Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH

KESEHATAN TERNAK
“PENYAKIT COCCIDIOSIS”

Disusun oleh :

Nama : Maulana hasbi asshidiq

NIM : D1A020028

Prodi : Peternakan

LABORATORIUM KESEHATAN TERNAK

FAKULTAS PETERNAKAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

PURWOKERTO

2021
I. PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Potensi pengembangan sapi lokal di Indonesia sangat besar, sehingga perlu usaha
pemberdayaan dan peningkatan kualitas dan kuantitasnya. Sapi merupakan salah satu
hewan yang diternakkan secara besar-besaran, bukan hanya di Indonesia tetapi juga di
seluruh dunia. Salah satu jenis sapi potong yang cukup terkenal di Indonesia dan merupakan
plasma nutfah asli Bali adalah sapi bali, sehingga keberadaannya perlu dilestarikan. Sapi bali
merupakan salah satu sapi asli Indonesia dengan populasi yang cukup besar. Pada berbagai
lingkungan pemeliharaan di Indonesia, sapi bali memperlihatkan kemampuan untuk
berkembang biak dengan baik. Keunggulan sapi bali bila dibandingkan dengan sapi lain
adalah memiliki daya adaptasi sangat baik terhadap lingkungan yang kurang baik, dan
selektif terhadap makanan (Masudana 1990). Oleh karena itu, sapi bali sangat cocok untuk
dikembangkan di seluruh wilayah Indonesia. Salah satu upaya untuk melestarikan sapi bali
adalah dengan menjaga kesehatan melalui pencegahan atau penanggulangan penyakit.
Penyakit merupakan salah satu faktor yang menghambat produksi dan reproduksi
ternak. Penyakit yang bersifat menular sering mendapat perhatian serius yang
penanganannya harus dilakukan secara cepat dan tepat (Hardjoutomo dkk., 1997). Untuk
mengantisipasi masalah tersebut, salah satu kebijakan 2 kesehatan hewan adalah melindungi
budidaya ternak dari ancaman wabah penyakit terutama terhadap penyakit strategis.
Pengendalian penyakit strategis pada ternak sapi menjadi penting dan utama dalam
mendukung program swasembada daging yang sedang digencar-gencarkan oleh pemerintah
saat ini.
Penyakit strategis atau penyakit hewan menular strategis (PHMS) adalah penyakit
yang tergolong patogen dan secara ekonomis sangat merugikan (Ryadi, 2005). Salah satu
penyebabnya adalah coccidiosis. Coccidiosis merupakan salah satu masalah utama pada
ternak muda. Sebagian besar hewan yang terinfeksi coccidia kadang tidak menunjukkan
gejala klinis penyakit. Kondisi ini dikenal sebagai coccidiosis subklinis. Coccidiosis memiliki
dampak yang signifikan terhadap ekonomi produksi ternak.
B. Rumusan masalah
1. Apa yang dimaksud dengan penyakit coccidiosis?
2. Bagaimana pola kejadian penyakit coccidiosis?
3. Bagaimanakah pengobatan penyakit coccidiosis dikaitkan dengan faktor-faktor
pendukung muncul nya penyakit coocidiosis?

C. Tujuan
Untuk mengetahui pola penyakit potensi munculnya penyakit berdasarkan faktor
pendukung (predisposisi) terjadinya penyakit Coccidiosis
II. PEMBAHASAN
II.1 Penyakit strategis

Penyakit hewan strategis merupakan penyakit hewan yang berdampak pada kerugian
ekonomi tinggi karena bersifat menular, menyebar dengan cepat sehingga angka morbiditas
dan mortalitasnya tinggi, atau berpotensi mengancam kesehatan masyarakat. Menurut Adji
dan Sani (2005) penggolongan PHM strategis didasarkan pada tiga kriteria. Pertama, secara
ekonomis penyakit tersebut dapat mengganggu produksi dan reproduksi ternak (secara
signifikan) dan mengakibatkan gangguan perdagangan. Kedua, secara politis penyakit itu
dapat menimbulkan keresahan pada masyarakat, umumnya dari kelompok penyakit
zoonosis. Dan ketiga, secara strategis penyakit ini dapat mengakibatkan mortalitas yang
tinggi, dan penularannya relatif cepat, sehingga perlu pengaturan lalu lintas ternak atau
produknya secara ketat.

II.2 Penyakit Coccidiosis


II.2.1 Etiologi

Coccidia adalah salah satu jenis parasit yang ditemukan di hewan ruminansia (sapi,
domba, kambing). Hampir semua ternak ruminansia yang terkena coccidia selama hidup
mereka akan mengalami infeksi. Coccidiosis merupakan penyakit parasiter pada sapi yang
disebabkan oleh protista dari subfilum epithelioapicomplexa yang uniseluler, berbentuk oval,
membentuk spora parasit pada hewan. Spesies coccidia yang paling merugikan ruminansia
milik genus Eimeria. Tiga belas spesies eimeria pada sapi yaitu: E. alabamensis, E.
auburnensis, E. bovis, E. brasiliensis, E. bukidnonensis, E. canadensis, E. cylindrica, E.
ellipsoidalis, E. illinoisensis, E. pellita, E. supspherica, E. wyomingensis, E. zuernii. Spesies
yang dianggap paling patogen pada sapi adalah eimeria zuernii, sedangkan spesies eimeria
bovis lebih sering ditemukan pada sapi (Fitriastuti dkk., 2011).

II.2.2 Siklus Hidup

Coccidia mempunyai dua fase dalam siklus hidupnya yaitu fase endogen dan eksogen.
Fase endogen terjadi di dalam tubuh induk semang sedangkan fase eksogen terjadi di luar
tubuh induk semang (Soulsby, 1982). Siklus hidup endogen terdiri dari tahap aseksual
(schizogony), dan tahap seksual (gametogony). Reproduksi aseksual (schizogony) terjadi
beberapa kali dan menyerang lapisan usus, diikuti oleh fase seksual di mana merozoit
terlepas dalam 6 bentuk gamet (gametogony). Microgamet dan macrogamet melebur dan
berkembang menjadi ookista yang akan keluar bersama feses. Di luar tubuh inang, ookista
bersporulasi menjadi bentuk infektif ookista (Fitriastuti dkk., 2011).

Siklus hidup parasit ini bermula dari keluarnya ookista bersama feses, kemudian akan
terjadi sporulasi 1–2 hari (tergantung spesies dan suhu sekitar). Ookista yang telah
mengalami sporulasi kemudian termakan oleh hewan, selanjutnya ooksita pecah dan
terbentuk sporozoit yang menyerang mukosa dan epitel usus. Sprorozoit kemudian
berkembang menjadi schizont, makrogametosit dan mikrogametosit. Makrogamet dan
mikrogamet kawin akhirnya terbentuk zigot/ookista. Hewan terinfeksi karena menelan
makanan yang terinfeksi oleh ookista (Darma dan Putra, 1997).

II.2.3 Cara Penularan

Penularan coccidiosis ini terjadi karena ookista yang bersporulasi termakan oleh
hewan sehingga hewan menjadi terinfeksi. Ookista coccidia ini dapat juga ditularkan secara
mekanik melalui pekerja kandang, peralatan yang tercemar atau dalam beberapa kasus yang
pernah terjadi dapat disebarkan melalui debu kandang dalam jangkauan pendek. Berat
tidaknya penyakit ini tergantung dari jumlah ookista yang termakan oleh ternak (Fitriastuti
dkk., 2011).

II.2.4 Patogenesa

Coccidiosis terjadi pada hewan yang digembalakan di padang rumput terutama di


musim kemarau ketika hewan mencari makan di sekitar daerah yang terkontaminasi air dan
tanahnya (Behrendt, 2004). Ookista eimeria bersporulasi mulai dari beberapa hari sampai
beberapa minggu tergantung pada kelembaban, 7 temperatur, spesies, dan faktor
lingkungan lainnya. Ookista sangat tahan dan bisa bertahan di bawah kondisi yang
menguntungkan pada suhu minus 40o C untuk waktu yang lama yang dapat bertahan
sepanjang musim dingin (Fitriastuti dkk., 2011).
Perjalanan penyakit dimulai dari ookista yang mengandung sporokista matang
tertelan oleh hospes, kemudian di rongga usus halus dindingnya akan pecah dan keluarlah
sporozoit yang berbentuk lonjong dan kecil. Sporozoit akan masuk ke sel epitel usus halus
dan menjadi trofozoit. Trofozoit dalam sel epitel usus halus membesar sampai hampir
mengisi seluruh sel, kemudian intinya membelah menjadi banyak (skizon) yang diikuti oleh
pembagian protoplasma sehingga terbentuk merozoit. Bila skizon matang pecah, merozoit
memasuki sel hospes lain, tumbuh menjadi trofozoit dan mulai lagi dengan skizogoni sampai
beberapa kali. Sebagian merozoit telah menjadi trofozoit mulai dengan proses sporogoni
(Behrendt, 2004). Pada proses ini di bentuk gametosit dalam sel epitel usus halus. Sebagian
trofozoit membentuk makrogametosit dan sebagian membentuk mikrogametosit. Satu
makrogametosit berkembang menjadi dua makro gamet, sedangkan satu mikrogametosit
berkembang menjadi beberapa mikrogamet. Setelah makrogamet di buahi oleh mikrogamet,
terbentuk zigot yang disebut ookista. Setelah ookista terbentuk akan kembali dikeluarkan
bersama tinja. Kemudian ternak lain yang terinfeksi akibat dari memakan ookista infektif
yang dikeluarkan bersama tinja tersebut (Levine, 1995).

II.2.5 Gejala Klinis

Coccidiosis sapi merupakan penyakit yang menyerang pada hewan-hewan muda.


Biasanya terdapat pada anak sapi umur 3 minggu sampai 6 bulan. Anak sapi yang umurnya
lebih tua bahkan dewasa dapat terserang pada kondisi pencemaran berat, tetapi biasanya
mereka tidak memperlihatkan gejala penyakit dan bersifat carrier. Coccidiosis dapat
menyebabkan kerusakan saluran pencernaan, radang usus (enteritis) sering terjadi sebagai
efek sekunder dari infeksi coccidia. Coccidia seringkali merusak dinding usus menyebabkan
perlukaan dan peradangan (Soulsby, 1982).

Pada pemeriksaan bedah bangkai ditemukan bercak-bercak darah di lapisan usus,


disertai cholangeohepatitis (kerusakan hati). Kasus ini yang paling sering terjadi, dan
menimbulkan kerugian tinggi peternak. Gejala klinis yang umum ditemukan adalah diare
berdarah, anemia, kelemahan dan kekurusan. Secara ekonomis penyakit ini mempunyai arti
yang penting karena dapat menimbulkan kerugian berupa penurunan berat badan,
pertumbuhan terhambat dan penurunan produksi. Secara patologi anatomi ditemukan
enteritis pada usus halus maupun usus besar. Pada usus halus bagian bawah,sekum dan usus
besar penuh berisi darah atau bekuan darah, mukosa terlihat berwarna merah dan menebal
(Levine, 1995).

II.2.6 Diagnosis

Diagnosis yang akurat pada kelompok ruminansia tertentu sangat penting. Diagnosis
coccidiosis didasarkan pada sejarah hewan yang terkena (usia, manajemen, perkandangan),
pengamatan tanda-tanda klinis (dehidrasi, lemah dan 9 diare, terutama jika kotoran
bercampur darah), dan pada pengujian laboratorium menemukan ookista dalam kotoran,
serta dilakukan pembedahan pasca mati apabila ternak yang terinfeksi sampai mengalami
kematian (Susilo dkk., 2014).

II.2.7 Pencegahan dan Pengobatan Penyakit

Coccidiosis merupakan masalah yang terjadi pada kelompok ternak sapi, sehingga
harus dilakukan usaha untuk melakukan pencegahan dan pengendalian secara dini.
Pencegahan coccidiosis pada sapi antara lain dengan menjaga sanitasi selalu baik. Alas
kandang dan tanah dapat di desinfeksi dengan menggunakan sodium hypochlorid, kresol,
fenol atau difumigasi dengan formaldehid (Soulsby, 1982). Cara lain yang dapat dilakukan
untuk mencegah coccidiosis pada ternak adalah dengan membatasi masuknya ookista pada
ternak muda sehingga yang timbul bukan sakit melainkan imunitas terhadap coccidia.
Pemberian pakan yang baik, manajemen pemeliharaan, perkandangan serta pengelompokan
ternak yang baik, seperti tidak mengelompokkan hewan tua dengan muda. Pengobatan
dapat dilakukan dengan menggunakan obat-obatan seperti dari kelompok sulfonamide.
Senyawa lain yang dapat digunakan dalam pengobatan atau pengendalian diantaranya
sulfaquinoxaline, amprolium, decoquinate, lasalocid dan monensin (Susilo dkk., 2014).
III. PENUTUP
III.1 Kesimpulan
1. Coccidia adalah salah satu jenis parasit yang ditemukan di hewan ruminansia (sapi,
domba, kambing). Hampir semua ternak ruminansia yang terkena coccidia selama
hidup mereka akan mengalami infeksi. Coccidiosis merupakan penyakit parasiter
pada sapi yang disebabkan oleh protista dari subfilum epithelioapicomplexa yang
uniseluler, berbentuk oval, membentuk spora parasit pada hewan.
2. Penularan coccidiosis ini terjadi karena ookista yang bersporulasi termakan oleh
hewan sehingga hewan menjadi terinfeksi. Ookista coccidia ini dapat juga ditularkan
secara mekanik melalui pekerja kandang, peralatan yang tercemar atau dalam
beberapa kasus yang pernah terjadi dapat disebarkan melalui debu kandang dalam
jangkauan pendek.
3. Membatasi masuknya ookista pada ternak muda sehingga yang timbul bukan sakit
melainkan imunitas terhadap coccidia. Pemberian pakan yang baik, manajemen
pemeliharaan, perkandangan serta pengelompokan ternak yang baik, seperti tidak
mengelompokkan hewan tua dengan muda. Pengobatan dapat dilakukan dengan
menggunakan obat-obatan seperti dari kelompok sulfonamide. Senyawa lain yang
dapat digunakan dalam pengobatan atau pengendalian diantaranya sulfaquinoxaline,
amprolium, decoquinate, lasalocid dan monensin.
DAFTAR PUSTAKA

Adji RMA, Sani Y. 2005. Ketersediaan Teknologi Veteriner dalam Pengendalian Penyakit Strategis
Ruminansia Besar. Bogor (ID): Balai Penelitian Veteriner.

Behrendt, J.H. 2004. Alternative Mechanism of Eimeria bovis Sporozoites to Invade Cells In Vitro by
Breaching the Plasma Membrane, The Journal of Parasitology, Vol. 90.

Darma, D.M.N dan A.A.G, Putra. 1997. Penyidikan Penyakit Hewan. Buku Pegangan. Penerbit CV Bali
Media Adhikarsa. Denpasar.

Fitriastuti, E. R., N. Atikah., N.M.R. Isriyanthi. 2011. Studi Penyakit Koksidiosis Pada Sapi Betina di 9
Propinsi di Indonesia. Bogor.

Levine, N. D. 1995. Protozoologi Veteriner. Yogyakarta. Gajah Mada University Press.

Soulsby, E. J. L. 1982. Helminths, arthropods, and protozoa of domesticated animals. 7th ed. Balliere
Tindall, London.

Susilo, J., J.A. Siswanto., A. Heni., B. Triwibowo. 2014. Infeksi Coccidia pada Sapi Potong di Balai
Peneliltian Tanah Bogo Probolinggo Lampung Timur. Buletin Laboratorium Veteriner.
Vol. 31.

Anda mungkin juga menyukai