Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN PRAKTIKUM HYEGENE PANGAN

“PENGUJIAN TOTAL PLATE COUNT TELUR”

KELOMPOK A2
1. SHARONIVA JAGUASTIN KOANAK 1509010012
2. FEBRY C. DE VIRGOLIA TAE 1509010016
3. ANGELA NOVITA DAKI 1509010018
4. YUMIATI AYAL 1409010045

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


UNIVERSITAS NUSA CENDANA
KUPANG
2018
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Telur adalah salah satu sumber protein hewani yang berasal dari ternak. Telur ayam ras
merupakan salah satu jenis telur yang paling sering dikonsumsi oleh masyarakat. Telur
mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan sumber protein asal ternak yang lainnya
yaitu telur mudah diolah, harganya murah, dan lebih awet walaupun tanpa pengolahan, serta telur
juga mengandung banyak zat yang penting bagi pertumbuhan manusia, bernilai gizi tinggi, dan
memiliki kandungan asam amino yang lengkap. Akan tetapi, telur mudah mengalami kerusakan
baik secara fisik, kimia, maupun mikrobiologi.
Telur mudah mengalami penurunan kualitas yang disebabkan oleh cemaran mikroba.
Kerusakan dapat terjadi secara fisik, dan penguapan air dan gas – gas seperti karbondioksida,
amonia, nitrogen, dan hidrogen sulfida dari dalam telur. Kualitas telur juga dapat dipengaruhi
oleh lama penyimpanan, suhu, kelembaban relatif, dan kualitas kerabang telur (Jazil dkk., 2013).
Cemaran suatu mikroba merupakan cemaran dalam makanan yang berasal dari mikroba yang
dapat merugikan dan membahayakan kesehatan manusia yang mengkonsumsinya.
Kadar unsur pencemar dalam makanan harus dan tidak boleh lebih dari ambang batas
toleransi yang sudah ditentukan oleh Standar Nasional Indonesia (SNI). Produk makanan yang
telah beredar di pasar dapat ditarik kembali dari peredaran dengan alasan dapat membahayakan
konsumen bila dikonsumsi (Birowo dkk., 2013). Menurut Standar Nasional Indonesia SNI 3926-
2008, persyaratan mutu maksimum mikrob untuk jumlah total kuman pada kerabang dan isi telur
adalah 1 X 105 CFU/g.
Metode TPC, merupakan salah satu metode yang seribg digunakan untuk mengetahui jumlah
cemaran mikroba dalam telur. Metode ini dilakukan melalui pour plate dan spread plate. Setelah
dilakukan kultur, media diinkubasi dan dihitung koloni bakteri yang tumbuh.
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka penting dilakukan praktikum mengenai
Pengujian TPC Telur sehingga dapat menjadi dasar bagi para calon dokter hewan untuk
menentukan jumlah cemaran mikroba pada telur yang beredar dipasaran.
1.2.Tujuan
Adapun tujuan dilakukannya praktikum ini adalah untuk mengetahui mikrobiologi telur dan
jumlah cemaran mikroba yang terdapat pada sampel telur ayam ras dari hypermart.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Telur
Telur adalah salah satu sumber protein hewani yang cukup tinggi dengan susunan asam
amino yang lengkap serta memiliki rasa yang lezat, mudah dicerna dan bergizi tinggi.
Kandungan gizi sebutir telur dengan berat 100 gram terdiri dari protein 12,8 gram, karbohidrat
0,7 gram, lemak 11,5 gram, air 66,1 gram, vitamin 7,9 gram dan mineral 1 gram, (Afifah, 2013).
Selain itu, telur juga mengandung lemak tak jenuh, vitamin dan mineral yang diperlukan tubuh,
(Mulza dkk., 2013). Telur memiliki beberapa kelemahan antara lain kulit telur mudah pecah atau
retak dan tidak dapat menahan tekanan mekanis yang besar, sehingga telur tidak dapat
diperlakukan secara kasar dalam suatu wadah. Kelembaban relatif udara dan suhu ruang
penyimpanan dapat mempengaruhi mutu telur, dan dapat menyebabkan perubahan secara kimia
dan mikrobiologis, (Mulza dkk., 2013).
Telur mudah mengalami penurunan kualitas yang disebabkan oleh cemaran mikroba.
Kerusakan dapat terjadi secara fisik, dan penguapan air dan gas – gas seperti karbondioksida,
amonia, nitrogen, dan hidrogen sulfida dari dalam telur. Kualitas telur juga dapat dipengaruhi
oleh lama penyimpanan, suhu, kelembaban relatif, dan kualitas kerabang telur (Jazil dkk., 2013).
Cemaran suatu mikroba merupakan cemaran dalam makanan yang berasal dari mikroba yang
dapat merugikan dan membahayakan kesehatan manusia yang mengkonsumsinya. Sementara
menurut Hardianto, dkk., (2012), kerusakan pada telur dapat terjadi secara fisik, kimia maupun
biologis. Secara biologis kerusakan pada telur ayam disebabkan oleh mikroorganisme
diantaranya adalah bakteri. Masuknya bakteri ke dalam telur setelah telur berada di luar tubuh
induknya misalnya berasal dari kotoran yang menempel pada kulit telur. Kotoran tersebut
diantaranya adalah feses, tanah, atau suatu bahan yang banyak mengandung bakteri perusak.
Bakteri ini masuk ke dalam telur melalui kulit telur yang retak atau menembus kulit ketika
lapisan tipis protein yang menutupi kulit telur telah rusak dan lubang-lubang kecil yang terdapat
pada permukaan telur yang disebut pori-pori. Beberapa bakteri yang dapat mencemari telur
antara lain golongan Salmonella, Staphylococcus, Streptococcus, Bacillus, Proteus,
Pseudomonas, Aeromonas, dan Coliaerogenes, (Lubis dkk., 2012).
Pencemaran pada telur dapat disebabkan oleh unggas yang sakit, alas kandang, feses,
penyimpanan, sanitasi dan higiene. Mikroba dapat masuk ke dalam telur melalui pori – pori pada
kulit telur, (Nurjanna, 2015). Sarwono (1994), mengatakan bahwa kerusakan telur yang
disebabkan oleh bakteri dapat disebabkan oleh 2 faktor utama, yaitu faktor internal dan faktor
eksternal. Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam, yaitu telur telah terinfeksi pada
waktu masih berada dalam tubuh induknya misalnya induk menderita Salmonellosi sehingga
telur mengandung bakteri Salmonella sp. Faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar
meliputi masuknya bakteri ke dalam telur yangterjadi setelah telur keluar dari tubuh induknya
misalnya yang berasal dari kotoran kandang, udara, peralatan, dan tangan peternak (Saraswati,
2012).
Kadar unsur pencemar dalam makanan harus dan tidak boleh lebih dari ambang batas
toleransi yang sudah ditentukan oleh Standar Nasional Indonesia (SNI). Produk makanan yang
telah beredar di pasar dapat ditarik kembali dari peredaran dengan alasan dapat membahayakan
konsumen bila dikonsumsi (Birowo dkk., 2013). Menurut Standar Nasional Indonesia SNI 3926-
2008, persyaratan mutu maksimum mikrob untuk jumlah total kuman pada kerabang dan isi telur
adalah 1 X 105 CFU/g.
2.2.Total Plate Count
Total plate count (TPC) merupakan cara penghitungan jumlah mikroba yang terdapat dalam
suatu produk yang tumbuh pada media agar pada suhu dan waktu inkubasi yang ditetapkan,
(SNI, 2008). Total Plate Count (TPC) dimaksudkan untuk menunjukkan jumlah mikroba yang
terdapat dalam suatu produk dengan cara menghitung koloni bakteri yang ditumbuhkan pada
media agar, (SNI, 2008). Perhitungan jumlah koloni dilakukan dengan menghitung jumlah
koloni pada setiap seri pengenceran kecuali cawan petri yang berisi koloni menyebar (spreader
colonies) dan dilakukan dengan memilih cawan yang mempunyai jumlah koloni 25 sampai
dengan 250, (SNI, 2008).
Rumus perhitungan :
Jumlah mikroba = Jumlah koloni x faktor pengencer
Faktor pengencer = 1/ tingkat pengeceran
2.2.1. Interpretasi hasil
2.2.1.1. Cawan dengan jumlah koloni kurang dari 25
Bila cawan duplo dari pengenceran terendah menghasilkan koloni kurang dari 25,
hitung jumlah yang ada pada cawan dari setiap pengenceran. Rerata jumlah koloni per
cawan dan kalikan dengan faktor pengencerannya untuk menentukan nilai TPC. Tandai
nilai TPC dengan tanda bintang (Tabel 1 nomor 3) untuk menandai bahwa
penghitungannya diluar 25 koloni sampai dengan 250 koloni per cawan.
2.2.1.2. Cawan dengan jumlah koloni lebih dari 250
Bila jumlah koloni per cawan lebih dari 250, hitung koloni-koloni pada cawan
untuk memberikan gambaran penyebaran koloni secara representatif. Tandai penghitungan
TPC dengan tanda bintang untuk menandai bahwa penghitungannya diluar 25 koloni
sampai dengan 250 koloni per cawan (Tabel 1 nomor 4).
2.2.1.3. Spreaders
Koloni yang menyebar (spreaders) biasanya dibagi dalam 3 bentuk:
a. Rantai koloni tidak terpisah secara jelas disebabkan oleh disintegrasi rumpun
bakteri.
b. Terbentuknya lapisan air antara agar dan dasar cawan.
c. Terbentuknya lapisan air pada sisi atau permukaan agar.
Bila cawan yang disiapkan untuk contoh lebih banyak ditumbuhi oleh spreader seperti (a),
dan total area yang melebihi 25 % dan 50 % pertumbuhannya dilaporkan sebagai cawan
spreader. Rerata jumlah koloni dari setiap pengenceran, kemudian laporkan jumlahnya
sebagai TPC (Tabel 1 nomor 5). Selain 3 (tiga) bentuk spreader, dapat dihitung sebagai
satu pertumbuhan koloni. Untuk tipe a) bila hanya terdapat satu rantai, hitunglah sebagai
koloni tunggal. Bila ada satu atau lebih rantai yang terlihat dari sumber lain, hitung tiap
sumber itu sebagai satu koloni, termasuk untuk tipe b) dan c) juga dihitung sebagai koloni.
Gabungkan perhitungan koloni dan perhitungan spreader untuk menghitung TPC.
2.2.1.4. Cawan tanpa koloni
Bila cawan petri dari semua pengenceran tidak menghasilkan koloni, laporkan
TPC sebagai kurang dari 1 kali pengenceran terendah yang digunakan. Tandai TPC dengan
tanda bintang bahwa penghitungannya diluar 25 koloni sampai dengan 250 koloni (Tabel 1
nomor 6).
2.2.1.5. Cawan duplo, cawan yang satu dengan 25 koloni sampai dengan 250 koloni
dan cawan yang lain lebih dari 250 koloni
Bila cawan yang satu menghasilkan koloni antara 25 sampai dengan 250 dan yang
lain lebih dari 250 koloni, hitung kedua cawan dalam penghitungan TPC (Tabel 1 nomor
7).
2.2.1.6. Cawan duplo, satu cawan dari setiap pengenceran dengan 25 koloni sampai
dengan 250 koloni
Bila 1 cawan dari setiap pengenceran menghasilkan 25 koloni sampai dengan 250
koloni, dan cawan lain kurang dari 25 koloni atau menghasilkan lebih dari 250 koloni,
hitung keempat dalam penghitungan TPC (Tabel 1 nomor 8).
2.2.1.7. Cawan duplo, dua cawan dari satu pengenceran dengan 25 koloni sampai
dengan 250 koloni, hanya 1 cawan yang lebih dari 25 koloni sampai dengan 250
koloni dan dari cawan yang lain dengan 25 koloni sampai dengan 250 koloni
Bila kedua cawan dari satu pengenceran menghasilkan 25 koloni sampai dengan
250 koloni, hitung keempat cawan termasuk cawan yang kurang dari 25 atau yang lebih
dari 250 koloni dalam penghitungan TPC (Tabel 1 nomor 9).

Tabel 1. Petunjuk perhitungan TPC


BAB III
METODOLOGI
3.1.Waktu dan Tempat
Praktikum ini dilakukan pada hari Rabu, 25 Oktober 2018 di Laboratorium Kesehatan
Masyarakat Veteriner, pada pukul 10.00-12.00 WITA.
3.2.Alat dan Bahan
3.2.1. Alat
 Cawan petri  Erlenmeyer
 Tabung reaksi  Gelas ukur
 Bunsen  Mikropipet
 Timbangan  Mikrotip
 Rak tabung reaksi  Inkubator
3.2.2. Bahan
 1butir telur ayam hypermart  Tissue
 BPW  Alumunium foil
 Media PCA  Alcohol 70%
3.3.Metode
1) Membersihkan telur yang akan digunkakan dengan menggunakan kapas beralkohol pada
kerabangnya.
2) Menimbang telur dengan timbangan
3) Melubangi telur dan memisahkan outih dan kuning telur
4) Menyalakan Bunsen dan mengukur BPW
5) Memasukkan 2 gram telur kedalam 18 ml BPW dan disebut dengan pengenceran pertama
(pengenceran 10-1)
6) Mengambil 1 ml dari 10-1 dan memasukkannya kedalam 9 ml BPW, dan disebut dengan
pengenceran ke-2 (pengenceran 10-2)
7) Mengambil 1 ml dari 10-2 dan memasukkannya kedalam 9 ml BPW, dan disebut dengan
pengenceran ke-3 (pengenceran 10-3)
8) Melakukan kultur bakteri dengan metode Duplo menggunakan pengenceran 10-3
9) Inkubasi selama 24 jam, setelah itu dilakukan perhitungan koloni.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil
Pada praktikum pengujian mikrobiologi susu ini, metode TPC yang digunakan adalah pour
plate dengan teknik duplo dan koloni yang dihitung adalah pada tingkat pengenceran 10 -3.
Adapun hasil yang didapatkan dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2. Hasil praktikum TPC telur


Gambar Keterangan
Mengalami kecelakaan kerja dan dihitung
sebagai 1 koloni.
Perhitungan :
Jumlah mikroba = Jumlah koloni x faktor
pengencer
Jumlah mikroba = 1 x 1/10-3 = 103 CFU/g.

Jumlah koloni adalah 434 koloni.


Perhitungan :
Jumlah mikroba = Jumlah koloni x faktor
pengencer
Jumlah mikroba = 434 x 1/10-3 = 4,34 x 105
CFU/g.

Hasil rerata jumlah bakteri adalah : (0,01 + 4,34 (105) ) / 2 = 5,35 x 105 / 2 = 2,68 x 105
CFU/g

4.2. Pembahasan
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan didapatkan hasil perhitungan bakteri
menggunkan metode TPC pada telur yang dibeli dari hypermart adalah 2,68 x 105 CFU/g.
Menurut Standar Nasional Indonesia SNI 3926-2008, persyaratan mutu maksimum mikroba
untuk jumlah total kuman pada kerabang dan isi telur adalah 1 X 105 CFU/g. Acuan tersebut
menunjukkan bahwa jumlah bakteri yang terhitung pada sampel telur dari hypermart melebihi
tetapan SNI (1x105 CFU/g) sementara hasil perhitungan adalah 2,68 x 105 CFU/g. hal tersebut
menunjukkan bahwa telur tersebut tidak layak untuk dikonsumsi karena jumlah cemaran
mikrobanya melebihi ambang batas yang ditetapkan oleh SNI.
Hypermart merupakan jaringan hypermarket yang didalamnya memiliki pasar swalayan
yang menjual produk sandang, pangan dan kebutuhan sehari-hari. Salah satu produk yang dijual
di hypermart adalah telur. Hypermart banyak digemari oleh golongan ekonomi atas karena
dianggap memiliki produk yang higenis serta memiliki tersertifikasi mutunya. Hypermart juga
memliki prosedur tersendiri untuk menjaga higienitas serta kelayakan produk yang dijual dengan
selalu melakukan pemeriksaan produk yang dilakukan oleh pihak berwenang seperti karantina.
Berdasarkan hasil praktikum yang telah dilakuakn menunjukkan adanya hal yang berbeda dari
pandangan masyarakat mengenai kualitas produk yang dijual. Hal ini karena jumlah cemaran
mikroba yang ditemukan melebihi tetapan dari SNI.
Pencemaran pada telur dapat disebabkan oleh unggas yang sakit, alas kandang, feses,
penyimpanan, sanitasi dan higiene. Mikroba dapat masuk ke dalam telur melalui pori – pori pada
kulit telur, (Nurjanna, 2015). Kualitas telur dapat juga dipengaruhi oleh lama penyimpanan,
suhu, kelembaban relatif, dan kualitas kerabang telur (Jazil dkk., 2013). Beberapa bakteri yang
dapat mencemari telur antara lain golongan Salmonella, Staphylococcus, Streptococcus, Bacillus,
Proteus, Pseudomonas, Aeromonas, dan Coliaerogenes, (Lubis dkk., 2012). Adanya cemaran
mikroba telur pangan yang dikonsumsi oleh manusia dapat membahayakan kesehatan manusia.
Oleh karena itu, adanya ketertiban petugas dalam pemeriksaan sampel telur serta ketertiban dari
produsen dan distributor itu sendiri diperlukan sehingga tidak lagi tersebar telur dengan cemaran
mikroba yang melebihi ambang batas SNI.
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan didapatkan hasil perhitungan bakteri
menggunkan metode TPC pada telur yang dibeli dari hypermart adalah 2,68 x 105 CFU/g dimana
melebihi standar SNI yaitu 1 X 105 CFU/g, sehingga dinyatakan tidak layak konsumsi. Kondisi
seperti ini dapat terjadi karena unggas yang sakit, alas kandang, feses, penyimpanan, sanitasi dan
higiene yang menyebabkan mikroba masuk ke telur secara langsung maupun melalui pori-pori
kerabang, serta oleh lama penyimpanan, suhu, kelembaban relatif, dan kualitas kerabang telur.
DAFTAR PUSTAKA
Afifah, N. 2013. Uji salmonella-shigella pada telur ayam yang disimpan pada suhu dan waktu
yang berbeda. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Jurnal Ilmiah Edu Research.
Universitas pasir pengaraian. 2(1):36.
Badan Standardisasi Nasional. 2008. Metode pengujian cemaran mikroba dalam daging, telur
dan susu, serta hasil olahannya. Standar Nasional Indonesia. Jakarta. SNI 2897:2008.
Birowo J., I.M. Sukada, dan I.G.K. Suarjana. 2013. Perbandingan jumlah bakteri coliform pada
telur ayam buras yang dijual di pasar bersanitasi baik dan buruk. Indonesia Medicus
Veterinus. 2(3):26 –280.
Hardianto, G. K. Suarjana dan M. D. Rudyanto. 2012. Pengaruh Suhu dan Lama Penyimpanan
Terhadap Kualitas Telur Ayam Kampung Ditinjau dari Angka Lempeng Total Bakteri.
Indonesia Medicus Veterinus. Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas Udayana.
1(1):72.
Jazil A,dkk. 2013. Penurunan kualitas telur ayam ras dengan intensitas warna coklat kerabang
berbeda selama penyimpanan. Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan. 2(1).
Lubis, H.A., G. K. Suarjana, dan M. D. Rudyanto. 2012. Pengaruh suhu dan lama penyimpanan
telur ayam kampung terhadap jumlah eschericia cilo. Indonesia Medicus Veterinus.
Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas Udayana. 1(1):145.
Mulza, D. P., Ratnawulan dan Gusnedi. 2013. Uji Kualitas Telur Ayam Ras Terhadap Lamanya
Penyimpanan Berdasarkan Sifat Listrik. Pillar of Physics. Universitas Negeri Padang.
1(2):111.
Nurjanna, S. 2015. Kontaminasi Bakteri Telur Ayam Ras Yang Dipelihara Dengan Sistem
Pemeliharaan Intensif Dan Free Range Dengan Waktu Pemberian Naungan Alami
Berdeda. Skripsi. Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin Makasar.
Sarwono, Bambang. 1995. Pengawetan dan Pemanfaatan Telur. Swadaya: Jakarta.
LAMPIRAN

Gambar 2. Memasukkan telur ke dalam


Gambar 1. BPW sebagai pengencer
media PCA

Gambar 3. Hasil inkubasi pengeceran 10-3 Gambar 4. Hasil inkubasi


yang pertama pengeceran 10-3 yang kedua

Anda mungkin juga menyukai