekul-molekul protein
dengan cara menghidrolisis ikatan peptida menjadi senyawa-senyawa yang lebih
sederhana seperti pepton, polipeptida, dipeptida, dan sejumlah asam amino. Di
dalam aplikasinya, enzim dijumpai dalam bentuk kasar dan murni, baik dari hewan
atau tumbuhan dan digunakan dalam pengolahan bahan makanan misalnya untuk
pengempukan daging, penjernihan minuman, pembuatan keju dan mempercepat
hidrolisa protein menjadi nitrogen terlarut. Enzim protease dapat dihasilkan dari
berbagai sumber, yaitu bakteri, jamur, virus, tumbuhan, hewan dan manusia. Enzim
protease yang dihasilkan dari tanaman diantaranya adalah papain dan bromelin.
Bromelin merupakan enzim protease yang dihasilkan oleh buah nanas (Reed,
1975). Menurut Winarno (1995) kerja enzim proteolitik dipengaruhi oleh:
a. Suhu
Pada umumnya, semakin tinggi suhu, semakin naik laju reaksi kimia, baik
yang tidak dikatalis maupun yang dikatalis oleh enzim. Pengaruh suhu terhadap
enzim agak kompleks, misalnya pada suhu yang terlalu tinggi dapat mempercepat
perusakan enzim, sebaliknya semakin tinggi suhu (dalam batas tertentu) maka
akan semakin tinggi aktivitas enzim tersebut. Bila suhu masih naik terus, laju
kerusakan enzim semakin tinggi.

b. pH
Pada kisaran pH yang ekstrim baik asam maupun basa terjadi inaktivasi
yang irreversible pada kisaran pH selebihnya masih dapat terjadi inaktivasi, tetapi
bersifat reversible. Perlu diketahui pada enzim yang sama sering berbeda pH
optimumnya, tergantung asal enzim tersebut.
Perubahan aktivitas enzim akibat perubahan pH lingkungan disebabkan
terjadinya perubahan ionisasi enzim, substrat atau kompleks enzim-substrat. Enzim
menunjukkan aktivitas maksimum pada kisaran pH optimum. Pada kisaran pH
yang ekstrim, baik asam maupun basa, terjadi inaktivasi yang irreversible. Pada
kisaran pH yang selebihnya masih dapat terjadi inaktivasi, tetapi bersifat reversible.
Pengaturan pH ini penting untuk mendapatkan keaktifan enzim yang maksimal
(Winarno, 1993).
c. Konsentrasi enzim
Semakin tinggi enzim yang ditambahkan makin besar pula kecepatan
reaksinya tetapi pada batas-batas tertentu dimana hidrolisat yang diperoleh akan
konstan dengan meningkatnya konsentrasi enzim. Hal ini disebabkan penambahan
enzim sudah tidak efektif lagi.

d. Konsentrasi substrat
Kecepatan hidrolisis dari suatu reaksi sangat tergantung pada konsentrasi
substrat, dimana semakin tinggi konsentrasi substrat, reaksi semakin cepat hingga
mencapai kecepatan yang tetap. Untuk dapat diperoleh kompleks enzim-substrat,
diperlukan adanya kontak antara enzim dengan substrat. Kontak ini terjadi pada
sisi aktif enzim. Pada konsentrasi substrat rendah, sisi aktif enzim hanya akan
menampung substrat sedikit. Bila konsentrasi substrat diperbesar, makin banyak
substrat yang akan bergabung dengan enzim pada sisi aktif tersebut. Dengan
demikian, konsentrasi kompleks enzim-substrat makin besar (Kusnawidjaya,
1993).

e. Kadar air dan Aw


Kadar air bahan sangat mempengaruhi laju reaksi enzimatis. Pada kadar air
bebas yang rendah menjadi halangan sehingga difusi baik enzim atau subsrat
terhambat. Akibatnya hidrolisis hanya terdapat pada bagian substrat yang langsung
berhubungan dengan enzim.

f. Waktu inkubasi
Menurut Whittaker (1994), lama inkubasi berpengaruh terhadap hasil
hidrolisis, dimana makin lama proses hidrolisis, makin banyak enzim yang
berdifusi ke dalam substrat sehingga produk yang dihasilkan makin besar pula. Pada
batas tertentu peningkatan lama hidrolisis tidak akan menambah jumlah produk
disebabkan karena substratnya sudah habis atau terjadi penghambatan atau umpan
balik dari produknya.
2.5 Enzim Bromelin
Bromelin adalah salah satu enzim proteolitik atau protease yaitu enzim yang
mengkatalisasi penguraian protein menjadi asam amino dengan membangun blok
melalui reaksi hidrolisis. Hidrolisis (hidro=air; lysis=mengendurkan atau
gangguan/uraian) adalah penguraian dari molekul besar menjadi unit yang lebih
kecil dengan kombinasi air. Dalam pencernaan protein, ikatan peptida terputus
dengan penyisipan komponen air, -H dan –OH pada rantai akhir (Supartono, 2004).
Bromelin merupakan nama kolektif untuk enzim proteolitik yang
didapatkan dari familia bromeliaceae yang ditemukan Hencle dan Gortner, lebih
lanjut dikemukakan bahwa enzim bromelin dapat berasal dari buah, daun, dan
batang yang mengandung enzim protease yang berbeda (Muchtadi, 1992). Enzim
bromelin dapat diekstraksi dari batang nanas yang disebut stem bromelin atau dapat
pula diesktraksi dari buahnya yang disebut bromelin bras. Bromelin dapat diperoleh
dari tanaman nanas baik dari tangkai, kulit, daun, buah, maupun batang dalam
jumlah yang berbeda. Kandungan enzim lebih banyak di bagian daging buahnya,
hal ini ditunjukkan dengan aktivitasnya yang lebih tinggi dibandingkan dengan
aktivitas pada bagian batangnya (Herdyastuti, 2006).
Enzim bromelin yang diisolasi dari daging buah nanas matang memiliki
aktivitas lebih tinggi daripada enzim bromelin yang diisolasi dari buah nanas
mentah. Kondisi optimum reaksi enzimatis bromelin dari daging buah nanas
matang dicapai pada pH 6,5 pada temperatur 50oC - 60oC. Aktivitas bromelin stabil
pada rentang pH 2 sampai 9 (Priya et al, 2012).
Menurut hasil penelitian Supartono (2004) melaporkan bahwa, aktivitas enzim
bromelin pada bagian batang nanas sebesar 0,31 U/ml dan daging buah sebesar 1,64
U/ml. Sedangkan Maryam (2009) dalam penelitiannya menambahkan bahwa
aktivitas enzim bromelin dari bagian batang buah nanas sebesar 0,274 U/ml dan
bagian daging buahnya 0,337 U/ml.
Bromelin merupakan enzim endopeptidase dan tergolong kelompok enzim
protease sulfihidril. Enzim protease sulfihidril yang artinya mempunyai residu
sulfihidril pada lokasi aktif. Enzim bromelin berfungsi untuk mempercepat
penguraian protein, sebagai enzim proteolitik bromelin mampu memecah molekul-
molekul protein menjadi bentuk asam amino (Winarno, 1986).
Nurhidayah (2013) menambahkan bahwa enzim bromelin tergolong dalam
kelompok enzim protease sulfhidril yang dapat menghidrolisa protein
menghasilkan asam amino sederhana yang larut dalam air. Sisi aktif enzim bromelin
mengandung gugus sistein dan histidina yang penting untuk aktivitas enzim
tersebut. Sehingga enzim bromelin ini secara- khusus memotong ikatan peptida
pada gugus karbonil seperti yang ditemukan dalam arginin dan asam aromatik
seperti tirosin.
Protein dipecah oleh enzim membentuk ikatan–ikatan dipeptida dan setiap
ikatan dipeptida dibebaskan oleh satu molekul air. Satu molekul protein terdiri dari
rantai polipeptida tunggal atau sejumlah rantai polipeptida yang bergabung dengan
ikatan-ikatan silang. Lalu ikatan–ikatan peptida terputus dan membebaskan
sejumlah komponen asam – asam amino yang sebelumnya diikat bersama substitusi
ikatan amida. Dimana ikatan – ikatan peptida sendiri terbentuk karena adanya reaksi
dari gugus amino (-NH2) dari satu asam amino dengan gugus asam (=COOH) dari
asam berikutnya. Asam amino sendiri merupakan molekul organik dengan berat
molekul yang relatif rendah (rata–rata 100-200), yang paling sedikit mengandung
satu gugus karboksil (COOH) dan satu gugus asam amino (NH2) serta memiliki
rantai cabang yang sering disebut gugus R (Irma, 1997).
Silverstein dan Kezdy (1975) menambahkan bahwa enzim protease ekstrak
nanas akan mengkatalisis hidrolisis amida dan esternya, ikatan peptida secara
spesifik pada protein dengan ikatan yang melibatkan asam amino dasar dengan
gugus R yaitu alanin, asparagin, glisin, ileusin, leusin, lisin, tirosin, triptofan, dan
valin.

2.6 Pemasakan Daging


Menurut Lawrie (2003) keempukan daging dipengaruhi oleh protein jaringan
ikat, semakin tua ternak jumlah jaringan ikat lebih banyak, sehingga meningkatkan
kealotan daging. Keempukan daging tergantung dari temperatur dan waktu
pemasakan, lama waktu pemasakan mempengaruhi kolagen, dan temperatur
pemasakan lebih mempengaruhi kealotan miofibrilar (Soeparno, 2011).
Menurut Davery and Gilbert (1974) protein miofibrilar mengalami koagulasi
atau denaturasi sempurna pada temperatur 60°C. Pemasakan pada temperatur yang
lebih tinggi menyebabkan pengeringan dan kealotan protein miofibril yang
mengalami koagulasi. Solusi untuk mengempukan daging yaitu sebelum dilakukan
pemanasan terlebih dahulu dilakukan proses perendaman dalam larutan enzim
proteolitik. Selama proses perendaman daging terjadi proses hidrolisis protein serat
otot, tenunan pengikat, dan terjadi perubahan-perubahan yang meliputi menipisnya
serta hancurnya sarkolema, terlarutnya nukleus dari serabut otot dan jaringan ikat
serta lepasnya keterikatan serabut otot sehingga dihasilkan jaringan lunak.

2.7 Sifat Fungsional Daging


a. Susut Masak
Susut masak dipengaruhi oleh temperatur dan lama pemasakan. Semakin
tinggi temperatur pamasakan semakin besar kadar cairan daging yang hilang sampai
mencapai tingkat yang konstan. Susut masak dapat dipengaruhi oleh pH, panjang
sarkomer serabut otot, panjang potongan serabut otot, status kontraksi miofibril,
ukuran dan berat sampel daging serta penampang lintang daging (Soeparno, 2011).
Perebusan daging pada suhu tinggi (60-90ºC) akan menyebabkan kerusakan
jaringan epimisium, perimisium, dan endomesium sehingga jaringan daging akan
menyusut sekitar 30% akibat keluarnya cairan daging atau cooking loss (Lawrie,
2003).
Besarnya susut masak dipengaruhi oleh banyaknya kerusakan membran
seluler, banyaknya air yang keluar dari daging, umur daging, degradasi protein dan
kemampuan daging untuk mengikat air (Shanks et al., 2002). Besarnya susut masak
dapat dipergunakan untuk mengestimasikan jumlah jus dalam daging masak.
Daging dengan susut masak yang rendah mempunyai kualitas yang tinggi. Susut
masak adalah proses selama pemasakan daging yang mengalami pengerutan dan
pengurangan berat. Prodak daging olahan sebaiknya mengalami susut masak sedikit
karena susut masak mempunyai hubungan erat dengan rasa/juiceness daging
(Winarno, 1993).
Pada temperatur pemasakan 80oC daging yang mengalami pemendekan
daging. Pada pH normal 5,4-5,8 menghasilkan susut masak yang lebih besar dari
pada susut masak daging regang dengan panjang serabut yang sama.
b. Daya Putus Daging (DPD)
Beberapa peneliti menemukan korelasi antara daya putus dengan
kandungan kolagen pada otot Longissimus dorsi dan Semitendinosus yang cukup
rendah (Reagan dkk., 1976; Jeremiah dan Martin, 1981). Sorensen (1981)
mengemukakan bahwa kandungan dan solubilitas kolagen hanya dapat
menjelaskan variasi keempukan sebesar 15 - 20 % pada otot Longissimus dorsi dan
Semitendinosus dari ternak dengan genotip dan umur yang sama. Abustam (1987)
memperlihatkan bahwa kandungan kolagen daging sapi bervariasi, tergantung pada
jenis otot dan umur ternak, variasi ini sangat besar pada otot empuk dan ternak umur
muda yang mana 48 - 66 % dapat menjelaskan variasi keempukan daging. Semakin
tinggi kadar kolagen maka semakin rendah suhu awal kontraksi dan semakin
penting tegangan maksimal (maximal tension) selama pemanasan daging.
Menurut Dransfield (1977) dalam Lawrie (2003) bahwa kadar kolagen
nampaknya merupakan penduga yang baik bagi kekerasan daging mentah jika
perbandingan dilakukan pada otot-otot yang berbeda dari umur yang sama.
Sebaliknya pengukuran kadar kolagen nampaknya kurang sensitif jika
perbandingan dilakukan pada otot yang sama dan berasal dari ternak yang berbeda.
Kadar kolagen bukanlah faktor tersendiri dalam menjelaskan variasi kekerasan
jaringan ikat. Pelayuan dapat meningkatkan daya ikat air pada berbagai macam pH
karena terjadinya perubahan hubungan air dan protein, yaitu peningkatan muatan
melalui absorbsi ion K dan pembebasan ion Ca+, tetapi penyimpanan yang terlalu
lama akan menurunkan daya ikat air dan terjadinya perubahan struktur otot.
Walaupun pelayuan dapat meningkatkan daya ikat air tetapi sangat dipengaruhi
oleh pH dan pada akhirnya daging kehilangan cairannya. Pelayuan pada temperatur
(0-1)°C selama 21 hari dapat meningkatkan daya ikat air dan keempukan daging
Sapi serta menurunkan susut masak (cooking loss) dan penyusutan daging (Tabrani,
2001).
Keempukan daging dapat diukur dengan melihat daya putus daging dengan
menggunakan alat CD Shear Force. Uji daya putus daging merupakan pengujian
yang dilakukan untuk mengetahui tingkat kealotan dari daging, semakin tingggi
nilai daya putus daging suatu sampel daging maka semakin tinggi pula tingkat
kealotannya. Faktor utama yang mempengaruhi tingkat kealotan daging adalah
jumlah kolagen dan tingkat kelarutan kolagen (Lawrie, 2003) dalam (Ma’arif,
2009).
c. DIA (Daya Ikat Air)/ WHC (Water Holding Capacity)
Daya ikat air oleh protein daging atau water holding capacity adalah
kemampuan daging untuk mengikat air. Air yang terikat di dalam otot dapat dibagi
menjadi 3 kompartemen air, yaitu air yang terikat secara kimiawi oleh protein otot
sebesar 4-5% sebagai lapisan monomolekular pertama; air terikat agak lemah
sebagai lapisan kedua dari molekul air terhadap grup hidrofilik, sebesar kira-kira
4%, dan lapisan kedua ini akan terikat oleh protein bila tekanan uap air meningkat.
Lapisan ketiga adalah molekul-molekul air bebas diantara molekul protein,
berjumlah kira-kira 10%.
Jumlah air yang terikat (lapisan pertama dan kedua) adalah bebas dari
perubahan molekul yang disebabkan oleh denaturasi protein daging, sedangkan
jumlah air terikat yang lebih lemah yaitu lapisan diantara molekul protein akan
menurun bila protein daging mengalami denaturasi. Beberapa faktor dapat
mempengaruhi daya ikat air protein daging termasuk pH, stress, bangsa,
pembentukan akto-myosin (rigormortis), temperatur dan kelembaban, pelayuan
karkas dan aging, tipe otot dan lokasi otot, spesies, umur, fungsi otot, pakan, dan
lemak intramuskuler (Soeparno, 2011).
Hampir semua air dalam urat daging berada dalam miofibril, dalam ruang
interfilamen tebal dan filamen tipis. Ruang interfilamen sebagian besar menentukan
daya mengikat air dari protein miofibril. Semakin tinggi pH akhir maka daya
mengikat air semakin kecil. Tingkat penurunan pH semakin cepat, akan
meningkatkan aktomiosin untuk berkontraksi karena semakin banyak protein
sarkoplasmik yang terdenaturasi, sehingga akan memeras cairan keluar dari protein
daging.
Daya ikat air dan pH memiliki keterkaitan yang erat. Jika konsentrasi
glikogen otot pada pemotongan cukup, maka pH akan mengalami penurunan dari
7,2 menjadi 5,5 setelah rigormortis dan daging akan lebih empuk. Laju penurunan
pH karkas (postemortem) juga merupakan penentu utama dari daya ikat air. Besar
penurunan pH karkas (postemortem), akan mempengaruhi daya ikat air dan makin
tinggi pH akhir makin kurang daya ikat air daging (Lawrie, 2003).
III. METODOLOGI PRAKTIKUM
3.1 Waktu dan Tempat
Praktikum ini akan dilaksanakan pada Bulan November 2018 di Laboratorium
Pengolahan, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Jambi, Pondok Meja.

3.2 Bahan dan Alat


Bahan baku yang digunakan dalam praktikum ini adalah daging ayam petelur
afkir yang berumur 24 bulan bagian dada sebanyak 700 gram. Nanas sebagai
sumber enzim bromelin sebanyak 600 ml. Sebagai bahan pelarut digunakan
akuades. Peralatan yang digunakan dalam praktikum ini adalah pisau, gelas ukur,
blender, timbangan analitik, saringan, batang pengaduk, tabung erlenmeyer, oven,
desikator, vortexs, sentrifuse, termometer, pH meter, mangkuk tempat merendam
sampel, stopwatch, panci, kompor gas serta alat tulis.

3.3 Metode praktikum


Praktikum ini dilakukan dengan 4 taraf perlakuan. Berat daging yang
digunakan tiap perlakuan perendaman sebanyak 100 gram. Perlakuan adalah
perendaman daging dalam ekstrak nanas yang terdiri dari 4 taraf perlakuan yakni:
P1 = Daging ayam petelur afkir : ekstrak nanas 0 %
P2 = Daging ayam petelur afkir : ekstrak nanas ( 90 ml ) 15%
P3 = Daging ayam petelur afkir : ekstrak nanas ( 165 ml ) 27,5%
P4 = Daging ayam petelur afkir : ekstrak nanas ( 240 ml ) 40%

3.4 Prosedur Kerja


Dilakukan persiapan bahan yaitu bahan kulit Nanas yang telah dibersihkan
dengan air diiris kecil-kecil (diameter 0,5 cm), lalu kulit Nanas diblender hingga
halus kemudian disaring untuk mendapatkan ekstrak Nanas. Penyiapan daging
ayam petelur afkir bagian dada dengan cara melakukan deboning (pemisahan
daging dari tulang). Lalu dilakukan perendaman dalam ekstrak kulit Nanas sesuai
perlakuan selama 30 menit dengan suhu 60°C. setelah itu dilakukan perebusan
masing-masing daging dengan suhu 80°C selama 16 menit 45 detik.
3.5 Parameter Pengamatan
3.5.1 Analisis Daya Ikat Air (Hamm, 1972)
Kapasitas daya ikat air (DIA) oleh protein daging dapat ditentukan dengan
metode sentrifuse, yaitu sebanyak 10 gram daging dicacah halus dimasukkan ke
dalam tabung sentrifuse 50 ml. Akuades sebanyak 10 ml dimasukkan ke dalam
tabung. Setelah itu, tabung disentrifuse dengan kecepatan 3.000 rpm selama 20
menit. Cairan dipisahkan dari campuran dan diukur volumenya atau didekantasi dan
diukur volume air yang tidak diserap. Selanjutnya dihitung dengan menggunakan
rumus:
vol. air yang dtambahkan − vol. air sisa
% DIA = × 100%
Berat Sampel (gr)
3.5.2 Analisis pH
Analisis pH daging ayam ditentukan berdasarkan analisis kimia menurut
SNI (1992). Pertama-tama, daging yang telah direndam dalam ekstrak limbah kulit
Nanas ditimbang sebanyak 1 gram. Kemudian digiling selama 1 menit dan
ditambahkan akuades 10 ml. setelah itu, dituangkan ke dalam gelas piala 100 ml.
Elektroda dicelupkan ke dalam gelas piala yang telah berisi daging ayam afkir yang
telah dihaluskan. Pembacaan pH dilakukan apabila skala pH meter stabil.

3.5.3 Uji Organoleptik (Soekarto, 1985)


Pengujian terhadap organoleptik daging ayam petelur afkir dengan
penambahan ekstrak nanas menggunakan metode uji mutu hedonik dengan 15
orang panelis agak terlatih. Setiap panelis mengisi format uji organoleptik. Panelis
memberikan penilaian berdasarkan kriteria yang sudah ditentukan pada uji
organoleptik. Uji organoleptik dilakukan untuk menilai keempukan, aroma dan
warna.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Daya Ikat Air
Pengujian daya ikat air daging dilakukan dengan menggunakan sampel
seberat 10 gram untuk setiap konsentrasinya, pertama daging ayam petelur afkir
diberi perlakuan dengan perendaman terhadap enzim bromelin dengan konsentrasi
yang berbeda-beda yaitu secara berturut-turut sebanyak 0 %, 15 %, 27,5 % dan 40
% yang diperoleh dari ekstrak nenas, kemudian dihaluskan serta dimasukkan ke
dalam tabung sentrifius, diperoleh 4 tabung sentrifius dengan sampel daging yang
sudah dihaluskan dan kemudian ditambahkan dengan 10 ml air. Dalam proses
sentrifugasi menggunakan kecepatan 3000 rpm selama 20 menit. Kemudian
endapan yang terbentuk dipisahkan dari airnya, untuk penentuan daya ikat air
dilakukan pengurangan volume awal dengan volume akhir air hasil sentrifugasi.
Hasil nilai daya ikat air daging ayam petelur afkir dengan penambahan ekstrak
nanas dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Nilai Daya Ikat Air dengan Penambahan Konsentrasi Ekstrak Buah Nanas
yang Berbeda.
Perlakuan % DIA (%)
0 18
15 14
27,5 20
40 16

Daya ikat air pada perlakuan 15% lebih tinggi dibandingkan daya ikat air pada
perlakuan 0%, 27,5% dan 40%. Kapasitas mengikat air didefinisikan sebagai
kemampuan dari daging untuk mengikat atau menahan air selama mendapat
tekanan dari luar, seperti pemotongan, pemanasan, penggilingan atau pengepresan.
Banyak faktor yang mempengaruhi daya ikat air daging, diantaranya pH, bangsa,
pembentukkan aktomiosin (rigormortis), temperatur dan kelembaban, pelayuan
karkas, tipe daging dan lokasi otot, fungsi otot, umur, pakan dan lemak
intramuskuler (Soeparno, 2009).
Menurut Ockerman (1983), bahwa perbedaan nilai daya mengikat air daging
dipengaruhi oleh kandungan protein dan karbohidrat daging, kandungan protein
daging yang tinggi akan diikuti dengan semakin tingginya daya mengikat air.
Menurut Asryani (2007) ekstrak buah nanas mampu memecah molekul-
molekul protein menjadi lebih sederhana, sehingga kemampuan untuk mengikat air
lebih kuat. Komponen daging untuk mengikat air sangat erat hubungannya dengan
daya ikat oleh protein sebab komponen daging untuk mengikat molekul air sangat
tergantung pada banyaknya gugus reaktif protein. Rendahnya kapasitas mengikat
air dapat terjadi akibat penurunan pH. Laju penurunan pH otot yang cepat akan
meningkatnya kontraksi aktomiosin yang terbentuk, dengan demikian akan
memeras cairan keluar dari dalam daging.

4.2. Nilai pH
Pengempukan daging dengan enzim adalah salah satu metode yang sudah
lama dilakukan. Secara biokimia, pelunakkan daging dapat dianggap sebagai proses
degradasi protein struktur/serat atau berubahnya struktur kuartener menjadi struktur
sederhana. Salah satu cara untuk mengubah struktur ini adalah melalui hidrolisis
dengan bantuan enzim protease. Ikatan peptide dapat dihrolisis dengan perebusan
di dalam asam kuat atau basa kuat untuk menghasilkan komponen asam amino
dalam bentuk bebas (Oktapiana, 2015). Nilai pH daging ayam petelur afkir yang
diperoleh selama praktikum dapat dilihat pada Tabel. 3.
Tabel 3. Nilai pH Daging Ayam Petelur Afkir dengan Penambahan Konsentrasi
Ekstrak Buah Nanas yang Berbeda.
Perlakuan % pH
0 5.92
15 5,76
27,5 5,27
40 5,65

Tabel 3. menunjukkan bahwa rataan nilai pH daging ayam petelur afkir yang
rendah dalam ekstrak nenas terdapat pada perlakuan 27,5 % yakni 5,27 dan nilai
pH yang tertinggi terdapat pada perlakuan 0 % yakni 5,92. Peningkatan konsentrasi
ekstrak nenas terhadap daging ayam petelur afkir menyebabkan nilai pH menurun.
Menurunnya pH daging ayam petelur afkir dengan meningkatnya larutan ekstrak
kulit nenas pada perlakuan 27,5 % disebabkan di dalam bromelin mengandung
enzim protease yang dapat menghidrolisa protein daging ayam petelur afkir
sehingga dapat menembus membran sitoplasma daging dan berdisosiasi menjadi
CH3COOH (asam asetat) dan H+. Semakin tinggi konsentrasi bromelin yang
digunakan berarti semakin tinggi H+ yang terbentuk, yang akan menurunkan pH
daging ayam karena ion H+ member pengaruh terhadap derajat keasaman yang
menyebabkan persentase bromelin banyak tidak terurai. Sesuai dengan pendapat
Brauen dkk (1990), bahwa penggunaan bromelin yang semakin tinggi
mengakibatkan persentase bromelin yang tidak terurai meningkat dan semakin
banyak molekul asam yang tidak terdisosiasi, sehingga banyak menghasilkan H+
yang dapat menurunkan pH daging ayam itu sendiri. Praktikum ini juga
menunjukkan bahwa penggunaan bromelin dalam perendaman daging ayam sampai
konsentrasi 27,5 % akan menurunkan pH daging ayam.
Perubahan nilai pH daging setelah dipotong disebabkan karena terjadinya
perubahan biokimia konversi otot menjadi daging. Tidak adanya darah setelah
hewan dipotong menyebabkan penyediaan oksigen ke otak berhenti dan tidak ada
lagi glikogen dalam otot sehingga hasil sisa metabolisme tidak dapat dikeluarkan
dari otot dan mulai terjadi perubahan pada otot menjadi daging meliputi perubahan
suhu, perubahan pH dan terjadinya proses rigor mortis (Soeparno 2009).

4.3. Uji Organoleptik


4.3.1 Uji Mutu Hedonik
Berdasarkan hasil uji mutu hedonik warna daging ayam petelur afkir yang
direndam dalam ekstrak buah nenas berbagai konsentrasi, panelis memberikan
penilaian yang berbeda setiap konsentrasi. Penilaian organoleptik dilakukan oleh
15 orang panelis agak terlatih. Konsentrasi ekstrak buah nenas yang digunakan
yaitu 15%, 27,5%, 40% dan 0% sebagai kontrol. Hasil organoleptik uji mutu
hedonik dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Uji Mutu Hedonik Sifat Fisik Daging Ayam Petelur Afkir dengan
Penambahan Konsentrasi Ekstrak Buah Nanas yang Berbeda.
Mutu Hedonik
Panelis
Warna Tekstur
0% 15% 27,50% 40% 0% 15% 27,50% 40%
1 3 4 3 2 3 3 4 4
2 3 5 2 2 2 3 4 2
3 3 5 3 2 2 3 4 4
4 3 4 2 2 3 3 4 4
5 3 4 3 2 2 2 3 4
6 4 3 3 4 2 3 3 4
7 4 4 3 2 3 2 4 4
8 4 4 3 2 2 3 4 2
9 3 3 2 4 3 3 3 3
10 4 3 2 3 4 2 4 3
11 4 4 4 3 3 3 4 3
12 3 5 3 2 3 2 3 4
13 4 4 4 3 2 2 3 4
14 4 4 4 3 2 2 4 3
15 3 5 3 2 3 3 3 4
Jumlah 52 61 44 38 39 39 54 52
Rata-rata 3,5 4,1 2,9 2,5 2,6 2,6 3,6 3,5
Keterangan :
5 = Sangat cerah/ Empuk
4 = Cerah/ Empuk
3 = Agak cerah/ Empuk
2 = Tidak cerah/ Empuk
1 = Sangat tidak cerah/ Empuk
Pada warna, rata-rata penilaian yang diperoleh yaitu 3,5 (agak cerah-cerah)
untuk kontrol, sampel penambahan 15% ekstrak buah nenas yaitu 4,1 (cerah-sangat
cerah), sampel penambahan 27,5% esktrak buah nenas yaitu 2,9 (tidak cerah-agak
cerah), dan sampel penambahan 40% ekstrak buah nenas yaitu 2,5 (tidak cerah-
agak cerah). Dan untuk tekstur rata-rata penilaian yang diperoleh yaitu 2,6 (tidak
empuk-agak empuk) untuk sampel kontrol, sampel penambahan 15% ekstrak buah
nenas yaitu 2,6 (tidak empuk-agak empuk), sampel penambahan 27,5% esktrak
buah nenas yaitu 3,6 (agak empuk-empuk), dan sampel penambahan 40% ekstrak
buah nenas yaitu 3,5 (agak empuk-empuk).
Pada parameter warna diperoleh dengan penambahan ekstrak buah nenas
mempengaruhi warna daging afkir ayam petelur yang dihasilkan, perlakuan terbaik
adalah dengan penambahan 15% ekstrak buah nenas dengan warna cerah hingga
sangat cerah. Kemudian untuk tekstur diperoleh dengan penambahan ekstrak buah
nenas mempengaruhi tekstur daging ayam petelur afkir yang dihasilkan, perlakuan
terbaik adalah dengan penambahan 27,5% ekstrak buah nenas dengan tekstur yang
agak empuk hingga empuk.
Menurut Lawrie (2003) warna daging dipengaruhi oleh beberapa faktor,
termasuk pakan, spesies, bangsa, umur, jenis kelamin, stres (tingkat aktivitas dan
tipe otot), pH dan oksigen. Faktor-faktor tersebut dapat mempengaruhi penentu
utama warna daging yaitu konsentrasi pigmen daging mioglobin. Tipe molekul
mioglobin, status kimia mioglobin dan kondisi kimia serta fisik komponen lain
dalam daging mempunyai peranan besar dalam menentukan warna daging.
Penilaian keempukkan merupakan salah satu faktor yang sangat
mempengaruhi persepsi konsumen terhadap daya terima dan menentukan kualitas
daging. Daging yang empuk lebih disukai dibandingkan daging yang liat. Prinsip
pengujian keempukkan daging dapat dilakukan secara organoleptik salah satunya
dengan cara pengujian yang dilakukan oleh panelis (Winarno, 2004).
Sudrajat (2003) menyatakan bahwa jaringan ikat merupakan faktor penting
dalam menentukan keempukkan daging. Selanjutnya dikatakan bahwa makin
banyak jaringan ikat pada daging maka keempukkan semakin rendah. Enzim dapat
memotong ikatan peptida terdapat didalam myosin sehingga terpotongnya ikatan
peptida yang mengakibatkan perubahan pada myofibril yang terdiri dari aktin dan
miosin. Peningkatan keempukkan terjadi karena melemahnya ikatan niosin ke
aktin. Salah satu faktor yang dapat melemahkan ikatan miosin dan aktin yaitu
dengan penambahan enzim bromelin pada buah nenas sehingga dapat
meningkatkan keempukkan daging.
4.3.2 Uji Penerimaan Keseluruhan
Pada uji penerimaan keseluruhan (hedonik) panelis diminta mengungkapkan
tanggapan pribadi tentang kesukaan atau ketidaksukaan, sekaligus tingkatannya.
Tingkat kesukaan disebut skala hedonik, misalnya sangat suka, suka, agak suka,
suka, agak tidak suka, tidak suka, dan sangat tidak suka (Rahayu, 1998).
Penilaian keseluruhan panelis dilakukan dengan mengarahkan panelis untuk
menilai ke empat sampel dengan konsentrasi berbeda mengenai penerimaan
keseluruhan (hedonik) terhadap sampel. Hasil uji penerimaan keseluruhan dapat
dilihat pada tabel 3.
Tabel 3. Uji Penerimaan Keseluruhan Sifat Fisik Ayam Petelur Afkir dengan
Penambahan Konsentrasi Ekstrak Buah Nanas yang Berbeda.
Konsentrasi Ekstrak Buah Nanas
Panelis
0% 15 % 27,50 % 40 %
1 3 4 4 3
2 2 3 4 1
3 2 3 4 3
4 2 3 4 3
5 2 3 2 3
6 2 3 3 4
7 4 3 2 2
8 4 4 3 2
9 2 3 4 3
10 2 4 4 3
11 3 3 4 3
12 2 3 3 3
13 4 3 4 2
14 2 3 3 4
15 3 2 3 3
Jumlah 39 47 51 42
Rata-rata 2,6 3,13 3,4 2,8
Keterangan:
5 = sangat suka
4 = suka
3 = agak suka
2 = tidak suka
1 = sangat tidak suka
Berdasarkan data penilaian organoleptik untuk sampel 0% atau tidak ada
perendaman dengan ekstrak kulit nanas diperoleh rata sebesar 2,6 (tidak suka-suka).
Penilaian ini diikuti oleh parameter warna dan tekstur dari sampel 0 %. Warna dari
sampel 0 % menunjukkan nilai rata-rata 3,5 (agak cerah-cerah) namun tekstur dari
sampel konsentrasi 0 % menunjukkan nilai rata-rata 2,6 (tidak empuk-agak empuk).
Berdasarkan data penilaian organoleptik untuk sampel dengan perendaman
ekstrak kulit nanas 15% diperoleh rata-rata nilai penerimaan keseluruhan sebesar
3,13 (agak suka). Dengan penampakan keseluruhan meliputi warna dan tekstur dari
sampel dengan 15% ekstrak kulit nanas yang dihasilkan yaitu warna 4,1 (cerah-
sangat cerah) dan tekstur 2,6 (tidak empuk-agak empuk).
Berdasarkan data penilaian organoleptik untuk sampel dengan perendaman
ekstrak kulit nanas 27,5% diperoleh nilai rata-rata penerimaan keseluruhan tertinggi
dari sampel lainnya yaitu sebesar 3,4 (agak suka-suka). Dengan penampakan
keseluruhan meliputi warna dan tekstur dari sampel 27,5% ekstrak kulit nanas yang
dihasilkan yaitu warna 2,9 (tidak cerah-agak cerah) dan tekstur 3,6 (agak empuk-
empuk).
Berdasarkan data penilaian organoleptik untuk sampel dengan perendaman
ekstrak kulit nanas 40% diperoleh nilai rata-rata yaitu sebesar 2,8 (tidak suka-agak
suka). Dengan penampakan keseluruhan meliputi warna dan tekstur dari sampel 40
% ekstrak kulit nanas yang dihasilkan yaitu warna 2,5 (tidak cerah-agak cerah) dan
tekstur 3,5 (agak empuk-empuk).
Berdasarkan data penerimaan keseluruhan (hedonik) yang paling disukai
panelis adalah sampel dengan 27,5% ekstrak kulit nanas dengan nilai rata-rata 3,4
(agak suka-suka).
V. PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Perendaman daging ayam petelur afkir dengan ekstrak nenas (Ananas comosus
L. Merr) berpengaruh terhadap keempukan, daya ikat air, pH dan sifat organoleptik.
Perlakuan terbaik pendaman daging ayam petelur afkir dengan ekstrak buah nanas
(Ananas comosus L. Merr) pada konsentrasi 27,5 % karena dapat meningkatkan
keempukan dan aroma serta menurunkan daya ikat air dan pH.

5.2 Saran
Saran yang diberikan terkait dengan praktikum ini adalah perlu adanya lanjutan
tentang nilai gizi dan sifat mikrobiologis ayam petelur afkir dengan menggunakan
ekstrak nenas.
DAFTAR PUSTAKA

Anggraeni. 2005. Sifat Fisik Daging Dada Ayam Broiler Pada Berbagai Lama
Postmortem Di Suhu Ruang. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Asryani, D. M. 2007. Eksperimen Pembuatan Kecap Manis dari Biji Turi dengan
Bahan Ekstrak Buah Nanas. Jurnal of science. Fakultas Teknik. Universitas
Negeri Semarang. Semarang.

Astawan, M. 2008. Teknologi Pengolahan Pangan Hewani Tepat Guna. Jakarta:


Akademi Presindo.

Aulia. 2010. Pedoman Bertanam Buah Nenas. Bandung: Tim Karya Tani Mandiri.
Berdasarkan Variasi pH. Jurnal Ilmiah Biologi Biogenesis. Volume 1, Nomor
2, halaman: 116 – 122. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Brauen, A.L., P.M. Davidson and S. Salminen. 1990. Food Additive. Marcel
Dekker Inc. New York.

Chueachuaychoo et al., 2011. Quality Characteristics Of Raw And Cooked Spent


Hen Pectoralis Major Muscles During Chilled Storage: Effect Of Salt And
Phosphate. Thailand: Prince of Songkla University

Davey, C. L., & Gilbert, K. V.1974. Temperature-Dependent Cooking Toughness


In Beef. Journal of the Science of Food and Agriculture, 25(8), 931–938 Diakses
dari https://www.researchgate.net/publication/324134339_Contribution_ofcol
lagen_and_connective_tissue_to_cooked_meat_toughness_some_paradigms_r
eviewed

Forrest, J.C., E.B. Aberle, H.B. Hedrick, M.D. Judge dan R.A. Merkel. 1975.
Principles of Meat Science. San Fransisco: W.H. Freeman and Co.

Hartadi, H., L.C. Kearl, S. Reksohadiprojo, L.E. Harris dan S. Lebdosukoyo. 1980.
Tabel-Tabel Dari Komposisi Bahan Makanan. Data ilmu makanan ternak untuk
Indonesia. Yogyakarta: Gadjahmada University Press.

Herdyastuti N. 2006. Isolasi dan Karakterisasi Ekstrak Kasar Enzim Bromelin dari
Batang Nanas (Ananas comusus L.merr). Berk.Penel.Hayati.Vol. 12: 75– 77.
Hero, F. 2008. Perkembangan Ekspor Nanas Indonesia sebagai Salah Satu
Komoditas Pertanian dalam Upaya Daya Saing Pasar Dunia. Web-site :
http://agribisnis.deptan.go.id. Diakses: Tanggal 16 Desember 2018.

Irma, K., Arief, Dede Z dan Ela, T.S. 1997. Pengaruh Konsentrasi Getah Pepaya
(Carica papaya, Linn) dan Waktu Hidrolisis terhadap Hidrolisat Protein
Kepala Udang Windu (Karapaks penaeus monodon). Prosiding Seminar Tel
Pangan. Hal: 271 – 282.

Jeremiah dan Martin. 1981. The Effects Of Various Post-Mortem Treatments On


Certain Physical And Sensory Properties Of Three Different Bovine Muscles.
Canada: Canada Press.

Khairuddin. 2008. Kandungan Protein dan Organoleptik Abon Daging Ayam


Petelur Afkir dengan Suhu dan Waktu Perebusan yang berbeda. Skripsi
Fakultas Pertanian dan Peternakan. Riau: Universitas Islam Negeri Sultan
Syarif Kasim Riau Pekanbaru.

Kusnawidjaja, Kurnia, Prof. DR. 1993. Biokimia. Bandung: Penerbit Alumni.

Lawrie, R.A. 2003. Ilmu Daging. Terjemahan Aminuddin P. Jakarta: Penerbit


Universitas Indonesia Press.

Lehninger, A. L. 1982. Dasar Biokimia I. Diterjemahkan oleh Maggy


Thenawidjaja. Jurnal Teknologi Proses Media Publikasi Karya Ilmiah Teknik
Kimia, Volume 6 (1).

Lukman, D.W. et al. 2008. Higiene Pangan. Fakultas Kedokteran Hewan. Bogor:
Institut Pertanian Bogor.

Ma’arif, A. 2009. Pengaruh Asap Cair Terhadap Kualitas Bakso Daging Sapi Bali.
Skripsi. Makassar: Fakultas Peternakan, Universitas Hasanuddin.

Maryam, Siti. 2009. Ekstrak Enzim Bromelin dari Buah Nanas (Ananas sativus
Schult.) dan Pemanfaatannya Pada Isolasi DNA. Skripsi. Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam. Semarang: Universitas Negeri Semarang.

Mountney G. J. dan G. R. Parkhurst. 1995. 3rd ed. Poultry Product Technology.


New York: The Haworth Press, Inc.
Muchtadi, D, S.P. Nurheni dan M. Astawan. 1992. Enzim dalam Industri Pangan.
Bogor: Insitut Pertanian Bogor.

Murtidjo, B. A. 2003. Pedoman Beternak Ayam Broiler. Yogyakarta: Kanisius,

Nurhidayah., Masriany dan Masri, M. 2013. Isolasi dan Pengukuran Aktivitas


Enzim Bromelin dari Ekstrak Kasar Batang Nanas (Ananas comosus). Jakarta:
UPN Veteran.
Oktapiana, Vina. 2015. Aplikasi Enzim Papain dan Bromelin pada Proses
Pengempukkan Daging. [Online]. Diakses dari https:// vinaoktap 2018.
wordpress.com/2018/12/16/aplikasi-enzim-papain-dan-bromelin-pada
proses-pengempukan-daging/.

Palmer, T.1995. Understanding Enzymes, 4th edition, London: Toronto


Rahayu. 1998. Pedoman Uji Inderawi Bahan Pangan. UGM. Yogyakarta.

Reed, Gerald. 1975. Enzymes in Food Processing Second Edition. New York:
Academic Press Inc.

Silaban, Ramlan. 2009. Studi Pemanfaatan Enzim Papain Getah Buah Pepaya
Untuk Melunakkan Daging. Medan: Universitas Negeri Medan..

Silverstein, R. M., and Kezdy, F. J. 1975. Characterization of the Pineapple Stem


Proteases (Bromelains). Archives of Biochemistry and Biophysics. 167: 678-
686.

Soedaryo, A. 2009. Agribisnis Nanas. Bandung: CV. Pustaka Grafika.

Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Yogyakarta: UGM Press.


Sudrajat, A. 2003. Pengaruh Temperatur dan Lama Pemasakan terhadap
Karakteristik Fisik dan Organoleptik Daging Ayam Broiler. [Skripsi].
Yogyakarta: Fakultas Peternakan, Universitas Gadjah Mada.

Supartono. 2004. Karakterisasi Enzim Protease Netral dari Buah Nenas Segar.
Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Tabrani, H. 2001. Pengaruh proses pelayuan terhadap Keempukan daging (Suatu


Tinjauan Filsafat sains). Diakses dari www:http//herman_htm.

Utami, D. P, Pudjomartatmo dan A. M. P. Nuhriawangsa. 2011. Manfaat Bromelin


dari Ekstrak Buah Nenas (Ananas comosu L. Merr) dan Waktu Pemasakan
untuk Meningkatkan Kualitas Daging Itik Afkir. Sains Peternakan Vol. 9 (2).
September 2011: 82-87.

Whitaker JR., 1994. Principle of Enzymology for the Food Science. New York:
Marcel Decker, 29–62.

Winarno, F. G. 1986. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Utama.
Winarno, F.G. 1993. Pangan, Gizi, Teknologi dan Konsumen. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
Winarno, F.G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama.

Wirahadikusumah, M. 1997. Biokimia: Protein, Enzim dan Asam Nukleat.


Bandung: ITB Press.
LAMPIRAN

A. Perhitungan

vol. air yang dtambahkan − vol. air sisa


% DIA = × 100%
Berat Sampel (gr)

 Konsentrasi 0%
10 ml − 8,2
%DIA = × 100% = 18%
10 gr
 Konsentrasi 15%

10 ml − 8,6
%DIA = × 100% = 14%
10 gr

 Konsentrasi 27,5%
10 ml − 8
%DIA = × 100% = 20%
10 gr

 Konsentrasi 40%
10 ml − 8,4
%DIA = × 100% = 16%
10 gr
B. Gambar

Gambar 1. Buah nenas yang Gambar 2. Penghalusan


Telah dikupas dan dicuci dengan blender
Gambar 3. Nanas yang telah halus Gambar 4. Proses
penyaringan

Gambar 5. Hasil penyaringan Gambar 6. Proses pembersihan


daging

Gambar 7. Proses perendaman daging


pada suhu 60°C

Anda mungkin juga menyukai