Anda di halaman 1dari 44

Budidaya Udang Vaname

I. PENDAHULUAN

Indonesia dikenal sebagai negara bahari dan kepulauan terbesar di dunia dengan
keanekaragaman hayati laut terbesar (mega marine biodiversity). Berdasarkan hitungan
sekitar 5 km dari garis pantai ke arah laut potensi lahan budidaya laut diperkirakan sekitar
24,53 juta ha. Kegiatan perikanan budidaya ditentukan oleh beberapa faktor antara lain
sumber air menyangkut kuaalitas dan kuantitasnya, potensi ketersediaan lahan menyangkut
topografi ,tektur dan kesuburannya yang dapat diperkirakan manfaatnya bagi budidaya
Sejak awal pengembangan budidaya udang, keberhasilan yang diperoleh petambak
terus meningkat. Namun sejak tahun 1996 produksi udang yang diperoleh cenderung semakin
menurun. Penurunan produksi terutama disebabkan karena kegagalan budidaya udang
ditambak akibat timbulnya berbagai macam penyakit (terutama white spot dan vibriosis.
Rukyani dkk. (2001) menyebutkan bahwa munculnya berbagai macam penyakit tersebut
merupakan indikator telah terjadinya degradasi lingkungan. Berbagai upaya telah banyak
dilakukan oleh pemerintah maupun oleh pihak swasta/pelaku pertambakan sendiri dalam
mengatasi masalah tersebut.
Udang vaname merupakan udang introduksi yang secara resmi ditetapkan sebagai
salah satu komoditas unggulan perikanan budidaya oleh Menteri DKP pada tahun 2001, dan
sejak itu perkembangan budidayanya sangat cepat. Selain Indonesia, negara-negara yang
telah mengembangkan vaname antara lain China, Taiwan dan Thailand. Vaname mempunyai
ciri-ciri mampu hidup pada kisaran salinitas 5 – 45 ppt dengan salinitas optimal 10 – 30 ppt;
kisaran suhu 240 – 320 C dengan suhu optimal 280 – 300 C; mampu bertahan pada oksigen 0,8
ppm selama 3 – 4 hari tetapi disarankan DO 4 ppm. PH air 7 – 8,5 ; kebutuhan protein rendah
yaitu 32 % dengan FCR < 1,5 serta prosentase daging 66 – 68 %, lebih tinggi jika
dibandingkan udang windu yang hanya 62 %. Kebutuhan pasar cukup tinggi untuk Eropa dan
USA. Dengan keunggulan tersebut banyak petambak tergiur untuk beralih ke vaname
termasuk petambak Situbondo dan Banyuwangi serta Malang Selatan. Keberhasilan
petambak Jawa Timur merangsang petambak lain untuk beralih usaha dari budidaya udang
windu ke budidaya udang vaname, yaitu petambak dari propinsi Bali, Lampung, Jawa Barat,
Jawa Tengah, Sumatera Selatan dan Bengkulu.
2.2.            Penyebaran
Udang vaname dapat ditemukan di perairan / lautan Pacific mulai dari Mexico, Amerika
Tengah dan Selatan dimana temperatur perairan tidak lebih dari 20°C sepanjang tahun.
Populasi udang vaname di daerah tersebut selalu kontinyu dan terisolasi. Udang vaname
relatif mudah dibudidayakan dan bisa dilakukan diseluruh dunia.
2.3. Pertumbuhan
Seperti halnya arthropoda lainnya, pertumbuhan udang vaname tergantung dua faktor
yaitu frekuensi molting (waktu antara molting) dan pertumbuhan (berapa pertumbuhan pada
setiap molting baru). Tubuh udang mempunyai carapace yang keras, sehingga pada setiap
kali molting carapace terlepas, terjadi pembagian cuticle antara carapace dan intercalary
sclerite, dimana cephalothorax dan appendic anterior akan terbentuk. Carapace baru pada
awalnya lunak, tetapi jika ukuran udang sudah proporsional akan mengeras kembali, biasanya
antara satu sampai dua hari.
Frekuensi molting erat kaitannya dengan ukuran udang, jika udang tumbuh frekuensi
molting meningkat. Pada stadia larva, molting terjadi setiap 30-40 jam pada temperatur 28°C.
Juvenil udang ukuran 1 – 5 gram akan molting setiap 4-6 hari, tetapi juvenil udang ukuran 15
gram akan molting dengan interval 2 minggu.
Frekuensi molting dipengaruhi oleh faktor kondisi lingkungan dan nutrisi. Misalnya
temperatur lebih tinggi, maka frekuensi molting meningkat. Absorsi oksigen tidak efisien
selama molting dan biasanya akan mati karena hypoxia.
Ketika carapace masih lunak setelah molting, udang akan dimangsa oleh kawannya.
Oleh sebab itu, biasanya udang akan mencari tempat terlindung di detritus yang lunak.
Karena molting sebagai kontrol pertumbuhan dan udang dalam kondisi riskan, dicoba untuk
membuat kondisi budidaya yang nyaman sehingga molting tidak membuat udang stress.
2.4.            Makan dan Kebiasaan makan
Udang penaeid cenderung omnivorus atau detritus feeder. Dari studi yang dilakukan
isi pencernaan terdiri dari carnivor di alam, jasad renik / crustacea kecil, amphipoda, dan
polychaeta. Pada tambak intensif dimana tidak ada jasad renik, udang akan memangsa
makanan yang diberikan atau detritus.
Pada tambak yang alami, alga dan bakteri yang berkembang pada kolom air adalah
sumber nutrisi yang penting bagi udang vaname, dan meningkatkan pertumbuhan sebesar
50% dibanding tambak yang jernih. Dapat dikatakan bahwa udang tumbuh optimum pada
tambak yang berimbang dengan komunitas mikroba.
Udang vaname tidak makan sepanjang hari tetapi hanya beberapa waktu saja
sepanjang hari. Dengan tingkah laku makan seperti itu, dapat diaplikasikan pada budidaya
bahwa pemberian pakan dapat berupa pellet yang diberikan beberapa kali dalam satu hari.
Dari penelitian membuktikan bahwa pemberian pakan beberapa kali sehari memberikan
pertumbuhan yang lebih baik dari pada satu kali sehari.
Udang vaname membutuhkan pakan dengan 35% kandungan protein, lebih rendah
dari pada yang dibutuhkan oleh udang P.monodon dan udang P.japonicus. Jika digunakan
pakan dengan kandungan protein tinggi (45%), pertumbuhan cepat dan produksi tinggi tetapi
biaya mahal, sehingga lebih visibel dengan pakan protein rendah. Pakan yang mengandung
ikan dan cumi-cumi akan memacu pertumbuhan.
2.5.            Siklus hidup
Secara alami udang vaname termasuk jenis katadromus, yaitu udang dewasa hidup di
laut terbuka dan udang muda migrasi ke arah pantai. Perkembangan stadia seperti pada
gambar 3. Di habitat aslinya, udang matang gonad (matur), kawin (mating) dan bertelur
(spawning) berada pada perairan dengan kedalaman sekitar 70 meter di Amerika selatan,
tengah dan utara, dengan suhu 26 - 28°C dan salinitas sekitar 35 ppt. Telur menetas dan
larva berkembang di laut dalam sebagai tempat berkembangnya zooplankton. Post larva
udang vaname bergerak mendekati pantai dan menetap di dasar estuari /muara. Di estuari,
tersedia nutrien, air laut dengan salinitas dan suhu yang bervariasi dari pada di laut terbuka.
Setelah beberapa bulan di estuari, udang muda kembali ke lingkungan laut menjauhi pantai,
dimana aktivitas matur, mating dan spawning terjadi.
2.6.            Karakteristik budidaya
Udang vaname mempunyai karakteristik budidaya yang sangat bagus. Udang tumbuh
dengan cepat sampai ukuran 20 gram, dengan laju pertumbuhan 3 gram per minggu dalam
kepadatan 100 ekor /m2 . Setelah 20 gram, udang tumbuh lambat yaitu 1 gram per minggu
dan betina tumbuh lebih cepat dari pada jantan. Udang mempunyai toleransi salinitas yang
cukup lebar yaitu 2 – 40 ppt, tetapi akan tumbuh lebih cepat pada salinitas rendah, ketika
terjadi isoosmotic antara lingkungan dan darah. Pada salinitas 33 ppt larva udang vaname
tumbuh sangat bagus.
Temperatur juga sangat mempengaruhi pertumbuhan. Udang akan mati jika berada
pada suhu dibawah 15°C atau diatas 33°C dalam waktu 24 jam atau lebih. Sub letal stres
terjadi pada 15-22°C dan 30-33°C. Temperatur optimum untuk udang vaname adalah antara
23 - 30°C. Efek temperatur terhadap pertumbuhan adalah perkembangan stadia dan ukuran.
Sebagai contoh, udang kecil (1 gram) tumbuh cepat dalam air hangat (30°C), udang medium
(12 gram) dan udang besar (18 gram) pertumbuhan tercepat terjadi pada temperatur 27°C dari
pada pada 30°C.
III. PEMILIHAN LOKASI
Pemilihan lokasi usaha budidaya udang dimaksudkan untuk menjamin keselarasan
lingkungan antara lokasi pengembangan usaha budidaya dengan pembangunan wilayah di
daerah dan keadaan sosial di lingkungan sekitarnya. Pemilihan lokasi dilakukan dengan
mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi kelayakan suatu lahan untukkonstruksi
tambak dan operasionalnya, mengidentifikasi kemungkinan dampak negatif dari
pengembangan lokasi dan akibat sosial yang ditimbulkannya, memperkirakan kemudahan
teknis dengan finansial yang layak dan menimalkan timbulnya resiko-resiko yang lain.
Pemilihan lokasi yang tepat untuk usaha budidaya udang vaname akan menentukan
tingkat keberhasilan produksi. Elevasi atau tingkat kemiringan lokasi dan karakter pasang
surut air laut perlu dipertimbangkan Hal ini berkaitan dengan Pengairan, pergantian air dan
pengeringan tambak. Begitu juga dengan jarak area pertambakan dengan daerah pantai,
karena areal tambak yang jauh dari pantai akan kesulitan dalam penyediaan air laut bahkan
membutuhkan dana yang besar untuk operasional.
Amplitudo pasang surut harus sedang berkisar antara 2 – 3 m karena sangat baik
untuk memanfaatkan arus pasang untuk pengisian air tambak. Lokasi dengan tinggi pasang
surut lebih 4 m tidak cocok karena membutuhkan tanggul yang lebar dan mahal untuk
mencegah air selama pasang. Sebaliknya lokasi dengan pasang surut rendah yaitu kurang
dari 1 m tidak baik karena untuk pengisian dan pergantian air.

3.1. Persyaratan teknis


A. Sifat fisik tanah
Sifat fisik tanah harus diketahui sebelum pembangunan areal tambak agar tambak
yang dibangun tidak bocor dan kuat. Sifat fisik tanah dapat diketahui dari teksturnya yaitu
perbandingan kandungan butir-butir pasir, debu dan tanah liat dalam tambak tersebut.
B. Tekstur tanah
Untuk mengetahui tekstur tanah dapat dilakukan uji laboratorium dengan menghitung
besar butiran dan prosentase dari pasir debu dan lempung atau dengan cara uji raba melalui
jari tangan (The feel and ball method). Jenis tanah untuk tambak vaname sebaiknya liat
berpasir (untuk menghindari kebocoran).
C. Parameter kualitas tanah
Tabel 1. Parameter kualitas tanah

No Parameter Kisaran
1 pH 6,0 – 8,0
2 Bahan organik ( % ) < 90
3 Tekstur Liat (60 – 70 % ) dan Pasir ( 30 – 450 % )
4 Struktur Kompak
5 Potensi infiltrasi (cm / menit) <1
6 Soeloem ( meter ) >1

D. Kualitas sumber air

Tersedianya sumber air sepanjang tahun harus memenuhi persyaratan parameter


kualitas air sumber.
Tabel 2. Parameter kualitas air sumber

No Parameter air Kisaran


1 Salinitas ( ppt ) 5 – 35
2 pH 7,0 – 9,0
3 Alkalinitas ( ppm ) > 50
4 H2S ( mg / lt ) 0,001
5 Bahan organik ( ppm ) < 55
6 Total posphat ( ppm ) 0,05 - 0,50
7 BOD ( ppm ) < 25
8 COD ( ppm ) < 40
9 TSS ( ppm ) 25 – 500
10 Pb ( ppm ) 0,001 – 1,157
11 Hg ( ppm ) 0,051 – 0,167
12 Cu ( ppm ) < 0,06
13 Organo chlorine ( ppm ) < 0,02
Keterangan :
Untuk tekstur tanah pasir dapat digunakan tambak plastik / biocrete.
BOD : Biochemical Oxygen Demand
COD : Chemical Oxygen Demand
TSS : Total Suspended Solid

3.2. Persyaratan non teknis


Persyaratan non teknis pemilihan lokasi untuk tambak udang vaname :
a        Dekat dengan daerah pantai dengan fluktuasi pasang surut 2 – 3 m
b        Sumber air tawar harus cukup
c        Lokasi tambak harus memiliki green-belt (hutan mangrove) agar terhindar dari besarnya
gelombang yang dapat mengakibatkan abrasi.
d        Dekat dengan jalan raya untuk transportasi penyediaan sarana produksi maupun panen
e        Dekat dengan sumber tenaga kerja
f          Dekat dengan daerah pemasaran termasuk cold storage
g        Jauh dari pabrik maupun daerah pemukiman penduduk yang padat
h        Terdapat sumber listrik dan sarana komunikasi
i           Dekat dengan sumber benih vaname

Gambar 2. Lokasi tambak udang vanamei


IV. SARANA BUDIDAYA
4.1.            Konstruksi tambak
Pembuatan tambak untuk udang vaname harus diperhatikan segi konstruksi
diantaranya pematang, pintu air, petakan, kedalaman air dan saluran air.

A. Pematang
Dalam setiap unit tambak biasanya ada dua pematang yang perlu dibangun yaitu
pematang utama dan sekunder. Pematang utama adalah pematang yang membatasi suatu
areal pertambakan dengan lingkungan luar atau benteng utama areal pertambakan, bila
konstruksinya kurang kuat pengelolaannya akan sulit. Pematang sekunder adalah pematang
pembentuk petakan yang berada di dalam lingkungan pematang utama.
B. Pintu air
Seperti halnya dengan pematang pada suatu unit tambak ada dua pintu air yaitu pintu
utama yang dibangun dibagian pematang utama dan pintu petakan yang dipasang pada
pematang antara setiap petakan dalam unit tambak. Pintu air harus didisain sedemikian rupa
sehingga dapat mengalirkan air dengan debit yang dikehendaki, selain itu harus kedap air,
mampu menahan tekanan air, tidak mudah rusak, berlandaskan pondasi kokoh, tidak
menghalangi aliran air sewaktu dalam keadaan terbuka, tidak menyebabkan kebocoran atau
rembesan pada pematang yang berbalasan dengannya dan mudah ditangani. Dasar pintu air
harus sama atau lebih rendah dari permukaan air tambak ketika sedang surut, supaya
menghilangkan kebocoran dibawah dasar pintu. Ukuran pintu utama sebaiknya mempunyai
lebar 1 – 1,5 m, tinggi 2 – 3 m dan panjang 5 – 6 m. Pada pintu diberi lubang atau sponing
untuk meletakkan papan pintu. Pintu air petakan pada prinsipnya sama dengan pintu air
utama, tetapi ukurannyalebih kecil danumumnya terbuat dari kayu atau beton. Ukuran pintu
petakan sebaiknya lebar 0,6 – 0,8 m, panjang 2 – 3 m dan tinggi pintu 1,5 – 2 m.
C. Petakan
Petakan untuk tambak vaname yang ideal berbentuk bujur sangkar, dimana luasnya
tergantung lahan yang tersedia.
Gambar 4. Bentuk petakan tambak
D. Kedalaman air tambak
Kedalaman air tambak yang baik untuk budidaya udang vaname yang baik 150 – 180
cm.

E. Saluran air
Saluran di tambak terdiri dari saluran pemasukan dan pengeluaran dimana saluran
pemasukan (inlet) dan saluran pembuangan (outlet) harus terpisah., Saluran inlet harus
mempunyai kemiringan 5-10 % dan saluran pembuangan harus dibuat sesuai dengan
besarnya petakan jangan sampai terlalu kecil hal ini dimaksudkan agar pada saat
pembuangan air dapat mengalir dengan lancar. Ukuran dari saluran pemasukan dan
pengeluaran air dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
Q = AV dimana
Q = Volume air yang akan dikeluarkan
A = Penampang melintang dari saluran
V = Percepatan (velosity) aliran air
Besarnya V dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :
V = R 2/3 x S ½ x 1/n dimana :
R = Kedalaman air
S = Kemiringan saluran air
N = Koefisien gesekan (0,02)
Lebar saluran kemudian dapat dihitung dengan rumus :
A = R (b + 2R) (Anonymous, 1987a)
Saluran pembuangan tengah (central drainage) berfungsi untuk membuang lumpur dan
kotoran dari dasar tengah tambak. Bisa berbentuk sistem matahari maupun bentuk T.

4.2. Pompa air


Pompa air memegang peranan penting dalam operasional usaha pembesaran udang
vaname terutama yang menggunakan sistem semi intensif dan secara intensif, ini dikarenakan
seluruh kebutuhan baik untuk suplly air laut maupun air tawar semua menggunakan pompa.

4.3. Paddle whell (Kincir Air) dan Aerator


Paddle whel dan Aerator pada pemeliharaan udang sistem intensif dan semi intensif
sangat penting, sebagai alat untuk mensuplai oksigen. Pemakaiannya tergantung luasan
petakan, padat penebaran dan sistem pemeliharaan.
Gambar 5. Alat suplai oksigen dalam petakan tambak

4.4. Tenaga listrik


Tenaga listrik harus ada untuk pembesaran udang vaname srcara intesif maupun semi
intensif. Selain untuk penerangan sumber listrik yang utama adalah untuk menyalakan paddle
whell, sumber listrik ini dapat berasal dari PLN maupun Genset.

4.5. Tata letak


Tata letak tambak adalah cara peletakan petakan tambak, luas dan bentuk petakan,
sistem pengelolaan air dan komponen tambak lainnya guna mencapai efisiensi secara optimal
sesuai persyaratan tehnik konstruksi tambak. Dalam membuat tata letak tambak yang harus
diperhatikan yaitu : bagian-bagian tambak harus diatur dengan baik sehingga petakan dapat
dikeringkan atau diisi air tanpa mengganggu petakan lainnya, petakan harus diatur sehingga
arah angin sejajar dengan arah pematang terpendek, saluran pembuang dan pembawa harus
diletakkan dengan baik agar tidak terjadi percampuran antara air yang bersih dengan air yang
kotor dan pintu utama harus terlindung dari gelombang dan arus air laut.
Dalam membuat tata letak tambak juga harus diperhatikan aspek-aspek lingkungan
dan keindahan. Lingkungan yang terjaga dengan baik dengan memperhatikan perbandingan
antara jumlah petakan budidaya dengan petakan treatment air ataupun jalur hijau akan
menunjang kontinyuitas produksi udang.
Keterangan:
1. PK : Petak Karantina (Petak Air Baku Siap Pakai)
2. SSA : SAluran Suplai Air (saluran distribusi air ke petak pembesaran)
3. PPU : Petak Pembesaran Udang
4. SB : Saluran Buang
5. PB : Petak Biofilter/Bioscreen Multispesies
6. PUPL : Petak Unit Pengolah Limbah (area dumping/endapan lumpur)
7. : Tanaman bakau (mangrove) sebagai penyeimbang lingkungan

Gambar 6. Layout tambak


V. METODE PEMELIHARAAN
5.1. Persiapan tambak
Persiapan tambak dilakukan dengan pembuangan dasar tambak yang hitam dengan
cara mengeruk dam mengangkat serta membuang keluar dari petakan/diluar area
pertambakan. Hal ini dikarenakan karena dasar tambak yang hitam tersebut menyebabkan
timbulnya senyawa beracun seperti gas H2S dan amonia.
Setelah dilakukan pengangkatan lumpur/ tanah dasar tambak yang hitam maka dilakukan
pengeringan untuk membantu proses oksidasi dan mematikan hama dan penyakit yang ada
dan menetralkan dasar tambak yang asam serta menghilangkan gas beracun. Lama
pengeringan ini sekitar 3 – 4 hari tergantung sinar matahari atau sampai tanah dasar tambak
kering.

Gambar 7. Persiapan tambak

5.2. Pemupukan
Pemupukan berfungsi sebagai penyedia nutrisi bagi udang selama budidaya udang
vaname, dimana dengan pemupukan pakan alami akan tumbuh. Kontribusi pakan alami 60 -
70 % dalam mendukung keberhasilan pertumbuhan benur. Selain sebagai sumber pakan bagi
benur vaname yang baru tebar pakan alami ini juga dapat berfungsi sebagai sumber nutrisi
yang baik yang tidak didapat pada pakan buatan. Pupuk ada 2 macam yaitu organik pupuk
kandang atau kompos dan pupuk anorganik seperti Urea,TSP dan ZA.
5.3.            Pengapuran
Kapur yang dapat digunakan dalam budidaya idang vaname adalah batu kapur
(crushed shell/CaCO3) dosis 100 – 300 kg/ha, kapur mati (slake lime Ca(OH2) 50 – 100 kg/ha,
dan dolomit (dolomitic lime, Ca Mg(Co)3) 200 -300 kg/ha. Pemberian kapur ini dilakukan bila
pH tanah kurang dari 7,5.
5.4.            Pemberantasan hama
Saponin dapat berfungsi sebagai pupuk dan bahan beracun yang dapat metaikan
hama yang mengganggu udang vaname yang dipelihara. Cara pemakaiannya bungkil teh
terlebih dahulu dihaluskan kemudian direndam 24 jam dan ditebar ke petakan.
5.5. Benih
Besarnya produksi sebagian besar tergantung dari kualitas benih, bagaimana benih
ditebar dan sistem pengelaolaan selanjutnya. Sedangkan padat penebaran optimum
tergantung daya dukung tambak dan sistem budidaya yang diterapkan.
Benih yang akan ditebar harus yang bebas penyakit (Specific pathogen Free atau SPF
dan (Specific Pathogen Resistant atau SPR) karena penggunaan benur unggul akan
memperkecil resiko kegagalan, disarankan untuk dilakukan pengujian PCR di laboratorium.
Benur yang digunakan dapat dari induk yang berasal dari luar negeri maupun hasil turunan
(F1). Kriteria benur vaname yang sehat dapat diketahui secara visual, mikroskopis dan
ketahanan benur.
Secara visual penampakan benih yang baik adalah murni satu jenis, seragam dalam
ukuran dan umur, berwarna bening kecoklatan, tidak cacat fisik, bereaksi terhadap
rangsangan cahaya, bebas dari penyakit, tidak mengalami necrosis dan pertumbuyhannya
normal bila arus diputar dalam suatu wadah maka benih akan menentang arus, benur yang
sehat berenang mendatar dan bergherak aktif. Benur yang sakit melayang, terbawa arus,
berputar tanpa arah dan tubuh melengkung.
Pengujian secara mikroskopis dapat dilihat pada benur yang sehat permukuaan
tubuhnya bersih, dilakukan pengukuran MGR (muscle to gut ratio) yaitu perbandingan
diameter otot pada ekor dengan diameter pencernaan. Hasilnya dinyatakan dalam presentase
MGR 4 : 1. Selain itu dicek necrosis benur yaitu adanya luka pada tubuh udang.
Pengujian daya tahan dilakukan dengan perendaman dengan formalin dosis yang
digunakan 100 ppm selama 2 jam bila SR 95 % ke atas berarti benur baik. Selain itu juga
dilakukan tes daya tahan benur terhadapperubahan salinitas yaitu pada salinitas 0 ppt SR 50
% ke atas dianggap baik.

Gambar 8. Benih vaname

Benih sebelum ditebar diadaptasi selama 2 jam dengan cara kantong benih
dimasukkan ke petakan yang telah diberi sekat dari kayu agar kantong benih tidak menyebar
ke seluruh petakan. Kemudian kantong benih dibuka dan plastik digulung sampai permukaan
air selanjutnya diisi dengan air tambak sampai gulungan habis, bila benih telah beradaptasi
kantong dimiringkan sehingga benih keluar. Kepadatan penebaran benur vaname 100 – 125
ekor/m2 . Bila kepadatan ingin ditingkatkan harus dilihat daya dukung tambak dan sarana
pendukung lainnya.
 
Gambar 9. Proses adaptasi benih vaname
5.6. Monitoring kualitas air
Pengelolaan air untuk budidaya udang sama pentingnya dengan tehnik budidayanya,
karena air merupakan media terpenting bagi kehidupan organisme didalamnya. Dengan
pengelolaan air yang baik maka peningkatan produksi dapat diraih, untuk itu pengontrolan
kualitas air secara kontinyu perlu dilakukan.
Kualitas air tambak yang baik akan mendukung kesehatan dan pertumbuhan udang
vannmei . Parameter kualitas air yamg perlu diamati adalah :
         Salinitas
Salinitas merupakan ukuran bagi jumlah garam yang terlarut dalam suatu volume air.
Salinitas di tambak biasanya dipengaruhi oleh tingkat evaporasi dan curah hujan. Bila salinitas
tinggi proses osmoregulasi akan terganggu dimana perumbuhan udang akan lambat karena
energi lebih banyak untuk proses osmoregulasi dibanding untuk tumbuh selain itu udang
kesulitan untuk ganti kulit karena kulit cenderung keras.
         Suhu
Setiap organisme mempunyai persyaratan suhu minimum, optimum dan maksimum untuk
hidupnya dan mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan diri sampai suhu tertentu. Jika
suhu terlalu tinggi metabolisme akan berlangsung cepat sehingga kebutuhan oksigen akan
meningkat. Pada suhu rendah nafsu makan akan berkurang pemberian pakan harus dikurangi
agar tidak terjadi penumpukan sisa pakan dan bisa diberikan imunostimulan agar nafsu makan
meningkat bisa berupa pemberian Vitamin C maupun peptidoglikan.
         pH merupakan derajat keasaman suatu perairan, dimana pH yang ideal berkisar 7,5 – 8,5
         Kandungan oksigen
Oksigen terlarut merupakan parameter kualitas air yang kritis pada budidaya udang vaname
apalagi bila padat penebarannya tinggi. Konsentrasi oksigen terlarut dalam tambak selalu
mengalami perubahan, oleh karena itu pengelolaan tambak harus memantau perubahan
tersebut. Penambahan oksigen dapat dilakukan dengan penggunaan kincir selain itu dengan
adanya kincir akan terjadi arus sehingga dapat membantu berkumpulnya kotoran ditengah.
         Amonia merupakanhasil sekresi atau pengeluaran kotoran udang yang berbentuk gas,
selain itu dapat berasal dari sisa pakan. Amonia akan mengalami proses nitrifikasi bila tersedia
bakteri nitrobakter berubah menjadi nitrit dan denitrifikasi bila terdapat bakteri nitrosomonas
sehingga menjadi nitrat. Salah satu cara meningkatkan bakteri dapat menggunakan probiotik
yang mengandung bakteri yang dibutuhkan.
         Transparasi
Cahaya yang jatuh kepermukaan air sebagian akan dipantulkan dan sebagian lagi diteruskan
ke dalam air. Cahaya ini akan disebar dan diserap, cahaya yang diserap akan diubah menjadi
panas. Sedangkan cahaya yang disebar akan mennentukan kecerahan suatu perairan,
dimana kecerahan juga tergantung pada banyaknya partikel-partikel koloid serta jasad renik
yang ada dalam air
Tabel 3. Parameter Kualitas Air Pemeliharaan

No Parameter Kisaran
1 Salinitas ( ppt ) 15 – 25
2 Suhu ( 0 C ) 28,5 – 31,5
3 pH 7,5 – 8,5
4 Oksigen ( ppm ) 3,0 – 7,5
5 Alkalinitas ( ppm ) 120 – 160
6 Nitrit ( ppm ) 0,01 – 0,05
7 NH3 ( ppm ) 0,05 - 0,10
8 H2S ( ppm P 0,01 – 0,05
9 Bahan organik ( ppm ) < 55
10 Phospat ( ppm ) 0,10 – 0,25
11 Transparasi 30 – 40

5.7. Manajemen Efluen Dan Limbah Padat


Air buangan tambak mengandung bahan-bahan cemaran yang bersumber dari sisa-
sisa pakan, hasil ekskresi metabolit, detritus, mikroorganisme dan residu berbagai bahan
pengendali lingkungan dan penyakit. Bahan – bahan tersebut pada umumnya dapat sebagai
pencemar air dilingkungan alami tambak. Oleh karena itu setiap kegiatan budidaya udang
harus melakukan perbaikan kualitas air buangan tambak agar dapat memenuhi Baku Mutu
Efluen Tambak yang ditetapkan ( tabel 4 ). Untuk memperbaiki mutu air buangan, harus
memperhatikan hal=hal sebagai berikut
a.      Melakukan upaya-upaya pengendapan bahan tersuspensi melalui tandon.
b.      Menggunakan biofilter untuk pemulihan kualitas air.
c.      Mengangkat bahan-bahan terendapkan dari tandon.
d.      Penanaman mangrove pada areal pembuangan.
e.      Menerapkan sistim resirkulai / pergantia air minimum ( less water exchange ) pada tambak
intensif atau semi intensif, khususnya di kawasan padat tambak dan tercemar.
Tabel 4. Baku Mutu Efluen Tambak Udang
No Parameter Satuan Besaran
I Fisika
1. TSS NTU ( nephelometer turbidity unit ) ≤ 200
2. Kekeruhan Mg /l ≤ 50
II Kimia
1. pH Mg /l 6,0 - 9,0
2. BOD Mg /l ≤ 200
3. PO4 Mg /l < 45
4. H2S Mg /l < 0,1 - < 0,03
5. NO3 Mg /l < 75
6. NO2 Mg /l < 2,5
7. NH3 Mg /l < 0,1
III Biologi
1. Dinoflagelata
a. Gymnodinium Individu / l < 8 x 102
b. Peridinium Individu / l < 8 x 102
2. Bakteri patogen CFU ( colony froming unit ) < 102

5.8. Pakan
Kegiatan yang paling penting dalam budidaya udang vaname adalah pemberian pakan.
Pakan yang diberikan harus memenuhi kebutuhan nutrisi bagi pertumbuhan udang yang
dibudidayakan serta harus disesuaikan dengan kebiasaan makan dan tingkah laku udang itu
sendiri. Nutrisi pakan terdiri dari protein, lemak, karbohidrat. Udang vaname memerlukan
formulasi pakan dengan kandungan protein antara 28 – 30 %.
Pakan harus memiliki daya rangsang dan kekompakan dan daya tahan yang lama
dalam air, karena akan membantu penyediaan pakan ditambak lebih lama tidak cepat terirai
sedangkan daya rangsang akan menambah nafsu makan. Perangsangan/attractant akan
keluar dari pellet kemudian ditangkap melalui Chemoreceptor yang ada pada tubuh udang.
Udang mengkonsumsi pakan melalui penciuman bukan penglihatan. Oleh karena itu warna
pakan tidak terlalu penting, meskipun demikian pakan harus memiliki warna yang seragam
karena perbedaan warna menunjukkan kurang baiknya pencampuran bahan baku (mixing).
Pencampuran yang kurang merata menyebabkan zat gizi dalam pakan tidak merata.
Pakan harus memiliki daya tahan dalam air atau tidak mudah terurai, bila tidak akan
menyebabkan pencemaran air, begitu juga zat perangsang pada pakan akan terlepas. Bila
pakan sudah tidak ada zat perangsang maka udang tidak mau makan
Dosis pemberian pakan dari udang mulai ditebar sampai waktu panen bervariasi
dimana udang muda perbandingan antara jumlah pakan dan berat tubuhnya lebih tinggi dari
udang yang dewasa. Hal ini dikarenakan udang muda metabolismenya lebih tinggi sehingga
membutuhkan pakan yang banyak sebagai sumber energi. Jumlah pakan yang diberikan
selama pemeliharaan di tambak sebagai berikut :

Tabel 5. Program standar pemberian pakan pada budidaya udang di tambak.


Umur Dosis Frek. Cek
Ukuran Bentuk Nomor
Udang Pakan Pakan Anco
(gr) Pakan Pakan
(hari) (%) /Hari (jam)
1 – 15 PL 10-0,1 Fine crumble 0 75-25 3 -
16-30 1,1-2,5 Crumble 1+2 25-15 4 -
31-45 2,6-5,0 Crumble 2 15-10 5 2,0-3,0
45-60 5,1-8,0 Pellet 2+3 10 - 7 5 2,0-2,5
61-75 8,1-14,0 Pellet 3 7-5 5 1,5-2,0
76-90 14,1-18,0 Pellet 3+4 5–3 5 1,5-2,0
91-105 18,1-20,1 Pellet 4 5–3 5 1,0-1,5
106-120 20,1-22,5 Pellet 4 4–2 5 1,0-1,5

Manajemen pakan dalam budidaya udang bertujuan untuk meningkatkan efesiensi


pakan yang digunakan dan meminimalkan limbah pakan dalam tambak. Langkah-langkah
yang harus diterapkan dalam melakukan manajemen pakan adalah sebagai berikut :

a. Pakan buatan yang digunakan tidak kadaluwarsa dan harus memenuhi standar nutrisi.
b. Pakan harus disimpan di tempat yang sejuk dan kering untuk menghindari penjamuran
dan kontamonan lain.
c. Pemberian pakan harus dilakukan dengan tepat untukmenjamin udang mengkonsumsi
pakan secara maksimal dan tidak meninggalkan kelebihan pakan di tambak.
d. Penggunaan pakan segar harus bermutu baik dan tidak mengandung penyakit.
e. Penumbuhan pakan alami pada tambak ekstensif ( sederhana ) melalui pemupukan
mutlak dilakukan.

Gambar. 10. Pemberian pakan


VI. PANEN

Salah satu rangkaian hasil kegiatan akhir dari usaha pembesaran udang adalah
pemungutan hasil atau panen. Pencapaian hasil panen yang optimal dapat diperoleh dengan
dukungan faktor produksi yang baik misalnya pemilihan lokasi yang tepat, padat tebar yang
optimal, kulitas pakan tinggi, pemberian pakan yang optimal dan pencegahan serta
penanggulangan penyakit yang tepat dan benar.
Pada akhir masa pemeliharaan selama kurang lebih 114 dengan padat penebaran 62
ekor/m2 udang vaname dapat mencapai rata-rata berat 17,7 gram. Pemanenan dapat
dilakukan secara total maupun selektif. Adapun beberapa hal yang perlu diperhatikan pada
saat panen yaitu :

1. Antara 2 – 3 hari sebelum panen dilakukan perlu diberi kapur 10 - 20 ppm


2. Pada waktu pemanenan pemberian pakan harus dihentikan
3. Tidak melakukan pergantian air 3 – 4 hari sebelum panen
4. Panen dilakukan dengan pemasangan jaring di pintu pengeluaran
5. Pada saat volume diturunkan secara bertahap sembari melakukan panen udang
6. Sebaiknya panen dilakukan pagi atau sore hari untuk menjaga kualitas udang

Adapun langkah pemanenan adalah :

6.1. Persiapan
Kegiatan ini meliputi penyediaan alat untuk panen diantaranya timbangan, kranjang
bambu/plastik, jaring panen, cold box sedangkan bahan yang digunakan air tawar dan es

6.2. Pelaksanaan
Jaring panen terlebih dahulu dipasang sehingga pada saat pintu air dibuka air dan udang
keluar bersamaan. Udang yang ada di dalam jaring kemudian dikeluarkan dan dimasukkan ke
dalam keranjang. Keranjang yang telah penuh dibawa ke tempat penyortiran dengan terlebih
dahulu dibersihkan dengan menyemprot air tawar kemudian ditimbang.

6.3. Penanganan hasil panen


Hasil panen harus mendapat perhatian karena selain mempertahankan kualitas agar
baik juga meningkatkan harga jual. Setelah dipanen hasil panen harus selalu dalam rantai
dingin atau dilakukan pengesan dari saat panen, diangkut sampai ke pabrik pengolahan (cold
storage). Hal ini dikarenakan udang merupakan produk high perishable food (produk yang
cepat mengalami pembusukan). Dengan penanganan hasil panen pada suhu berkisar 00C
diharapkan aktifitas bakteri dan enzim pembusuk dihambat. Jumlah es yang digunakan
tergantung banyaknya hasil panen dan jarak yang dipergunakan selama transportasi. Es yang
digunakan harus potongan kecil-kecil (es curah) dengan perbandingan 1:1 ditata secara
berlapis.
6.4.. Manajemen Pasca Panen
Manajemen pasca panen dalam budidaya udang dimaksudkan untuk memberikan
jaminan mutu produk dan keamanan pangan. Langkah –langkah yang harus dilakukan
sebagai berikut :
a.      Apabila selama pembudidayaan dipergunakan obat-obatan dan bahan kimia, pemanenan
dilakukan setelah udang tidak mengandung residu.
b.      Peralatan panen harus menggunakan bahan yang tidak merusak fisik, tidak mencemari
produk dan mudah dibersihkan.
c.      Pemanenan dianjurkan dilakukan pada waktu malam atau pagi hari.
d.      Udang hasil panen harus dicuci dengan air bersih dan segera didinginkan dengan es.
VII. HAMA DAN PENYAKIT
Hama dan penyakit pada kegiatan budidaya penting diperhatikan karena adanya hama
maupun penyakit dapat menggagalkan usaha budidaya. Penyakit yang timbul diakibatkan
adanya hasil interaksi yang tidak serasi antara kondisi lingkungan, udang yang dibudidayakan
dan penyakit. Interaksi yang tidak serasi ini menyebabkan stres sehingga mekanisme
pertahanan diri lemah dan akhirnya mudah terserang penyakit. Manusia memegang peranan
untuk mencegah timbulnya penyakit yaitu dengan memelihara keserasian interaksi antara
ketiga komponen tadi, sehingga serangan penyakit dapat dihindari.

Kondisi yang dapat memicu timbulnya penyakit bisa disebabkan karena :


a.      Stres (misalnya meningkatnya suhu air dapat menyebabkan metabolisme meningkat yang
dapat menyebabkan ikan menjadi tidak mau makan)
b.      Kekurangan gizi (misalnya pakan yang kandungan proteinnya rendah akan menghambat
pertumbuhan dan mudah terserang penyakit)
c.      Pemberian pakan yang berlebihan (pemberian pakan yang berlebihan akan menimbulkan
penumpukan di dasar tambak sehingga dapat mempengaruhi kualitas air menjadi jelek)
d.      Keracunan (Biasanya yang sering menyebabkan keracunan adalah adanya kandungan
nitrit maupun amonia yang tinggi hal ini dikarenakan dasar tambak yang kotor)
e.      Kualitas air (jumlah maupun kualitas air mempengaruhi dimana air yang tercemar dapat
menyebabkan udang keracunan dan air yang jumlahnya sedikit akan menyebabkan
kedalaman air di tambak rendah sehingga udang akan mengalami stres)
f.        Faktor genetik
g.      Jasad patogen (bakteri, virus dan parasit). Beberapa virus yang menyerang diantaranya
jenis

1. WSSV (White Spot Syndrome Virus) dimana gejalanya muncul bintik-bintik putih pada
bagian eksoskeleton dan epidermis setelah 2 hari serangan virus ini menyerang karapas
dan kemudian menjalar ke seluruh bagian tubuh. Selanjutnya udang akan berenang
dipermukaan dan berkumpul di pinggir biasanya juga disertai dengan rusaknya antena.
2. IHHNV (Infectious Hypodermal and Hematopoietic Virus Diseases) dimana gejalanya
berenang tidak beraturan bahkan berputar-putar dan kadang-kadang muncul
dipermukaan.
3. BP (Baculovirus Penaeid)
4. BMN (Baculoviral Midgud gland Necrosis)
5. MBV (Monodon Baculovirus)
6. GPV (Hepatopancreatic Parvo – like Virus)
7. HPVREO (Hepatopancreatic Reo – like Virus)
8. TSV (Taura sundrome virus)
9. IHHNV (Infection hypodermal hematopoetic necrosis virus)
10. IMNV (Infectious Myo Necrosis Virus) dimana udang yang terserang tubuhnya berwarna
merah seperti terbakar.
Penyakit yang disebabkan oleh organisme parasit adalah Zoothamniumiosis yang
disebabkan oleh Zoothammnium sp. Sedangkan penyakit yang disebabkan oleh bakteri
adalah :
a.      Vibriosis disebabkan bakteri Vibrio sp
b.      Penyakit insang hitam disebabkan bakteri benang Leucothrix sp

Pencegahan penyakit dilakukan dengan cara :

a. Menggunakan air yang bersih tidak tercemar


b. Penggunaan benur yang bebas penyakit
c. Pemberian pakan yang baik (kualitas maupun kuantitas)
d. Pencegahan dengan cara pemberian antibiotik yang aman maupun menggunakan
sistem pemeliharaan yang ramah lingkungan dengan probiotik maupun sistem
pemeliharaan organik.

Gambar 12. Udang Vanamei Terserang IMNV


7.1.           Prinsip Bio Sekuriti Untuk Mencegah Masuknya Patogen
Di dalam suatu sitem budidaya, karier pembawa patogen meliputi inang yang terinfeksi
(benih, induk, vektor dan inang perantara), karier inang biologis lainnya (burung, anjing,
serangga dan manusia) serta perantara lain (air, mobil, ember, sepatu, jaring, pakaian). Karier-
karier tersebut dapat masuk ke dalam sistem budidaya melalui air, udara maupun sarana
tranportasi (jalan). Penularan melalui air meliputi air yang terkontaminasi dari effluen serta
inang alami di pweairan. Penularan udara dapat melalui burung yang bermigrasi, serangga
maupun angin. Penularan darat melalui aktivitas manusia, hewan, mobil dan perlatan
lapangan.
Pencegahan masuknya organisme patogen lewat air dapat dilakukan dengan upaya-
upaya sebagai berikut:
a)       Pemilihan lokasi yang tepat untuk menghindari sumber air yang terkontaminasi
b)       Minimalisir penggunaan air
c)       Penggunaan sistem tertutup
d)       Penggunaan fasilitas water treatment
e)       Pemasangan waring (screens) dan filter pada pintu pemasukan air
f)         Penggunaan disinfektant yang diperbolehkan.
g)       Penggunaan sistem tandon (reservoir)
h)       Penggunaan air tanah yang bijaksana
Resiko penyebaran penyakit lewat udara dapat dicegah dengan penempatan lokasi
budidaya yang jauh dari tempat limbah budidaya lainnya, penutupan tambak dengan jaring,
program penghalau burung liar dan kontrol serangga liar. Organisme patogen yang
kemungkinan dapat masuk lewat jalan darat dapat direduksi dengan upaya-upaya antara lain
skrining benih atau induk yang digunakan dalam budidaya, adanya pembatasan bagi
pengunjung, pemagaran lokasi budidaya, penggunaan prosedur sanitasi yang ketat bagi
pengunjung maupun staf (bak perendaman kaki, kebersihan tangan, penggunaan pakaian
kerja pelindung) dan mobil (bak perendaman ban mobil), pembatasan yang ketat dalam
penggunaan peralatan lapangan (jaring, ember, aerator) antar bagian dan pembatasan yang
ketat terhadap perpindahan ikan/udang yang dibudidaya antar bak atau petakan.
7.2.            Langkah-Langkah Pencegahan Masuknya Organisme Patogen
Pada budidaya ikan dan udang, organisme patogen khususnya virus dapat ditemukan
pada stadia larva, stadia dewasa, ikan/udang yang sakit atau mati serta pada hasil panenan.
Pada kasus penyakit white spot, WSSV juga seringkali ditemukan pada spesies krustasea liar,
organisme karier lain yang ada di luar maupun di dalam petakan tambak.
Beberapa langkah praktis yang dapat dilakukan untuk mengurangi masuknya bibit
penyakit ke dalam lokasi tambak antara lain: (1) persiapan tambak untuk mencegah masuknya
organisme patogen; (2) treatment air di tandon; (3) penggunaan filter pada saluran pemasukan
air; (4) pengurangan penggunaan air atau sistem tertutup dan (5) skrining benih dengan
menggunakan PCR.
Seringkali dalam suatu masa budidaya, udang sudah terinfeksi oleh virus berbahaya
seperti WSSV maupun TSV. Untuk itu perlu dilakukan upaya-upaya pencegahan agar virus
tersebut tidak menyebar atau meningkat keganasansannya. Upaya tersebut antara lain
pengurangan padat tebar maupun pencegahan kondisi stres pada udang dengan perbaikan
lingkungan seperti pengelolaan kualitas air yang baik, penggunaan pakan yang berkualitas
baik serta penggunaan immunostimulan. Deteksi awal terhadap udang yang sakit maupun
mati merupakan salah satu upaya untuk mengurangi dampak menyebarnya penyakit. Jika
suatu penyakit sudah menyerang satu petakan maka usahakan petak tersebut dilokalisir agar
tidak meyebar ke petakan lainnya. Selain itu, upaya pencegahan juga perlu dilakukan agar
penyakit tidak menyebar dari suatu lokasi tambak ke tambak yang lain sehingga penyakit
tersebut tidak menyebar dalam suatu kawasan.

VIII. ANALISA USAHA


Untik mengetahui besarnya keuntungan usaha pembesaran udang Vanname dilakukan
perhitungan B/C Ratio yaitu :
B/C Ratio = Jumlah Penerimaan : Total Biaya
Jika hasil perbandingan lebih dari 1 maka usaha pembesaran yang dilakukan adalah layak
untuk dikembangkan begitu pula sebaliknya.
Perhitungan usaha budidaya udang vaname secara semi intensif
(mengelola 4 petak dengan luas per petak + 4000 m2)

Harga
Total harga
No Komponen Satuan Volume satuan
(Rp)
(Rp)
1. Biaya sewa
1.       Lahan (4 petak @ + 4000) Petak 4 1.500.000 6.000.000
2.       Pompa air Unit 4 600.000 2.400.000
3.       Kincir air Unit 16 200.000 3.200.000
4.       Genset Unit 2 5.000.000 5.000.000
Sub total 20.600.000

2. Biaya operasional produksi


1.       Benih udang vaname Ekor 720.000 25 18.000.000
(padat tebar 40 ekor/meter)
2.       Pakan buatan (FCR 1,2)
Kg 7.680 8.500 65.280.000
3.       Kapur (dolomit)
Kg 2.500 500 1.250.000
4.       Feed additive
Paket 4 750.000 3.000.000
5.       Pupuk an organik
Paket 2 500.000 1.000.000
6.       Inokulan plankton
Paket 2 350.000 700.000
7.       Desinfektan
Kg 75 9.000 675.000
8.       Probiotik
Paket 1 750.000 750.000
9.       BBM
Paket 1 7.500.000 7.500.000
Sub total
98.155.000

3. Biaya tenaga kerja


       Tenaga kerja teknisi OB 4 1.000.000 4.000.000
(1 orang x 4 bulan)
       Tenaga kerja operator OB 8 500.000 4.000.000
(2 orang x 4 bulan)
Sub total 8.000.000
4. Biaya lain-lain
Persiapan lahan (4 petak) Paket 4 500.000 2.000.000
Biaya panen Paket 4 500.000 2.000.000
Biaya tak terduga paket 1 4.000.000 4.000.000
Sub total 8.000.000
5. Total biaya No 1 – 4 134.755.000
6. Suku bunga bank Persen 5 6.737.750 6.737.750
(1,2 % x 4 bulan)
7. Total biaya operasional 141.492.750
8. Penerimaan kg 6.400 30.000 192.000.000
SR (70 % x 160.000) : 70
ekor/kg
112.000 ekor : 70 =
1.600 kg x 4 petak
9. Keuntungan = penerimaan – pengeluaran
= 192.000.000 – 141.492.750
= Rp. 50.507.250,-
(rata-rata per bulan terima Rp. 12.626.000,-)
10. B/C ratio = 192.000.000 :141.492.750 = 1,36
DAFTAR PUSTAKA
Amri, K.. 2006. Budidaya Udang Windu Secara Intesif. Penerbit Agromedia Pustaka. Jakarta.

Anonymous, 2004. Pedoman Umum Budidaya Udang di Tambak. Departemen Kelautan dan
Perikanan, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, Direktorat Pembudidayaan. Jakarta.

Ghufran M. Kordi H. Panggulangan K,. 2004, .Hama dan Penyakit Ikan. Penerbit Bina
Adiaksara. Jakarta.

Haliman, R. W., Adijaya, D. S., 2006. Udang vaname. Penerbit Penebar Swadaya. Jakarta

Hanggono, B., 2006. Peranan Biosekuriti Dalam Budidaya Udang Vaname. Makalah Pelatihan
Best Management Practices (BMP) Budidaya Udang Vaname 6 – 11 Juni 2006. Balai
Budidaya Air Payau Situbondo

Lestari, Y. N, Subyakto, S., Triastutik, G., Hanggono, B., Nursanto, D.B., 2006. Waspadai
IMNV (Infectious Myonecrosis Virus). Balai Budidaya Air Payau Situbondo.

Santoso, D. 2006. Penerapan GAP (Good Aquaculture Practices) Pada Budidaya Udang di
Tambak. Makalah Pelatihan Best Management Practices (BMP) Budidaya Udang Vaname 6 –
11 Juni 2006. Balai Budidaya Air Payau Situbondo

Suyanto, S.R., Mujiman. A., 2005. Budidaya Udang Windu. Penerbit Penebar Swadaya.
Jakarta.

Wyban, J. A dan Sweeney, J. 1991 Intensif Shrimp Production Technology. Honolulu, Hawaii,
USA 96825.
PEDOMAN BUDIDAYA UDANG VANNAMEI
Track record yang bagus dari sisi keuangan maupun cara panen dan sampling- (masa
pemeliharaan 100-110 hari), nilai konversi pakan (FCR-nya) rendah (1:1,3).

Persiapan Lahan Meliputi kegiatan:1.


PERSIAPAN TAMBAK

 Pengeringan/pengolahan tanah dasar Air dalam tambak dibuang, tambak dikeringkan


sampai retak-retak kalau perlu di balik dangan cara ditraktor/cangkul sehingga sisa
amonia menghilang karena teroksidasi. Pengeringan secara sempurna juga dapat
membunuh bakteri patogen yang ada di petakan dasar
tambak.                                                                                                                                  
                     
 ikan-ikan liar diberantas dengan saponin, (7,5-10kg/tambak) dengan tinggi air tambak
5cm
 Pembersihan lahan (dasar dan dinding kolam) dari sisa-sisa kotoran dalam budidaya
siklus sebelumnya diantara nya melalui penyemprotan  kolam /cuci kolam,
pembersihantiram, penyikatan sisa lumut dan kerak.2.    
 Pengisian air di tambak sampai level maksimal sambil diamati apakah ada kebocoran
atau tidak .
 Pembersihan dan perbaikan alat-alat pendukung budidaya seperti kincir, anco, jembatan
anco.
 Sterilisasi lahan dan alat dengan penyemprotan larutan kaporit (1/2kg-5kg kaporit
/tambak) dengan tujuan untuk membunuh spora/kistabakteri dan kemungkinan sisa-sisa
virus4.

Pengapungan dan pemupukan

Untuk menunjang berbaikan kualitas tanah dan air dilakukan pemberian kapur pertanian
( kaptan) sebanyak  200 kg/(4sak)pertambak.  selanjutnya masukkan air ketambak sehingga
tambak menjadi macak-macak kemudian dilakukan pemupukan dengan pupuk urea (10-25
kg/pertambak) secara merata.
Pengisian air
Pengisian air dilakukan setelah seluruh persiapan dasar tambak telah rampung dan air
dimasukkan ke dalam tambak secara bertahap. Ketinggian air tersebut dibiarkan dalam tambak
selama 1 minggu/10hari, sampai kondisi air betul-betul siap ditebari benih udang. tinggi air di
petak pembesaran diupayakan ≥1,0m.
Persiapan planktonTujuan untuk menumbuhkan plankton yang baik menggunakan fermentasi katul.
Caradan dosis fermentasi katul untuk lahan 1000m2 yaitu: 10kg katul, 2liter tetes, 1kg
pakan,200gram ragi. Semua bahan dicampur dengan air hingga seperti bubur kemudianditutup
rapat selama 45-48 jam yang kemudian ditebar di petakan pada pagi hari danmulai saat itu
kincir harus hidup 24 jam nonstop minimal 2 kincir tiap petak 1000m2
hingga hari penebaran benur. Kegiatan pembuatan fermentasi diulang minimal 3 kalisampai
saat tebar hingga didapatkan kecerahan air optimal 70cm. jika sampai 2 harisebelum tebar kondisi
plankton masih tipis maka bisa dilakukan treatmen kultur suoerNB dengan dosis (utk petakan 1000m2):
Super NB 250ml dan tetes 1 liter dicampur airtawar 25 liter dan diaerasi selama 12-16 jam
kemudian ditebar di petakan pada pagi hariTebar BenurWaktu yang tepat untuk tebar benur
adalah pagi hari menjelang subuh hingga matahari terbitatau sore hari sekitar 2 jam sebelum
matahari tenggelam hingga sekitar 2 jam setelah mataharitenggelam. Yang harus diperhatikan
dalam penebaran adalah adaptasi benur dan efektifitasuntuk itu perlu diatur tenaga untuk
penebaran. Yang paling tepat dalam 1 petak minimal ada 3orang, dan harus dipastikan setelah
kantong keluar dari box dalam waktu maksimal 1 jam sudahharus ditebar. Prosedur dalam
penebaran:-
Penebaran benur:
Kantong-kantong benur dibiarkan mengapung di air tambak dengan catatan maxsimal 1jam
gakboleh lebih, hingga mengembun dengan tujuan menyamakan suhu karena suhu dalam box
selama perjalanan benur dibuat lebih dingin dari suhu air nirmal untuk menghindari stress-
Setelah cukup mengembun (sekitar 15-30 menit) maka benur sip dilepas ke tambak dengan cara
mencampur air tambak ke dalam kantong kira-kira 1/5 volume air kantong dengan tujuan untuk
menyamakan beberapa parameter seperti pH dansalinitas-
Selama penebaran minimal kincir hidup 1 unit-
Saat penebaran dilakukan sampling jumlah benur dengan sampel 2 kantong benurdari box yang
berbeda untuk mengetahui jumlah benur yang lebih actual sehinggatidak keliru dalam
menetukan program pakan di kemudian hariPemberian pakanPemberian pakan selama budidaya
dibagi menjadi 2 bagian yaitu program pakan buta danprogram pakan terkontrol. Program
pakan buta adalah pemberian pakan berdasarkan jumlahbenur yang ditebar dengan asumsi
benur hidup 100%. Biasanya dilakukan selama 30 haripertama. Sedangkan program pakan
terkontrol adalah program pakan berdasarkan hitunganfeeding rate dan control anco, biasanya
dilakukan setelah 30 hari. Dalam feeding programterkontrol yang harus diperhatikan adalah
ketepatan % pakan di anco, waktu control anco, danpengambilan keputusan dalam menambah
dan memotong pakan.Criteria dalam penambahan pakan:
-PAKAN:3.
Pakan di anco habis tepat  waktu maka penambahan pakan mengikuti feeding program berdasarkan
estimasi pertumbuhan udang pada keesokan harinya-
Pakan di anco habis 30 menit sebelum waktunya dengan adg di bawah standard maka pakan bisa
dinaikkan 10% pada keesokan harinya-
Pakan di anco sisa sedikit (<10%) maka pakan utk besok tetap-
Pakan di anco sisa banyak (<25%) maka pakan dipotong 25% dari posisi saat ini pada jam
pakan berikutnya-
Pakan di anco sisa banyak >25% maka pakan dipotong 50% dari posisi saat ini pada jam pakan
berikutnya-
Pakan di anco sisa >50% maka udang dipuasakan pada jam pakan berikutnya dandiberi makan
25% dari seharusnya di jam pakan setelah puasa-
Jika dosis pakan 25% masih tidak habis maka bisa dipuasakan 2 kali jam pakan-
Selain berdasarkan control anco, penambahan dan pemotongan pakan juga harus mempertimbang kan
kualitas air di mana pakan harus dipotong pada air dengan kecerahan <15cm dengan warna
apapun, atau warna air merah dan menyala dimalam hari dengan kecerahan berapapun. Pakan
juga harus dipotong jika airberwarna hijau tua pekat atau terindikasi dominasi BGA (alga hijau
biru), plankton merah (red tide), plankton diatom dengan warna coklat kemerahan dan total
vibriotinggi >50% dari total bakteri.-
Perhitungan pakan untuk saat ini menggunakan feeding rate dengan rumusFR= 13.66 * mbw
^0.593; FR= Feeding Rate, mbw= berat rata-rata udangTotal pakan harian = Biomass x FR
dalam %Biomass = jumlah tebar x mbwBiomass =

  pakan harian/FR Prinsip pemberian pakan: dalam hal pemberian pakan yang paling bisa
dipercayaadalah anco
  kalau kita tidak percaya anco maka kita mau percaya kepada siapalagi?
 Pemakaian Obat-obatan.
Feed additive yaitu zat yang dicampurkan di pakan untuk meningkatkan mutu pakan,utk saat ini
kita memakai vitamin C, fungsinya untuk meningkatkan daya tahan tubuhter hadap stress.
Pemakaian setiap hari mulai hari ke-15 dosis 3-5 gram/kg pakan di saat jam pakan terbanyak.
Bisa juga dengan model 3 hari pakai 3 hari libur.
Probiotik, yaitu mikroba yang berguna untuk mendukung kehidupan udang danekosistem di air.
Saat ini kita memakai 3 macam probiotik yaitu:-
Golongan bakteri nitrifikasi dengan merek dagang Super NB, fungsinya untukmenumbuhkan
plankton dengan cara mengubah nitrit dan ammonium menjadinitrat yang merupakan nutrisi untuk plankton.
Aplikasi bisa dengan cara diaktifasidengan mencampur tetes dengan perbandingan 1 super NB:2
tetes:100 air tawardan diaerasi selama 12-16 jam. Bisa juga ditebar langsung dengan dosis 0.25-
0.5ppmpada saat-saat kritis. Pemakaian normal untuk bulan I adalah 5 hari sekali dan dibulan
ke-2 dst. seminggu sekali-
Golongan bakteri Fotosintetis dengan merek dagang Super PS, fungsinya sebagaipengurai sisa-
sisa pakan dan plankton mati menjadi molekul yang lebih sederhanadan tidak membahayakan
udang dengan cara memecah H2S dalam proses aktifiasbakteri tersebut. Pemakaian mulai
setelah udang umur 2 minggu dengan frekuensiseminggu sekali dan ditingkatakan menjadi
seminggu 2 kali pada saat kondisi airmulai pekat-
Golongan bakteri bacillus sp terutama bacillus subtilis yang berfungsi untukmenekan
pertumbuhan plankton supaya tidak terlalu pekat, selainitu bakteri ini jugamengeluarkan
enzyme yang berguna untuk menekan perkembangan bakteri vibrio.Pemakaian sesuai kondisi
di lapangan terutama saat plankton hijau terlalu pekatdenga nkecerahan <25cm dengan dosis
0.25-0.5ppm dengan frekuensi 5 hari sekali3.
Kaptan atau kapur pertanian fungsinya untuk mempertahankan alkalinitas dan
menjagakestabilan pH air, Megendalikan pertumbuhan plankton,  mengikat kelebihan
phospat.Pemakaian tiap hari di pagi hari saat plankton mulai stabil di kecerahan 40cm,
dosis5ppm, atau di malam hari saat plankton berwarna merah dengan dosis 5-10ppmSilica gel
fungsinya untuk membantu pembentukan kulit udang saat moulting, karena moultingsecara
massal biasa terjadi di saat purnama dan tilem maka aplikasi dilakukan pada 2 harisebelum,
pada saat, dan 2 hari setelah purnama dan tilem dengan dosis 1ppm
 Beberapa Parameter kualitas air yang Penting1.
Kecerahan
Digunakan untuk indicator kepadatan plankton, yang ideal adalah 70cm saat tebar,40cm di
bulan I, dan di bulan selanjutnya maksimal 25cm jadi untuk nilai kecerahan <25harus ada
perlakuan pengenceran plankton. Diukur sehari sekali pada jam 11 siangdengan tempat dan
pengukur yang sama
Total bakteri dan Total vibrioUntuk mengetahui komposisi bakteri yang merugikan (vibrio)
idealnya di cek 5 harisekali. Vibrio maksimal 10 % dari total bakteri dengan catatan vibrio
harveyii harus 0PenyiphonanPenyiphonan dilakukan untuk menjaga dasar kolam agar selalu
bersih dari kotoran sisa pakan,plankton mati dan kotoran serta sisa moulting1.
Penyiphonan pertama dilakukan minimal umur 16 hari2. UDANG umur 1bulan.
Selanjutnya dilakukan setiap hari sampai dasar bersih3.

Setelah semuanya bersih bisa dijadwalkan 3 hari sekali atau tergantung kondisi lahan Hal-hal
yang harus dilakukan penyiphonan di luar jadwal-
Perubahan warna air dan kecerahan yang drastic-
Sebelum kegiatan panen parsial -
Saat mengubah arah kincirSistem AerasiMenggunakan kincir dengan perbandingan biomass
minimal 1 kincir untuk 600kg udang atau 1kincir untuk 12kg pakan.
Aturan jam opersi kincir tiap 100.000-150.000 benur:-

1. 10 hari pertama: 2kincir siang, 2 kincir malam-

2. 10 hari ke 2 : 2 kincir siang, 3 kincir malam-

3. 10 hari ke 3: 2 kincir siang, 3 kincir malam-

4. >30 hari 3 kincir siang, 4 kincir malam-

5. kincir dimatikan saat feeding:-

6. 15 menit sebelum dan 1 jam sesudah feeding di bulan 1-

7. 15 menit sebelum dan 30 menit sesudah feeding s.d DOC 45- >DOC 45 dimatikan 15
menit sebelum dan sesudah feeding
 
PanenDibagi menjadi panen parsial dan panen total1.
Panen parsialPanen parsial bertujuan untuk mengurangi kepadatan dan biomass udang di
kolam.Panen parsial yang pertama dilakukan untuk menurunkan kepadatan udang ditambak
sehingga menjadi 125-140 ekor/m2, sedangkan panen parsial selanjutnyadilakukan jika rasio
pakan dan kincir >12 atau biomass melebihi 1.8kg/m2.
Panen totalDilakukan setelah udang mencapai size yang diinginkan dan biomass mencapai
puncak maksimalnya di kisaran 2.3-2.7/m2 atau pertumbuhan sudah tidak optimalsedangkan
umur maksimal untuk pertumbuhan yang optimal 125 hari.Criteria dalam memeilih pembeli
udang-
Manajemen Pakan Udang Vannamei di BBAP Situbondo (23-10-11)

5.1. Pemeliharaan Larva


5.1.1. Persiapan Bak Pemeliharaan Larva
Di BBAP Situbondo bak yang digunakan untuk pemeliharaan larva udang vannamei
terbuat dari semen dilapisi cat berwarna biru muda, berbentuk persegi panjang dengan
kemiringan 3% ke arah pembuangan, dan berkapasitas 10 ton.
Dalam kerjanya pembersihan bak dilakukan dengan cara membilas bak dengan menggunakan
air tawar sampai bersih. Selanjutnya dilakukan pengeringan hingga hari berikutnya. Kemudian,
diberi kaporit 60% sebanyak 100 ppm secara merata pada dinding dan bagian dasar bak dan
dibiarkan selama 1 hari lalu dibilas lagi dengan sabun deterjen dan air tawar, setelah itu
dilakukan pengeringan selama 2 hari. Proses pencucian bak dilakukan dengan menggunakan
deterjen secukupnya dan dilarutkan dengan air tawar pada timba, kemudian dinding dan
bagian dasar bak digosok-gosok menggunakan spon lalu dibilas kembali dengan air tawar
hingga bersih. Hal ini sesuai dengan pendapat Subaidah, dkk (2006), yang menyatakan
bahwa pencucian bak dilakukan dengan menggunakan kaporit 60% sebanyak 100 ppm yang
dicampur dengan deterjen 5 ppm dan dilarutkan dengan air tawar pada wadah atau ember
kemudian dinding dan dasar bak digosok-gosok dengan menggunakan scoring pad dan dibilas
dengan air tawar hingga bersih dan kemudian dilakukan pengeringan selama dua hari.
Pencucian dan pengeringan bak ini bertujuan untuk menghilangkan dan mematikan
mikroorganisme pembawa penyakit.
5.1.2. Persiapan Air Media
Pengisian air laut kedalam bak pemeliharaan larva dilakukan dengan menggunakan
filter bag ukuran 10 µ, sebanyak 7 ton atau setengah dari kapasitas bak. Pengisian air laut
dapat dilihat pada Gambar 5.
Air yang dimasukkan berasal dari laut yang disedot pompa air kedalam tandon hingga
akhirnya disedot menuju bak pemeliharaan larva. Setelah itu air di treatment dengan
menggunakan EDTA 5 ppm, dan diaerasi kuat selama 24 jam agar larutan dapat tercampur
rata dengan air media tersebut. Kemudian diendapkan selama 15 menit. Setelah itu air media
dibuang sedikit untuk menghilangkan sisa endapan EDTA untuk dapat bisa digunakan
selanjutnya. Persyaratan kualitas air yang dimasukkan sudah cukup baik, karena dalam
persiapan air sebelumnya air laut telah di treatment dan juga melewati proses sinar UV selama
ada di bak tendon.
Untuk menjaga agar suhu air selalu baik, maka bak pemeliharaan ditutup dengan terpal
biru. Fungsinya agar suhu air tetap berada di suhu normal dan kualitas air akan tetap baik.
5.1.3. Penebaran Naupli Udang Vannamei
Naupli yang ditebar berasal dari BBAP Situbondo itu sendiri. Penebaran naupli
dilakukan pada pagi hari, hal ini dilakukan dengan harapan untuk menghindari fluktuasi suhu
yang terlalu tinggi terhadap lingkungan.
Padat tebar dalam bak pemeliharaan larva sebanyak 167 ekor/liter, dengan populasi
mencapai 1.170.000 ekor/bak 10 ton dengan stadia tebar Naupli (N) untuk 7 ton volume air.
Padat tebar yang dilakukan oleh BBAP Situbondo tersebut berbeda dengan Better
Management Practices (BMP) Manual for Black Tiger Shrimp (Penaeus monodon) Hatcheries
(2005), yang menyatakan bahwa padat tebar naupli sekitar 100 - 150 ekor/liter dalam air
media pemeliharaan sekitar 50 - 75 % dari volume bak.
Sebelum ditebar naupli yang masih berada dalam ember diaklimatisasi terlebih dahulu
pada bak pemeliharaan larva selama ± 15 menit. Aklimatisasi terhadap suhu dan salinitas
perlu dilakukan sebelum naupli ditebar ke dalam bak pemeliharaan larva agar naupli tidak
mengalami stres.
Setelah dilakukan penebaran aerasi harus diatur, jangan sampai aerasi dalam bak
terlalu besar dan terlalu kecil sehingga dapat menyebabkan stres pada nauplius. Kualitas air
media di BBAP Situbondo cukup baik, dengan suhu 31 - 32 0C, salinitas 32 ppm, dan pH
sebesar 7,5. Sehingga naupli udang vannamei dapat beradaptasi dan tumbuh dengan baik.
5.2. Manajemen Pakan Larva Udang Vannamei
Jenis pakan yang diberikan pada larva udang vannamei terdiri dari pakan alami dan
pakan buatan. Pakan alami yang digunakan adalah Skeletonema dan Artemia. Sedangkan
untuk pakan buatan menggunakan beberapa merek seperti Rotemia, Rotofier, dan Brine
Shrimp Flakes. Hal ini sesuai pendapat Wardiningsih (1999), yang menyatakan bahwa, secara
umum pakan yang diberikan pada larva udang vannamei selama proses pemeliharaan ada
dua jenis yaitu pakan alami (phytoplankton dan zooplankton) dan pakan komersil (buatan).
Frekuensi pemberian pakan diberikan 8 kali sehari. Dosis pemberian pakan alami dan buatan
pada larva udang vannamei disesuaikan dengan stadia larva.
5.2.1. Pakan Alami
Pakan alami merupakan pakan yang sudah tersedia di alam. Berikut pakan alami yang
digunakan di BBAP Situbondo:
A. Skeletonema costatum
Skeletonema costatum merupakan salah satu jenis phytoplankton dari kelompok
diatom. Skeletonema ini digunakan sebagai pakan alami bagi larva udang vannamei dari
naupli3-mysis3. BBAP Situbondo dalam pengadaan pakan alami ini tidak dengan kultur sendiri,
melainkan BBAP Situbondo membelinya secara langsung dari PT Summa Benur sebanya 7
kantong. 1 kantong berisi 5 liter, seharga 10.000/kantong.
Gambar 6. Skeletonema c pada tempat penampungan
(Data primer, 2011)
Dosis yang diberikan sebanyak 10 liter setiap 1 pemberian pakan. Frekuensi
pemberian hanya 2 kali dalam sehari, pada pukul (07.00) pagi dan (15.00) sore hari.
Penebarannya dengan mengambil skeletonema di bak penampungan sebanyak 10 liter
keadaan timba, selanjutnya dilakukan pemberian secara merata kebak larva.
B. Artemia salina
1. Proses Dekapsulasi dan Kultur Artemia
a)  Proses Dekapsulasi Artemia, dekapsulasi dapat diartikan sebagai proses
penipisan/pembersihan cangkang. Proses ini biasanya dilakukan untuk menipiskan
cangkang pada artemia, agar nauplius artemia dapat keluar dengan mudah.
1)    Ambil 1 kaleng cyste artemia lalu dibuka dan dituang ke dalam timba berukuran 10 liter,
rendam cyste artemia dengan air tawar ±7 liter selama 15 menit.
2)    Selanjutnya, tiriskan cyste artemia dengan saringan 100 µ. Kembalikan lagi cyste
artemia kedalam timba berukuran 10 liter, lalu beri chlorine sebanyak 1 liter. Fungsi
dari chlorine adalah melarutkan senyawa lipoprotein pada cangkang telur artemia yang
banyak mengandung heamatin sehingga mempercepat pengikisan cangkang telur
artemia.
3)    Aduk dengan tekanan yang kuat tujuannya untuk menghomogenkan larutan chlorine
dalam proses dekapsulasi, selama ± 5 menit.
4)    Setelah dekapsulasi cyste artemia, saring kembali dengan memakai saringan 100 µ,
lalu dibilas hingga bersih dengan air tawar sampai bau chlorine benar-benar hilang.
Proses pengadukan diulang 3-4 kali dengan chlorine yang diakhiri dengan perubahan
warna dari warna awal (coklat keputihan) menjadi warna orange atau merah bata.
Selama proses dekapsulasi diusahakan suhu tidak lebih dari 40ºC karena dapat
menyebabkan artemia terbakar dan mati.
5)    Kemudian dibungkus dengan plastik yang dibagi menjadi 15 bagian, masing-masing
sebanyak 80 grm. Proses dekapsulasi Artemia sp dapat dilihat pada Lampiran 3.
b)  Proses Kultur Artemia, kultur dapat diartikan sebagai proses membudidayakan mahluk
hidup dari ukuran kecil sampai ukuran yang diharapkan.
1)    Dalam setiap proses pengkulturan hanya membutuhkan satu bagian saja dan sisanya
dimasukkan ke dalam lemari pendingin. Kultur dilakukan setiap hari pada pagi hari
untuk memasok naupli artemia pada keesokan harinya.
2)    Tempat kultur atau menetaskan cyste artemia menggunakan timba bervolume 10 liter,
kemudian diisi air laut yang telah steril sebanyak 7 liter dan diberi aerasi. Selanjutnya,
sekitar 12-24 jam cyste artemia akan menetas menjadi nauplius artemia.
Keuntungan dari dekapsulasi artemia adalah:
1.    Membunuh bakteri dan jamur yang terdapat pada cyste melalui pemberian chlorine.
2.    Mengurangi kotoran cangkang setelah penetasan karena adanya penipisan pada
cangkang.
3.    Lebih cepat menetas karena nauplius artemia mudah merobek cangkang yang tipis,
sehingga tingkat penetasan tinggi.
2. Pemberian Nauplius artemia
Nauplius artemia merupakan pakan alami jenis zooplankton yang diberikan pada larva
udang mulai dari stadia post larva 1. Pemberian nauplius artemia dikarenakan banyak
mengandung nilai nutrisi yang sangat dibutuhkan oleh larva dan merupakan zooplankton yang
bergerak aktif sehingga dapat merangsang serta meningkatkan nafsu makan larva udang.
a. Dosis Pemberian
dosis pemberian pakan alami dilakukan pada stadia PL 1-PL9 dengan 100 - 200
ekor/hari. Dosis pemberian pakan alami dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Dosis Pemberian Pakan Alami
Nauplius
Skeletonema c
Stadia artemia Keterangan
(sel/ml/hari)
(ekor/hari)
Naupli3-4 Pemberian
Naupli5-6 Min.600 Skeletonema c
dan nauplius
Zoea1 Min.600
artemia
Zoea2 Min. 600 dilakukan pada
Zoea3 Min. 600 pukul 07.00
Mysis1 Min.600 atau 15.00
Mysis2 Min.600
Mysis3 Min.600
PL1 – PL9 100 - 200
Sumber : BBAP Situbondo (2011)
Kandungan nutrisi naupli artemia dapat dilihat padda Tabel 8.
Tabel 8. Kandungan Nutrisi Naupli Artemia
No. Kandungan Nutrisi Komposisi (%)
1. Protein 40 - 60
2. Karbohidrat 15 - 20
3. Lemak 15 - 20
4. Air 1 - 10
5. Abu 3- 4
Sumber : BBAP Situbondo (2011)
b. Frekuensi dan Waktu Pemberian
Frekuensi pemberian nauplius Artemia sama dengan Skeletonema c yaitu hanya dua kali
dalam sehari, pagi (07.00) dan sore hari (15.00).
c. Cara Pemberian
Pemanenan dilakukan setelah cyste menetas dengan cara mematikan aerasi dan
biarkan selama 5 - 10 menit agar sisa cangkang artemia yang tidak menetas mengendap di
dasar, nauplius artemia disaring dengan menggunakan saringan 100 µ dan dimasukkan
kedalam timba, kemudian dicuci dengan air laut. Nauplius artemia diberikan dengan cara
ditebar secara merata ke seluruh bagian bak pemeliharaan.
5.2.2. Pakan Buatan
1. Jenis Pakan Buatan
Pakan buatan merupakan pakan yang diberikan pada larva udang selama proses
pemeliharaan selain pakan alami. Pakan buatan berperan sebagai pakan tambahan dan untuk
menjaga agar tidak sampai terjadi under feeding. Hal ini sependapat Sumeru dan Anna
(1992), yang menyatakan bahwa pakan buatan merupakan alternatif yang penyediaannya
secara continue atau berlanjut memungkinkan dapat digunakan sebagai pengganti atau
pelengkap makanan hidup.
Di BBAP Situbondo pakan buatan diperoleh atau didapat dengan tidak memilih bahan
dan meramu pakan secara manual atau dibuat sendiri melainkan diperoleh dengan membeli
langsung dari produsen pembuat pakan buatan atau pabrik dalam bentuk powder dan cair.
Pakan buatan yang digunakan bermerek Rotemia yang memiliki komposisi atau kandungan
nilai gizi dan nutrisi yang tinggi yang sangat diperlukan bagi pertumbuhan larva udang. Untuk
lebih jelasnya mengenai komposisi pakan buatan dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Komposisi Pakan Buatan
Nama
No Pakan Stadia Ukuran Pakan Komposisi
Buatan

1 RotemiaTM N 300 meshes (20 - Protein min 52%, lipid 16 %,


Mysis3 50 µm) Fiber max 7 %, moisture 8
%, Ash max 6,5 %

2 Rotofier Z 150 - 200 meshes Protein min 50%, moisture


PL5 (50 - 100 µm) max 8%, Fiber max 6%, lipid
16%, Ash max 6,5%

3 Brine Z Mesh (75 - 150 µ) Protein min 48%, lipid 12%,


Shrimp PL10 Fiber max 3%, moisture 8%,
Flakes Ash max 10%
Sumber : BBAP Situbondo (2011)
Untuk lebih jelasnya mengenai macam pakan buatan dapat dilihat pada Gambar 8.

2. Pemberian Pakan Buatan


Pakan buatan berperan sebagai pakan tambahan yang ketersediannya secara continue
yang memungkinkan dapat digunakan sebagai pengganti atau pelengkap dari pakan alami.
Oleh karena itu, sirkulasi atau ketersediaan pakan alami tidak selalu ada setiap saat yang
mana harus melalui proses pengkulturan terlebih dahulu. Sedangkan pakan buatan
ketersediannya selalu ada karena dibuat oleh mesin atau pabrik dalam bentuk powder atau
cair dengan kandungan nutrisi dan nilai gizi yang tinggi serta lengkap, sehingga dapat
dijadikan pengganti atau tambahan pakan sewaktu pakan alami tidak tersedia.
a. Dosis, Frekuensi, dan Waktu Pemberian
Dosis pemberian pakan buatan tergantung dari tingkatan stadia larva, pakan buatan
mulai diberikan saat stadia zoea1 sampai post larva. Semakin tinggi tingkat stadia larva maka
pemberian pakan buatan semakin meningkat dikarenakan sifat dari udang vannamei yang
pemakan lambat dan terus-menerus, jika ketersediaan pakan tersebut habis maka sifat
kanibalisme udang muncul yang berdampak pada Survival Rate (SR).
Frekuensi pemberian pakan buatan di BBAP Situbondo 6 kali/hari dengan selang waktu
4 jam. Pemberian pakan buatan setiap 4 jam sekali karena untuk memperkirakan kondisi larva
itu lapar dan menghindari endapan-endapan dari sisa pakan sebelumnya. Dosis dan Waktu
Pemberian Pakan Buatan dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Dosis dan Waktu Pemberian Pakan Buatan
Dosis Jenis dan Waktu Pemberian Pakan
Stadia
(grm) 05.00 09.00 13.00 17.00 21.00 01.00
N2 – Z2 4 RT - - RT RT RT
Z2 – Z3 6 RT RT RT RT RT RT
Z3 – M1 7 RT RT RT RT RT RT
M1 – M2 8 RT RT RT RT RT RT
M2 – M3 9 RT RT RT RT RT RT
M3 – 10 RF- RF- RF- RF- RF- RF-
PL5 BSF BSF BSF BSF BSF BSF
Sumber : BBAP Situbondo (2011)
Keterangan:
RT : Rotemia (pakan buatan)
RF : Rotofier (pakan buatan)
BSF : Brine Shrimp Flakes (pakan buatan)
b. Cara Pemberian
Di BBAP Situbondo, pakan buatan terdiri dari dua macam bentuk yaitu dalam bentuk
powder (Rotemia, Rotofier, dan Brine Shrimp Flakes) dan cair. Kedua macam bentuk pakan
buatan tersebut dalam pemberiannya terlebih dahulu dilarutkan dengan air tawar. Misalnya,
pada stadia zoea2 pada pukul 13.00 diberikan pakan buatan Rotemia (powder), pada
pemeliharaan larva terdapat 1 bak yaitu: E1, padat tebar 1.170.000. Jadi, timbang pakan
buatan Rotemia dengan dosis 6 gram dan hari berikutnya menambah menjadi 7 gram, sampai
larva siap panen. Lain halnya dengan pakan buatan jenis Rotofier dan Brine Shrimp Flakes, ke
dua pakan tersebut dicampur dengan perbandingan 1:1, masing-masing 3 grm. Sebanyak 6
grm Rotemia dimasukkan ke dalam timba lalu disaring dengan saringan 100 µ dan dilarutkan
dengan air tawar ± 10 liter kemudian diaduk agar tidak terjadi endapan dan pakan buatan yang
telah tercampur dengan air tawar, pemberian dilakukan dengan cara menyebarkannya secara
merata ke seluruh permukaan air pada bak pemeliharaan. Pencampuran pakan buatan
dengan air tawar dan cara penyebaran pakan secara merata dapat di lihat pada Gambar 9 dan
10.
Pemberian pakan yang dilakukan sudah sangat efektif. Hal ini terlihat dari setiap
perkembangan stadia yang sehat dan terus berkembang bagi pertubuhan larva.
5.3. Pengelolaan Kualitas Air
Pengelolaan kualitas air pada pemeliharaan larva udang vannamei dilakukan dengan
beberapa cara, yaitu : penyiponan (dilakukan pada pagi hari saat pertumbuhan larva mencapai
stadia mysis1) dan ganti air (dilakukan pada pagi hari setelah larva mencapai stadia mysis 2)
dengan menurunkan air sebanyak 4 ton dari volume awal air 7 ton dan diiringi pengisian air
kembali sebanyak volume awal air. Monitoring kualitas air dilakukan setiap hari. Monitoring
yang dilakukan hanya pengamatan suhu saja, sedangkan yang lainnya seperti DO, salinitas,
dan pH, tidak dilakukan.
Pengukuran suhu air pemeliharaan larva udang vannamei di BBAP Situbondo
dilakukan dengan menggunakan termometer. Termometer diikat dalam media pemeliharaan
agar perubahan suhu yang terjadi dapat diamati. Pengukuran suhu dilakukan pada pagi dan
sore hari. Suhu pada pemeliharaan larva udang vannamei berkisar 31 - 32 0C, hal ini sesuai
dengan pendapat Haliman dan Adijaya, (2005) yang menyatakan bahwa suhu optimal
pertumbuhan udang antara 26 - 32 0C.
5.4. Pengendalian Penyakit
Pada pemeliharaan larva udang vannamei BBAP Situbondo, tidak ditemukan penyakit
Karena telah dilakukannya tindakan pencegahan. Tindakan pencegahan dilakukan dengan
cara mensterilisasi peralatan, pengeringan bak, melakukan treatment air, baik treatment air
tandon maupun treatment air media pemeliharaan larva.
Treatment air tandon hanya menggunakan sinar UV, sedangkan treatment air media
pada bak pemeliharaan menggunakan EDTA 5 ppm.
5.5. Monitoring Pertumbuhan
Monitoring pertumbuhan di BBAP SItubondo dilakukan sejak penebaran nauplius.
Setiap hari larva udang dikontrol dengan rutin. Monitoring ini bertujuan untuk :

1. Mengetahui sejauh mana pertumbuhan larva.


2. mengetahui stadia mana pertumbuhan larva.
3. Mengetahui perkembangan udang selama moulting.
4. Memprediksi hasil panen.
Monitoring ini dilakukan dengan mengambil sampel dari beberapa titik, namun yang sering
diambil yaitu titik pojok bak karena larva udang akan cenderung mengumpul di daerah pojok.
Pengembilan sampel ini menggunakan beaker glass. Selanjutnya diamati, pengamatan ini
umumnya dilakukan oleh teknisi.
a.           Larva memasuki stadia zoea, ditandai dengan adanya kotoran yang selalu menggantung
seperti ekor, ini berlangsung selama 4 hari.
b.           Larva memasuki stadia mysis, apabila cara berenangnya ke belakang dan sedikit
bengkok. Fase ini berlangsung selama 3 hari.
c.           Larva memasuki stadia PL, apabila sudah tampak seperti udang dewasa yaitu larva
sudah berenang dengan normal dan bentuk tubuh serta alat pencernaanya sudah
sempurna.
Larva udang vannamei ini jika diamati dengan beaker glass pada stadia zoea-mysis
akan melayang-layang di air bila pada stadia PL larva akan terlihat aktif bergerak, PL yang
pertumbuhannya lebih rendah daripada yang lainnya atau mempunyai bentuk badan yang
lebih kurus dari yang lain akan berada di permukaan gelas beaker. Dari monitoring tersebut
didapatkan hasil dari pertumbuhan larva cukup baik, karena perkembangan pertumbuhan
larva setiap stadia stabil.
Dalam satu siklus produksi pertumbuhan larva belum tentu sama. Dalam arti
pertumbuhannya tidak sama atau tidak seragam, sebagai contoh larva dalam bak yang
seharusnya sudah memasuki masa PL tetapi pada pengamatan masih ada yang masih stadia
mysis. Hal ini disebabkan karena kemampuan moulting setiap larva itu berbeda.
5.6. Pemanenan
Pemanenan larva udang vannamei biasanya dilakukan saat stadia minimal post larva9
(PL9) dengan ciri-ciri uropoda telah terbuka semua atau benur yang sudah siap di tebar di
tambak. Namun, hal tersebut dapat berubah sesuai dengan permintaan pembeli atau
konsumen.
a. Cara Panen
Terlebih dahulu air dalam bak pemeliharaan larva diturunkan hingga 50% (volume bak
10 ton terisi air sebanyak 7 ton diturunkan menjadi 3 ton) melalui pipa goyang atau pipa
pengeluaran dan pipa saringan bagian dalam. Hal ini sesuai dengan pendapat Murtidjo (2003),
yang menyatakan bahwa salah satu tahapan pemanenan adalah dengan menurunkan air
dalam bak pemeliharaan secara perlahan-lahan dengan penyiponan sampai tertinggal
setengahnya. Air yang keluar ditampung dengan menggunakan ember bersaring dengan
ukuran saringan 300 µ. Benur diseser dan ditampung dalam baskom bersaring. Setelah jumlah
benur dalam bak berkurang, pipa saringan bagian dalam dilepaskan untuk dilakukan panen
total. Selanjutnya disaring kembali dengan saringan rangka besi ukuran 50 x 70 cm.
Air dialirkan melalui saringan saluran pembuangan dan ditampung dalam ember
bersaring. Setelah pemanenan selesai, dilakukan sampling kepadatan benur dengan
menggunakan takaran yang telah diperhitungkan dari setiap sampling tersebut. Misalnya,
dilakukan sampling dengan menggunakan skopnet dengan jumlah benur sebanyak 2.500
ekor/skopnet.
b. Pengemasan
Benur yang telah dipanen dan ditakar dituang dalam kantong plastik yang telah diisi air
laut sebanyak 4 liter. Kemudian diberi oksigen (O 2) dengan perbandingan air laut dan O2 1:1,5
atau sesuai dengan kepadatan dan jarak pengiriman, lalu ikat dengan karet gelang.
5.7. Produksi dan Pemasaran
BBAP Situbondo memproduksi atau menghasilkan larva sebanyak 300.000 ekor larva,
dengan tingkat kelulushidupan larva (SR) 25,6% dari jumlah tebar 1.170.000 ekor. Benur siap
tebar pada tambak hasil pemeliharaan larva BBAP Situbondo yang akan dipasarkan untuk
tambak milik sendiri dan sebagai sampel dalam laboratorium biotek.

PEMBESARAN UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei)


A. Taksonomi Udang Vaname
Udang vaname digolongkan ke dalam genus Penaeid pada filum Arthropoda. Ada ribuan
spesies di filum ini. Namun, yang mendominasi perairan berasal dari subfilum Crustacea. Ciri-
ciri subfilum Crustacea yaitu memiliki 3 pasang kaki berjalan yang berfungsi untuk mencapit,
terutama dari ordo Decapoda, seperti Litopenaeus chinensis, L. indicus, L. japonicus, L.
monodon, L. stylirostris, dan Litopenaeus vannamei.
Berikut tata nama udang vaname menurut ilmu taksonomi.
Kingdom : Animalia
Subkingdom : Metazoa
Filum : Arthropoda
Subfilum : Crustacea
Kelas : Malacostraca
Subkelas : Eumalacostraca
Superordo : Eucarida
Ordo : Decapoda
Subordo : Dendrobrachiata
Famili : Penaeidae Gambar 1. Udang Vaname
Genus : Litopenaeus
Spesies : Litopenaeus vannamei
B. Morfologi
Tubuh udang vaname dibentuk oleh dua cabang (biramous), yaitu exopodite dan endopodite.
Vaname memiliki tubuh berbuku-buku dan aktivitas berganti kulit luar atau eksoskeleton secara
periodik (moulting). Bagian tubuh udang vaname sudah mengalami modifikasi sehingga dapat
digunakan untuk keperluan sebagai berikut .
1) Makan, bergerak, dan membenamkan diri ke dalam lumpur (burrowing).
2) Menopang insang karena struktur insang udang mirip bulu unggas.
3) Organ sensor, seperti pada antena dan antenula.
1. Kepala (thorax)
Kepala udang vaname terdiri dari antena, antenula, mandibula, dan 2 pasang maxillae. Kepala
udang vaname juga dilengkapi dengan 3 pasang maxilliped dan 5 pasang kaki berjalan
(periopoda) atau kaki sepuluh (decapoda). Maxilliped sudah mengalami modifikasi dan
berfungsi sebagai organ untuk makan. Endopodite kaki berjalan menempel pada chepalothorax
yang dihubungkan oleh coxa. Bentuk perioda beruas-ruas yang berujung di bagian dactylus.
Dactylus ada yang berbentuk capit (kaki ke-1, ke-2, dan ke-3) dan tanpa capit (kaki ke-4 dan
ke-5). Di antara coxa dan dactylus, terdapat ruang yang berturut-turut disebut basis, ischium,
merus, carpus, dan cropus. Pada bagian ischium terdapat duri yang bisa digunakan untuk
mengidentifikasi beberapa spesies Pennaeid dalam taksonomi.
Gambar 2. Bagian Kepala (Thorax)
2. Perut (abdomen)
Abdomen terdiri dari 6 ruas. Pada bagian abdomen terdapat 5 pasang kaki renang dan sepasang
uropods (mirip ekor) yang membentuk kipas bersama-sama telson.
Gambar 3. Bagian Perut (Abdomen)
C. Moulting
Genus Pennaeid mengalami pergantian kulit (moulting) secara periodik untuk tumbuh,
termasuk udang vaname. Proses moulting berlangsung dalam 5 tahap yang bersifat kompleks,
yaitu postmoulting awal, postmoulting lanjutan, intermoult, persiapan moulting (premoult), dan
moulting (ecdysis) (Tabel 1). Proses moulting diakhiri dengan pelepasan kulit luar dari tubuh
udang. Proses moulting sangat menentukan waktu ablasi (pengangkatan) induk udang di
hatchery dan waktu panen yang tepat.
Tabel 1. Fase Moulting Udang Vaname Dewasa
Fase Lama Ciri-ciri
Postmoulting awal 6 – 9 jam
Kulit luar licin, lunak, dan membentuk semacam membran yang tipis dan transparan.
Udang berada did asar tambak dan diam.
Lapisan kulit luar hanya terdiri dari epikutikula dan eksokutikula.
Endoskutikula belum terbentuk.
Postmoulting lanjutan 1- 1,5 hari
Epidermis mulai mensekresi endoskutikula.
Kulit luar, mulut, dan bagian tubuh lain tampak mulai mengeras.
Udang mulai mau makan.
Intermoult 4 – 5 hari
Kulit luar mengeras permanen.
Udang sangat aktiv dan nafsu makan kembali normal.
Persiapan (Moulting Premoult) 8 – 10 hari
 Kulit luar lama mulai memisah dengan lapisan epidermis dan terbentuk kulit luar baru, yaitu
epitelkutikula dan eksokutikula baru dibawah lapisan kulit luar yang lama.
Sel-sel epidermis membesar.
Pada tahap akhir, kulit luar mengembang seiring peningkatan volume cairan tubuh udang
(haemolymp) karena menyerap air.
Moulting ( ecdysis) 30 – 40 detik
Terjadi pelepasan atau ganti kulit luar dan tubuh udang.
Kulit udang yang lepas disebut exuviae.
1. Proses Moulting
Waktu yang dibutuhkan untuk melakukan moulting tergantung jenis dan umur udang. Saat
udang masih kecil (fase tebar atau PL 12), proses moulting terjadi setiap hari. Dengan
bertambahnya umur, siklus moulting semakin lama, antara 7 – 20 hari sekali.
Nafsu makan udang mulai menurun pada 1 – 2 hari sebelum moulting dan aktivitas makannya
berhenti total sesaat akan moulting. Persiapan yang dilakukan udang vaname sebelum
mengalami moulting yaitu dengan menyimpan cadangan makanan berupa lemak di dalam
kelenjar pencernaan (hepatopankreas).
Umumnya, moulting berlangsung pada malam hari. Bila akan moulting, udang vaname sering
muncul ke permukaan air sambil meloncat-loncat. Gerakan ini bertujuan membantu
melonggarkan kulit luar udang dari tubuhnya. Pada saat moulting berlangsung, otot perut
melentur, kepala membengkak, dan kulit luar bagian perut melunak. Dengan sekali hentakan,
kulit luar udang terlepas.
Gerakan tersebut merupakan salah satu cara mempertahankan diri karena cairan moulting
(semacam lendir) yang dihasilkan dapat merangsang udang lain untuk mendekat dan memangsa
(kanibalisme). Udang vaname akan tampak lemas dan berbaring di dasar perairan selama 3 – 4
jam setelah proses moulting selesai.
2. Faktor – faktor Moulting
Moulting akan terjadi secara teratur pada udang yang sehat. Bobot badan udang akan berambah
setiap kali mengalami moulting (Tabel 2). Faktor-faktor yang mempengaruhi moulting massal yaitu
kondisi lingkungan, kejala pasang, dan terjadi penurunan volume air atau surut.
Tabel 2. Interval Moulting dan Penambahan Bobot Badan
Bobot (gr) Moulting (hari)
2–57–8
6–98–9
10 - 15 9 – 12
16 – 22 12 – 13
23 – 40 14 - 16
Sumber : Chanratcakool, 1995
a. Air pasang dan surut
Air pasang yang disebabkan oleh bulan purnama bisa merangsang proses moulting pada udang
vaname. Hal ini terutama banyak terjadi pada udang vaname yang dipelihara di tambak tradisional.
Di alam, moulting biasanya terjadi berbarengan dengan saat bulan purnama. Saat itu, air laut
mengalami pasang tertinggi sehingga perubahan lingkungan tersebut sudah cukup merangsang
udang untuk melakukan moulting. Oleh karena itu, di tambak tradisional tampak jelas karena air di
tambak hanya mengandalkan pergantian air dari pasang surut air laut. Penambahan volume air
pada saat bulan purnama dapat menyebabkan udang melakukan moulting.
Penurunan volume air tambak saat persiapan panen juga dapat menyebabkan moulting. Moulting
sebelum panen bisa menyebabkan persentase udang yang lembek (soft shell) meningkat.
b. Kondisi lingkungan
Proses moulting akan dipercepat bila kondisi lingkungan mengal kungan secara drastis dan
disengaja justru akan menimbulkan trauma pada udang. Beberapa tindakan tersebut diantaranya
terlalu sering mengganti air tambak, tidak hati-hati saat menyipon (membersihkan tambak), dan
pemberian saponin yang berlebihan.
3. Kegagalan Moulting dan Pencegahannya
Proses moulting dapat berjalan tidak sempurna atau gagal bila kondisi fisioligis udang tidak normal.
Kegagalan tersebut menyebabkan udang menjadi lemah karena tidak mempunyai cukup energi untuk
melepas kulit lama menjadi kulit baru. Udang yang tidak melakukan moulting dalam waktu lama
menunjukkan gejala kulit luar ditumbuhi lumut dan protozoa. Usaha pencegahan kegagalan bisa
dilakukan dengan beberapa cara, seperti lebih sering mengganti air tambak.
D. Tingkah Laku Makan
Udang termasuk golongan omnivora atau pemakan segala. Beberapa sumber pakan udang antara lain
udang kecil (rebon), phytoplankton, copepoda, polyhaeta, larva kerang, dan lumut.
Udang vaname mencari dan mengidentifikasi pakan menggunakan sinyal kimiawi berupa getaran
dengan bantuan organ sensor yan terdiri dari bulu-bulu halus (setae). Organ sensor ini terpusat pada
ujung anterior antenula, bagian mulut, capit, antena, dan maxilliped. Dengan bantuan sinyal kimiawi
yang ditangkap, udang akan merespon untuk mendekati atau menjauhi sumber pakan. Bila pakan
mengandung senyawa organik, seperti protein, asam amino, dan asam lemak maka udang akan
merespon dengan cara mendekati sumber pakan tersebut.
Untuk mendekati sumber pakan, udang akan berenang menggunakan kaki jalan yang memiliki capit.
Pakan langsung dijepit menggunakan capit kaki jalan, kemudian dimasukkan kedalam mulut.
Selanjutnya, pakan yang berukuran kecil masuk kedalam kerongkongan dan oesophagus. Bila pakan
yang dikonsumsi berukuran lebih besar, akan dicerna secara kimiawi terlebih dahulu oleh maxilliped di
dalam mulut.
E. Pigmentasi
Pigmentasi atau perubahan warna kulit berhubungan dengan kesehatan udang. Warna kulit juga bisa
digunakan sebagai acuan kualitas udang yang akan dipanen, seperti nilai gizi, kesegaran dan rasa. Warna
udang dipengaruhi chromatophore yang terdapat pada sel-sel epidermis di dalam tubuh. Pigmen utama
pada udang vannamei yaitu karotenoid yang dominan terdapat di eksoskeleton. Kadar karotenoid
semakin berkurang seiring pertumbuhan udang akibat proses moulting. Namun demikian, kehilangan
pigmen pada udang yang dibudidayakan dapat diganti dengan sumber karotenoid yang berasal dari
pakan alam atau pakan pabrik.
Karotenoid udang menimbulkan warna merah, kehijauan, kecokelatan, dan kebiruan. Warna-warna
tersebut dipengaruhi oleh lingkungan budidaya. Udang yang dibudidayakan dalam dengan tingkat
kecarahan yang sangat tinggi dalam waktu yang lama akan berwarna kusam. Sebaliknya, udang yang
dipelihara dalam air yang banyak mengandung lumut usus (enteromorpha) akan berwarna kehijauan.
Kekurangan karotenoid pada udang vannamei bisa menyebabkab eksoskeleton tampak kusam dan pudar.
Beberapa penelitian menunjukan bahwa karotenoid merupakan provitamin A yang membentuk jaringan
epidermis dan mukosa sehingga udang lebih tahan terhadap serangan bakteri dan jamur. Selain itu,
karotenoid juga berfungsi untuk menjaga permeabilitas membran sel dan meningkatkan daya tahan
tubuh (imunologi).
Pengaruh Musim Hujan Terhadap Budidaya Udang
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan pada saat musim hujan terkait dengan teknis budidaya
antara lain :
1. Tingkat Kestabilan Kualitas Air Tambak.
Pada saat musim hujan, kualitas air tambak cenderung tidak stabil dan berfluktuasi serta pada
kondisi ekstrim akan terjadi penurunan kualitas perairan secara drastis. Seperti kita ketahui,
kualitas perairan erat sekali dengan aktivitas plankthon (phytoplankthon) dalam berfotosintesa
untuk menghasilkan cholorophyl (zat hijau daun) yang sangat berguna dalam menjaga
keseimbangan ekosistem perairan tersebut. Kegiatan fotosintesa oleh plankthon
(phytoplankthon) tersebut sangat tergantung oleh adanya sinar matahari, sedangkan pada musim
hujan intensitas sinar matahari di dalam perairan tambak relatif minim sehingga kualitas air
tambak cenderung tidak stabil. Pada saat curah hujan sangat tinggi, bahkan sering dijumpai
fenomena “plankthon collaps”, yaitu plankthon yang ada di dalam perairan tambak mengalami
“kematian secara massal”. Pada kondisi kulitas air tambak tidak stabil, udang akan sangat mudah
mengalami stress dan sangat rentan terhadap berbagai ancaman penyakit.
2. Sumber Pemasukan Air (inlet)
Di Indonesia secara umum sumber pemasukan air (inlet) yang digunakan untuk sirkulasi air
tambak adalah air yang diambil secara langsung dari laut atau sungai besar. Pada saat musim
hujan sumber pemasukan air ini relatif keruh dan kotor karena erosi dan kotoran yang terbawa
oleh aliran air laut/sungai. Kondisi air seperti ini jika digunakan secara langsung dalam proses
sirkulasi air tambak akan berpengaruh terhadap kualitas air yaitu adanya partikel-partikel di
dalam perairan tambak. Kondisi seperti ini dapat mengakibatkan penyakit insang merah pada
udang.
3. Program Pemberian Pakan
Pada saat musim hujan, program pemberian pakan (terutama yang terkait dengan pakan harian)
biasanya terganggu baik itu frekuensi yang diberikan maupun tingkat rataan sebaran pakan dalam
petakan. Kondisi seperti ini lebih terkait dengan sikap dan kedisiplinan dari petugas pemberi
pakan, karena biasanya seseorang cenderung malas dan seenaknya dalam memberikan pakan
dalam kondisi hujan. Perubahan frekuensi pakan dan sebaran pakan yang tidak merata secara
tidak langsung dapat mengakibatkan ukuran size udang/tingkat variasi udang akan beragam dan
pada kondisi ekstrim dapat memperburuk kondisi udang.
Solusi Atasi Pengaruh Musim Hujan Terhadap Budidaya Udang
Berdasarkan penjelasan beberapa item di atas, maka perlakuan teknis budidaya yang
direkomendasikan untuk diterapkan pada saat musim hujan antara lain :
1. Pemupukan Secara Intensif
Pada saat musim hujan pemberian pupuk harus lebih sering dilakukan hal ini untuk menjaga
kestabilan plankthon (phytoplankthon) di dalam perairan tambak. Hal yang perlu diingat adalah
lebih baik memberikan pupuk dalam jumlah yang tidak terlalu banyak tetapi rutin dilakukan
daripada memberikan pupuk dalam dosis besar pada saat terjadi plankthon collaps. Selain itu
manfaatkan sinar matahari secara maksimal untuk melakukan pemberian pupuk ini.
2. Pengoperasian Kincir Secara Maksimal
Perlakuan ini diperlukan untuk mengoptimalkan proses pemupukan yang telah dilakukan dalam
rangka membantu menjaga kestabilan plankthon (phytoplankthon). Pengoperasian kincir juga
diperlukan untuk menjaga kondisi perairan tambak agar tidak terjadi perbedaan yang menyolok
antara permukaan (yang disebabkan oleh air hujan) dan air di lapisan dasar tambak. Selain itu
pengoperasian kincir juga untuk menambah suplai oksigen di dalam perairan karena pada saat
hujan oksigen yang dihasilkan oleh proses fotosintesa plankthon berkurang drastis.
3. Sirkulasi Air Secara Oplos
Pengertian oplos adalah sirkulasi air yang dilakukan melalui cara buang isi secara bersamaan.
Metode sirkulasi air seperti ini juga diperlukan untuk menjaga kondisi perairan tambak agar tidak
terjadi perbedaan yang menyolok antara permukaan (yang disebabkan oleh air hujan) dan air di
lapisan dasar tambak. Jika sumber pemasukan air (inlet) dalam kondisi keruh/kotor, untuk
sementara jangan dilakukan sirkulasi air.
4. Monitoring
Lakukan monitoring secara ketat dalam hal jadwal dan cara pemberian pakan terutama pada saat
hujan.ami perubahan. Namun demikian, perubahan ling
TEKNIK MONITORING DAN PENGENDALIAN PERTUMBUHAN DALAM
KEGIATAN BUDIDAYA PERTUMBUHAN UDANG

Pengetahuan dasar yang sangat dibutuhkan bagi pelaksana budidaya udang dan ikan dalam
hubungannya dengan hasil produksi adalah data pertumbuhan. Laju pertumbuhan dari suatu
makhluk hidup dapat dinyatakan sebagai peningkatan panjang, volume, bobot basah dan kering
persatuan waktu. Pertumbuhan udang biasanya dinyatakan dalam kenaikan bobot basah. Hal ini
dimaklumi karena hasil panen dan pemasarannyadinyatakan dalam bobot. Faktor – faktor yang
mempengaruhi pertumbuhan udang adalah :
1.       Faktor dalam (internal factor), yaitu faktor keturunan (genetik), jenis kelamin, dan umur
udang
2.       Faktor luar (eksternal factor), yaitu makanan, persaingan, pemangsaan, penyakit, serta
faktor lingkungan hidup lainnya.
Pertumbuhan pada udang berbeda dengan jenis makhluk yang lain, udang tumbuh secara tiba –
tiba pada setiap rangkaian pergantian kulit (moulting). Meskipun pergantian udang erat dengan
kulit, akan tetapi dapat saja tidak diikuti dengan pertumbuhan. Hal ini dapat terjadi disebabkan
karena keadaan gizi makanan tidak seimbang dan stress.
TEKNIK MEMPERCEPAT PERTUMBUHAN UDANG
Secara alami udang tumbuh diperairan laut yang didahului dengan proses ganti kulit (moulting).
Fenomena ini merupakan indikasi awal pertumbuhan hewan golongan crustacea. Proses
tersebut merupakan salah satu sifat biologis udang yang berlangsung secara periodik (dari telur
– larva s.d dewasa).
Terdapat dua jenis faktor yang mempengaruhi timbulnya proses moulting pada udang, yaitu : (i)
pengruh kondisi lingkungan luar seperti intensitas sinar matahari, salinitas, suhu, O2, dan pH;
(ii) pengaruh makanan dan aktivitas makan udang; (iii) jenis kelamin
Udang betina umumnya memperlihatkan laju pertumbuhan yang lebih cepat dari pada udang
jantan. Perbedaan pertumbuhan udang betina dan udang jantan diduga disebabkan oleh
perbedaan jumlah makanan sebab udang betina aktivitas makannya lebih tinggi dari udang
jantan.
Laju pertumbuhan udang juga dapat dilihat dari pertumbuhan panjang carapace dan
pertumbuhan panjang total dari berat tubuh. Carapace udang setiap hari akan bertambah sekitar
0,3 – 0,7 mm.
Dalam pertumbuhannya, udang windu mengalami beberapa pergantian kulit (moulting).
Pergantian kulit ini selain dimaksudkan untuk menambah ukuran volume ruang yang terbentuk
juga untuk menghadapi proses perkawinan dan untuk mengatasi kondisi lingkungan yang
kurang menguntungkan.
Sebelum terjadi moulting (masa persiapan moullting), nafsu makan udang biasanya menurun
dan pada permukaan tubuhnya sudah terbentuk sebagian kulit baru di bawah kulit lama.
Apabila keadaan gizi pakan cukup seimbang, maka frekuensi pergantian kulit akan lebih sering
terjadi. Apabila pakan yang diberikan mengandung cholesterol sebagai zat pembentuk hormon
moulting (MH), frekuensi moulting akan meningkat. Interval moulting bagi udang muda lebih
pendek dari pada udang dewasa, dimana semakin besar udang maka frekuensi moulting
semakin menurun.
Selama pergantian kulit, chitin dan protein pada lapisan epidermis lama diserap kembali oleh
kulit. Sedangkan bahan organik yang lain tidak diserap. Segera setelah pergantian kulit, kulit
yang baru akan diperkuat dan penyimpanan calcium akan segera dilakukan pada kulit yang
baru. Pertukaran calcium antara cairan tubuh dengan media sekitarnya dilakukan melalui insang
dengan laju 90% diserap dan 70% dilepaskan. Penyimpanan calcium akan terus berlangsung
selamam ganti kulit.
Prinsip dari metode mempercepat pertumbuhan udang sebenarnya mengambil manfaat dari
fenomena moulting tersebut yaitu makan setelah moulting. Pada proses moulting, aktivitas
makan udang menurun, dan setelah selesai moulting aktvitas makannya tinggi sekali sebagai
akibat tahap starvasi (pemuasan) selama masa moulting. Nafsu makan setelah moulting dapat
dimanfaatkan untuk memacu pertumbuhan udang dengan cara pemberian pakan optimal dan
bergizi tinggi sesuai dengan masa pemeliharaan udang. Dengan demikian prinsip metode
mempercepat pertumbuhan udang windu adalah menimbulkan proses moulting pada udang
windu sesuai dengan daur siklus biologis udang dengan memasukan input faktor makanan yang
dapat memacu pertumbuhan udang.
Faktor lingkungan luar yang berpengaruh terhadap moulting antara lain salinitas air laut.
Moulting dapat berlangsung baik pada air lauut yang bersalinitas tinggi maupun yang
bersalinitas rendah. Pada salinitas tinggi, konsentrasi garam – garam air laut sangat meningkat
termasuk garam calcium dan posphor amat diperlukan untuk pengerasan cangkang selama
proses moulting sehingga mengakibatkan cangkang udang sangat keras.
Kondisi cangkang udang yang cukup keras ini mengakibatkan proses pergantian kulit
(moulting) berikutnya sulit dilakukan. Hal ini disebabkan karena udang harus merobek
cangkangnya sendiri untuk memacu pertumbuhan udang karena proses moulting tersebut.
Salinitas air yang tinggi dapat menghambat pertumbuhan udang karena proses moulting itu
sendiri sangat sulit dilakukan.
Pada salinitas rendah, proses moulting dapat berlangsung secara aman, tanpa mengganggu
pertumbuhannya. Cairan tubuh udang saat moulting dapat memperlancar proses osmoregulasi
(pertukaran garam – garam air laut kedalam cairan tubuh udang ). Dengan adanya cairan ini,
pada saat terjadi moultingudang dapat dengan mudah merobek cangkang yang lama. Kekerasan
cangkang dapat dilunakan dengan kondisi media sekitarnya yang bersalinitass rendah.
Setelah terjadi moulting, udang akan mengalami kelaparan sebagai akibat dari fase starvasi
(pemuasan) selama proses moulting. Kondisi tersebut dapat digunakan untuk memacu
pertumbuhannya dengan cara pemberian pakan semaksimal mungkin dan berkadar protein
tinggi. Dengan demikian dalam budidaya udang, faktor – faktor yang dapat diatur untuk
menimbulkan terjadinya proses moulting adalah faktor salinitas dan komposisi pakan.
Untuk memperoleh salinitas air laut yang rendah, langkah – langkah yang dilakukan adalah
dengan pengenceran air tambak dengan melakukan penambahan air tawar kedalam tambak.
Tabel 1. Metode lapangan untuk memacu moulting
Umur udang Salinitas Salinitas Monitoring kondisi Penambahan air tawar
permulaan baru udang, sebagai setinggi
(memacu indikasi untuk Tinggi Tinggi air
moulting) memacu moulting air tambak baru
tambak setelah
penambahan
Misal : 26 ppt 24 ppt -    Nafsu makan turun 100 cm 120 cm
2 bulan -    Daya renang turun
(60 hari) -    Jumlah pakan di anco
-    Anco selama 3 – 4
hari
75 hari 24 ppt 22 ppt idem 120 cm 150 cm
90 hari 22 ppt 20 ppt idem 150 cm 170 cm
Dst

Selain salinitas rendah, cholesterol (minyak ikan) sebagai zat pembentuk moulting dapat
ditambahkan kedalam makanan udang untuk mendorong terjadinya proses moulting. Dalam
makanan, dapat pula ditambahkan dengan ampas biji teh (saponin) untuk mendorong terjadinya
proses moulting.
Dalam pertumbuhannya, larva udang windu mengalami perubahan bentuk dan moulting berkali
– kali. Pada proses pergantian kulit tersebut sebenarnya faktor lingkungan yang mempengaruhi
tidak berdiri sendiri – sendiri akan tetapi faktor – faktor tersebut secara bersama – sama
mempengruhi terjadinya proses terjadinya moulting. Rangsangan lingkungan yang mendorong
terjadinya proses moulting terdiri dari internal factor dan eksternal factor.
Makanan sebagai internal factor merupakan faktor pertama yang mempengaruhi proses
moulting, dimana kandungan nutrisi dari pakan udang yang lengkap dan bergizi tinggi,
terutama yang banyak mengandung cholesterol dalam pakan akan dapat mendorong tubuh
udang untuk memproduksi zat pembentuk hormon moulting (Moulting Hormon = MH).
Terdapat dua jenis hormon yang mempengaruhi proses moulting didalam tubuh udang, yaitu
1.       Hormon pencegah moulting (moulting inhibiting hormon = MIH) yang dikeluarkan dari
organ x pada tangkai mata.
2.       Hormon moulting (MH) yang dikeluarkan dari organ y yang terdapat pada ruas antenna
(sungut).
Faktor berikutnya yang secara bersama mendorong terjadinya proses moulting adalah eksternal
factor yaitu cahaya, suhu, dan salinitas. Biasanya udang mengalami moulting pada malam hari
yaitu pada saat kondisi makanan, suhu, sinar dan salinitas sesuai. Informasi – informasi faktor
lingkungan tersebut diteruskan ke mata dan pada otak bagian kepala, tepatnya di thoracix
ganglion yang menghasilkan organ y sebagai zat pembentuk hormon moulting.
Kebiasaan udang melakukan moulting pada malam hari menandakan bahwa udang
menghendaki intensitas cahaya, suhu serta salinitas rendah. Apabila organ y telah terbentuk
hormon moulting yang diperoleh dari makanan yang mengandung cholesterol (internal factor),
meskipun pada organ x terdapat MIH, asalkan lingkungan sudah sesuai maka informasi tersebut
akan terus dilanjutkan dari organ x ke organ y sehingga udang terdorong untuk moulting.
Fenomena moulting ini bersifat periodik, karena untuk pertumbuhan udang harus memperluas
volume tubuhnya dengan cara berganti kulit. Proses pertumbuhannya tersebut harus dibantu
dengan penyerapan sejumlah besar air. Dengan adanya kapasitas volumetubuh yang demikian ,
maka sangat memungkinkan untuk pertumbuhan sel – sel tubuh udang secara maksimal.
MONITORING
Keberhasilan budidaya udang adalah sangat ditentukan oleh perhatian yang besar dari
pengelolanya. Pengelolaan harus cepat tanggap dalam mengatasi permasalahan atau
penyimpangan yang terjadi. Oleh karena itu, monitoring setiap saat secara terus menerus harus
selalu dilakukan (terutama pada setiap pemberian pakan).
Monitoring pertumbuhan udang untuk mengetahui laju pertumbuhannya dilakukan dengan cara
mencatat data pertumbuhan udang pada blanko monitoring pertumbuhan yang dilakukan per
minggu dengan sampling ukuran udang pada anco (tempat makan udang). Monitoring
dilakukan sebanyak 3 (tiga) kali sampling, dimana hasil pengukuran tersebut dibandingkan
normal udang sehingga nantinya akan diketahui apakah terjadi stagnasi pertumbuhan atau tidak.
Pertumbuhan normal udang windu dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
Tabel 2. Pertumbuhan normal udang windu (Penaeus monodon)
Densitas Umur (hari)
Ekor/m2 40 50 60 70 80 90 100 110 120 130 140 150 160 170 180
20 e/m2 2,5 5,0 7,0 9,0 10,0 12, 14,0 17,0 20, 23,0 26,0 30, 34,0 36, 38,0
0 0 0 0
25 e/m2 2,0 3,5 5,5 7,5 9,0 10, 11,0 13,0 15, 18,0 21,0 25, 28,0 31, 33,0
0 0 0 0
Tabel 3. Pertumbuhan normal udang windu (Penaeus monodon)
Hari Ke Berat (gram)
0 0,02
20 2,0
40 10,0
60 17,0
80 24,8
100 30,0
120 39,0 – 40,0
160 44,0 – 50,0
Tabel 4. Blanko monitoring pertumbuhan (sampling ukuran/ size)

Anda mungkin juga menyukai