Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN KASUS: SCABIES DAN DERMATOFITOSIS PADA KUCING

DOMESTIC

Haninditya Istiqomah R. S.1, Yanuartono2


1
Mahasiswa Pendidikan Profesi Dokter Hewan
2
Dosen Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada
Jalan Fauna No. 2, Karangmalang, Yogyakarta 55281
Email: yanuartono20@yahoo.com

ABSTRAK

Pada tanggal 12 September 2019, dilakukan pemeriksaan terhadap kucing


domestik bernama Epin berjenis kelamin betina, umur 8 bulan, dengan berat
badan 1,9 kg. Hasil anamnesa yang didapatkan dari pemilik yaitu sudah 3 bulan
kucing mengalami penebalan kulit pada keempat kaki dan terdapat beberapa
bagian kulit yang mengalami kerontokan rambut (bagian leher dan kaki), sudah
pernah diobati dengan obat salep yang dibeli dari pet shop namun keadaannya
belum membaik. Nafsu makan dan minumnya sangat baik, tidak mengalami
muntah, dan tidak diare. Kucing Epin belum pernah diberikan obat cacing, serta
belum divaksinasi. Hasil pemeriksaan menunjukkan adanya krusta pada keempat
kaki serta adanya alopecia pada keempat kaki dan leher. Pemeriksaan laboratoris
menggunakan kerokan kulit kaki ditemukan adanya ektoparasit Sarcoptes sp. dan
pemeriksaan strip tape test pada leher ditemukan adanya hifa dermatofit. Hasil
pemeriksaan darah pada 12 September 2019 menunjukkan adanya monositosis
dan eosinofilia. Berdasarkan dari anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
laboratoris kucing Epin didiagnosa scabies dan dermatofitosis dengan prognosa
fausta. Terapi yang diberikan yaitu injeksi ivermectin 0,038 cc secara subkutan,
injeksi vetedryl 1% sebanyak 1,9 cc secara intramuskular, serta ketokonazole 2%
cream secara topikal diolekan pada bagian leher. Pada tanggal 17 September 2019
kucing Epin diberikan injeksi Vitol ADE 0,5 cc secara intramuskular untuk
pertumbuhan rambut dan pemeliharaan kulit. Pemeriksaan fisik dan laboratoris
dilakukan kembali pada tanggal 19 September 2019, hasil pemeriksaan kucing
Epin belum mengalami adanya pengelupasan krusta pada kaki kanan dan kiri
depan, serta alopecia pada leher sudah tidak ada. Pemeriksaan laboratorium
menggunakan metode skin scraping yang diambil dari kerokan kulit kaki kanan
dan kiri depan kucing Epin, masih terdapat infestasi Sarcoptes sp. Selain itu,
dilakukan juga strip tape test pada bagian leher dan setelah diperiksa di
laboratorium, tidak ditemukan lagi adanya hifa dermatofit. Selanjutnya, diberikan
ivermectin sebanyak 0,042 cc (terdapat kenaikan volume dari sebelumnya karena
kucing Epin mengalami kenaikan berat badan) secara subkutan dan vetedryl 1%
0,21 cc secara intramuskular. Pada tanggal 3 Oktober 2019 kucing Epin tidak
diberikan pengobatan lagi karena sudah dalam keadaan sehat.
Kata kunci: dermatofitosis, ektoparasit, kucing, scabies.

ABSTRACT

On September 12, 2019, a domestic cat named Epin was examined, 8


months old, weighing 1.9 kg. The results obtained from the owner of anamnesa
that is already 3 months the cat has thickening of the skin on all four legs and
there are some parts of the skin experiencing hair loss (the neck and legs), have
been treated with ointments purchased from pet shops but the situation has not
improved. It has very good appetite and drinking, no vomiting, and no diarrhea.
Epin cats have never been given worm medicine, and have not been vaccinated.
The examination results showed the presence of crusting on all four legs and the
presence of alopecia on all four legs and neck. Laboratory examination using foot
skin scrapings found the presence of ectoparasites Sarcoptes sp. and examination
of the strip tape test on the neck found dermatophyte hyphae. The results of blood
tests on 12 September 2019 showed the presence of monocytosis and eosinophilia.
Based on the history, physical examination, and laboratory examination Epin was
diagnosed with scabies and dermatophytosis with the prognosis of fausta.
Therapeutics given are ivermectin 0.038 cc injection subcutaneously, 1 cc
injection of vetedryl as much as 1.9 cc intramuscularly, and ketoconazole 2%
cream topically are applied to the neck. On September 17, 2019 Epin cats were
given intramuscular injection of Vitol ADE 0.5 cc for hair growth and skin
maintenance. Physical and laboratory examination was carried out again on
September 19, 2019, the results of the Epin cat examination had not experienced
any crusting peels on the right and left front legs, and alopecia on the neck was
gone. Laboratory examination using the skin scraping method taken from the skin
scrapings of the right and left front legs of the Epin cat, there is still Sarcoptes sp.
In addition, a strip tape test was also performed on the neck and after being
examined in a laboratory, no dermatophyte hyphae were found. Furthermore,
ivermectin was given as much as 0.042 cc (there was an increase in volume from
before because Epin cats gained weight) subcutaneously and vetedryl 1% 0.21 cc
intramuscularly. On 3 October 2019 Epin cats were given no further treatment
because it was already in good health.
Keywords: dermatophytosis, ectoparasites, cats, scabies.
PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara tropis dengan tingkat kelembaban yang

tinggi. Daerah dengan tingkat kelembaban yang tinggi dapat menjadi salah satu

faktor banyaknya penyakit kulit yang dapat menyerang hewan kesayangan, seperti

ektoparasit. Scabies merupakan penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi

Sarcoptes scabiei. Penyakit scabies biasanya menyerang mamalia yang ditandai

dengan gejala awal, seperti: pruritus, erythema, dan kerontokan rambut (alopecia)

yang dapat melanjut menjadi penebalan, terdapat krusta yang bisa disertai eksudat

(Wall dan Shearer, 2011).

Sarcoptes scabiei termasuk dalam keluarga Sarcoptidae, berbentuk bulat

atau oval, tungau betina (panjang 300-600 µm, lebar 250-400 µm) berukuran lebih

besar dari pada jantan (panjang 200-300 µm, lebar 100-200 µm). Stadium dewasa

memiliki 4 pasang kaki yang pendek (2 pasang kaki depan dan 2 pasang kaki

belakang) (Taylor et al., 2007).

Transmisi awal tungau ini terjadi lewat kontak langsung dari hewan yang

terinfeksi. Transmisi juga dapat terjadi tanpa kontak langsung karena Sarcoptes

scabiei dapat bertahan hidup di lingkungan luar tubuh inang (Pence dan

Ueckerman, 2002).

Sarcoptes sp. dapat menembus kulit dalam waktu 30 menit. Tungau jantan

dan betina ini melakukan mating di atas permukaan kulit, kemudian tungau betina

yang sudah fertilisasi akan menembus menembus lapisan epidermis dan membuat

semacam terowongan pada lapisan luar kulit 2-3 mm per hari, serta bertelur di

dalam terowongan. Telur akan menetas dalam beberapa hari dan moulting menjadi
larva berkaki 6 kemudian menjadi nimfa berkaki 8 hingga melanjut ke luar

permukaan kulit sebagai tungau dewasa. Siklus hidup tungau Sarcoptes sp.

berlangsung sekitar 14-21 hari tergantung pada kondisi lingkungan. Diagosa dapat

dilakukan dengan cara mengambil sampel kerokan kulit (skin scraping) kemudian

diperiksa menggunakan mikroskop (Gunandini, 2006; Foster dan Foil, 2003).

Dermatofitosis merupakan infeksi fungal pada daerah rambut dan lapisan

yang terkeratinisasi dari epidermis yang disebabkan oleh fungal kompleks yang

tumbuh menjadi hifa dan membentuk miselium, fungal keratinofilik, dan

keratinolitik yang mampu memecah keratin di jaringan seperti epidermis, rambut,

kuku, bulu, dan tanduk seperti jamur dari genus Microsporum, Trichophyton, dan

Epidermophyton. Fungi penyebab dermatofitosis kecuali Microsporum gypseum

menghasilkan enzim proteolitik dan keratolitik yang membuat organisme ini dapat

memanfaatkan keratin sebagai sumber nutrisi utama. Dermatofit menghasilkan

artrospora yang sangat resisten dan dapat bertahan di lingkungan kering selama 12

bulan atau lebih. Di lingkungan yang basah dan pada temperatur tinggi, artrospora

mudah mati. Artrospora menempel sangat kuat pada keratin (Anonim, 2013;

Frymus et al., 2013). Dermatofitosis sangat menular namun bukan merupakan

penyakit yang mengancam nyawa hospes, dapat ditangani dan disembuhkan, serta

bersifat zoonosis. Penyakit ini bersifat endemik pada banyak negara yang

menyerang hewan kesayangan (kucing, anjing), hewan domestic, dan juga hewan

laboratorik (Debnath et al., 2015). Diagnosa dapat dilakukan dengan cara

mengkombinasikan antara anamnesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan

menggunakan Wood’s lamp, pemeriksaan flouresen rambut secara langsung serta


kultur jamur. Pemeriksaan menggunakan Wood’s lamp menunjukkan haya 50%

dari strain Microsporum canis yang berpendar, 50% strain lain dan dermatofit lain

tidak berpendar ketika pemeriksaan Wood’s lamp dilakukan (Abdalla, 2018).


LAPORAN KASUS

Anamnesa dan Sinyalemen

Seekor kucing domestik, betina, umur 8 bulan bernama Epin diperiksa di

Klinik Hewan Kuningan Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran

Hewan Universitas Gadjah Mada pada tanggal 12 September 2019 dengan

keluhan sudah 3 bulan kucing mengalami penebalan kulit pada keempat kaki dan

terdapat beberapa bagian kulit yang mengalami alopecia (kaki dan leher), sudah

pernah diobati dengan obat salep yang dibeli dari pet shop namun keadaannya

belum membaik. Nafsu makan dan minumnya sangat baik, tidak mengalami

muntah, dan tidak diare.

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan Fisik pada 12 September 2019

Keadaan umum kucing Epin saat datang adalah waspada dan kondisi

tubuh sedang (berat badan 1,9 kg). Status praesens kucing Epin menunjukkan data

fisiologis, sebagai berikut: frekuensi napas 32x/menit, frekuensi pulsus

124x/menit, serta suhu tubuh 38,6°C. Pemeriksaan kulit dan rambut yaitu tidak

terdapat kerontokan rambut, adanya krusta pada keempat kaki, serta adanya

alopecia pada keempat kaki dan leher. Selaput lendir pada konjungtiva berwarna

pink pucat dan gingiva pun juga pink pucat. Pemeriksaan sistem pencernaan

dimulai dari mulut yang bersih dan bau pakan, palpasi pharynx dan larynx tidak

ada respon muntah, palpasi abdomen tidak ada rasa nyeri, gerak peristaltik usus

sedang, serta anus bersih. Pemeriksaan peredaran darah menunjukkan hasil CRT
(Capillary Refill Time) <2 detik, austkultasi jantung ritmis, serta sistole-diastole

dapat dibedakan. Pemeriksaan sistem pernapasan, meliputi: cermin hidung yang

lembab, auskultasi pulmo bronkhial, serta tipe pernapasan thoracoabdominal.

Pemeriksaan kelenjar-kelenjar limfe diperoleh hasil lgl. Retropharyngeal dexter

terdapat kebengkakan. Hasil pemeriksaan organ perkencingan dan kelamin yaitu

palpasi ginjal tidak ada kebengkakan maupun respon nyeri, palpasi vesica urinaria

terisi urin, serta vulva tidak mengalami perubahan warna maupun kebengkakan.

Pemeriksaan syaraf, meliputi: reflek pupil baik, reflek palpebrae baik, dan reflek

pedal baik. Anggota gerak pun tidak terdapat kepincangan.

Pemeriksaan Fisik pada 19 September 2019

Keadaan umum kucing Epin saat datang adalah waspada dan kondisi

tubuh sedang (berat badan 2,1 kg). Status praesens kucing Epin menunjukkan data

fisiologis, sebagai berikut: frekuensi napas 28x/menit, frekuensi pulsus

160x/menit, serta suhu tubuh 38,9°C. Pemeriksaan kulit dan rambut yaitu turgor

kulit cepat, tidak terdapat kerontokan rambut, belum adanya pengelupasan krusta

pada kaki kanan dan kiri depan, serta alopecia pada leher sudah tidak ada. Selaput

lendir pada konjungtiva berwarna pink pucat dan gingiva pun juga pink pucat.

Pemeriksaan sistem pencernaan dimulai dari mulut yang bersih dan bau pakan,

palpasi pharynx dan larynx tidak ada respon muntah, palpasi abdomen tidak ada

rasa nyeri, gerak peristaltik usus sedang, serta anus bersih. Pemeriksaan peredaran

darah menunjukkan hasil CRT (Capillary Refill Time) <2 detik, austkultasi

jantung ritmis, serta sistole-diastole dapat dibedakan. Pemeriksaan sistem

pernapasan, meliputi: cermin hidung yang lembab, auskultasi pulmo bronkhial,


serta tipe pernapasan thoracoabdominal. Pemeriksaan kelenjar-kelenjar limfe

diperoleh hasil lgl. superficial tidak terdapat kebengkakan maupun respon nyeri.

Hasil pemeriksaan organ perkencingan dan kelamin yaitu palpasi ginjal tidak ada

kebengkakan maupun respon nyeri, palpasi vesica urinaria terisi urin, serta vulva

tidak mengalami perubahan warna maupun kebengkakan. Pemeriksaan syaraf,

meliputi: reflek pupil baik, reflek palpebrae baik, dan reflek pedal baik. Anggota

gerak pun tidak terdapat kepincangan.

Pemeriksaan Fisik pada 3 Oktober 2019

Keadaan umum kucing Epin saat datang adalah waspada dan kondisi

tubuh sedang (berat badan 2,3 kg). Status praesens kucing Epin menunjukkan data

fisiologis, sebagai berikut: frekuensi napas 32x/menit, frekuensi pulsus

132x/menit, serta suhu tubuh 38,9°C. Pemeriksaan kulit dan rambut yaitu turgor

kulit cepat, tidak terdapat kerontokan rambut, serta sudah tidak ada krusta pada

keempat kaki. Selaput lendir pada konjungtiva berwarna pink pucat dan gingiva

pun juga pink pucat. Pemeriksaan sistem pencernaan dimulai dari mulut yang

bersih dan bau pakan, palpasi pharynx dan larynx tidak ada respon muntah,

palpasi abdomen tidak ada rasa nyeri, gerak peristaltik usus sedang, serta anus

bersih. Pemeriksaan peredaran darah menunjukkan hasil CRT (Capillary Refill

Time) <2 detik, austkultasi jantung ritmis, serta sistole-diastole dapat dibedakan.

Pemeriksaan sistem pernapasan, meliputi: cermin hidung yang lembab, auskultasi

pulmo bronkhial, serta tipe pernapasan thoracoabdominal. Pemeriksaan kelenjar-

kelenjar limfe diperoleh hasil lgl. superficial tidak terdapat kebengkakan maupun

respon nyeri. Hasil pemeriksaan organ perkencingan dan kelamin yaitu palpasi
ginjal tidak ada kebengkakan maupun respon nyeri, palpasi vesica urinaria terisi

urin, serta vulva tidak mengalami perubahan warna maupun kebengkakan.

Pemeriksaan syaraf, meliputi: reflek pupil baik, reflek palpebrae baik, dan reflek

pedal baik. Anggota gerak pun tidak terdapat kepincangan.

Pemeriksaan Laboratorik

Pemeriksaan Kerokan Kulit dan Strip Tape Test

Pemeriksaan kerokan kulit (skin scraping) dan strip tape test dilakukan di

Laboratorium Klinik Hewan Kuningan Departemen Ilmu Penyakit Dalam,

Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada. Sampel kerokan kulit

diperoleh dari keropeng pada bagian kaki, kemudian sampel diberikan KOH dan

diamati di bawah mikroskop. Hasil pemeriksaan kerokan kulit pada tanggal 12

dan 19 September 2019 ditemukan adanya ektoparasit Sarcoptes sp (Gambar 1),

serta pada tanggal 3 Oktober 2019 tidak ditemukan adanya ektoparasit.

Pemeriksaan strip tape test diperoleh dengan cara menempelkan selotip bening

ke bagian leher yang mengalami alopesia dan berpendar saat diperiksa dengan

woodlamp. Sampel kemudian diberikan methylene blue dan diamati di bawah

mikroskop. Hasil pemeriksaan secara mikroskopis didapatkan adanya hifa

dermatofit (Gambar 2).


Gambar 1. Pemeriksaan kerokan kulit pada tanggal 12 September 2019 (kiri) dan
19 September 2019 (kanan) ditemukan Sarcoptes sp.

Gambar 2. Pemeriksaan Strip Tape Test yang sudah ditambahkan methylene blue
pada tanggal 12 September 2019 ditemukan adanya hifa dermatofit.
Pemeriksaan Hematologi

Pemeriksaan darah rutin dilakukan pada awal sebelum diberikan terapi

yaitu tanggal 12 September 2019 serta setelah pengobatan akhir tanggal 3 Oktober

2019. Hasil pemeriksaan darah rutin pada Kucing Epin dapat dilihat pada tabel 1.

12 September 2019 3 Oktober 2019


Parameter Satuan Standar
Hasil Keterangan Hasil Keterangan

23.0 -
Hematokrit % 35 N 36 N
45.0*
9.0-
Hemoglobin g/dL 11.6 N 12.0 N
15.0*
Eritrosit 106/µL 5.0- 7.36 N 8.6 N
10.0*
Protein total g/dL 6 – 8* 7.0 N 7.4 N
100-
Fibrinogen mg/dL 200 N 200 N
400**
5.500-
Leukosit sel/µL 18.150 N 7.050 N
19.500*
2.500-
Neutrofil sel/µL 10.890 N 3.384 N
12.500
900-
Limfosit sel/µL 2.904 N 3.031,5 N
5.500**
Monosit sel/µL 0-850 1.270,5 Meningkat 634,5 N
Eosinofil sel/µL 0-1.500 3.085 Meningkat 0 N
Basofil sel/µL Rare 0 N 0 N
Referensi: *Schalm’s Veterinary Hematology (Weiss dan Weirdrop, 2011).
** Veterinary Hematology: A Diagnostic Guide and Color Atlas
(Harvey, 2011).
Hasil pemeriksaan hematologi awal pada tanggal 12 September 2019

menunjukkan bahwa kucing Epin mengalami monositosis dan eosinophilia.

Pemeriksaan hematologi kedua pada tanggal 3 Oktober 2019 didapatkan hasil

kucing dalam keadaan sehat (semua pemeriksaan darah menunujukkan hasil

normal).

Diagnosa dan Prognosa

Berdasarkan dari hasil anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan

laboratoris (kerokan kulit) kucing Epin terinfestasi ekotoparasit Sarcoptes sp

(scabies) dan dermatofitosis dengan prognosa fausta.

Pengobatan

Penanganan awal yang diberikan untuk kucing Epin yaitu diberikan injeksi

Ivermectin sebanyak 0,038 cc secara subkutan, vetedryl 1% sebanyak 0,19 cc


secara intramuskular, serta ketokonazole 2% cream secara topikal dioleskan pada

bagian leher. Pada tanggal 17 September 2019 kucing Epin diberikan injeksi Vitol

ADE 0,5 cc secara intramuskular untuk pertumbuhan rambut dan pemeliharaan

kulit. Selanjutnya, dilakukan pengulangan injeksi pada tanggal 19 September

2019 diberikan ivermectin sebanyak 0,042 cc (terdapat kenaikan volume dari

sebelumnya karena kucing Epin mengalami kenaikan berat badan) secara

subkutan dan vetedryl 1% 0,21 cc secara intramuskular. Pada tanggal 3 Oktober

2019 kucing Epin tidak diberikan pengobatan lagi karena sudah dalam keadaan

sehat.
PEMBAHASAN

Kasus Sebelum Diberikan Terapi

Kucing Epin merupakan seekor kucing domestik, betina, umur 8 bulan

bernama Epin diperiksa di Klinik Hewan Kuningan Departemen Ilmu Penyakit

Dalam, Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada pada tanggal 12

September 2019 dengan keluhan sudah 3 bulan kucing mengalami penebalan kulit

pada keempat kaki dan terdapat beberapa bagian kulit yang mengalami

kerontokan rambut (alopecia pada bagian kaki dan leher), sudah pernah diobati

dengan obat salep yang dibeli dari pet shop namun keadaannya belum membaik.

Sampel kerokan kulit dari krusta tersebut kemudian diperiksa di laboratorium

menggunakan mikroskop. Hasil pemeriksaan kerokan kulit menunjukkan adanya

ektoparasit tungau Sarcoptes sp. dengan bentuk bulat dan kakinya pendek.

Menurut Taylor et al. (2007), Sarcoptes scabiei termasuk dalam keluarga

Sarcoptidae, berbentuk bulat atau oval, tungau betina (panjang 300-600 µm, lebar

250-400 µm) berukuran lebih besar dari pada jantan (panjang 200-300 µm, lebar

100-200 µm). Stadium dewasa memiliki 4 pasang kaki yang pendek (2 pasang

kaki depan dan 2 pasang kaki belakang). Scabies biasanya menyerang mamalia

yang ditandai dengan gejala awal, seperti: pruritus, erythema, dan kerontokan

rambut (alopecia) yang dapat melanjut menjadi penebalan, terdapat krusta yang

bisa disertai eksudat (Wall dan Shearer, 2011).

Transmisi awal tungau ini terjadi lewat kontak langsung dari hewan yang

terinfeksi. Transmisi juga dapat terjadi tanpa kontak langsung karena Sarcoptes

scabiei dapat bertahan hidup di lingkungan luar tubuh inang (Pence dan
Ueckerman, 2002). Siklus hidup tungau Sarcoptes sp. berlangsung sekitar 14-21

hari tergantung pada kondisi lingkungan. Diagosa dapat dilakukan dengan cara

mengambil sampel kerokan kulit (skin scraping) kemudian diperiksa

menggunakan mikroskop (Gunandini, 2006; Foster dan Foil, 2003).

Pemeriksaan strip tape test pada tanggal 12 September 2019 diperoleh

dengan cara menempelkan selotip bening ke bagian leher yang mengalami

alopesia dan berpendar saat diperiksa dengan woodlamp. Sampel kemudian

diberikan methylene blue dan diamati di bawah mikroskop. Hasil pemeriksaan

menunjukkan adanya hifa dermatofit (dermatofitosis). Kultur sampel jamur tidak

dilakukan karena media SDA (Sabouraoud Dextrouse Agar) sedang tidak tersedia.

Dermatofitosis merupakan infeksi fungal pada daerah rambut dan lapisan yang

terkeratinisasi dari epidermis yang disebabkan oleh fungal kompleks yang tumbuh

menjadi hifa dan membentuk miselium, fungal keratinofilik dan keratinolitik yang

mampu memecah keratin di jaringan seperti epidermis, rambut, kuku, bulu, dan

tanduk seperti jamur dari genus Microsporum, Trichophyton, dan

Epidermophyton. Dermatofit menghasilkan artrospora yang sangat resisten dan

dapat bertahan di lingkungan kering selama 12 bulan atau lebih. Di lingkungan

yang basah dan pada temperatur tinggi, artrospora mudah mati. Artrospora

menempel sangat kuat pada keratin (Anonim, 2013; Frymus et al., 2013).

Pemeriksaan hematologi dilakukan pada tanggal 12 September 2019

terhadap kucing Epin. Hasil pemeriksaan darah rutin menunjukkan bahwa kucing

Epin mengalami monositosis dan eosinophilia. Menurut Schalm (2010),

monositosis merupakan kondisi di mana jumlah monosit tinggi di dalam sirkulasi


darah di atas nilai interval normal. Monositosis bisa terjadi sebagai respons

terhadap peradangan. Kondisi monositosis disebabkan karena meningkatnya

produksi di dalam sumsum tulang (karena tidak ada cadangan monosit di dalam

sumsum tulang), baik pada infeksi akut maupun kronis. Peningkatan jumlah

eosinofil di dalam sirkulasi darah di atas nilai interval normal disebut sebagai

eosinofilia. Eosinofilia bisa terjadi karena meningkatnya produksi dalam sumsum

tulang, meningkatnya pelepasan cadangan dari sumsum tulang, redistribusi sel-

sel dari pool marginal, daya hidup intravaskuler diperpanjang. Beberapa kausa

eosinofilia di antaranya adalah penyakit parasitik (ektoparasit, endoparasit) dan

respons alergik (alergen). Pada kasus ini eosinofilia terjadi karena adanya infestasi

ektoparasit (Sarcoptes sp.) Eosinofil akan meningkat karena fungsi dari eosinofil

adalah untuk merusak parasit (Weiss dan Wardrop, 2010).

Perkembangan Kasus Setelah Diberikan Terapi

Perkembangan kasus kucing Epin diamati selama 15 hari terhitung setelah

pengobatan pertama diberikan. Kucing Epin mengalami perubahan yang baik dari

hari ke hari. Pengobatan selanjutnya diberikan pada 17 September 2019 dengan

injeksi Vitol ADE sebanyak 0,5 cc secara intramuskular. Pada 19 September 2019

dilakukan pemeriksaan fisik dan laboratorium guna mengetahui perkembangan

kasus kucing Epin. Menurut hasil pemeriksaan fisik, kucing Epin belum

mengalami adanya pengelupasan krusta pada kaki kanan dan kiri depan, serta

alopecia pada leher sudah tidak ada. Pemeriksaan laboratorium menggunakan

metode skin scraping yang diambil dari kerokan kulit kaki kanan dan kiri depan

kucing Epin, masih terdapat infestasi Sarcoptes sp. Selain itu, dilakukan juga strip
tape test pada bagian leher dan setelah diperiksa di laboratorium, tidak ditemukan

lagi adanya hifa dermatofit. Kucing Epin pun diberikan pengulangan injeksi

ivermectin sebanyak 0,042 cc (terdapat kenaikan volume dari sebelumnya karena

kucing Epin mengalami kenaikan berat badan) secara subkutan dan vetedryl 1%

0,21 cc secara intramuskular. Pada tanggal 3 Oktober 2019 kucing Epin tidak

diberikan pengobatan lagi karena sudah dalam keadaan sehat serta mengalami

kenaikan berat badan menjadi 2,3 kg.

Ivermectin 1% diberikan sebagai terapi kausatif terhadap scabies.

Ivermectin menyebabkan pelepasan gamma amino butyric acid (GABA) pada

neuron presinaps. GABA berperan sebagai inhibitor neurotransmiter dan

memblokir rangsangan post-sinaps pada serat otot di artropoda. Pelepasan GABA

menyebabkan paralisis dan kematian artropoda. (Plumb, 2008).

Pemberian veterdryl 1% yang memiliki kandungan diphenhidramin HCl

yang merupakan inhibitor histamin pada reseptor H1, akan bekerja sebagai

sedativa substansial, antikolinergik, antitusif, dan efek antiemetik. Dipenhidramin

HCl digunakan untuk terapi infeksi yang menimbulkan efek antihistamin.

Dipenhidramin HCl akan berkompetisi dengan histamin bebas untuk mengikat di

reseptor H1 sehingga terjadi pengurangan gejala negatif yang ditimbulkan oleh

histamin H-receptor binding (Plumb, 2008).

Vitol ADE terdiri dari vitamin A (retinol-propionate) 80.000 IU, vitamin

D3 (cholecalciferol) 40.000 IU, dan vitamin E (a-tocopherol acetate) 20 mg. Vitol

ADE digunakan untuk pemingkatkan pertumbuhan dan kekebalan tubuh terhadap


penyakit, serta untuk membantu pertumbuhan atau regenerasi kulit pasca sakit.

Vitamin A terlibat dalam proses pembentukan dan menjaga fungsi jaringan epitel

dan membran mukosa serta sangat penting untuk kesuburan dan penglihatan

normal. Vitamin D3 mengatur metabolisme kalsium dan fosfor dalam darah dan

mengatur absorbsinya dari usus. Pada hewan muda dan dalam masa pertumbuhan,

vitamin D3 berperan dalam pembentukan tulang dan gigi. Vitamin E adalah

antioksidan intraseluler, berperan dalam menjaga stabilitas membran sel dari

oksidasi lemak tak jenuh serta menghambat terjadinya keracunan peroksida

lemak. Vitamin E juga berperan dalam meningkatkan respon kekebalan tubuh

terhadap penyakit dan meningkatkan fertilitas hewan. Kandungan antioksidan

yang terdapat pada vitamin E dapat melancarkan sirkulasi darah ke semua bagian

yang ada hingga ke kulit, kulit rambut yang sehat dapat memperbaiki

pertumbuhan rambut menjadi lebat dan sehat. Selain memperbaiki jaringan dan

struktur rambut, vitamin E juga dapat memperbaiki jaringan kulit (Anonim,

2018).

Ketokonazole 2% cream merupakan obat untuk mengatasi infeksi jamur

pada kulit, seperti: Infeksi dermatofitosis, Candidiasis kutaneus, dan Candidiasis

vulvovaginalis. berfungsi menghambat sintesis dari ergosterol yang merupakan

komponen terbanyak dari membran sel fungi sehingga mengganggu fungsi barier

membran (Mueller, 2008).

Pemeriksaan fisik kembali dilakukan pada 3 Oktober 2019 guna

meyakinkan bahwa kucing Epin sudah benar-benar sembuh. Hasil pemeriksaan

fisik menunjukkan bahwa tidak ada abnormalitas atau perubahan buruk pada
kucing Epin. Skin scrapping pun kembali dilakukan dan didapatkan hasil negatif

dari infestasi Sarcoptes sp. Hasil pemeriksaan darah pun menunjukkan bahwa

tidak terdapat abnormalitas pada hasil pemeriksaan darh rutin. Sehingga, dapat

dikatakan bahwa kucing Epin dalam keadaan sehat.

Perkembangan kesehatan fisik kucing Epin yang diamati setelah

pengobatan, dijabarkan dalam tabel 2.

No. Waktu Gambar Keterangan

Terdapat krusta pada


12 September keempat kaki serta
1.
2019 alopecia pada bagian
kaki dan leher.

Terdapat pengelupasan
15 September
2. jaringan pada kaki
2019
kanan belakang.
Tedapat pengelupasan
17 September
3. jaringan pada kaki kiri
2019
belakang.
Belum terdapat
pengelupasan jaringan
19 September pada kaki kanan dan
4.
2019 kiri depan, serta
bagian leher sudah
ditumbuhi rambut.

Terdapat pengelupasan
jaringan pada kaki
24 September
5. kanan depan dan
2019
bagian kaki sudah
ditumbuhi rambut.

Mulai terdapat
25 September
6. pengelupasan jaringan
2019
pada kaki kiri depan.
Sudah tidak terdapat
27 September lagi penebalan
7.
2019 jaringan pada keempat
kaki.

Kucing Epin sudah


8. 3 Oktober 2019
bebas dari scabies.
KESIMPULAN, SARAN, DAN UCAPAN TERIMA KASIH

Kesimpulan

Berdasarkan dari hasil anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan

laboratoris (kerokan kulit) kucing Epin terinfestasi ekotoparasit Sarcoptes sp

(scabies) dengan prognosa fausta. Kucing Epin diberikan terapi dengan injeksi

ivermectin secara subkutan, injeksi vetedryl 1% secra intramuskular,

ketokonazole 2% cream secara topikal dioleskan pada bagian leher, dan injeksi

vitol ADE secara intramuskular.

Saran

Saran yang dapat diberikan untuk kasus kucing Epin pada pemiliknya

adalah selalu menjaga kebersihan kandang dan lingkungan, memisahkan dari

kucing lain, serta tidak membiarkan kucing Epin main di sembarang tempat agar

terbebas dari ektoparasit, serta melakukan pemeriksaan hewan secara berkala.

Ucapan Terima Kasih

Terima kasih kepada Dr. drh. Yanuartono, M. P. selaku dosen

pembimbing, teman-teman yang senantiasa secara suka rela membantu saya, serta

Klinik Hewan Dapartemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Hewan

UGM dan semua pihak yang membantu dalam pemeriksaan kasus ini.
DAFTAR PUSTAKA

Abdalla, W.G. 2018. An Over View of Feline Dermatophytosis. South Asian


Journal of Research in Microbiology Volume 1(4), halaman 1-14.
Anonim. 2013. Dermatophytosis. Iowa: Iowa State University.
Anonim, 2018. Vitol ADE 140. https://www.indonetwork.co.id/product/vitol-140-
vitamin-kesuburan-untuk-hewan-5310793. Diakses pada tanggal 10
Oktober 2019 pukul 8:07 PM.
Debnath, C., Mitra, K., Kumar, A., Samanta, L. 2015. Detection of
dermatophytosis in healty companion dogs and cats in eastern India.
Iranian Journal of Veterinary Research, Shiraz University.
Foster, A. P., dan Foil, C. S. 2003. British Small Animal Veterinary Association.
Manual of Small Animal Dermatology. Second Edition. England:
BSAVA.
Frymus et al. 2013. Dermatophytosis in Cats : ABCD Guidelines on Prevention.
Journal of Feline Medicine and Surgery. vol 15,page 598-604.
Gunadini, D. J. 2006. Tungau dalam Hama Pemukiman Indonesia: Pengenalan
Biologi dan Pengendalian Tungau. Bogor: Unit Kajian Pengendalian
Hama IPB.
Mueller, R. S. 2008. Topical Dermatological Therapy. Small Animal Clinical
Pharmacology. Page 246-556.
Pence, D. B., dan Ueckermann, E. 2002. Sarcoptic Mange in Wildlife. Rev Sci
Tech Int Epic, 21: 385-398.
Plumb, D. C 2008. Plumb’s Veterinary Drug Handbook Sixth Edition. Blackwell
Publishing: USA. Hal 14-15.
Taylor, M. A., Coop, R. L., dan Wall, R. L. 2007. Veterinary Parasitology.
Oxford: Blackwell.
Wall, R dan Shearer, D. 2001. Veterinary Ectoparasites Biology, Pathology &
Control, Second Edition. London: Blackwell Science.
Weiss, D. J. dan Wardrop, K. J. 2010. Schalm’s Veterinary Hematology 6th
Edition.USA : Wiley-Blackwell.

Anda mungkin juga menyukai