Anda di halaman 1dari 66

Laporan Koasistensi Magang Daerah (Puskeswan)

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN (PPDH)


P R A K T E K L A PA N G AN MA G AN G D A E R AH
DI PUSKESWAN KAJHU KECAMATAN BAITUSSALAM
KABUPATEN ACEH BESAR PROVINSI ACEH

04 Februari 2019 – 04 Maret 2019

AHMAD WAHYUDI, S.KH 1802101020010

ANGGI ANGGRAINI ULFA, S.KH 1802101020011

DIO WAHYU ANADIKA, S.KH 1802101020092

KHOIRIYAH SAFITRI S, S.KH 1802101020093

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


UNIVERSITAS SYIAH KUALA
BANDA ACEH
2019
2

HALAMAN PENGESAHAN

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN (PPDH)


PRAKTEK LAPANGAN MAGANG DAERAH
DI PUSKESWAN KAJHU KECAMATANBAITUSSALAM
KABUPATEN ACEH BESAR

OLEH

AHMAD WAHYUDI, S.KH 1802101020010


ANGGI ANGGRAINI ULFA, S.KH 1802101020011
DIO WAHYU ANADIKA, S.KH 1802101020092
KHOIRIYAH SAFITRI S, S.KH 1802101020093

Dinyatakan telah menyelesaikan Magang pada tanggal 04 Maret 2019

Menyetujui,
Dekan Fakultas Pembimbing Lapangan

Dr. drh. Muhammad Hambal drh. Sari Rahmazana


NIP. 196509241991031001 NIP. 197808052009042008

Mengetahui,
Ketua Prodi PPDH,

drh. Rusli, M. Si
NIP. 196012311982111002
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan Koasistensi Magang
Daerah (Puskeswan) “Program Pendidikan Profesi Dokter Hewan (PPDH) Praktek
Lapangan Magang Daerah Di Puskeswan Kajhu Kecamatan Baitussalam
Kabupaten Aceh Besar”. Shalawat beriring salam kita junjungan kepada Nabi
Muhammad SAW yang telah membawa manusia dari alam kebodohan ke alam
yang penuh dengan ilmu pengetahuan.
Rasa cinta, bangga, dan teristimewa yang tak terhingga kami persembahkan
kepada keluarga besar tercinta yang telah banyak memberikan motivasi dan
dorongan baik moril maupun materil sejak memasuki Perguruan Tinggi hingga
selesainya pada stase magang daerah ini.
Pada kesempatan ini kami juga menyampaikan penghargaan dan rasa terima
kasih yang tidak terhingga kepada kepala dinas, kepala bidang peternakan dan
kesehatan hewan, kepala puskeswan dan pembimbing lapangan, yang telah
bersusah payah meluangkan waktu, pikiran dan tenaga untuk membimbing kami
dari awal magang IV hingga selesainya penulisan laporan koasistensi magang IV
ini.
Rasa hormat dan terima kasih juga kami sampaikan kepada tim inseminator
yang telah memberi banyak ilmu pengetahuan dan teknik dalam melakukan
inseminasi buatan selama dilapangan kerja. Semoga segala jerih payahnya menjadi
amal bagi beliau dan dapat berguna bagi perkembangan ilmu pengetahuan di masa
mendatang.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Dekan Fakultas Kedokteran
Hewan, Universitas Syiah Kuala, Dr. drh. Muhammad Hambal, Ketua Program
Pendidikan Profesi Dokter Hewan, Universitas Syiah Kuala, drh. Rusli, M.Si dan
seluruh dosen yang terlibat beserta staf administrasi yang telah banyak membantu
kami selama menuntut ilmu di Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Syiah
Kuala.

iii
Kami menyadari, dalam penulisan laporan koasistensi magang daerah ini masih
banyak kekurangan baik keterbatasan literatur, ilmu dan pengalaman yang kami
miliki, sehingga laporan ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kami
mengharapkan masukan yang bersifat membangun demi kesempurnaan laporan ini.
Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Amin ya rabbal’alamin.

Kajhu, 04 Maret 2019


Penulis

iv
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR iii

BAB I 1

PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Tujuan Kegiatan 2

1.3 Profil Puskeswan 2

1.4 Tujuan Puskeswan 3

1.5 Jenis Pelayanan 3

1.6 Objek Pelayanan 4

1.7 Sumber Daya Manusia Puskeswan di Kajhu 4

BAB II 5

TINJAUAN PUSTAKA 5

2.1 Diare 5

2.2 Prolapsus Uteri 6

2.3 Tymphani Pada Sapi 6

2.4 Bovine Evimeral Fever (BEF) 7

2.5 Infestasi Caplak Pada Sapi 10

2.6 Scabies Pada Kambing 13

2.7 Bovine Papiloma Virus 14

2.8 Myasis Pada Kambing dan Sapi 16

2.9 Chlamydiasis 18

2.10 Contagious Postular Dermatitis (Orf) 18

BAB III 20

v
PEMBAHASAN 20

3.1 Cutaneus Papilomatosis 20

3.2 Infestasi Caplak Pada Sapi 21

3.3 Myasis Pada Anak Sapi (Pedet) 22

3.4 Diare 24

3.5 Clamydiasis 25

3.6 Contagious Postular Dermatitis (Orf) 26

3.7 Scabies Pada Kambing 28

3.8 Distokia 30

3.9 Tymphani Pada Sapi 31

3.10 Helminthiasis (Cacingan) pada Sapi dan Kambing 33

PENUTUP 36

DAFTAR PUSTAKA 38

LAMPIRAN 42

vi
vii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pusat Kesehatan Hewan (Puskeswan) merupakan cikal bakalnya dari Pos


Kesehatan Hewan yang memberikan pelayanan di bidang kesehatan hewan.
Puskeswan sebagai ujung tombak dari Direktorat Kesehatan Hewan di daerah
(Propinsi/Kabupaten/Kota) dan merupakan perpanjangan tangan dalam
menghadapi penyakit hewan baik dalam upaya pencegahan, pengobatan,
pemberantasan serta pengendalian penyakit dan penerapan Undang-Undang Nomor
18 Tahun 2009 tentang Otoritas Veteriner.
Praktek Kerja Lapangan (PKL) merupakan salah satu program wajib untuk
mahasiswa Pendidikan Profesi Dokter Hewan (PPDH). Praktek Kerja Lapangan
adalah salah satu bentuk emplementasi secara sistematis dan sinkron antara
program pendidikan di bangku kuliah dengan program penguasaan keahlian yang
diperoleh melalui kegiatan kerja secara langsung di dunia kerja untuk mencapai
tingkat keahlian tertentu.
Peran Puskeswan meliputi upaya pengamanan produk ternak yang
diharapakan dapat bekerjasama dengan Rumah Potong Hewan (RPH) yang ada
diwilayah kerjanya sehingga dapat menghindarkan manusia dari mengkonsumsi
bahan makanan yang terkontaminasi dengan bahan berbahaya seperti residu dan
kuman penyakit zoonosis. Peran Puskeswan juga dapat mewujudkan usaha
peternakan yang maju, kompetitif, mandiri dan berkelanjutan yang berwawasan
lingkungan akan menghasilkan produktifitas ternak yang sehat dan
berkualitas. Hal tersebut akan tercapai dengan ditunjang pelayanan yang prima
di bidang kesehatan hewan. Pelayanan kesehatan hewan yang profesional akan
terlaksana apabila didasari prinsip nilai strategis dengan tindakan pengamatan,
penyidikan, pengendalian dan pemberantasan penyakit hewan serta
penyuluhan. Untuk itu dibutuhkan media pelayanan yang dapat

1
dipertanggungjawabkan yaitu adanya Pusat Kesehatan Hewan
(Puskeswan). Kualitas pelayanan prima di Puskeswan sangat dipengaruhi oleh
praktisi medik veteriner yang terampil, profesional dan handal dalam pelayanan
kesehatan hewan.

1.2 Tujuan Kegiatan

1. Memahami manajemen pelayanan kesehatan hewan sesuai prosedur


2. Memperoleh pengalaman bagaimana peran seorang dokter hewan ketika
memasuki dunia praktisi atau pelayanan kesehatan hewan
3. Meningkatkan pemahaman antara teori yang sudah dipelajari dengan
penerapannya di lapangan
4. Memperoleh keterampilan kerja dan pengalaman selama magang di
puskeswan

1.3 Profil Puskeswan

Sejarah berdiri
- Tahun berdiri puskeswan baitussalam 2006
- Dasar terbentuknya puskeswan
- UU No.6 Tahun 1967.
- UU No. 16 Tahun 1992.
- Peraturan pemerintah No.14 Tahun 1977
- Peraturan pemerintah No.22 Tahun 1983
- Peraturan pemerintah No. 78 Tahun 1992
- Keputusan bersama menteri pertanian dan menteri dalam negeri No.
690/Kpts/TN.510/10/93 dan No.88 Tahun 1993.
- Kepala puskeswan : drh. Sari Rahmazana

- Moto puskeswan : Ternak sehat masyarakat sejahtera

2
Visi dan misi puskeswan
Visi
1. Meningkatkan Kesehatan ternak melalui tindakan promotif, kuratif, dan
rehabilitatif.
2. Meningkatkan pelayanan medik reproduksi yang berkelanjutan.
3. Memberikan pelayanan yang cepat tepat yang komunikatif, informatif, dan
edukatif dalam rangka produktifitas ternak dan meningkatkan sumber daya
peternak.
Misi
Terwujudnya puskeswan yang tangguh dan modern untuk menunjang
kesehatan dan produktifitas ternak menuju peternakan yang sejahtera.

1.4 Tujuan Puskeswan

Tujuan pembangunan puskeswan antara lain untuk :


 Meningkatkan status kesehatan hewan nasional
 Memberikan jaminan keamanan manusia, hewan dan lingkungan dari
ancaman penyakit hewan, menghindari kemungkinan terjadinya resiko yang
dapat mengganggu kesehatan (safety) baik pada hewan ternak maupun
hewan non pangan
 Membangun jejaring kerja antara pusat dan daerah, serta antar daerah dalam
berkoordinasi meningkatkan ketanggapan (responsiveness) terhadap
ancaman penyakit hewan.

1.5 Jenis Pelayanan


Jenis pelayanan yang dapat diberikan antara lain pengobatan, vaksinasi,
operasi minor (luka) dan mayor (kastrasi, Ovari Histeriktomi/OH), konsultasi
masalah gizi dan kesehatan ternak/hewan,penyuluhan serta pemeriksaan
laboratorium (feses, darah dan Pangan Asal Hewan) yang akan dikirim ke Balai
Veteriner Sumatera Utara.

3
1.6 Objek Pelayanan
 Ternak besar : Sapi dan Kerbau
 Ternak Kecil : Kambing dan Domba
 Unggas : Ayam, Bebek, Itik, Ento

1.7 Sumber Daya Manusia Puskeswan di Kajhu

Kepala Puskeswan
drh. Sari Rahmazana

Inseminator Mesjid Raya Inseminator Kuta Baro


Tarmizi, HS Medis
Iskandar
drh. Mujinatun Rahmi
Nanda Balia Samsun Bahri, SE
drh. Sari Rahmazana
Juanda Inseminator Krueng Barona Azhari
Jaya
Yusuf, SP Firman Alani Mukhlis
Inseminator Baitussalam
Ruwaida, SP
Irwansyah
Fauzan, SP Inseminator Darussalam
Annas
Hadista

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diare
Sapi adalah salah satu ruminansia yang paling banyak di ternakkan di
Indonesia, merupakan penyumbang daging terbesar dari kelompok ruminansia
terhadap produksi daging nasional. Sapi bermanfaat menyediakan bahan pangan,
kulit dan pupuk kandang. Selain itu juga di beberapa daerah, sapi di manfaatkan
sebagai sumber tenaga untuk kegiatan pertanian, sehingga peternakan sapi
berpotensi untuk dikembangkan sebagai usaha yang menguntungkan. Sampai saat
ini baru beberapa peternak menerapkan manajemen pemeliharaan sapi secara
intensif dan masih banyak yang beternak secara semi intensif dan tradisional
(Jusmaldi dan Yuliwan,2009).
Beternak secara tradisional sering menemukan hambatan, salah satunya
adalah gangguan kesehatan. Gangguan kesehatan merupakan faktor yang
berpengaruh langsung terhadap produktivitas ternak, yang di sebabkan oleh virus,
bakteri, parasit dan jamur (Munadi, 2011). Diare adalah suatu kondisi dimana
seseorang buang air besar dengan konsistensi lembek atau cair, dengan frekuensi
tiga kali atau lebih per hari atau lebih sering dari orang-orang normal (World Health
Orgnisation, WHO, 2016). Lingkungan memegang penga-ruh paling besar terhadap
kesehatan (Notoatmodjo, 2012). Penyebab penyakit diare diantaranya karakteristik
masyarakat dan kesehatan lingkungan.
Diare pada anak sapi di Indonesia yang pernah dilaporkan terjadi pada
daerah sentra pengembangan sapi perah di Bogor, Sukabumi dan Bandung berkisar
antara 19-40%, dengan kematian pedet dibawah umur 1 bulan berkisar antara 8-
19% yang terjadi sepanjang tahun (SUPAR, 1996). Pengendalian diare anak sapi
perah sudah pernah diteliti (SUPAR et al., 1998; ARIYANTI dan SUPAR, 2008),

5
sedangkan prevalensi kejadian diare pada anak sapi potong dan penanganannya
belum pernah dilaporkan.

2.2 Prolapsus Uteri


Prolapsus uteri adalah suatu kejadian dimana uterus keluar melewati vagina
dan menggantung di vulva . Prolapsus uteri terjadi pada stadium ketiga setelah
pengeluaran fetus dan setelah kotiledon fetus terpisah dari karankula induk
(Wardhani, 2015).
Faktor Predisposisi Prolapsus Uteri
Faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya prolaps uteri pada kambing
yaitu distokia atau kesulitan melahirkan yang menyebabkan cedera atau iritasi pada
saluran reproduksi bagian eksternal, mengejan berlebihan selama persalinan atau
adanya tekanan yang berlebihan pada saat menarik fetus keluar. Faktor-faktor lain
yang dapat menyebabkan prolapsus uteri yaitu rendahnya tingkat kalsium darah
atau kurangnya nutrisi yang diberikan pada saat bunting sehingga menyebabkan
keadaan ligamenta penggantung uterus menjadi kendor, lemah dan tidak cepat
kembali ke posisi sebelum bunting (Toelihere, 1985 dan Powell, 2008). Predisposisi
lainnya terhadap prolapsus uteri adalah pertautan mesometrial yang panjang, uterus
yang lemah, dan relaksasi daerah pelvis yang berlebihan (Toelihere, 1985).
Gejala klinis
Hewan biasa berbaring tetapi dapat pula berdiri dengan uterus menggantung
ke kaki belakang. Selaput fetus atau selaput mukosa uterus terbuka dan dapat
terkontaminasi dengan feses, jerami, kotoran, atau gumpalan darah. Uterus dapat
membesar terutama bila kondisi ini telah berlangsung 4-6 jam atau lebih (Toelihere
1985).

2.3 Tymphani Pada Sapi


Penyakit Kembung atau timpani dipicu oleh kegagalan tubuh kambing
dalam mengeluarkan produk berupa gas yang berasal dari proses pencernaan di
dalam lambung. Adanya penyumbatan di salah satu saluran pengeluaran atau
konsumsi bahan pakan yang terlalu banyak, diduga merupakan penyakit kembung

6
ini. Bloat atau kembung rumen adalah gangguan sistemik non-infeksius yang
mengakibatkan gangguan pada sistem pen-cernaan ruminansia (Munda et al.,
2016). Selain kematian, bloat juga mengakibatkan kerugian ekonomi yang cukup
tinggi seperti biaya perubahan strategi manajemen pakan, tindakan pencegahan dan
pengobatan (Clarke dan Reid, 1974). Gejala klinis yang sering teramati adalah
adanya pembesaran atau distensi rumen bagian kiri, stress dan dispnu. Gejala lain
yang mungkin teramati adalah meningkatnya frekuensi berbaring dan bangun,
peningkatan frekuensi defekasi, menendang perut dan berguling untuk mengurangi
rasa sakit (Radostits et al., 2010; Aiello and Moses, 2016). Kejadian bloat dapat
dicegah dengan berbagai metode mulai dari pencegahan melalui manipulasi pakan
sampai dengan pengobatan (McMahon et al., 1999; Digraskar et al., 2012; Rahman
et al., 2016). Salah satu metode pencegahan yang dapat adalah dilakukan
penggembalaan secara bertahap untuk memperoleh hijauan di padang rumput
(Abdullah et al., 2014)
Agen Penyebab
Bloat atau kembung rumen adalah gangguan pada saluran pencernaan rumi-
nansia yang disebabkan oleh retensi gas atau penyimpangan pengeluaran gas dari
rumen secara normal. Menurut Merck Vet-erinary Manual (2006), kembung rumen
didefinisikan sebagai pembesaran abdomen karena akumulasi berlebihan dari gas
yang terperangkap dalam rumino-retikulum. Kembung terjadi ketika mekanisme
eruktasi terganggu atau terhambat dan laju produksi gas melebihi kemampuan
rumi-nansia untuk mengeluar-kannya. Gangguan mekanisme eruktasi tersebut akan
mengakibatkan volume gas yang di-produksi oleh rumen berlebihan sehingga
kejadian bloat dapat berkembang dengan sangat cepat (Majak et al., 2003).

2.4 Bovine Evimeral Fever (BEF)


Bovine Ephemeral Fever (BEF) adalah salah satu penyakit virus arbo pada
sapi dan kerbau, seperti Bostaurus, Bos indicus dan Bos javanicus. Pada ruminansia
lainnya infeksi BEF biasanya tidak menimbulkan gejala klinis. Penyakit BEF sering
juga disebut `three days sickness’, stiff sickness, dengue fever of cattle, bovine
epizootic fever dan lazy man’s disease. Penyakit ini ditandai dengan demam selama

7
tiga hari, kekakuan dan kelumpuhan, namun demikian dapat sembuh spontan dalam
waktu tiga hari. Oleh karena itu, nama BEF atau demam tiga hari lebih sering
digunakan (Yeruham et al. 2002; Zheng et al. 2011).
Bovine Ephemeral Fever disebabkan oleh virus BEF, Pada suhu 48°C, virus
BEF tetap aktif dalam darah. Virus ini juga dapat diinaktifkan pada suhu 56°C
selama 10 menit atau 37°C selama 18 jam (Della Porta dan Brown,1979).
Vektor nyamuk telah dibuktikan memainkan peranan penting dalam
penyebaran infeksi BEF. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi populasi
nyamuk vektor diantaranya perubahan iklim, lingkungan dan ekologi seperti
kelembaban, suhu dan kecepatan angin. Telah dilaporkan sebelumnya bahwa BEF
lebih banyak terjadi pada daerah beriklim panas dengan kelembaban tinggi
(Yeruham et al. 2002; 2010; Thomson dan Connor 2000). Indonesia termasuk
daerah iklim tropis dan negara kepulauan yang luas dengan iklim yang bervariasi,
mempunyai variasi biodiversitas termasuk populasi vektor di masing masing daerah
yang sangat beragam. Akibatnya perpindahan vektor dan ternak sangat sering
terjadi, dan dapat berakibat pada meningkatnya prevalensi penyakit. Di negara
empat musim, perubahan cuaca seperti overwintering, menyebabkan terjadinya
kenaikan populasi vektor yang dapat menyebabkan terjadinya wabah BEF di negara
yang bersangkutan (Yeruham et al. 2002; 2007).
Perpindahan vektor dapat disebabkan oleh perubahan iklim atau
terganggunya ekologi lingkungan. Perubahan iklim dapat mengakibatkan
peningkatan jumlah populasi vektor/nyamuk. Kasus BEF dapat overheat
shoers produksi ternak. Selain itu, perubahan iklim juga dapat berdampak terhadap
peningkatan populasi vektor yang akhirnya dapat menyebabkan peningkatan kasus
BEF pada ternak. Sebaliknya, peningkatan suhu yang mencapai overheat, dapat
menyebabkan stres pada ternak, yang juga berdampak pada produksi ternak
menurun. Untuk itu penempatan breed ternak di suatu daerah harus disesuaikan
dengan kondisi sekitarnya, termasuk mengetahui epidemiologi penyakit dan data
spesies vektornya sehingga prevalensi infeksi terhadap penyakit dapat
diminimalkan (Yeruham et al. 2002; 2007).
Gejala Klinis

8
Gejala klinis yang dapat ditimbulkan akibat infeksi BEF antara lain demam
tinggi dan mendadak,yang dapat mencapai 41-42°C, nafsu makan berkurang,
lemas, kelumpuhan, lakrimasi, leleran hidung, kekakuan terutama pada sendi-sendi
sehingga tidak dapat berdiri (Momtaz et al. 2012). Pada sapi yangsedang laktasi,
infeksi BEF dapat menyebabkan produksi susu berhenti total dan kembali berlaktasi
setelah sembuh meskipun produksi susu tidak dapat kembali normal seperti
sebelum terinfeksi. Lebih lanjut, penurunan produksi susu dapat berkisar antara 34-
95% dengan rata-rata 46% (Momtaz et al. 2012).
Gejala klinis pada sapi betina bunting menyebabkan abortus, sedangkan
pada sapi jantan dapatmenyebabkan sterilitas sementara. Hal ini berakibat pada
gagalnya reproduksi ternak baik melalui inseminasi buatan maupun kawin alami.
Pada kasus tertentu dapat menimbulkan kematian dalam 1-4 hari setelah mengalami
kelumpuhan (Nandi dan Negi,1999), namun ternak dapat sembuh spontan setelah 3
hari, yang dapat mencapai 97% dari kasus klinis. Komplikasi penyakit ini dapat
menimbulkan pneumonia, mastitis, abortus atau pada pejantan menimbulkan
sterilitas sementara (Davies et al. 1984;1990).
Pencegahan penyakit ini dapat dilakukan dengan memberikan vaksinasi
BEF atau mengontrol populasi nyamuk vektor. Namun cara kedua ini sangatlah
sulit, mengingat masing-masing jenis nyamuk mempunyai media
perkembangbiakan yang berbeda. Selain itu,pengaruh cuaca atau iklim sangat besar
terhadap perkembang biakan vector. Pemberian vaksin BEF dapat mengurangi
kasus yang ada, namun perlu dipelajari epidemiologi daerah setempat sehingga
pemberian vaksin dapat menjadi lebih optimal. Hingga saat ini terdapat dua macam
vaksin BEF yang beredar, yaitu vaksin mati dan vaksin hidup yang telah diatenuasi.
Vaksin mati memiliki kelemahan dalam menggertak respon imun, sehingga mulai
banyak digunakan vaksin yang telah diatenuasi (Nandi dan Negi 1999).
Pengobatan tidak efektif, namun pemberian antibiotik, anti inflamasi,
pemberian cairan dinilai cukup efektif untuk mengurangi terjadinya infeksi
sekunder, yang dapat memperparah kondisi hewan, dan dapat berakibat fatal. Di
daerah endemik, vaksinasi BEF tidak banyak berpengaruh terhadap pencegahan
infeksi BEF. Vaksinasi BEF dapat diberikan padaternak yang belum mempunyai

9
kekebalan terhadap BEF namun rawan terhadap infeksi BEF. Pada umumnya
vaksinasi dapat diberikan pada sapi umur di atas tiga bulan hingga dewasa. Di
Indonesia, vaksin BEF belum beredar, namun kasus BEF telah banyak dilaporkan
dan reaktor terhadap infeksi BEF telah pula dilaporkan (Daniels etal.1992).
Selain pemberian vaksin BEF, manajemen yang baik perlu diterapkan
dimana sanitasi kandang dan lingkungan harus diperhatikan, jumlah ternak pada
satu kandang tidak terlalu padat dan alur pembuangan airdan kotoran yang baik.
Kondisi tersebut dapat meminimalkan media perkembangbiakan nyamuk vektor
dan penyebaran infeksi BEF pada ternak(Yeruham et al. 2003; 2007).

2.5 Infestasi Caplak Pada Sapi


Caplak adalah salah satu ektoparasit yang sering ditemui dan mampu
menurunkan kualitas dan kuantitas produk peternakan. Diperkirakan 80% ternak di
seluruh dunia terserang caplak (Stacey et al., 1978).
Kerugian yang ditimbulkan akibat caplak yaitu kerusakan kulit lokal akibat
luka, anemia (kurang darah), kurus, dan media transmisi penyakit. Peternak juga
mengalami kerugian ekonomi karena terjadi hal-hal seperti penambahan biaya
produksi untuk pengobatan, pakan, tenaga kerja, penurunan jumlah sapi akibat
kelemahan, penurunan fertilitas pejantan, penurunan berat badan, keguguran,
kematian, dan pengafkiran karkas di rumah potong hewan (Seddon, 1952).
Secara umum sistem pemeliharaan ternak sapi terdiri atas intensif, semi
intensif dan ekstensif. Sistem ekstensif yang menekankan lahan pengembalaan
sebagai sumber pakan, bersifat rawan dan mudah terkena ektoparasit seperti caplak.
Caplak memiliki kemampuan hidup yang tahan terhadap perubahan lingkungan dan
hidup di rumput. Infestasi caplak dapat ditentukan melalui pengamatan secara
langsung di lapangan pada permukaan kulit sapi. Sapi dikatakan terinfestasi dimulai
ketika caplak mengisap darah yang dapat menimbulkan kerusakan pada kulit
hingga menimbulkan kematian (Wall dan Shearer, 2001).
Studi kasus infestasi caplak pada sapi di Kota Banjarbaru ditemukan bahwa
89 ekor (48%) dari 187 ekor sapi kurus yang dipelihara secara intensif maupun semi
intensif terinfestasi caplak (Sulistyaningsih, 2016).

10
Siklus hidup yang dijalani caplak berupa telur-larva-nimfa-caplak dewasa.
Caplak dewasa setelah kawin akan menghisap darah sampai kenyang, lalu jatuh ke
tanah dan disinilah caplak bertelur. Larva yang baru menetas segera akan mencari
inangnya dengan pertolongan benda-benda sekitarnya serta bantuan alat
olfaktoriusnya. Setelah mendapatkan inangnya, caplak akan menghisap darah inang
hingga kenyang (enggorged) lalu akan jatuh ke tanah atau tetap tinggal pada tubuh
inang tersebut dan segera berganti kulit (molting) menjadi nimfa. Nimfa menghisap
darah kembali, setelah kenyang akan jatuh ke tanah dan berganti kulit menjadi
caplak dewasa (Hadi, 2011). Caplak betina setelah kenyang menghisap darah dapat
membesar sampai 20-30 kali ukuran semula. Satu siklus hidup berkisar antara 6
minggu sampai tiga tahun. Caplak dewasa dapat bertelur sekitar 100-18.000
butir/caplak. Caplak memerlukan ± 1 tahun untuk menyelesaikan satu siklus hidup
di daerah tropis dan lebih dari satu tahun di daerah lebih dingin (Dwibadra, 2008).
Caplak sapi Boophilus microplus tergolong caplak berumah satu yaitu semua
stadiumnya (larva, nimfa, dan dewasa) tinggal dalam satu inang yang sama, begitu
pula proses pergantian kulit dan perkawinan (Hadi, 2011).
Gejala Klinis, Dampak Umum, dan Kerugian Akibat Infestasi Caplak
 Gangguan Pertumbuhan Penghisapan darah yang terus-menerus dan
iritasi yang ditimbulkannya mempengaruhi kapasitas pertumbuhan, terlebih untuk
ternak penggemukan sehingga menyebabkan penurunan produksi daging jauh
sebelum pemasaran.
 Kerusakan Kulit (Dermatosis) dan Miasis Infestasi caplak dapat
mengakibatkan kerusakan kulit atau dermatosis sehingga menurunkan kualitas
kulit.
 Penyebaran Berbagai Penyakit Caplak berperan dalam penularan dan
pemindahan berbagai penyakit yang disebabkan oleh bakteri, virus, protozoa, dan
rickettsia. Beberapa diantaranya bersifat zoonosis. Caplak berinang satu
menularkan agen penyakit secara transovarial. Selain itu, caplak dapat bertindak
sebagai vektor berbagai agen penyakit seperti Babesia bigemina, Babesia argentina,
Anaplasma marginale, Coxiella burnetti, dan Borrelia theileri..

11
 Iritasi dan Penurunan Produksi Tusukan hipostom menyebabkan iritasi
dan kegelisahan sehingga aktivitas dan waktu istirahat inang akan berkurang.
Tusukan hipostom akan memperbesar faktor “stress” yaitu banyak energi yang
terbuang, sehingga akan menurunkan efisiensi pakan dan sekaligus menghambat
laju pertumbuhan badan dan daya produksi.
 Anemia dan Kematian Anemia dapat terjadi terutama pada anak sapi dan
betina bunting serta sering terjadi kematian. Caplak betina Boophilus microplus
menghisap darah 0,5-1,0 ml untuk menyempurnakan perkembangannya. Sapi
terinfestasi caplak memiliki tingkat kesembuhan yang sangat lambat karena masih
adanya elemen toksin dalam sekresi saliva caplak. Akibat infestasi caplak ini terjadi
penurunan jumlah sel darah merah, serum protein, dan haemogobin.
 Tick Paralisa Gejala yang ditimbulkan dapat berupa inkoordinasi dan
kelemahan otot kaki belakang, paralisa panca indra, kaki depan, oesofagus dan
wajah, kesulitan menelan, kematian akibat paralisa otot pernafasan (Soedarto,
2003).
Diagnosa Infestasi ektoparasit caplak dapat ditentukan melalui pengamatan
secara langsung (visual) pada permukaan kulit hospes. Sapi dikatakan terinfestasi
dimulai ketika caplak menghisap darah yang dapat menimbulkan kerusakan pada
kulit (dermatosis) yang termasuk kategori ringan hingga menimbulkan kematian
yang termasuk kategori sangat berat. Selama stadium perkembangan setiap caplak
menghisap darah sapi 0,5 ml dan apabila populasi caplak pada sapi mencapai
6.000–10.000 ekor maka dapat membunuh sapi dewasa (Barnett, 1961).
Pencegahan dapat dilakukan dengan cara perputaran ladang
penggembalaan. Cara ini tujuannya menghindari caplak dengan membiarkan
caplak-caplak mati di lapangan tempat pembiakannya. Tingkat larva mempunyai
umur yang cukup pendek. Untuk B. microplus kurang lebih 3 bulan, sehingga
dengan meninggalkan ladang penggembalaan selama 3 bulan dapat mengurangi
infestasi caplak. Umumnya kontrol ini dilakukan secara kombinasi dari cara-cara
tersebut di atas sehingga lebih memuaskan hasilnya dari pada sendiri-sendiri.
Infestasi caplak sering muncul jika ternak-ternak dipadatkan ke dalam kandang
yang sangat kotor. Selain mengatur kondisi perkandangan yang baik, pencegahan

12
lainnya bisa dilakukan dengan menjaga kebersihan lingkungan, pengeringan tanah
dan pembuangan kotoran hewan secara baik dan teratur. Di luar negeri sudah
dikembangkan vaksin untuk mencegah infestasi caplak dengan menggunakan
bioteknologi maupun dari ekstrak caplak (Soedarto, 2003), begitupun di Indonesia,
sudah mulai melakukan penelitian terhadap B. microplus pada sapi-sapi Indonesia
sebagai langkah awal pengembangan vaksin babesiosis.

2.6 Scabies Pada Kambing


Scabiosis adalah penyakit kulit yang sering dijumpai pada ternak dan
cenderung sulit disembuhkan (fausta). Penyakit ini disebabkan oleh tungau
Sarcoptes scabiei termasuk Ordo Acarina, Family Sarcoptidae, Genus Sarcoptes.
Penyakit ini menyerang kulit dan dapat menurunkan produksi daging, kualitas kulit,
dan dan dapat menular pada manusia (zoonosis). Penyakit ini ditandai dengan
gejala khas yaitu gatal pada kulit dan akhirnya mengalami kerusakan pada kulit
yang terserang. Parasit Sarcoptes scabiei adalah ektoparasit yang menyerang hewan
terutama pada bagian kulit yang dapat menurunkan produksi daging, kualitas kulit
dan mengganggu kesehatan masyarakat (Iskandar, 2000).
Semua hewan ternak dapat terserang scabies, namun predileksi serangan
scabies pada tiap-tiap hewan berbeda pada kerbau di punggung, paha, leher, muka
dan daun telinga sedangkan kelinci disekitar mata, hidung, jari kaki kemudian
meluas ke seluruh tubuh apabila bersifat kronis dan kambing sekitar punggung,
telinga dan seluruh tubuh. Penyakit ini lebih banyak dijumpai pada kambing
dibandingkan pada domba (Manurung dkk., 1990).
Siklus Hidup Sarcoptes scabiei mengalami siklus hidup mulai dari telur, larva,
nimfa kemudian menjadi jantan dewasa dan betina dewasa muda dan matang
kelamin (Williams et al, 2000). Tungau Sarcoptes scabiei setelah kopulasi
(perkawinan) yang terjadi di atas kulit, yang jantan akan mati, kadang-kadang
masih dapat hidup dalam terowongan yang digali oleh yang betina. Tungau betina
yang telah dibuahi menggali terowongan dalam stratum korneum, dengan
kecepatan 2-3 milimeter sehari dan sambil meletakkan telurnya 2 atau 4 butir sehari
sampai mencapai jumlah 40 atau 50. Bentuk betina yang telah dibuahi ini dapat

13
hidup sebulan lamanya. Telurnya akan menetas, biasanya dalam waktu 3-5 hari,
dan menjadi larva yang mempunyai 3 pasang kaki. Larva dapat tinggal dalam
terowongan, tetapi dapat juga keluar. Setelah 2 -3 hari larva akan menjadi nimfa
yang mempunyai 2 bentuk, jantan dan betina, dengan 4 pasang kaki. Seluruh siklus
hidupnya mulai dari telur sampai bentuk dewasa memerlukan waktu antara 8-12
hari (Wahyuti, 2009).

2.7 Bovine Papiloma Virus


Cutaneous papilomatosis adalah tumor tidak ganas pada kulit yang dapat
menyerang berbagai jenis hewan. Lokasi dapat dimana saja, bisa soliter atau
mengumpul/menyatu. Permukaan tumor ini agak kasar, seperti bunga kol, dan tidak
menimbulkan rasa nyeri (Soeharsono, Tati dan Tri, 2010).
Etiologi Cutaneous papilomatosis disebabkan oleh Papilomavirus termasuk dalam
Family Papovaviridae yang diketahui sebagai penyebab tumor alami yang timbul
dari dirinya sendiri (Jawetz, Joseph dan Edward, 1978). Berdasarkan struktur
protein virus, pada sapi terdapat enam tipe Bovine papilomavirus (BPV) yang telah
teridentifikasi yaitu (BPV-1 sampai BPV-6) dan di klasifikasikan dalam dua
subgroup, A dan B. Subgroup A terdiri dari (BPV-1, BPV-2, BPV-5) akan
membentuk fibropapilloma dengan melibatkan dermal fibroblas dan keratinosit,
dan subgroup B terdiri dari (BPV-3 dan BPV6) akan menyebabkan papiloma epitel
dengan hanya melibatkan keratinosit, sedangkan BPV-4 menginfeksi epitel mukosa
dari saluran pencernaan bagian atas (Meuten, 2002).
Patogenesis Cutaneous papilomatosis timbul akibat infeksi virus masuk
melalui lesi atau abrasi kulit. Lesi kulit dapat terjadi akibat tatto sekitar telinga
untuk ear tag, sekitar hidung akibat luka pemasangan bull leads (tali hidung), dan
lesi akibat terkena kawat berduri. Virus masuk ke dalam jaringan epidermis
kemudian memperbanyak diri (bereplikasi) pada basal sel epitel. Replikasi virus
menyebabkan pertumbuhan epitel berlebihan, merupakan karakteristik tumor jinak
seperti kutil (Hagan dan Bruner, 1988).
Cutaneous papilomatosis dapat dijumpai pada semua hewan terutama sapi,
kuda anjing, kucing, domba, kambing dan babi. Pada sapi lesi ditemukan di kepala

14
dan leher. Pada kuda ditemukan disekitar hidung dan mulut, pada domba ditemukan
di bagian kepala dan telinga, dan pada anjing ditemukan di kepala dan bagian tubuh
lainnya. (Meuten, 2002).
Gejala klinis Papilomavirus pada tipe fibropapiloma atau cutaneous
papuilomatosis yaitu BPV-1, BPV-2 dan BPV5, gejala klinis yang ditimbulkan
sangatlah jelas dengan adanya kutil pada permukaan kulit dari ternak yang terserang
(Meuten, 2002). Permukaan tumor ini agak kasar, seperti bunga kol, dan tidak
menimbulkan rasa nyeri (Soeharsono dkk., 2010). Penularan Cutaneous
Papilomatosis dapat menular melalui kontak langsung dengan hewan penderita.
Selain itu dapat juga ditularkan melalui kontaminasi makanan, peralatan yang
digunakan untuk kastrasi dan penggunaan jarum suntik yang berulang saat
melakukan pengobatan (Ozsoy, Zafer dan Murat, 2011). Kontrol Penyakit
Penyebaran penyakit dapat dikurangi dengan isolasi ternak penderita. Kutil dapat
di angkat melalui pembedahan atau melalui diikat dengan benang jahit dibagian
dasarnya, tergantung dari jumlah, tipe, ukuran dan lokasinya. Selain dengan
pembedahan dan pengikatan, kutil dapat disembuhkan dengan pembuatan
autovaksin yang diinjeksikan secara subkutaneous di daerah dekat kutil.
Berkurangnya kutil terjadi kira-kira tiga minggu setelah vaksinasi dan dalam enam
minggu kutil secara spontan hilang dengan menunjukkan total kesembuhan. Setelah
pengobatan, kutil pada sapi ini tidak tumbuh lagi (Sreeparvathy, Harish dan Anuraj,
2011)
Pada pengobatan kutil, dilakukan imunoterapi dengan autovaksin yang
dibatasi oleh potensi onkogenik virus. Imunoterapi ini aman, efektif dan sederhana
dengan memanfaatkan kutil. Terapi ini mengarah pada imunitas seluler melalui
produksi Th1 sitokin yang mengaktifkan sel T sitotoksik dan natural killer sel yang
akan mengeradikasi infeksi kutil (Chandrashekar, 2011). Autovaksin Autovaksin
adalah vaksin yang disiapkan dari jaringan/kutil pada hewan yang sama (Inayat
dkk., 1999). Autovaksin diketahui memberikan hasil yang baik sebagai pengobatan
pada kasus klinis. Komersial vaksin telah di coba dengan hasil yang baik pada sapi.
Vaksin komersial yang tersedia hanya mengandung tipe BPV-1 sehingga hasil yang
dicobakan pada kuda zebra tidak direspon karena kemungkinan kuda zebra tersebut

15
telah terinfeksi tipe BPV-2 dan vaksin tersebut tidak memiliki kekebalan silang
dengan tipe BPV-1. Dengan kata lain autovaksin lebih efektif dalam pengobatan
Papilomavirus karena mengandung virus yang heterogen (Pangty dkk., 2010)

2.8 Myasis Pada Kambing dan Sapi


Myiasis atau belatungan yang disebabkan oleh screwworm atau larva lalat
Chrysomya bezziana telah terdapat di Indonesia sejak lama. Myiasis sebagai
masalah penyakit dilaporkan pada ternak lokal yang dipelihara secara semiekstensif
di Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi
Utara, sedangkan pada ternak lokal yang dipelihara secara intensif seperti di P.
Jawa, Madura dan Bali masalah myiasis tidak banyak diketahui. Sapi Brahman dan
Brahman cross asal Australia yang dipelihara dengan sistem ranch yang dipelihara
secara intensif di daerah Jakarta dan Bogor ternyata lebih peka terhadap serangan
myiasis dibanding sapi dan domba lokal. Peternak di desa-desa telah menggunakan
beberapa obat tradisional seperti ekstrak tembakau, minyak tanah, batu baterai
untuk mengatasi myiasis, walaupun secara ilmiah khasiat obat-obat tersebut belum
dapat dibuktikan.
Dari banyak jenis lalat penyebab myiasis terdapat beberapa diantaranya
sebagai penyebab myiasis obligat atau myiasis dimana belatungnya hanya dapat
hidup di dalam jaringan induk semang yang hidup saja. Larva atau belatung dari
jenis ini dikenal dengan nama screwworm dikenal dengan nama spesiesnya sebagai
Chrysomya bezziana yang terdapat di Afrika dan Asia termasuk di Malaysia,
Indonesia, Philipina dan Papua New Guinea. Di Indonesia sendiri terdapat dua jenis
myiasis obligat ialah klawmyiasis atau hoofmyiasis yang disebabkan oleh larva lalat
Booponus intonsus Aldrich, 1923 (Kraneveld dan Schaaf, 1937), yang menurut
penulisnya dikatakan bahwa myiasis pada kuku sapi di daerah Minahasa telah
dilaporkan oleh dinas peternakan sejak 1926, dan myiasis yang lebih penting adalah
yang disebabkan oleh larva lalat C. bezziana (Kraneveld dan Pettinga, 1948).
Kejadian myiasis dilaporkan untuk pertama kali pada kuku sejumlah sapi di
daerah Sulawesi Utara, pada tahun 1926 dan karena kejadiannya pada kuku maka
penyakit ini diberi nama kauwmyiasis atau hoofmyiasis, kemudian ternyata bahwa

16
klauwmyiasis disebabkan oleh larva lalat Booponus intonsus Aldrich (1923) yang
juga merupakan lalat penyebab myiasis pada sapi di Phillipina (Wood-Worth dan
Aschrop, 1923).
Myiasis sering terjadi karena adanya luka yang meradang dan berbau atau
luka karena penyakit spesifik dan penyakit lainnya. Luka tersebut merupakan
tempat yang menarik untuk bertelur lalat. Di dalam ilmu epidemiologi beberapa
faktor yang dapat menjadi pendorong timbulnya masalah penyakit, antara lain
adalah adanya agen penyakit, adanya induk semang yang peka, lingkungan
pendukung dan manajemen ternak. Seperti telah diuraikan di atas bahwa agen
myiais terdapat di seluruh daerah di Indonesia, sedangkan lingkungan berupa
daerah yang beriklim tropis dengan tingkat kelembaban yang tinggi diyakini sangat
cocok untuk perkembangan lalat C. bezziana. Kehadiran induk semang yang peka
dan sistem peternakan yang semiekstensif atau ekstensif nampaknya merupakan
dua faktor yang penting untuk memicu terjadinya masalah myiasis. Siklus hidup
lalat C. bezziana terbagi menjadi empat tahap, yaitu telur, larva, pupa dan lalat.
Perkembangan L1 sampai dengan L3 memerlukan waktu enam hingga tujuh hari,
selanjutnya L3 akan membentuk pupa dalam waktu tujuh sampai delapan hari,
kemudian menjadi lalat (lalat) yang akan bertelur setelah enam hingga tujuh hari
(Spradbery, 1991). Lalat betina akan meletakkan kumpulan telurnya di tepi luka
pada sore hari atau menjelang petang dalam waktu 4,1 menit. Jumlah telur yang
dikeluarkan oleh lalat betina berkisar antara 95 sampai 245 (rata-rata 180 telur).
Telur akan menetas menjadi L1 dalam waktu 12-24 jam atau sepuluh jam pada
suhu 30oC, selanjutnya L1 menuju ke daerah luka yang basah. Sehari kemudian,
L1 akan berubah menjadi L2 dan mulai membuat terowongan yang lebih dalam di
daerah luka tersebut dengan cara masuk ke dalam jaringan inang. Larva instar II
akan berkembang menjadi L3 pada hari keempat bermigrasi keluar dari daerah luka
tersebut dan jatuh ke tanah. Larva tersebut akan membuat terowongan sepanjang
dua sampai tiga sentimeter untuk menghindari sinar matahari secara langsung.
Larva akan membentuk pupa dalam waktu 24 jam pada suhu 28oC.
Penetasan lalat dari pupa sangat tergantung dari lingkungan. Pupa akan menetas
menjadi lalat selama seminggu pada kondisi 25-30oC sedangkan pada temperatur

17
yang lebih rendah akan lebih lama bahkan sampai berbulan-bulan. Lalat jantan dan
betina mempunyai daya tahan hidup yang relatif sama, yaitu lima belas hari dalam
kondisi laboratorium meskipun beberapa lalat dilaporkan mampu hidup hingga
empat puluh hari (Spradbery, 1991;Spradbery, 2002). Wardhana dkk. (2003)
melaporkan bahwa kemampuan hidup lalat C. bezziana yang dikultur di
Laboratorium Entomologi, Balai Penelitian Veteriner hanya mencapai 24 hari.

2.9 Chlamydiasis
Chlamydiasis merupakan penyakit mata akut yang menular pada sapi,
domba maupun kambing, biasanya bersifat epizootik dan ditandai dengan
memerahnya conjunctiva dan kekeruhan mata. Penyakit ini tidak sampai
menimbulkan kematian, akan tetapi dapat menyebabkan kerugian yang cukup besar
bagi peternak, karena akan menyebabkan kebutaan , penurunan berat badan dan
biaya pengobatan yang mahal.
Chlamydia disebabkan oleh bakteri Maraxella bovis (M. Bovis) yang
bersifat hemolitik. Pada Sapi, selain M.bovis dapat disebabkan pula oleh Neisseria
catarrhalis. Sedangkan pada domba dan kambing ( Sodiq dan Abidin, 2002).
Hewan yang rentan terhadap penyakit ini adalah sapi, kerbau, kambing,
domba. Pink eye menyerang semua tingkatan umur, namun hewan muda lebih peka
dibandingkan dengan hewan tua. Penyakit ini sering terjadi pada musim panas,
dimana saat itu banyak debu dan meningkatnya populasi lalat. Namun, pada kondisi
kronis dapat berlangsung sepanjang tahun. Penularan Chlamydia terjadi akibat
kontak langsung dengan ternak terinfeksi melalui sekresi mata, atau secara tidak
langsung melalui vektor lalat, debu dan percikan air yang tercemar oleh bakteri.
Vektor yang menyebabkan penyakit ini adalah lalat seperti Musca autumnalis,
Musca domestica, dan Stomoxys, pada tubuh lalat terutama pada kelenjarair liur,
M. Bovis dapat bertahan 72 jam (Subronto, 2008).

2.10 Contagious Postular Dermatitis (Orf)


Penyakit Orf merupakan jenis penyakit kambing yang menyerang bagian
mulut yang dapat menimbulkan kematian karena kambing yang terjangkit tidak

18
mempunyai kemauan untuk makan. Menurut Housawi (2008), lokasi primer infeksi
adalah bibir, mulut serta lokasi lain seperti lubang hidung, telinga serta ambing.
Penyebab penyakit orf adalah virus dari genus Parapoxvirus (PPV), subfamily
Chordopoxvirinae, family Poxviridae (Guo et al., 2004;Hosamani et al., 2006; Chan
et al., 2007). Virus Orf merupakan dsDNA virus yang terdiri dari 132kb rantai
panjang. Virus ini memiliki 4 strain yang dinamakan OVIA82 dan OV-SA00 di
Amerika, D1701 di Jerman, dan NZ1 di New Zealand. Penyakit orf menular secara
kontak langsung antara ternak satu ke ternak lainnya (Gallina et al., 2006). Dampak
penyakit orf telah dilaporkan di berbagai negara (Gokce et al., 2005; Mombeni et
al., 2012). Baipoledi et al. (2002) melaporkan bahwa beberapa daerah semi-arid di
Afrika Selatan, sering terjadi serangan penyakit orf dan merupakan salh satu
penyakit virus yang menyebabkan kerugian ekonomi di sektor peternakan hewan
kecil.
Gambaran umum kerugian yang diakibatkan infeksi penyakit orf pada
kambing adalah penurunan produksi bakteri, penyembuhan yang lama, tidak ada
nafsu makan, tidak ada kemauan untuk bergerak, pertumbuhan yang lambat dan
kerentanan terhadap infeksi bakteri akibat penekanan sistem kekebalan tubuh
(Gallina dan Scagliarini, 2010). Wang et al. (2003) menambahkan perlu adanya
biaya tambahan terkait pengadaan vaksin bagi ternak kambing yang belum
terinfeksi. Studi tentang dampak ekonomi yang lebih detail dari penyakit orf belum
diterbitkan meskipun penyakit ini menurut Office International des Epizooties
(OIE) dianggap sebagai salah satu infeksi virus yang paling penting pada kambing
di negara maju dan negara berkembang ( Scagliarini et al., 2012).

19
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Cutaneus Papilomatosis


3.1.2 Sinyalemen dan anamnesa

07 Februari 2019, ketika melakukan active service, mahasiswi ko-asistensi


melakukan pemeriksaan secara fisik pada sapi. Peternak melaporkan bahwa sapi
tidak mau makan sudah beberapa hari, kondisi tubuh mulai melemah, dan di tubuh
terdapat banyak caplak. Peternak khawatir apabila semakin parah dapat
mempengaruhi harga jualnya, sehingga peternak langsung melaporkan kepada
petugas kesehatan hewan setempat.
Cutaneous papilomatosis timbul akibat infeksi virus masuk melalui lesi atau
abrasi kulit. Lesi kulit didugaterjadi akibat terkena kawat berduri atau duri
tumbuhan.Virus masuk ke dalam jaringan epidermis kemudian memperbanyak diri
(bereplikasi) pada basal sel epitel. Replikasi virus menyebabkan pertumbuhan
epitel berlebihan, hal tersebut merupakan karakteristik tumor jinak seperti kutil.
(Hagan dan Bruner, 1988).Cutaneous papilomatosis dapat dijumpai pada semua
hewan terutama sapi, anjing, kucing, domba, kambing dan babi. (Meuten, 2002).
Gejala klinis yang ditimbulkan sangatlah jelas dengan adanya kutil pada
permukaan kulit dari ternak yang terserang, permukaan tumor ini agak kasar, seperti
bunga kol, dan tidak menimbulkan rasa nyeri (Soeharsono dkk., 2010).
3.1.3 Pengobatan

20
Pengobatan yang dapat dilakukan yaitu pemberian ivomec (invermectin)
dengan dosis 2 ml. Dapat juga dilakukan pencegahan seperti. Pemisahan antara
hewan yang terjangkit papilloma dengan hewan yang tidak terjangkit yang
bertujuan agar hewan yang sehat tidak tertular.

3.2 Infestasi Caplak Pada Sapi


3.2.1 Sinyalemen dan anamnesa

Kamis, 07 Februari 2019, ketika melakukan active service, mahasiswi ko-


asistensi melakukan pemeriksaan secara fisik pada sapi. Peternak melaporkan
bahwa sapi tidak mau makan sudah beberapa hari, kondisi tubuh mulai melemah,
di tubuh terdapat banyak caplak suhu tubuh terasa panas. Peternak khawatir sapinya
semakin parah hingga berpengaruhi pada harga jualnya, sehingga peternak aktif
langsung melaporkan kepada petugas kesehatan hewan setempat.
3.2.2 Pengobatan
Cara peternak menanggulangi caplak berbagai variasi, kebanyakan dipencet
terutama pada stadium larva di permukaan kulit, gelambir, dibawah perut, diantara
dua kaki belakang. Apabila dalam jumlah banyak dikerok dengan pisau,
dimandikan dengan sabun atau air garam. Disamping itu ada yang melakukan

21
pemberian kapur semut dengan mencoret-coret pada tubuh sapi. Peternak yang
lebih maju akan melakukan pemandian atau spray terhadap sapinya dengan
coumaphos (asuntol), atau akarisida lainnya bahkan juga ada yang melakukan
pengobatan dengan Ivomec (ivermectin) (Hadi & Soviana, 2010).
Ada juga peternak yang menggunakan kulit pinang muda yang digosok-
gosokkan pada tubuh sapi dan yang ekstrim lagi sapi-sapi yang kandangnya juga
sering didatangi ayam kampung, biasanya ayam ini akan mematuk caplak sejauh
ayam bisa menjangkaunya. Peternak melakukan pemencetan caplak atau dikerok,
karena mereka kesal melihat caplak mengisap darah sapi. membunuh caplak dengan
memungut/memencet jauh lebih aman dari pada menggunakan akarisida sintetis,
karena obat ini dapat menimbulkan keracunan, polusi, resistensi dan meninggalkan
residu dibawah kulit. Demikian pula, pengerokan kulit yang dihinggapi caplak
harus disertai dengan pengumpulan hasil kerokan tersebut, kemudian dimasukkan
wadah yang berisi minyak tanah dan dibakar. Luka bekas kerokan harus diobati
misalnya dengan antiseptik atau yodium tinctur, agar kulit yang dikerok tidak
dihinggapi lalat, kapang atau bakteri. Cara peternak menghilangkan caplak dengan
air sabun atau air garam belum tepat karena bukan akarisida hanya membersihkan
luka.Juga menanggulangi caplak dengan kulit pinang adalah kurang tepat, sebab
bukan akarisida, karena hanya bersifat anti kapang (Hembing et al., 1996).
Obat yang dianjurkan untuk digunakan membunuh caplak adalah akarisida
seperti coumaphos (asuntol) 0,1 % melalui semprotan pada tubuh hewan atau
dimadikan. Disamping itu bisa digunakan ivermectin dengan 1 ml per 50 kg berat
badan melalui suntikan subkutan. Hanya saja obat-oabat paten diatas harganya
cukup mahal saat ini, walaupun sudah relatif mudah didapatkan di pasaran. Pada
peternakan yang berskala kecil, penggunaan obat-obat paten cukup mahal bagi
mereka dan biasanya dinikmati oleh sapi-sapi rakyat apabila ada kegiatan aktif
servis yang gratis.

3.3 Myasis Pada Anak Sapi (Pedet)


3.3.1 Sinyalemen dan anamnese

22
Kamis, 07 Februari 2019 saat melakukan active service di daerah Blang
Bintang mahasiswi ko-asistensi mendapatkan seekor anak sapi (pedet) mengalami
myasis pada daerah abdomen. Myiasis sering terjadi karena adanya luka yang
meradang dan berbau atau luka karena penyakit spesifik dan penyakit lainnya. Luka
tersebut merupakan tempat yang menarik untuk bertelur lalat. Di dalam ilmu
epidemiologi beberapa faktor yang dapat menjadi pendorong timbulnya masalah
penyakit, antara lain adalah adanya agen penyakit, adanya induk semang yang peka,
lingkungan pendukung dan manajemen ternak. Seperti telah diuraikan di atas
bahwa agen myiais terdapat di seluruh daerah di Indonesia, sedangkan lingkungan
berupa daerah yang beriklim tropis dengan tingkat kelembaban yang tinggi diyakini
sangat cocok untuk perkembangan lalat C. bezziana. Kehadiran induk semang yang
peka dan sistem peternakan yang semiekstensif atau ekstensif nampaknya
merupakan dua faktor yang penting untuk memicu terjadinya masalah myiasis.
Siklus hidup lalat C. bezziana terbagi menjadi empat tahap, yaitu telur,
larva, pupa dan lalat. Perkembangan L1 sampai dengan L3 memerlukan waktu
enam hingga tujuh hari, selanjutnya L3 akan membentuk pupa dalam waktu tujuh
sampai delapan hari, kemudian menjadi lalat (lalat) yang akan bertelur setelah
enam hingga tujuh hari (Spradbery, 1991). Lalat betina akan meletakkan kumpulan
telurnya di tepi luka pada sore hari atau menjelang petang dalam waktu 4,1 menit.
Jumlah telur yang dikeluarkan oleh lalat betina berkisar antara 95 sampai 245 (rata-
rata 180 telur). Telur akan menetas menjadi L1 dalam waktu 12-24 jam atau

23
sepuluh jam pada suhu 30ᴼC, selanjutnya L1 menuju ke daerah luka yang basah.
Sehari kemudian, L1 akan berubah menjadi L2 dan mulai membuat terowongan
yang lebih dalam di daerah luka tersebut dengan cara masuk ke dalam jaringan
inang. Larva instar II akan berkembang menjadi L3 pada hari keempat bermigrasi
keluar dari daerah luka tersebut dan jatuh ke tanah. Larva tersebut akan membuat
terowongan sepanjang dua sampai tiga sentimeter untuk menghindari sinar
matahari secara langsung.
Larva akan membentuk pupa dalam waktu 24 jam pada suhu 28oC.
Penetasan lalat dari pupa sangat tergantung dari lingkungan. Pupa akan menetas
menjadi lalat selama seminggu pada kondisi 25-30oC sedangkan pada temperatur
yang lebih rendah akan lebih lama bahkan sampai berbulan-bulan. Lalat jantan dan
betina mempunyai daya tahan hidup yang relatif sama, yaitu lima belas hari dalam
kondisi laboratorium meskipun beberapa lalat dilaporkan mampu hidup hingga
empat puluh hari (Spradbery, 1991;Spradbery, 2002). Wardhana dkk. (2003)
melaporkan bahwa kemampuan hidup lalat C. bezziana yang dikultur di
Laboratorium Entomologi, Balai Penelitian Veteriner hanya mencapai 24 hari.
3.3.2 Pengobatan dan Pencegahan
Pemberian obat dengan menggunakan iodin dan disemprotkan gusanex
sebagai anti serangga di sekitar daerah luka agar tidak ada lalat yang hinggap.
Setelah itu juga di berikan pentrep-400 untuk mencegah terjadinya infeksi.

3.4 Diare
3.4.1 Sinyalemen dan anamnesa

24
Jumat, 08 Februari 2019 saat melakukan active service, mahasiswi ko-
asistensi mendapatkan anoreksia, lemah, tidak mampu berdiri, nafsu makan dan
minum sangat buruk.. Turgor kulit sangat buruk dengan estimasi dehidrasi
mencapai 5%. Mukosa mulut, mata dan hidung anemis.
3.4.2 Pengobatan
Pengendalian diare pada umumnya masih ditujukan pada penanganan yang
bersifat simptomatis sehingga penyakitnya masih sering timbul. Sementara itu,
bebeberapa teknologi penanggulangan diare seperti vaksin dan antibiotika telah
dihasilkan dan tersedia secara komersial. Teknologi vaksin yang dibarengi dengan
manajemen pakan dan sanitasi kandang dapat diaplikasikan baik kepada kambing
untuk mengendalikan diare pada kambing. Oleh karena itu, strategi pengendalian
diare secara integral pada kambing perlu dikembangkan. Pengobatan yang
diberikan yaitu Collibact, Biosan dan Penstrep.

3.5 Clamydiasis
3.5.1 Sinyalemen dan anamnesa

Pada hari Sabtu, 09 Februari 2019, ketika melakukan active service,


mahasiswi ko-asistensi melakukan pemeriksaan secara fisik pada kambing. Pemilik
melaporkan bahwa bagian mata kambing terdapat selaput keruh pada kornea seperti
katarak dan keluar air secara terus menerus. Pemilik khawatir terhadap kambing
nya dengan kondisi demikian, sehingga pemilik aktif langsung melaporkan kepada
petugas kesehatan hewan. Pelaporan juga selanjutnya dari peternak yang
memelihara kerbau pada tanggal 23 Februari 2019. Adapun gejala klinis
clamidyosis sebagai berikut :

25
- Mata berair, kemerahan pada bagian mata yang putih dan kelopaknya
- Bengkak pada kelopak mata
- Menjulingkan mata untuk menghindari sinar matahari
- Selaput bening mata/kornea menjadi keruh
- Pembuluh darah tampak menyilanginya
- Terjadi borok atau lubang pada selaput bening mata. Borok dapat pecah dan
mengakibatkan kebutaan
- Sembuh dalam waktu 1 – 4 minggu, tergantung kepada penyebabnya dan
keganasan penyakitnya.
Gejala konjungtivitis yang disebabkan oleh M.bovis sangat sulit dibedakan
dengan IBR dan MCF (Malignant Cathar Fever). Pada IBR ditemukan peradangan
pada saluran pernafasan bagian atas, sedangkan pada MCF ditemukan kebengkakan
kelenjar limfe, erosi pada cugur hidung, hematuria dan diare. Kreatitis yang
disebabkan oleh fotosensitiasis dan thelasiasis harus dibedakan dengan pink eye
(Subronto, 2008). Adapun prognosa dengan gejala yang ditunjukan dan selagi
hewan ternak mau makan serta memperbaiki kembali manajemen pemeliharan
ternak dan melakukan pemeriksaan rutin serta pengobatan maka dapat dinyatakan
fausta.
3.5.2 Pengobatan dan Pencegahan

Pencegahan yang dapat dilakukan yaitu dengan cara memisahkan ternak


yang sakit dari ternak-ternak sehat, melakukan sanitasi pada lingkungan ternak
tersebut (Sarwono, 2002). Sedangkan pengobatannya dengan pemberian suntikan
antibiotik, seperti terramicin, ampicilin, tetracyclin atau tylosin, penggunaan salep
mata, menempatkan ternak pada tempat yang teduh, menempelkan kain di mata
dapat mengurangi rasa sakit mata akibat silaunya matahari.(Plumb, DC. 1999).
Sedangkan pada saat dilapangan diberikan Vet Oxy sb, Glucortin, Saleb
Cloramphenicol dengan dosis 10 ml yang oleskan dibagian mata yang terinfeksi.

3.6 Contagious Postular Dermatitis (Orf)


3.6.1 Sinyalemen dan anamnesa

26
Sabtu, 09 Februari 2019 ketika melakukan active service, mahasiswi ko-
asistensi melakukan pemeriksaan secara fisik pada kambing, pemilik melaporkan
bahwa pada daerah bibir kambingnya terdapat keropeng yang menebal, kambing
tidak terlalu aktif, dan tidak nafsu makan, dan pada tanggal 19 dan 20 Februari 2019
dijumpai kembali kambing yang menderita penyakit serupa. Penyakit ini menular
secara langsung dari ternak yang terinfeksi ke ternak yang sehat. Penularan juga
dapat terjadi akibat hewan memakan pakan yang tercemar kotoran atau keropeng
dari orf, Makanan yang berduri menyebabkan luka-luka kecil juga merupakan pintu
masuknya virus ke dalam ternak yang sehat (Mc Keever dkk., 1988). Faktor pada
cuaca curah hujan tinggi kejadian penyakit orf cenderung meninggi, hal ini
disebabkan kelembaban udara yang tinggi dan stress memicu timbulnya penyakit
orf pada ternak. Virus ini berukuran antara 220-250 nm panjang dengan leher antara
120-140 nm. Tahan terhadap pemanasan pada suhu 50˚C selama 30 menit, virus ini
juga tahan terhadap pembekuan dan pencairan dan juga tahan terhadap getaran
ultrasonik, tetapi tidak tahan terhadap sinar ultraviolet (Sawhney, 1972). Masa
inkubasi berlangsung 2-3 hari, kira-kira pada hari ke 10 terbentuk keropeng tebal
dan berwarna keabu-abuan. Menurut beberapa penelitian melaporkan tonjolan-
tonjolan berkerak tersebut dapat juga terlihat pada bagian tubuh lainnya seperti di
sekitar hidung, sekitar mata, telinga, perut/kulit dilipatan perut, kaki, skrotum,
ambing, puting, atau vulva (Adji, 1989, dan Watt, 1983). Gejala klinis yang tampak
yaitu adanya lesi pada daerah bibir/mulut, terutama disudut bibir. Mula-mula
terbentuk papula, vesikula, atau pastula (pernanahan) pada daerah sekitar mulut.

27
Vesikula hanya terlihat selama beberapa jam saja, kemudian pecah/isi vesikula ini
berwarna putih kekuningan. Pada hari ke 10 terbentuk keropeng tebal dan berwarna
keabu-abuan.
3.6.2 Pengobatan dan Pencegahan
Pada hewan yang menderita penyakit orf di isolasi dari hewan yang sehat,
keropeng pada bagian mulut dibersihkan sampai berdarah dan disemprot dengan
H202 kemudian berikan iodinserta pemberian injeksi obat ivomec (invermectin).
Pengendalian penyakit orf dengan cara sanitasi kandang dan lingkungan
pemeliharaan. Vaksinasi diperlukan untuk mencegah penularan penyakit orf.

3.7 Scabies Pada Kambing


3.7.1 Sinyalemen dan anamnesa

Pada hari Selasa, 12 Februari 2019, ketika melakukan active service,


mahasiswi ko-asistensi mendapatkan seekor kambing mengalami scabies. Pengurus
kandang melaporkan bahwa kambing tersebut nafsu makan baik tetapi terlihat
lemas, tidak aktif bergerak dan tampak menggaruk-garuk tubuhnya dan disekitar
telinga, punggung, panggul dan ekor terlihat adanya keropeng dan adanya bau yang
khas dari tubuhnya bahkan disekitar mulutnya juga terdapat keropeng. Konsistensi
feses normal. Kambing tersebut dipelihara secara intensif, dikandangkan dalam satu
kandang, dengan pakan dan minum disediakan. Pakan yang biasanya diberikan
adalah rumput, serta konsentrat. Siklus hidup tungau ini sebagai berikut: Setelah
kopulasi (perkawinan) yang terjadi di atas kulit, yang jantan akan mati, kadang-

28
kadang masih dapat hidup dalam terowongan yang digali oleh yang betina. Tungau
betina yang telah dibuahi menggali terowongan dalam stratum korneum, dengan
kecepatan 2-3 milimeter sehari dan sambil meletakkan telurnya 2 atau 4 butir sehari
sampai mencapai jumlah 40 atau 50. Bentuk betina yang telah dibuahi ini dapat
hidup sebulan lamanya. Telurnya akan menetas, biasanya dalam waktu 3-5 hari,
dan menjadi larva yang mempunyai 3 pasang kaki. Setelah 2-3 hari larva akan
menjadi nimfa. Siklus hidup mulai dari telur sampai dewasa dan menginfeksi ternak
yaitu 8-12 hari.
Gejala klinis yang tampak seperti gatal-gatal pada kulit, kemudian kulit
akan melepuh terutama dibagian muka, punggung dan kaki serta meluas diseluruh
tubuhnya, penurunan kualitas kulit, turgor kulit buruk, anemis dan kambing terlihat
kurus.
Dasar diagnosis scabies adalah gejala klinis, diagnosis scabies
dipertimbangkan bila terdapat riwayat gatal yang persisten dengan gejala-gejala
klinis seperti yang diuraikan di atas. Adapun terdapat pada penderita ini bersifat
sebagai pembawa (carrier). Adanya terowongan (kunikulus) pada tempat tempat
predileksi yang berwarna putih atau keabu-abuan, berbentuk garis lurus atau
berkelok, rata-rata panjang kurang lebih 1 cm, pada ujung terowongan ini
ditemukan papula atau vesikel. Jika timbul infeksi sekunder ruam kulitnya menjadi
polimarf (pustule, ekskoriasi dan lain-lain). Tempat predileksinya biasanya
merupakan tempat dengan stratum korneum yang tipis, yaitu sela-sela jari, siku
bagian luar, lipat kaki bagian depan, kambing (betina), umbilicus, glutea (pantat),
genitalia eksterna (jantan) dan perut bagian bawah. Menemukan tungau, merupakan
hal yang paling diagnostik.
3.7.2 Pengobatan dan pencegahan
Pengobatan yang dapat dilakukan yaitu pemberian invomec dengan dosis
0.5 ml. Adapun pencegahan yang dapat dilaksanakan ialah sebagai berikut :
 Pemisahan antara hewan yang terjangkit scabiosis dengan hewan yang tidak
terjangkit. Hal ini bertujuan agar hewan yang sehat tidak terjangkit
scabiosis.
 Pemindahan lokasi kandang ke dataran yang lebih tinggi

29
3.8 Distokia
3.8.1 Sinyalemen dan anamnesa

Pada tanggal 13 dan 24 Februari 2019 saat melakukan active service


mahasiswi ko-asistensi mendapatkan seekor sapi yang mengalami distokia.
Distokia merupakan gangguan proses melahirkan yang pada stadium pertama dan
kedua belangsung lebih lama. Kasus distokia umumnya terjadi pada induk yang
baru pertama kali beranak, induk yang masa kebuntingannya jauh melebihi waktu
normal, induk yang terlalu cepat dikawinkan, hewan yang kurang bergerak,
kelahiran kembar dan penyakit pada rahim. Distokia dapat disebabkan oleh
faktor induk dan faktor anak (fetus). Aspek induk yang dapat mengakibatkan
distokia diantaranya kegagalan untuk mengeluarkan fetus akibat gangguan
pada rahim yaitu rahim sobek, luka atau terputar, gangguan pada abdomen (rongga
perut) yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk merejan, tersumbatnya jalan
kelahiran, dan ukuran panggul yang tidak memadai. Aspek fetusy ang dapat
mengakibatkan distokia diantaranya defisiensi hormon (ACTH/cortisol), ukuran
fetus yang terlalu besar, kelainan posisi fetusdalam rahim serta kematian fetus
dalam rahim. Ukuran fetus yang terlalu besar dipengaruhi oleh berbagai faktor
yang yaitu keturunan, faktor pejantan yang terlalu besar sedangkan induk kecil,
lama kebuntingan, jenis kelamin fetusyaitu fetus jantan cenderung lebih besar,
kebuntingan kembar. Faktor nutrisi induk juga berperan, yakni pemberian
pakanterlalu banyak dapat meningkatkan beratbadan fetusdan timbunan lemak
dalam rongga panggul yang dapat menurunkan efektifitas perejanan. Gejala klinis

30
yang tampak seperti lama keluarnya fetus lebih dari 2 jam, induk susah untuk
merejan dan keluar fetus setengah badan
3.8.2 Penanganan dan Pencegahan
Pencegahan
 Pemberian pakan dengan nutrisi yang cukup.
 Pemberian kosentrat sebanyak 12% dari BB.
 Ruang yang cukup uas untuk sapi dapat bergerak .
 Hindari kawin dengan ukuran sapi yang tidak sesuai.
Penanganan
Penanganan distokia yang dapat dilakukan yaitu :
1) Mutasi, mengembalikan presentasi, posisi dan postur fetusagar normal
dengan cara didorong (ekspulsi), diputar (rotasi) dan ditarik (retraksi)
2) Penarikan paksa, apabila rahimlemah dan fetustidak ikut bereaksi
terhadap perejanan.
3) Pemotongan fetus (fetotomi), apabila presentasi, posisi dan
postur fetusyang abnormal tidak bisa diatasi dengan mutasi/penarikan
paksa dan keselamatan induk yang diutamakan.
4) Operasi Sesar(Sectio Caesaria), merupakan alternatif terakhir apabila semua
cara tidak berhasil. Operasiini dilakukan dengan pembedahan perut
(laparotomi) dengan alat dan kondisi yang steril.
Pada kasus ini penanganan yang dilakukan dengan cara reposisi dan retraksi fetus.

3.9 Tymphani Pada Sapi


3.9.1 Sinyalemen dan anamnesa

31
Selasa, 19 Februari 2019 saat melakukan active service, mahasiswi ko-
asistensi mendapatkan seekor sapi yang terkena tympani. Berdasarkan informasi
dari peternak, sapi diberikan buah pisang sehingga menyebabkan kondisi perut
kembung, lemah, demam, nafsu makan dan minum kurang.
Penyakit kembung (bloat) adalah penyakit yang sering menyerang
ruminansia yang merupakan gangguan sistemik non-infeksius yang mengakibatkan
gangguan pada sistem pencernaan ruminansia (Munda dkk., 2016). Percernaan
bahan pakan ternak ruminansia seperti sapi, kambing, domba adalah oleh
mikroorganisme yang secara alamiah ada di dalam perut yang berkerja melalui
pencernaan awal terhadap bahan makanan dan terutama protein. Proses pencernaan
protein oleh mikroorganisme ini akan menghasilkan berbagai enzim dan asam
amino yang dapat diserap oleh dinding usus ternak. Tanpa adanya mikroorganisme
ini dapat dipastikan proses pencernaan makanan di dalam perut ternak tidak akan
dapat terjadi. Namun di sisi lain, proses pencernaan bahan makanan oleh mikroba
juga mengeluarkan eksreksi lain berupa gas yang sebagian besar adalah
karbondioksida (CO2) dan metana (CH4).
3.9.2 Pengobatan dan Pencegahan
Penggunaan antibiotika untuk pencegahan tympani juga telah diteliti dan
diterapkan. Antibiotika seperti telah digunakan aureomycin, terramycin, bacitracin,
streptomycin, dan penicillin, untuk pencegahan tympani. Dari berbagai macam
antibiotika tersebut hanya penicilin yang efektif mencegah tympani dan tidak

32
memiliki dampak buruk ketika diberikan dengan dosis tunggal 300 mg atau kurang
(Barrentine et al., 1956). Konsentrat atau pakan bentuk blok yang dicampur dengan
antibiotika 75 sampai 100 mg untuk setiap sapi per hari cukup berhasil dalam
menurunkan kejadian tympani. Mekanisme penurunan kejadian tersebut tampaknya
terkait dengan perubahan mikroflora dalam rumen dan hanya bersifat sementara.
Meskipun demikian penggunaan antibiotika haruslah dibatasi karena dikhawatirkan
akan mengakibatkan resistensi, selain itu pemberian obat lainnya seperti tympanol
sebanyak 2ml dengan pemberian secara oral dan juga pemberian obat supportif
(Ruffin, 1994; Majak et al., 2003).

3.10 Helminthiasis (Cacingan) pada Sapi dan Kambing

11,24 dan 26 February 2019 dan saat melakukan active service mahasiswi
ko-asistensi mendapatkan seekor sapi dan kambing yang mengalami helminthiasis
(cacingan). Parasit cacing saluran pencernaan merupakan masalah utama yang
menyebabkan gangguan kesehatan pada ternak khususnya ruminansia.
Ruminansian merupakan ternak yang mudah terinfestasi oleh parasit cacing saluran
pencernaan baik secara klinis maupun subklinis di negara berkembang
dibandingkan dengan ternak yang lain karena kebiasaannya merumput.
Kerugian yang ditimbulkan akibat infestasi cacing saluran pencernaan
diantaranya adalah menurunkan performa produksi dan reproduksi, disamping juga
menurunkan feed intake dan feed conversion efficiency, terutama pada kondisi
penyerapan nutrien yang tidak baik akan menghambat pertumbuhan.
3.10.1 Gejala Klinis
 Lemas

33
 Lesuh
 Nafsu makan bekurang
 Diare
 Perut membesar disertasi legok lapar yang terlihat jelas
3.10.2 Pencegahan dan Pengobatan
Untuk menanggulangi permasalahan tersebut, berikut ini adalah beberapa
hal yang perlu Anda perhatikan, mulai dari upaya pencegahan hingga pengobatan
sebagai berikut:
1.Sanitasi Kandang
Mengingat bahwa cacing mudah berkembang biak di tempat lembap dan berair,
maka supaya tetap kering, kandang harus sering dibersihkan dari kotoran yang
menumpuk serta air kencing yang menggenang. Selain itu, sisa pakan yang tidak
habis sebaiknya segera dibuang atau dijadikan kompos. Apabila tidak dilakukan,
sisa pakan akan menumpuk dan menjadi lembek pada bagian bawahnya sehingga
akan mudah menjadi tempat cacing beserta larvanya berkembang biak .
2.Pemilihan Pakan
Larva cacing biasanya menempel pada rumput-rumput basah. Oleh karena itu,
apabila sapi atau kabing akan digembalakan, maka waktu yang paling tepat adalah
siang atau sore hari. Hal tersebut dimaksudkan supaya larva sudah tidak menempel
lagi pada rumput-rumput yang sudah mengering oleh sinar matahari.
3.Populasi Inang
Salah satu hewan perantara cacing yang menyerang sapi dan kambing adalah siput
air tawar. Di dalam tubuh siput, larva berkembang biak kemudian keluar dengan
jumlah yang lebih banyak dan menyebar ke rumput-rumput dan dedaunan yang
basah. Oleh sebab itu, untuk mengurangi jumlah cacing, perlu dilakukan
pemusnahan inang-inang perantara. Anda dapat memelihara bebek kemudian
menjadikan siput-siput itu sebagai makanannya.
Pemberian Obat Cacing
Untuk mencegah cacingan pada sapi dan kambing, maka obat cacing perlu
diberikan dua bulan sekali secara rutin. Akan tetapi, apabila sapi atau kambing
sudah terlanjur terkena penyakit itu, maka pengobatan biasanya akan dilakukan

34
oleh dokter hewan. Obat yang biasa digunakan, yaitu
jenis Benzimidasol, Imidathiazol, dan Avermectin. Sementara itu, pengobatan
secara tradisional juga dapat dilakukan melalui pemberian bawang putih yang
ditumbuk lalu diminumkan atau dicampur konsentrat.

35
PENUTUP

Kesimpulan
Penguatan kinerja Puskeswan sebagai ujung tombak kesehatan hewan di
lapangan dapat berdampak positif bagi perbaikan Siskeswannas. Kendati institusi
otoritas veteriner sebagai tulang punggung Penguatan kinerja Puskeswan perlu
terus diupayakan. Hal tersebut cukup beralasan mengingat Puskeswan sendiri
adalah bagian integral dari Siskeswannas. Secara global, langkah yang telah
diambil beberapa negara dalam implementasi ‘veterinary authority’ patut dijadikan
acuan dalam mendukung implementasi otoritas veteriner di Indonesia. Secara
khusus, kiprah Puskesmas dibawah Kementerian Kesehatan dalam melayani
kesehatan masyarakat perlu dijadikan rujukan lainnya dalam penguatan kinerja
Puskeswan, termasuk didalamnya penataan organisasi dimana kepala Puskeswan
seyogianya juga berstatus eselon sebagaimana status kepala Puskesmas. Hal
demikian cukup beralasan mengingat Puskeswan dan Puskemas sama-sama
berstatus Unit Pelayanan Teknis (UPT).
Penguatan kinerja Puskeswan secara tidak langsung diharapkan dapat
menarik minat para tenaga dokter hewan dan paramedis untuk berkiprah
memberikan sumbangsih tenaga dan fikirannya di kawasan-kawasan pedesaan
(rural areas). Selama ini kebanyakan para tenaga dokter hewan ditengarai
cenderung lebih memilih ‘praktek’ di kawasan-kawasan pertumbuhan ekonomi
(urban areas) karena dukungan aksesibilitas informasi dan komunikasi. Selain itu,
para dokter Puskeswan diharapkan dapat berkolaborasi secara sejajar dengan
petugas-petugas teknis (technical services) perusahaan peternakan swasta dalam
pelayanan kesehatan hewan. 70 Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 9 No. 1,
Maret 2011 : 53-71.

Saran
Kelak diharapkan Puskeswan menjadi ujung tombak pelayanan dan
penanganan kesehatan hewan yang tertata baik, mudah diakses, dan dipercaya oleh

36
peternak baik skala rakyat maupun skala komersial dalam kerangka
institusionalisasi otoritas veteriner menuju Siskeswannas. Untuk itu diperlukan
komitmen dan kemauan politis dari pemerintah beserta jajarannya didukung
partisipasi swasta, institusi terkait, dan masyarakat. Namun penting digarisbawahi
bahwa institusionalisasi otoritas veteriner harus bersifat mandiri dan profesional
serta bebas dari kepentingan politik.

37
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, F.F.J., Adamu, L., Saad, M.Z., Osman, A.Y., Haron, A.W., Awang, D.N.,
and Roslim. N. 2014. Concurrent Bloat and Rectal Pro-lapse in A Cow.
International Journal of Livestock Research, 4 (1), 115-160.
Aiello, S.E., and Moses, M.A. 2016. The Merck veterinary manual. Merck.
Barrentine, B. F., Shawver, C. B., and Wil-liams, L.W. 1956. Antibiotics for the
prevention of bloat in cattle grazing Ladino clover. J. Ani. Sci, 15(2), 440-
446.
Barnett SF. 1961. The Control of Ticks on Livestock. Italy: FAO Agricultural
Studies.
Baipoledi, E.K., J.F.C. Nyange, and J.M.K. Hyera. 2002. A severe case of
contagious
ecthyma in Tswana goats. Tydskr. S. Afr. Vet. 73(2):86-87.
Boden E. 2005. Black’s Veterinary Dictionary 21st. London: A&C Black.
Alimansyah, P. 2013. http://meeevet.blogspot.co.id/2013/01 /absespadasapi.
html. Diakses pada tanggal 26 Januari 2019.
Clarke, R., and Reid, C. 1974. Foamy bloat of cattle. A review. J. Dairy Sci., 57(7),
753–785
Chan, K.W., J.W. Lin, S.H. Lee, C.J. Liao, M.C. Tsai, W.L. Hsu, M.L. Wong, and
H.C. Shih.
2007. Identification and phylogenetic analysis of orf virus from goats in
Taiwan. Virus Genes. 35:705-12.
Chandrashekar, L. 2011. Intralesional Immunotherapy For The Management Of
Warts. Indian Journal Dermatol Venerreol Leprol Vol.77, page : 261-263
Dwibadra D. 2008. Tungau, Caplak, Kutu dan Pinjal. Bogor (ID): LIPI.
Della-Porta AJ, Brown F. 1979. The physiochemical and chemical characterization
of Bovine Ephemeral Fever.
Daniels PW, Soleha E, Sendow I, Sukarsih. 1992. Bovine Ephemeral Fever in
Indonesia. In: St George TD, Uren MF, Young PL, Hoffmann D, editors.
Proceedings of the 1st International Symposium on Bovine Ephemeral
Fever and Related Rhabdoviruses. Beijing, 25-27 August 1992. Canberra
(Aust): Australian Centre for International Agricultural Research.
Gallina L., F. Dal Pozzo, M.C.C.J. Innes, G. Cardetti, A. Guercio, and M. Battilani.
2006. A
real time PCR assay for the detection and quantification of orf virus. J.
Virol. Methods. 134:140-145.
Hausawi, F. 2008. Characterization of candidate seed orf viruses to be used as
vaccine in
sheep and goats in Saudi Arabia. Scientific J.King Faisal University
(Basic Sciences). 9:137-146.
Hadi UK dan Soviana S. 2010. Pengenalan, Identifikasi dan Pengendalian Caplak.
Bogor (ID): IPB Pr.
Hembing Wijayakusuma. H.M., Setiawan Dalimartha dan A.S. Wirian. 1996.
Tanaman Berkhasiat Obat di Indonesia. Jilid ke 4. Pustaka Kartini: 97-100
dan 126-128.

38
Hadi UK. 2011. Bioekologi Berbagai Jenis Serangga Pengganggu pada Hewan
Ternak di Indonesia dan Pengendaliannya. Bogor (ID): Dept. Ilmu Penyakit
Hewan dan Kesmavet FKH IPB.
Inayat, A., Muhammed, G., Asi, M.N., Saqib, M. and Athar, M. 1999. Use of
Autogenous Vaccine For The Treatment of Generalized Papilomatosis in
Cattle. Pakistan Vet.J. 19(2);102-103.
Jongejan F dan Uilenberg G. 2004. The global importance tick[internet].[diunduh
pada 2014 Oktober 1]. Tersedia pada http:// http://cbpv.org.br/artigos/-
CBPV_artigo_017. pdf
Junquera P. 2014. Boophilus cattle ticks: biology, prevention and control. pada
http://parasitipedia.net/index.php?option=com_content&view=article
&id=2543&itemid=2819. Jaganath, M.S. and S. Yatihiraj. 1999. Clinical
evaluation of doramectin in treatment of ectoparasites of canines. Indian
Vet. J. 76: 333-334.
Majak, W., McAllister, T. A., McCartney, D., Stanford, K., and Cheng. K.J. 2003.
Bloat in Cattle. Alberta Agri-culture and Rural Development
https://www1.agric.gov.ab.ca/$depart-ment/deptdocs.nsf/all/agdex6769.
McMahon, L. R., Majak, W., McAllister, T.A., Hall, J.W., Jones, G.A., Popp, J.D.,
and Cheng K. J. 1999. Effects of sainfoin on in vitro digestion of fresh
alfalfa and bloat in steers. Can. J. Anim. Sci.,79 (2), 203-212.
Munda, S., Pandey, R., Bhojne, G.R., Dakshinkar, N.P., Kinhekar, A.S., Kumar,
V., Ravikumar, R.K., and Kumar, V. 2016. Indigenous Knowledge
Research System [IKRS] for treatment of bloat and its significance
towards greenhouse gas emission: Jharkhand, India. Adv. Anim. Vet.
Sci., 4(5), 241-249.
Mombeni, E.G., M.B. Mousavi, I. Ranjbaran, Z. Chanani, M. Hoseini, A. Davoudi,
A.
Rahnama, N.S. Sedeh, and M.G. Mombeini. 2012. Prevention and treatment
of contagious ecthyma in sheep and goat by goat-pox vaccine in Khuzestan
Province, Iran. Bull.Env. Pharmacol. Life Sci. 1(12):69-72.
Meuten, D.J. 2002. Tumor in Domestic Animals. 4th Edition. A Blackwell
Publishing Commpany. Iowa State Press.
Momtaz H, Nejat S, Moazeni M, Riahi M. 2012. Molecular epidemiology of Bovine
Ephemeral Fever virus in cattle and buffaloes in Iran.Revue Méd
Vét.163:415- 418.
Nandi S, Negi BS. 1999. Bovine Ephemeral Fever: a review. comparative
immunology. Microbiol Infect Dis. 22:81-91.
Ozsoy,S.Y., Ozyildiz, Z., Guzel, M. 2011. Clinical, Pathological and
Immunohistochemical Findings of Bovine Cutaneous Papillomatosis.
Ankara Üniv Vet Fak Derg, 58, 161-165.
Pangty, K., Singh, S., Pandey, A.B and Somvansh, R. 2010. Preliminary Binary
Ethylenimine (BEI) Inactivated Bovine Papillomavirus (BPV) Vaccine
Trial Against Cutaneous Warts in Bull Calves. Braz J Vet Pathol, 3(2), 105-
110.

39
Radostits, O.M., Gay, C.C., Hinchclitt, K.W., and Constable, P.D. 2010. Veterinary
Medicine, a Text Book of the Disease of Cattle, Horses, Sheep, Goats, and
Pigs. (10th edn). New York : Elsevier, 1516-1579.
Sarwono, B. 2002. Beternak Kambing Unggul. Penebar Swadaya. Jakarta.
Scagliarini, A., S. Piovesana, F. Turrini, F. Savini, F. Sithole, and C.M.
McCrindle. 2012. Orf in South Africa: ‘Endemic but neglected’, J.Vet.Res.
79(1):499-507.
Subronto dan Tjahajati. 2008. Ilmu Penyakit Ternak III (Mamalia) Farmakologi
Veteriner: Farmakodinamik dan Farmakokinesis, Farmakologi Klinis.
Gadjah Mada University Press. Yoyakarta Indonesia.
SUPAR, KUSMIYATI dan M.B. POERWADIKARTA, 1998. Aplikasi vaksin
enterotoksigenik Echerichia coli (ETEC) K 99, F41 polivalen pada induk
sapi perah bunting dalam upaya pengendalian kolibasilosis dan kematian
pedet neonatal. JITV. 3:27-33.
Seddon, H.R. 1952 . Diseases of Domestic Animals In Australia. Part 3, Protozoan
and viral diseases, Catalogue, Canberra
Soedarto. 2003. Zoonosis Kedokteran. Surabaya (ID): Airlangga University Press
Soeharsono, Syafriati, T. dan Naipospos, T.S.P. 2010. Atlas Penyakit Hewan di
Indonesia. Udayana University Press.
Stacey, B.R, R.E. Williams, R.G. Buckner and J.A. Hair. 1978. Changes in weight
and blood composition of hereford and brahman steers in drylot and infeted
with adult gulf coast ticks. Journal Econ Entomol 71(6): 967- 970.
Sreeparvathy, M., Harish, C., and Anuraj, K.S. 2011. Autogenous Vaccination as
Treatment Method for Bovine Papillomatosis. India Journal of Livestock
Science 2:38-40.
Siregar.2007. Creeping Eruption dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi
Kelima. Penerbit Fakultas Kedokteran FKUI.
Sulistyaningsih, S. 2016. Studi kasus infestasi caplak Boophilus Microplus pada
sapi potong di Kota Banjarbaru. Prosiding. Seminar Nasional Inovasi
Teknologi Pertanian. Hal 1320- 1327.
Toelihere, M.R. 1985. Ilmu Kebidanan pada Ternak Sapi dan Kerbau. Penerbit
Universitas Indonesia (UI-Press). Jakarta.
Wardhani, S.A.B. 2015. Prevalensi Kejadian Prolapsus Uteri Pada Sapi Perah Di
Kabupaten Sleman.Skripsi. YOGYAKARTA : Fakultas Kedokteran
Hewan- UGM
World Health Organisation (WHO). 2016. Diarrhoea. (Online),
(http://www.who.int/topics/diarrhoea/en/), diakses 2 September 2016.
Wardhana, A. H. 2006. Chrysomya Bezziana Penyebab Myiasis
Myiasis pada Peristoma Trakeostomi pada Hewan dan Manusia:
Permasalahan dan Diseases 8th edition. Wartazoa. 2006; 16(3): 146- 3255-
3259. 159.
Wang, G., Y. Shang, Y. Wang, H. Tian, and X. Liu. 2013. Comparison of a Loop-
mediated isothermal amplification for orf virus with quantitative real-time
PCR. Virol.J. 10:138-143.
Wall, R. and D. Shearer. 2001. Veterinary Ectoparasites: Biology, Pathology, &
Control Second Edition. London.

40
Yeruham I, Braverman Y, Yadin H, Van-Ham M, Chai D, Tiomkin D, Frank D.
2002. Epidemiological investigations of outbreaks of Bovine Ephemeral
Fever in Israel. Vet Rec. 151:117-121.
Yeruham I, Van-Ham M, Bar D, Yadin H, Tiomkin D. 2003. Bovine Ephemeral
Fever in dairy cattle herds – economic aspects of 1999 outbreak in the
Jordan Valley. Vet Rec. 153:180-182.
Yeruham I, Van-Ham M, Stram Y, Friedgut O, Yadin H, Mumcuoglu KY,
Braverman Y. 2010. Epidemiological investigation of Bovine Ephemeral
Fever outbreaks in Israel.Res Vet Med Int. Volume 2010, Article ID
290541, 5 pages.Januari 2013.
Zheng FY, Qiu CQ. 2012. Phylogenetic relationships of the glycoprotein gene of
Bovine Ephemeral Fever virus.

41
LAMPIRAN
DAFTAR KASUS HARIAN MAGANG IV DAERAH DI PUSKESWAN KAJHU KECAMATAN
BAITUSSALAM
KABUPATEN ACEH BESAR PROVINSI ACEH

Terapi
No Tanggal Petugas Jenis Hewan Gejala/Kasus Keterangan

1 04 Februari
Penerimaan Mahasiswa Koas di Dinas Pertanian Jantho, Aceh Besar
2019

2 05 Februari
LIBUR TAHUN BARU IMLEK
2019

SIlaturahmi ke Rumah Pak Tarmizi, HS

3 06 Februari Sapi PKB Palpasi rektal


2019 Azhari,
Amd.Vet Biosan
Sapi Malnutrisi
Penstrep

4 Mukhlis Sapi Aceh Keracunan Makanan Vet Oxy SB

42
Ambruk Vetedril

Sulfidon

Gusanex

Calcidex

Dalmat

Pedet Sapi Ivomec


Penanganan Parasit
Aceh Biosan
07 Februari
Palpasi Rektal
2019 Sapi PKB & Sinkronisasi
Lutalyse

Gusanex
Sapi Kutil
Penstrep

Sapi Sinkronisasi Lutalyse

Sapi Sinkronisasi Lutalyse

Sapi Sinkronisasi Lutalyse

Pedet Miasis Gusanec

43
Penstrep

Diare
Collibact
Kambing Kurus
Biosan
Lemas
08 Februari
5 Hadista Penstrep
2019 Kambing Kurang nafsu makan
Biosan

Penstrep
Kambing Kurang nafsu makan
Biosan

Kambing Vet Oxy Sb

Glucortin
Iskandar, S.Pt Clamydia 18 Ekor
Salep
09 Februari Cloramphenicol
6
2019
B.complex
Kambing
Yusuf, S.Pt Bengkak di leher Glucortin

Penstrep

44
Ivomect
Kambing Orf
Biodin

10 Februari Sapi IB Straw Simental


7 Mukhlis
2019 Sapi IB Straw Simental

Flukicide
Sapi Cacingan
Biosan
Mukhlis
Sapi IB Straw Limosin
11 Februari
8
2019 Sapi IB Straw Brangus 2 Ekor

Pemberantasan Ivomec
Kambing parasite eksternal dan 5 ekor
internal Biosan

Azhari,
Straw Simental
Amd.Vet Sapi IB
12 Februari
9 Straw Brahman
2019

Yusuf, S.Pt Sapi IB Straw Simental

45
Kambing Ivomect
Scabies
Vit B-Complex

Ivomect
Scabies
Kambing Vit B-Complex
Luka
Gusanex

Vit B-Complex
Kambing Diare
Klosan

Sulfa strong
Hadista Diare
Kambing Flukucide
Lemas
Biosan
13 Februari
10 Penarikan Paksa
2019
Iskandar, S.Pt Inj. Biosan
Sapi Distokia
Penstrep

Gusanex

46
Pemberian air gula

Penstrep

Sapi Kurus Glucortin

Ivomect

Pedet Kurus Ivomec 2 ekor

Gusanex
Sapi Luka pada kaki

Ivomect
Sapi Kurus
Biosan

Pedet Bengkak pada leher Ivomect

Sapi IB Straw Angus


14 Februari Irwansyah
11 Straw Limosin
2019 Sapi IB 2 Ekor

15 Februari Mukhlis Straw Angus


12 Sapi IB
2019 Straw Simental

47
Pedet Kurang nafsu makan Biosan

Ivomect
Pedet Kurus
Biosan

Klosan
Anjing Cacingan 2 Ekor
Vit B-Complex

Sapi IB Straw Simental

Ivomect
Kambing Scabies 4 Ekor
Vit B-Complex

Gusanex
16 Februari
13 Yusuf, S.Pt Kambing Luka Penstrep
2019
Vit B-Complex

Pemberian obat
Sapi Verm O
cacing

Sapi Check Up

48
17 Februari
14 LIBUR HARI MINGGU
2019

Lutalis
Sapi Sinkronisasi Cofa-Vit( Vit 5 ekor sapi
AD3E)
18 Februari
15 Iskandar Pemberian obat
2019 Pedet Fluckicide 2 Ekor
cacing

Ivomect
Pedet Kurus
Biosan

Ivomec
Irwansyah Kambing Orf 9 ekor
Biosan

Vetredil
19 Februari
16 Kambing Keracunan makanan Sulpidon
2019
Fauzan Biosan

Sulpidon
Kambing Demam
Biosan

49
Biosan

Sapi Baru melahirkan Fluckicide

Vet oxy

Vet Oxy
Sapi Kencing Berdarah
Biosan

Kurus Ivonect
Sapi
Anoreksia Biosan

Tympani

Sapi IB Straw Limosin

Capriject ADE
Sapi Bentol-Bentol di leher
Ivomect

Yusuf, S.Pt Sapi IB Straw Limosin

Sapi IB Straw Simental

Vetedril
Kambing Demam
Sulpidon

50
Penstrep

Sapi IB Straw Simental

Straw Simental dan


Sapi IB
Sapi Aceh
Iskandar
Sapi IB Straw Limosin

Sapi IB Straw Brangus

Sapi IB Straw Limosin


20 Februari Ivomect
17
2019 Kambing Orf
Vit B-Complex

Sapi IB Straw Simental

Yusuf, S.Pt Klosan


Sapi Lesu
Glucortin

Klosan
Kambing Diare 3 Ekor
Vit B-Complex

51
Kambing Ivomect
Diare
Anakan Vit B-Complex

Ivomect
Kambing Kurus
Vit B-Complex

Penarikan Plasenta

Inj. Vet oxy


Fauzan Kambing Abortus
Biosan

Gusanex

Vet Oxy
21 Februari Sapi Darah dari Anus
18 Sulfa Strong
2019
Kambing Kastrasi tertutup Vet Oxy LA

Irwansyah Ivomect
Kambing Kurus
Biosan

Calcidex
Sapi Ambruk
Biosan

52
Penstrep
Sapi Vulva keluar darah
Biosan

Intermectin
Sapi
Biosan

Colibact
Kambing Mencret
Vet Oxy LA

Pemberian obat Fluckicide


Sapi
cacing Biosan

Colibact
Pedet Mencret
Biosan

Biosan
Anoreksia
Kambing Intermectin 2 Ekor
Kurap
Vet Oxy

Ivomect
Sapi Kutil
Biosan

53
Salep

22 Februari Intermectin
19 Irwansyah Sapi Kurus
2019 Biosan

Sapi IB Straw Simental

23 Februari Vet Oxy LA


20 Irwansyah Sapi Chlamydiasis
2019 Glucortin

Kambing Scabiosis Ivomec

Penarikan Pedet

Sapi Distokia Biosan

Vet Oxy
24 Februari
21 Irwansyah Sapi IB Straw Simental
2019
Biosan
Kambing Cacingan
Intermectin

Sapi IB Straw Limosin 2 Ekor

23 Irwansyah, S. Pt Sapi IB Straw Simental

54
Sapi IB Straw Limosin

Gusanex
25 Februari Sapi Luka Bacok
Vet Oxy
2019
Sapi IB Straw Limosin

Vet Oxy
Kambing Kastrasi terbuka 7 Ekor
26 Februari Biosan
24 Fauzan
2019 Ivomect
Sapi Cacingan
Biosan

Vet Oxy LA
Sapi Diare
27 Februari Biosan
25 Irwansyah, S. Pt
2019 Ivomec
Kambing Kurus 3 Ekor
Biosan

28 Februari Diskusi Bersama di Puskeswan


26
2019 Irwansyah, S. Pt Kambing Diskusi Pemberian Obat

55
Sapi IB Straw Simental

Sapi Luka berlalat Butox

Kambing Kastrasi tertutup Vet Oxy LA

Pemberian obat
Kambing Verm O
cacing

Glucortin
Keluar darah dari
Sapi Biosan
vulva
27 1 Maret 2019 Irwansyah, S. Pt Vet Oxy LA

Vet Oxy LA
Pedet Diare
Biosan

Ivomec
Sapi Kurus
Biosan

28 3 Maret Mukhlis Anjing Vaksinasi Rabies Rabivet Supra 92 10 ekor

Seluruh petugas ke
29 4 Maret Menyelesaikan Laporan Magang Daerah Dinas Pertanian,
Jantho

56
LAMPIRAN GAMBAR

Pemberian vaksin rabies didampingi oleh dokter taufik dan bapak


mukhlis

Pemerian vitamin pada pedet didampingi oleh bapak Penangana retensio secundine bersama bapak fauzan
iskanda
57
Penanganan penyakit orf oleh
bapak irwansyah

58
42

Anda mungkin juga menyukai