Anda di halaman 1dari 13

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Daging Unggas

Daging merupakan semua jaringan hewan dan produk hasil pengolahan

jaringan-jaringan tersebut sesuai untuk dimakan, serta tidak menimbulkan

gangguan kesehatan bagi yang memakannya. Daging merupakan komponen

karkas. Karkas diperoleh dari tubuh unggas setelah mengalami serangkaian proses

pemotongan ayam yang tersusun dari lemak jaringan adiposa, tulang, tulang

rawan, jaringan ikat, dan tendon (Nusran, 2019). Komponen-komponen tersebut

menentukan kualitas dan kuantitas dari daging.

Daging banyak dimanfaatkan oleh masyarakat karena memiliki rasa yang

enak dan kandungan zat gizi yang tinggi. Daging unggas yang banyak dikonsumsi

diantaranya adalah daging ayam ras pedaging (broiler), daging ayam kampung

(buras), dan daging ayam petelur (layer). Daging ayam memiliki ciri-ciri khusus,

diantaranya adalah berwarna keputih-putihan atau merah pucat, memiliki serat

daging yang halus dan panjang, dan diantara serat daging tidak terdapat lemak

(Rosyidi et al., 2009). Lemak pada daging ayam terletak di bawah kulit dan

berwarna kekuning-kuningan.

Kualitas daging dapat didasarkan pada komposisi kimia (kadar air, kadar

protein, kadar lemak, dan mineral) dan fisiknya (pH, WHC, susut masak, dan

warna). Daging yang memiliki kualitas tinggi adalah daging yang memiliki

konsistensi kenyal, memiliki tekstur yang halus, warna yang terang, dan marbling
6

yang cukup (Agustina et al., 2012). Menurut SNI-3924 (2009) mutu karkas

terbaik memiliki konformasi yang sempurna, perdagingan tebal, memiliki

perlemakan yang banyak, daging dalam keadaan yang utuh, bebas dari memar

dan/atau freeze burn, dan daging bersih (bebas dari bulu tunas).

2.2. Ayam Petelur Afkir

Ayam petelur merupakan salah satu unggas yang sangat umum dipelihara

dengan tujuan menghasilkan telur, namun ayam ini juga berpotensi menghasilkan

daging setelah masa produksinya (Fenita et al., 2009). Ayam petelur memiliki tiga

fase fisiologis, yaitu fase starter, fase grower, dan fase layer. Ayam petelur fase

starter merupakan ayam muda hingga umur delapan minggu, fase grower

merupakan ayam dara yang berumur 9 – 20 minggu, dan fase layer merupakan

ayam yang sedang berproduksi, yaitu ayam dengan umur 21 minggu hingga saat

diafkir. Ayam petelur yang mulai berproduksi pada umur 21 minggu akan

menghasilkan produk dengan persentase 3 – 15%, selanjutnya puncak produksi

akan dicapai saat ayam berumur 32 minggu dengan persentase produksi 90 – 95%,

dan setelah itu akan berangsur-angsur menurun hingga saat ayamnya diafkir

(Kartadisastra, 1994).

Ayam petelur yang sudah tidak mengalami produksi atau mengalami

penurunan produksi dapat dilakukan proses culling, yaitu diafkirkan karena sudah

tidak produktif, walaupun umur dari ayam tersebut masih dalam fase grower atau

masih dalam fase layer. Proses culling dilakukan pada ayam petelur dengan

melihat tanda-tanda luar pada ayam seperti jengger dan pialnya kecil, kering,
7

berkerut dan umumnya berwarna pucat, mata sayu dan malas, berlemak banyak,

bulu suram dan mudah rontok, kaki kasar dan kering (Rasyaf, 2005). Berbeda

dengan proses culling, proses afkir dilakukan pada ayam petelur yang sudah

berumur kurang lebih 90 minggu dan mengalami penurunan produksi telur, bukan

karena cacat. Daging ayam petelur afkir merupakan daging yang diperoleh dari

ayam petelur dengan produksi telur yang rendah yaitu sekitar 20% hingga 25%

pada usia sekitar 96 minggu dan telah siap dikeluarkan dari kandangnya

(Prasetyo et al., 2012).

Mudalal et al. (2014) menyampaikan dalam penelitiannya, bahwa protein

pada dada ayam terdiri atas 44,8 – 52.0 mg/g protein sarkoplasma, 65,3 – 85,5

mg/g protein miofibrilar dan 110,1 – 137,4 mg/g total protein terlarut. Ayam

petelur afkir memiliki kandungan gizi yang relatif sama dengan ayam broiler.

Ayam petelur afkir mengandung air sebesar 56%, protein 25,4 hingga 31,5%, dan

lemak 1,3 hingga 7,3% (Yahya, 2018). Namun, ayam ini dinilai memiliki kualitas

yang lebih rendah dibandingkan ayam broiler karena rasa yang alot dan adanya

bau yang spesifik karena pemotongan ayam dilakukan pada umur yang relatif tua,

sehingga tekstur dan keempukan dagingnya ayam petelur afkir dinilai lebih

rendah (Purnamasari et al., 2012). Sama seperti kandungan gizi pada daging ayam

pedaging, daging ayam petelur afkir memiliki kandungan protein dan kandungan

lemak yang tinggi, dimana adanya kandungan lemak dan kandungan protein ini

akan mempengaruhi cita rasa dan aroma daging (Soeparno, 2005).


8

2.3. Freezing (Pembekuan)

Pengawetan merupakan salah satu upaya yang perlu diterapkan pada pangan

hewani (daging) sebagai cara untuk menghambat kerusakan pada daging yang

menyebabkan daging tersebut tidak dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan

atau dapat menurunkan aspek kualitasnya. Freezing atau pembekuan merupakan

metode pengawetan dengan tujuan pencegahan kerusakan komponen gizi atau

nutrien di dalam bahan pangan dan memperpanjang masa simpan dari bahan

pangan tersebut. Freezing pada umumnya dilakukan ketika daging berada dalam

kondisi surplus untuk menghindari adanya kerusakan baik secara fisik maupun

komponen gizinya. Pembekuan pada daging ditujukan untuk memperpanjang

masa simpan daging dengan tujuan membatasi aktivitas mikroorganisme dan

meminimalisir perubahan yang merugikan apabila dilakukan dengan seksama

(Dewi et al., 2016). Produk daging beku merupakan suatu alternatif pilihan

pengawetan daging supaya tahan lama dan penyimpanan beku disarankan

dilakukan di bawah titik beku cairan daging (Ernawati et al., 2018). Hal ini

ditujukan untuk menjaga daging agar tetap awet dan menghambat pertumbuhan

daging ayam. Suhu optimum pembekuan pada daging ayam adalahh -40ºC, pada

suhu ini daging berada di bawah titik beku cairan yang terdapat di dalamnya

(Estevez, 2011)

Metode pembekuan pada daging paling umum adalah melakukan

pembekuan dengan dilengkapi pengemas pada daging yang berfungsi untuk

mencegah freeze burn atau gosong beku, dimana akibatnya akan menyebabkan

perubahan flavor, warna, tekstur sehingga daging tidak menarik, selain itu
9

pengemas yang digunakan juga mampu mengurangi terjadinya dehidrasi, desikasi,

dan oksidasi lemak (Widati, 2008). Perubahan pada daging ayam yang disebabkan

oleh proses pembekuan diantaranya perubahan biokimia, yaitu terjadinya reaksi

oksidatif pada protein dan lemak pada daging.

Pembekuan yang baik dapat dilakukan dengan pembekuan cepat (fast

freezing) untuk mencegah terjadinya pembusukan sebelum daging mengalami

pembekuan. Menurut SNI 3924 tahun 2009 tentang mutu karkas dan daging ayam

menyatakan bahwa karkas beku merupakan karkas segar yang telah mengalami

proses pembekuan di dalam blast freezer dengan temperatur internal daging

minimum adalah -12ºC. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi proses

pembekuan diantaranya adalah jumlah daging yang dibekukan, sifat-sifat termal

ruang pendingin dan suhu sekitar ruang pendingin, metode pembekuan, dan

ukuran potongan daging, serta bahan kemasan yang dipakai saat daging akan

dibekukan dalam kemasan (Purnomo, 2012).

Laju pembekuan dan ukuran kristal es yang terbentuk juga akan menentukan

kualitas daging. Kristal es yang terbentuk selama pembekuan mampu

menyebabkan adanya kerusakan struktural yang disebabkan karena konsentrasi

zat terlarut dalam daging menyebabkan perubahan yang terjadi di tingkat sel dan

dapat mempengaruhi fisik pada daging (Oliviera et al., 2015). Air yang membeku

dalam waktu yang lama dan terjadi di luar serabut otot (ekstraselular) akan

menyebabkan adanya distorsi dan merusak serabut otot serta sarkolema

(Winniatie et al., 2014).


10

2.4. Thawing (Penyegaran Kembali)

Thawing merupakan sebuah metode penyegaran kembali pada daging

setelah melalui proses penyimpanan beku dalam waktu yang cukup lama sebelum

dilakukan pengolahan lebih lanjut. Proses thawing akan sangat mempengaruhi

kandungan nutrisi yang ada di dalam daging. Nutrisi dalam daging beku akan

terlarut dalam air dan kemungkinan besar akan hilang selama proses thawing.

Nutrien dalam daging beku yang terlarut dalam air dan kemungkinan akan hilang

bersama cairan yang keluar selama proses thawing disebut sebagai drips

(Soeparno, 2011). Oleh karena itu, perlu kewaspadaan yang tinggi saat pencairan

kembali (thawing) pada daging beku karena sangat besar kemungkinan daging

mengalami penurunan kualitas (Hafid et al., 2017).

Selama thawing juga terdapat kemungkinan air akan diserap kembali oleh

sel atau jaringan yang bergantung padaukuran kristal es dan lokalisasi pada

mikrostruktur jaringan, kecepatan thawing dan WHC pada daging sebelum

pembekuan (Tenorio et al., 2007). Selain itu, selama proses thawing, daging juga

akan mengalami kehilangan sebagian beratnya dalam bentuk drips tersebut.

Nutrien yang berpotensi hilang bersama drips saat thawing diantaranya adalah

protein sarkoplasma, vitamin, dan mineral yang mampu larut air

(Aritonang, 2015). Apabila terjadi kesalahan pada proses thawing maka akan

merugikan karena kualitas daging akan rusak dan akan cepat mengalami proses

pembusukan. Selain itu, daging beku yang disegarkan kembali (thawing) akan

kehilangan rasa, warna, dan kelembaban daging. Beberapa metode thawing atau

penyegaran kembali yang dapat dilakukan pada daging beku secara konvensional
11

atau dengan perantara: (1) dengan udara dingin, misalnya di dalam alat pendingin

atau refrigerator, (2) dengan air hangat, (3) dengan air pada suhu kamar, (4)

melakukan pemanasan langsung tanpa penyegaran kembali, dan (5) dengan udara

terbuka (Soeparno, 2015)

2.5. Protein

Protein merupakan senyawa makromolekul yang tersusun atas asam

amino-asam amino yang dihubungkan melalui ikatan peptida sehingga senyawa

ini disebut juga sebagai polipeptida. Asam amino sendiri merupakan asam organik

yang bersifat amfoter yang mengandung gugus amino (NH2), gugus karboksil

(COOH), atom hidrogen dan gugus R (rantai cabang) (Winarno, 2002). Asam

amino di dalam protein dapat bereaksi dengan senyawa tertentu yang memberikan

warna spesifik. Reaksi pewarnaan ini dapat digunakan untuk mendeteksi kadar

asam amino atau protein secara kualitatif maupun kuantitatif. Kadar protein yang

ada di dalam daging dapat menentukan kualitas daging tersebut. Keutuhan protein

daging yang baik menyebabkan meningkatnya kemampuan menahan air daging,

dan begitu pula sebaliknya (Merthayasa et al., 2015). Macam-macam protein pada

daging diantaranya adalah protein miofibril, protein sarkoplasma, dan stroma.

Ktiga protein tersebut memiliki karakteristik kimia masing-masing. Protein

miofibril merupakan protein terbesar dalam daging dan merupaakan protein tidak

larut air, protein sarkoplasma merupakan protein larut air diantaranya adalah

albumin dan mioglobin (Winarno, 2004).


12

Kadar protein pada daging ayam petelur afkir mampu mencapai sekitar

31.5% , dimana kandungan protein pada ayam petelur afkir ini tidak jauh berbeda

dengan ayam broiler (Yahya et al., 2018). Selama proses thawing sangat

memungkinkan bahwa protein dalam daging ayam petelur afkir ini larut dan

hilang bersama air. Hal ini dikarenakan protein memiliki sifat hidrofilik yang

timbul akibat adanya rantai sisi polar, yaitu gugus karboksil dan amino

(Sari, 2019). Komposisi protein dalam daging ayam sangat berdampak penting

untuk proses pengolahan, kualitas sensori, maupun kualitas gizinya. Protein

dianggap sebagai komponen penting dari daging ayam karena protein tersebut

mengandung asam amino yang penting bagi tubuh manusia dan berkontribusi

dalam pengolahan dengan memberikan fungsi spesifik. Sifat keseluruhan daging

ayam dan produk olahannya akan bergantung pada fungsi protein termasuk

penampilan sensori, tekstur, dan mouthfeel (Mudalal et al., 2014).

Pengujian kadar protein biasanya dilakukan dengan metode Kjedahl.

Prinsip metode ini adalah menganalisis kadar protein kasar dalam bahan makanan

secara tidak langsung karena yang dianalisis dengan cara ini adalah kadar

nitrogennya (Haryanti dan Hidajati, 2013). Penghitungan kadar protein total

dengan metode ini membutuhkan faktor konversi yaitu 6,25 yang setara dengan

0,16 g nitrogen per gram protein (Tuankotta et al., 2015). Kelemahan cara ini

adalah bahwa purin, pirimidin, vitamin-vitamin, asam amino besar, kreatina dan

kreatinina ikut teranalisis dan terukur sebagai nitrogen protein.


13

2.6. Lemak

Lemak merupakan sumber zat gizi asam lemak esensial dan beberapa

vitamin yang dibutuhkan oleh tubuh dan sebagai penunjang eating quality dengan

menghasilkan flavor yang enak (Legowo, 2004). Lemak merupakan senyawa

organik yang larut dalam solven non polar seperti benzene, khloroform dan eter,

tetapi lemak tidak larut dalam air. Komponen penyusun lemak terdiri dari atom

karbon, hidrogen dan oksigen yang berasal dari satu molekul gliserol yang

bergabung dengan tiga molekul gliserol (Hargono et al., 2008). Kandungan lemak

daging bervariasi tergantung dari jumlah lemak eksternal dan lemak

intramuskular. Lebih lanjut dijelaskan bahwa ditinjau dari segi nutrisi, komponen

lemak yang penting adalah trigliserida, fosfolipida, kolesterol dan vitamin yang

larut dalam lemak (Dewi, 2013). Kadar lemak dalam bahan pangan data dihitung

dengan metode Soxhlet. Prinsip ekstraksi Soxhlet adalah memisahkan lemak atau

minyak dari bahan dengan mengekstraksinya ke dalam pelarut organik

(Swastawati, 2013).

Kadar lemak pada daging ayam petelur afkir berkisar antara 1,3 hingga

7,3% (Yahya et al., 2018). Menurut Chueachuaychoo et al. (2011) dalam

penelitiannya menyatakan bahwa daging ayam petelur afkir bagian dada memiliki

kandungan asam lemak jenuh (SFA) sebanyak 35,67%, mengandung asam lemak

tak jenuh tunggal (MUFA) sebanyak 44,57%, dan mengandung asam lemak tak

jenuh ganda (PUFA) sebanyak 19,79%. Ayam petelur afkir juga dinyatakan

memiliki kandungan asam palmitat, asam stearat, asam oleat, dan asam linoleat

dengan jumlah yang cukup tinggi. Proses pembekuan dan pencairan (thawing)
14

memungkinkan menjadi penyebab adanya pengaruh perubahan terhadap kadar

lemak pada daging. Hal ini disebabkan karena adanya kemungkinan terjadinya

oksidasi lemak selama pembekuan dan hilangnya lemak melalui drips selama

proses thawing (Owen dan Lawrie, 1975).

2.7. Protein Terlarut

Protein terlarut merupakan bagian dari komponen protein yang merupakan

oligopeptida. Protein terlarut tersusun atas rantai asam amino yang kurang dari

sepuluh macam, dan memiliki sifat yang mudah diserap oleh sistem pencernaan

(Nurhikmat et al., 2015). Protein yang mampu larut dalam air maupun yang

mudah menguap karena pemanasan disebabkan karena adanya kandungan asam-

asam amino yang mudah larut air pula. Asam-asam amino ini memiliki bagian

polar yang tinggi sehingga mampu meningkatkan kelarutannya dalam air

(Liur et al., 2013).

Proses pemanasan dapat menyebabkan protein kehilangan sifat larutnya

dan menurunkan kelarutan protein. Hal ini disebabkan karena panas dapat

menyebabkan denaturasi protein yang berakibat menurunnya aktivitas biologi dari

protein dan berkurang kelarutannya, sehingga protein akan lebih mudah

mengendap (Irawati et al., 2016). Beberapa contoh protein yang mudah larut

dalam air diantaranya adalah protamine, histon pepton, dan proteosa

(Puwaningsih et al., 2013). Protein terlarut sangat menentukan kualitas pada

daging ayam petelur afkir. Kecepatan pembekuan akan sangat ditentukan oleh

jumlah zat terlarut yang dapat mempengaruhi suhu dimana kristal es akan
15

terbentuk (Fellows, 2000). Begitu pula saat proses thawing yang dilakukan setelah

penyimpanan dan sebelum pemasakan pada daging ayam petelur afkir, kristal es

yang mencair pada daging ayam petelur afkir juga dapat menyebabkan

pengurangan zat gizi karena protein terlarut berpotensi hilang dan sangat

merugikan.

Kadar protein dalam daging ayam petelur afkir dapat diukur dengan

metode Bradford. Metode Bradford banyak digunakan untuk menentukan kadar

protein terlarut karena pewarnaannya yang praktis dan memiliki sensitivitas yang

tinggi dibandingkan metode Lowry (Wuryanti et al., 2003). John (2009) juga

menyatakan bahwa metode pengukuran kadar protein terlarut dengan metode

Bradford mampu mendeteksi protein kurang dari 0,01 mg/ml dengan lebih cepat

dan akurat. Prinsip dari pengukuran kadar protein terlarut dengan metode

Bradford adalah pengikatan pewarna Commasie Brilliant Blue (CBB) G-250 yang

terdapat pada pereaksi Bradford dengan protein yang mengandung residu asam

amino dengan rantai samping tirosin, triptofan, fenilalanin, arginin, histidin, dan

leusin (Mabrur et al., 2018). Warna yang terbentuk oleh reaksi tersebut akan dapat

diukur absorbansinya. Kompleks warna biru pada larutan yang diberi reagen

Bradford sangat cepat terbentuk dan bersifat stabil (Utami et al., 2016).

2.8. Mikrostruktur Daging

Struktur mikro daging akan menunjukkan kualitas daging selama

penyimpanan. Tingkat kerusakan yang terjadi selama proses freezing dan thawing

akan berpengaruh terhadap kemampuan mempertahankan air pada daging.


16

Kemampuan daging ayam petelur afkir dalam mengikat air sangat bergantung

bagaimana kondisi struktur daging. Selama proses penyimpanan beku, daging

akan mengalami kerusakan yang bersifat irreversible, dan kerusakan ini dapat

bertambah parah dengan adanya proses thawing (Utami dan Rusman, 2006).

Proses thawing akan menyebabkan pengerutan serabut otot dan memaksa

sejumlah cairan keluar. Cairan yang keluar diakibatkan karena pemutusan ikatan

hidrogen pada daging akan menyebabkan protein mengkerut dan ditandai dengan

mikostruktur yang menggulung (Pratama dan Nisa, 2014). Dengan demikian,

kondisi mikrostruktur daging ayam petelur afkir akan menentukan kualitasnya

karena akan menentukan kemampuan pengikatan air pada daging ayam petelur

afkir.

SEM (Scanning Electron Microscopy) merupakan suatu metode untuk

membentuk bayangan daerah mikroskopis permukaan sampel. Suatu berkas

elektron berdiameter antara 5 hingga 10 nm dilewatkan sepanjang spesimen

sehingga terjadi interaksi antara berkas elektron dengan spesimen menghasilkan

beberapa fenomena berupa pemantulan elektron berenergi tinggi, pembentukan

elektron sekunder berenergi rendah, penyerapan elektron, pembentukan sinar-X,

atau pembentukan sinar tampak (cathodoluminescence) (Rohaeti, 2009). Setiap

sinyal yang terjadi dapat dimonitor oleh suatu detektor. SEM menggunakan

prinsip scanning yaitu berkas elektron diarahkan pada titik permukaan spesimen,

jika seberkas elektron ditembakkan pada permukaan suatu spesimen, maka

sebagian dari elektron itu akan dipantulkan kembali dan sebagian lagi akan

diteruskan (Wibisono, 2017). Jika permukaan spesimen tidak rata, misalnya ada
17

lekukan, lipatan, retakan, atau lubang-lubang, maka tiap-tiap bagian di permukaan

itu akan memantulkan elektron dengan jumlah dan arah yang berbeda. Jika

elektron-elektron yang dipantulkan oleh masing-masing bagian permukaan itu

ditangkap oleh detektor dan diteruskan ke sistem layar, maka akan diperoleh

gambar yang sesuai dengan keadaan permukaan spesimen (Egerton, 2011). Jadi,

gambar yang diperoleh merupakan bayangan dari pantulan elektron, dan apabila

digunakan potensial pemercepat yang relatif rendah akan diperoleh gambar yang

jelas.

Anda mungkin juga menyukai