Anda di halaman 1dari 48

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Penyediaan protein hewani sangat penting dalam rangka mendukung sumber daya

manusia. Unggas merupakan salah satu sumber protein hewani yang cukup murah,

sehingga pengadaannya perlu ditingkatkan untuk memenuhi kebutuhan. Namun

demikian, para peternak unggas banyak menghadapi berbagai kendala penyakit,

salah satu penyakit yang sering dilaporkan adalah penyakit kholera unggas atau

pasteurellosis. Kholera unggas disebabkan oleh infeksi bakteri Pasteurella multocida

serotipe A : 1 (Rhoades dan Rimle, 1990) dan dikenal sejak lebih dari seratus tahun

yang lampau. Pertama kali dilaporkan terjadi wabah yang menyerang ayam di

negara-negara di Eropa pada tahun 1728 dan di Amerika Serikat pada tahun 1867

(Laytion, 1984). Penyakit tersebut juga sering menyerang peternakan itik segala

umur dengan prevalensi sekitar 30 – 50%. Tingkat kematian itik karena kholera di

daerah Jawa Barat dan Jakarta sekitar 30 – 50% (Sinutrat et al., 1992). Sebelumnya

telah dilaporkan oleh( Poernomo 1980).

Ayam kampung (Gallus gallus domesticus) merupakan salah satu jenis ternak unggas

yang telah banyak di konsumsi oleh masyarakat dansebagai salah satu sumber

protein hewani yang mudah di dapat kan oleh masyarakat umumnya yang telah

tersebar di seluruh pelosok nusantara. Bagi masyarakat Indonesia, ayam

1
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Penyediaan protein hewani sangat penting dalam rangka mendukung sumber

daya manusia. Unggas merupakan salah satu sumber protein hewani yang cukup

murah, sehingga pengadaannya perlu ditingkatkan untuk memenuhi kebutuhan.

Namun demikian, para peternak unggas banyak menghadapi berbagai kendala

penyakit, salah satu penyakit yang sering dilaporkan adalah penyakit kholera unggas

atau pasteurellosis. Kholera unggas disebabkan oleh infeksi bakteri Pasteurella

multocida serotipe A : 1 (Rhoades dan Rimle, 1990) dan dikenal sejak lebih dari

seratus tahun yang lampau. Pertama kali dilaporkan terjadi wabah yang menyerang

ayam di negara-negara di Eropa pada tahun 1728 dan di Amerika Serikat pada tahun

1867 (Laytion, 1984). Penyakit tersebut juga sering menyerang peternakan itik

segala umur dengan prevalensi sekitar 30 – 50%. Tingkat kematian itik karena

kholera di daerah Jawa Barat dan Jakarta sekitar 30 – 50% (Sinutrat et al., 1992).

Sebelumnya telah dilaporkan oleh( Poernomo 1980).

Ayam kampung (Gallus gallus domesticus) merupakan salah satu jenis ternak

unggas yang telah banyak di konsumsi oleh masyarakat dansebagai salah satu

sumber protein hewani yang mudah di dapat kan oleh masyarakat umumnya yang

telah tersebar di seluruh pelosok nusantara. Bagi masyarakat Indonesia, ayam

kampung sudah bukan hal asing. Istilah "Ayam kampung" semula adalah kebalikan

2
dari istilah "ayam ras", dan sebutan ini mengacu pada ayam yang ditemukan

berkeliaran bebas di sekitar perkampungan. Namun demikian, semenjak dilakukan

program pemurnian, pemuliaan, dan pembentukan beberapa ayam lokal, saat ini

dikenal beberapa strain ayam kampung unggul atau dikenal dengan istilah ayam

lokal unggul. Ayam tersebut telah diseleksi dan dipelihara dengan perbaikan teknik

budidaya (tidak sekadar diumbar dan dibiarkan mencari makan sendiri). Peternakan

ayam kampung mempunyai peranan yang cukup besar dalam mendukung ekonomi

masyarakat pedesaan karena memiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan

dan pemeliharaannya relatif lebih mudah (Sonaiya, 2007).

Diakui atau tidak selera konsumen terhadap ayam kampung sangat tinggi. Hal

itu terlihat dari pertumbuhan populasi dan permintaan ayam kampung yang semakin

meningkat dari tahun ke tahun. Semakin bertambahnya jumlah ayam maka akan ada

penyakit yang dapat menyerang, misanya seperti bakteri, virus, protozoa, cacing,

kutu dan lalat ataupun bisa dikarenakan lingkungan yang buruk seperti temperatur

tinggi atau rendah, sanitasi yang buruk, serta makanan dan minuman yang

terkontaminasi oleh agen penyakit. Salah satu penyakit unggas yaitu Fowl Cholera

infeksi oleh bakteri Pasteruella multocida (Agustina, 2013)

Penyakit ayam dapat menyebar dan menular secara cepat dengan tingkatan

kematian yang tinggi misalnya penyakit mikroba tetapi ada juga yang lambat dengan

kematian yang rendah misalnya ektoparasit. Ektoparasit memang tidak menimbulkan

kematian yang tinggi tetapi sangat mengganggu kesehatan dan menurunkan


3
produktivitas ayam. Jenis parasit ini menghisap zat makanan induk semang,

mengadakan iritrasi dan peradangan setempat dan dapat bertindak sebagai vektor.

Pengendalian penyakit ayam merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam usaha

budidaya agar tidak mengakibatkan kerugian bagi peternak ayam. Untuk

pengendalian penyakit ayam perlu dilakukan peninjauan lebih lanjut mengenai agen-

agen penyebab penyakit pada ayam. Hal ini dapat dilakukan melalui pendalaman uji

diagnosa laboratorik secara patologi anatomi, mikrobiologi, parasitologi dan patologi

klinis pada ayam yang terserang penyakit.

4
1.2.Tujuan Pemeriksaan

Tujuan dari koasistensi diagnosa laboratorik adalah untuk menganalisis

penyebab penyakit pada ayam dengan melakukan pemeriksaan di laboratorium.

1.3.Manfaat Pemeriksaan

Hasil dari pemeriksaan ini diharapkan dapat memberikan informasi pada

peternak atau pemilik ayam kampung dan segala pihak yang terlibat mengenai

penyakit pada ayam kampung yang dibudidayakan, sehingga dapat dilakukan

tindakan pencegahan, penanganan dan pengobatan.

1.4.Riwayat Kasus

Pada tanggal 2 april 2019 telah dilakukan euthanasia dan nekropsi pada

seekor ayam kampung jantan umur 2 bulan pemilik bapak darioyono yang

beralamatkan di JL Sepat Kulon VII 78 Lakarsantri , Surabaya. Berdasarkan

anamnesa diketahui Populasi 25 ekor, 4 diantaranya sakit dan 2 lainya mati .lama

sakit sekitar 1 minggu. Pakan beras dan nasi sumber air minum dari air PDAM.

Gejala klinis : nafsu makan turun ,terdapat sedikit di hidung , kurus, lesu, bulu

kusam dan rontok demikian untuk mengetahui adanya agen penyebab penyakit, maka

perlu dilakukan pemeriksaan lanjut secara laboratorik.


5
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Ayam

Ayam merupakan jenis unggas dan diklasifikasikan ke dalam kingdom

Animalia, phylum Chordota, subphylum Vertebrata, kelas Aves, ordo Galliformes,

famili Phasianidae, genus Gallus, spesies Gallus gallus (Rose, 1997). Ayam lokal

Indonesia atau dikenal dengan sebutan ayam buras (ayam bukan ras) merupakan

komoditas yang paling banyak dipelihara oleh masyarakat Indonesia khususnya di

pedesaan. Ayam yang telah mempunyai nama dan ciri tersendiri disebut ayam lokal

spesifik, yang dipelihara untuk tujuan produksi daging, telur, atau merupakan hewan

kesayangan dengan manfaat antara lain sebagai penghias halaman, aduan, keperluan

ritual atau sebagai pemberi kesenangan melalui suara kokok yang merdu (Sunarto et

al., 2004). Beberapa keunggulan lain dari ayam lokal yaitu mempunyai kemampuan

bertahan dan berkembang biak dengan baik, meskipun kondisi kualitas pakan yang

rendah serta tahan terhadap beberapa penyakit. Ayam lokal perlu dipertahankan

melalui pemurnian dan pemanfaatan secara optimal sebagai penyedia protein hewani

(Sulandari et al., 2007). Ayam lokal mempunyai keanekaragaman sifat genetik yang

dimunculkan dalam penampilan fenotipe, seperti warna bulu, kulit, paruh, bentuk

tubuh, jengger, bulu penutup, penampilan produksi, pertumbuhan, dan reproduksinya

(Sidadolog, 2006). Keanekaragaman dapat dimunculkan secara evolusi maupun

revolusi, akibat dari sistem pemeliharaan dan perkawinan yang tidak terkontrol dari

generasi ke generasi. Faktor lingkungan yang menekan juga merupakan faktor yang
6
sangat menentukan, karena ada upaya untuk mempertahankan diri melalui proses

adaptasi. Proses adaptasi yang berlangsung lama dapat memunculkan sifat dan

penampilan baru dan kemudian dapat diwariskan secara genetik dari generasi ke

generasi (Noor, 2000).

2.2.Ayam kampung

Ayam kampung boleh dikatakan sebagai ayam asli Indonesia yang sudah

dipelihara sejak jaman dahulu. Ayam ini memiliki potensi yang sudah terbukti,

mampu memberikan kontribusi bagi pemenuhan kebutuhan keluarga, setidaknya

sebagai penghasil daging dan telur. Kebanyakan ayam kampung bersifat dwifungsi,

yaitu sebagai penghasil daging dan penghasil telur, dan biasanya tergantung

bagaimana tujuan peternak memelihara ayam kampung. (Suprijatno et al, 2005).

Ayam kampung termasuk dalam filum chordata dengan subfilum vertebrata,

kelas aves, ordo galliformes dan famili dari phasianidae. Genus dari ayam kampung

adalah Gallus dengan namaa spesies Gallus gallus domesticus. Ayam kampung

(Gallus gallus domesticus) disebut ayam ternak karena hidupnya terbatas di

lingkungan manusia. Berdasarkan cara budidaya nya, ayam peliharaan dapat di

bedakan menjadi dua kelompok besar, yaitu ayam ras dan ayam bukan ras (buras)

yang sering di sebut ayam kampung (Mulyono, 1999).

Ayam lokal Indonesia merupakan hasil domestikasi ayam hutan merah

(Gallus gallus) dan ayam hutan hijau (Gallus varius). Ayam hutan merah di
7
Indonesia ada dua macam yaitu ayam hutan merah Sumatera (Gallus gallus gallus),

dan ayam hutan merah Jawa (Gallus gallus javanicus). Hasil domestikasi ini secara

umum disebut ayam buras. Ayam – ayam buras yang sekarang ini telah tersebar di

berbagai wilayah Indonesia telah menjadi ayam - ayam buras dengan morfologi yang

beraneka ragam (Mansjoer 1985). Martojo (1992) menjelaskan bahwa sifat

kuantitatif dipengaruhi oleh sejumlah besar pasang gen, yang masing - masing dapat

berperan secara aditif, dominan dan epistatik dan bersama – sama dengan pengaruh

lingkungan (non-genetik), dan tidak dapat dibedakan dengan jelas.

2.3.Pasteurella multocida

Etiologi

Pasteurella multocida adalah spesies dari Filum : Proteobacteria, Kelas :

Gamma Proteobacteria, Ordo : Pasteurellales, Famili : Pasteurellaceae, Genus :

Pasteurella, Species : Pasteurella multocida (Skerman et al., 1980).

Pasteurella multocida merupakan bakteri kokobasil atau batang gram negatif,

tidak motil yang memiliki ukuran 0,5-1 x 1-2 μm, bersifat fakultatif anaerob,

sebagian besar berkapsula, tidak membentuk spora, dan bersifat fermentatif. Bakteri

ini tumbuh subur pada media diperkaya, bersifat non hemolitik, hasil uji oksidase

menunjukkan hasil positif, uji indol menunjukkan hasil positif, uji katalase

menunjukkan hasil positif dan urease menunjukkan hasil negatif. Bakteri tidak

tumbuh pada media Mac Conkey (Carter and Wise, 2004). Meskipun media yang
8
tidak diperkaya akan mendukung pertumbuhan mereka, organisme ini tumbuh paling

baik pada media yang dilengkapi dengan darah atau serum (Quinn, et al. 2001).

Pasteurella multocida berdasarkan isolasi organisme penyebab dari jaringan

terinfeksi. Isolasi rutin dilakukan Plat agar darah harus diinkubasi pada kondisi 3-

5% CO2 dengan suhu 37°C selama 24-48 jam. Isolat merupakan gram negatif dengan

morfologi yang bervariasi dan karakteristik koloni yang berbeda-beda pada plat agar

darah. Pasteurella multocida membentuk koloni mukoid dan halus atau lebih kering,

kadang-kadang kasar. Koloni halus bersifat iridesen, bau yang khas, dan beberapa

strain membentuk warna kehijauan pada agar darah (Post and Songer, 2005).

Gambar 1. Sel bakteri Pasteurella multocida diliat dengan pembesaran 100x

Sumber foto : (dokumen pribadi).

9
Gejala Klinis

Penyakit Fowl Cholera di sebabkan oleh Pasteurella multocida, pada

penyakit infeksi akut sering terjadi hanya beberapa jam sebelum kematian. kecuali

unggas yang terinfeksi diamati selama periode, kematian dapat menjadi indikasi

pertama penyakit. Tanda yang sering terjadi adalah demam, anoreksia, bulu kusam,

dehidrasi, kurus, lesulendir dari mulut, diare, dan peningkatan laju pernapasan.

Tanda infeksi kronis menunjukkan gejala klinis Kematian disertai tanda-tanda

septisemia : kebiruan (cyanosis) pada kulit kepala, jengger dan pial, eksudat keluar

dari mulut, kebengkakan oleh radang conjuctiva (kelopak mata dalam), Konsistensi

feses cair, diare berwarna keputihan tetapi kemudian menjadi kehijauan dan

mengandung lender (Gunawardana, 2000).

2.4.Perubahan Patologi

2.4.1.Perubahan Makroskopik

Perubahan makroskopik yang terjadi berupa titik – titik pendarahan (ptekhie)

dan ekimose pada epikardium, hiperemi dan pembendungan umum. Terjadi

peradangan pada kantung udara ( air sacculitis), pada organ hati tampak titik – titik

peradagan nekrotik ( hepatitis nekrotika millier), hiperemia dan peradangan yang

disertai eksudat yang bersifat katarhal pada usus ( enteritis catarhal) serta organ

limpa membengkak, pada usus terjadi peradangan yang lebih parah dengan eksudat
10
darah ( enteritis hemoragic ). Pada unggas yang terserang penyakit fowl cholera

kronis menunjukkan perubahanan makroskopi berupa kebengkakan kepala,

peradangan sinus (sinusitis), hepatitis nekrotika milier. Fowl kolera merupakan

penyakit yang menyerang organ sistem sirkulasi dan organ – organ yang berkaitan

dengan sistem tersebut (Snipes et al, 1987).

2.4.2.Perubahan Mikroskopik

Pada bentukan perakut pada penyakit kolera ini terjadi kerusakan endotel

pembuluh darah, hemoragi pada berbagai organ viseral. Hati mengalami kongesti

dan kadang – kadang disertai nekrosis koagulasi yang bersifat multifokal. Pada

bentukan akut kerusakan endotel pembuluh darah , hemoragi pada berbagai organ,

nekrosis koagulsi yang bersifat multifokal disertai infiltrasi heterofil. Pada bentukan

kronis terdapat keradangan supururatif yang ditandai adanya daerah nekrosis,

infiltrasi heterofil, pembentukan fibrin (Tabbu, 2000).

Diagnosis

Diagnosis bakteri Pasteurella multocida dilakukan dengan melihat gejala

klinis, isolasi, dan identifikasi bakteri, sebagai berikut :

Isolasi bakteri Pasteurella multocida dapat diambil dari sumsum tulang,

darah, jantung, hati, meninges atau lesi yang bersifat lokal pada kasus fowl kolera

kronis. Bakteri Pasteurella multocida tumbuh pada media Plat Agar Darah (PAD)

dan tidak dapat tumbuh pada media Mac Conkay Agar dengan ciri-ciri ukuran koloni
11
biasanya keabu-abuan diameter 1-3 mm dan kental, lembut, namun bentuk yang

mukoid dan kasar juga bisa terjadi, ada bau yang khas (Howard et al, 1993)

Identifikasi dilakukan dengan uji biokimia. Berikut karakteristik biokimia

dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Karakteristik biokimia Pasteurella multocida

Karakteristik Reaksi

Hemolysis -

MacConkey agar -

Indol +

Motility -

Gelatin -

Catalase +

Oxidase +

Urease -

Glukosa +

Laktosa -U

Sukrosa +

Maltosa -U

Tabel 1. Karakteristik biokimia Pasteurella multocida


12
2.5.Ektoparasit

Artropoda, dibagi menjadi dua kelas utama: Arachnida (arakhnida) termasuk

ordo Acari (caplak dan tungau) dan Insekta termasuk Phthiraptera (kutu), Hemiptera

(serangga), Siphonaptera (pinjal) dan Diptera (lalat dan nyamuk). Ektoparasit sangat

umum dalam sistem rentang bebas, sedangkan mereka biasanya dikendalikan

(meskipun tidak diberantas) dalam sistem komersial. Ektoparasit mungkin

merupakan masalah klinis dalam diri mereka sendiri, tetapi mungkin juga

mengirimkan sejumlah penyakit menular ke unggas, seperti Pasteurella multocida,

Aegyptinella spp., Borrelia anserina, Plasmodium spp. Leucocytozoon spp.,

Newcastle Disease, Fowl pox atau mereka bertindak sebagai pembawa / inang

perantara dari berbagai infeksi cacing seperti Heterakis gallinarum, Choanotaenia

infundibulum, Hymenolepis spp dan lain-lain (Permin and Hansen, 1998).

2.6.Lipeurus caponis

2.6.1.Etiologi

Lipeurus caponis adalah spesies dari Filum : Athropoda, Kelas : Insecta,

Ordo : Pthiraptera, Subordo : Mallophaga, Superfamili : Ishnocera, Famili :

Philopteridae, Genus : Lipeurus, Spesies : Lipeurus caponis. (Soulsby, 1982).

Lipeurus caponis merupakan kutu sayap, spesies ini memiliki bentuk

memanjang dan tipis dengan ukuran panjang sekitar 2,2 mm dan lebar 0,3 mm.

bentuk tubuh nya berwarna kehitam – hitaman. Lipeurus caponis merupakan spesies

yang berjalan sangat lamban dan hidup di sepanjang serabut bulu, jalannya miring,
13
telur berwarna keputihan, dan berjalan disepanjang serabut bulu bagian sayap. Kutu

jantan panjangnya kurang lebih 2 mm dan betina 2,3 mm. Memiliki kepala panjang

dan membulat pada bagian depan, pada antenna memiliki 5 segmen dan tersingkap

penuh. Memiliki kaki tipis dan 2 cakar pada bagian tarsal. Memiliki karateristik kaki

belakang dua kali panjang dari sepasang kaki depan. Memiliki karateristik

penonjolan bulat kecil pada bagian depan kepala dekat antenna. Secara relatif

terdapat sedikit bulu pada abdomen. (Wall and Shearer, 2001). Morfologi Lipeurus

caponis seperti yang terlihat pada gambar berikut ini :

Gambar 2. Lipeurus caponis (Gordon dan Jordan 1982).

Tidak memiliki palpus maksilaris, mandibula menggigit secara ventrikal.

Segmen yang pertama dan kedua serta kesembilan dn kesebelas mengalami fusi dan

segmen abdomen kesebelas kemungkinan tidak tampak. Sekali bertelur kutu dapat

menghasilkan 50 hingga 300 butir (Gordon dan Jordan 1982).

14
2.6.2.Siklus hidup Lipeurus caponis

Siklus hidup diawali saat telur dilekatkan pada bulu dan menetas dalam 4

hingga 7 hari, kemudian menjadi nimfa, nimfanya melewati 3 tahapan (Nimfa I

menjadi Nimfa II dan Nimfa III) selama 20 hingga 40 hari. Saat dewasa secara

relatif tidak aktif dan dapat hidup selama 35 hari (Wall and Shearer, 2001). Kutu

Lipeurus caponis umumnya berada di bagian ranting. Struktur bulu primer pada

ayam cenderung memiliki ranting bulu yang panjang, sehingga memungkingkinkan

habitat Lipeurus caponis untuk hidup disela-sela bulu tersebut. Infestasi kutu lebih

banyak ditemukan pada ayam yang berumur dua belas minggu dibandingkan pada

ayam yang berumur satu minggu. Kutu mengalami metamorfosis sederhana atau

tidak sempurna tahapan ini dimulai dari telur, nimfa dan menjadi dewasa. Telur akan

menetas menjadi nimfa dalam waktu 5-18 hari tergantung dari jenis kutu (Levine,

1994).

2.6.3.Gejala Klinis

Pada infestasi Lipeurus caponis kejadian umumnya terjadi pada ayam dan

unggas lainnya diseluruh dunia. L. caponis dtemukan pada bawah sisi sayap dan ekor

bulu. Efek patogen biasanya sedikit terjadi pada hewan dengan kondisi sehat, namun

dapat menimbulkan kegelisahan, gatal dan kerontokan. Burung muda lebih rentan

terinfestasi secara berat, terutama ketika terdapat penyakit utama atau malnutrisi

15
yang menurunkan kekebalan tubuh. (Wall and Shearer, 2001). Gejala yang nampak

pada ayam yaitu ayam menjadi gelisah dan sering menyisir atau mematuk-matuk

bulu karena gatal, selain itu ayam akan sering mengibas-ngibaskan bulunya, ayam

juga tampak kurus dan pucat (Tabbu, 2002).

2.6.4.Patogenesis

Kutu Lipeurus caponis menyebar dibagian sayap primer ayam kampung.

pada umumnya, kutu sayap pada ayam kampung berada di bagian ranting bulu yang

berada disela - sela sayap ayam kampung. Struktur bulu yang dorsal pada ayam

cenderung memiliki ranting bulu yang panjang, sehingga memungkingkinkan habitat

Lipeurus caponis untuk hidup disela - sela bulu tersebut, sehingga secara tidak

langsung kutu terhindar dari patukan ayam. kutu ini lebih sering menyerang ayam

yang berusia tua dari pada yang muda, hal ini terjadi karena siklus hidup dan

perkembangan kutu tidak terputus bila berada ditubuh inang yang tua. Infestasi kutu

lebih banyak ditemukan pada ayam yang berumur dua belas minggu dibandingkan

pada ayam yang berumur satu minggu (Ameen-Babjee et al, 1997).

16
MATERI DAN METODE

3.1.Materi

Sampel pada kasus ini digunakan seekor ayam jantan, umur 2 bulan, berat

badan 800 gram dengan nomor protokol A-071. Bahan yang digunakan untuk

pemeriksaan parasitologi adalah minyak cengkeh, oil emersi, PBS dan larutan gula

jenuh, metanol, aquades, pewarna Giemsa. Bahan yang digunakan untuk

pemeriksaan mikrobiologi adalah Media Plat Agar Darah (PAD), bahan uji biokimia,

pewarnaan gram (crystal violet, lugol, alkohol,safranin), aquades, kovac, H2O2,

alkohol 70%. Bahan yang digunakan untuk pemeriksaan patologi klinik tabung

EDTA, NaCl fisiologis, reagen turk, reagen hayem. Bahan yang digunakan untuk

pemeriksaan patologi anatomi adalah formalin 10% untuk pengawet dalam

pembuatan preparat histopatologis, oil emersi.

Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain adalah: nampan plastik,

tabung darah/eppendoof, seperangkat alat nekropsi, timbangan untuk menimbang

feses, gelas ukur, gelas beker, gelas obyek baik tunggal maupun rangkap beserta deck

glass-nya, mikroskop, cawan petri, pipet, mortir, tabung reaksi, ose, pengaduk

(stirrer), alat hitung (counter), spuit dengan jarumnya, lampu spiritus, pipet leukosit,

pipet eritrosit, waterbath, kamar hitung, mikrohematokrit, dan spektrofotometer.


17
3.2.Metode

3.2.1.Pemeriksaan Patologi Anatomi

Sebelum dilakukan eutanasia dan nekropsi dilakukan pemeriksaan fisik,

pemeriksaan ektoparasit, pengambilan darah. Untuk pembuatan preparat apus darah

digunakan darah segar yang diambil dari vena brachialis menggunakan spuit steril 3

ml setelah itu dibuat preparat apus darah. Eutanasia pada ayam dilakukan dengan

cara penyuntikan MgSO4 intrakardia. Nekropsi diawali dengan membasahi bangkai

dengan air agar bulunya tidak berterbangan (Ressang, 1984).

Pemeriksaan makroskopik dilakukan dengan cara inspeksi, palpasi, dan incisi

pada organ-organ yang dicurigai mengalami perubahan. Organ-organ tersebut

dipotong dan dimasukkan dalam kontainer plastik yang berisi formalin 10%, serta

dilakukan pemeriksaan secara mikroskopik dengan membuat preparat histopatologi

dari organ-organ yang dicurigai mengalami perubahan (Tabbu, 2000).

3.2.2.Pemeriksaan Parasitologi

Pemeriksaan feses

Pemeriksaan feses yang dilakukan meliputi pemeriksaan natif dan sentrifus.

Pemeriksaan natif dilakukan dengan mengambil sedikit sampel feses kemudian


18
diletakkan di atas gelas objek. Feses tersebut kemudian ditetesi dengan sedikit air

dan dicampur. Pengamatan dilakukan di bawah mikroskop (perbesaran 10 x 10)

untuk mencari adanya telur cacing atau ookista (Natadisastra, 2005).

Pemeriksaan sentrifus sampel feses diambil sebanyak 2 gram dan dimasukkan

ke dalam cawan mortir. Feses kemudian ditambah dengan air secukupnya lalu

diaduk. Campuran kemudian dimasukkan ke dalam tabung sentrifus sebanyak ¾

tabung. Campuran disentrifuse selama 5 menit. Supernatan kemudian dibuang

sampai tersisa endapan di dasar tabung. Larutan NaCl jenuh kemudian dimasukkan

ke dalam tabung yang ada endapannya sampai ¾ tabung lalu diaduk sampai rata.

Campuran disentrifuse kembali selama 5 menit. Hasil sentrifuse tersebut kemudian

ditambah dengan NaCL jenuh kembali sampai permukaannya cembung dan ditunggu

selama 3 menit. Gelas objek kemudian ditempelkan pada permukaan cembung

tersebut dan dibalik dengan cepat kemudian ditutup dengan deck glass. Pengamatan

dilakukan di bawah mikroskop (perbesaran 10 x 10) untuk melihat adanya telur atau

ookista (pemeriksaan kualitatif) (Natadisastra, 2005).

3.2.3.Pemeriksaan patologi klinik

Pemeriksaan apus darah

Sampel darah segar dibuat preparat apus darah dengan meletakan satu tetes darah

diatas object glass dan diapuskan dengan object glass lainnya dengan sudut 30-40o.

19
Selanjutnya, difiksasi dengan methanol hingga kering dan dicat dengan Giemsa

(pewarna Giemsa 10%) (Samour, 2006).

Pemeriksaan patologi klinik

Penghitungan Packed Cell Volume (PCV)

Darah diambil menggunakan tabung mikrohematokrit, ditutup salah satu ujung

menggunakan latex. Sentrifus mikrohematokrit dengan kecepatan 16.000 rpm selama

3-5 menit. Hasil didapatkan dari pengukuran hematokrit menggunakan grafik (Weiss

and Wardrop, 2010).

Pengukuran Nilai Total Protein Plasma (TPP) dan Fibrinogen

Nilai TPP dihitung dengan memotong lapisan plasma pada mikrohematokrit

yang telah digunakan untuk penghitungan nilai PCV. Plasma tersebut kemudian

diteteskan pada TS-meter untuk dibaca hasilnya. Pengukuran nilai fibrinogen

dilakukan dengan memanaskan mikrohematokrit yang sebelumnya digunakan untuk

penghitungan nilai PCV. Mikrohematokrit dipanaskan dalam waterbath bersuhu 56-

58o selama 2 menit, kemudian disentrifus lagi selama 5 menit dengan kecepatan

3000 rpm. Mikrohematokrit dipatahkan dan plasma diteteskan pada TS-meter untuk

dihitung nilai TPP. Nilai fibrinogen didapatkan dengan mencari selisih antara TPP

20
awal (sebelum dipanaskan) dengan TPP akhir (setelah dipanaskan) (Gandasoebrata,

2009).

Pengukuran Nilai Hemoglobin (Hb)

Pengukuran Hb dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer. Proses

dimulai dengan menyiapkan 2 tabung reaksi khusus. Tabung pertama diisi dengan

larutan drabkins sebanyak 5 ml dan digunakan sebagai blanko. Tabung kedua diisi

dengan 5 ml larutan drabkins dan ditambah dengan 0,02 ml darah, kemudian

divortex dan disentrifus. Pembacaan dilakukan dengan menggunakan

spektrofotometer dengan panjang gelombang 540 nm yang sebelumnya telah

dikalibrasi dengan menggunakan blanko. Tabung kedua dimasukkan setelah alat

selesai dikalibrasi. Pembacaan dilakukan dengan melihat jarum yang ada pada alat

tersebut. Angka yang ditunjuk jarum kemudian dikonversikan dengan menggunakan

tabel yang sudah tersedia untuk mengetahui nilai Hb (Gandasoebrata, 2009).

Penghitungan Total Eritrosit

Penghitungan total eritrosit dilakukan dengan menggunakan hemositometer. Proses

dimulai dengan mengambil sampel darah yang sudah dicampur EDTA dengan pipet
21
Thoma eritrosit sampai angka 0,5 kemudian dilanjutkan dengan menghisap reagen

NaCl fisiologis sampai angka “101” (pengenceran 200 kali). Pipet Thoma kemudian

digoyang-goyang minimal 20 kali hingga darah dengan reagen tercampur sempurna.

Setelah tercampur, 2-3 tetes pertama campuran dibuang, kemudian diteteskan pada

kamar hitung hemositometer yang sebelumnya telah ditutup dengan deck glass, dan

periksa dengan mikroskop. Daerah yang akan dihitung dicari dengan melihat kamar

hitung dengan menggunakan perbesaran lemah. Daerah penghitungan eritrosit

terletak dalam kotak besar di tengah yang didalamnya terdapat 25 kotak kecil.

Mikroskop kemudian dialihkan ke perbesaran kuat. Eritrosit dihitung pada 5 kotak

(kiri atas, kanan atas, kiri bawah, kanan bawah, dan tengah) yang masing-masing

memiliki 16 kotak kecil. Jumlah eritrosit yang terhitung kemudian dikalikan dengan

10000 (Gandasoebrata, 2009).

Penghitungan Total Leukosit

Penghitungan total leukosit dilakukan dengan menggunakan hemositometer.

Proses dimulai dengan mengambil sampel darah yang sudah dicampur EDTA dengan

pipet Thoma leukosit sampai angka 0,5 kemudian dilanjutkan dengan menghisap

reagen Raes-Ecker sampai angka “11” (pengenceran 20 kali). Pipet Thoma kemudian

digoyang-goyang kurang lebih 3 mneit hingga darah dengan reagen tercampur

sempurna. Setelah tercampur, 2-3 tetes pertama campuran tersebut dibuang. Sampel

tersebut kemudian diteteskan pada kamar hitung hemositometer yang sebelumnya

telah ditutup dengan deck glass. Hemositometer kemudian diletakkan di bawah


22
mikroskop. Daerah yang akan dihitung dicari dengan melihat kamar hitung dengan

menggunakan perbesaran lemah. Daerah penghitungan leukosit adalah 4 kotak besar

yang masing-masing di pojok kanan atas, kanan bawah, kiri atas, dan kiri bawah

yang masing-masing terdiri dari 16 kotak kecil. Mikroskop kemudian dialihkan ke

perbesaran kuat untuk memudahkan penghitungan leukosit. Jumlah leukosit yang

terhitung kemudian dikalikan dengan 50 (Gandasoebrata, 2009).

3.2.4.Pemeriksaan Mikrobiologi

Sampel jantung dan paru paru yang mengalami perubahan dan didiagnosa

terinfeksi Pasteurella multocida. di tanam pada Plat Agar Darah (PAD) dan

diinkubasikan pada suhu 37oC selama 24 jam. Pemilihan koloni terpisah yang

mempunyai bentuk bulat berwarna putih keabuan, kemudian dilakukan pewarnaan

Gram. Pewarnaan Gram dilakukan dengan cara yaitu pengulasan biakan bakteri

dengan ose pada gelas obyek yang sebelumnya ditetesi NaCl fisiologis. Kemudian

fiksasi sampai kering di atas api bunsen. Tetesi carbon gentian violet (initial strain)

diamkan selama 2 menit. Cat dibuang dan jangan dicuci, kemudian tetesi lugol

(mordant) biarkan selama 1 menit. Cat dibuang dan jangan dicuci, kemudian tetesi

alkohol 95% (decolorizer) diamkan selama 1 menit. Cat dibuang, cuci dengan air

kran. Kemudian di tetesi air fushine (counter stain) biarkan selama 2 menit. Buang,

23
cuci sampai tidak keluar warna dan keringkan. Diamati dibawah mikroskop (Quinn

et al., 1999).

HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIK

4.1.Hasil Pemeriksaan Patologi Anatomi

Berdasarkan pemeriksaan patologi anatomi diketahui bahwa ayam dengan

nomor protokol A-071 mengalami pneumonia hemoragika,pericarditis hemoragika

hepatitis hemoragika, enteritis hemoragika.

4.2.Hasil Pemeriksaan Parasitologi

Berdasarkan pemeriksaan parasitologi diketahui bahwa ayam dengan nomor

protokol A-071 terinfeksi Lipeurus caponis.

4.3.Hasil Pemeriksaan Patologi Klinik

24
Berdasarkan pemeriksaan patologi klinik bahwa ayam dengan nomor

protokol A-071 mengalami anemia makrositik hipokromik, hiperfibrinogenemia,

leukositosis, heterofilia, monositosis, eosinofilia.

4.4.Hasil Pemeriksaan Mikrobiologi

Berdasarkan pemeriksaan mikrobiologi diketahui bahwa ayam dengan nomor

protokol A-071 ditemukan bakteri Pasteurella multocida dari organ jantung dan paru

paru.

PEMBAHASAN

Pada tanggal 2 April 2019 telah dilakukan euthanasia dan nekropsi seekor

ayam dengan nomer protokol A-071 milik Bapak Darioyono yang beralamat di Jl

Sepat lidah kulon VII no 78 lakarsantri surabaya. Berdasarkan anamnesa yang

diperoleh dari peternak dan pengamatan terhadap gejala klinik, diketahui ayam

dengan nomor protokol A-071 berjenis kelamin jantan, umur 2 bulan, berat badan

800 gram. Populasi 25 ekor, 4 diantaranya sakit dan 2 lainya mati lama sakitnya

sekitar 1 minggu, pakan beras dan nasi sumber air minum berasal dari air PDAM.

Gejala klinisnya nafsu makan turun, terdapat sedikit leleran di hidung , kurus,

lesu,bulu kusam dan rontok.

25
5.1.Patologi anatomi (Histopatologi)

Ayam di nekropsi dan dilakukan pemeriksaan secara laboratorik. Hasil

pemeriksaan patologi anatomi secara makroskopis organ setelah di nekropsi terlihat

adanya perubahan pada pulmo dengan konsistensi lunak dan hemoragi difus dan

kongesti, uji apung pulmo mengapung, bidang sayatan basah. Pada organ Jantung

terdapat hemoragi ekimosa ( bagian luar ) terdapat perlemakan di ujung lancipnya ,

hemoragi pada otot jantung ( bagian dalam). Pada organ hepar terlihat warna lebih

gelap, bidang irisan keluar darah, terdapat hemoragi , pada organ Duodenum terdapat

hemoragi multifokal di seluruh mukosa .

A B

26
D

Gambar 3. Makroskopik pulmo (A), makroskopik hepar (B), makroskopik

jantung (C), makroskopik duodenum (D).

Pemeriksaan histopatologi, terlihat pulmo mengalami pneumonia

hemoragika, adanya pola penyebaran berbercak perdarahan dan sel radang eritrosit

dalam parabronchus dan meluas ke parenkim pulmo disebabkan oleh adanya infeksi

bakteri Pasteurella multocida di dalam pulmo yang menyebabkan pneumonia

hemoragika. Pada jantung mengalami pericarditis yaitu adanya perdarahan

hemoragi ekimosa putih pucat dan terdapat hemolisis. Infiltrasi sel radang terjadi

sebagai akibat adanya respon infeksi terhadap bakteri Pasteurella multocida. Pada

organ hepar terjadi hepatitis hemoragika terlihat adaya perdarahan di vena centralis

dan juga terdapat sel radang eritrosit di bagian lobus, dan terdapat hemoragi dan

kongesti. Pada duodenum., pemeriksaan mikroskopik pada duodenum terdapat ruptur

di bagian fili dan sel mengalami infiltrasi radang, eritrosit keluar dari pembuluh

darah di tunika mukosa dan tunika sub mukosa.

27
C
B

Gambar . Pulmo perbesaran 40 X (HE) A. Hemoragi pada septa parabronchus B.


Empisema C.Septa aveoli melebar

28
b

Gambar jantung pembesaran 10 X A. adanya infiltrasi sel radang B. adanya hemolysis

29
A
B

Gambar Hepar pembesaran 10 X A Hemoragi infiltrasi radang B kongesti

pada jaringan

30
B

Gambar hepar pembesaran 40 X A. kongesti pada jaringan B. Adanya

Hemoragi C.infiltrasi sel radang

31
A

Gambar . Hepar perbesaran 10 X (HE), A.ruptur vili pada dudenum,B.


Hemoragi ,Infiltrasi sel radang limfosit

32
A

Gambar hepar pembesaran 40 X A. infiltrasi radang pada vili duodenum

5.2.Parasitologi

Pada pemeriksaan parasitologi ayam dengan nomor protokol A-071

ditemukan ektoparasit kutu. Berdasarkan hasil pengamatan yang diperoleh bahwa

spesies dari kutu yang ditemukan adalah Lipeurus caponis. Secara makros kutu

terlihat berwarna kuning pucat dan memiliki ciri morfologi yaitu tidak memiliki

sayap, memiliki 3 segmen tubuh yaitu kepala, toraks dan abdomen. Bagian posterior

33
dari abdomen terlihat meruncing dan terlihat bulu-bulu halus disekitar abdomen.

(Wall and Shearer, 2001; Yevstafieva, 2015).

Gambar 12. Lipeurus caponis

Ektoparasit dapat memiliki dampak yang signifikan terhadap kesehatan dan

produktivitas hewan. Beberapa spesies kutu penggigit atau pengunyah dapat

menginfeksi unggas. Mereka menghabiskan seluruh siklus hidup mereka pada

host/inang dan menyebabkan iritasi sebagai akibat dari memakan kulit dan bulu

unggas. Iritasi yang terus-menerus pada kulit akan menyebabkan ayam menjadi tidak

tenang dan dapat mengakibatkan kelemahan umum. Ayam biasanya menggaruk dan

mematuk kutu atau kulit yang mengalami iritasi. Kutu bulu dapat menyebabkan bulu

menjadi kering dan berdiri. Kutu tidak bersifat sangat patogenik pada ayam dewasa,

tetapi anak ayam yang terserang oleh kutu dapat mengalami kematian. Infestasi kutu

biasanya ditemukan bersamaan dengan manifestasi gangguan kesehatan, misalnya

helmintiasis, penyakit infeksius, malnutrisi, dan sanitasi yang kurang memadai

(Tabbu, et al., 2008).

34
5.3.Patologi klinik

Pemeriksaan patologi klinik pada ayam dengan nomer protokol

A-071 menunjukkan adanya anemia makrositik hipokromik, hiperfibrinogenemia,

leukositosis, heterofilia, monositosis, limpositosis, eosinofilia. Anemia Merupakan

pengurangan jumlah eritrosit, hemoglobulin atau keduanya pada sirkulasi(coles

1986). Anemia diindikasikan ketika parameter sel darah merah yaitu PCV,

hemoglobin, RBC terhitung dibawah normal untuk umur, jenis kelamin dan strain

yang sama dari spesies yang telah ditentukan (Jain, 1986).

Tabel. Hasil Pemeriksaan Hematologi


Pemeriksaan Unit Hasil Standar Normal* Keterangan Interpretasi
1,6 c
Eritrosit 106 sel/mm3 2,5 - 3,5 Turun Anemia
Hb g/dL 6,6 7 - 13c Turun
PCV % 8 22 - 35c Turun
MCV Fl 151 100 - 140c Naik Makrositik
MCH Pg 65 33 - 47c Naik
MCHC % 10 26 - 35c Turun Hypokromik
3 - 6a Normal
TPP awal g/dL 6
Akhir g/dL 4 3 - 6a Normal

Fibrinogen g/dL 2 0,1 - 0,4b Naik Hiperfibrinogemia


Leukosit sel/mm3 59,5 12 - 30a Naik Leukositosis
Hetrofil R% 28 15 - 50a Naik Hetrofilia
Asel/mm3 166,6 3 - 6a
Limfosit R% 43 29 - 84a Naik Limpositosis
35
Asel/mm3 255,8 7 – 17,5a
Monosit R% 18 0 - 7a Naik Monositosis
Asel/mm3 107,1 0 - 20a
Eosinofil R% 2 0 - 16 a Naik Eosinofilia
Asel/mm3 11,9 0 - 1a
Basofil R% 5 0 - 8a Normal Normal
Asel/mm3 25,53 Rarea

Anemia makrositik hipokromik merupakan suatu respon yang meregeneratif


sel setelah kehilangan banyak darah atau hemolisis. Makrositosis adalah sel eritrosit
yang mengalami perubahan yaitu pembesaran sel. Sedangkan anisocitosis adalah
gambaran suatu bentuk kelainan eritrosit dimana besar diameter eritrosit bervariasi di
antara eritrosit berukuran normal. Keadaan anisositosis pada kasus ini disebabkan
karena terjadi defisiensi Fe dan vitamin B6 sehingga mengganggu proses maturasi
eritrosit (Harvey and Meyer, 1998). Anemia makrositik hipokromik terjadi apabila
volume rata-rata eritrosit pada darah terhitung diatas normal dan rata-rata
hemoglobin pada eritrosit terhitung dibawah normal. Hiperfibrigenomia yaitu
kenaikan konsentrasi protein disebabkan adanya inflamasi bakteri, viral, fungal,
protozoa (Steven 2004).

Pendarahan, hiperemi dan pembendungan umum terjadi pada organ – organ


tubuh disebabkan oleh endotoksin yang di hasilkan oleh bakteri pasteurella
multocida, dan kematian diduga akibat “shock syndrome” yang ditimbulkan oleh
endotoksin ( Rhoades dan Rimler, 1991). Endotoksin diproduksi oleh semua
Pasteurella multocida, baik yang virulen maupun nonvirulen(Syaif 2008). Endotoxic
shok menyebabkan hemocontrasikarena perpindahan h20 dari intravaskuler
keestravaskuler (SteveN 2004).

Kejadian anemia pada kasus ini disebabkan karena adaya infeksi Barkteri

pasteurella multocida, bakteri tersebut memasuki pembuluh darah melalui sistem


36
sirkulasi dan menyebar ke jantung, hati, pulmo serta keseluruh tubuh dan dapat

menimbulkan kerusakan pada organ tubuh inang ( Tsuji dan Matsumoto, 1989).

Bakteri dapat berkembang baik pada organ jantung, hati dan pulmo, serta di dalam

darah (Pabs – garmon dn soltys, 1971 ; Tsuji dn Matsumoto, 1989).

Perubahan makroskopi yang diinfeksi oleh bakteri pasteurella multocida

mulai tampak pada empat jam setelah infeksi berupa titik – titik pendarahan pada

perikardium dan hiperemi pada usus (winarsih et al, 1994). Pendarahan, hiperemi

dan pembendungan umum terjadi pada organ – organ tubuh disebabkan oleh

endotoksin yang di hasilkan oleh bakteri pasteurella multocida, dan kematian diduga

akibat “shock syndrome” yang ditimbulkan oleh endotoksin ( Rhoades dan Rimler,

1991).

Makrositik hipokromik merupakan kondisi karena anemia dimana terjadi

karena adanya infeksi dari bakteri Pasteurella multocida. Karena infeksi tersebut

darah yang dibutuhkan lebih banyak keluar sehingga eritrosit membesar dari ukuran

normalnya.

Leukositosis merupakan kenaikan jumlah leukosit(seldarah putih) dimana

jumlah leukosit meningkat dalam darah dari nilai normal per microliter di atas

12.000-30.000ul penyebab (cambell, 2015). Leukosit adalah salah satu sel yang

berperang dalam merespon tubuh ketika ada infeksi dari agen asing. Leukositosis

37
pada kasus ini terjadi akibat adanya infeksi pasteurella multocida sehingga

mengakibatkan peningkatan leukosit (Coles, 1986).

Ayam dengan nomer protokol A-071 mengalami heterofilia, monositosis

dan eosinofilia.

Heterofil adalah peningkatan jumlah heterofil dalam darah (coles 1986),

Heterofil dalam darah akan di lepaskan dalam jaringan dan berperan sebagai

system pertahanan pertama sel pada peradangan akut. Heterofilia pada kasus ini

terjadi karena keradangan.

Monositosis akan bermigrasi ke jaringan dan berperan sebagai makrofag

dan berperan dalam fagositosis monosit memiliki peran penting dalam reaksi

terhadap infeksi dari luar atau benda asing. Monositosis terjadi karena keradangan

dan defisiensi zinc (Cowell, 2004).

Eosinofilia dapat di temukan dalam jaringan seperti kulit saluran respirasi

dan intestinal Eosinofili uga berperan dalam memfagosit parasite dalam ukuran

besar dan juga melepaskan melepaskan mediator sitotoksit ke permukaan area di

sekeliling parasite. Eosinofilia pada kasus ini terjadi karena kontak antara jaringan

hospes dan parasit yang berlangsung lama akan menyebabkan timbulnya respon

sensitisasi sehingga merangsang terjadinya eosinofilia.

38
B

Gambar apus darah nomor protocol A 071. A. Makrositik B.Eosinofil

39
Gambar. Apus darah nomor protokol A-71, A limfosit,B monosit

5.4.Mikrobiologi

Pemeriksaan mikrobiologi, sampel jantung dan paru paru digunakan untuk

mengisolasi Pasteurella multocida. yang diduga menjadi penyebab bakterial pada

ayam dengan nomor protocol A-071 yang di tanam pada media Plat Agar Darah

dan di inkubasikan pada suhu 37oC selama 24 jam. Pada isolasi Plat Agar Darah

tumbuh koloni lembut dan berwarna abu-abu tranparan, namun variant yang

mukoid dan kasar bisa juga terjadi. Pasteurella mempunyai koloni yang terlihat

sama, bulat dan keabu-abuan diameter 1-3 mm. Pasteurella multocida mempunyai

kapsula yang besar yang terdiri dari asam hyaluronic yang memberikan ciri

mukoid dan basah pada koloni. (Howard, 1993).

Pewarnaan gram dilakukan dengan cara yaitu pengulasan biakan bakteri

dengan usa pada gelas obyek yang sebelumnya ditetesi Nacl fisiologis. Kemudian

fiksasi sampai kering diatas api bunsen dan dilakukan pewarnaan gram. Hasil

pemeriksaan mikroskopik pengecatan gram menunjukan bahwa bakteri yang

tumbuh merupakan bakteri gram negatif coccobacillus tercat merah. Pasteurella

multocida adalah gram negatif berbentuk batang bulat (Waluyo l., 2008).

40
A B

Gambar 13. Koloni Pasteurella multocida pada media Plat Agar Darah
(A), morfologi Pasteurella multocida pada pewarnaan gram (B).

Kemudian dilakukan uji biokimia, Pada uji indol terbentuk nya bentukan

merah seperti cincin saat ditetesin dengan reagen Kovac artinya bakteri yang

tumbuh menggunakan asam amino tryptopan untuk sumber karbonya. Pasteurella

multocida bakteri non motil yang tidak mempunyai flagella peritik sehingga tidak

bergerak. Pada uji Katalase teramati adanya gelembung setelah ditetesi dengan

H2O2, sehingga menandakan positif katalase, artinya bakteri pasteurella

multocida menghasilkan enzim katalase yang dapat memecah H2O2 menjadi H2O

dan O2. Pada uji sukrosa terjadi perubahan warna media dari hijauh menjadi

kuning, artinya bakteri tersebut memfermentasi sukrosa. Pada uji laktosa tidak

terjadi perubahan warna media dari hijau menjadi kuning yang artinya bakteri

tersebut tidak memfermentasi laktosa. Pada uji maltosa tidak ada perubahan

warna media dari hijauh menjadi kuning yang artinya bakteri tersebut tidak

memfermentasi maltosa.pada uji manitol terjadi perubahan warna dari hijau


41
menjadi kuning artinya bakteri tersebut memfermentasi manitol. Uji TSIA

teramati bagian dasar (butt) mengalami perubahan dari coklat menjadi Merah

muda, hal tersebut menandakan bakteri mampu memfermentasi glukosa,

Sedangkan lereng (slant) setengah mengalami perubahan dan setengahnya lagi

tidak mengalami perubahan, hal tersebut menandakan bakteri tersebut dapat

memfermentasi sukrosa dan tidak mampu menfermentasi laktosa (Harley and

prescot , 2012).

Berdasarkan hasil pemeriksaan di Laboratorium Mikrobiologi dari organ

jantung dan paru paru pada Ayam dengan nomor protokol A-071 terisolasi dan

teridentifikasi bakteri Pasteurella multocida.

Gambar 14. Uji biokimia bakteri Pasteurella mutocida,(a) uji indol (b) uji
TSIA (c) uji manitol, (d), uji laktosa (e), uji sukrosa (f), uji maltosa ,

42
PATOGENESIS
Faktor Predisposisi : Manajemen pemeliharaan (pakan dan
air minum),

AYAM KAMPUNG
Infestasi Infeksi bakteri
Lipeurus caponis Pasteurella multocida

Enteritis
hemoragika
Pneumonia Pericarditis Hepatitis
hemoragika hemoragika hemoragika

Sistem imun menurun

Anemia makrositik hipokromik, hiperfibrinogenemia, leukositosis, heterofilia,


limfositosis, eosinofilia.

KESIMPULAN DAN SARAN

43
Kesimpulan

Berdasarkan hasil pemeriksaan di laboratorium patologi anatomi, mikrobiologi,

parasitologi dan patologi klinik ayam dengan nomor protokol A-071 didiagnosa infeksi

Pasteurella multocida, infestasi Lipeurus caponis.

Saran

Perlu dilakukan perbaikan manajemen pemeliharaan untuk menghindari faktor-

faktor predisposisi penyakit, misalnya seperti perbaikan manajemen supaya bisa

mengurangi faktor penyebab stres pada ayam seperti pemberian nutrisi yang baik

mengandung mineral dan protein yang cukup untuk menjaga daya tahan tubuh tetap baik,

menjaga kebersihan pakan.Terapi untuk helminthiasis dapat menggunakan piperazin

diberikan melalui pakan dengan dosis 0,2%-0,4%, melalui minum dengan dosis 0,2%-

0,4%, atau untuk sekali pengobatan dengan dosis 50-100 mg/ayam (Tabbu, 2002). .

Penanganan terhadap bakteri dapat menggunakan antimikroba kloramfenikol,

siprofloksasin, imipenem, dan sefotaksim (Lempang, 2014).

44
DAFTAR PUSTAKA

Agustina, L. 2013. Potensi Ayam Buras Indonesia. Graha Ilmu. Yogyakarta.

Amin–Babjee, S.M., C.C. Lee and A.A. Mahmood, 1997. Prevalence of ectoparasite
infestation in different age groups of village chickens. J. Vet–Malaysia. 9: 55–
9

Carter, G. R., dan Wise, D. J. 2004. Essential of Veterinary Bacteriology and


Mycology, Sixth edition. Iowa State Press: Iowa. 193-197, 253-255.

Fadly A.M, Glisson J.R, McDougald L.R, Nolan L.K, Swayne D.E. 2008. Diseases
Of Poultry twelfth edition. Blackwell Publishing. USA. 742

Gandasoebrata, R., 2009. Penuntun Laboratorium Klinik. Jakarta: Dian Rakyat.

Gunawardana G.A., Townsend K.M., Frost A.J. (2000): Molecular characterisation


of avian Pasteurella multocida isolates from Australia and Vietnam by REP-
PCR and PFGE. Veterinary Microbiology, 72, 97–109.

Gordon, R. F., Jordan, F. T. W. 1982. Poultry Disease: Second Edition. London:


Bailliere Tindall. Hal.: 139-143.

Howard JB, Keiser JF, Smith TF. 1993. Clinical and Pathogenic Microbiology 2nd
Edition. Mosby-year book, inc. London.289.

Layton, H.W. 1984. Efficacy of broth grown Pasteurella multocida bacterin in


ducklings. Avian Dis. 24: 1086 – 1096.

Levine, N.D. 1994. Parasitologi Veteriner. Gadjah Mada University Press,


Yogyakarta.

Mansjoer, S. S. 1985. Pengkajian sifat-sifat produksi ayam kampung serta


persilangannya dengan ayam Rhode Island Red (disertasi). Bogor. Program
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor

Mulyono, S. 1999. Memelihara Ayam Buras Berorientasi Agribisnis. Penebar


Swadaya. Hal.36-49.

Murtidjo, B.A.1992. Pedoman Beternak Ayam Broiler. Kanisius.Yogyakarta

45
Permin, A and J.W.,Hansen. 1998. Epidemiology, Diagnosis and control Poultry
Parasites. FAO Animal Health Manual. FAO United Nation, Rome.

Post, K W. and Songer, GJ. 2005. Microbiology Bacterial and Fungal Agent of
Animal Disease. Elsevier Saunders: Philadelphia.

Poernomo, S. 1980. Kasus Pasteurella multocida pada itik. Bull. LPPH. XII(19): 42 –
56.

Quinn, P.J,. Markey, B.K,. Carter, M.E,.Donnelly, W.J,. Leonard, F.C,. 2001.
Veterinary Microbiology and Microbial Disease. Published by Wiley-
Blackwell. 137

Rhoades, K.R. and R.B. Rimler. 1990. Somatic serotype of Pasteurella multocida
isolated from avian hosts (1976 – 1988). Avian Dis. 34: 193 – 196.

Sinurat, A.P.B., WIBOWO, MIFTAH dan T. PASARIBU. 1992. Pemanfaatan itik


jantan lokal untuk produksi daging. Pros. Lokakarya Penelitian Komoditas dan
Studi Khusus. Departemen Pertanian dan Direktorat Jenderal Perguruan
Tinggi Departemen Pendidikan, Jakarta. hlm. 395 – 405.

Skerman, V.B.D., McGowan, V. & Sneath, P.H.A. 1980. Approved Lists of Bacterial
Names. Int. J. Syst. Bacteriol. 30: 225-420.

Snipes, KP, Carpenter, TE, Hird, DW, McCapes, RH, dan Hirsh, DC (1987). Sebuah
studi deskriptif unggas kolera di kalkun daging California: Agustus 1985-Juli
1986. Avian Dis. 31, 792-799.

Sonaiya EB (2007). Family Poultry, food security and the impact of HPAI. World’s
Poultry Science Journal,63 (1): 132-138.

Soulsby, E.J.L. 1982. Helmints, arthropods, and Protozoa of Domestic Animals.


seventh edition. London. English Language Book Society and Baillere
Tyndall. Hal 84-86
Suprijatno, E., U. Atmomarsono, dan R. Kartosudjono. 2005. Ilmu Dasar Ternak
Unggas. Penebar Swadaya.Jakarta.

Tabbu, C.R. 2008. Penyakit ayam dan penanggulanganya vol 1. PT. Kanisius :
yogyakarta.21-30.

Wall, R., D. Shearer. 2001. Veterinary Ectoparasite: Biology, Pathology and Control.
Blackwell Science. Ltd. UK. Page 164

46
Waluyo L. 2008. Teknik dan Metode Dasar dalam Mikrobiologi. Universitas
Muhammadiyah Malang Press. Malang.

PATOGENESIS
Seperti yang telah dijelaskan bahwa bakteri pasteurella multocida sebagai
penyebab SE akan masuk kedalam tubuh inang melalui beberapa cara. Cairan seperti
leleran hidung atau cairan mulut dari hewan yang terinfeksi akan jatuh ketanah atau
terkena media lain. Bakteri yang ada dalam cairan tersebut akan menginfeksi daerah
atau media yang terkena oleh cairan dari hewan terinfeksi tersebut. Bila kondisi tanah
dalam keadaan basah maka akan menyebabkan perkembangan dan daya tahan bakteri
pasteurella multocida semakin baik. Melalui kontak dengan hewan terinfeksi atau
kontak dengan tanah, tanaman, atau media yang terinfeksi, bakteri pasteurella
multocida kemudian masuk kedalam tubuh. Didalam tubuh inang bakteri ini biasanya
menyerang saluran pernafasan (Natalia & Priadi 2006).
Terdapat tiga bentuk dari penyakit SE yaitu bentuk busung, pektoral dan intestinal.
Penyakit SE bentuk busung menunjukkan adanya bentuk busung pada bagian kepala,
tenggorokan, leher bagian bawah, gelembir dan kadang-kadang pada kaki muka.
Selain itu kadang terjadi juga bentuk busung pada bagian dubur dan alat kelamin.
Tingkat mortalitas penyakit pada bentuk ini cukup tinggi mencapai 90% dan
berlangsung cepat sekitar tiga hari sampai satu minggu. Sebelum mati akan tampak
gangguan pernafasan dan suara ngorok merintih serta suara gigi gemeretak. Pada
bentuk pectoral, tanda-tanda bronkhopneumonia akan lebih menonjol. Bentuk ini
umumnya dimulai dengan adanya batuk kering dan nyeri yang di ikuti oleh keluarnya
eksudat dari hidung. Biasanya bentuk ini berlangsung antara satu sampai tiga minggu.
Pada beberapa kasus kadang penyakit ini dapat mencapai bentuk intestina. Keadaan
ini dicapai ketika penyakit sudah berjalan kronis. Hewan akan menjadi kurus, dengan

47
gejala batuk yang terus menerus, selain itu nafsu makan terganggu serta terus menerus
mengeluarkan air mata. Sering terjadi mencret yang bercampur darah (Direktorat
Kesehatan Hewan 1977).
Umunya kasus SE bersifat aku dan dapat menyebabkan kematian hewan dalam
waktu singkat. Dalam pengamatan, hewan mengalami peningkatan suhu tubuh,
oedemasubmandibular yang dapat menyebar ke daerah dada, dan gejala pernafasan
dengan suara ngorok atau keluarnya eksudat dari hidung. Umumnya, hewan kemudian
mengalami kelesuan atau lemah dan kematian. Biasanya kerbau lebih peka terhadap
penyakit SE dibandingkan dengan sapi. Lama atau jalanya penyakit sampai pada
kematian pada kerbau lebih pendek dibandingkan dengan sapi, kisaran waktunya
mulai kurang dari 24 jam dalam kejadian perakut sampai 2 – 5 hari. Gejala penyakit
timbul setelah masa inkubasi 2 – 5 hari.
Gambaran klinis menunjukkan adanya 3 fase. Fase pertama adalah kenaikan suhu
tubuh, yang diikuti fase gangguan pernafasan dan diakhiri oleh fase terakhir yaitu
kondisi hewan melemah dan hewan berbaring di lantai. Septicaemia dalam banyak
kasus merupakan tahap kejadian paling akhir. Berbagai fase penyakit di atas tidak
selamanya terjadi secara berurutan dan sangat tergantung pada lamanya penyakit
(Natalia & Priadi 2006).
Pada kerbau yang diinfeksi secara buatan, ditemukan kenaikan suhu hingga 430C
dapat teramati 4 jam sesudah infeksi, sedangkan pada sapi kenaikan hingga 400C baru
teramati 12 Leleran hidung dan mata yang memerah sudah terlihat pada kerbau 4 jam
sesudah infeksi, sedangkan pada sapi 12 jam sesudah infeksi. Bakteri dapat diisolasi
dari cairan hidung kerbau 12 sesudah infeksi dan 16 sesudah infeksi pada sapi. Dalam
darah bakteriemia sudah terjadi 12 jam sesudah infeksi pada kerbau dan sapi.
Pemantauan jumlah kuman dalam darah terlihat terus meningkat hingga saat kematian
(Natalia & Priadi 2006).
Diagnosa

48

Anda mungkin juga menyukai