1.1.Latar Belakang
Penyediaan protein hewani sangat penting dalam rangka mendukung sumber daya
manusia. Unggas merupakan salah satu sumber protein hewani yang cukup murah,
salah satu penyakit yang sering dilaporkan adalah penyakit kholera unggas atau
serotipe A : 1 (Rhoades dan Rimle, 1990) dan dikenal sejak lebih dari seratus tahun
yang lampau. Pertama kali dilaporkan terjadi wabah yang menyerang ayam di
negara-negara di Eropa pada tahun 1728 dan di Amerika Serikat pada tahun 1867
(Laytion, 1984). Penyakit tersebut juga sering menyerang peternakan itik segala
umur dengan prevalensi sekitar 30 – 50%. Tingkat kematian itik karena kholera di
daerah Jawa Barat dan Jakarta sekitar 30 – 50% (Sinutrat et al., 1992). Sebelumnya
Ayam kampung (Gallus gallus domesticus) merupakan salah satu jenis ternak unggas
yang telah banyak di konsumsi oleh masyarakat dansebagai salah satu sumber
protein hewani yang mudah di dapat kan oleh masyarakat umumnya yang telah
1
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
daya manusia. Unggas merupakan salah satu sumber protein hewani yang cukup
penyakit, salah satu penyakit yang sering dilaporkan adalah penyakit kholera unggas
multocida serotipe A : 1 (Rhoades dan Rimle, 1990) dan dikenal sejak lebih dari
seratus tahun yang lampau. Pertama kali dilaporkan terjadi wabah yang menyerang
ayam di negara-negara di Eropa pada tahun 1728 dan di Amerika Serikat pada tahun
1867 (Laytion, 1984). Penyakit tersebut juga sering menyerang peternakan itik
segala umur dengan prevalensi sekitar 30 – 50%. Tingkat kematian itik karena
kholera di daerah Jawa Barat dan Jakarta sekitar 30 – 50% (Sinutrat et al., 1992).
Ayam kampung (Gallus gallus domesticus) merupakan salah satu jenis ternak
unggas yang telah banyak di konsumsi oleh masyarakat dansebagai salah satu
sumber protein hewani yang mudah di dapat kan oleh masyarakat umumnya yang
kampung sudah bukan hal asing. Istilah "Ayam kampung" semula adalah kebalikan
2
dari istilah "ayam ras", dan sebutan ini mengacu pada ayam yang ditemukan
program pemurnian, pemuliaan, dan pembentukan beberapa ayam lokal, saat ini
dikenal beberapa strain ayam kampung unggul atau dikenal dengan istilah ayam
lokal unggul. Ayam tersebut telah diseleksi dan dipelihara dengan perbaikan teknik
budidaya (tidak sekadar diumbar dan dibiarkan mencari makan sendiri). Peternakan
ayam kampung mempunyai peranan yang cukup besar dalam mendukung ekonomi
masyarakat pedesaan karena memiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan
Diakui atau tidak selera konsumen terhadap ayam kampung sangat tinggi. Hal
itu terlihat dari pertumbuhan populasi dan permintaan ayam kampung yang semakin
meningkat dari tahun ke tahun. Semakin bertambahnya jumlah ayam maka akan ada
penyakit yang dapat menyerang, misanya seperti bakteri, virus, protozoa, cacing,
kutu dan lalat ataupun bisa dikarenakan lingkungan yang buruk seperti temperatur
tinggi atau rendah, sanitasi yang buruk, serta makanan dan minuman yang
terkontaminasi oleh agen penyakit. Salah satu penyakit unggas yaitu Fowl Cholera
Penyakit ayam dapat menyebar dan menular secara cepat dengan tingkatan
kematian yang tinggi misalnya penyakit mikroba tetapi ada juga yang lambat dengan
mengadakan iritrasi dan peradangan setempat dan dapat bertindak sebagai vektor.
Pengendalian penyakit ayam merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam usaha
pengendalian penyakit ayam perlu dilakukan peninjauan lebih lanjut mengenai agen-
agen penyebab penyakit pada ayam. Hal ini dapat dilakukan melalui pendalaman uji
4
1.2.Tujuan Pemeriksaan
1.3.Manfaat Pemeriksaan
peternak atau pemilik ayam kampung dan segala pihak yang terlibat mengenai
1.4.Riwayat Kasus
Pada tanggal 2 april 2019 telah dilakukan euthanasia dan nekropsi pada
seekor ayam kampung jantan umur 2 bulan pemilik bapak darioyono yang
anamnesa diketahui Populasi 25 ekor, 4 diantaranya sakit dan 2 lainya mati .lama
sakit sekitar 1 minggu. Pakan beras dan nasi sumber air minum dari air PDAM.
Gejala klinis : nafsu makan turun ,terdapat sedikit di hidung , kurus, lesu, bulu
kusam dan rontok demikian untuk mengetahui adanya agen penyebab penyakit, maka
2.1.Ayam
famili Phasianidae, genus Gallus, spesies Gallus gallus (Rose, 1997). Ayam lokal
Indonesia atau dikenal dengan sebutan ayam buras (ayam bukan ras) merupakan
pedesaan. Ayam yang telah mempunyai nama dan ciri tersendiri disebut ayam lokal
spesifik, yang dipelihara untuk tujuan produksi daging, telur, atau merupakan hewan
kesayangan dengan manfaat antara lain sebagai penghias halaman, aduan, keperluan
ritual atau sebagai pemberi kesenangan melalui suara kokok yang merdu (Sunarto et
al., 2004). Beberapa keunggulan lain dari ayam lokal yaitu mempunyai kemampuan
bertahan dan berkembang biak dengan baik, meskipun kondisi kualitas pakan yang
rendah serta tahan terhadap beberapa penyakit. Ayam lokal perlu dipertahankan
melalui pemurnian dan pemanfaatan secara optimal sebagai penyedia protein hewani
(Sulandari et al., 2007). Ayam lokal mempunyai keanekaragaman sifat genetik yang
dimunculkan dalam penampilan fenotipe, seperti warna bulu, kulit, paruh, bentuk
revolusi, akibat dari sistem pemeliharaan dan perkawinan yang tidak terkontrol dari
generasi ke generasi. Faktor lingkungan yang menekan juga merupakan faktor yang
6
sangat menentukan, karena ada upaya untuk mempertahankan diri melalui proses
adaptasi. Proses adaptasi yang berlangsung lama dapat memunculkan sifat dan
penampilan baru dan kemudian dapat diwariskan secara genetik dari generasi ke
2.2.Ayam kampung
Ayam kampung boleh dikatakan sebagai ayam asli Indonesia yang sudah
dipelihara sejak jaman dahulu. Ayam ini memiliki potensi yang sudah terbukti,
sebagai penghasil daging dan telur. Kebanyakan ayam kampung bersifat dwifungsi,
yaitu sebagai penghasil daging dan penghasil telur, dan biasanya tergantung
kelas aves, ordo galliformes dan famili dari phasianidae. Genus dari ayam kampung
adalah Gallus dengan namaa spesies Gallus gallus domesticus. Ayam kampung
bedakan menjadi dua kelompok besar, yaitu ayam ras dan ayam bukan ras (buras)
(Gallus gallus) dan ayam hutan hijau (Gallus varius). Ayam hutan merah di
7
Indonesia ada dua macam yaitu ayam hutan merah Sumatera (Gallus gallus gallus),
dan ayam hutan merah Jawa (Gallus gallus javanicus). Hasil domestikasi ini secara
umum disebut ayam buras. Ayam – ayam buras yang sekarang ini telah tersebar di
berbagai wilayah Indonesia telah menjadi ayam - ayam buras dengan morfologi yang
kuantitatif dipengaruhi oleh sejumlah besar pasang gen, yang masing - masing dapat
berperan secara aditif, dominan dan epistatik dan bersama – sama dengan pengaruh
2.3.Pasteurella multocida
Etiologi
tidak motil yang memiliki ukuran 0,5-1 x 1-2 μm, bersifat fakultatif anaerob,
sebagian besar berkapsula, tidak membentuk spora, dan bersifat fermentatif. Bakteri
ini tumbuh subur pada media diperkaya, bersifat non hemolitik, hasil uji oksidase
menunjukkan hasil positif, uji indol menunjukkan hasil positif, uji katalase
menunjukkan hasil positif dan urease menunjukkan hasil negatif. Bakteri tidak
tumbuh pada media Mac Conkey (Carter and Wise, 2004). Meskipun media yang
8
tidak diperkaya akan mendukung pertumbuhan mereka, organisme ini tumbuh paling
baik pada media yang dilengkapi dengan darah atau serum (Quinn, et al. 2001).
terinfeksi. Isolasi rutin dilakukan Plat agar darah harus diinkubasi pada kondisi 3-
5% CO2 dengan suhu 37°C selama 24-48 jam. Isolat merupakan gram negatif dengan
morfologi yang bervariasi dan karakteristik koloni yang berbeda-beda pada plat agar
darah. Pasteurella multocida membentuk koloni mukoid dan halus atau lebih kering,
kadang-kadang kasar. Koloni halus bersifat iridesen, bau yang khas, dan beberapa
strain membentuk warna kehijauan pada agar darah (Post and Songer, 2005).
9
Gejala Klinis
penyakit infeksi akut sering terjadi hanya beberapa jam sebelum kematian. kecuali
unggas yang terinfeksi diamati selama periode, kematian dapat menjadi indikasi
pertama penyakit. Tanda yang sering terjadi adalah demam, anoreksia, bulu kusam,
dehidrasi, kurus, lesulendir dari mulut, diare, dan peningkatan laju pernapasan.
septisemia : kebiruan (cyanosis) pada kulit kepala, jengger dan pial, eksudat keluar
dari mulut, kebengkakan oleh radang conjuctiva (kelopak mata dalam), Konsistensi
feses cair, diare berwarna keputihan tetapi kemudian menjadi kehijauan dan
2.4.Perubahan Patologi
2.4.1.Perubahan Makroskopik
peradangan pada kantung udara ( air sacculitis), pada organ hati tampak titik – titik
disertai eksudat yang bersifat katarhal pada usus ( enteritis catarhal) serta organ
limpa membengkak, pada usus terjadi peradangan yang lebih parah dengan eksudat
10
darah ( enteritis hemoragic ). Pada unggas yang terserang penyakit fowl cholera
penyakit yang menyerang organ sistem sirkulasi dan organ – organ yang berkaitan
2.4.2.Perubahan Mikroskopik
Pada bentukan perakut pada penyakit kolera ini terjadi kerusakan endotel
pembuluh darah, hemoragi pada berbagai organ viseral. Hati mengalami kongesti
dan kadang – kadang disertai nekrosis koagulasi yang bersifat multifokal. Pada
bentukan akut kerusakan endotel pembuluh darah , hemoragi pada berbagai organ,
nekrosis koagulsi yang bersifat multifokal disertai infiltrasi heterofil. Pada bentukan
Diagnosis
darah, jantung, hati, meninges atau lesi yang bersifat lokal pada kasus fowl kolera
kronis. Bakteri Pasteurella multocida tumbuh pada media Plat Agar Darah (PAD)
dan tidak dapat tumbuh pada media Mac Conkay Agar dengan ciri-ciri ukuran koloni
11
biasanya keabu-abuan diameter 1-3 mm dan kental, lembut, namun bentuk yang
mukoid dan kasar juga bisa terjadi, ada bau yang khas (Howard et al, 1993)
Karakteristik Reaksi
Hemolysis -
MacConkey agar -
Indol +
Motility -
Gelatin -
Catalase +
Oxidase +
Urease -
Glukosa +
Laktosa -U
Sukrosa +
Maltosa -U
ordo Acari (caplak dan tungau) dan Insekta termasuk Phthiraptera (kutu), Hemiptera
(serangga), Siphonaptera (pinjal) dan Diptera (lalat dan nyamuk). Ektoparasit sangat
merupakan masalah klinis dalam diri mereka sendiri, tetapi mungkin juga
Newcastle Disease, Fowl pox atau mereka bertindak sebagai pembawa / inang
2.6.Lipeurus caponis
2.6.1.Etiologi
memanjang dan tipis dengan ukuran panjang sekitar 2,2 mm dan lebar 0,3 mm.
bentuk tubuh nya berwarna kehitam – hitaman. Lipeurus caponis merupakan spesies
yang berjalan sangat lamban dan hidup di sepanjang serabut bulu, jalannya miring,
13
telur berwarna keputihan, dan berjalan disepanjang serabut bulu bagian sayap. Kutu
jantan panjangnya kurang lebih 2 mm dan betina 2,3 mm. Memiliki kepala panjang
dan membulat pada bagian depan, pada antenna memiliki 5 segmen dan tersingkap
penuh. Memiliki kaki tipis dan 2 cakar pada bagian tarsal. Memiliki karateristik kaki
belakang dua kali panjang dari sepasang kaki depan. Memiliki karateristik
penonjolan bulat kecil pada bagian depan kepala dekat antenna. Secara relatif
terdapat sedikit bulu pada abdomen. (Wall and Shearer, 2001). Morfologi Lipeurus
Segmen yang pertama dan kedua serta kesembilan dn kesebelas mengalami fusi dan
segmen abdomen kesebelas kemungkinan tidak tampak. Sekali bertelur kutu dapat
14
2.6.2.Siklus hidup Lipeurus caponis
Siklus hidup diawali saat telur dilekatkan pada bulu dan menetas dalam 4
menjadi Nimfa II dan Nimfa III) selama 20 hingga 40 hari. Saat dewasa secara
relatif tidak aktif dan dapat hidup selama 35 hari (Wall and Shearer, 2001). Kutu
Lipeurus caponis umumnya berada di bagian ranting. Struktur bulu primer pada
habitat Lipeurus caponis untuk hidup disela-sela bulu tersebut. Infestasi kutu lebih
banyak ditemukan pada ayam yang berumur dua belas minggu dibandingkan pada
ayam yang berumur satu minggu. Kutu mengalami metamorfosis sederhana atau
tidak sempurna tahapan ini dimulai dari telur, nimfa dan menjadi dewasa. Telur akan
menetas menjadi nimfa dalam waktu 5-18 hari tergantung dari jenis kutu (Levine,
1994).
2.6.3.Gejala Klinis
Pada infestasi Lipeurus caponis kejadian umumnya terjadi pada ayam dan
unggas lainnya diseluruh dunia. L. caponis dtemukan pada bawah sisi sayap dan ekor
bulu. Efek patogen biasanya sedikit terjadi pada hewan dengan kondisi sehat, namun
dapat menimbulkan kegelisahan, gatal dan kerontokan. Burung muda lebih rentan
terinfestasi secara berat, terutama ketika terdapat penyakit utama atau malnutrisi
15
yang menurunkan kekebalan tubuh. (Wall and Shearer, 2001). Gejala yang nampak
pada ayam yaitu ayam menjadi gelisah dan sering menyisir atau mematuk-matuk
bulu karena gatal, selain itu ayam akan sering mengibas-ngibaskan bulunya, ayam
2.6.4.Patogenesis
pada umumnya, kutu sayap pada ayam kampung berada di bagian ranting bulu yang
berada disela - sela sayap ayam kampung. Struktur bulu yang dorsal pada ayam
Lipeurus caponis untuk hidup disela - sela bulu tersebut, sehingga secara tidak
langsung kutu terhindar dari patukan ayam. kutu ini lebih sering menyerang ayam
yang berusia tua dari pada yang muda, hal ini terjadi karena siklus hidup dan
perkembangan kutu tidak terputus bila berada ditubuh inang yang tua. Infestasi kutu
lebih banyak ditemukan pada ayam yang berumur dua belas minggu dibandingkan
16
MATERI DAN METODE
3.1.Materi
Sampel pada kasus ini digunakan seekor ayam jantan, umur 2 bulan, berat
badan 800 gram dengan nomor protokol A-071. Bahan yang digunakan untuk
pemeriksaan parasitologi adalah minyak cengkeh, oil emersi, PBS dan larutan gula
pemeriksaan mikrobiologi adalah Media Plat Agar Darah (PAD), bahan uji biokimia,
alkohol 70%. Bahan yang digunakan untuk pemeriksaan patologi klinik tabung
EDTA, NaCl fisiologis, reagen turk, reagen hayem. Bahan yang digunakan untuk
Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain adalah: nampan plastik,
feses, gelas ukur, gelas beker, gelas obyek baik tunggal maupun rangkap beserta deck
glass-nya, mikroskop, cawan petri, pipet, mortir, tabung reaksi, ose, pengaduk
(stirrer), alat hitung (counter), spuit dengan jarumnya, lampu spiritus, pipet leukosit,
digunakan darah segar yang diambil dari vena brachialis menggunakan spuit steril 3
ml setelah itu dibuat preparat apus darah. Eutanasia pada ayam dilakukan dengan
dipotong dan dimasukkan dalam kontainer plastik yang berisi formalin 10%, serta
3.2.2.Pemeriksaan Parasitologi
Pemeriksaan feses
ke dalam cawan mortir. Feses kemudian ditambah dengan air secukupnya lalu
sampai tersisa endapan di dasar tabung. Larutan NaCl jenuh kemudian dimasukkan
ke dalam tabung yang ada endapannya sampai ¾ tabung lalu diaduk sampai rata.
ditambah dengan NaCL jenuh kembali sampai permukaannya cembung dan ditunggu
tersebut dan dibalik dengan cepat kemudian ditutup dengan deck glass. Pengamatan
dilakukan di bawah mikroskop (perbesaran 10 x 10) untuk melihat adanya telur atau
Sampel darah segar dibuat preparat apus darah dengan meletakan satu tetes darah
diatas object glass dan diapuskan dengan object glass lainnya dengan sudut 30-40o.
19
Selanjutnya, difiksasi dengan methanol hingga kering dan dicat dengan Giemsa
3-5 menit. Hasil didapatkan dari pengukuran hematokrit menggunakan grafik (Weiss
yang telah digunakan untuk penghitungan nilai PCV. Plasma tersebut kemudian
58o selama 2 menit, kemudian disentrifus lagi selama 5 menit dengan kecepatan
3000 rpm. Mikrohematokrit dipatahkan dan plasma diteteskan pada TS-meter untuk
dihitung nilai TPP. Nilai fibrinogen didapatkan dengan mencari selisih antara TPP
20
awal (sebelum dipanaskan) dengan TPP akhir (setelah dipanaskan) (Gandasoebrata,
2009).
dimulai dengan menyiapkan 2 tabung reaksi khusus. Tabung pertama diisi dengan
larutan drabkins sebanyak 5 ml dan digunakan sebagai blanko. Tabung kedua diisi
selesai dikalibrasi. Pembacaan dilakukan dengan melihat jarum yang ada pada alat
dimulai dengan mengambil sampel darah yang sudah dicampur EDTA dengan pipet
21
Thoma eritrosit sampai angka 0,5 kemudian dilanjutkan dengan menghisap reagen
NaCl fisiologis sampai angka “101” (pengenceran 200 kali). Pipet Thoma kemudian
Setelah tercampur, 2-3 tetes pertama campuran dibuang, kemudian diteteskan pada
kamar hitung hemositometer yang sebelumnya telah ditutup dengan deck glass, dan
periksa dengan mikroskop. Daerah yang akan dihitung dicari dengan melihat kamar
terletak dalam kotak besar di tengah yang didalamnya terdapat 25 kotak kecil.
(kiri atas, kanan atas, kiri bawah, kanan bawah, dan tengah) yang masing-masing
memiliki 16 kotak kecil. Jumlah eritrosit yang terhitung kemudian dikalikan dengan
Proses dimulai dengan mengambil sampel darah yang sudah dicampur EDTA dengan
pipet Thoma leukosit sampai angka 0,5 kemudian dilanjutkan dengan menghisap
reagen Raes-Ecker sampai angka “11” (pengenceran 20 kali). Pipet Thoma kemudian
sempurna. Setelah tercampur, 2-3 tetes pertama campuran tersebut dibuang. Sampel
yang masing-masing di pojok kanan atas, kanan bawah, kiri atas, dan kiri bawah
3.2.4.Pemeriksaan Mikrobiologi
Sampel jantung dan paru paru yang mengalami perubahan dan didiagnosa
terinfeksi Pasteurella multocida. di tanam pada Plat Agar Darah (PAD) dan
diinkubasikan pada suhu 37oC selama 24 jam. Pemilihan koloni terpisah yang
Gram. Pewarnaan Gram dilakukan dengan cara yaitu pengulasan biakan bakteri
dengan ose pada gelas obyek yang sebelumnya ditetesi NaCl fisiologis. Kemudian
fiksasi sampai kering di atas api bunsen. Tetesi carbon gentian violet (initial strain)
diamkan selama 2 menit. Cat dibuang dan jangan dicuci, kemudian tetesi lugol
(mordant) biarkan selama 1 menit. Cat dibuang dan jangan dicuci, kemudian tetesi
alkohol 95% (decolorizer) diamkan selama 1 menit. Cat dibuang, cuci dengan air
kran. Kemudian di tetesi air fushine (counter stain) biarkan selama 2 menit. Buang,
23
cuci sampai tidak keluar warna dan keringkan. Diamati dibawah mikroskop (Quinn
et al., 1999).
24
Berdasarkan pemeriksaan patologi klinik bahwa ayam dengan nomor
protokol A-071 ditemukan bakteri Pasteurella multocida dari organ jantung dan paru
paru.
PEMBAHASAN
Pada tanggal 2 April 2019 telah dilakukan euthanasia dan nekropsi seekor
ayam dengan nomer protokol A-071 milik Bapak Darioyono yang beralamat di Jl
diperoleh dari peternak dan pengamatan terhadap gejala klinik, diketahui ayam
dengan nomor protokol A-071 berjenis kelamin jantan, umur 2 bulan, berat badan
800 gram. Populasi 25 ekor, 4 diantaranya sakit dan 2 lainya mati lama sakitnya
sekitar 1 minggu, pakan beras dan nasi sumber air minum berasal dari air PDAM.
Gejala klinisnya nafsu makan turun, terdapat sedikit leleran di hidung , kurus,
25
5.1.Patologi anatomi (Histopatologi)
adanya perubahan pada pulmo dengan konsistensi lunak dan hemoragi difus dan
kongesti, uji apung pulmo mengapung, bidang sayatan basah. Pada organ Jantung
hemoragi pada otot jantung ( bagian dalam). Pada organ hepar terlihat warna lebih
gelap, bidang irisan keluar darah, terdapat hemoragi , pada organ Duodenum terdapat
A B
26
D
hemoragika, adanya pola penyebaran berbercak perdarahan dan sel radang eritrosit
dalam parabronchus dan meluas ke parenkim pulmo disebabkan oleh adanya infeksi
hemoragi ekimosa putih pucat dan terdapat hemolisis. Infiltrasi sel radang terjadi
sebagai akibat adanya respon infeksi terhadap bakteri Pasteurella multocida. Pada
organ hepar terjadi hepatitis hemoragika terlihat adaya perdarahan di vena centralis
dan juga terdapat sel radang eritrosit di bagian lobus, dan terdapat hemoragi dan
di bagian fili dan sel mengalami infiltrasi radang, eritrosit keluar dari pembuluh
27
C
B
28
b
29
A
B
pada jaringan
30
B
31
A
32
A
5.2.Parasitologi
spesies dari kutu yang ditemukan adalah Lipeurus caponis. Secara makros kutu
terlihat berwarna kuning pucat dan memiliki ciri morfologi yaitu tidak memiliki
sayap, memiliki 3 segmen tubuh yaitu kepala, toraks dan abdomen. Bagian posterior
33
dari abdomen terlihat meruncing dan terlihat bulu-bulu halus disekitar abdomen.
host/inang dan menyebabkan iritasi sebagai akibat dari memakan kulit dan bulu
unggas. Iritasi yang terus-menerus pada kulit akan menyebabkan ayam menjadi tidak
tenang dan dapat mengakibatkan kelemahan umum. Ayam biasanya menggaruk dan
mematuk kutu atau kulit yang mengalami iritasi. Kutu bulu dapat menyebabkan bulu
menjadi kering dan berdiri. Kutu tidak bersifat sangat patogenik pada ayam dewasa,
tetapi anak ayam yang terserang oleh kutu dapat mengalami kematian. Infestasi kutu
34
5.3.Patologi klinik
1986). Anemia diindikasikan ketika parameter sel darah merah yaitu PCV,
hemoglobin, RBC terhitung dibawah normal untuk umur, jenis kelamin dan strain
Kejadian anemia pada kasus ini disebabkan karena adaya infeksi Barkteri
menimbulkan kerusakan pada organ tubuh inang ( Tsuji dan Matsumoto, 1989).
Bakteri dapat berkembang baik pada organ jantung, hati dan pulmo, serta di dalam
mulai tampak pada empat jam setelah infeksi berupa titik – titik pendarahan pada
perikardium dan hiperemi pada usus (winarsih et al, 1994). Pendarahan, hiperemi
dan pembendungan umum terjadi pada organ – organ tubuh disebabkan oleh
endotoksin yang di hasilkan oleh bakteri pasteurella multocida, dan kematian diduga
akibat “shock syndrome” yang ditimbulkan oleh endotoksin ( Rhoades dan Rimler,
1991).
karena adanya infeksi dari bakteri Pasteurella multocida. Karena infeksi tersebut
darah yang dibutuhkan lebih banyak keluar sehingga eritrosit membesar dari ukuran
normalnya.
jumlah leukosit meningkat dalam darah dari nilai normal per microliter di atas
12.000-30.000ul penyebab (cambell, 2015). Leukosit adalah salah satu sel yang
berperang dalam merespon tubuh ketika ada infeksi dari agen asing. Leukositosis
37
pada kasus ini terjadi akibat adanya infeksi pasteurella multocida sehingga
dan eosinofilia.
Heterofil dalam darah akan di lepaskan dalam jaringan dan berperan sebagai
system pertahanan pertama sel pada peradangan akut. Heterofilia pada kasus ini
dan berperan dalam fagositosis monosit memiliki peran penting dalam reaksi
terhadap infeksi dari luar atau benda asing. Monositosis terjadi karena keradangan
dan intestinal Eosinofili uga berperan dalam memfagosit parasite dalam ukuran
sekeliling parasite. Eosinofilia pada kasus ini terjadi karena kontak antara jaringan
hospes dan parasit yang berlangsung lama akan menyebabkan timbulnya respon
38
B
39
Gambar. Apus darah nomor protokol A-71, A limfosit,B monosit
5.4.Mikrobiologi
ayam dengan nomor protocol A-071 yang di tanam pada media Plat Agar Darah
dan di inkubasikan pada suhu 37oC selama 24 jam. Pada isolasi Plat Agar Darah
tumbuh koloni lembut dan berwarna abu-abu tranparan, namun variant yang
mukoid dan kasar bisa juga terjadi. Pasteurella mempunyai koloni yang terlihat
sama, bulat dan keabu-abuan diameter 1-3 mm. Pasteurella multocida mempunyai
kapsula yang besar yang terdiri dari asam hyaluronic yang memberikan ciri
dengan usa pada gelas obyek yang sebelumnya ditetesi Nacl fisiologis. Kemudian
fiksasi sampai kering diatas api bunsen dan dilakukan pewarnaan gram. Hasil
multocida adalah gram negatif berbentuk batang bulat (Waluyo l., 2008).
40
A B
Gambar 13. Koloni Pasteurella multocida pada media Plat Agar Darah
(A), morfologi Pasteurella multocida pada pewarnaan gram (B).
Kemudian dilakukan uji biokimia, Pada uji indol terbentuk nya bentukan
merah seperti cincin saat ditetesin dengan reagen Kovac artinya bakteri yang
multocida bakteri non motil yang tidak mempunyai flagella peritik sehingga tidak
bergerak. Pada uji Katalase teramati adanya gelembung setelah ditetesi dengan
multocida menghasilkan enzim katalase yang dapat memecah H2O2 menjadi H2O
dan O2. Pada uji sukrosa terjadi perubahan warna media dari hijauh menjadi
kuning, artinya bakteri tersebut memfermentasi sukrosa. Pada uji laktosa tidak
terjadi perubahan warna media dari hijau menjadi kuning yang artinya bakteri
tersebut tidak memfermentasi laktosa. Pada uji maltosa tidak ada perubahan
warna media dari hijauh menjadi kuning yang artinya bakteri tersebut tidak
teramati bagian dasar (butt) mengalami perubahan dari coklat menjadi Merah
prescot , 2012).
jantung dan paru paru pada Ayam dengan nomor protokol A-071 terisolasi dan
Gambar 14. Uji biokimia bakteri Pasteurella mutocida,(a) uji indol (b) uji
TSIA (c) uji manitol, (d), uji laktosa (e), uji sukrosa (f), uji maltosa ,
42
PATOGENESIS
Faktor Predisposisi : Manajemen pemeliharaan (pakan dan
air minum),
AYAM KAMPUNG
Infestasi Infeksi bakteri
Lipeurus caponis Pasteurella multocida
Enteritis
hemoragika
Pneumonia Pericarditis Hepatitis
hemoragika hemoragika hemoragika
43
Kesimpulan
parasitologi dan patologi klinik ayam dengan nomor protokol A-071 didiagnosa infeksi
Saran
mengurangi faktor penyebab stres pada ayam seperti pemberian nutrisi yang baik
mengandung mineral dan protein yang cukup untuk menjaga daya tahan tubuh tetap baik,
diberikan melalui pakan dengan dosis 0,2%-0,4%, melalui minum dengan dosis 0,2%-
0,4%, atau untuk sekali pengobatan dengan dosis 50-100 mg/ayam (Tabbu, 2002). .
44
DAFTAR PUSTAKA
Amin–Babjee, S.M., C.C. Lee and A.A. Mahmood, 1997. Prevalence of ectoparasite
infestation in different age groups of village chickens. J. Vet–Malaysia. 9: 55–
9
Fadly A.M, Glisson J.R, McDougald L.R, Nolan L.K, Swayne D.E. 2008. Diseases
Of Poultry twelfth edition. Blackwell Publishing. USA. 742
Howard JB, Keiser JF, Smith TF. 1993. Clinical and Pathogenic Microbiology 2nd
Edition. Mosby-year book, inc. London.289.
45
Permin, A and J.W.,Hansen. 1998. Epidemiology, Diagnosis and control Poultry
Parasites. FAO Animal Health Manual. FAO United Nation, Rome.
Post, K W. and Songer, GJ. 2005. Microbiology Bacterial and Fungal Agent of
Animal Disease. Elsevier Saunders: Philadelphia.
Poernomo, S. 1980. Kasus Pasteurella multocida pada itik. Bull. LPPH. XII(19): 42 –
56.
Quinn, P.J,. Markey, B.K,. Carter, M.E,.Donnelly, W.J,. Leonard, F.C,. 2001.
Veterinary Microbiology and Microbial Disease. Published by Wiley-
Blackwell. 137
Rhoades, K.R. and R.B. Rimler. 1990. Somatic serotype of Pasteurella multocida
isolated from avian hosts (1976 – 1988). Avian Dis. 34: 193 – 196.
Skerman, V.B.D., McGowan, V. & Sneath, P.H.A. 1980. Approved Lists of Bacterial
Names. Int. J. Syst. Bacteriol. 30: 225-420.
Snipes, KP, Carpenter, TE, Hird, DW, McCapes, RH, dan Hirsh, DC (1987). Sebuah
studi deskriptif unggas kolera di kalkun daging California: Agustus 1985-Juli
1986. Avian Dis. 31, 792-799.
Sonaiya EB (2007). Family Poultry, food security and the impact of HPAI. World’s
Poultry Science Journal,63 (1): 132-138.
Tabbu, C.R. 2008. Penyakit ayam dan penanggulanganya vol 1. PT. Kanisius :
yogyakarta.21-30.
Wall, R., D. Shearer. 2001. Veterinary Ectoparasite: Biology, Pathology and Control.
Blackwell Science. Ltd. UK. Page 164
46
Waluyo L. 2008. Teknik dan Metode Dasar dalam Mikrobiologi. Universitas
Muhammadiyah Malang Press. Malang.
PATOGENESIS
Seperti yang telah dijelaskan bahwa bakteri pasteurella multocida sebagai
penyebab SE akan masuk kedalam tubuh inang melalui beberapa cara. Cairan seperti
leleran hidung atau cairan mulut dari hewan yang terinfeksi akan jatuh ketanah atau
terkena media lain. Bakteri yang ada dalam cairan tersebut akan menginfeksi daerah
atau media yang terkena oleh cairan dari hewan terinfeksi tersebut. Bila kondisi tanah
dalam keadaan basah maka akan menyebabkan perkembangan dan daya tahan bakteri
pasteurella multocida semakin baik. Melalui kontak dengan hewan terinfeksi atau
kontak dengan tanah, tanaman, atau media yang terinfeksi, bakteri pasteurella
multocida kemudian masuk kedalam tubuh. Didalam tubuh inang bakteri ini biasanya
menyerang saluran pernafasan (Natalia & Priadi 2006).
Terdapat tiga bentuk dari penyakit SE yaitu bentuk busung, pektoral dan intestinal.
Penyakit SE bentuk busung menunjukkan adanya bentuk busung pada bagian kepala,
tenggorokan, leher bagian bawah, gelembir dan kadang-kadang pada kaki muka.
Selain itu kadang terjadi juga bentuk busung pada bagian dubur dan alat kelamin.
Tingkat mortalitas penyakit pada bentuk ini cukup tinggi mencapai 90% dan
berlangsung cepat sekitar tiga hari sampai satu minggu. Sebelum mati akan tampak
gangguan pernafasan dan suara ngorok merintih serta suara gigi gemeretak. Pada
bentuk pectoral, tanda-tanda bronkhopneumonia akan lebih menonjol. Bentuk ini
umumnya dimulai dengan adanya batuk kering dan nyeri yang di ikuti oleh keluarnya
eksudat dari hidung. Biasanya bentuk ini berlangsung antara satu sampai tiga minggu.
Pada beberapa kasus kadang penyakit ini dapat mencapai bentuk intestina. Keadaan
ini dicapai ketika penyakit sudah berjalan kronis. Hewan akan menjadi kurus, dengan
47
gejala batuk yang terus menerus, selain itu nafsu makan terganggu serta terus menerus
mengeluarkan air mata. Sering terjadi mencret yang bercampur darah (Direktorat
Kesehatan Hewan 1977).
Umunya kasus SE bersifat aku dan dapat menyebabkan kematian hewan dalam
waktu singkat. Dalam pengamatan, hewan mengalami peningkatan suhu tubuh,
oedemasubmandibular yang dapat menyebar ke daerah dada, dan gejala pernafasan
dengan suara ngorok atau keluarnya eksudat dari hidung. Umumnya, hewan kemudian
mengalami kelesuan atau lemah dan kematian. Biasanya kerbau lebih peka terhadap
penyakit SE dibandingkan dengan sapi. Lama atau jalanya penyakit sampai pada
kematian pada kerbau lebih pendek dibandingkan dengan sapi, kisaran waktunya
mulai kurang dari 24 jam dalam kejadian perakut sampai 2 – 5 hari. Gejala penyakit
timbul setelah masa inkubasi 2 – 5 hari.
Gambaran klinis menunjukkan adanya 3 fase. Fase pertama adalah kenaikan suhu
tubuh, yang diikuti fase gangguan pernafasan dan diakhiri oleh fase terakhir yaitu
kondisi hewan melemah dan hewan berbaring di lantai. Septicaemia dalam banyak
kasus merupakan tahap kejadian paling akhir. Berbagai fase penyakit di atas tidak
selamanya terjadi secara berurutan dan sangat tergantung pada lamanya penyakit
(Natalia & Priadi 2006).
Pada kerbau yang diinfeksi secara buatan, ditemukan kenaikan suhu hingga 430C
dapat teramati 4 jam sesudah infeksi, sedangkan pada sapi kenaikan hingga 400C baru
teramati 12 Leleran hidung dan mata yang memerah sudah terlihat pada kerbau 4 jam
sesudah infeksi, sedangkan pada sapi 12 jam sesudah infeksi. Bakteri dapat diisolasi
dari cairan hidung kerbau 12 sesudah infeksi dan 16 sesudah infeksi pada sapi. Dalam
darah bakteriemia sudah terjadi 12 jam sesudah infeksi pada kerbau dan sapi.
Pemantauan jumlah kuman dalam darah terlihat terus meningkat hingga saat kematian
(Natalia & Priadi 2006).
Diagnosa
48