Divisi Parasitologi
Gregorius Agung Satria Wicaksana
062113143009
EIMERIA
A. PENDAHULUAN
Dalam memenuhi sumber protein dan sumber pendapatan masyarakat Indonesia
ternak unggas mempunyai peran yang sangat penting. Hal ini dikarenakan produksi
daging dan telur yang relatif murah, cepat dihasilkan dan terjangkau untuk masa
mendatang dibandingkan dengan ternak lainnya (Dinas Peternakan dan Kesehatan
Hewan, 2010). Namun dalam pemeliharaannya banyak terdapat kendala yang
menyebabkan perkembangan ayam menjadi terhambat. Salah satu kendalanya adalah
adanya berbagai jenis agen penyakit, baik yang disebabkan oleh bakteri, virus,
protozoa, maupun cacing (Suratman, 2019).
Dampak penyakit yang muncul menjadi kendala utama bagi para peternak
ayam. Salah satu penyakit akibat parasit protozoa yang menyerang ayam adalah
koksidiosis. Koksidiosis merupakan penyakit berak darah yang disebabkan oleh
Eimeria sp.. Parasit ini sangat patogen dan berkembang biak di dalam sel saluran
pencernaan (Rosa dkk., 2019).
Penyakit ini tersebar di seluruh dunia dan menyebabkan kerugian ekonomi yang
besar. Pada survey tahung 2016 persentase ayam broiler yang hilang akibat koksidiosis
menunjukkan angka yang lebih tinggi di setiap negara daripada di Inggris pada tahun
1995. Dan biaya yang digunakan untuk penyakit koksidiosis ayam di dunia mengalami
peningkatan sebesar 37 kali lipat dari tahun 1995 (Blake et al., 2020). Prevalensi
koksidiosis di Indonesia cukupberagam, di Sleman sebesar 16%, di
BandarLampung sebesar 20%, di Jimbaran Bali sebesar 43,8%, di Tabanan Bali
sebesar 31,1% (Halidazia,2015; Yulian, 2017; Simamora dkk., 2017; Arsyitahlia
dkk., 2019).
B. ETIOLOGI
C. EPIDEMIOLOGI
1. Siklus Hidup
2. Spesies rentan
Prevalensi koksidiosis di Jawa Tengah 34% pada ayam pedaging, 26,26% pada
ayam petelur dan 10,45% pada ayam kampung (Hamid et al., 2018). Koksidiosis
pada ayam muda di Kalimantan Timur menunjukkan prevalensi 40% dan
Kalimantan Selatan 40,9%, sedangkan pada ayam dewasa dilaporkan masing-
masing mencapai 47,1% dan 36,6% (Ekawasti dan Martindah, 2019). Pada
penellitian di Ethiopia, ditemukan bahwa prevalensi koksidiosis pada ayam dewasa
lebih tinggi secara signifikan dibandingkan pada ayam muda dengan prevalensi
masing-masing 73,1% dan 10,3% (Molla dan Ali 2014).
3. Pengaruh lingkungan
Bentuk infektif Eimeria adalah ookista yang dikeluarkan melalui feses hewan
yang terinfeksi. Ookista diekskresikan dalam kotoran unggas sebagai ookista yang
tidak bersporulasi dan untuk menjadi infektif ia harus bersporulasi. Selama
sporulasi, empat sporokista, masing-masing berisi dua sporozoit, terbentuk di dalam
ookista. Sporulasi ookista tergantung terutama pada tiga faktor dasar yaitu; suhu,
kelembaban, dan oksigen (Rao et al., 2013).
Ookista bersifat resisten terhadap pemberian desinfektan, tetapi rentan terhadap
temperatur diatas 55˚C atau pendinginan dibawah 10˚C. Dalam kondisi ideal,
sporulasi terjadi dalam 24-48 jam pada suhu optimum (25-33˚C). Pada kondisi yang
sangat kering atau kelembaban rendah ookista akan segera mati. Namun pada
kondisi optimal seperti di tanah, ookista hanya dapat bertahan hidup cukup lama
hingga beberapa minggu (Rao et al., 2013).
4. Sifat Penyakit
Eimeria memiliki host spesifik (self-limitting) sehingga jenis Eimeria yang
ditemukan pada ayam tidak dapat menginfeksi jenis unggas lainnya atau hewan lain
dan sebaliknya (Ekawasti dan Martindah, 2019).
5. Cara Penularan
Infeksi terjadi saat ookista sporulasi masuk ke dalam tubuh host. Sporozoit lepas
dari sporokista di dalam usus halus, menyerang sel mukosa usus dan memulai siklus
sel reproduksi. Kemudian sporokista masuk ke dalam sel epitel dan selanjutnya
sporozoit membulat menjadi 3 skizon generasi I yang mengandung banyak
merozoit. Kerusakan jaringan seperti perdarahan dan nekrosis dapat ditemukan
pada saat skizon generasi II mengalami ruptur untuk melepaskan merozoit.
Merozoit yang dihasilkan selanjutnya akan berkembang menjadi mikro dan makro
gamet (gametogoni). Pada akhir stadium gametogoni akan dihasilkan ookista yang
akan dikeluarkan bersama feses (Gilbert et al., 2011; Shane, 2005).
6. Faktor Predisposisi
Faktor-faktor yang dapat meningkatkan probabilitas terjadinya koksidiosis pada
suatu peternakan ayam yaitu :
- tata laksana kandang buruk
- sanitasi tidak baik
- peralatan tercemar Ookista Eimeria
- litter yang basah (kelembaban melebihi 30%)
- biosekuriti yang buruk
- kepadatan ternak tinggi
- variasi umur dalam saatu kandang
- iklim
7. Distribusi Penyakit
Penyakit koksidiosis pada unggas telah tersebar luas di seluruh dunia dan
menyebabkan kerugian ekonomi yang besar. Di negara Indonesia penyakit ini juga
tersebar di seluruh wilayah. Koksidiosis menimbulkan angka terjadinya penyakit
yang cukup tinggi dan pertumbuhan menjadi tidak optimal akibat terjadinya
malabsorbsi makanan (Blake et al., 2020).
D. PENGENALAN PENYAKIT
1. Gejala klinis
Gejala klinis yang ditimbulkan oleh Eimeria sp. bergantung dari masing-masing
spesies Eimeria, jumlah ookista sporulasi yang tertelan dan umur host. Gejala klinis
umum muncul sekitar 72 jam setelah infeksi, ayam terlihat bergerombol di sudut
kandang, lesu akibat kehilangan nafsu makan, pertumbuhan berat badan terganggu,
jengger dan pial pucat, pada ayam petelur produksi menurun, bulu kusut dan diare
berdarah (Fanatico, 2007 ; Muchibi, 2018).
Angka kematian ayam yang dikarenakan koksidiosis tinggi terjadi pada hari ke-
4 sampai ke-6 setelah infeksi. Kematian ini disebabkan karena ayam kehilangan
darah dalam jumlah besar. Diare yang bersifat mukoid atau hemoragik dapat
disebabkan oleh spesies Eimeria yang lebih patogenik (Tabbu, 2002).
2. Patologi
Pada hari 2,5-3 atau pada tahap skizongoni, sporozoit yang telah memasuki sel-
sel epitelium sekum akan membulat, kemudian tumbuh menjadi skizon generasi I,
skizon-skizon ini akan membelah, kemudian setiap skizon akan pecah
mengeluarkan ± 900 merozoit generasi I. Proses pecahnya skizon menyebabkan
rusaknya struktur anatomi sekum.
3. Diagnosa
Diagnosis yang tepat dan cepat merupakan salah satu langkah utama dalam
penanggulangan koksidiosis. Metode diagnosis dilakukan berdasarkan pada
pengamatan klinis dan pemeriksaan morfologi ookista Eimeria yang ditemukan
pada feses ayam. Metode ini membutuhkan waktu yang relatif lama dan keahlian
khusus untuk mengidentifikasi jenis Eimeria serta hanya dapat dilakukan di
laboratorium (Badran and Lukasova, 2006). Metode diagnosis yang lebih akurat
dan cepat telah dikembangkan dengan teknik enzyme linked immunosorbent assay
(ELISA) maupun Polymerase Chain Reaction (PCR), menggunakan spesifik primer
(Tresnani dkk, 2012).
4. Diagnosa banding
Diagnosa banding dari penyakit koksidiosis adalah necrotic enteritis akibat
Clostridium perfringens, infeksi Salmonella, infeksi parasit saluran pencernaan dan
penyakit viral yang menyerang saluran intestinal.
E. PENGENDALIAN
1. Pengobatan
Infeksi Eimeria dapat diobati dengan antikoksidia antara lain sulfaquinoksalin,
sulfadimetoksin, kombinasi sulfadimetoksin dan ormetroprim, klopidol,
dekokuinat, amprolium, kombinasi amprolium dan etopabat, nikarbazin, lasalosid
(polieter ionofor), salinomisin, monensin, maduramisin, diklazuril, dan toltazuril
(Tabbu, 2002; Fanatico, 2007). Penggunaan obat sesuai dengan dosis yang
dianjurkan dapat menghambat perkembangan skizon generasi ke II pada awal
perkembangan parasit (Anggraini, 2008).
Pemberian vitamin A dosis 25.000 IU selama 14 hari bersama Coxalin serta
antikoksidia yang dicampur pada pakan, dapat menurunkan derajat luka pada
sekum. Hal ini menunjukkan proses penyembuhan dan penurunan produksi ookista
sporulasi. Sulfadimethoxine adalah salah satu golongan sulfa yang rendah
toksisitasnya dan efektif dalam mengobati koksidiosis (Iskandar ,2005).
Pemberian prebiotik mempunyai peranan penting dalam pengendalian penyakit
koksidiosis dengan cara melindungi mukosa usus dan merangsang sistem
imun/kekebalan tubuh (glutamin) unggas. Mikroorganisme yang biasa diberikan
bersama pakan sebagai prebiotik adalah gram positif yaitu Lactobacillus,
Enterococcus, Pediococcus dan Bacillus. Prebiotik akan melindungi mucosa usus
dan menstimulasi sistem imun (glutamin) ayam, dengan demikian meminimalkan
infeksi koksidia sehingga penyerapan nutrisi lebih optimal (Badran and Leukosova,
2006).
2. Pencegahan
Pencegahan koksidiosis pada unggas dapat dilakukan dengan melakukan
vaksinasi secara teratur dan penerapan biosecurity. Selain itu untuk mencegah
terjadinya koksidiosis, perbaikan manajemen kandang juga perlu untuk
dilakukan antara lain :
1. Sanitasi kandang sebelum digunakan
2. Litter harus selalu kering dan tidak menggumpal
3. Makanan dan minuman harus bersih, baik dan cukup
4. Beri Coccidiostat yang dicampur dengan air minum/pakan, diberikan pada
ayam umur 1-3 bulan, selama 3 hari berturut-turut selang tiga hari kemudian
diberikan lagi selama tiga hari.
Ahad, S., Tanveer S., Malik T. A. 2015. Seasonal impact on the prevalence of coccidian
infection in broiler chicks across poultry farms in the Kashmir valley. Journal of
Parasitic Diseases 39(4): 736–740.
Belli, S. I., Smith N. C., Ferguson D. J. P. 2006. The coccidian oocyst: a tough nut to
crack! Trends Parasitol 22: 416-423
Blake, D.P., Knox J., Dehaeck B. Re-calculating the cost of coccidiosis in chickens. Vet
Res 51, 115 (2020). https://doi.org/10.1186/s13567-020-00837-2
Chartier, C. and Carine P. 2012. Coccidiosis due to Eimeria in sheep and goats, a
review. Small Ruminant Research. 103 (1): 84–92.
Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan. (2010). Teknik Pengolahan Daging Ayam.
Diakses pada 30 Oktober 2016, dari http://disnakkeswan.Lampung
prov.go.id/pengolahan_ayam. pdf.
Djara, D. V. S., Ida B. K. A., Ida B. O. W. 2020. Perubahan Patologik Sekum Ayam
Pedaging (Gallus gallus) yang Terinfeksi Koksidiosis di Kabupaten Tabanan, Bali.
Indonesia Medicus Veterinus. 9(2): 187-196.
Gilbert ER, CM Cox, PM Williams. 2011. Eimeria species and genetic background
influence the serum protein profile ofbroilers with koksidiosis, PLoS ONE 6 (1):
e14636.
Iacob, O., and Duma V. 2009. Clinical, paraclinical and morphopathological aspects in
cecal eimeriosis of broilers. Revista Sci Parasitol. 10:43‒50.
La, K., Bromley E., Oakes R., Prieto J. H., Sanderson S. J., Kurian D., Hunt L., Yates
J. R., Wastling J. M., Sinden R. E., Tomley F. M. 2009. Proteomic comparison of four
Eimeria tenella life cycle stages: unsporulated oocyst, sporulated oocyst, sporozoite and
second generation merozoite. Proteomics. 9 (19): 4566–4576.
doi:10.1002/pmic.200900305
Mahfudz, L. D., Dwi S., Sri K., Teysar A. S., Maulana H. N. 2021. PENCEGAHAN
PENYAKIT TERNAK UNGGAS. Undip Press Semarang.
Prevelance of Emeria Genera Upon Coccidiosis Infection Toward Male Layer Emantis
Rosa1) , Nadia Eka Yulian1) , Purnama Edy Santosa. Jurnal Ilmiah Biologi Eksperimen
dan Keanekaragaman Hayati Vol. 6 No.1 Agustus 2019: hal. 39 – 44
Raman, M., Banu S. S., Gomathinayagam S, Raj G. D. 2011. Lesion scoring technique
for assessing the virulence and pathogenicity of Indian field isolates of avian Eimeria
species, Veterinarski Archive, 81: 259–271.
Shane SM. 2005. Handbook of Poultry Disease: 2nd edition. Singapore (SG): American
Soybean Assosiation.
Shirley, M. W., Ivens A., Gruber A. 2004. "The Eimeria genome projects: a sequence
of events". Trends in Parasitology. 20 (5): 199–201.
Simamora, S., Apsari I. A. P., Dwinata I. M. 2017. Prevalensi Protozoa Eimeria tenella
pada Ayam Buras di Wilayah Bukit Jimbaran, Badung. Indonesia Medicus Veterinus.
6(3): 254-261.
Suratman. (2009). Prevalensi koksidiosis pada ayam di kota Denpasar. Diakses pada 30
Oktober 2016, dari hhtp://www.bulletinveteriner.com/pr evalensi/koksidiosis/
/pada/ayam/Denpasar.
Tabbu CR. 2002. Penyakit Ayam dan Penanggulangannya Volume 2. Yogyakarta (ID):
Kanisius:7L; 9-2L
Tresnani, G., Prastowo J., Wisnu N., Daryo B.S. 2012. Profil Protein Stadium Sporozoit
E. tenella Isolat Yogyakarta Melalui Analisis Protein SDS-PAGE. J Veteriner. 13(2):
163-166.
Yulian, N. E. 2017. Study Infeksi Koksidia pada Ayam Petelur (Gallus gallus)
Strain Lohman Jantan di Peternakan Mandiri Kelurahan Segalamider, Kecamatan
Tanjung Karang Barat, Kota Bandar Lampung. Skripsi.Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Lampung.