Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ikan nilem (Osteochillus hasselti) merupakan ikan khas kawasan priangan
yang memiliki potensi besar untuk ditingkatkan produksinya. Mengingat potensi
ikan nilem selain memiliki protein dari dagingnya juga memiliki telur yang sangat
digemari masyarakat untuk dikonsumsi karena rasanya lezat dan dapat digunakan
sebagai pengganti kaviar. Ikan nilem saat ini bukan produk unggulan budidaya di
Indonesia jika dibandingkan ikan mas, nila maupun lele. Berdasarkan data
stastistik produksi ikan di Jawa Barat total produksi ikan nilem yaitu sebesar
6.562,91 ton, lebih rendah dibandingkan total produksi ikan mas sebesar
158.822,08 ton (DKP Jabar 2010 dalam Pusat Data Statistik dan Informasi
Sekretariat Jenderal KKP 2013).
Menginggat telur ikan nilem mempunyai peluang usaha yang tinggi dan
untuk meningkatkan produksi benihnya, maka dapat dilakukan dengan cara
memanipulasi induk betina yang dapat memproduksi telur dengan waktu
pemijahan yang pendek. Menurut Sumantadinata (1997) manipulasi hormonal
dapat dilakukan antara lain dengan manipulasi hipofisis atau gonad untuk
menghasilkan hormon yang dapat mempercepat kematangan gonad, ovulasi dan
pemijahan.
Manipulasi hormonal yang dapat dilakukan untuk mempercepat
kematangan gonad yaitu dengan cara menambah hormon testosteron alami atau
hormon testosteron sintetik (salah satunya hormon 17-metiltestosteron) pada
pakan ikan nilem. Ernawati (1999) menyatakan bahwa implantasi analog LH-RH
dan 17-metiltestosteron yang diberikan secara tunggal atau dikombinasikan
dapat mempercepat proses kematangan gonad pada ikan jambal siam.
Peningkatan produktifitas induk ikan dapat dilakukan dengan
meningkatkan perkembangan kematangan gonad dan meningkatkan jumlah telur
yang dihasilkan melalui perbaikan nutrisi pada pakan induk. Kematangan gonad
ikan dapat dilihat dari beberapa parameter seperti Gonado Somatik Indeks (GSI),

1
diameter telur dan tingkat kematangan telur. Komponen penting dalam proses
pematangan telur yaitu proses vitelogenesis. Proses vitelogenesis memerlukan
interaksi factor eksternal dan internal. Salah satu factor eksternal yang
mempengaruhi yaitu paka baik kualitas maupun kuantitasnya. Pakan dengan
kualitas baik mengandung protein, lemak, dan vitamin E yang sesuai dengan
kebutuhan ikan sebagai pembentuk vitelogenin. Untuk factor internal yaitu
ketersediaan hormon-hormon steroid di dalam gonad yaitu estradiol-17beta (Sinjal
2007).
Salah satu hormon yang dapat diaplikasikan untuk memprecepat
kematangan gonad adalah penggunaan bahan alami yang mengandung hormon
atau fitohormon salah satunya adalah fotstrogen. Bahan ini terdapat pada biji
kecipir, biji bunga matahari testis sapi. Dengan adanya kandungan vitamin E dan
asam lemak esensial pada biji kecipir,biji bunga matahari dan testis sapi dapat
berperan meningkatkan proses pematangan gonad. Maka dengan itu dapat
dijadikan dasar untuk melakukan penelitian mengenai pengaruh pemberian biji
kecipir dan biji bunga matahari sebagai upaya untuk meningkatkan proses
pematangan gonad.

1.2 Identifikasi Masalah


Masalah yang dapat diidentifikasi adalah sampai sejauh mana pengaruh
pengaruh pemberian tepung biji bunga matahari, biji kecipir dan tepung testis
terhadap tingkat kematangan gonad ikan nilem (Osteochilus hasselti).

1.3 Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh dan jumlah
pemberian tepung biji bunga matahari, biji kecipir dan tepung testis sapi yang
paling efektif untuk meningkatkan kematangan gonad ikan nilem (Osteochilus
hasselti).
1.4 Kegunaan
Kegunaan penelitian ini adalah untuk memberikan informasi kepada
pembaca pada umumnya dan pembudidaya ikan pada khususnya tepung biji
bunga matahari, biji kecipir dan tepung testis sapi akan meningkatkan kematangan
gonad ikan nilem (Osteochilus hasselti).

1.5 Kerangka Pemikiran


Peningkatan usaha budidaya ikan yang semakin intensif menuntut
tingginya kebutuhan pakan yang praktis dan terjamin ketersediaannya. Hal ini
dapat dilihat dengan adanya penggunaan pakan buatan yang berbentuk pelet
sebagai pengganti pakan alami. Pakan buatan adalah pakan yang terdiri dari
campuran bahan alami yang diolah sedemikian rupa sehingga bentuk alami dari
bahan bakunya tidak nampak lagi (Djajasewaka, 1999).
Kebutuhan makro nutrient maupun mikro nutrient pada pakan induk ikan
adalah salah satu factor penentu dalam perkembangan gonad dan oosit, terutama
pada awal perkembangan telur (Sinjal, 2007). Sehingga, pemberian pakan yang
mengandung protein, asam lemak esensial, vitamin E, dan fitohormon dapat
mempengaruhi tingkat kematangan gonad ikan nilem. Biji bunga matahari dan biji
kecipir memiliki kandungan nutrisi tersebut.
Fungsi paling nyata dari vitamin E adalah sebagai antioksidan, terutama
untuk melindungi asam lemak tidak jenuh pada fosfolipid dalam membrane sel.
Menurut Lie et al. (1994) dalam Mokoginta et al. (2000) diketahui pada ikan
salmon bahwa vitamin E, diangkut dari jaringan perifheral ke gonad melalui hati
bersama lipoprotein plasma, hal ini menunjukan adanya peran vitamin E pada
proses reproduksi ikan.
Menurut penelitian Fitriani (2014) pemberian tepung biji bunga matahari
sebanyak 5% per kg pakan memberikan hasil GSI sebesar 23,36%, fekunditas
sebesar 272 butir/gram bobot induk, diameter telur sebesar 1,203 mm, dan telur
mencapai kematangan telur pada fase GVBD (Germinal Vesicle Breakdown)
sebesar 87,67% pada induk ikan komet. Sedangkan menurut Diani (2014)
pemberian tepung biji kecipir sebanyak 5% per kg pakan memberikan hasil GSI
sebesar 16.4%, Hepatosmatik Indeks (HI) 0,77%, diameter telur sebesar 1,22 mm,
fekunditas sebanyak 205 butir/gram bobot induk dan telur mencapai kematangan
telur pada fase GVBD (Germinal Vesicle Break Down) sebesar 95% pada induk
ikan komet.
Pengaruh pemberian hormon testosteron terhadap fekunditas ikan
ditunjukan oleh pernyataan dari beberapa peneliti. Pamungkas (2006) menyatakan
bahwa konsentrasi hormon 17-metiltestosteron sebanyak 150 g/kg bobot tubuh
memberikan pengaruh tertinggi terhadap perkembangan diameter telur rata-rata
dan indeks gonado somatik ikan belida. Sedangkan menurut Ernawati (1999)
Analog LH RH (400 g/ikan) atau 17-metiltestosteron (1000 g/ikan) yang
diimplantasikan secara tunggal ke dalam tubuh induk jambal siam dengan bobot
2500 3000 g dapat secara efisien meningkatkan kematangan telur sampai 98%
serta daya fertilitas dan daya tetas telur masing masing 94 %.
Waduk Cirata

Budidaya Ikan di Keramba Jaring Apung

Ikan Nilem

Pakan Mengandung Hormon

Pematangan Gonad Meningkat

Peningkatan Stok Telur Ikan Nilem Melimpah


Fekunditas&GSI

Ikan Nilem Terjaga Kelangsungan Hidupnya

Gambar 1. Alir Kerangka Pemikiran

1.6 Hipotesis
Berdasarkan kerangka pemikiran, maka pemberian tepung biji bunga
matahari, biji kecipir dan tepung testis sapi pada pakan akan meningkatkan tingkat
kematangan gonad pada ikan nilem.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Biologi Ikan Nilem


Klasifikasi Ikan Nilem menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Actinopterygii
Ordo : Ostariophysi
Famili : Cyprinidea
Genus : Osteochilus
Spesies : Osteochilus hasselti

Gambar 1 Ikan Nilem (Osteochilus hasselti)

Di Indonesia ikan nilem dikenal dengan nama nilem, lehat, magut, regis,
milem, muntu, palung, palau, pawas, puyau, asang, penopa, dan karper (Saanin,
1984). Daerah penyebarannya meliputi: Malaysia, Thailand, Vietnam, kamboja,
Indonesia (pulau Jawa, Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi) (Djajadiredja et al.
1997). Ikan nilem mempunyai bentuk tubuh pipih, mulut dapat disembulkan.
Posisi mulut terletak diujung hidung (terminal). Posisi sirip perut terletak di
belakang sirip dada (abdominal). Ikan nilem tergolong bersisik lingkaran
14
(sikloid). Rahang atas sama panjang atau lebih panjang dari diameter mata,
sedangkan sungut moncong lebih pendek daripada panjang kepala. Permukaan
sirip punggung berhadapan dengan sisik garis rusuk ke-8 sampai ke-10. Bentuk
sirip dubur agak tegak, permulaan sirip dubur berhadapan dengan sisik garis rusuk
ke-22 atau ke-23 di belakang jari-jari sirip punggung terakhir. Sirip perut dan sirip
dada hampir sama panjang. Permulaan sirip perut dipisahkan oleh 4 4 1/2 sisik
dari sisik garis rusuk ke-10 sampai ke-12. Sirip perut tidak mencapai dubur. Sirip
ekor bercagak. Tinggi batang ekor hampir sama dengan panjang batang ekor dan
dikelilingi oleh 16 sisik (Weber dan de Beaufort 1916 dalam Ferdiana 2012).
Pada umumnya ikan nilem dapat dipelihara pada daerah dengan ketinggian
sekitar 150-1000 metere diatas permukaan laut. Suhu yang optimum untuk
kelangsungan hidup ikan nilem berkisar antara 18 -280 dan pH berkisar antara
6,7-8,6 (Susanto 2006 dalam Ferdiana 2012).

2.2 Kebiasaan Makan Ikan Nilem


Jenis makanan dapat dimakan oleh suatu jenis ikan tergantung kepada
trophic level, ukuran, habitat, musim serta adaptasi alat pencernaannya. Ikan
herbivora akan mempunyai komposisi makanan yang berbeda dengan karnivora.
Komposisi makanan ikan yang berukuran kecil akan berbeda dengan ikan yang
besar hal ini selain karena adanya perbedaan dalam bukaan mulut juga dalam
kemampuan mendapatkan makanan serta kebutuhan gizinya (Handajani dan
Widodo 2010).
Ikan nilem dikelompokkan sebagai omnivora (pemakan segala). Pakannya
terdiri dari detritus, jasad-jasad penempel, perifiton, epifiton dan detritus yang
melekat dan terendam pada permukaan air. Pada stadia larva dan benih, ikan
Cyprinidae memakan fitoplankton dan zooplankton atau jenis alga ber-sel satu
seperti diatom dan ganggang yang termasuk ke dalam kelas Cyanophyceae dan
Chlorophyceae (Syandri, 2004; Cholik et al. 2005 dalam Charisty 2013).
Larva nilem yang masih kecil mula-mula memakan plankton kemudian
ikan yang berukuran lebih besar kebiasaan makannya (feeding habit) bersifat
penggerogot (grazer) untuk mendapatkan epiphyton dan periphyton (ganggang
penempel) yang tumbuh di permukaan daun tanaman air. Ditinjau dari
karakteristik saluran pencernaannya, ikan nilem mempunyai usus yang panjang
sehingga tergolong ikan yang cenderung herbivora. Potensi tumbuh cukup tinggi
karena mudah beradaptasi terhadap berbagai jenis pakan dan bagian organ
pencernaannya pada stadia benih sudah mulai lengkap. Ususnya panjang, bagian
akhir dari usus terjadi diferensiasi usus yang lebih lebar yang disebut rectum.
Pada bagian ini tidak lagi terjadi pencernaan, fungsinya selain sebagai alat
ekskresi, juga membantu osmoregulasi (Hoar 1979 dalam Agung 2007).

2.3 Biji Bunga Matahari


Bunga matahari (Helianthus annuus L.) adalah tumbuhan semusim dari
suku kenikir-kenikiran (Asteraceae) yang populer, baik sebagai tanaman hias
maupun tanaman penghasil minyak. Bunga tumbuhan ini sangat khas: besar,
biasanya berwarna kuning terang, dengan kepala bunga yang besar (diameter bisa
mencapai 30 cm). Bunga ini sebetulnya adalah bunga majemuk, tersusun dari
ratusan hingga ribuan bunga kecil pada satu bongkol. Bunga Matahari juga
memiliki perilaku khas, yaitu bunganya selalu menghadap / condong ke arah
matahari atau heliotropisme. Orang Perancis menyebutnya tournesol atau
"pengelana Matahari". Namun, sifat ini disingkirkan pada berbagai kultivar baru
untuk produksi minyak karena memakan banyak energi dan mengurangi hasil.
Helianthus merupakan genus dari tanaman yang terdiri dari sekitar 70
spesies di dalam keluarga Asteraceae, sub family Helianthoidae dan berasal dari
Genus Helianthus. Sejatinya, genus ini merupakan salah satu dari berbagai macam
family Asteraceae yang dikenal dengan sunflower. Berikut ini adalah
nomenklatur dari klasifikasi bunga matahari oleh Carolus Linaeus.
Kingdom : Plantae (Tumbuhan)
Divisi : Magnoliophyta ( Termasuk tumbuhan berbunga)
Class : Magnoliopsida ( Tumbuhan Berkeping dua)
Ordo : Asterales
Famili : Asteraceae
Genus : Helianthus
Spesies : Helianthus annuus L.
Gambar 2. Biji Bunga Matahari

Tanaman bunga matahari dapat tumbuh dengan tinggi mencapai 1-2 m


batang tebal dan kuat tumbuh keatas, biji bunga matahari ini memiliki kulit keras
dan berbentuk pipih memanjang dengan warna keabuan dan kehitaman. Bunga
matahari ini termasuk bunga majemuk yang tersusun dari ribua bunga kecil dalam
satu bonggol. Selain itu, bunga matahari ini juga mempunyai bunga besar dan
berbentuk pita sepanjang tepi tawan dengan warna kining terang.
Bunga matahari memiliki ciri khas yaitu tumbuh kearah cahaya matahari.
Daun bunga matahari ini bertangkai panjang dan lebar dan memiliki bunga yang
saling berhadapan atau selang seling. Batang bunga ini terdiri dari batang lurus
(monodial), dengan mencapai ketinggian 0,3 5 m. Bagian batang berbulu,
berbentuk bulat, batang tumbuh mengangguk, dan mempunyai batang yang basah.
Akar bunga matahari ini dapat mencapai 3 4m, yang mempunyai
perakaran yang kuat sehingga dapat menembus kedalam tanah. Akar bunga ini
halsu, lebat dan mendatar (Neti, 2013: 64:65)
Bagian biji bunga matahari mengandung niasin (B3), asam klorogenik,
phytin dan alkaloid, flavonoid, fitosterol, dan tanin. Kandungan minyak 100 gram
dalam biji bunga matahari mengandung lemak tak jenuh seperti oleat 11, 7 % dan
linoleat 72,9%. Selain itu, biji bunga matahari juga mengandung mineral (natrium,
kalium, kalsium, dan besi ), vitamin B komplek, vitamin , dan serat.
2.3 Biji Kecipir
Kecipir merupakan tanaman yang pada umumnya dimanfaatkan sebagai
bahan utama sayuran yang diambil polong muda dan pucuknya. Kecipir dalam
bahasa latinnya disebut Psophocarpus tetragonolobus, disetiap wilayah indonesia
memiliki nama berbeda-beda cipir, kecipir, cicipir (sebutan dalam bahasa Jawa),
kacang belingbing atau kacang botol (Minang Kabau dan Pantai Barat Sumatra),
jaad (Sunda), kelongkang (Bali), biraro (Ternate dan Manado), kacang embing
(Palembang), kacang botol, kacang botor dan kacang kumbotor (Bahasa Melayu
Pontianak). Dalam bahasa Inggris disebut pula sebagai Winged pea, Winged bean,
Goa bean dan Asparagus pea.

Tanaman kecipir memiliki klasifikasi yaitu :


Kingdom : Plantae (Tumbuhan)
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Fabales
Famili : Fabaceae
Genus : Psophocarpus
Spesies : Psophocarpus tetragonolobus Dc

Tanaman kecipir tumbuh secara merambat dan membelit memiliki bentuk


batang silindris dan beruas, panjang batang hingga mecapai 4-5 meter, berwarna
hijau, bentuk daun meruncing berselang-seling lebar 4-14 cm, bentuk bunga tipe
kupu-kupu yang tumbuh disetiap ketiak daun, bentuk buah lonjong memanjang
berbentuk segiempat, dengan biji bulat, berwarna kuning adapula yang coklat
hingga kehitaman.
Gambar 3. Kecipir

Biji kecipir memiliki kandungan protein, minyak/lemak dan komposisi


asam amino yang sangat mirip dengan kedelai. Sedangkan minyak biji kecipir
kaya akan tokoferol (vitamin E) yang berfungsi sebagai antioksidan. Biasanya
minyak biji kecipir di ekstrak dari biji kecipir yang sudah tua.Tokoferol dapat
mengkatalisis vitamin A dalam tubuh. Beberapa vitamin lain yang terdapat pada
kecipir, ialah thiamin, riboflavin, niasin, dan asam askorbat. Selain itu, kecipir
juga mengandung mineral-mineral penting seperti kalsium, zink, sodium,
potasium, magnesium, fosfor, dan besi. Zat besi penting untuk pembentukan
hemoglobin darah. ibu hamil dan menyusui disarankan mengonsumsi kacang-
kacangan seperti kecipir, untuk mencegah anemia akibat kekurangan zat besi.
Kecipir juga mengandung asam behenat yaitu asam lemak yang tidak diserap usus
sehingga tidak menyebabkan kegemukan bila dikonsumsi dalam jumlah banyak
oleh manusia.

2.4 Testis Sapi


Testis sapi merupakan salah satu organ reproduksi pada sapi jantan. Testis
sapi jarang dimanfaatkan untuk dikonsumsi sehingga dapat digolongkan sebagai
produk sampingan bahkan merupakan limbah dari sebagian besar proses
pengolahan sapi. Testis sapi segar (Gambar 2) mengandung hormon testosteron
alami berkisar 2.300-27.700 pg/g testis dan protein 63,49% (Iskandariah 1996
dalam Muslim 2010).
Gambar 5. Testis Sapi Segar
Menurut Murni dan Jenny (2001) dalam Muslim (2010), kandungan
hormon testosteron dari testis sapi yang dijadikan tepung (Tepung Testis
Sapi/TTS) berkisar antara 142,8-1204 ng/g. Sedangkan berdasarkan analisis
kandungan hormon testosteron pada Tepung Testis Sapi (Gambar 3) dengan
metode HPLC (High Performance Liquid Chromatography) menunjukkan bahwa
kandungan testosteron yang terdapat dalam TTS yaitu sebesar 10,01 g /g TTS
(Muslim 2010).

Gambar 6. Tepung Testis Sapi


Kandungan hormon testosteron yang terdapat pada Testis Sapi dapat
digunakan sebagai bahan pada manipulasi hormonal untuk mempercepat proses
perkembangan gonad dan memperbanyak fekunditas. Selain itu, penggunaan testis
sapi juga dapat mengurangi biaya produksi pemeliharaan ikan jika dibandingkan
dengan penggunaan hormon testosteron sintetis (17-metiltestosteron) yang
beredar dipasaran.
2.5 Pembagian Tahap Kematangan Gonad
Para peneliti dalam mebagi tahap kematakangan gonad ikan tidaklah sama.
Hal ini tergantung dari jenis ikan apa yang mereka teliti. Diantara banyak
pendapat tentang pembagain tahap kematangan gonad, salah satunya adalah
Tingkat kematangan gonad menurut Kesteven (Bagenal dan Braum, 1968), yaitu:
1. Dara, organ seksual masih sangat kecil dan berada di bawah tulang
punggung, testes dan ovarium transparan, dari tidak berwarna sampai
berwarna abu-abu. Telur tidak bisa dilihat dengan mata biasa.
2. Dara Berkembang, testes dan ovarium jernih, abu-abu merah, panjangnya
setengah atau lebih sedikit dari panjang rongga bawah. Telur sudah dapat
dilihat dengan menggunakan kaca pembesar.
3. Perkembangan I, testes dan ovarium bentuknya bulat telur, berwarna
kemerah-merahan dengan pembuluh kapiler. Gonad mengisi kira-kira
setengah ruang kebagian bawah. Telur dapat dilihat seperti serbuk putih.
4. Perkembangan II, testes berwarna putih kemerah-merahan. Tidak ada
sperma kalu perut ditekan. Ovarium berwarna orange kemerah-merahan.
Telur jelas dapat dibedakan, bentuknya bulat telur. Ovarium mengisi kira-
kira 2/3 ruang bawah.
5. Bunting, organ seksual mengisi ruang bawah. Testes berwarna putih,
keluar tetesan sperma jika ditekan perutnya. Telur berbentuk bulat,
beberapa diantaranya jernih dan masak.
6. Mijah, telur dan sperma keluar dengan sedikit tekanan ke perut.
Kebanyakan telur berwarna jernih dengan beberapa yang berbentuk bulat
telur tinggal di dalam ovarium.
7. Mijah/Salin, gonad belum kosong sama sekali. Tidak ada telur yang bulat
telur.
8. Salin, testes dan ovarium kosong dan berwara merah. Beberapa telur
sedang dalam keadaan dihisap kembali.
9. Pulih Salin, testes dan ovarium berwarna jernih, abu-abu sampai merah.
2.6 Fekunditas
Fekunditas adalah jumlah telur yang dihasilkan dalam satu siklus
reproduksi. Fekunditas terdiri dari fekunditas mutlak, fekunditas relatif dan
fekunditas nisbi. Faktor yang mempengaruhi fekunditas adalah umur induk,
makanan dan lingkungan (Prabowo, 2007).

2.7 Kematangan Telur Ikan


Proses kematangan telur atau oocyte maturation (OM) ditentukan
berdasarkan kriteria pergeseran posisi inti telur menuju kutub animal (germinal
vesicle migration) dan peluruhan atau penghancuran membran telur. Berdasarkan
pergeseran posisi inti tersebut terdapat empat kriteria posisi inti telur sebelum
telur tersebut dapat diovulasikan yaitu central germinal vesicle (cGV) atau tahap
inti ditengah, migrating germinal vesicle (mGV) atau tahap inti yang bermigrasi
dari tengah menuju tepi, peripheral germinal vesicle (pGV) atau tahap inti di tepi
dan germinal vesicle breakdown (GVBD) atau tahap inti yang telah melebur
(Gambar 4) (Yaron dan Levavi 2011). Berdasarkan posisi inti tersebut tingkat
kematangan telur (TKT) atau oocyte maturation (OM) dibagi menjadi dua tahap
yaitu fase vitelogenik yang ditandai dengan posisi inti telur yang berada ditengah
(cGV) dan fase pematangan telur (final oocyte maturation). Fase pematangan telur
dibagi kembali menjadi dua yaitu fase awal matang yang ditandai dengan adanya
pergerakan atau migrasi posisi inti telur (mGV dan pGV) dan fase akhir
kematangan telur yang ditandai dengan adanya peluruhan membran inti telur atau
germinal vesicle breakdown (GVBD) (Mylonas et al. 2010)
Gambar 7. Gambaran Hubungan Kelenjar Pituitari Gonad pada Ikan Betina
selama (a) Proses Vitelogenesis dan (b) Proses Pematangan Telur dan Ovulasi
(Yaron dan Levavi 2011)

Fase vitelogenik diawali dengan adanya penyerapan prekursor kuning telur


(vitelogenin/vtg) oleh oosit. Vitelogenin merupakan hasil sintesa hati pada proses
vitelogenesis. Vitelogenin yang telah disintesa oleh hati kemudian dialirkan oleh
darah menuju ovarium. Vitelogenin tersebut selanjutnya diseleksi dan dipisahkan
oleh folikel ovarium yang telah berkembang melalui reseptor spesifik (VtgRs)
kemudian dilapisi oleh vesikel dan bergerak ke oolema perifer (Hiramatsu et al .
2006 dalam Mylonas et al. 2010). Vesikel tersebut bergabung dengan lisosom
sehingga membentuk badan multivesikular (Multivesicular Body/MVB ) yang
akan berkembang (bertambah besar) dan secara bertahap berubah menjadi butiran
kuning telur kecil (yolk granules) dan kemudian menjadi ke butiran kuning telur
besar (yolk globules) (Le Menn et al. 2007 dalam Mylonas et al. 2010). Badan
multivesikuar tersebut juga mengandung enzim lisosom berupa cathepsin D yang
berfungsi memecah vitelogenin menjadi polipeptida kuning telur. (Cerda et al.
2007 dalam Mylonas et al. 2010).
Hasil akhir dari pemecahan vitelogenin secara enzimatik tersebut terdiri
dari lipovitellin (Lv), phosvitin (Pv) dan komponen ( -c). Lipovitelin adalah
protein kuning telur banyak mengandung lipid dan terdiri dari dua polipeptida
yaitu rantai panjang lipovitellin (lipovitellin heavy chain/LvH) dan rantai pendek
lipovitellin (lipovitellin light chain/LvL). Phosvitin adalah protein kuning telur
yang lebih kecil dimana lebih dari setengah residu asam amino yang terkandung
di dalamnya banyak mengandung fosfor sehingga vitelogenin mempunyai sifat
mengikat kalsium. Komponen adalah protein kuning telur ketiga yang biasanya
tidak mengandung lipid atau fosfor (Hiramatsu et al. 2006 dalam Mylonas et al.
2010). Lipovitellin berfungsi sebagai sumber nutrisi asam amino dan lipid untuk
perkembangan embrio, phosvitin berfungsi sebagai sumber mineral yang
diperlukan untuk perkembangan rangka dan system metabolik, sedangkan fungsi
dari komponen baik secara fisiologis atau nutrisi sampai sejauh ini belum
ditemukan (Hiramatsu et al. 2006 dalam Mylonas et al. 2010).
Akhir dari fase vitelogenik adalah ketika akumulasi protein kuning telur
telah mencapai batas maksimum serta mRNA untuk perkembangan embrio telah
selesai dibentuk di dalam oosit. Proses setelah fase vitelogink adalah terjadinya
fase pematangan telur (oocyte maturation/OM) yang distumulasi oleh hormon
(Kinsey et al. 2007 dalam Mylonas et al. 2010). Pada fase pematangan telur
terjadi perubahan morfologi secara drastis pada oosit yang disertai dengan
perkembangan meiosis. Perubahan yang paling mencolok adalah peleburan lipid
droplet dan globul kuning telur yang menyebabkan perubahan pada sitoplasma
dari oosit tersebut sehingga inti telur (germinal vesicle/GV) mengalami migrasi
dari tengah menuju tepi oosit dan kemudian membran inti mengalami peleburan
(germinal vesicle breakdown/GVBD ). Perubahan lain yang terjadi adalah adanya
peningkatan volume telur yang disebabkan oleh adanya aktivitas penyerapan air
(Cerda et al. 2007 dalam Mylonas et al. 2010).
BAB III
BAHAN DAN METODE

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan di Karamba Jaring Apung (KJA) Waduk
Cirata, Jawa Barat. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2016 hingga
bulan November 2016.

3.2 Alat dan Bahan


3.2.1 Alat-Alat Penelitian
Alat yang digunakan dalam penelitian adalah :
1. Jaring berukuran 1m x 1m x 1m sebanyak 15 buah dengan kepadatan 50
ekor per jaring.
2. Timbangan digital dengan ketelitian 0,01 g sebanyak 1 buah untuk
menimbang bobot ikan dan berat pakan.
3. pH meter sebanyak 1 buah untuk mengukur derajat keasaman (pH).
4. DO meter sebanyak 1 buah digunakan untuk mengukur kadar oksigen
terlarut dalam air.
5. Termometer sebanyak 1 buah untuk mengukur suhu air.
6. Serok kain kasa sebanyak 2 buah untuk mengambil ikan uji.
7. Mistar sebanyak 1 buah untuk mengukur panjang ikan.
8. Pertidisk sebanyak 2 set.
9. Wadah plastik sebagai wadah buah pepaya serta enzim papain.
10. Blender
11. Nampan sebagai wadah pakan.
12. Pisau sebagai alat untuk memotong.
13. Loyang sebagai alas
14. Alat Tulis sebagai alat untuk mencatat data
15. Kamera sebagai alat dokumentasi
3.2.2 Bahan Penelitian
Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut :
Ikan Uji
Pakan ikan
Tepung biji bunga matahari
Tepung biji kecipir
Tepung testis sapi

3.3 Metode Penelitian


Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian eksperimen
dengan Rancangan Acak Kelompok (RAK) yang tediri atas 4 perlakuan dan 3 kali
ulangan., yaitu :
Perlakuan A : pakan buatan (kontrol).
Perlakuan B : Pakan buatan + tepung biji bunga matahari 5%/kg pakan.
Perlakuan C : Pakan buatan + tepung biji kecipir 5%/kg pakan.
Perlakuan D : Pakan buatan + tepung testis sapi 3%/kg pakan.

3.4 Prosedur Penelitian


Penelitian ini diawali dengan mempersiapkan alat dan bahan yang akan
digunakan dalam penelitian, pembuatan tepung biji bunga matahari/biji kecipir/
tepung testis sapi, pembuatan campuran pellet dengan tepung biji bunga matahari
dan biji kecipir, pemeliharaan ikan nilem, pemeliharaan ikan, pemeriksaan
perkembangan gonad ikan nilem.

3.4.1 Pembuatan Tepung Biji Bunga Matahari


Pembuatan tepung biji bunga matahari ada beberapa tahapan yang
dilakukan yaitu pengumpulan biji bunga matahari, pengupasan cangkang biji
bunga matahari, setelah dikupas lalu dijemur dibawah sinar matahari kemudian
biji bunga matahari dihaluskan menggunakan bleender sampai berbentuk sebuk
halus seperti tepung, kemudian tepung tersebut dimasukan kedalam toples dan
ditutup rapat.

3.4.2 Pembuatan Tepung Biji Kecipir


Tepung biji kecipir didapatkan dari tanaman kecipir yang sudah tua.
Tahapan pembuatan yaitu, memilih tanaman kecipir yang sudah tua (cangkang
berwarna coklat), lalu tanaman kecipir dibelah untuk diambil bijinya, kemudian
dijemur dibawah sinar matahari, biji kecipir yang sudah kering dihaluskan
menggunakan belender sampai berbentuk tepung, kemudian dimasukan kedalam
wadah kering.

3.4.3 Pembuatan Tepung Testis Sapi


Tahapan ini dilakukan untuk mendapatkan tepung testis sapi yang
selanjutnya digunakan sebagai bahan penelitian. Tepung testis sapi berasal dari
testis sapi segar yang merupakan limbah pemotongan sapi qurban. Testis sapi
diolah menggunakan alat freeze dry (Gambar 4) dengan proses sebagai berikut:
1. Testis sapi dikuliti dan dipotong kecil-kecil.
2. Potongan testis sapi dimasukkan ke dalam labu bulat (d).
3. Bekukan etanol yang berada pada bak etanol (c) sampai suhu -80C dengan
cara menyalakan mesin (a) pada posisi "on" dan biarkan sampai mencapai suhu -
80C (dapat dilihat pada penunjuk digital yang terdapat pada mesin). Sebelum
mesin dinyalakan, pastikan semua katup (e) pada ruang silinder stainless sudah
pada posisi "vent" (tertutup).
4. Selanjutnya pasang labu bulat frezeedry yang berisi sampel pada slot slot yang
tersedia, kemudian katup yang sebelumnya berada pada posisi "vent" diputar
hingga posisi "vacum"
5. Biarkan sampai sampel benar-benar kering (lebih kurang 20-24 jam).
6. Testis sapi yang sudah kering dikeluarkan dari gelas frezee dry dan dihaluskan
menggunakan blender sampai berbentuk seperti tepung.
7. Tepung testis sapi kemudian dimasukkan ke dalam wadah (toples) dan ditutup
rapat dan disimpan dalam lemari pendingin sebelum digunakan.
3.4.2 Pencampuran Pakan
Pakan berasal dari pakan komersial dicampurkan dengan tepung biji bunga
matahari/tepung biji kecipir/tepung testis sapi (sesuai perlakuan), tahapan pertama
yaitu menghaluskan pakan komersial menggunakan penggiling pakan, kemudian
melakukan pencampuran biji bunga matahari/tepung biji kecipir/tepung testis sapi
dengan menggunakan CMC yang berperan sebagai perekat sebanyak 3% dari
bobot pakan dan diaduk sampai homogen. Campuran perekat (binder) dan tepung
biji bunga matahari/biji kecipir yang sudah homogen ditambahkan pakan komersil
yang telah dihaluskan sebanyak 1 kg untuk setiap perlakuan dan ditambahkan air
hangat secukupnya dan aduk hingga adonan kalis. Selanjutnya melakukan
pencetakan dengan menggunakan alat pencetak pellet, dan pellet yang telah
dicetak lalu dikeringkan dibawah sinar matahari agar kering.

3.4.2 Persiapan Wadah Pemeliharaan


Wadah pemeliharaan yang digunakan yaitu jaring berukuran 1m x 1m x
1m sebanyak 15 buah. Jaring tersebut diletakan dalam jaring utama berukuran
yang 6m x 6m x 3m. Jaring tersebut kemudian diletakan dan disusun dengan cara
diikat pada rangka bambu. Setiap jaring kemudian diberi pemberat. Pengacakan
tata letak jaring menggunakan program microsoft excel. Tata letak jaring uji dapat
dilihat pada.

3.5 Parameter Pengamatan


Parameter pengamatan perkembangan gonad induk ikan nilem yang harus
dilakukan yaitu menimbang bobot ikan setelah masa pemeliharaan selama 2 bulan
dan pembedahan tubuh ikan untuk diambil gonadnya. Selanjutnya, menentukan
nilai diameter telur dan melihat perkembangan inti telur ikan komet.

a. Gonado Somatik Indek (GSI)


Gonado Somatik Indek (GSI) diukur berdasarkan berat gonad yang berada
di dalam tubuh ikan nilem dibandingkan dengan berat tubuh induk ikan nilem.
GSI diukur setelah masa pemeliharaan ikan nilem selama 2 bulan. Nilai GSI
diukur dengan cara (Effendie, 1979):

Bobot gonad
GSI = 100%
Bobot Ikan

b. Fekunditas
Fekunditas terdiri dari fekunditas total dan fekunditas relative. Fekunditas
total induk ikan nilem selama penelitian dapat dihitung dengan rumus sebagai
berikut (Effendie, 1979):

Ft =

Keterangan :
Ft = Jumlah telur di dalam gonad (butir)
W = Berat seluruh gonad
w = Berat sampel sebagian kecil gonad
n = Jumlah telur dari sample sebagian kecil gonad (w)

Fekuinditas relative adalah jumlah telur yang dikeluarkan induk perbobot


tubuh induk (Sinjal, 2007). Fekuinditas relative ikan nilem dapat dihitung dengan
rumus sebagai berikut :

Fr =

Keterangan :
Fr = Fekunditas relative (butir/g induk)
Ft = fekunditas total (butir)
Wt = Bobot tubuh ikan (gram)
c. Diamter Telur
Diamter telur diukur dengan menggunakan mikroskop yang telah
dilengkapi dengan micrometer. Jumlah sampel telur yang digunakan sebanyak
100 butir untuk setiap gonad ikan kemudian dihitung nilai rata-rata diameter telur
dari setiap perlakuan.

d. Parameter Kualitas Air


Pengukuran terhadap kualitas air yaitu untuk suhu, derajat keasaman (pH),
dan oksigen terlarut (DO) selama penelitian menggunakan pH meter, DO meter
dan Termometer yang mengacu pada standar kualitas air yakni suhu 18 280C
(Cahyono 2001), Derajat keasaman (pH) 6,7-8,6 (Susanto 2008), dan Oksigen
terlarut (DO) 3 - 6 mg/L (PP RI/82/2001).

3.6 Analisis Data


Data penelitian yang diperoleh akan dianalisis melalui pengkajian
pengamatan dengan data penunjang serta literatur yang berhubungan secara
deskriptif. Selanjutnya dilakukan analisa statistik mengunakan rancangan acak
Kelompok (RAK) yang dilakukan menggunakan program SPSS. Pengaruh
perlakuan terhadap pertumbuhan ikan nilem dianalisa menggunakan uji F, untuk
melihat perbedaan antar perlakuan maka dilanjutkan dengan uji jarak berganda
Duncan dengan taraf kepercayaan 95 % (Gasperz, 1994).
31

Daftar Pustaka

Djajasewaka, H. 1985. Pakan Ikan (Makanan Ikan). Edisi II. Yasaguna. Jakarta

Effendie, M. I. 1997. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara, Yogyakarta.

Ferdiana, M. F., Y. Andriani dan Y. Mulyani. 2012. Pengaruh Penambahan Tepung Kulit Umbi
Singkong Hasil Fermentasi dalam Pakan Buatan Terhadap Pertumbuhan Benih Ikan Nilem
(Osteochilus hasselti). Skripsi. Program Studi Perikanan , Fakultas Perikanan Dan Ilmu
Kelautan, Universitas Padjadjaran, Jatinangor.

Gasperz, V. 1994. Metode Rancangan Percobaan. CV. Armico. Bandung. 442 hlm.

Prabowo, Wisnu. 2007. PENGARUH DOSIS BACITRACINE METHYLE DISALISILAT


(BMD) DALAM EGG STIMULANT YANG DICAMPUR DENGAN PAKAN KOMERSIL
TERHADAP PRODUKTIVITAS IKAN LELE SANGKURIANG Clarias sp. IPB: Bogor

Sinjal, H. J. 2007. Kajian penampilan reproduksi ikan lele (Clarias gariepinus) betina melalui
penambahan Ascorbyl phosphate magnesium sebagai Sumber Vitamin C dan implantasi dengan
Estradiol-17_. Institut Pertanian Bogor.

Anda mungkin juga menyukai