Anda di halaman 1dari 4

MEKANISME TERJADINYA COPROPHAGY PADA

TERNAK KELINCI

PENDAHULUAN

Kelinci merupakan ternak yang memiliki potensi untuk dikembangkan di Indonesia.


Selain sebagai hewan peliharaan kelinci dapat dimanfaatkan sebagai penghasil daging,
dengan dagingnya yang memiliki kandungan protein tinggi serta lemak dan kolesterol rendah.
Kelinci memiliki beberapa keunggulan yaitu mampu memanfaatkan pakan kualitas rendah,
pertambahan bobot badan dan tingkat produksi yang tinggi serta pemeliharaan yang tidak
terlalu rumit jika dibandingkan dengan ternak lain. Salah satu faktor yang dapat
mempengaruhi produktivitas adalah pakan. Pakan ternak kelinci secara garis besar
dikelompokkan menjadi 2 yaitu berupa hijauan dan konsentrat. Pakan hijauan merupakan
sumber serat bagi ternak kelinci, sedangkan konsentrat merupakan pakan tambahan yang
mempunyai kandungan energi, protein dan lemak yang relative lebih tinggi dengan
kandungan serat kasar yang lebih rendah dibandingkan dengan hijauan. Kelinci merupakan
ternak pseudoruminant yaitu herbivora yang tidak dapat mencerna serat kasar dengan baik.
Pakan yang terkonsumsi akan mengalami proses perombakan oleh lambung, kemudian terjadi
penyerapan di dalam usus halus. Nutrien yang diserap akan diteruskan ke organ-organ tubuh
untuk menunjang kebutuhan hidup dan aktivitas ternak. Pada ternak kelinci, pakan akan
dikeluarkan dalam bentuk feses. Menurut Puspita et. al (2016) menyatakan bahwa ternak
kelinci mempunyai dua macam feses, yaitu feses normal yang biasa ditemukan di bawah
sangkarnya dan feses yang berbentuk lebih kecil dan lebih lunak serta menggumpal
berkelompok.
Tujuan dari pembuatan paper ini adalah untuk mengetahui mekanisme terjadinya
coprophagy pada ternak kelinci.

PEMBAHASAN

Kelinci merupakan ternak pseudo-ruminant, yaitu herbivora yang tidak dapat

mencerna serat kasar dengan baik. Fermentasi hanya terjadi di sekum (bagian pertama

dari kolon) yang kurang lebih merupakan 50% dari seluruh kapasitas saluran

pencernaannya. Walaupun mempunyai sekum besar, kelinci ternyata tidak mampu


mencerna bahan organik dan serat kasar dari hijauan sebanyak yang dapat dicerna oleh

ternak ruminansia (Albab et al, 2017).

Saluran perncernaan kelinci dapat dilihat pada gambar 1 sebagai berikut :

Gambar 1. Skema Saluran Pencernaan Kelinci (Tillman et. al, 1991)

Pencernaan dimulai dengan memecah bahan pakan menjadi partikel-partikel yang


lebih kecil dan dari senyawa kompleks menjadi senyawa sederhana, sehingga dapat larut dan
diabsorbsi melalui dinding saluran pencernaan dan masuk ke dalam peredaran darah untuk
diedarkan ke seluruh bagian tubuh. Lambung merupakan bagian paling penting dalam sistem
pencernaan. Ransum masuk melalui kontraksi otot pada pylorus, kemudian dicerna dalam
usus halus. Kelinci termasuk ternak pseudo ruminasi yaitu herbivora yang tidak dapat
mencerna serat kasar dengan baik. Kelinci memfermentasikan ransum di caecum (bagian
pertama dari colon) yang kurang lebih merupakan 50% dari seluruh kapasitas saluran
pencernaannya. Walaupun mempunyai sekum yang besar, kelinci ternyata tidak mampu
mencerna bahan organik dan serat kasar dari hijauan sebanyak yang dapat dicerna oleh ternak
ruminansia (Setyawan, 2013).

Setelah melewati lambung, pakan akan berlanjut ke usus halus. Usus halus
terbagi menjadi tiga bagian yaitu duodenum, ialah yang menghubungkan dengan
lambung, jejenum adalah bagian tengah dan ileum yang menghubungkan dengan
usus besar. Ke dalam usus halus masuk empat sekresi yaitu cairan duodenum,
empedu, cairan pankreas dan cairan usus. Selanjutnya pakan yang belum tercerna
akan masuk ke usus besar, pencernaan dalam usus besar adalah sisa-sisa kegiatan
pencernaan oleh enzim dari usus halus. Di usus besar dan sekum terdapat banyak
kegiatan mikrobia. Selulosa dihidrolisa disini, selain itu juga vitamin B yang
sebagian besar disekresikan dalam feses.
Ternak kelinci mempunyai 2 jenis macam feses, yaitu feses normal yang biasa
ditemukan di bawah sangkarnya, dan feses berbentuk lebih kecil dan lunak serta
menggumpal. Feses lunak adalah feses yang tidak mengalami pengabsorbsian di dalam usus,
artinya berlalu dengan cepat dari caecum langsung ke anus, yang kemudian ternak kelinci
akan mengkonsumsinya (Setyawan, 2013). Kelinci biasanya melakukan coprophagy fesesnya
yang lunak (lembek) dan dimakan secara langsung dari anusnya. Feses tersebut berwarna
hijau muda dan memiliki konsistensi lembek. Hal ini memungkinkan kelinci mampu
memanfaatkan kerja bakteri di saluran pencernaan yaitu mengkonversi protein asal hijauan
menjadi energi yang berkualitas tinggi, mensintesis vitamin B dan memecah selulosa atau
serat menjadi energi. Kelinci memakan kembali fesesnya biasanya dilakukan pada malam
hari, dimana feses masih dalam keadaan lembek. Feses tersebut mengandung banyak nutrien
yang diperlukan oleh kelinci yaitu protein (asam amino) dan kelompok vitamin B. Jadi dalam
memenuhi asam amino serta vitamin B komplek kelinci melakukan coprophagy yang mulai
dilakukan pada umur 3–4 minggu, setelah kelinci memakan pakan yang solid. Hal ini terjadi
berdasar pada kontruksi saluran pencernaannya, walaupun memiliki sekum yang besar,
kelinci ternyata tidak mampu mencerna bahan bahan organik dan serat kasar dari hijauan
sebanyak yang dapat dicerna oleh ternak ruminansia murni (sapi, kambing). Melahap tinjanya
sendiri bukanlah tanda ketidak wajaran atau ketidak warasan pada kelinci. Corprophagy
merupakan perilaku normal, sehat, dan sangat perlu dilakukan kelinci untuk menjaga
kesehatannya secara menyeluruh (Puspita et al, 2016).

PENUTUP

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa …….


DAFTAR PUSTAKA

Albab, U., A. Purnomoadi, dan S. Sutaryo. 2017. Tingkah Laku Harian dan Coprophagy
Kelinci New Zealand White Betina yang diberi Pakan Pelet dengan Sumber Energi
yang Berbeda .Fakultas Peternakan Dan Pertanian. Universitas Diponegoro. Semaranag
(thesis)
Setyawan, A. W. 2018. Pengaruh penggunaan ampas tahu dalam ransum terhadap kinerja
kelinci lokal jantan. Universitas Mercu Buana Yogyakarta. (thesis)
Puspita, P. D., S. Mukodiningsih, S., dan B. I. Tampoebolon. 2016. Uji Mikrobiologis Feses
Kelinci Periode Pertumbuhan yang Diberi Pakan Pellet dengan Penambahan Limbah
Kubis Fermentasi. Fakultas Peternakan & Pertanian Undip. (thesis)
Tillman, A. D., H. Hartadi, S. Reksohadiprodjo, S. Prawirokusuma, dan S. Lebdosoekojo.
1991. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai