Anda di halaman 1dari 2

Ransum Ayam Broiler Komponen bahan makanan yang dapat dimakan, dicerna, diserap serta dapat

bermanfaat bagi tubuh disebut zat makanan. Zat makanan tersebut terdiri dari air, karbohidrat, protein,
lemak, vitamin, dan mineral, ya ng dapat memelihara prosesproses metabolik tubuh (Amrullah, 2003).
Ensminger et al. (1990), menyatakan bahwa ransum adalah campuran jenis pakan yang diberikan pada
ternak untuk sehari semalam selama umur hidupnya untuk memenuhi kebutuhan nutrisi. Menurut
Wahyu (1997), ransum ayam broiler harus mengandung energi yang cukup untuk membakmmntu
reaksi-reaksi metabolik, menyokong pertumbuhan dan mempertahankan suhu tubuh. Selain itu ayam
membutuhkan protein yang seimbang, posfor, kalsium, dan mineral serta vitamin yang sangat penting
artinya selama tahap permulaan hidupnya. Kebutuhan nutrisi broiler dapat dibedakan berdasarkan
periode pertumbuhan. Ransum broiler starter hendaknya mengandung energi metabolis sebesar 2800-
3300 kkal/kg ransum dan protein kasar sebesar 19,5-22,7% dan untuk ransum broiler finisher
mengandung energi metabolis sebesar 2900-3400 kkal/kg ransum dan protein kasar sebesar 18,1-21,2%
(Scott et al., 1982). Amrullah (2003), menyatakan bahwa bentuk fisik ransum ada tiga macam, yaitu : 1.
Tepung. Bentuk tepung dapat diberikan pada anak ayam umur 0-2 minggu. Bentuk ransum ini
sederhana, paling mudah dan murah. 2. Pelet. Bentuk ransum ini diberikan pada anak ayam umur 2 atau
3 minggu dan pada umur 4 minggu broiler dapat diberi ransum dengan ukuran pelet yang lebih besar. 3.
Crumble (remahan). Bentuk ini butirannya lebih kecil dan halus. Masing-masing bentuk pakan memiliki
kelebihan dan kekurangan (Amrullah, 2003). 38

Persyaratan mutu ransum broiler finisher berdasarkan SNI No. 01-3931-1995 (Direktorat Bina Produksi,
1997) dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Standarisasi Ransum Broiler Finisher Zat Makanan Kandungan
Kadar air (maksimum) 14,0 % Protein Kasar 18,0-22,0 % Lemak Kasar 2,0-7,0 % Serat Kasar (maksimum)
5,5 % Abu 5,0-8,0% Calsium (Ca) 0,9-1,2 % Phospor (P) 0,7-1,0 % Aflatoksin (maksimum) 60 pbb Lysine
(Minimum) 0,9 % Methionine (Minimum) 0,1 % Sumber: Direktorat Bina Produksi (1997) Pelet Cara
untuk meningkatkan nutrisi suatu bahan pakan ternak adalah mengurangi ukuran partikel bahan
tersebut dengan memotong, menggiling dan memadatkan. Kombinasi dari ketiga cara tersebut adalah
membentuk produk yang disebut pelet. Pelet merupakan pakan yang dipadatkan, dikompakkan melalui
proses mekanik. Pelet dapat dicetak dalam bentuk gumpalan dan silinder kecil yang berbeda diameter,
panjang dan tingkat kekuatannya (Ensminger et al., 1990). Beberapa keuntungan pelet yaitu
meningkatkan kapasitas konsumsi sebagai akibat peningkatan kerapatan bahan ransum yang dibuat
pelet maka ternak yang mempunyai volume saluran pencernaan terbatas seperti unggas dapat
mengkonsumsi ransum lebih banyak sehingga ada jaminan lebih banyak makanan yang masuk;
mengurangi waktu makan sehingga menghemat energi dan energi yang dihemat ini akan digunakan oleh
ternak untuk produksi; menjadikan ransum lebih homogen; 39

mengurangi bagian yang terbuang dibandingkan bentuk mash; dari segi ekonomisnya mengurangi biaya
produksi, mengurangi aktivitas ayam untuk memilih-milih makanan. Kerugiannya antara lain
meningkatkan konsumsi air minum, kotoran unggas menjadi basah, merusak zat nutrisi yang terdapat
dalam jumlah sedikit pada ransum dan meningkatkan peristiwa kanibalisme diantara unggas (Patrick dan
Schaible,1980). Balagopalan et al. (1988) menyatakan bahwa faktor faktor yang mempengaruhi kualitas
pelet antara lain: 1. Pati, bila dipanaskan dengan air akan mengalami gelatinisasi dan ini berfungsi
sebagai perekat, sehingga mempengaruhi kekuatan pelet. 2. Serat, berfungsi sebagai kerangka pelet. 3.
Lemak berfungsi sebagai pelicin selama proses pembentukan pelet dalam mesin pelet sehingga
mempermudah pembentukan pelet. 4. Kadar air bahan baku 5. Ukuran partikel dan suhu sebelum
penekanan. Komposisi bahan baku pakan yang digunakan dalam proses pembuatan pelet juga
mempengaruhi kualitas fisik pelet yang dihasilkan, seperti adanya penambahan zat perekat (Angulo et
al., 1995). Sistem variabel yang menentukan kualitas pelet yang dihasilkan salah satunya adalah
konsumsi energi pada saat pembuatan pelet, sedangkan perubahan fungsi pakan yang terjadi pada saat
pembentukan pelet adalah terjadinya gelatinisasi pati, denaturasi protein dan solubilisasi serat. Kualitas
pelet yang dihasilkan dapat dilihat dari kualitas nutrisi seperti kandungan energi dan protein, kualitas
higienis yaitu jumlah bakteri yang ada, da n kualitas fisik seperti kekerasan dan durabilitas pelet (Thomas
et al., 1997). Proses Produksi Berkesinambungan Assauri (1980) menyatakan bahwa proses produksi
dapat diartikan sebagai cara, metode dan teknik untuk menciptakan atau menambah kegunaan suatu
barang atau jasa dengan menggunakan sumber-sumber (tenaga kerja, mesin, bahan-bahan dan dana).
Sistem proses produksi dalam teknologi pengolahan pakan dapat 40

Anda mungkin juga menyukai