BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
karkas. Karkas diperoleh dari tubuh unggas setelah mengalami serangkaian proses
pemotongan ayam yang tersusun dari lemak jaringan adiposa, tulang, tulang
enak dan kandungan zat gizi yang tinggi. Daging unggas yang banyak dikonsumsi
diantaranya adalah daging ayam ras pedaging (broiler), daging ayam kampung
(buras), dan daging ayam petelur (layer). Daging ayam memiliki ciri-ciri khusus,
daging yang halus dan panjang, dan diantara serat daging tidak terdapat lemak
(Rosyidi et al., 2009). Lemak pada daging ayam terletak di bawah kulit dan
berwarna kekuning-kuningan.
Kualitas daging dapat didasarkan pada komposisi kimia (kadar air, kadar
protein, kadar lemak, dan mineral) dan fisiknya (pH, WHC, susut masak, dan
warna). Daging yang memiliki kualitas tinggi adalah daging yang memiliki
konsistensi kenyal, memiliki tekstur yang halus, warna yang terang, dan marbling
6
yang cukup (Agustina et al., 2012). Menurut SNI-3924 (2009) mutu karkas
perlemakan yang banyak, daging dalam keadaan yang utuh, bebas dari memar
dan/atau freeze burn, dan daging bersih (bebas dari bulu tunas).
Ayam petelur merupakan salah satu unggas yang sangat umum dipelihara
dengan tujuan menghasilkan telur, namun ayam ini juga berpotensi menghasilkan
daging setelah masa produksinya (Fenita et al., 2009). Ayam petelur memiliki tiga
fase fisiologis, yaitu fase starter, fase grower, dan fase layer. Ayam petelur fase
starter merupakan ayam muda hingga umur delapan minggu, fase grower
merupakan ayam dara yang berumur 9 – 20 minggu, dan fase layer merupakan
ayam yang sedang berproduksi, yaitu ayam dengan umur 21 minggu hingga saat
diafkir. Ayam petelur yang mulai berproduksi pada umur 21 minggu akan
akan dicapai saat ayam berumur 32 minggu dengan persentase produksi 90 – 95%,
dan setelah itu akan berangsur-angsur menurun hingga saat ayamnya diafkir
(Kartadisastra, 1994).
penurunan produksi dapat dilakukan proses culling, yaitu diafkirkan karena sudah
tidak produktif, walaupun umur dari ayam tersebut masih dalam fase grower atau
masih dalam fase layer. Proses culling dilakukan pada ayam petelur dengan
melihat tanda-tanda luar pada ayam seperti jengger dan pialnya kecil, kering,
7
berkerut dan umumnya berwarna pucat, mata sayu dan malas, berlemak banyak,
bulu suram dan mudah rontok, kaki kasar dan kering (Rasyaf, 2005). Berbeda
dengan proses culling, proses afkir dilakukan pada ayam petelur yang sudah
berumur kurang lebih 90 minggu dan mengalami penurunan produksi telur, bukan
karena cacat. Daging ayam petelur afkir merupakan daging yang diperoleh dari
ayam petelur dengan produksi telur yang rendah yaitu sekitar 20% hingga 25%
pada usia sekitar 96 minggu dan telah siap dikeluarkan dari kandangnya
pada dada ayam terdiri atas 44,8 – 52.0 mg/g protein sarkoplasma, 65,3 – 85,5
mg/g protein miofibrilar dan 110,1 – 137,4 mg/g total protein terlarut. Ayam
petelur afkir memiliki kandungan gizi yang relatif sama dengan ayam broiler.
Ayam petelur afkir mengandung air sebesar 56%, protein 25,4 hingga 31,5%, dan
lemak 1,3 hingga 7,3% (Yahya, 2018). Namun, ayam ini dinilai memiliki kualitas
yang lebih rendah dibandingkan ayam broiler karena rasa yang alot dan adanya
bau yang spesifik karena pemotongan ayam dilakukan pada umur yang relatif tua,
sehingga tekstur dan keempukan dagingnya ayam petelur afkir dinilai lebih
rendah (Purnamasari et al., 2012). Sama seperti kandungan gizi pada daging ayam
pedaging, daging ayam petelur afkir memiliki kandungan protein dan kandungan
lemak yang tinggi, dimana adanya kandungan lemak dan kandungan protein ini
Pengawetan merupakan salah satu upaya yang perlu diterapkan pada pangan
hewani (daging) sebagai cara untuk menghambat kerusakan pada daging yang
nutrien di dalam bahan pangan dan memperpanjang masa simpan dari bahan
pangan tersebut. Freezing pada umumnya dilakukan ketika daging berada dalam
kondisi surplus untuk menghindari adanya kerusakan baik secara fisik maupun
(Dewi et al., 2016). Produk daging beku merupakan suatu alternatif pilihan
dilakukan di bawah titik beku cairan daging (Ernawati et al., 2018). Hal ini
ditujukan untuk menjaga daging agar tetap awet dan menghambat pertumbuhan
daging ayam. Suhu optimum pembekuan pada daging ayam adalahh -40ºC, pada
suhu ini daging berada di bawah titik beku cairan yang terdapat di dalamnya
(Estevez, 2011)
mencegah freeze burn atau gosong beku, dimana akibatnya akan menyebabkan
perubahan flavor, warna, tekstur sehingga daging tidak menarik, selain itu
9
dan oksidasi lemak (Widati, 2008). Perubahan pada daging ayam yang disebabkan
pembekuan. Menurut SNI 3924 tahun 2009 tentang mutu karkas dan daging ayam
menyatakan bahwa karkas beku merupakan karkas segar yang telah mengalami
ruang pendingin dan suhu sekitar ruang pendingin, metode pembekuan, dan
ukuran potongan daging, serta bahan kemasan yang dipakai saat daging akan
Laju pembekuan dan ukuran kristal es yang terbentuk juga akan menentukan
zat terlarut dalam daging menyebabkan perubahan yang terjadi di tingkat sel dan
dapat mempengaruhi fisik pada daging (Oliviera et al., 2015). Air yang membeku
dalam waktu yang lama dan terjadi di luar serabut otot (ekstraselular) akan
setelah melalui proses penyimpanan beku dalam waktu yang cukup lama sebelum
kandungan nutrisi yang ada di dalam daging. Nutrisi dalam daging beku akan
terlarut dalam air dan kemungkinan besar akan hilang selama proses thawing.
Nutrien dalam daging beku yang terlarut dalam air dan kemungkinan akan hilang
bersama cairan yang keluar selama proses thawing disebut sebagai drips
(Soeparno, 2011). Oleh karena itu, perlu kewaspadaan yang tinggi saat pencairan
kembali (thawing) pada daging beku karena sangat besar kemungkinan daging
Selama thawing juga terdapat kemungkinan air akan diserap kembali oleh
sel atau jaringan yang bergantung padaukuran kristal es dan lokalisasi pada
pembekuan (Tenorio et al., 2007). Selain itu, selama proses thawing, daging juga
Nutrien yang berpotensi hilang bersama drips saat thawing diantaranya adalah
(Aritonang, 2015). Apabila terjadi kesalahan pada proses thawing maka akan
merugikan karena kualitas daging akan rusak dan akan cepat mengalami proses
pembusukan. Selain itu, daging beku yang disegarkan kembali (thawing) akan
kehilangan rasa, warna, dan kelembaban daging. Beberapa metode thawing atau
penyegaran kembali yang dapat dilakukan pada daging beku secara konvensional
11
atau dengan perantara: (1) dengan udara dingin, misalnya di dalam alat pendingin
atau refrigerator, (2) dengan air hangat, (3) dengan air pada suhu kamar, (4)
melakukan pemanasan langsung tanpa penyegaran kembali, dan (5) dengan udara
2.5. Protein
ini disebut juga sebagai polipeptida. Asam amino sendiri merupakan asam organik
yang bersifat amfoter yang mengandung gugus amino (NH2), gugus karboksil
(COOH), atom hidrogen dan gugus R (rantai cabang) (Winarno, 2002). Asam
amino di dalam protein dapat bereaksi dengan senyawa tertentu yang memberikan
warna spesifik. Reaksi pewarnaan ini dapat digunakan untuk mendeteksi kadar
asam amino atau protein secara kualitatif maupun kuantitatif. Kadar protein yang
ada di dalam daging dapat menentukan kualitas daging tersebut. Keutuhan protein
dan begitu pula sebaliknya (Merthayasa et al., 2015). Macam-macam protein pada
miofibril merupakan protein terbesar dalam daging dan merupaakan protein tidak
larut air, protein sarkoplasma merupakan protein larut air diantaranya adalah
Kadar protein pada daging ayam petelur afkir mampu mencapai sekitar
31.5% , dimana kandungan protein pada ayam petelur afkir ini tidak jauh berbeda
dengan ayam broiler (Yahya et al., 2018). Selama proses thawing sangat
memungkinkan bahwa protein dalam daging ayam petelur afkir ini larut dan
hilang bersama air. Hal ini dikarenakan protein memiliki sifat hidrofilik yang
timbul akibat adanya rantai sisi polar, yaitu gugus karboksil dan amino
(Sari, 2019). Komposisi protein dalam daging ayam sangat berdampak penting
dianggap sebagai komponen penting dari daging ayam karena protein tersebut
mengandung asam amino yang penting bagi tubuh manusia dan berkontribusi
ayam dan produk olahannya akan bergantung pada fungsi protein termasuk
Prinsip metode ini adalah menganalisis kadar protein kasar dalam bahan makanan
secara tidak langsung karena yang dianalisis dengan cara ini adalah kadar
dengan metode ini membutuhkan faktor konversi yaitu 6,25 yang setara dengan
0,16 g nitrogen per gram protein (Tuankotta et al., 2015). Kelemahan cara ini
adalah bahwa purin, pirimidin, vitamin-vitamin, asam amino besar, kreatina dan
2.6. Lemak
Lemak merupakan sumber zat gizi asam lemak esensial dan beberapa
vitamin yang dibutuhkan oleh tubuh dan sebagai penunjang eating quality dengan
organik yang larut dalam solven non polar seperti benzene, khloroform dan eter,
tetapi lemak tidak larut dalam air. Komponen penyusun lemak terdiri dari atom
karbon, hidrogen dan oksigen yang berasal dari satu molekul gliserol yang
bergabung dengan tiga molekul gliserol (Hargono et al., 2008). Kandungan lemak
intramuskular. Lebih lanjut dijelaskan bahwa ditinjau dari segi nutrisi, komponen
lemak yang penting adalah trigliserida, fosfolipida, kolesterol dan vitamin yang
larut dalam lemak (Dewi, 2013). Kadar lemak dalam bahan pangan data dihitung
dengan metode Soxhlet. Prinsip ekstraksi Soxhlet adalah memisahkan lemak atau
(Swastawati, 2013).
Kadar lemak pada daging ayam petelur afkir berkisar antara 1,3 hingga
penelitiannya menyatakan bahwa daging ayam petelur afkir bagian dada memiliki
kandungan asam lemak jenuh (SFA) sebanyak 35,67%, mengandung asam lemak
tak jenuh tunggal (MUFA) sebanyak 44,57%, dan mengandung asam lemak tak
jenuh ganda (PUFA) sebanyak 19,79%. Ayam petelur afkir juga dinyatakan
memiliki kandungan asam palmitat, asam stearat, asam oleat, dan asam linoleat
dengan jumlah yang cukup tinggi. Proses pembekuan dan pencairan (thawing)
14
lemak pada daging. Hal ini disebabkan karena adanya kemungkinan terjadinya
oksidasi lemak selama pembekuan dan hilangnya lemak melalui drips selama
oligopeptida. Protein terlarut tersusun atas rantai asam amino yang kurang dari
sepuluh macam, dan memiliki sifat yang mudah diserap oleh sistem pencernaan
(Nurhikmat et al., 2015). Protein yang mampu larut dalam air maupun yang
asam amino yang mudah larut air pula. Asam-asam amino ini memiliki bagian
dan menurunkan kelarutan protein. Hal ini disebabkan karena panas dapat
mengendap (Irawati et al., 2016). Beberapa contoh protein yang mudah larut
daging ayam petelur afkir. Kecepatan pembekuan akan sangat ditentukan oleh
jumlah zat terlarut yang dapat mempengaruhi suhu dimana kristal es akan
15
terbentuk (Fellows, 2000). Begitu pula saat proses thawing yang dilakukan setelah
penyimpanan dan sebelum pemasakan pada daging ayam petelur afkir, kristal es
yang mencair pada daging ayam petelur afkir juga dapat menyebabkan
pengurangan zat gizi karena protein terlarut berpotensi hilang dan sangat
merugikan.
Kadar protein dalam daging ayam petelur afkir dapat diukur dengan
protein terlarut karena pewarnaannya yang praktis dan memiliki sensitivitas yang
tinggi dibandingkan metode Lowry (Wuryanti et al., 2003). John (2009) juga
Bradford mampu mendeteksi protein kurang dari 0,01 mg/ml dengan lebih cepat
dan akurat. Prinsip dari pengukuran kadar protein terlarut dengan metode
Bradford adalah pengikatan pewarna Commasie Brilliant Blue (CBB) G-250 yang
terdapat pada pereaksi Bradford dengan protein yang mengandung residu asam
amino dengan rantai samping tirosin, triptofan, fenilalanin, arginin, histidin, dan
leusin (Mabrur et al., 2018). Warna yang terbentuk oleh reaksi tersebut akan dapat
diukur absorbansinya. Kompleks warna biru pada larutan yang diberi reagen
Bradford sangat cepat terbentuk dan bersifat stabil (Utami et al., 2016).
penyimpanan. Tingkat kerusakan yang terjadi selama proses freezing dan thawing
Kemampuan daging ayam petelur afkir dalam mengikat air sangat bergantung
akan mengalami kerusakan yang bersifat irreversible, dan kerusakan ini dapat
bertambah parah dengan adanya proses thawing (Utami dan Rusman, 2006).
sejumlah cairan keluar. Cairan yang keluar diakibatkan karena pemutusan ikatan
hidrogen pada daging akan menyebabkan protein mengkerut dan ditandai dengan
karena akan menentukan kemampuan pengikatan air pada daging ayam petelur
afkir.
sinyal yang terjadi dapat dimonitor oleh suatu detektor. SEM menggunakan
prinsip scanning yaitu berkas elektron diarahkan pada titik permukaan spesimen,
sebagian dari elektron itu akan dipantulkan kembali dan sebagian lagi akan
diteruskan (Wibisono, 2017). Jika permukaan spesimen tidak rata, misalnya ada
17
itu akan memantulkan elektron dengan jumlah dan arah yang berbeda. Jika
ditangkap oleh detektor dan diteruskan ke sistem layar, maka akan diperoleh
gambar yang sesuai dengan keadaan permukaan spesimen (Egerton, 2011). Jadi,
gambar yang diperoleh merupakan bayangan dari pantulan elektron, dan apabila
digunakan potensial pemercepat yang relatif rendah akan diperoleh gambar yang
jelas.