Anda di halaman 1dari 13

I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Daging babi merupakan salah satu bahan pangan sumber protein yang tinggi,

meski begitu, terdapat resiko mengkonsumsi daging babi yaitu yaitu infeksi cacing

pita atau taeniasis, ini adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi cacing Taenia

solium alias cacing pita babi. Cacing pita babi jenis ini bisa ditemukan di seluruh

dunia, terutama di negara-negara dengan sistem sanitasi yang buruk. Cacing pita bisa

masuk melalui makanan atau minuman yang telah terkontaminasi oleh telur cacing.

Penyakit Taeniasis tersebar di seluruh dunia dan sering dijumpai dimana

orang-orang mempunyai kebiasaan mengkonsumsi daging sapi dan daging babi

mentah atau yang dimasak kurang sempurna, selain itu pada kondisi kebersihan

lingkungan yang buruk, makanan sapi dan babi bias tercemar feses manusia yang bisa

menyebabkan terjadinya penyakit tersebut (Oie, 2005). Taeniasis merupakan

penyakit yang disebabkan oleh cacing pita (cestoda) dari genus Taenia. Sistiserkosis

merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi larva dari Taenia sp. Sistiserkosis

pada manusia umumnya disebabkan infeksi oleh larva Taenia solium.

Daging babi bukan satu-satunya yang digolongkan sebagai daging merah, ada

pula daging sapi dan daging domba yang juga merupakan daging merah, sehingga

memiliki risiko serupa. Dampak kesehatan lain dari mengonsumsi daging babi

berlebih adalah kolesterol tinggi dan obesitas.


1.2 Tujuan

1. Mengetahui penyebab kontaminasi Taenia solium pada daging babi

2. Mengetahui cara pengendalian Taenia solium pada daging babi

1.3 Identifikasi Masalah

1. Apa saja yang menjadi penyebab kontaminasi Taenia solium pada daging

babi?

2. Bagaimana cara pengendalian Taenia solium pada daging babi?


II
PEMBAHASAN

2.1 Daging Babi

Babi merupakan salah satu hewan ternak yang dikembangbiakkan untuk

menghasilkan daging. Babi jenis ini biasa dipasarkan pada umur 5-12 bulan

dengan diambil bagian dagingnya, hal tersebut dilakukan untuk menghindari

penimbunan lemak yang berlebihan. Penjualan daging babi tidak dibedakan

berdasar jenis kelamin (Hermanianto dkk., 1997).

Daging babi memiliki karakteristik yang berbeda dari daging lainnya.

Adapun ciri-ciri dari daging babi adalah: baunya khas, daging lebih kenyal dan

mudah direnggangkan, cenderung berair, warna lebih pucat, harga pasaran

lebih murah dibandingkan daging sapi, seratnya lebih halus daripada daging

sapi, lemaknya tebal dan cenderung berwarna putih, serta elastis. Kemudian

lemak babi juga sangat basah dan sulit dipisah dari dagingnya (Kumari, 2009).

Komposisi kimia daging bervariasi antar spesies, bangsa, atau individu

ternak, hal tersebut dipengaruhi oleh faktor genetik, lingkungan dan nutrisi.

Nilai nutrisi daging berhubungan dengan kandungan protein, lemak,

karbohidrat, mineral dan vitamin yang terdapat dalam daging tersebut.

Penyumbang kalori daging berasal komponen protein, lemak, dan karbohidrat

dalam jumlah yang terbatas, sedangkan penyumbang kalori sebagai bahan

pangan yang lebih vital berasal dari protein, mineral tertentu, dan vitamin B

(Suardana dan Swacita, 2008). Kandungan kimia daging babi meliputi kadar
air sebesar 60-70%, lemak 6-10%, dan protein 20-28% (USDA, 2009;

Veerman, 2013).

2.2 Cacing Pita pada Babi (Taenia solium)

Taenia solium adalah spesies taenia yang pada manusia dapat menjadi inang

antara maupun inang definitif (Huisa et al. 2005; Boa et al. 2006; Joshi et al. 2007;

Myadagsuren et al. 2007; Reyes dan Terrazas 2007; Conlan et al. 2011).

Sistiserkosis solium adalah penyakit zoonosa yang disebabkan oleh infeksi

larva cacing pita (sistiserkus) Taenia solium dalam tubuh manusia dan babi. Induk

semang definitif cacing pita tersebut adalah manusia, sedangkan induk semang

antaranya adalah babi dan manusia. Stadium dewasa dari T. solium yang

menginfeksi manusia juga menyebabkan penyakit yang dinamakan taeniosis (De

Aluja et al. 1999; Garcia-garcia et al. 1999; Eddi et al. 2003; García et al.

2003c;

Conlan et al. 2008; Carabin et al. 2009; Asaava et al. 2009). Penyakit Taeniasis

tersebar di seluruh dunia dan sering dijumpai dimana orang-orang mempunyai


kebiasaan mengkonsumsi daging sapi dan daging babi mentah atau yang dimasak

kurang sempurna. Selain itu, pada kondisi kebersihan lingkungan yang buruk,

makanan sapi dan babi bisa tercemar feses manusia yang bisa menyebabkan

terjadinya penyakit tersebut (Oie, 2005).

Taenia spp. berukuran panjang, bersegmen, dan bersifat parasitik (family

Taeniidae, subklas Cestoda). Infeksi dengan larva dari Taenia solium, T.


saginata, T. crassiceps, T. ovis, T. taeniaeformis atau T. hydatigena

disebut sistiserkosis. Larva dari organisme ini disebut sistiserkus.


2.2.1 Siklus Hidup

Terdapat tiga stadium perkembangan cestoda yaitu telur, larva

(metacestoda) dan cestoda dewasa. Telur dan proglotid yang keluar bersama tinja

inang definitif dapat bertahan beberapa hari sampai beberapa bulan di lingkungan,
apabila termakan inang antara yang sesuai, menetas mengeluarkan onchosphere

dalam usus inang antara. Oncosphere menembus dinding usus menuju bagian

tubuh inang antara, melalui sirkulasi darah atau limfe menuju bagian jaringan

organ inang antara menjadi metacestoda (sistiserkus). Sistiserkus dapat bertahan

hidup untuk beberapa tahun pada inang antara. Metacestoda ditelan oleh inang

definitif yang sesuai maka calon skoleks (protoskoleks) keluar dari kista lalu

menempel pada mukosa usus dengan menggunakan batil hisapnya. Pada usus

manusia, sistiserkus berkembang selama dua bulan sampai menjadi cestoda

dewasa, yang dapat bertahan hidup selama bertahun-tahun. Cacing pita dewasa

menempel pada usus halus dengan menggunakan skoleks. Manusia dapat

terinfeksi dengan memakan daging mentah atau setengah matang yang

mengandung sistiserkus.

Jangka hidup cacing dewasa mencapai 30-40 tahun. Jumlah telur yang

keluar dari inang per hari sangat tinggi (500.000 – 1 juta) dan dapat

mengkontaminasi lingkungan. Telur taenia dapat bertahan lama di lingkungan

pada temperatur yang rendah yaitu 4-5 °C. Masa infektif telur selama empat
sampai enam bulan, 33 hari di sungai dan lebih dari 150 hari di permukaan tanah

(Riemann dan Cliver, 2006).


2.2.2 Gejala

Taeniosis biasanya asimptomatik, kecuali saat keluarnya proglotid

melalui tinja. Gejala abdominal ringan terjadi pada beberapa kasus; hal ini

termasuk sakit di bagian abdominal, diare atau sembelit, mual, penurunan atau

peningkatan selera makan, dan kehilangan berat badan. Bayi dapat mengalami

muntah, diare, demam, penurunan berat badan (Vilhenia et al. 1999). Gejala non

spesifik lain seperti insomnia, rasa tidak enak badan dan kegelisahan juga terjadi

(Meza et al. 2005).


Sistiserkosis pada babi biasanya tidak menunjukkan gejala klinis dan

gangguan kesehatan, sedangkan infeksi C. cellulosae pada manusia menimbulkan

gangguan kesehatan yang fatal. Hal ini disebabkan karena selain menginfiltrasi

otot dan jaringan penunjang, C. cellulosae juga dapat berada di organ tubuh

penting seperti otak, mata, jantung, dan hati (Boa et al. 2002; Garcia et al. 2003).

Sistiserkus di otak menyebabkan neurosistiserkosis, epilepsi, kejang sampai

terjadinya kematian (Conlan et al., 2011).

2.2.3 Pengendalian dan Pencegahan

Pencegahan dan pengendalian perlu segera dilakukan terhadap babi dan

masyarakat. Pengendalian T. solium dilakukan dengan cara pendidikan

kesehatan,

peningkatan sistem sanitasi dan sistem peternakan babi, pemeriksaan daging babi

dan pemberian obat kepada penduduk secara masal (Dorny et al. 2009).

Pendidikan kesehatan mengenai penyakit cacing pita dapat mempengaruhi

perilaku responden dalam dua hal yaitu: praktek perilaku hidup bersih dan sehat

serta pola mengandangkan babi. Kedua aspek ini dapat menurunkan tingkat

sistiserkosis/taeniosis (Krecek dan Waller, 2006).

Pada berbagai negara dimana inspeksi tidak berjalan dengan baik, sangat

direkomendasikan bagi konsumen untuk memasak daging babi paling rendah

dengan suhu 60 °C. Word Health Organization dan Pan American

Health Organization telah mengembangkan dua strategi alternatif untuk

pengendalian infeksi T. solium pada manusia yaitu intervensi yang komprehensif


jangka panjang dan intervensi jangka pendek berdasarkan pada pengobatan massal

infeksi cacing dewasa (pada usus) dan terjadinya penyebaran telur. Strategi

pertama termasuk peraturan yang cukup baik, sistem modernisasi produksi daging

babi, peningkatan efisiensi dan pemenuhan inspeksi daging, ketentuan fasilitas

sanitasi yang cukup, dan pemakaian pengukuran untuk mengidentifikasi dan

mengobati penderita cacing pita. Strategi yang kedua yaitu program

mengidentifikasi telur dan pengobatan kepada semua penderita telah

dikembangkan. Prospek pemberantasan T. solium dianggap baik bila dapat

memutuskan siklus hidup dengan meningkatkan sanitasi, mengandangkan babi,

dan inspeksi daging yang ketat dan

teliti (Eichenberger et al. 2011). Strategi lain untuk mengendalikan sistiserkosis

pada daging babi yaitu vaksinasi untuk babi (Lightowlers 2010; Fonseca-Coronado

et al. 2011).

Indonesia terdapat beberapa provinsi yang berstatus endemis penyakit

taeniasis/sistiserkosis yaitu Papua, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat,

Bali, Jawa Timur, Jakarta, Lampung, Riau, Sumatera Utara, Sulawesi Tenggara,

Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, dan Kalimantan Timur. Papua merupakan

daerah yang paling tinggi tingkat kejadian sistiserkosis/taeniasis (Suroso et al.

2006). Kasus okular sistiserkosis pernah dilaporkan terjadi di Bali pada gadis

berumur sembilan tahun. Gejala yang muncul yakni kemerahan, nyeri pada mata

kiri dan ditemukan sistiserkus pada ruang anterior mata (Swastika et al. 2011).
III
KESIMPULAN

1. Penyebab terjadinya kontaminasi Taenia solium yaitu kondisi kebersihan

lingkungan yang buruk.

2. Pengendalian T. solium dilakukan dengan cara pendidikan kesehatan,

peningkatan sistem sanitasi dan sistem peternakan babi, pemeriksaan

daging babi dan pemberian obat kepada penduduk secara masal.


DAFTAR PUSTAKA

Asaava LL, Kitala PM, Gathura PB, Nanyingi MO, Muchemi G, Schelling. 2009.
A survey of bovine cysticercosis/human taeniosis in Northern Turkana
District. Kenya. Preventive Vet Med 89:197-204
Boa ME, Mahundi EA, Kassuku AA, Willingham III AL, Kyvsgaard NC. 2006.
Epidemiological survey of swine cysticercosis using ante-mortem and
postmortem examination tests in the southern highlands of Tanzania . Vet
Parasitol 139:249-255
Carabin H, Millogo A, Praet N, Hounton S, Tarnagda Z, Ganaba R, Dorny P,
Nitiema P, Cowan LD. 2009. Seroprevalence to the antigens of Taenia
solium cysticercosis among residents of three villages in Burkina Faso : A
cross-sectional study. PLoS Neglected Tropical Dis 3(11):e555
Conlan J, Khounsy S, Inthavong P, Fenwick S, Blacksell S, Thompson RCA.
2008. A review of taeniasis and cysticercosis in the Lao People’s
Democratic Republic. Parasitol Int 57:252-255
Conlan JV, Sripa B, Attwood S, Newton PN. 2011. A review of parasitic
zoonoses in a changing Southeast Asia. Vet Parasitol 182(1):22-40
De Aluja AS, Villalobos ANM, Plancarte A, Rodarte LF, Hernandez M, Zamora
C, Sciutto E. 1999. Taenia solium cysticercosis: immunity in pigs
induced
by primary infection. Vet Parasitol 81:129-135
Eddi C, Nari A, Amanfu W. 2003. Taenia solium cysticercosis/taeniosis: potential
linkage with FAO activities; FAO support possibilities. Acta Tropica
87:145-148
Eichenberger RM, Stephan R, Deplazes P. 2011. Increased sensitivity for the
diagnosis of Taenia saginata cysticercus infection by additional heart
examination compared to the EU-approved routine meat inspection. Food
Control 22:989-992
Fonseca-Coronado S, Ruiz-Tovar K, Perez-Tapia Mayra, Mendlovic F, Flisser A.
2011. Taenia solium: immune response against oral or systemic
immunization with purified recombinant calreticulin in mice.
Experimental Parasitol 127:313-317

Garcia-garcia MDL, Torres M, Correa D, Flisser A, Sosa-Lechuga A, Velasco O,


Meza-Lucas A, plancarte A, Avila G, Tapia R, Aguilar L, Mandujano A,
Alcántara I, Morales Z, Salcedo A, Manon MDLL, Valdespino-Gomez
JL. 1999. Prevalence and risk of cysticercosis and taeniasis in an urban
population of soldiers and their relatives. Am J Trop Med Hyg
61(3):386-389
Garcia HH, Gonzalez AE, Evans CAW, Gilman RH. 2003b. Taenia solium
cysticercosis. Lancet 361:547-556
Hermanianto, J., Nurwahid. M, dan Azhar. E. 1997. Pengetahuan Bahan Daging
dan Unggas. Teknologi dan Industri Pangan.
Huisa BN, Menacho LA, Rodriguez S, Bustos JA, Gilman RH, Tsang VCW,
Gonzalez AE, García HH. 2005. Taeniasis and cysticercosis in
housemaids working in affluent neighborhoods in Lima, Peru. Am J Trop
Med Hyg 73(3):496-500
Joshi DD, Bista PR, Ito A, Yamasaki H. 2007. Review: Present situation of
porcine taeniasis and human cysticercosis in Nepal. Southeast Asian J
Trop Med Public Health 38(Supl 1)144:150
Krecek RC, Waller PJ. 2006. Towards the implementation of the “basket of
options” approach to helminth parasite control of livestock: Emphasis on
the tropics/subtropics. Vet Parasitol 139:270-282
Kumari. (2009). Waspada Flu Babi. Penenrbi Jala Sutra. Yogyakarta.
Lightowlers MW. 2010. Fact of hypothesis: concomitant immunity in taeniid
cestode infections. Parasite Immunol 32:582-589
Meza NW, Rossi NE, Galeazzi TN, Sánchez NM, Colmenares FI, Medina OD,
Uzcategui NL, Alfonzo N, Arango C, Urdaneta H. 2005. Cysticercosis in
chronic psychiatric inpatients from a venezuelan community. Am J Trop
Med Hyg 73(3):504-509
Myadagsuren N, Davaajav A, Wandra T, Sandar T, Ichinkhorloo P, Yamasaki H,
Sako Y, Nakao M, Sato MO, Nakaya K, Ito A. 2007. Taeniasis in
Mongolia, 2002-2006. Am J Trop Med Hyg 77(2):342-346
Oie, 2005, Taenia Infectif (Diakses dari http://www.cfsph.iastate.edu/
Factsheets/pdf/taenia.pdf pada tanggal 18 Desember 2019 pukul 11.48
WIB)
Reyes JL, Terrazas LI. 2007. The divergent roles of alternatively activated
macrophages in helminthic infections. Parasite Immunol 29:609-619
Riemann HP, Cliver DO. 2006. Foodborne infections and intoxications. Elsevier Inc.
UK
Suardana, I.W. dan Swacita, I.B.N. (2008). Buku Ajar Higiene Makanan. Edisi I,
Cetakan I. Udayana Press. Denpasar.
Suroso T, Margono SS, Wandra T, Ito A. 2006. Challenges for control of
taeniasis/cysticercosis in Indonesia. Parasitol Int 55(supl): 161-165
Swastika K, Dewiyani CI, Yanagida Y, Sako Y, Sudarmaja M, Sutisna P, Wandra
T, Dharmawan NS, Nakaya K, Okamoto M, Ito A. 2011. Case report An
ocular cysticercosis in Bali, Indonesia caused by Taenia solium Asian
genotype. Parasitol Int. 61:376-380
USDA. 2009. USDA Nutrient Data Set for Fresh Pork (From SR), Release 2.0. U.S.
Department of Agriculture. Agricultural Research Service. Maryland.
USA.
Veerman, M., Setiyono., Rusman. 2013. Pengaruh Metode Pengeringan Dan
Konsentrasi Bumbu Serta Lama Perendaman Dalam Larutan Bumbu
Terhadap Kualitas Fisik Dan Sensori Dendeng Babi. Buletin Peternakan.
Vol. 37(1): 34-40.
Vilhena M, Santos M, Torgal J. 1999. Seroprevalence of human cysticercosis in
Maputo, Mozambique. Am J Trop Med Hyg 61(1):59-62

Anda mungkin juga menyukai