Anda di halaman 1dari 19

Aspek Reproduksi Lobster

Dosen : Dr. Ir. L. Siahainenia, M.Si

Oleh :
Winster Larwuy
(136 9915 006)

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA KELAUTAN DAN


PULAU-PULAU KECIL
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
2016
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan yang Maha Kuasa, karena
atas berkat dan penyertaan-Nyalah penulisan ilmiah ini dapat terselesaikan sesuai
yang diharapkan. Penulisan ini disusun sebagai salah satu persyaratan akademik
untuk ketuntasan mata kuliah Bioekologi Sumberdaya Laut, Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil pada program studi Manajemen Sumberdaya Kelautan dan Pulau-Pulau Kecil,
Program Pascasarjana, Universitas Pattimura, Ambon.
Akhirnya, dengan penuh kerendahan hati penulis mengharapkan bantuan
berupa saran dan kritik yang konstruktif dari semua pihak demi kesempurnaannya ke
depan. Dan semoga penulisan ini dapat bermanfaat bagi semua yang
membutuhkannya.

Ambon, Juli 2016

Winster Larwuy
I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Ekosistem wilayah pesisir merupakan ekosistem yang khas dan sangat dipengaruhi
oleh dinamika faktor fisik-kimia dari darat dan laut. Sifat transisi yang dimiliki
wilayah pesisir menjadikan ekosistem di dalamnya menjadi sangat produktif, yang
ditunjukan dengan tingginya potensi sumberdaya alam dan jasa lingkungan. Salah
satu jenis sumberdaya hayati ekonomis penting dan komersial wilayah pesisir adalah
lobster. Sebagai komponen penyusun, lobster hidup berinteraksi dengan dinamika
lingkungan perairan pesisir sebagai suatu kesatuan ekologi.
Lobster merupakan salah satu sumberdaya penting yang sering menjadi daftar
dalam produksi perikanan tangkap khas terumbu karang. Lobster tergolong dalam
organisme krustasea yang umumnya hidup pada perairan pantai yang relatif dangkal
dengan kedalaman yang bervariasi tergantung jenis atau lingkungannya, yang
biasanya tidak lebih dari 50 m dan memiliki distribusi yang luas pada daerah tropis.
Lobster biasanya hidup pada dasar batu, lumpur atau pasir dan membuat lubang,
namun pada umumnya sebagai penghuni terumbu karang sehingga disebut udang
karang.
Dalam menempati habitatnya, lobster menyesuaikan diri dengan kondisi
lingkungan sekitar dalam hal mencari makan, reproduksi, dan segala aktivitas dalam
siklus hidupnya sebagai organisme bentik. Segala aktivitas yang dilakukan lobster
dilakukan saat malam hari atau disebut sebagai organisme nokturnal karena sifatnya
yang fototaksis negatif. McAthur, et al. (2007) juga menjelaskan bahwa lobster
menjalani hidupnya di perairan inshore maupun offshore untuk memenuhi kebutuhan
sesuai stadia perkembangan dan pertumbuhan lobster.
Aspek reproduksi lobster merupakan salah satu kajian bio-ekologi
sumberdaya lobster yang penting dipelajari untuk menelaah siklus hidup lobster yang
berawal dari perkembangan gonad sebagai unsur mikroskopik. Hal ini penting
dipelajari karena awal mulanya kehidupan individu suatu sumberdaya hayati
termasuk eksistensi jenisnya di alam dipengaruhi oleh proses pra dan pasca
reproduksi. Pemahaman mengenai aspek reproduksi lobster karenanya merupakan
unsur input yang menjadi dasar dalam penentuan strategi pengelolaan sumberdaya
lobster di alam. Untuk itu, penulisan ini dilakukan dengan maksud menelaah aspek
reproduksi sumberdaya lobster di alam.

1.2. Tujuan
Latar belakang yang dipaparkan sebelumnya mendasari tujuan penulisan ini,
yakni untuk menganalisis aspek reproduksi sumberdaya lobster di alam. Tujuan
umum tersebut menerangkan tujuan khusus dalam penulisan ini, antara lain sebagai
berikut :
1. Menganalisis perkembangan gonad dan telur lobster.
2. Menganalisis umur mencapai matang gonad lobster.
3. Menganalisis siklus reproduksi lobster.
II. PEMBAHASAN

2.1. Deskripsi Umum Lobster


2.1.1. Definisi, Klasifikasi dan Ciri Morfologis Lobster
Lobster sering disebut sebagai udang karang karena menempati habitat
terumbu karang di perairan pantai. Tipe habitatnya di dasar perairan mencirikan
lobster sebagai organisme bentik. Lobster tergolong organisme krustasea dari
kelompok udang-udangan yang terbagi ke dalam kelompok clawed lobster dari
infraordo Astacura, dan spiny lobster dan slipper lobster dari infraordo Palinura
(Holthuis, 1991), termasuk furry lobster (FAO sheet). Perbedaan kelompok lobster
tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.1.
Kedua kelompok besar lobster tersebut menurut klasifikasi oleh Holthuis
(1991) dimasukan ke dalam subordo Reptantia bersamaan dengan infraordo
Brachyura (true crabs) dan Anomura (hermit crabs). Berikut adalah taksonomi dari
lobster yang diacu dari Holthuis (1991) :
Kelas : Malacostraca
Subkelas : Eucarida
Ordo : Decapoda
Subordo : Reptantia
Infraordo : Astacura (Homarus, Nephrops)
Palinura (Spiny: Panulirus, Palinurus,
Jasus; slipper: Thenus, Parribacus,
Syllarides; furry: Pallinurelus)
Gambar 2.1 memperlihatkan perbedaan umum morfologi kelompok clawed
lobster, spiny lobster, furry lobster dan slipper lobster. Kelompok clawed lobster atau
lobster sejati dicirikan dengan keberadaan capit yang besar sebagai modifikasi kaki
depan, yang terletak di bagian depan tubuh dan berpangkal pada tepi karapas.
Berbeda halnya dengan infraordo Palinura yang dicirikan dengan tidak adanya capit
seperti clawed lobster, tetapi dilengkapi dengan antenna yang panjang sebagai alat
pertahanan tubuhnya untuk kelompok spiny lobster, sementara slipper lobster
dilengkapi dengan lempeng antenna pipih (Holthuis, 1991). Adapun furry lobster
memiliki ciri utama ditumbuhi bulu sepanjang permukaan tubuh.

Gambar 2.1. Morfologi lobster: (a) clawed lobster (Nephropidae); (b) spiny lobster
(Palinuridae); (c) furry lobster (Synaxidae); dan (d) slipper lobster (Scyllaridae).
(Sumber: FAO sheet)

Lobster pada umumnya memiliki tubuh yang terbagi menjadi dua bagian
besar, cephalothorax dan abdomen. Bentuk tubuh memanjang, silindris, bagian
cephalothorax ditutupi karapas yang kuat dan kaku yang berduri pendek, terdapat
sepasang antennular, serta bergigi. Karapas terletak pada bagian cephalothorax yang
memanjang dari bagian tepi post orbital secara horizontal ke ujung posterior karapas.
Bagian abdomen memanjang dari ujung anterior abdomen ke arah belakang secara
horizontal hingga ujung ekor. Panjang tubuh bagian abdomen juga dapat dibagi
menjadi segmen abdominal dan ekor (King, 1995). Adapun kaki pada lobster terbagi
menjadi lima pasang kaki jalan, terkecuali untuk clawed lobster yang hanya terdiri
dari empat pasang kaki jalan karena pasangan kaki jalan bagian depan termodifikasi
menjadi capit. King (1995) selanjutnya menjelaskan bahwa individu lobster jantan
biasanya memiliki ukuran tubuh yang lebih besar dibandingkan individu betina.

2.1.2. Habitat dan Distribusi


Lobster umumnya menempati substrat keras di perairan tropis dan merupakan
bagian penting fauna terumbu karang. Lobster hampir sepanjang hidupnya memilih
tempat yang berbatu karang, di balik batu karang ataupun karang mati, pada pasir
berbatu karang halus atau tempat-tempat yang berbatu karang di sekitar pulau
sepanjang pantai. Cobb and Phillips (1980) menyatakan bahwa lobster banyak
ditemukan di perairan pantai khususnya pada dasar yang berkarang atau terumbu
karang dan kadang-kadang ditemukan pada dasar pasir yang ditumbuhi tanaman air.
Organisme tersebut lebih menyukai perairan yang terlindung dan relatif tenang.
Lobster tergolong organisme nokturnal yang aktif mengembara dan mencari
makan hingga pada tempat-tempat yang relatif dekat dengan daratan pantai terutama
pada waktu air pasang. Pada siang hari, organisme tersebut lebih memilih
bersembunyi di antara karang, gua-gua karang, atau tempat persembunyian lain.
Lobster sering dijumpai pada kedalaman antara 5 – 30 m, atau kadang-kadang hingga
kedalaman 90 m, bahkan menurut Holthuis (1991), jenis slipper lobster (Scyllarides
squamosus) dapat hidup hingga kedalaman 500 m. Cobb and Phillips (1980)
menambahkan bahwa lobster menyukai perairan yang bersalinitas 25 – 40 psu dengan
suhu antara 26 – 28 oC atau lebih menyukai air yang dingin.
Dalam menempati habitatnya, lobster memiliki kebiasaan menyendiri dan
sering melakukan migrasi harian. Migrasi harian yang dilakukan meliputi feeding
movement dan nomadic (Chang, et al., 2011). Migrasi tersebut dilakukan untuk
mencari makan atau berpindah ke lokasi baru karena kompetisi dalam memanfaatkan
sumber makanan atau habitat, yang semuanya dilakukan saat malam hari.
Perpindahan lobster dalam migrasi hariannya dilakukan secara permanen karena
oeganisme tidak bersifat home behavior.
Distribusi lobster di perairan dunia tergolong luas dari lintang utara hingga
lintang selatan. Jenis Panulirus penicillatus memiliki distribusi yang sangat luas
antara garis lintang 30o LU – 30o LS, bahkan distribusi yang lebih luas dari beberapa
jenis yang lain (Holthuis, 1991). Daerah distribusi lobster, diacu dari Williams
(1986), meliputi Laut Atlantik, Mediterania, Hindia, Pacifik dan perairan dingin di
BBS (Gambar 2.2).
Gambar 2.2. Distibusi lobster di perairan dunia (dibagi menurut daerah tangkapan):
infraordo Astacura (atas) dan infraordo Palinura (bawah).
(Sumber: Williams, 1986)

2.1.3. Siklus Hidup


Lobster memiliki lima fase dalam siklus hidupnya, mulai dari fase telur, larva
phyllosoma, puerulus (post-larva), juvenil hingga lobster dewasa. Fase-fase tersebut
berlangsung dalam migrasi reproduksi dan pasca reproduksi lobster pada lingkungan
perairan laut yang berbeda, baik horizontal maupun vertikal. Menurut McArthur, et
al. (2007), fase telur hingga phyllosoma terjadi pada perairan offshore, dan fase
puerulus, juvenil hingga lobster dewasa terjadi pada perairan inshore. Selanjutnya
dijelaskan bahwa migrasi reproduksi dapat terjadi ketika lobster telah mencapai umur
empat sampai lima tahun, dan mulai bergerak ke dasar perairan di lingkungan
offshore. Gambar 2.3 menampilkan siklus hidup lobster yang berlangsung di perairan
inshore dan offshore.

Gambar 2.3. Siklus hidup lobster.


(Sumber: McArthur, et al., 2007)

Lobster melakukan proses pemijahan pada dasar perairan yang berpasir dan
berbatu dengan kedalaman yang berbeda-beda. Telur-telur akan berkembang menjadi
larva yang bersifat planktonis pasca hatching, yang melayang-layang dalam air. Masa
larva sebagai plankton cukup lama tergantung dari jenis lobster, dikarenakan larva
lobster yang baru menetas, seperti halnya krustasea lain, tidak langsung berbentuk
seperti induknya tetapi mengalami beberapa perubahan bentuk sesuai stadia selama
perjalanan ke nursery ground dengan bantuan arus laut.
Fase larva pertama dinamakan phyllosoma dengan ukuran 0,2 – 0,3 mm yang
bersifat planktonis. Phyllosoma merupakan stadia larva yang bercirikan tembus
pandang dan belum memiliki tubuh seperti lobster dewasa, yang membentangkan
kaki-kakinya, dan bentuk tubuhnya mempunyai daya apung yang maksimal, serta
termasuk fototaksis negatif dengan mengadakan migrasi diurnal secara vertikal.
Tahapan terakhir dari phyllosoma terkonsentrasi di lingkungan pelagis continental
shelf dan melakukan moulting menjadi puerulus.
Fase puerulus telah hampir menyerupai tingkat dewasa layaknya lobster kecil,
tetapi tubuhnya masih bersifat tembus cahaya dengan kulit yang masih kekurangan
zat kapur. Fase puerulus berlangsung pada umur antara 9 – 11 bulan (Mc Arthur, et
al., 2007), dan memilki kemampuan untuk berenang dan melakukan migrasi sejauh
40 – 60 km ke perairan pantai sebelum settling (Gray, 1992 dalam McArthur, et al.,
2007). Jumlah puerulus yang berhasil melakukan settling bergantung dari suksesnya
migrasi untuk reproduksi oleh induknya dan migrasi pasca reproduksi pada fase-fase
awal (Phillips, et al., 2000 dalam Khan, 2006). Beberapa hari setelah selesainya post-
larva akan terjadi pigmentasi di tubuhnya yang menandakan telah berubah menjadi
juvenil dan mulai mendiami dasar perairan sebagai benthos.
Juvenil merupakan fase dimana individu lobster sudah terlihat sebagai lobster
dewasa, bukan saja dari morfologisnya, cara hidup dan habitat yang ditempati telah
dijalaninya sebagai lobster kecil. Menurut Cobb (1981) dan Jernakoff (1987) dalam
McArthur, et al. (2007) pada ukuran panjang karapas antara 25 – 85 mm lobster
mulai menunjukan kebiasaan hidup di terumbu karang atau lingkungan bentik sebagai
habitatnya, yakni keluar saat mulai gelap dari lubang-lubang peresembunyiannya
untuk mencari makan dan kembali bersembunyi ketika cahaya matahari mulai
terlihat. Juvenil lobster menempati perairan dangkal di kedalaman kurang dari 10 m
pada terumbu karang dan laguna. Fase juvenil kemudian melakukan beberapa kali
moulting sebagai tanda telah menjadi lobster dewasa.
Ukuran lobster saat menuju habitat tetapnya memiliki panjang karapas sekitar
75 – 85 mm atau berat tubuh sekitar 340 g (Dradjat, 2004), dengan umur antara 1 – 2
tahun (McArthur, et al., 2007). Lobster umumnya keluar menuju hamparan karang di
lepas pantai dimana mereka akan menghabiskan sebagian besar hidupnya sebelum
melakukan migrasi reproduksinya. Ukuran lobster saat keluar dari tempat pengasuhan
tersebut menandakan bahwa lobster telah siap untuk mengalami pematangan gonad
(Larwuy, 2015).
2.2. Aspek Reproduksi Lobster
2.2.1. Posisi Alat Kelamin
Lobster tergolong organisme dimorfik (dioecious) yang melangsungkan
reproduksi secara seksual. Alat kelamin lobster terpisah secara individu dengan posisi
yang berlainan. Alat kelamin jantan terletak di antara kaki jalan kelima, berbentuk
lancip, dan menonjol keluar, sementara alat kelamin betina terletak di antara kaki
jalan ketiga, berbentuk dua lancip. Posisi alat kelamin lobster dapat ditampilkan pada
Gambar 2.4.

Gambar 2.4. Tampak ventral lobster jantan dan betina yang memperlihatkan posisi
alat kelaminya.
(Sumber: Prescott, 1980)

2.2.2. Perkembangan Gonad dan Telur


Seperti organisme krustasea lainnya, perkembangan gonad individu lobster
berlangsung dalam beberapa tahap menurut tingkat kematangannya. Tingkat
kematangan gonad (TKG) lobster dapat dibedakan berdasarkan perkembangan gonad
dan kelenjar asesori secara visual. Menurut Junaidi, dkk. (2010), tingkat
perkembangan testis dan ovarium lobster dibedakan atas lima tingkatan, yang setiap
tingkatannya menandakan perubahan-perubahan yang terjadi secara periodik dengan
ciri menonjol pada perbedaan warna.
Menurut Berry (1973), perkembangan gonad dan perubahan-perubahan pada
ovarium dapat diklasifikasikan ke dalam enam tahap makroskopik, antara lain sebagai
berikut :
Tahap 1 (immature) : ovarium berbentuk seperti tali pada bagian akhir
posterior dalam rongga dada dengan warna yang umumnya putih. Pada tahap
ini gonad terlihat cenderung memiliki diameter yang seragam.
Tahap 2 (inactive) : ovarium berbentuk datar, tidak menunjukan tanda-tanda
pembengkakan dengan satu lobus biasanya meluas ke segmen I abdomen;
gonad tidak terlihat memiliki diameter yang seragam secara mikrosopik, ada
yang berukuran kecil dengan warna putih dan yang berukuran besar berwarna
kuning pucat, sehingga terlihat seperti berwarna kuning muda.
Tahap 3 (active) : ovarium menunjukan tanda-tanda pembengkakan I yang
cenderung menjadi lebih bulat; lobus lebih pendek yang meluas ke segmen I
abdomen dan satunya lagi ke segmen II abdomen; gonad tidak terlihat
memiliki diameter yang seragam dan hampir tidak dapat dibedakan dengan
mata telanjang; masih menunjukan warna kuning.
Tahap 4 (active/ripe) : ovarium terlihat bengkak; gonad tidak memiliki
diameter yang seragam dan mudah dibedakan; lobus terlihat seperti pada
tahap 3 tetapi yang satu lagi dapat meluas ke segmen III abdomen; berwarna
oranye hingga kuning cerah.
Tahap 5 (ripe) : ovarium tambah membesaryang mengisi semua ruang dalam
rongga cephalothorax; diameter gonad seragam dan beberapa menempel
hingga oviduk; lobus ovarium yang lebih pendek meluas ke segmen II
abdomen dan satunya lagi ke segmen III abdomen; berwarna oranye pekat.
Tahap 6 (spent) : ovarium mirip dengan tahap 2, namun secara makroskopik
berukuran lebih besar, gonad sisa yang dipertahankan pada ekstremitas dari
lobus ovarium dan oviduk, yang segera diserap dan secara makroskopik
dibedakan dari tahap 2.
Visualisasi tahap kematangan gonad lobster dapat ditampilkan padan Gambar
2.5 yang memperlihatkan TKG I – VI Panulirus penicillatus. Ovarium pada tahap 1
hanya ditemukan dalam spesimen pra-matang (immature). Pada saat mencapai stadia
dewasa, ovarium berkembang dari keadaan yang tidak aktif (tahap 2), melalui tahap
3, 4, 5 dan 6 sebelum kembali lagi ke tahap 2, hingga siklus perkembangbiakan
berikut. Berry (1973) selanjutnya menjelaskan bahwa saat gonad (ovum) berhasil
keluar dan kemudian terikat ke setae ovigerous pada endopod dari pleopod individu
betina, maka gonad tersebut telah berkembang menjadi telur.

Gambar 2.5. Tingkat kematangan gonad (TKG) P. penicillatus


(Sumber: Chang, et al., 2006)

Perkembangan telur lobster menurut Berry (1973) dibagi menjadi enam tahap
antara lain :
Tahap 0 : tidak ada telur pada setae ovigerous, pucat dan halus, menunjukkan
oviposisi yang belum terjadi.
Tahap 1 : telur telah melekat pada setae ovigerous; belum terjadi
perkembangan embrio terlihat makroskopik; telur berbentuk bulat dan
berwarna kuning terang; rata-rata berdiamater 0,87 mm.
Tahap 2 : embrio telah terlihat; telur bulat dan kuning pekat; rata-rata
berdiameter 0,89 mm.
Tahap 3 : embrio berkembang dengan baik dengan pigmen mencolok; telur
oval dan berwarna coklat muda, dan telah terjadi pertumbuhan embrio; rata-
rata berdiameter 0,92 mm.
Tahap 4 : embrio menempati sebagian dari kapsul telur dengan sedikit atau
tanpa kuning telur, telur berbentuk oval; berwarna coklat; rata-rata
berdiameter 0,94 mm.
Tahap 5 : telur menetas; setae ovigerous berwarna gelap dan kusut dengan
tangkai telur dan kapsul telur kosong. Pada tahap ini individu betina dapat
dibedakan dari tahap 0 dengan warna setae ovigerous yang lebih gelap.

2.2.3. Umur Mencapai Matang Gonad


Umur matang gonad lobster dianalisis berbasis pada ukuran tubuh
(morfometrik) dengan asumsi setiap kelompok ukuran merepresentasi kelompok
umur (kohort). Penggolongan umur untuk memaknai distribusi ukuran lobster dapat
digunakan dengan mengacu pada petunjuk Parsons and Eggleston (2007) yang
menyebutkan kisaran panjang karapas lobster antara 50 – 76 mm tergolong individu
muda (juvenil), sehingga ukuran individu matang gonad berada di atas kisaran
tersebut.
Standar ukuran di atas dapat berbeda menurut jenis, seks, tempat atau
kecepatan pertumbuhannya. Hal ini dibuktikan dengan hasil temuan Fauzi, dkk.
(2013), yang memperoleh individu P. penicillatus di perairan Selatan Gunung Kidul
dan Pacitan pada kisaran 35,5 – 100 mm telah berada dalam kondisi membawa telur,
sehingga dapat dikatakan telah berada dalam kategori umur dewasa. Larwuy (2015)
juga memperoleh kisaran ukuran P. penicillatus perairan Latuhalat antara 5,6 – 6,1
cm telah berada pada umur matang gonad. Kedua temuan tersebut tidak berbeda jauh
dengan temuan Chang, et al. (2006), dimana P. penicillatus matang gonad yang
tertangkap di perairan pesisir tenggara Taiwan memiliki panjang karapas yang
berkisar antara 43,6 – 90,3 mm. Untuk jenis yang berbeda, ukuran 65 mm individu
betina Palinurus delagoae di perairan pesisir Natal, Afrika Selatan, telah berada pada
tahap 2 (inactive) dan 3 (active) perkembangan ovarium untuk kategori matang gonad
(Berry, 1973).
Ukuran matang gonad lobster jantan tidak banyak diteliti, namun Berry
(1973) membuktikan individu jantan Palinurus delagoae yang berada pada tahap
pertama matang gonad di ukuran 57 mm. Temuan tersebut berbasis pada kematangan
spermatozoa, sehingga mengindikasikan individu lobster jantan yang mengalami
spermatogenesis lebih kecil dari ukuran tersebut di atas yang menunjukan kesiapan
lobster jantan untuk terlibat dalam proses kawin.
Ukuran matang gonad lobster berbasis pada kisaran ukuran beberapa
penelitian di atas terjadi pasca rekruitmen dimana individu lobster masuk ke dalam
populasinya dan telah siap untuk mengalami pematangan gonad. Umur lobster pasca
rekruit tersebut menurut McArthur, et al. (2007), berkisar antara 1 – 2 tahun. Hal ini
menunjukan kisaran yang lebih muda jika dibandingkan dengan temuan Cobb and
Phillips (1980), yang menyatakan umur pertama matang gonad lobster antara 5 – 8
tahun.

2.2.4. Siklus Reproduksi


Awal masa reproduksi lobster ditandai dengan berkembangnya organ-organ
penting yang terlibat langsung dalam proses tersebut. Individu betina dapat memulai
masa reproduksi pada saat memiliki kemampuan memproduksi telur, selain
karakteristik sekunder eksternal dan penampilan mikroskopik dan makroskopik
ovarium. Pillai (2007) merangkum beberapa penelitian sebelumnya yang menyatakan
bahwa perkembangan setae pleopod menandakan individu betina spiny lobster telah
menunjukan kematangan fungsionalnya. Adapun ciri dari individu jantan ketika
memasuki masa reproduksi adalah dengan memiliki kemampuan untuk memproduksi
spermatozoa tetapi tidak mampu kopulasi, dan kematangan fungsional dengan
memiliki kemampuan untuk secara aktif terlibat dalam transpor spermatoforik ke
tubuh betina.
Reproduksi lobster dilakukan secara eksternal, yang dimulai pada saat lobster
jantan mengeluarkan massa sperrmatoforik melalui sepasang alat kelaminnya dan
meletakannya di bagian sternum betina (Moosa dan Aswandy, 1984 dalam Dradjat,
2004). Peletakan massa spermatoforik berlangsung beberapa waktu sebelum telur
dikeluarkan. Massa spermatoforik yang baru dilepaskan sifatnya lunak dan jernih
yang kemudian agak mengeras dan warnanya berubah menjadi kehitaman dan
membentuk selaput pembungkus di lapisan luar atau semacam kantong sperma pada
tubuh individu betina. Pembuahan terjadi segera setelah telur dikeluakan dan ditarik
ke arah abdomen dengan cara merobek selaput spermatoforik dengan menggunakan
ujung kaki jalan kelima yang bercabang.
Telur yang telah dibuahi di bagian abdomen individu betina ditahan
menggunakan setae pada pleopod hingga saat proses pelepasan tiba (hatching).
Periode ini dikenal dengan masa inkubasi, yang menurut Cobb and Wang (1985)
dalam Khan (2006) berlangsung dalam waktu yang relatif singkat sekitar tiga hingga
lima minggu. Telur-telur yang terfertilisasi tersebut membutuhkan waktu 30 – 40 hari
untuk kemudian menjadi larva phyllosoma, yang dilangsungkan bertepatan dengan
bulan penuh.
Periode pemijahan lobster bervariasi tiap jenis atau menurut lokasi
sebarannya. Bal and Rao (1979) dalam Dradjat (2004), menyatakan bahwa lobster
memiliki periode pemijahan yang panjang dengan puncaknya pada bulan November
hingga Desember. Berbeda dengan yang ditemukan Chang, et al. (2006), bahwa P.
penicillatus memiliki musim puncak pemijahan pada bulan Mei hingga September.
Khusus untuk wilayah tropis antara 10o LU dan 10o LS, proses pemijahan terjadi
sepanjang tahun. Selanjutnya, Dradjat (2004) menambahkan bahwa setiap individu
lobster hanya sekali melakukan pemijahan dalam setahun. Perbedaan waktu puncak
pemijahan dan banyaknya pemijahan yang dapat dilakukan, baik antar spesies
maupun individu lobster, terlihat mencolok pada iklim yang berbeda. Perairan
subtropis dan temperate misalnya, hanya menghasilkan spesies yang dapat berpijah
sekali dalam setahun, berbeda dengan spesies perairan tropis yang dapat melakukan
pemijahan beberapa kali dalam setahun.
III. PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Berbasis pada bab-bab sebelumnya, maka kesimpulan yang dapat dirumuskan
adalah sebagai berikut :
1. Perkembangan gonad dan telur lobster berlangsung secara bertahap, yang
dimulai dengan tahap immature, inactive, active, active/ripe, ripe dan spent
untuk tahapan perkembangan gonad, sementara perkembangan telur meliputi
tahap 0 – 5 dengan karakteristik perkembangan yang kontinyu.
2. Umur mencapai matang gonad lobster terjadi pasca rekruit antara 1 – 2 tahun.
3. Reproduksi lobster dimulai saat organ-organ penting (jantan dan betina) yang
terlibat langsung dalam proses tersebut telah siap, dan dipicu dengan transpor
sperma ke tubuh betina oleh jantan yang kemudian disimpan pada kantung
sperma di tubuh betina, dan selanjutnya memicu ovum untuk keluar untuk
mengalami fertilsasi di tubuh betina.
KEPUSTAKAAN

Berry, P.F. 1973. The Biology of The Spiny Lobster Palinurus delagoae Barnard, off
The Coast of Natal, South Africa. South African Associaton For Marine
Biologicial Research, Oceanographic Research Institute.
Chang, Y. J., C. L. Sun., Y. Chen, and S. Z. Yeh. 2011. Modelling of The Effects of
Climate Change on Population Dynamics of a Spiny Lobster, Panulirus
penicillatus, Fishery. Institute of Oceanography, National Taiwan
University, and School of Marine Science, University of Marine.
_______, C.L.Sun, Y.Chen, S.Z.Yeh, and W.C.Chiang. 2006. Reproductive Biology
of The Spiny Lobster, Panulirus penicillatus, in The Southeastern Coastal
Waters of Taiwan. Mar Biol, 151:553–56.
Cobb, J. S. and R. T. Phillips. 1980. The Biology and Management of Lobster.
Volume I and II. Academic Press, New York.
Dradjat, F. M. 2004. Bioekonomi Udang Karang (Panulirus spp.) Pada Usaha
Perikanan Tangkap Skala Kecil di Kabupaten Kebumen dan Sekitarnya.
[Tesis]. Program Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang.
Holthuis, L.B. 1991. FAO Species Catalogue : An Annotated and Ilustrated
Catalogue of Species of Interest to Fisheries Known to Date. Marine Lobster
of the World, Vol. 13. FAO of UN, Rome.
Junaidi, M., N.Cokrowati, dan Z.Abidin. 2010. Aspek Reproduksi Lobster (Panulirus
sp.) di Perairan TeLuk Ekas Pulau Lombok. Jurnal Kelautan, Vol. 3 (1): 29-
36.
Khan, S.A. 2006. Management of Spiny Lobster Fishery Resources. Centre of
Advanced Study in Marine Biology, Annamalai University, India.
King, M. 1995. Fisheries Biology, Assesment and Management. Fishing News
Books.
Larwuy, W. 2015. Aspek Biologi Populasi Lobster Batu (Panulirus penicillatus) di
Perairan Latuhalat, Kecamatan Nusaniwe. [Skripsi]. Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan, Universitas Pattimura Ambon.
McArthur, L., G.Hyndes, and R.Babcock. 2007. Western Rock Lobster in Ecosystem
Processes of South-Western Australia. Department of Environment, Water,
Heritage and the Arts.
Parsons, D. M., and D. B. Eggleston. 2007. Potential population and economic
consequences of sublethal injuries in the spiny lobster fishery of the Florida
Keys. Marine and Freshwater Research, Vol. 58:166-177.
Pillai, S.L. 2007. Reproductive Biology of The Male Lobster Panulirus homarus.
[Thesis]. Department of Zoology, University of Calicut.
Prescott, J. 1980. A Handbook For Lobster Fisherman of The Tropical Pacific
Islands. South Pacific Commission, Noumea, New Caledonia.
Williams, A. B.1986. Lobster Identification, World Distribution and US Trade.
Marine Fisheries Review, Vol. 48 (2): 1-36.

Anda mungkin juga menyukai