PENDAHULUAN
Daging babi merupakan salah satu bahan pangan sumber protein yang tinggi,
meski begitu, terdapat resiko mengkonsumsi daging babi yaitu yaitu infeksi cacing
pita atau taeniasis, ini adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi cacing Taenia
solium alias cacing pita babi. Cacing pita babi jenis ini bisa ditemukan di seluruh
dunia, terutama di negara-negara dengan sistem sanitasi yang buruk. Cacing pita bisa
masuk melalui makanan atau minuman yang telah terkontaminasi oleh telur cacing.
mentah atau yang dimasak kurang sempurna, selain itu pada kondisi kebersihan
lingkungan yang buruk, makanan sapi dan babi bias tercemar feses manusia yang bisa
penyakit yang disebabkan oleh cacing pita (cestoda) dari genus Taenia. Sistiserkosis
merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi larva dari Taenia sp. Sistiserkosis
Daging babi bukan satu-satunya yang digolongkan sebagai daging merah, ada
pula daging sapi dan daging domba yang juga merupakan daging merah, sehingga
memiliki risiko serupa. Dampak kesehatan lain dari mengonsumsi daging babi
1. Apa saja yang menjadi penyebab kontaminasi Taenia solium pada daging
babi?
menghasilkan daging. Babi jenis ini biasa dipasarkan pada umur 5-12 bulan
Adapun ciri-ciri dari daging babi adalah: baunya khas, daging lebih kenyal dan
lebih murah dibandingkan daging sapi, seratnya lebih halus daripada daging
sapi, lemaknya tebal dan cenderung berwarna putih, serta elastis. Kemudian
lemak babi juga sangat basah dan sulit dipisah dari dagingnya (Kumari, 2009).
ternak, hal tersebut dipengaruhi oleh faktor genetik, lingkungan dan nutrisi.
pangan yang lebih vital berasal dari protein, mineral tertentu, dan vitamin B
(Suardana dan Swacita, 2008). Kandungan kimia daging babi meliputi kadar
air sebesar 60-70%, lemak 6-10%, dan protein 20-28% (USDA, 2009;
Veerman, 2013).
Taenia solium adalah spesies taenia yang pada manusia dapat menjadi inang
antara maupun inang definitif (Huisa et al. 2005; Boa et al. 2006; Joshi et al. 2007;
Myadagsuren et al. 2007; Reyes dan Terrazas 2007; Conlan et al. 2011).
larva cacing pita (sistiserkus) Taenia solium dalam tubuh manusia dan babi. Induk
semang definitif cacing pita tersebut adalah manusia, sedangkan induk semang
antaranya adalah babi dan manusia. Stadium dewasa dari T. solium yang
Aluja et al. 1999; Garcia-garcia et al. 1999; Eddi et al. 2003; García et al.
2003c;
Conlan et al. 2008; Carabin et al. 2009; Asaava et al. 2009). Penyakit Taeniasis
kurang sempurna. Selain itu, pada kondisi kebersihan lingkungan yang buruk,
makanan sapi dan babi bisa tercemar feses manusia yang bisa menyebabkan
(metacestoda) dan cestoda dewasa. Telur dan proglotid yang keluar bersama tinja
inang definitif dapat bertahan beberapa hari sampai beberapa bulan di lingkungan,
apabila termakan inang antara yang sesuai, menetas mengeluarkan onchosphere
dalam usus inang antara. Oncosphere menembus dinding usus menuju bagian
tubuh inang antara, melalui sirkulasi darah atau limfe menuju bagian jaringan
hidup untuk beberapa tahun pada inang antara. Metacestoda ditelan oleh inang
definitif yang sesuai maka calon skoleks (protoskoleks) keluar dari kista lalu
menempel pada mukosa usus dengan menggunakan batil hisapnya. Pada usus
dewasa, yang dapat bertahan hidup selama bertahun-tahun. Cacing pita dewasa
mengandung sistiserkus.
Jangka hidup cacing dewasa mencapai 30-40 tahun. Jumlah telur yang
keluar dari inang per hari sangat tinggi (500.000 – 1 juta) dan dapat
pada temperatur yang rendah yaitu 4-5 °C. Masa infektif telur selama empat
sampai enam bulan, 33 hari di sungai dan lebih dari 150 hari di permukaan tanah
melalui tinja. Gejala abdominal ringan terjadi pada beberapa kasus; hal ini
termasuk sakit di bagian abdominal, diare atau sembelit, mual, penurunan atau
peningkatan selera makan, dan kehilangan berat badan. Bayi dapat mengalami
muntah, diare, demam, penurunan berat badan (Vilhenia et al. 1999). Gejala non
spesifik lain seperti insomnia, rasa tidak enak badan dan kegelisahan juga terjadi
gangguan kesehatan yang fatal. Hal ini disebabkan karena selain menginfiltrasi
otot dan jaringan penunjang, C. cellulosae juga dapat berada di organ tubuh
penting seperti otak, mata, jantung, dan hati (Boa et al. 2002; Garcia et al. 2003).
kesehatan,
peningkatan sistem sanitasi dan sistem peternakan babi, pemeriksaan daging babi
dan pemberian obat kepada penduduk secara masal (Dorny et al. 2009).
perilaku responden dalam dua hal yaitu: praktek perilaku hidup bersih dan sehat
serta pola mengandangkan babi. Kedua aspek ini dapat menurunkan tingkat
Pada berbagai negara dimana inspeksi tidak berjalan dengan baik, sangat
infeksi cacing dewasa (pada usus) dan terjadinya penyebaran telur. Strategi
pertama termasuk peraturan yang cukup baik, sistem modernisasi produksi daging
pada daging babi yaitu vaksinasi untuk babi (Lightowlers 2010; Fonseca-Coronado
et al. 2011).
Bali, Jawa Timur, Jakarta, Lampung, Riau, Sumatera Utara, Sulawesi Tenggara,
2006). Kasus okular sistiserkosis pernah dilaporkan terjadi di Bali pada gadis
berumur sembilan tahun. Gejala yang muncul yakni kemerahan, nyeri pada mata
kiri dan ditemukan sistiserkus pada ruang anterior mata (Swastika et al. 2011).
III
KESIMPULAN
Asaava LL, Kitala PM, Gathura PB, Nanyingi MO, Muchemi G, Schelling. 2009.
A survey of bovine cysticercosis/human taeniosis in Northern Turkana
District. Kenya. Preventive Vet Med 89:197-204
Boa ME, Mahundi EA, Kassuku AA, Willingham III AL, Kyvsgaard NC. 2006.
Epidemiological survey of swine cysticercosis using ante-mortem and
postmortem examination tests in the southern highlands of Tanzania . Vet
Parasitol 139:249-255
Carabin H, Millogo A, Praet N, Hounton S, Tarnagda Z, Ganaba R, Dorny P,
Nitiema P, Cowan LD. 2009. Seroprevalence to the antigens of Taenia
solium cysticercosis among residents of three villages in Burkina Faso : A
cross-sectional study. PLoS Neglected Tropical Dis 3(11):e555
Conlan J, Khounsy S, Inthavong P, Fenwick S, Blacksell S, Thompson RCA.
2008. A review of taeniasis and cysticercosis in the Lao People’s
Democratic Republic. Parasitol Int 57:252-255
Conlan JV, Sripa B, Attwood S, Newton PN. 2011. A review of parasitic
zoonoses in a changing Southeast Asia. Vet Parasitol 182(1):22-40
De Aluja AS, Villalobos ANM, Plancarte A, Rodarte LF, Hernandez M, Zamora
C, Sciutto E. 1999. Taenia solium cysticercosis: immunity in pigs
induced
by primary infection. Vet Parasitol 81:129-135
Eddi C, Nari A, Amanfu W. 2003. Taenia solium cysticercosis/taeniosis: potential
linkage with FAO activities; FAO support possibilities. Acta Tropica
87:145-148
Eichenberger RM, Stephan R, Deplazes P. 2011. Increased sensitivity for the
diagnosis of Taenia saginata cysticercus infection by additional heart
examination compared to the EU-approved routine meat inspection. Food
Control 22:989-992
Fonseca-Coronado S, Ruiz-Tovar K, Perez-Tapia Mayra, Mendlovic F, Flisser A.
2011. Taenia solium: immune response against oral or systemic
immunization with purified recombinant calreticulin in mice.
Experimental Parasitol 127:313-317