Anda di halaman 1dari 13

TUGAS KEARIFAN LOKAL

TAPANULI SELATAN
Disusun Untuk Memenuhi Tugas

Mata Kuliah : Kearifan Lokal

Dosen Pengampuh : Melly Andriana ST,MT.

Oleh :

Janwar Taufik (2124310225)

KELAS B

JURUSAN ARSITEKTUR

FAKULTAS SAINS & TEKNOLOGI

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN PANCA BUDI

2022
KEARIFAN LOKAL TAPANULI SELATAN

1. Latar Belakang

Kabupaten Tapanuli Selatan pada awalnya merupakan kabupaten yang amat


besar mempunyai ibukota di Padangsidempuan. Adapun daerah-daerah yang telah
berpisah dari Kabupaten Tapanuli Selatan adalah Tapanuli Selatan Natal (tahun 1998),
Kota Padangsidimpuan (tahun 2001), Padang Lawas Utara ( tahun 2007), dan Padang
Lawas (tahun 2007). Setelah pemekaran, ibukota kabupaten ini pindah ke Sipirok.
Adapun persoalan yang diperbincangkan dulu adalah pemindahan ibukota Tapanuli
Selatan dari Padangsidimpuan ke Sipirok.

Sejak ditetapkan UU Nomor 37 dan 38 Tahun 2007, khususnya pasal 21 ayat (1)
dan ayat (2) justru Bupati Tapanuli Selatan waktu itu Ongku P. Hasibuan mengalihkan
ibukota kabupaten Tapanuli Selatan ke Desa Tolang dalam kawasan Maragordong di
perbatasan kecamatan Angkola Timur dan kecamatan Sipirok dengan mengajukan lahan
seluas 275 hektar dalam kawasan tersebut kepada Menteri Kehutanan untuk merintis
pengalihan ibukota. Ditambah UU Nomor 4 Tahun 2001 tentang Pembentukan Kota
Padangsidimpuan, mestinya ada program percepatan penyerahan seluruh aset yang berada
di Kota Padangsidimpuan kepada Pemko Padangsidimpuan.

Tapanuli Selatan memiliki luas sekitar 4.367.05 km2 (sebelum pemekaran


memiliki luas sesuai data tahun 1981 sekitar 18.896.50 km2, merupakan kabupaten
terluas di Sumatera Utara), dengan populasi penduduk sekitar 283.926 jiwa (data sensus
penduduk tahun 2015), sedangkan demografi penduduk terdiri dari Islam (78.62 %),
Kristen Protestan (19.55 %), Katolik ((1.82 %), dan Budha (0.01 %) terdapat di 14
(empat belas) kecamatan. Slogan yang dimiliki adalah ‘Sahata Saoloan’ ( Seia Sekata).

Di daerah ini terdapat bukit dan gunung yang terkenal yaitu Lubuk Raya, Sibual-
buali, Simago-mago, dan lainnyam Terdapat juga objek wisata Danau Marsabut, Danau
Siais, Danau Buatan Cekdam, Pemandian Aek Sijorni, Istana Adat kemudian memiliki
hasil pertanian seperti kopi, padi salak, karet, kakao, kelapa sawit, pinang dan kayu
manis.

2. Basis Budaya Angkola


Etnis Angkola adalah salah satu sub-etnis dari suku bangsa di samping Toba,
Pakpak, Simalungun Nias, Melayu, Karo dan Tapanuli Selatan dan lainnya. Tanah ulayat
etnis Angkola berada di wilayah geografis Tapanuli bagian selatan ( Tabagsel) yang
meliputi Kabupaten Tapanuli Selatan, Kabupaten Padang Lawas, Kabupaten Padang
Lawas Utara Kota Padangsidimpuan dan sebahagian Kabupaten Tapanuli Selatan dan
Mandailing Natal.

Etnis Angkola memiliki hubungan yang sangat erat dengan kekerabatan marga-
marga (tarombo), persamaan bahasa, budaya, agama yang dianut sebagian besar
masyarakatnya. Jumlah populasi etnis Angkola sekitar 1.199.000 terdiri dari Islam (90
%), dan Kristen Protestan (10 %). Selain itu masih banyak anggapan penduduk asli
Tapanuli Selatan semuanya etnis Tapanuli Selatan dan sebagian Batak.

Etnis Angkola mayoritas mendiami Tapanuli Selatan sekarang ditandai dengan


dominasi marga Harahap dan Siregar. Sedangkan Tapanuli Selatan didominasi marga
Nasution dan Lubis. Angkola dalam sejarah Tapanuli Selatan diartikan sebagai suatu
wilayah teritori atau daerah makna lain. Angkola adalah etnik berdiri sendiri dan asli di
Sumatera Utara ini.

Dalam sejarah disebutkan jauh sebelum penjajah Belanda menjejakkan kaki di


bumi persada ini, telah ada penduduk yang mendiami wilayah Angkola yang diperkirakan
9000 tahun sebelum masehi, itulah yang dinamakan etnik Angkola (asli Angkola, bukan
pecahan atau yang memisahkan diri dari etnik lain) terbukti dengan adanya kerajaan-
kerajaan seperti Sabungan (di kaki Lubuk Raya), Batunadua, Sipirok/Parau Sorat, Siala
Gundi, Muara Tais, Batang Toru sekitarnya, Batarawisnu Mandalasena dan lain-lain.

Etnik Angkola memiliki ciri tersendiri seperti falsafah dasar ‘Dalihan Na Tolu’
sebagai tatanan/pandangan hidup sampai saat ini. Dari segi kekeluargaan etnik Angkola
dibagi kepada: (1) MORA pihak keluarga pemberi boru. ‘Mora’ ini mendapat posisi
didahulukan karena memiliki posisi yang sangat dihormati, disanjung Raja-Raja maupun
Pemangku Adat. (2) SUHUT dengan KAHANGGI, keluarga yang mempunyai hajatan
atau ‘horja adat’ (pesta), termasuk didalamnya ‘Suhut’ selaku tuan rumah. (3) ANAK
BORU, pihak keluarga pemberi boru (pangalehen boru).

Gambar mardandang atau memasak bergotong royong


dalam acara pesta di tapsel

Dalam adat tapanuli selatan apabila sedang melansukan acara pesta pernikahan
Anak Boru dalam hal ini bertugas dibagian dapur dalam mensukseskan makanan yang
untuk dihidangkan kepada semua tamu undangan.

Gambar Pengantin dan keluarga

Dalam adat tapanuli selatan yang puja hajatan Mora seperti raja dalam satu hari
pest aitu berlangsung dimana tugas mereka hanya menyambut dan tamu undangan-
undangan yang datang.

Gambar Makkobar di adat tapsel


Dalam adat tapanuli selatan Kahanggi berfungsi untuk menghadiri acara
makkboar (memberi nasihat) oleh pemuka kampung seperti alim ulama, hatobangon,
cerdik pandai dan perwakilan dari pejabat pemerintah/aparatur desa setempat.

3. Konsep pembagian wilayah

Secara tradisional komunitas Angkola dan Tapanuli Selatan mengenal beberapa konsep
dasar berkenaan dengan pembagian tata ruang dan penguasaan wilayah serta sumberdaya
yang ada di dalamnya. Tiga diantaranya yang paling pokok dan akan diuraikan berikut ini
adalah Banua, Huta dan Janjian. Banua mengandung pengertian satu kesatuan wilayah;
Huta mengandung pengertian satu kesatuan tempat pemukiman penduduk; sedangkan
Janjian merupakan persekutuan teritorial sejumlah Banua yang diikat oleh kesatuan adat
dan bukan oleh kesatuan politik. Di daerah Angkola, padanan konsep terakhir itu dikenal
dengan sebutan Hayuara Mardomu Bulung. Ketiga konsep tersebut terutama berlaku
dalam tatanan kehidupan masyarakat Angkola dan Tapanuli Selatan sebelum
diterapkannya pembagian wilayah administratif menurut perundangundangan negara
Republik Indonesia. (i) Banua merupakan satu kesatuan wilayah dengan satu kesatuan
masyarakat hukum yang otonom dalam

pemerintahan dengan dikepalai seorang raja yang diangkat dari keturunan


patrilineal klen pendiri Banua Sebuah Banua berkembang dari satuan pemukiman
penduduk yang bernama Huta. Dengan demikian, penguasaan wilayah (ruang) berikut
sumberdaya yang ada di dalam kawasan sebuah Banua (kerajaan) terkait erat dengan
kelompok klen yangmembuka Huta. Setiap Banua mempunyai tanah dan sumber airnya
sendiri (ganop-ganop Banua martano rura), yang mengandung pengertian bahwa sebuah
kerajaan memiliki batas-batas wilayah teritorial yang berada dibawah yurisdiksinya, dan
berwenang dalam pengaturan batas-batas penguasaan wilayah dan sumberdaya yang ada
di dalamnya. (ii) Sebuah Huta yang berupa satu satuan pemukiman penduduk bisa
sekaligus menjadi sebuah Banua jika telah memenuhi sejumlah persyaratan tertentu.
Sebuah Huta baru biasanya berdiri ketika sekelompok penduduk dari sebuah kerajaan
pergi meninggalkan Banua asalnya untuk membuka tempat pemukiman baru. Suatu
tempat pemukiman baru yang masih relatif kecil dinamakan banjar. Kalau penduduknya
makin bertambah dan ukuran wilayah kelolanya semakin luas maka banjar tersebut
berubah status menjadi pagaran;; selanjutnya bisa berproses menjadi lumban; dan jika
jumlah penduduknya makin bertambah, maka pemukiman tersebut bisa meningkat
statusnya menjadi Huta. Ketika Huta tersebut telah berkembang dan memenuhi
persyaratan sebagai sebuah Banua atau kerajaan, maka dibentuklah sistem pemerintahan
di Banua baru itu yang dipimpin oleh keturunan dari klan pembuka Banua asal tadi. (iii)
Janjian/Hayuara Mardomu Bulung. Sebuah Banua asal dalam jangka waktu lama bisa
memiliki beberapa Banua “anak” yang bersifat otonom. Setiap Banua memiliki wilayah
dan pemerintahan sendiri yang dipimpin oleh seorang Raja Pamusuk. Raja yang menjadi
kepala pemerintahan di sebuah Banua “induk” dinamakan Raja Panusunan Bulung; yang
dipandang lebih senior dan lebih tinggi derajatnya daripada Raja Pamusuk. Namun
demikian seorang Raja Panusunan Bulung dan Raja Pamusuk tidak bisa saling
mencampuri urusan pemerintahan di Banua-nya masingmasing, baik secara langsung
maupun tidak dibuka langsung

Banua “induk” memiliki beberapa Banua “anak”, dan penduduk maupun


pimpinannya masih mempunyai hubungan kekerabatan satu sama lain, hubungan di
antara mereka tidak bersifat hirarkis dan tidak pula terikat suatu bentuk hubungan
federasi pemerintahan. Pada masa lalu mereka hanya membentuk fakta persekutuan
teritorial yang dinamakan Janjian (Tapanuli Selatan) atau Hayuara Mardomu Bulung
(Angkola).

Skema 1 Pembagian Wilayah Secara Tradisional


4. Konsep penguasaan sumberdaya

Ungkapan “ganop-ganop banua martano rura” (setiap Banua mempunyai tanah


dan sumber airnya sendiri) menyiratkan konsep teritorial dan penguasaan sumberdaya
alam yang ada di dalamnya. Artinya, sebuah Banua harus memiliki wilayah teritorial
yang jelas serta memiliki sumberdaya yang bisa dimanfaatkan penduduknya untuk
menjalankan berbagai aspek kehidupan mereka. Keberadaan sebuah Huta atau Banua
menurut konsep masyarakat Angkola/Tapanuli Selatan harus ditopang oleh adanya
sumber air, kawasan hutan, dan juga tempat penggembalaan. Sumber air diperlukan untuk
kebutuhan subsistensi, tepian, mengairi areal persawahan, memelihara ikan, dan berbagai
keperluan sosial dan religius lainnya. Hampir semua tempat pemukiman (huta) yang ada
di Tapanuli Selatan dan Tapanuli Selatan Natal berada di sekitar sumber-sumber air, baik
berupa mata air (mual), anak sungai (rura) maupun sungai (aek).

Dalam tradisi masyarakat Angkola/ Tapanuli Selatan dikenal adanya kolam ikan
luas (tobat bolak) dan areal sawah (saba bolak) yang dipunyai oleh kerajaan. Keduanya
fungsional untuk menopang fungsi raja sebagai “talaga na so tola hiang” (tempat
persediaan makanan yang tidak boleh kering).
Keterangan: (1) Huta X; (2) Huta Y; (A) Pemukiman penduduk; (B) Areal persawahan;
(C) Areal perladangan (auma, gasgas); (D) Kawasan hutan (harangan); (E) Kawasan
hutan belantara (tombak, rubaton)

Setiap Huta/Banua juga memiliki kawasan hutan yang terlarang untuk aktivitas
pertanian, berburu maupun meramu hasil-hasil hutan. Areal hutan yang terlarang
demikian disebut harangan rarangan (hutan larangan). Keberadaan areal hutan terlarang
biasanya dilegitimasi oleh adanya unsur-unsur kepercayaan, misalnya kepercayaan
penduduk bahwa bagian tertentu dari wilayah hutan mereka tabu untuk dimasuki atau
dibuka untuk lahan pertanian. Ada kepercayaan pribumi bahwa tempat-tempat tertentu di
dalam kawasan hutan dihuni oleh makhluk-makhluk halus (begu) yang bisa mengganggu
manusia. Tempat-tempat seperti itu dinamakan “naborgoborgo”. Kepercayaan demikian
merupakan bentuk kearifan lokal bercorak religio-magis yang fungsional untuk menjaga
kelestarian sumberdaya, karena tempat-tempat yang disebut “naborgo-borgo” tersebut
biasanya merupakan kawasan mata air, atau daerah resapan air, yang vital dalam
pemeliharaan tata air bagi komunitas penduduk di sekelilingnya.

5. Taksonomi wilayah dan sumberdaya alam

Orang Angkola/ Tapanuli Selatan membagi wilayah vertikal yang ada di


lingkungan mereka menjadi beberapa tingkatan, yaitu napa (dataran), untuk (tanah
bergelombang), tor (bukit), dolok (anak gunung) dan sorik (gunung). Mereka juga
mengenal taksonomi aliran air, mulai dari yang paling kecil yaitu mual (mata air), rura
(ranting sungai), aek (anak sungai) dan batang (sungai besar). Sementara yang terkait
dengan proses interaksi dengan kawasan hutan mereka mengenal taksonomi: (a) rubaton,
yaitu kawasan hutan belantarayang jarang dimasuki manusia atau masih berupa hutan
perawan, (b) tombak , yaitu kawasan hutan lebat yang kepadatannya berada di bawah
rubaton, (c) harangan, yaitu kawasan hutan yang biasa dimasuki manusia dan
kepadatannya berada di bawah tombak. Apabila suatu kawasan hutan sudah dibuka oleh
penduduk untuk dijadikan lahan pertanian, maka pada tahap pertama hutan bukaan
tersebut berubah kategori menjadi (d) auma(lahan perladangan); jika ladang diberakan

setelah beberapa kali musim tanam (tanaman padi dan palawija) disebut (e)
gasgas (semak belukar); dan apabila semak belukar tersebut terus dibiarkan tanpa diolah
kembali, maka lahan itu akan berevolusi kembali menjadi hutan sekunder (harangan).
Lahan ladang (auma) yang terus diolah dan ditanami dengan tanaman keras akan berubah
kategori menjadi (f) kobun (kebun), misalnya kebun karet, kebun kopi, dll.
6. Bangunan Tradisional Kabupaten tapanuli selatan

Tapanuli Selatan merupakan salah satu suku yang berasal dari daerah Sumatera
Utara. Suku ini memiliki rumah adat yang bernama Bagas Godang. Dalam terminologi
masyarakat Tapanuli Selatan Bagas sebagai rumah dan Godang berarti besar. Jadi secara
harfiah memiliki arti sebagai rumah besar.

Rumah ini memiliki arsitektur khas Tapanuli Selatan. Berbentuk empat persegi
panjang dengan menggunakan kayu berjumlah ganjil sebagai penyangganya. Kemudian
ruangannya terdiri dari ruang depan, ruang tengah, ruang tidur dan dapur.

Material untuk membangun rumah adat Tapanuli Selatan terbuat dari bahan kayu,
berkolong dengan tujuh atau sembilan anak tangga. Memiliki pintu yang lebar dan
berbunyi keras jika dibuka. Konstruksi atap berbentuk tarup silengkung dolok, seperti
atap pedati.

Gambar bangunan tradisional tapanuli selatan

Sistem struktur rumah pada umumnya tidak berbeda dengan rumah tradisional
yang terdiri dari tiga bagian yaitu struktur bagian bawah, struktur bagian tengah dan
struktur bagian atas.
Bagian bawah terdiri dari tapak pondasi, tiang pondasi dan balok-balok lantai.
Struktur bagian tengah merupakan struktur dinding, pintu dan jendela. Sementara struktur
bagian atas merupakan struktur atap dan penutup atap serta atap.

Berikut Struktur Rumah Tradisional Tapanuli Selatan. Langsung Saja Simak Ulasannya.

A. Pondasi

Secara keseluruhan bentuk dan sistem pondasi rumah tradisional Tapanuli


Selatan baik rumah raja dan rakyat terdiri dari susunan tiang-tiang kayu berbentuk segi
delapan. Tiang tersebut mereka letakan pada bagian atas batu kali yang pipih tanpa ada
ikatan atau sambungan layaknya rumah-rumah panggung saat ini. bahwa sistem
konstruksi tersebut akan mempengaruhi sistem religi atau sistem kepercayaan dari
masyarakat tersebut. Sedangkan bentuk daripada tiang merupakan sistem kepemimpinan
dari masyarakat tersebut.

B. Tiang

Pada rumah raja, tiangnya berbentuk segi delapan, terkenal dengan sebutan tarah
salapan. Menandakan bahwa pembangunan Sopo Godang (balai sindang adat) dikerjakan
secara gotong royong oleh penduduk di seluruh penjuru mata angin (yaitu delapan arah).
Sedangkan pada rumah rakyat bentuknya adalah persegi empat. Hal ini menunjukan
sistem kepemimpinan dari penghuninya.

C. Balok Lantai

Sistem struktur untuk balok lantai pada rumah-rumah tradisional Tapanuli


Selatan menggunakan material kayu dengan sistem struktur pasak (knock down). Proses
pengerjaanya yaitu dengan cara melubangi tiang bagian atas yang merupakan pertemuan
tiang dan balok lantai. Kemudian balok lantai tersebut dimasukan pada tiang yang telah
dilubangi tersebut. Balok terdiri dari balok induk melintang dan memanjang, serta balok
anak yang mendukung lantai bangunan. Sambungan atau ikatan antar balok dan tiang
hanya menga

D. Dinding
Pada umumnya terbuat dari bilah-bilah papan. Sambungan antara papan
menggunakan sistem lidah yang menggunakan paku ke tiang tambahan. Dinding
dipasang secara horizontal pada sekeliling bangunan dan begitu juga dengan pembatas
antar ruang. Sedangkan pembatas ruang pada serambi depan dan belakang berupa pagar
yang terbuat dari besi profil yang bermotif dan kayu profil.

E. Pintu Dan Jendela

Pintu dan jendela rumah tradisional Tapanuli Selatan berbentuk panel. Pada sebagian
rumah raja bagian atas terdapat ventilasi tambahan motif sisir dan sebagian rumah,
termasuk rumah rakyat, tidak memiliki ventilasi tambahan.

F. Tangga

Bentuk tangga pada rumah tradisional, terutama rumah raja tandanya yaitu
menggunakan material kayu dengan jumlah anak tangga sembilan buah. Anak tangga
berjumlah sembilan memiliki makna yang sakral dan magis, yaitu mewakili sembilan
tokoh adat yang berwenang dalam adat dan mewakili tiap huta dari delapan arah mata
angin. Bagas Godang sebagai pusatnya.

G. Atap

Bentuk garis bubungan atap rumah tradisional Tapanuli Selatan terdiri dari tiga
jenis yaitu bentuk melengkung atau atap silingkung dolok pancucuran, atap sarotole dan
atap sarocino. Atap melengkung dan datar memiliki gable segitiga pada bagian depan
yang menjadi ciri sebagai atap rumah raja.

Fungsi Bangunan

Bangunan ini berfungsi sebagai tempat tinggal atau kediaman raja Panusunan
maupun raja Pamusuk sebagai pemimpin huta. Biasanya Bagas Godang raja Panusunan
lebih besar dari raja Pamusuk. Secara adat Bagas Godang melambangkan bona bulu yang
berarti bahwa huta tersebut telah memiliki satu perangkat adat yang lengkap seperti
dalihan natolu, namora natoras, datu, sibaso, ulu balang, panggora dan raja Pamusuk
sebagai raja adat. Selain sebagai tempat raja, Bagas Godang juga berfungsi sebagai
tempat penyelenggara upacara adat. Dan sebagai tempat perlindungan bagi anggota
masyarakat yang keamanannya dijamin oleh raja.

Anda mungkin juga menyukai