Anda di halaman 1dari 27

BUDAYA LAHAN KERING KEPULAUAN DAN PARIWISATA

“SISTEM LINGKUNGAN, TATA RUANG DAN ARSITEKTUR SUKU TIMOR DAN


ALOR”

OLEH :

KELOMPOK 3

Yuliana Citra Ie 1609010004 Novie H. Manongga 1609010032


Jemris Sabneno

Elise M. Ballo 1609010038


Alfredo J. D Niron 1609010026 Maria I. Tulasi 1609010040
Maria M. Overa 1609010042
Delfina G. G. Alves 1609010052

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


UNIVERSITAS NUSA CENDANA
KUPANG
2019
BAB I

PEDAHULUAN
1.1. Latar Belakang

Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan
makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri,
kelangsungan perkehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Secara garis
besar pengelompokkan lingkungan hidup terdiri atas tiga golongan antara lain lingkungan fisik,
lingkungan biologik, dan lingkungan social.

Arsitektur rumah adat setiap daerah yang ada di Indonesia sangat beragam, sebab setiap suku
memiliki rumah adatnya tersendiri dengan keunikan dan kekhasan yang dapat dijumpai pada
bentuk dan jenis setiap rumah adat (Kabosu, 2018). Nusa Tenggara Timur adalah sebuah
propinsi kepulauan yang terletak di wilayah Indonesia bagian timur yang memiliki banyak pulau.
Namun dari jumlah tersebut hanya ada beberapa pulau yang dihuni oleh beraneka ragam suku
bangsa dan kelompok etnis dengan latar bela-kang kebudayaan adat istiadat, kebiasaan, dan
bahasa yang ber-variasi. Keanekaragaman ini merupakan kekayaan yang tetap dan terus
dilestarikan demi menjunjung tinggi nilai-nilai kebudayaan yang ada di Nusa Tenggara Timur
pada khususnya dan di Indonesia pada umumnya (Molbang, 2016). Oleh karena itu, dalam
makalah ini akan dibahas mengenai sistem lingkungan, tata ruang dan arsitektur di wilayah Alor
dan Timor.

1.2. Tujuan

Untuk mengetaui dan melihat sistem lingkungan, tata ruang dan arsitektur di wilayah
Alor dan Timor.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Sistem Lingkungan, Tata Ruang Dan Arsitektur Di Wilayah Alor

Kabupaten Alor sebagai salah satu dari 16 Kabupaten/Kota di Provinsi Nusa Tenggara
Timur adalah wilayah kepulauan dengan 15 pulau yaitu 9 pulau yang telah dihuni dan 6 pulau
lainnya belum atau tidak berpenghuni. Luas wilayah daratan 2.864,64 km², luas wilayah perairan
10.773,62 km² dan panjang garis pantai 287,1 km. Secara geografis daerah ini terletak di bagian
utara dan paling timur dari wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur pada 8º6’LS - 8º36’ LS dan
123º48’ BT - 125º48’ BT. Batas alam Kabupaten Alor disebelah utara dengan Laut Flores,
sebelah selatan dengan Selat Ombay, sebelah timur dengan Selat Wetar dan perairan Republik
Demokratik Timor Leste dan sebelah barat dengan Selat Alor (Kabupaten Lembata).

Gambar 1. Peta Provinsi NTT (BPS Kabupaten Alor, 2013).


Dalam upaya penataan ruang wilayahnya, Kabupaten Alor masih menggunakan Rencana
Umum Tata Ruang Alor tahun 1991 yang telah dibuat Peraturan Daerah. Sejauh ini belum
pernah dilakukan revisi tehadap Rencana Tata Ruang Alor Tahun 1991 tersebut. Mengingat
jangka waktu Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten adalah 15 tahun, sudah
semestinya Kabupaten Alor menyusun RTRW yang baru pada tahun 2006.
Dalam RTRW Kabupaten 1991 telah diidentifikasi kawasan rawan bencana yang
memerlukan prioritas penanganan dan penanggulangan agar dampak bencana tidak merugikan
manusia. Gempa bumi merupakan salah satu bencana alam yang sering terjadi di Kabupaten
Alor. Kota Kalabahi, Maritaing dan Kabir serta semua wilayah selatan dari Pulau Pantar
merupakan kawasan rawan bencana gempa bumi. Sedangkan potensi bencana lainnya antar lain
adalah bencana kekeringan, bencana kebakaran, erosi, dan bencana banjir.

Gambar 2. Peta Kawasan Rawan Bencana di Kabupaten Alor (BPS Kabupaten Alor, 2013).

Dalam upaya penataan ruang wilayah perbatasan, dengan penekanan pada muatan
pertahanan nasional dan hukum laut internasional, pada tahun 2003 Departemen Pekerjaan
Umum (waktu itu bernama Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah) menyusun RTR
Kawasan Perbatasan Negara Laut Kabupaten Alor. Kedudukan RTR Kawasan Perbatasan
Nagara Laut Kabupaten Alor adalah dalam kerangka penjabaran Rencana Tata Ruang Wilayah
Nasional (RTRWN), yang memuat penetapan dan arahan pengelolaan kawasan
tertentu/perbatasan.
Pada dasarnya RTR Perbatasan Nagara Laut Kabupaten Alor berisikan strategi
operasionalisasi RTRWN, termasuk strategi pertahanan nasional berkaitan dengan perbatasan
dengan negara Timor Leste.
Gambar 3. Rencana Tata Ruang Wilayah Perbatasan Negara Laut, NTT (Kabupaten Alor
dengan Timur Leste), Departemen PU, 2003

2.1.1. Rumah Adat Lakatuil

. Desa Bampalola terletak di Kecamatan Alor Barat Laut Kabupaten Alor. Desa ini
memilki luas wilayah administratif sebesar 95,25 ha/km, dengan ketinggian 400 m dari
permukaan laut. Jarak dari ibu kota kabupaten ke Desa Bampalola yaitu 15 km. Desa ini terbagi
atas 2 dusun yaitu dusun Moafen dan dusun Maebang.

Desa Bampalola memiliki bangunan rumah adat yaitu Lakatuil. Bangunan rumah adat
Lakatuil ini berupa rumah panggung berdinding bambu, dan diatapi dengan rumput ilalang yang
berbentuk kerucut. Pada bagian atasnya berukiran naga yang sedang membuka mulut menjurus
ke arah Timur yang merupakan arah terbitnya matahari. Ciri khas dari rumah adat Lakatuil
adalah tangga yang menghubungkan tanah dengan rumah panggung juga berukiran naga.

 Sejarah

Rumah adat Lakatuil mempunyai sejarah dimana masyarakat meyakini bahwa apa yang
dilakukan dirumah adat ini bisa mendatangkan kesejahteraan bagi masyarakat desa karena
mereka percaya nenek moyang mereka berasal dari tanah atau timbul secara ghaib dari dalam
tanah. Ia disebut dengan nama Raja Tanah (foaifen).
Raja Tanah hidup sekitar pada abad ke-13 dan tidak ada satu orangpun yang tau dari
mana Raja Tanah itu berasal. Raja Tanah kemudian menikah dengan Buifedi. Mereka kemudian
tinggal di kampung lama di bawa kaki gunung Raja. Untuk memenuhi kebutuhan hidup dan
melindungi diri dari hewan buas, maka Raja Tanah dan istrinya membangun sebuah rumah yang
diberi nama Laktuil yang artinya merah dan tinggi.

Muhamad Asri (56: 2014) Juru bicara adat Desa Bampalola menceritakan bahwa
Kampung Lama menjadi salah satu kerajaan besar di pulau alor yakni kerajaan Lakatuil.
Kerajaan Laktuil mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Raja Baololong. Pada
akhir abad ke-14 raja Baololong meninggal dunia dan akhirnya kerajaan Lakatuil mengalami
kemerosotan dan punah. Setelah Indonesia merdeka dan pada tahun 1965, masyarakat bampalola
hidup seperti masyarakat biasa pada umunya yaitu bertani, berkebun dan mengelola hasil hutan.

Pembangunan Rumah Adat Lakatuil ini kembali dikerjakan masyarakat secara gotong
royong dengan dikepalai oleh seorang arsitek atau kepala tukang. Ketika rumah adat selesai
dibuat musim kelaparan yang melanda desa Bampalola hilang, tanaman dan hasil hutan
masyarakat kembali subur dan dapat diolah menjadi makanan. Kehidupan masyarakat desa
Bampalola mulai membaik. Setelah kejadian tersebut maka rumah Lakatuil di jadikan rumah
adat di desa Bampalola.

 Fungsi Rumah Adat Lakatuil

Rumah adat Lakatuil memiliki berbagai fungsi dalam kehidupan masyarakat Bampalola.
Fungsi tersebut yaitu:

a. Rumah adat Lakatuil berfungsi sebagai tempat tersimpannya benda-benda purbakala


atau cagar budaya seperti moko dan gong.
b. Rumah adat Lakatuil berfungsi sebagai tempat berkumpulnya masyarakat
Bamapalola untuk musyawarah mufakat dalam berbagai hal.
c. Rumah adat Lakatuil berfungsi sebagai tempat pelaksanaan berbagai upacara adat
seperti upacara makan padi baru dan makan jagung baru (bate baloe).
d. Rumah adat Lakatuil berfungsi sebagai tempat untuk menyelesaikan berbagai
masalah adat dalam masyarakat Bampalola.
e. Rumah adat Lakatuil berfungsi sebagai tempat berkumpulnya para tokoh-tokoh adat
dari 10 kampung Adang.
f. Rumah adat Lakatuil juga berfungsi sebagai obyek wisata bagi wisatawan baik
wisatawan domestik maupun mancanegara, Ina Holo ( 64 : 2014).

 Peternakan

Beternak bukan merupakan mata pencaharian utama masyarakat desa Bampalola. Namun
hampir semua kepala keluarga memilki ternak peliharaan seperti ayam, bebek, dan kambing.

 Makna Ukiran yang ada di Rumah Adat Lakatuil


a) Makna Ukiran Naga
Pada rumah adat Lakatuil terdapat ukiran naga yang terletak di bumbungan atau
puncak rumah adat dan di samping bagian kiri dan kanan rumah adat. Ukiran naga ini
memiliki makna tersendiri yaitu binatang naga sendiri dianggap sebagai penunjuk jalan
kepada nenek moyang masyarakat Bampalola khususnya raja tanah (Fo’aifen) yang
dahulu tinggal dan menetap di dalam gua untuk keluar ke alam bebas dan melanjutkan
hidup mereka di sana. Masyarakat Bampalola percaya bahwa dahulu leluhur mereka
hanya tinggal di dalam gua, tetapi melalui petunjuk dari naga tersebut maka sampai
sekarang mereka sudah bisa hidup di alam bebas.

b) Makna Ukiran Burung Gagak

Menurut cerita, dalam kehidupan masyarakat Bampalola jika dulu ada yang
meninggal maka mayatnya tidak dikuburkan tetapi dibuang ke jurang. Suatu saat, anak
pertama dari Fo’aifen meninggal dunia. Ia kemudian mendapat mimpi melihat dua ekor
burung gagak bertengkar merebut makanan. Salah seekor burung gagak tersebut
kemudian mati, dan gagak yang satunya mengais tanah dan mengubur gagak yang mati.
Hal ini kemudian memberikan inspirasi dan petunjuk kepada Fo’afen untuk tidak
membuang mayat anaknya ke jurang tetapi menguburnya dalam tanah. Dari cerita
tersebut, maka sampai saat ini masyarakat percaya bahwa burung gagak sangat berjasa
dalam kehidupan leluhur mereka yang kemudian diwujudkan dalam simbol ukiran gagak
pada rumah adat Lakatuil.
c) Makna Ukiran Motif Tiang Rumah Adat

Menurut N-03 menjelaskan bahwa Rumah adat Lakatuil merupakan rumah adat
yang berbentuk rumah panggung. Pada bagian bawah rumah adat, terdapat empat tiang
penyanggah sebagai penopang rumah adat. Tiang-tiang ini memiliki ukiran-ukiran
dengan berbagai bentuk. Adapun makna dari ukiran tersebut yaitu melambangkan
anggota tubuh manusia sendiri. Ini juga melambangkan peran leluhur dalam menjaga
rumah adat dan mereka sebagai pelindung dan penopang masyarakat Bampalola,

Semua ukiran yang ada pada rumah adat Lakatuil diwarnai dengan cat berwarna
merah, putih dan hitam. Masing-masing warna memiliki makna yang berbeda-beda.
Warna merah melambangkan kesatriaan dari rumah adat Lakatuil dan juga
melambangkan kehidupan masyarakat Bampalola di bidang pemerintahan. Warna putih
melambangkan kehidupan masyarakat Bampalola di bidang agama. Warna hitam
melambangkan kehidupan Masyarakat Bampalola di bidang adat. Adapun makna umum
dari warna-warna yang terdapat dalam ukiran-ukiran tersebut adalah kehidupan
masyarakat Bampalola bernaung pada tiga batu tungku yaitu pemerintahan, agama dan
adat. Aturan-aturan adat yang ada harus dipatuhi dalam setiap kehidupan masyarakat
Bampalola.
Gambar 4. Rumah Adat Lakatuil.

2.1.2. Falakhabana

Kampung adat Takpala berklokasi di Pulau Alor (Desa Lembur Barat, Kecamatan Alor
Tengah Utara, Kabupaten Alor). Tepatnya pada ketinggian 125 mdpl. Lokasi kampong adat
Takpala tepatnya berada pada titik koordinat S 8˚ 11’21. 92” dan E 124˚37’34.91”.

Suku Abui adalah penghuni asli dari kampong Takpala. Terdapat 22 bangunan yang
dominan merupakan rumah tinggal masyarakat dikenal dengan sebutan Falakhabana. Luas
daerah permukiman mencapai 17.098 m2. Dengan persentase area terbangun hanya 5% (500,6
m2).

Falakhabana atau lopo merupakan bangunan panggung berlantai dengan bentuk atap
limas. Atap bangunan memanfaatkan alang-alang sebagai materi penutup atap dan dapat
mencapai sudut 62˚. Luas bangunan mencapai 98m2 dan dihuni oleh 2 KK. Falakhabana dapat
dibedakan menjadi dua tipe berdasarkan jumlah tiang utama penyangga atap, yaitu falakhabana
tiang 6 dan falakhabana tiang 4. Namun tidak terdapat perbedaan fungsi diantara kedua
bangunan.
Gambar 5. Bangunan Falakhabana (Damayanti, 2018)

Konsep ruang secara vertika pada bangunan Falakhabana terdiri atas :

1. Suwo, yang merupakan bagian kaki bangunan.


2. Liktaha, berfungsi sebagai tempat untuk mengadakan rapat dan menerima tamu.
3. Falabomi, merupakan ruang diatas liktaha sebagai tempat memasak dan beristirahat.
4. Akui fok, merupakan ruang penyimpanan cadangan makanan.
5. Akui kiding, merupakan ruang penyimpanan benda-benda pusaka.
Gambar 6. Denah lantai 1, denah lantai 2 dan denah lantai 3 (Damayanti, 2018).

Tipologi bentuk bangunan di kampung Takpala memiliki ciri khas pada bagian atap dan
ornament atap. Khusus bangunan falakhabana, dapat dikatakan bahwa bangunan ini tergolong
bangunan pangung dengan ruang dalam berada pada bagian atap. Struktur bangunan tergolong
struktur rangka batang dengan sistem sambungan ikat. Dimensi falakhabana ditentukan oleh
jumlah tiang/kolom utam bangunan.

Kolom utama bangunan ditanam sedalam 1,5 meter yang dapat dikatakan sebagai sistem
fondasi sederhana.

Gambar 7. Atap bangunan Falakhabana (Damayanti, 2018).


Gambar 8. Tiang bangunan Falakhabana (Damayanti, 2018).

Selain bangunan falakhabana yang berfungsi sebagai rumah tinggal, bangunan penunjang
aktivitas masyarakat di kampong Takpaa adalah bangunan pemujaan untuk kaum pria dan
Anaitofa adalah bangunan pemujaan untuk kaum wanita.

Bangunan pemujaan memiliki sistem struktur dan sambngan yang serupa dengan
falakhabana, namun seluruh bangunan tertutup dinding anyaman bambu.

Gambar 9. Bangunan Nengtofa (Damayanti, 2018).


2.2. Sistem Lingkungan, Tata Ruang Dan Arsitektur Di Wilayah Timor

2.2.1. Ruang Ume Kbubu

Desa Kaenbaun merupakan desa multi suku yang ditinggali oleh delapan suku yang hidup
bersama di dalamnya yang dibagi menjadi empat suku besar yang disebut suku laki-laki (lian
mone), yakni suku Basan, Timo, Taus dan Foni serta empat suku kecil yang disebut suku
perempuan (lian feto), yakni Sait, Salu, Kolo dan Nell. Suku Basan sebagai suku raja, suku Timo
sebagai suku pengurus kehidupan bersama, suku Taus sebagai suku pengatur kesejahteraan, dan
suku Foni sebagai suku penjaga keamanan sedangkan suku-suku perempuan merupakan suku
pendatang di Desa Kaenbaun (Dima, 2013).

Ume kbubu yang ada di Desa Kaenbaun terdiri dari empat jenis yaitu ume kbubu dapur
keluarga, ume kbubu anak laki-laki pertama, ume kbubu orang tua dan ume kbubu induk suku.
Ume kbubu-ume kbubu ini merupakan rumah yang berbentuk bulat dengan atap berbentuk
kerucut. Seluruh material ume kbubu menggunakan material alami yang didapat dari lingkungan
sekitar Desa Kaenbaun.

Gambar 10. Jenis Ume kbubu di Desa Kaenbaun (Dima, 2013).

Nas (2009) menyebutkan rumah tradisional, khususnya yang berada di bagian timur
kepulauan Indonesia memiliki karakter yang menjadi tradisi arsitektur dan langgam
bangunannya yang biasanya memiliki bangunan dengan lantai melingkar dan berstruktur atap
kerucut tinggi seperti bentuk sarang tawon atau struktur atap berbentuk kubah elips. Bentuk ume
kbubu sebagai ciri rumah tradisional di Indonesia bagian timur seperti yang diungkapkan
tersebut, membuat ruang ume kbubu juga menjadi bulat. Ruang ume kbubu ini ditata masyarakat
sesuai dengan tradisi yang telah ada dari zaman nenek moyang. Konsep ruang ume kbubu adalah
sebagai berikut:

a. Ume kbubu dapur keluarga

Berdasarkan fungsinya, ume kbubu ini digunakan sebagai dapur keluarga dan juga sebagai
tempat tidur keluarga. Ume kbubu ini digunakan juga sebagai tempat untuk mengawetkan
jagung. Jagung diletakan diatas tungku sehingga asap hasil kegiatan memasak dapat
mengawetkan jagung. Ume kbubu ini tidak memiliki orientasi khusus dan kebanyakan
berorientasi kearah rumah modern agar mempermudah akses ketika melakukan aktifitas. Ruang
yang terdapat di dalam ume kbubu ini hanya berjumlah satu buah ruang tanpa sekat, tanpa
jendela dan hanya memiliki satu buah pintu. Pintu ini menjadi satu-satunya akses untuk masuk
kedalam ume kbubu. Walaupun hanya terdapat satu ruang saja dan tidak memiliki sekat, namun
keberadaan ruang dalam ume kbubu dapat dirasakan melalui aktifitas yang terjadi didalamnya
sehingga membentuk teritori ruang.

Teritori yang terjadi dalam ume kbubu yang digunakan sebagai dapur terbentuk dengan
adanya aktifitas memasak yang terjadi di bagian belakang ruang yang terdapat batu tungku untuk
memasak, aktifitas beristirahat disamping kiri atau kanan ruang yang terdapat hala (tempat tidur),
dan area ritual adat sebagai tempat aktifitas berdoa atau berkomunikasi dengan leluhur ditengah
ruangan yang ditandai dengan adanya batu suci yang berada dibawah tiang induk.

Gambar 11. Elemen-elemen di dalam ume kbubu dapur keluarga (Dima, 2013).
Gambar 12. Konsep ruang dan potongan ume kbubu dapur keluarga (Dima, 2013).

b. Ume kbubu anak laki-laki pertama

Ume kbubu ini biasanya digunakan sebagai dapur keluarga dan tempat tidur. Selain kedua
fungsi tersebut, ume kbubu ini juga merupakan tempat melakukan upacara adat karena anak laki-
laki dianggap sebagai penghubung dengan para leluhur (Purbadi,2010). Ume kbubu ini memiliki
memiliki arah orientasi kearah sumber mata air suci yang terlihat pada ume kbubu Suku Taus
sedangkan pada ume kbubu suku yang lain ada yang berorientasi kearah gunung dan juga jalan
desa. Ume kbubu anak laki-laki pertama hanya memiliki satu buah ruang di dalam ume kbubu
dengan ukuran diameter ruangan 5-6 meter. Ruang dalam ini tidak memiliki sekat namun dari
aktifitas yang ada dalam ume kbubu, terbentuk teritori ruang yang dapat dirasakan.

Teritori ruang yang terbentuk adalah dapur sebagai tempat memasak yang berada dibagian
belakang ruangan yang terdapat batu tungku untuk memasak, sebelah kiri dan kanan sebagai
tempat beristirahat yang terdapat hala, dan bagian tengah sebagai area sakral tempat berdoa dan
berkomunikasi dengan para leluhur yang terdapat batu suci dibawah tiang induk yang disebut ni
enaf (tiang perempuan). Selain ruang dalam, terdapat juga ruang luar yang terbentuk karena
adanya hau monef dibagian depan ume kbubu. Hau monef ini merupakan altar altar bagi para
leluhur yang meninggal secara tidak wajar atau meninggal di luar rumah. Pada saat upacara adat,
anggota keluarga duduk melingkari hau monef dan melakukan ritual adat.
Gambar 13. Elemen-elemen pada ume kbubu anak laki-laki pertama (Dima, 2013).

Gambar 14. Konsep ruang dan potongan ume kbubu anak laki-laki pertama (Dima, 2013).

c. Ume kbubu orang tua

Ume kbubu orang tua merupakan ume kbubu yang dibuat untuk menghormati dan
mengenang orang tua. Ume kbubu ini digunakan oleh satu rumpun keluarga suatu suku untuk
berkumpul dan melakukan upacara adat. Ume kbubu orang tua memiliki orientasi yang berbeda-
beda sesuai dengan sukunya misalkan Suku Taus yang berorientasi ke arah sumber mata air suci
dan Suku Timo yang beorientasi ke arah daerah asal mereka di daerah Biboki (salah satu
kecamatan di Kabupaten Timor Tengah Utara). Ruang pada ume kbubu hanya berjumlah satu
ruang dengan ukuran diameter sepanjang 5-6 meter dan tanpa sekat. Walaupun hanya memiliki
satu ruangan, namun berdasarkan aktifitas yang ada di dalam ume kbubu maka terdapat beberapa
teritori ruang.
Teritori ruang yang terbentuk adalah dapur sebagai tempat memasak di bagian belakang
ruangan yang ditandai dengan adanya batu tungku untuk memasak dan tempat beristirahat
disebelah kiri ruangan ume kbubu yang terdapat hala. Selain kedua area tersebut, terdapat juga
area ruang ditengah serta disebelah kanan ruangan sebagai area ritual adat sebagai tempat
melakukan upacara adat dan berkomunkasi dengan para leluhur yang ditandai dengan adanya
batu suci yang ada di bawah tiang induk.

Pada saat upacara adat, semua anggota keluarga duduk melingkari batu suci dan kemudian
melakukan ritual adat. Terdapat juga ruang luar yang berada di depan ume kbubu. Ruang ini
dibentuk dengan adanya hau monef yang digunakan pada saat upacara adat. Hau monef ini
merupakan altar altar bagi para leluhur yang meninggal secara tidak wajar atau meninggal di luar
rumah. Pada saat upacara adat tersebut, semua anggota keluarga mengelilingi hau monef dan
kemudian melakukan ritual adat. Selain kedua ruang tersebut, terdapat sebuah ruang transisi
yang berada di depan ume kbubu berupa teras yang disebut maun nine. Ruang transisi ini
digunakan sebagai tempat bersantai sebelum masuk kedalam ume kbubu).

Gambar 15. Elemen-elemen pada ume kbubu orang tua (Dima, 2013).
Gambar 16. Konsep ruang dan potongan ume kbubu orang tua (Dima, 2013).

d. Ume kbubu induk suku

Ume kbubu ini merupakan ume kbubu tempat berkumpul semua anggota setiap suku untuk
melakukan upacara adat. Ume kbubu ini memiliki tiga jenis ruang pada ume kbubu suku yaitu
ruang dalam, ruang luar dan ruang transisi. Ume kbubu induk suku memiliki orientasi sesuai
dengan sukunya masing-masing. Suku Basan berorientasi ke arah gunung batu sebagai tempat
awal mula berdirinya Desa Kaenbaun, Suku Timo berorientasi ke arah daerah Biboki yang
merupakan daerah asal mereka, Suku Foni mengarah ke darah oekusi (bagian negara Timor
Leste) yang merupakan asal mereka, dan Suku Taus mengarah ke neten (puncak gunung) yang
terdapat mata air suci. Selain ume kbubu-ume kbubu tersebut sebagai ume kbubu suku laki-laki,
terdapat juga ume kbubu Suku Nel sebagai suku perempuan.

Menurut kepala Desa Keanbaun yang menjaga ume kbubu ini, tidak ada orientasi khusus
namun jika dilihat ume kbubu ini berorientasi ke arah suku-suku laki-laki karena dalam
sejarahnya ume kbubu Suku Nel terbentuk dengan ijin dari para tua-tua adat suku laki-laki. Pada
ruang dalam ume kbubu suku, hanya terdapat satu ruangan tanpa sekat. Walaupun hanya terdapat
satu ruang saja tetapi terdapat teritori ruang yang dapat dirasakan dari aktifitas yang terjadi di
dalam ume kbubu. Teritori yang terbentuk dalam ume kbubu adalah area memasak yang terdapat
batu tungku berada di bagian belakang ruang ume kbubu, area sakral yang berada di tengah, kiri,
kanan dan depan ruangan ume kbubu yang ditandai dengan adanya altar batu suci ditengah
ruangan.

Pada saat upacara adat, semua anggota suku berkumpul dan mengelilingi batu suci dan
kemudian melakukan ritual adat. Terdapat juga ruang luar yang berada di depan ume kbubu yang
dibentuk oleh adanya hau monef. Hau monef ini merupakan altar altar bagi para leluhur yang
meninggal secara tidak wajar atau meninggal di luar rumah. Pada ruang ini biasanya dilakukan
upacara adat dengan mengelilingi hau monef. Selain kedua ruang tersebut, terdapat juga ruang
transisi berupa teras yang disebut maun nine. Ume kbubu suku laki-laki, memiliki aturan dimana
setiap perempuan yang urusan belis (mas kawin)nya belum selesai tidak boleh masuk ke dalam
ume kbubu pada saat upacara adat. Batas bagi kaum perempuan ini hanya boleh sampai pada
ruang transisi ini. Khusus bagi suku Basan, pada saat makan pertama hasil panen turis, yang
boleh berada di dalam ume kbubu hanyalah kaum laki- laki sedangkan kaum perempuan berada
di ruang luar di sekitar hau monef.

Gambar 17. Elemen-elemen dan aktifitas pada ume kbubu induk suku (Dima, 2013).
Gambar 18. Konsep ruang dan potongan ume kbubu induk suku (Dima, 2013).

2.2.2. Arsitektur Tradisional Suku Atoni Di Kampung Tamkesi

Kampung adat Tamkesi-Biboki Selatan merupakan salah satu dari sedikit kampung ada
asli di daratan Timor, Nusa Tenggara Timur, hingga saat ini masih tetap lestari. Salah satu
kampung yang unik di Nusa Tenggara Timur adalah kampung adat Tamkesi. Kampung adat
Tamkesi berada di desa Tautpah, dusun III Usboko Biboki Selatan, Kabupaten Timor Tengah
Utara (TTU).

Kabupaten ini secara geografis terletak antara 90 02‟ 48”LS-90 37‟36” LS dan antara
1240 04‟ 02”BT-1240 46‟ 00”BT. Secara signifikan wilayah kampung adat Tamkesi sebelah
Utara berbatasan dengan desa Tautpah dan Sapaen, sebelah Timur berbatasan dengan Oekopa
dan Oriabesi, sebelah Selatan berbatasan dengan T‟eba dan Sebelah Barat berbatasan dengan
Tokbesi. Letak astronomis kampung Tamkesi terletak pada 9°19'36.43"S Garis Lintang Selatan
dan 124°44'46.41"T Garis Bujur Timur.

Kampung Tamkesi merupakan komunitas kecil pada sebagian kecil wilayah desa
Tokbesi. Kelompok kecil masyarakat ini bertempat tinggal pada daerah pegunungan atau daerah
pedalaman pada masa lalu dikenal sebagai wilayah kerajaan Biboki.
 Sejarah Perkampungan Adat Tamkesi

Tamkesi adalah bekas istana atau pusat kerajaan Biboki di waktu lampau hingga kini,
yang juga disebut sonaf oleh masyarakat setempat. Di waktu lampau kerajaan ini dipimpin oleh
seoran kaiser (kaisar), bagi masyarakat setempat menyebutnya usi kokoh atau atupas neon. Pusat
kerajaan itu dibangun sekitar abad ke-XVII.

Mengutip penuturan para tetua, kata Biboki diambil dari nama seorang leluhur asal pulau
Timor bagian Timur (Timor Leste). Sang leluhur bernama Usif Biboki, bersama keluarga
besarnya di waktu silam merupakan kelompok masyarakat nomaden berpindah-pindah dari
sekitar pantai Oepuah hingga menetap di pegunungan sekarang. Konon mereka melakukan
pengembaraan kearah Barat pulau yang sama (kini wilayah NTT) membawa alat timbangan yang
disebut “besi tnais”.

Dengan alat timbangan besi tnais leluhur Biboki menemukan titik imbangnya pada
kampung adat Tamkesi. Diperkirakan kampung ini berdiri sejak 1865.

 Bangunan Arsitektur

Dalam tatanan budaya masyarakat yang mendiami kampung adat Tamkesi dikenal adanya
beberapa ume (rumah adat dan hunian) yang menjadi tempat dilaksanaknnya kegiatan adat dan
beristirahat. Secara fungsional ume ataupun jenis rumah lainnya (lopo, sonaf, ume kbubu, dan
ume kbat) dalam kehidupan orang adat Tamkesi antara lain memiliki fungsi sosial ekonomi,
sosial budaya dan religius.

Massa bangunan arsitektur Tamkesi ada 4 jenis, yakni:

1. Sonaf Mnasi

Sonaf mnasi merupakan tempat kediaman kaiser/raja Usboko yang dianggap suci dan
sakral. Bangunan ini sebagai pusat kerajaan Biboki Selatan (istana Tamkesi). Pengertian sonaf
atau istana ini selain berhubungan dengan penguasa tertinggi (kaiser/raja) juga mengisyaratkan
bahwa rumah ini adalah tempat suci. Maka, secara praktis hal ini ditentukan oleh sistim politik
yang berlaku yaitu: bahwa raja/kaiser (usif) bukanlah penguasa eksekutif tetapi penguasa religius
(ritual). Sonaf mnasi memiliki dua fungsi utama, yaitu fungsi praktis dan fungsi religius.
Gambar 19. Sonaf Mnasi, Istana Tamkesi (Lake, 2014).

2. Ume Kbubu

Ume artinya rumah dan kbubu atinya bulat, lama milik nenek moyang. Jadi ume kbubu
adalah rumah bulat (karena bentuknya bulat) milik leluhur atau sering disebut rumah ibu. Ume
kbubu ini didirikan oleh seluruh anggota suku, karena berstatus rumah suku/rumah keturunan.
Ume kbubu simbol feminim (feto/wanita) karena hasil panen diolah oleh kaum perempuan di
dalamnya, dan biasanya dilaksanakan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan upacara-upacara
kelahiran, dan perkawinan. Ume kbubu merupakan rumah tinggal tanpa jendela dan berpintu
kecil.
Gambar 20. Ume Kbubu, Rumah Bulat (Lambang Wanita) (Lake, 2014).

3. Lopo

Lopo adalah sebuah tempat tinggal juga bagi kaum laki-laki, yakni simbol maskulin,
berbentuk bulat, bertiang (kolom) empat dan mengandung fungsi lain sebagai tempat pertemua,
tempat upacara suku dan tempat menyimpan hasil pertanian yang merupakan hasil pekerjaan
lakilaki. Meskipun lopo merupakan bangunan semi terbuka, kesan volume ruang terasa kuat
karena adanya unsur linear vertikal yang dibentuk oleh kolom dan bidang naungan berupa atap.
Gambar 21. Ume Lopo, Rumah Laki-Laki (Lake, 2014 dan ).

4. Kbat/kanafi

Kbat/kanaf artinya nama marga. Jadi ume kbat/kanaf maksudnya, rumah suku atau marga
yang dibangun sebagai tanda ikatan dan kesatuan seluruh anggota suku atau marga. Bentuk ume
kbat/kanaf berbeda dengan ume yang lainnya. Ume kbat/kanaf berbentuk persegi dan memiliki 2
bukaan (pintu depan dan belakang).
Gambar 22. Ume Kbat/Kanaf, Rumah Suku/Keluarga (Klan) (Lake, 2014).
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
Damayanti, D,P., dkk. 2018. Rumah Tradisional Nusa Tenggara. Denpasar : PT. Elex Media
Komputindo.

Dima, T,K., dkk. 2013. Konsep Ruang Ume Kbubu Desa Kaenbaun Kabupaten Timor Tengah
Utara. Jurnal RUAS, 11 (1) : 28-36.

Lake, C,H. 2014. Konsep Ruang Dalam dan Ruang Luar Arsitektur Tradisional Suku Atoni di
Kampung Tamkesi di Pulau Timor. E-Journal Graduate Unpar, 1 (2) : 61-74.

Molbang, A dan Abraham,N. 2016. Rumah Adat Lakatuil di Desa Bampalola, Kecamatan Alor
Barat Laut, Kabupaten Alor NTT (Kajian Historis, Nilai Filosofi, Serta Potensinya
Sebagai Sumber Belajar Sejarah). Jurnal Agastya, 6 (2) : 51-74.

Anda mungkin juga menyukai