Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

PENYAKIT PADA KELINCI

Disusun oleh:

Mu’min Hilman Hawali


17/413067/PT/07455
Kelompok X

LABORATORIUM TERNAK POTONG KERJA DAN KESAYANGAN


DEPARTEMEN PRODUKSI TERNAK
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2019
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Kelinci adalah komoditas ternak potong yang memiliki beberapa
keunggulan yaitu menghasilkan daging yang berkualitas tinggi dengan kadar
lemak yang rendah; tidak membutuhkan areal yang luas dalam
pemeliharaannya; dapat memanfaatkan bahan pakan dari berbagai jenis
hijauan, sisa dapur dan hasil sampingan produk pertanian; hasil
sampingannya (kulit/bulu, kepala, kaki dan ekor serta kotorannya) dapat
dimanfaatkan untuk berbagai keperluan; biaya produksi relatif murah;
pemeliharannya mudah; dan dapat melahirkan anak 4 – 6 kali setiap
tahunnya dan menghasilkan 4 – 12 anak setiap kelahiran (Kartadisastra,
1997).
Indonesia sebagai negara yang berada di garis khatulistiwa, memiliki
iklim tropis pada keseluruhan wilayahnya. Curah hujan, kelembaban udara,
berkombinasi dengan suhu yang hangat menjadi tempat yang nyaman untuk
dihidupi, bukan hanya bagi manusia, hewan, juga bagi mikroorganisme. Emi
(2013) menyatakan bahwa perkembangan mikroorganisme yang pesat di
Indonesia didukung oleh suhu yang hangat dengan kelembaban udara yang
tinggi. Keberadaan mikroorganisme ini bisa jadi pertanda baik, namun dalam
konteks usaha ternak yang membutuhkan sanitasi, hal ini bisa menjadi
masalah.
Dunia peternakan tentu tidak asing dengan istilah penyakit. Dalam
usaha ternak, keberadaan suatu penyakit dapat berarti ancaman bagi
keuntungan ekonomis yang ingin didapat. Hal ini bisa terjadi, karena,
penyakit pada ternak, seperti kelinci, dapat mempengaruhi baik atau
buruknya kondisi produk daging yang dihasilkan. Rosyidi (2017) menyatakan
bahwa kondisi ternak yang berpenyakitan dapat menyebabkan ternak
tersebut tidak dapat dikonsumsi dan merugikan peternak.
Pengetahuan mengenai jenis-jenis penyakit tentu diperlukan untuk
mengetahui segala hal yang berkaitan dengan penyakit tersebut.
Pengetahuan juga diperlukan agar penanganan yang dilakukan efektif dan
tidak terjadi penyebaran lebih lanjut. Kondisi hidup ternak kelinci dan
pemeliharaan yang mengesampingkan sanitasi bisa menjadi masalah pelik
karena jika tidak ditangani, dapat menyebar lebih luas dan otensi
kerugiannya meningkat. Ramadiani et al. (2018) menyatakan bahwa
kurangnya pengetahuan mengenai deteksi penyakit pada kelinci membuat
peternak kesulitan ketika usaha ternaknya sudah terinfeksi penyakit tahap
lanjut. Hal ini bisa ditanggulangi dengan membuat dan menyebarkan
informasi mengenai jenis penyakit dan penyebabnya, serta penanganan yang
sesuai.

1.2. Identifikasi Masalah


- Penyakit apa saja yang menjangkiti ternak komoditas kelinci?
- Penanganan apa yang bisa dilakukan pada kasus kelinci yang
terkena penyakit?
- Pencegahan apa yang bisa diusahakan agar tidak terjadi
penyebaran dan kemunculan penyakit pada kelinci?
1.3. Maksud dan Tujuan
- Mengetahui penyakit pada ternak potong komoditas kelinci.
- Mengetahui cara penangangan dan obat yang digunakan pada
penyakit yang menjangkiti kelinci.
- Mengetahui metode yang bisa dilakukan untuk meminimalisir
penyebaran penyakit pada kelinci.
BAB II
ISI

1. Penyakit Pada Kelinci

Kelinci, seperti halnya binatang lain, akan terpengaruh oleh faktor


lingkungan. Suhu lingkungan, kelembaban, curah hujan, hingga kualitas
pemeliharaan yang ada dapat mempengaruhi kemungkinan kelinci terserang
penyakit. Penyakit pada kelinci dapat dibedakan tergantung dari
penyebabnya, antara lain penyakit akibat parasit, dan penyakit akibat infeksi
bakteri atau virus. Penyakit tipe parasit antara lain kudisan, kokidiosis, dan
toksoplasmosis, sedangkan infeksi bakteri yang sering terjadi adalah E. coli
dan Clostridial enterotoxaemia yang menyebabkan diare, bakteri Salmonella,
dan Pasteurellosis (Mohammed et al., 2014).

Kudis (Scabiosis)
Penyakit kudis disebabkan oleh kutu parasit Sarcoptis scabiei yang
menimbulkan gatal-gatal di kepala, hidung, kaki bahkan bisa menjalar ke
seluruh tubuh. Gejalanya, kulit yang terkena kutu kudis akan tampak
kemerah-merahan disertai gatal yang menyiksa. Kudis pada kelinci dapat
disebabkan oleh sanitasi kandang yang kurang diperhatikan, cuaca yang
sedang banyak hujan, kurangnya ventilasi udara, dan populasi kelinci dalam
suatu kandang yang terlalu padat. Budiantono (2004) menyatakan bahwa
kejadian scabies pada kelinci tersebar luas di seluruh Indonesia, kejadian
terutama terjadi pada keadaan kandang yang kotor dan kekurangan pakan.
Kudis pada kelinci dapat menyebar dengan mudah, terutama pada kandang
kelompok yang memiliki populasi kelinci dan gerak aktif yang tinggi. Laksono
et al. (2018) menyatakan bahwa kudis biasa ditemukan pada tingkat
keparahan sedang, karena pada tingkat keparahan ringan, kudis sulit
dideteksi.
Pasteurellosis
Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Pasteurella multocida yang dapat
menyebabkan infeksi pernafasan, radang paru-paru, infeksi telinga, sinusitis
dan lainnya. Penularan oleh bakteri ini bisa dengan kontak langsung atau
melalui udara yang sudah terkontaminasi. Gejala yang nampak apabila
kelinci menderita penyakit ini diantaranya adalah kelinci bersin-bersin dan
batuk-batuk, terlihat cairan seperti ingus di hidung kelinci, radang pada
hidung kelinci serta mata kelinci mengeluarkan cairan dan disertai radang.
Kuhnert et al. (2000) menyatakan bahwa Pasteurella multocida adalah
bakteri yang menyebabkan infeksi pernafasan pada kambing, kucing, dan
kelinci, merupakan bakteri Gram-negatif, dan hidup secara parasitik di
nasofaring.

Koksidiosis
Penyakit ini disebabkan oleh kuman parasit yang menyerang usus
atau hati kelinci. Koksidiosis pada anak kelinci bisa menyebabkan kematian.
Gejala penyakit ini diantaranya nafsu makan kelinci berkurang, mencret,
berat badan berkurang, lemas, bulu kasar dan badan tampak kurus.
Koksidiosis disebabkan oleh infeksi Eimeria spp, dan banyak menyerang
kelinci pada umur prasapih (Mailafia et al., 2010). Bakteri Emeria spp.
termasuk tipe bakteri yang sulit ditanggulangi, karena menunjukkan retensi
terhadap antibiotik dan daur hidupnya cepat. Pemberian antibiotik dengan
kadar yang kurang hanya akan memperparah penyakit ini.

Diare pada kelinci (Enteritis Kompleks)


Enteritis kompleks merupakan penyakit pencernaan dan menjadi
penyebab kematian paling banyak pada peternakan kelinci. Gejalanya dapat
dilihat dari keluarnya kotoran kelinci yang tidak normal, kotorannya berwarna
hijau gelap, berbau serta berlendir lalu menggantung pada dubur kelinci,
kelinci tampak kurus dan lesu. Biasanya penyebab diare ini dikarenakan
makanan yang diberikan tidak cocok atau sudah terkontaminasi, terlalu
banyak makan hijau-hijauan basah, kondisi kandang yang kotor dan
penggunaan obat berbahaya yang tidak sesuai dosis untuk kelinci. Qisthon
(2012) menyatakan bahwa tingginya kadar air pada hijauan dapat
menyebabkan kembung pada kelinci dan feses yang dikeluarkan berbentuk
cair.

Rabbit Haemorrhagic Disease Virus


Rabbit Haemorrhagic Disease Virus atau disingkat RHDV merupakan
penyakit pada kelinci yang disebabkan oleh virus dan disebarkan oleh kontak
langsung dengan kelinci yang terinfeksi. Schwensow (2014) menyatakan
bahwa terdapat 4 strain virus yang dapat menyerang kelinci dan
menyebabkan RHDV. Gejala yang ditimbulkan antara lain kurangnya nafsu
makan, kegelisahan, demam, dan perilaku yang agresif. Virus ini termasuk
fatal apabila terjangkit pada kelinci. Moss et al. (2002) menyatakan bahwa
apabila kelinci dewasa terkena virus ini, dalam 48 hingga 72 jam dapat
menyebabkan kematian.

2. Penanganan Penyakit pada Kelinci


Kudis
Kelinci yang terkena kutu kudis harus dipisahkan dari kandang. Bulu
kelinci yang terkena kutu dicukur, kemudian dicuci dan dilap hingga kering.
Pemberian obat tentu harus dilakukan, akan tetapi, dengan tingkat
penyebarannya yang tinggi, hal ini tentu menjadi masalah tersendiri pada
pelaku usaha ternak kelinci. Laksono (2018) menyatakan bahwa pemakaian
obat-obatan untuk mengatasi kudis akan meningkatkan ongkos produksi dan
menurunkan profit yang didapat, sehingga peternak memilih untuk
mendiamkannya hingga masalah kudis ini sulit ditanggulangi.

Pasteurellosis
Penangan pasteurellosis adalah dengan mengisolasi kelinci yang sakit
ke dalam kandang yang lebih luas yang lancar sirkulasi udaranya. Kemudian
kelinci disuntik dengan obat-obatan seperti oxylin, sulfa strong atau penicilin.
Akan tetapi, tidak semua obat dapat mengobati pasteurellosis, Wulandari et
al. (2013) menyatakan bahwa terdapat kasus retensi antibiotik tipe
vancomisin, klindamisin, streptomisin, kanamisin, dan gentamisin terhadap
Pasteurellosis multocida, sehingga bakteri tersebut terus hidup dan
menjangkiti inangnya.

Koksidiosis
Koksidiosis bisa diobati dengan 0,5% sulfakuinoksalin pada campuran
air minum selama 30 hari. Bisa juga menggunakan amprolium 30-250 mg/Kg
pakan. Namun, penyakit ini bisa tumbuh lagi meskipun sebelumnya sudah
dilakukan penyembuhan. Iskandar (2008) menyatakan bahwa upaya
penanganan koksidiosis dengan pemberian obat oral hanyalah langkah
pencegahan, karena hanya dapat diberikan pada saat permulaan atau gejala
klinis awal, apabila sudah tahap tinggi, maka pemberian obat tidak efektif
lagi.

Diare
Cara mengatasi penyakit ini adalah dengan mengganti pakan hijau-
hijauan basah dengan pakan pelet yang kusus untuk kelinci. Pemberian air
minum juga dapat dilakukan dengan penambahan antibiotik oral sehingga
bakteri dalam kelinci dapat dimatikan. Qisthon (2012) menyatakan bahwa
penggantian hijauan segar dengan jerami dapat menurunkan penyakit diare
pada kelinci.
Rabbit Haemorrhagic Disease Virus
RHDV dalam dapat ditangani dengan pemberian obat dan vaksinasi.
Schwensow (2014) menyatakan bahwa pemberian obat pada RHDV hanya
untuk meredakan penyakitnya, hal yang harus dilakukan adalah pencegahan
berupa vaksinasi yang dilakukan sebelum ternak memasuki usia lepas sapih.
Pemberian vaksinasi dapat dilakukan secara oral atau injeksi.

3. Upaya Pencegahan
Upaya pencegahan dapat dilakukan dengan pembuatan kandang yang
memenuhi syarat. Syarat-syarat tersebut antara lain, kandang terbuat dari
bahan yang kuat, namun tidak ada bagian yang tajam sehingga berpotensi
melukai kelinci dan memberi jalan masuk terhadap bakteri dan parasit. Lantai
kandang terbuat dari kawan, tidak mudah rusak apabila terkena feses dan
urin, dan tersedia penampungan kotoran agar mudah dibersihkan demi
menjaga sanitasi. Pengadaan kandang juga harus diperhatikan, bahwa ketika
ada kelinci yang sakit, dapat langsung diletakkan dalam kandang isolasi.
Suhu lingkungan tentu harus dijaga, akan tetapi, melihat dari tingginya
kelembaban dan suhu di Indonesia, setidaknya hal ini dapat ditoleransi.

Sanitasi harus dilakukan sebagai upaya pencegahan munculnya penyakit.


Swacita (2017) menyatakan bahwa sanitasi merupakan upaya menjaga
kesehatan ternak lewat pembersihan kandang, lingkungan, peralatan, dan
ternak itu sendiri. Kartadisastra (1997) menyatakan bahwa potensi penyakit
zoonosis dapat dikurangi dengan pembersihan kandang dan penyemprotan
desinfektan secara berkala. Sanitasi sebagai upaya pencegahan tidak akan
efektif apabila kandang yang ada tidak diberikan fasilitas pembuangan
kotoran yang baik. Pemanfaat feses dan urin kelinci dapat menjadi solusi
untuk memindahkan kotoran yang dapat membuat kandang rentan penyakit
pada kelinci.
BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan studi literatur, penyakit pada kelinci terbagi menjadi


penyakit karena infeksi bakteri, dan penyakit karena virus. Penyakit karena
infeksi parasit dan bakteri antara lain kudis, pasteuellosis, koksidiosis, dan
diare. Penyakit karena virus contohnya Rabbit Haemorrhagic Diseases Virus.
Penanganan yang dapat dilakukan pada ternak kelinci yang terkena penyakit
antara lain isolasi dan pemberian obat salep pada kudis, pemberian antibiotik
pada pasteurellosis dan koksidiosis, dan pengurangan pemberian hijauan
segar pada penyakit diare. Pemberian obat pada penyakit RHDV hanya
mengurangi gejala saja, sedangkan pencegahan dengan vaksinasi adalah
hal yang harus dilakukan. Kandang yang baik dengan bahan yang kuat dan
konstruksi yang tidak membahayakan dapat mencegah kelinci terluka. Upaya
sanitasi yang dilakukan berkala juga perlu dilakukan agar mikroorganisme
kontaminan dapat ditekan pertumbuhannya.
DAFTAR PUSTAKA
Budiantono. 2004. Kerugian Ekonomi Akibat Scabies Dan Kesulitan Dalam
Pemberantasannya. Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner
Regional VI. Denpasar.
Emi, M., T. Armansyah, dan M. Husni. 2013. Daya larvasida ekstrak etil
asetat daun kemuning terhadap larva nyamuk aedes aegypti. Jurnal
Medikal Veterinaria.7(1):, 27-29.
Iskandar, T. 2008. Masalah Koksidiosis pada Kelinci Serta
Penanggulangannya. Lokakarya Nasional Potensi dan Peluang
Pengembangan Usaha Agrobisnis Kelinci. 2: 180-188.
Kartadisastra, H. R. 1997. Ternak Kelinci: Teknologi Pasca Panen. Kanisius.
Yogyakarta.
Kuhnert, P., P. Boerlin, S. Emler, M. Krawinkler, and J. Frey. 2000.
Phylogenetic analysis of Pasterurella multocida subspecies and
molecular identification of feline P. multocida subspecies septica by
16s RNA gene sequencing. Int. J. Med. Microbiol. 29(1): 599-604.
Laksono, T. T., M. G. A. Yuliani, A. Sunarso, D. R. Nunuk, L. Suwanti, dan
Soeharsono. 2018. Prevalence and severity level of Scabies
(Sarcoptes scabiei) on rabbits in sajen village, pacet, mojokerto.
Journal of Parasite Science. 2(1): 15-22.
Mailafia, S., M. M. Onakpa, and O. E. Owoleke. 2010. Problems and
prospects of rabbit production in nigeria. Bayero Journal of Pure and
Applied Sciences. 3(2): 20-25.
Mohammed, H. A., A. A. M. Eid, and R. M. M. El-Bakrey. 2014. A review of
rabbit diseases in egypt. WARTAZOA. 23(4): 185-194.
Moss, S. R., S. L. Turner, R. C. Trout, P. J. White, P. J. Hudson, A. Desai.
2002. Molecular epidemiology of rabbit haemorrhagic disease virus.
Journal of General Virology. 83(2): 2461-2467.
Qisthon, A. 2012. Pengaruh imbangan hijauan-konsentrat dan waktu
pemberian ransum terhadap produktivitas kelinci lokal jantan. Jurnal
Penelitian Pertanian Terapan. 12(2): 69-74.
Ramadiani, D. Marisa, M. L. Jundillah, and H. R. Hatta. 2018. Simple additive
weighting to diagnose rabbit disease. E3S Web of Conferences. 31:
11-17.
Rosyidi, D. 2017. Rumah Potong Hewan dan Teknik Pemotongan Secara
Islami. UB Press. Malang.
Schwensow, N., B. Cooke, J. Kovaliski, R. Sinclair, D. Peacock, and S. Sommer.
Rabbit haemorrhagic disease: virus persistence and adaptation in Australia.
Evolutionary Applications. Adelaide.
Swacita, I. B. N. 2017. Bahan Ajar Kesehatan Masyarakat Veteriner. Fakultas
Kedokteran Hewan Udayana. Denpasar.
Wulandari, E., F. Jamin, dan M. Abrar. 2013. Kepekaan Pasteurella multocida yang
diisolasi dari sapi berasal dari kabupaten Aceh Barat terhadap beberapa
antibiotik. Jurnal Medika Veterinaria. 7(2): 90-97.

Anda mungkin juga menyukai