Oleh :
Winster Larwuy
(136 9915 006)
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan yang Maha Kuasa, karena
atas berkat dan penyertaan-Nyalah penulisan ilmiah ini dapat terselesaikan sesuai
yang diharapkan. Penulisan ini disusun sebagai salah satu persyaratan akademik
untuk ketuntasan mata kuliah Bioekologi Sumberdaya Laut, Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil pada program studi Manajemen Sumberdaya Kelautan dan Pulau-Pulau Kecil,
Program Pascasarjana, Universitas Pattimura, Ambon.
Akhirnya, dengan penuh kerendahan hati penulis mengharapkan bantuan
berupa saran dan kritik yang konstruktif dari semua pihak demi kesempurnaannya ke
depan. Dan semoga penulisan ini dapat bermanfaat bagi semua yang
membutuhkannya.
Winster Larwuy
I. PENDAHULUAN
Ekosistem wilayah pesisir merupakan ekosistem yang khas dan sangat dipengaruhi
oleh dinamika faktor fisik-kimia dari darat dan laut. Sifat transisi yang dimiliki
wilayah pesisir menjadikan ekosistem di dalamnya menjadi sangat produktif, yang
ditunjukan dengan tingginya potensi sumberdaya alam dan jasa lingkungan. Salah
satu jenis sumberdaya hayati ekonomis penting dan komersial wilayah pesisir adalah
lobster. Sebagai komponen penyusun, lobster hidup berinteraksi dengan dinamika
lingkungan perairan pesisir sebagai suatu kesatuan ekologi.
Lobster merupakan salah satu sumberdaya penting yang sering menjadi daftar
dalam produksi perikanan tangkap khas terumbu karang. Lobster tergolong dalam
organisme krustasea yang umumnya hidup pada perairan pantai yang relatif dangkal
dengan kedalaman yang bervariasi tergantung jenis atau lingkungannya, yang
biasanya tidak lebih dari 50 m dan memiliki distribusi yang luas pada daerah tropis.
Lobster biasanya hidup pada dasar batu, lumpur atau pasir dan membuat lubang,
namun pada umumnya sebagai penghuni terumbu karang sehingga disebut udang
karang.
Dalam menempati habitatnya, lobster menyesuaikan diri dengan kondisi
lingkungan sekitar dalam hal mencari makan, reproduksi, dan segala aktivitas dalam
siklus hidupnya sebagai organisme bentik. Segala aktivitas yang dilakukan lobster
dilakukan saat malam hari atau disebut sebagai organisme nokturnal karena sifatnya
yang fototaksis negatif. McAthur, et al. (2007) juga menjelaskan bahwa lobster
menjalani hidupnya di perairan inshore maupun offshore untuk memenuhi kebutuhan
sesuai stadia perkembangan dan pertumbuhan lobster.
Aspek reproduksi lobster merupakan salah satu kajian bio-ekologi
sumberdaya lobster yang penting dipelajari untuk menelaah siklus hidup lobster yang
berawal dari perkembangan gonad sebagai unsur mikroskopik. Hal ini penting
dipelajari karena awal mulanya kehidupan individu suatu sumberdaya hayati
termasuk eksistensi jenisnya di alam dipengaruhi oleh proses pra dan pasca
reproduksi. Pemahaman mengenai aspek reproduksi lobster karenanya merupakan
unsur input yang menjadi dasar dalam penentuan strategi pengelolaan sumberdaya
lobster di alam. Untuk itu, penulisan ini dilakukan dengan maksud menelaah aspek
reproduksi sumberdaya lobster di alam.
1.2. Tujuan
Latar belakang yang dipaparkan sebelumnya mendasari tujuan penulisan ini,
yakni untuk menganalisis aspek reproduksi sumberdaya lobster di alam. Tujuan
umum tersebut menerangkan tujuan khusus dalam penulisan ini, antara lain sebagai
berikut :
1. Menganalisis perkembangan gonad dan telur lobster.
2. Menganalisis umur mencapai matang gonad lobster.
3. Menganalisis siklus reproduksi lobster.
II. PEMBAHASAN
Gambar 2.1. Morfologi lobster: (a) clawed lobster (Nephropidae); (b) spiny lobster
(Palinuridae); (c) furry lobster (Synaxidae); dan (d) slipper lobster (Scyllaridae).
(Sumber: FAO sheet)
Lobster pada umumnya memiliki tubuh yang terbagi menjadi dua bagian
besar, cephalothorax dan abdomen. Bentuk tubuh memanjang, silindris, bagian
cephalothorax ditutupi karapas yang kuat dan kaku yang berduri pendek, terdapat
sepasang antennular, serta bergigi. Karapas terletak pada bagian cephalothorax yang
memanjang dari bagian tepi post orbital secara horizontal ke ujung posterior karapas.
Bagian abdomen memanjang dari ujung anterior abdomen ke arah belakang secara
horizontal hingga ujung ekor. Panjang tubuh bagian abdomen juga dapat dibagi
menjadi segmen abdominal dan ekor (King, 1995). Adapun kaki pada lobster terbagi
menjadi lima pasang kaki jalan, terkecuali untuk clawed lobster yang hanya terdiri
dari empat pasang kaki jalan karena pasangan kaki jalan bagian depan termodifikasi
menjadi capit. King (1995) selanjutnya menjelaskan bahwa individu lobster jantan
biasanya memiliki ukuran tubuh yang lebih besar dibandingkan individu betina.
Lobster melakukan proses pemijahan pada dasar perairan yang berpasir dan
berbatu dengan kedalaman yang berbeda-beda. Telur-telur akan berkembang menjadi
larva yang bersifat planktonis pasca hatching, yang melayang-layang dalam air. Masa
larva sebagai plankton cukup lama tergantung dari jenis lobster, dikarenakan larva
lobster yang baru menetas, seperti halnya krustasea lain, tidak langsung berbentuk
seperti induknya tetapi mengalami beberapa perubahan bentuk sesuai stadia selama
perjalanan ke nursery ground dengan bantuan arus laut.
Fase larva pertama dinamakan phyllosoma dengan ukuran 0,2 – 0,3 mm yang
bersifat planktonis. Phyllosoma merupakan stadia larva yang bercirikan tembus
pandang dan belum memiliki tubuh seperti lobster dewasa, yang membentangkan
kaki-kakinya, dan bentuk tubuhnya mempunyai daya apung yang maksimal, serta
termasuk fototaksis negatif dengan mengadakan migrasi diurnal secara vertikal.
Tahapan terakhir dari phyllosoma terkonsentrasi di lingkungan pelagis continental
shelf dan melakukan moulting menjadi puerulus.
Fase puerulus telah hampir menyerupai tingkat dewasa layaknya lobster kecil,
tetapi tubuhnya masih bersifat tembus cahaya dengan kulit yang masih kekurangan
zat kapur. Fase puerulus berlangsung pada umur antara 9 – 11 bulan (Mc Arthur, et
al., 2007), dan memilki kemampuan untuk berenang dan melakukan migrasi sejauh
40 – 60 km ke perairan pantai sebelum settling (Gray, 1992 dalam McArthur, et al.,
2007). Jumlah puerulus yang berhasil melakukan settling bergantung dari suksesnya
migrasi untuk reproduksi oleh induknya dan migrasi pasca reproduksi pada fase-fase
awal (Phillips, et al., 2000 dalam Khan, 2006). Beberapa hari setelah selesainya post-
larva akan terjadi pigmentasi di tubuhnya yang menandakan telah berubah menjadi
juvenil dan mulai mendiami dasar perairan sebagai benthos.
Juvenil merupakan fase dimana individu lobster sudah terlihat sebagai lobster
dewasa, bukan saja dari morfologisnya, cara hidup dan habitat yang ditempati telah
dijalaninya sebagai lobster kecil. Menurut Cobb (1981) dan Jernakoff (1987) dalam
McArthur, et al. (2007) pada ukuran panjang karapas antara 25 – 85 mm lobster
mulai menunjukan kebiasaan hidup di terumbu karang atau lingkungan bentik sebagai
habitatnya, yakni keluar saat mulai gelap dari lubang-lubang peresembunyiannya
untuk mencari makan dan kembali bersembunyi ketika cahaya matahari mulai
terlihat. Juvenil lobster menempati perairan dangkal di kedalaman kurang dari 10 m
pada terumbu karang dan laguna. Fase juvenil kemudian melakukan beberapa kali
moulting sebagai tanda telah menjadi lobster dewasa.
Ukuran lobster saat menuju habitat tetapnya memiliki panjang karapas sekitar
75 – 85 mm atau berat tubuh sekitar 340 g (Dradjat, 2004), dengan umur antara 1 – 2
tahun (McArthur, et al., 2007). Lobster umumnya keluar menuju hamparan karang di
lepas pantai dimana mereka akan menghabiskan sebagian besar hidupnya sebelum
melakukan migrasi reproduksinya. Ukuran lobster saat keluar dari tempat pengasuhan
tersebut menandakan bahwa lobster telah siap untuk mengalami pematangan gonad
(Larwuy, 2015).
2.2. Aspek Reproduksi Lobster
2.2.1. Posisi Alat Kelamin
Lobster tergolong organisme dimorfik (dioecious) yang melangsungkan
reproduksi secara seksual. Alat kelamin lobster terpisah secara individu dengan posisi
yang berlainan. Alat kelamin jantan terletak di antara kaki jalan kelima, berbentuk
lancip, dan menonjol keluar, sementara alat kelamin betina terletak di antara kaki
jalan ketiga, berbentuk dua lancip. Posisi alat kelamin lobster dapat ditampilkan pada
Gambar 2.4.
Gambar 2.4. Tampak ventral lobster jantan dan betina yang memperlihatkan posisi
alat kelaminya.
(Sumber: Prescott, 1980)
Perkembangan telur lobster menurut Berry (1973) dibagi menjadi enam tahap
antara lain :
Tahap 0 : tidak ada telur pada setae ovigerous, pucat dan halus, menunjukkan
oviposisi yang belum terjadi.
Tahap 1 : telur telah melekat pada setae ovigerous; belum terjadi
perkembangan embrio terlihat makroskopik; telur berbentuk bulat dan
berwarna kuning terang; rata-rata berdiamater 0,87 mm.
Tahap 2 : embrio telah terlihat; telur bulat dan kuning pekat; rata-rata
berdiameter 0,89 mm.
Tahap 3 : embrio berkembang dengan baik dengan pigmen mencolok; telur
oval dan berwarna coklat muda, dan telah terjadi pertumbuhan embrio; rata-
rata berdiameter 0,92 mm.
Tahap 4 : embrio menempati sebagian dari kapsul telur dengan sedikit atau
tanpa kuning telur, telur berbentuk oval; berwarna coklat; rata-rata
berdiameter 0,94 mm.
Tahap 5 : telur menetas; setae ovigerous berwarna gelap dan kusut dengan
tangkai telur dan kapsul telur kosong. Pada tahap ini individu betina dapat
dibedakan dari tahap 0 dengan warna setae ovigerous yang lebih gelap.
3.1. Kesimpulan
Berbasis pada bab-bab sebelumnya, maka kesimpulan yang dapat dirumuskan
adalah sebagai berikut :
1. Perkembangan gonad dan telur lobster berlangsung secara bertahap, yang
dimulai dengan tahap immature, inactive, active, active/ripe, ripe dan spent
untuk tahapan perkembangan gonad, sementara perkembangan telur meliputi
tahap 0 – 5 dengan karakteristik perkembangan yang kontinyu.
2. Umur mencapai matang gonad lobster terjadi pasca rekruit antara 1 – 2 tahun.
3. Reproduksi lobster dimulai saat organ-organ penting (jantan dan betina) yang
terlibat langsung dalam proses tersebut telah siap, dan dipicu dengan transpor
sperma ke tubuh betina oleh jantan yang kemudian disimpan pada kantung
sperma di tubuh betina, dan selanjutnya memicu ovum untuk keluar untuk
mengalami fertilsasi di tubuh betina.
KEPUSTAKAAN
Berry, P.F. 1973. The Biology of The Spiny Lobster Palinurus delagoae Barnard, off
The Coast of Natal, South Africa. South African Associaton For Marine
Biologicial Research, Oceanographic Research Institute.
Chang, Y. J., C. L. Sun., Y. Chen, and S. Z. Yeh. 2011. Modelling of The Effects of
Climate Change on Population Dynamics of a Spiny Lobster, Panulirus
penicillatus, Fishery. Institute of Oceanography, National Taiwan
University, and School of Marine Science, University of Marine.
_______, C.L.Sun, Y.Chen, S.Z.Yeh, and W.C.Chiang. 2006. Reproductive Biology
of The Spiny Lobster, Panulirus penicillatus, in The Southeastern Coastal
Waters of Taiwan. Mar Biol, 151:553–56.
Cobb, J. S. and R. T. Phillips. 1980. The Biology and Management of Lobster.
Volume I and II. Academic Press, New York.
Dradjat, F. M. 2004. Bioekonomi Udang Karang (Panulirus spp.) Pada Usaha
Perikanan Tangkap Skala Kecil di Kabupaten Kebumen dan Sekitarnya.
[Tesis]. Program Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang.
Holthuis, L.B. 1991. FAO Species Catalogue : An Annotated and Ilustrated
Catalogue of Species of Interest to Fisheries Known to Date. Marine Lobster
of the World, Vol. 13. FAO of UN, Rome.
Junaidi, M., N.Cokrowati, dan Z.Abidin. 2010. Aspek Reproduksi Lobster (Panulirus
sp.) di Perairan TeLuk Ekas Pulau Lombok. Jurnal Kelautan, Vol. 3 (1): 29-
36.
Khan, S.A. 2006. Management of Spiny Lobster Fishery Resources. Centre of
Advanced Study in Marine Biology, Annamalai University, India.
King, M. 1995. Fisheries Biology, Assesment and Management. Fishing News
Books.
Larwuy, W. 2015. Aspek Biologi Populasi Lobster Batu (Panulirus penicillatus) di
Perairan Latuhalat, Kecamatan Nusaniwe. [Skripsi]. Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan, Universitas Pattimura Ambon.
McArthur, L., G.Hyndes, and R.Babcock. 2007. Western Rock Lobster in Ecosystem
Processes of South-Western Australia. Department of Environment, Water,
Heritage and the Arts.
Parsons, D. M., and D. B. Eggleston. 2007. Potential population and economic
consequences of sublethal injuries in the spiny lobster fishery of the Florida
Keys. Marine and Freshwater Research, Vol. 58:166-177.
Pillai, S.L. 2007. Reproductive Biology of The Male Lobster Panulirus homarus.
[Thesis]. Department of Zoology, University of Calicut.
Prescott, J. 1980. A Handbook For Lobster Fisherman of The Tropical Pacific
Islands. South Pacific Commission, Noumea, New Caledonia.
Williams, A. B.1986. Lobster Identification, World Distribution and US Trade.
Marine Fisheries Review, Vol. 48 (2): 1-36.